Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus merupakan hewan pengerat yang sering kali berhubungan dengan

kehidupan manusia. Hubungan tersebut dapat bersifat menguntungkan dan

merugikan. Sifat menguntungkan terutama dalam hal penggunaanya sebagai

bahan percobaan di laboratorium. Sifat merugikan yaitu menjadi hama penting

dalam kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, pemukiman

dan juga kesehatan (Permada, 2009).

Tikus merupakan salah satu hama tanaman padi yang paling sulit dalam

penangannanya. Hewan pengerat ini merupakan hama tanaman yang disebut-sebut

paling pintar, dimana banyak alternative penanganan kurang efektif jika dilakukan

secara terus-menerus. Sebagai hama tanaman, tikus memiliki beberapa kelebihan

yang tidak dimiliki oleh hama lainnya sehingga tindakan pengendalian

membutuhkan metode yang khusus. Beberapa kelebihan tersebut yaitu (1) tikus

mampu merusak tanaman budidaya dalam waktu yang singkat dan menimbulkan

kehilanagan hasil dalam jumlah yang besar, walaupun hal itu hanya dilakukan

oleh beberapa ekor tikus saja, (2) tikus mampu merusak tanaman budidaya dalam

berbagai stadia umur pertumbuhan tanaman mulai dari pembibitan, fase

vegetative, fase generative bahkan pada hasil panen di tempat penyimpanan, (3)

tikus mampu menimbulkan reaksi atau respon terhadap setiap tindakan

pengendalian yang dilakukan oleh manusia, baik untuk menghindar (misalnya

penggunaan perangkap) maupun untuk menghadapinya (misalnya pada

penggunaan musuh alami berupa predator), (4) tikus mempunyai mobilitas yang

tinggi dengan menggunakan kedua pasang tungkainya (Holil et al, 2014).


2
Upaya pengendalian tikus sawah, tikus pohon dan tikus rumah sudah

banyak dilakukan oleh manusia baik secara non kimia maupun secara kimia

terutama dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu. Beberapa upaya

yang dapat dilakukan dalam mengendalikan tikus sawah, tikus pohon dan tikus

rumah yaitu dengan cara kultur teknis, mekanik dan secara biologis dengan

menggunakan musuh alami, sanitasi lahan, pemasangan perangkap, gropyokan

dan menggunakan bahan kimia seperti rodentisida dan fumigan (Permada, 2009).

Fumigasi atau pengemposan merupakan salah satu cara pengendalian yang

banyak dipakai oleh petani. Di Indonesia, bahan fumigasi yang dikembangkan

dalam pengendalian tikus sawah adalah bahan yang dapat menghasilkan asap

belerang oksida. Gas ini dihasilkan dari pembakaran belerang dicampur dengan

jerami. Selain fumigasi yang berasal dari jerami, adapula beberapa jenis fumigant

yang menghasilkan gas beracun jika terjadi kontak langsung dengan udara dan air

(Sitepu, 2008).

Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan mercon

tikus dan pengaplikasiannya.


TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai

hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang

dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis

dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran

banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan. Adapun

taksonomi tikus menurut Besselsen (2004) adalah sebagai berikut ;

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Superfamilia : Muroidea

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus argentiventer

Tikus sawah mempunyai ciri morologi yaitu tekstur rambut agak kasar,

bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu

kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral

coklat gelap, bobot badan antara 70-300 gram, panjang badan 130-210 mm,

panjang ekor antara 110-160 mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai

ekor 240-370 mm, lebar daun telinga 19-22 mm, panjang telapak kaki 32-39 mm,

lebar sepasang gigi seri yang sering digunakan untuk mengerat 3 mm, formula

puting susu 3 + 3 pasang (Priyambodo 2003).


4

Bioekologi Morfologi Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

Tikus sawah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh

dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Tikus sawah mudah ditemukan

di perkotaan dan pedesaan di seluruh penjuru Asia Tenggara. Hewan pengerat ini

menyukai persawahan, ladang, dan padang rumput tempat tikus ini memperoleh

makanannya berupa bulir padi, jagung, atau rumput. Tikus sawah membuat sarang

di lubang-lubang, di bawah batu, atau di dalam sisa-sisa kayu. Tikus sawah ini

adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit dikendalikan karena

tikus ini mampu ”belajar” dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan

sebelumnya (Sudarmaji 2005)..

Tikus menyerang padi pada malam hari, pada siang hari tikus bersembunyi

di dalam lubang pada tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah

perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian tikus bermigrasi

ke daerah perkampungan dekat sawah dan akan kembali ke sawah setelah

pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat

dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan

(runway), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina

mengalami masa bunting sekitar 21-23 hari dan mampu beranak rata-rata

sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak

mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan

makanan dan tempat persembunyian yang memadai. Tempat persembunyian tikus

antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang

ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji 2005).


5

Fumigasi

Fumigasi merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk

mencegahpenyebaran organisme pengganggu dari suatu daerah ke daerah lain

terhadap suatu komoditi dengan menggunakan pestisida berbentuk padat atau cair

yang akan berubah bentuk menjadi gas pada suhu dan tekanan tertentu. Fumigasi

merupakan salah satu persyaratan ekspor sesuai dengan ketentuan International

Plant Protection Convention (IPPC), dimana setiap negara mempunyai hak untuk

melakukan pencegahan penyebaran organisma pengganggu ke wilayahnya

(Kementerian Pertanian 2011)..

Pestisida yang yang ideal sebagai fumigasi harus memiliki ciri-ciri sangat

beracun terhadap hama sasaran, tidak beracun untuk tanaman dan vertebrata

(termasuk manusia), mudah diaplikasikan, tidak berbahaya bagi makanan dan

komoditas, murah, tidak mudah meledak, tidak mudah terbakar, larut dalam air,

tidak persisten, mudah dan cepat berdifusi menembus komoditas, stabil dalam

keadaan gas (tidak akan mengembun menjadi cairan), serta mudah terdeteksi oleh

indera manusia. Pestisida yang terdaftar dan memperoleh izin Menteri Pertanian

untuk keperluan fumigasi terdiri dari 9 pestisida berbahan aktif metil bromida, 13

pestisida berbahan aktif alumunium fosfida, 3 pestisida berbahan aktif magnesium

fosfida, 1 pestisida berbahan aktif sulfuril fluorida, dan 1 pestisida berbahan aktif

fosfin (Kementerian Pertanian 2011).

Metil bromida merupakan pestisida berspektrum luas yang telah

digunakan secara komersial lebih dari 40 tahun untuk mengeradikasi hama seperti

jamur, bakteri, virus soil-borne, serangga, tungau, nematoda, dan tikus, akan

tetapi metil bromida merupakan fumigan yang merusak lapisan ozon pada lapisan
6
stratosfer. Metil bromida dikategorikan sebagai BPO pada tahun 1992, dan

penggunaannya diatur secara ketat dalam Protokol Montreal. Penggunaan metil

bromida harus dikurangi secara bertahap sehingga diharapkan semua negara

tidaklagi menggunakan metil bromida (phase out) pada tahun 2015 kecuali untuk

keperluan karantina dan pra pengapalan. EPA (1995) memberikan critical use

exemption (CUE) untuk penggunaan pasca panen seperti food processing dan

komoditas dalam penyimpanan sampai alternatif pengganti ditemukan (Sekhon

2010).

Ren et al. (2011) melakukan evaluasi terhadap beberapa alternatif

pengganti metil bromida pada kayu pinus. Kayu pinus yang difumigasi (10 x 10 x

30 cm) dengan metil bromida dan sulfuril fluorida masing-masing dengan dosis

48 mg/l serta fosfin dengan dosis 1 mg/l selama 48 jam menunjukkan bahwa kayu

pinus menyerap 70% metil bromida, 35% sulfuril fluorida, dan 25% fosfin. Dari

hasil penelitian tersebut, Ren et al. menyimpulkan bahwa sulfuril fluorida dan

fosfin dapat digunakan sebagai alternatif pengganti metil bromida yang cukup

efektif.

Yu et al. (2010) melaporkan hasil pengujian fumigasi sulfuril fluorida

terhadap bambu yang akan diekspor dari China ke Amerika Serikat dengan dosis

96 g/m3 pada 15,9 °C, 80 g/m3 pada 21,5 °C, dan 64 g/m3 pada 26 °C selama 24

jam. Sebanyak 2424 larva, 90 kepompong, dan semua kumbang dewasa

Chlorophorus annularis mati. Penelitian lain yang dilakukan terhadap kemasan

kayu yang terserang kumbang Anoplophora glabripennis menunjukkan bahwa

larva dan kepompong A. glabripennis dapat dikendalikan dengan sulfuril fluorida

dosis 104 g/m3 pada suhu 15,6 °C selama 24 jam paparan (Barak et al. 2006).
7
Rajendra dan Kumar (2008) melaporkan bahwa sulfuril fluorida dengan

dosis 40 g/m3 untuk 24 jam pemaparan dan fosfin (magnesium fosfida dalam

bentuk tablet) pada dosis 2 g/m3 untuk 96 jam pemaparan terbukti efektif untuk

mengendalikan hama Lyctus africanus dan Sinoxylon sp., dan Dinoderus ocellaris

pada palet kayu. Hasil uji terhadap S. zeamais, T. confusum, dan O. surinamensis

yang difumigasi dengan Fumiguard 99 GA (sulfuril fluorida 99%), 100% larva

dan imago mati pada dosis pemaparan 48 g/m3.


BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan

1. Kertas karton 3 gulung.


2. Garam inggris 200 gr.
3. Belerang 200 gr.
4. Air.
5. Benang genderan.
6. Arang 250 gr.
7. Lem kertas.

Alat

1. Wajan.
2. Kompor.
3. Spatula.
4. Alu.
5. Lesung.
6. Timbangan
7. Koran.
8. Saringan.

Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 04 dan 11 Mei 2018

pada pukul 17.00 WITA–Selesai yang bertempat di Samping Rumah Kaca Jurusan

BDP Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

Prosedur Kerja

1. Menyiapkan alat dan bahan.


2. Buat selongsong menggunakan kertas karton dengan panjang 15 cm dan

diameter 2 cm sebanyak 3 buah.


3. Menumbuk arang dan belerang sampai halus, kemudian disaring.
4. Menyiapkan benang gederan sebagai sumbu mercon.
5. Memanaskan air di dalam wajan.
9
6. Memasukkan garam inggris ke dalam air yang mendidih, kemudian masukkan

belerang dan arang yang telah dihaluskan, aduk sampai semua tercampur rata.
7. Meletakkan semua bahan yang sudah tercampur rata di atas koran dan

diangin-anginkan.
8. Memasukkan bahan yang sudah kering dan sumbunya ke dalam selongsong

sambil dipadatkan. Agar asap yang dihasilkan banyak.


9. Mengaplikasikan mercon tikus yang sudah selesai dibuat.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil dari praktikum ini dapat dilihat pada beberapa tabel berikut :

Tabel 1. Pembuatan mercon tikus


No Gambar Keterangan

1. Menghaluskan belerang.

2. Menyaring belerang

3. Menghaluskan garam inggris.

Tabel 1. Lanjutan
11

4. Menyaring garam inggris.

Belerang, garam inggris, dan arang yang


5.
telah dihaluskan.

6. Menimbang belerang.

7. Menimbang garam inggris.

8. Menimbang arang.

Tabel 1. Lanjutan
12

Masukkan semua bahan ke dalam wajan


9. yang berisi air yang sudah didihkan
sebelumnya dan aduk terus menerus.

Semua bahan sudah siap, kemudian


10. masukkan benang gender dan aduk
merata.

Masukkan benang gender ke dalam


11.
selongsong yang telah dibuat.

Masukkan bahan ke dalam selongsong


12.
dan padatkan.

13. Mercon tikus sudah siap dinyalakan.

Tabel 2. Pengaplikasian mercon tikus


No Gambar Keterangan
13

1. Siapkan media pengaplikasian.

Nyalakan sumbu mercon yang telah


2.
disediakn.

3. Masukkan ke dalam lubang.

Asap yang dihasilkan oleh mercon


4.
tikus.

Pembahasan

Salah satu pengganggu tanaman pangan adalah serangan hama yaitu tikus

sawah (Rattus argentiventer). Serangan tikus biasanya terjadi pada malam hari

sedangkan pada siang hari tikus lebih banyak bersembunyi di dalam lubang.
14
Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat

dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian

malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian, tikus

mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji

yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian

pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif,

tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya.

Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada

fase vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan,

tikus akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan

yang ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah-tengah petakan sawah

tampak gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang. Mereka juga

menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih-benih yang disebar atau

mencabut tanaman-tanaman yang baru tumbuh. Kerusakan oleh satu ekor tikus

adalah 5 rumpun padi per malam pada stadia 1 – 3 minggu, 5 rumpun per malam

pada stadia anakan, maksimal 7 rumpun padi per malam pada stadia premordia

dan 12 rumpun padi per malam pada stadia padi bunting.

Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi pendukung

perkembangan populasi tikus sawah. Habitat yang memadai akan menguntungkan

bagi tikus untuk menemukan tempat hidup dan berkembangbiak dengan baik.

Aktifitas membuat liang merupakan salah satu kemampuan tikus sawah untuk

mendapatkan tempat hidup dan berkembangbiak. Tikus sawah sebagian besar

tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar sawah. Daya adaptasi yang tinggi
15
menyebabkan mudahnya tersebar di dataran rendah dan dataran tinggi. Tikus

sawah suka menggali liang untuk berlindung dan irigasi.

Tikus sawah termasuk omnivora (pemakan segala jenis makanan). Apabila

makanan berlimpah mereka cenderung memilih yang paling disukai, yaitu biji-

bijian atau padi yang tersedia di sawah. Pada kondisi bera, tikus sering berada di

pemukiman, mereka menyerang semua stadium tanaman padi sejak pesemaian

sampai panen. Tingkat kerusakan yang diakibatkan bervariasi tergantung stadium

tanaman.

Pengendalian hama tikus yang paling tepat adalah dengan cara fumigasi.

Fumigasi akan efektif karena tikus-tikus akan berdatangan ke sawah dan

menempati liang-liang yang ada di sekitar pertanaman sawah. Fumigasi

mempunyai keuntungan yaitu kemampuan membunuh tikus-tikus muda yang

berada di dalam liang dan juga ektoparasit.

Perlakuan fumigasi dengan mercon belerang mengakibatkan kematian tikus

sawah paling cepat. Rata-rata kematian tikus di bagian tengah arena lebih cepat

dibandingkan dengan bagian tepi arena untuk semua perlakuan memberikan

pengaruh terhadap tikus dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Adanya

perbedaan bobot dan jenis kelamin tikus pada tiap perlakuan, tidak mempengaruhi

waktu kematian tikus sawah.

Kematian tikus sawah disebabkan adanya dorongan asap belerang dari

serbuk mercon yang terbakar. Bahan baku mercon belerang terdiri dari belerang,

serbuk mercon dan kertas sebagai pembungkus sehingga dihasilkan gas SO2

dengan konsentrasi yang tinggi segera setelah dilakukan pembakaran, serta terjadi

penjenuhan liang tikus dengan gas SO2 mercon belerang lebih cepat. Gas SO2 ini
16
menimbulkan gangguan pada pembuluh-pembuluh sistem pernafasan tikus sawah

sehingga mempercepat kematiannya.


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilaksanakan, maka dapat

diperoleh kesimpulan sabagai berikut:

1. Faktor Salah satu pengganggu tanaman pangan adalah serangan hama yaitu

tikus sawah (Rattus argentiventer). Serangan tikus biasanya terjadi pada

malam hari sedangkan pada siang hari tikus lebih banyak bersembunyi di

dalam lubang.

2. Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase tanaman padi. Pada

fase vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak

berserakan, tikus akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk

makan.

3. Tikus sawah sebagian besar tinggal di persawahan dan lingkungan sekitar

sawah. Daya adaptasi yang tinggi menyebabkan mudahnya tersebar di dataran

rendah dan dataran tinggi. Tikus sawah suka menggali liang untuk berlindung

dan irigasi.

4. Pengendalian   hama   tikus   yang   paling   tepat   adalah   dengan   cara   fumigasi.

Fumigasi   akan   efektif   karena   tikus­tikus   akan   berdatangan   ke   sawah   dan

menempati   liang­liang   yang   ada   di   sekitar   pertanaman   sawah.   Fumigasi

mempunyai keuntungan yaitu kemampuan membunuh tikus­tikus muda yang

berada di dalam liang dan juga ektoparasit.

5. Perlakuan fumigasi dengan mercon belerang mengakibatkan kematian tikus

sawah paling cepat. Rata-rata kematian tikus di bagian tengah arena lebih
18
cepat dibandingkan dengan bagian tepi arena untuk semua perlakuan

memberikan pengaruh terhadap tikus dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Saran

Perlu adanya penelitiaan lebih lanjut tentang cara pengendalian hama

tikus meggunakan mercon tikus ini, agar hama tikus yang banyak merusak

tanaman padi bisa dikendalikan diatasi atau dicegah dengan lebih cepat, sehingga

tidak menyebabkan banyak kerusakan pada tanaman padi.


DAFTAR PUSTAKA

Barak et al. 2006. Sulfuryl Fluoride as a Quarantine Treatment for Anoplophora


glabripennis (Coleoptera: Cerambycidae) in Regulated Wood Packing
Material. Journal of Economic Entomology 99(5):1628-1635

Besselsen, D.G. 2004. Biology of Laboratory Rodent. Medical Books. New York.

Bromide Alternatives for Fumigation of Solid Wood Packaging. International


Pest Control. 50(6):317-320.

[EPA] Environmental Protection Agency. 1995. Pesticide Fact Sheet Number 51:
Sulfuryl.

Holil et al. 2014. Air Pump MF (Mouse Fumigasi) Alat Empos Tikus Sawah
dengan Memanfaatkan Tenaga Tekan Pompa Angin sebagai Efektivitas
Penyaluran Asap Pengomposan Lubang Tikus Pematang Sawah. Laporan
Akhir Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan Teknologi. Institut
Pertanian Bogor.

Kementerian Pertanian. 2011. Pestisida Pertanian dan Kehutanan Tahun 2011.


Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian
Pertanian.Jakarta.

Permada, Johan, 2009. Tingkat Kejeraan Racun dan Umpan pada Tikus Sawah
(Rattus agentiventer Rob. & Klo.), Tikus Rumah (Rattus rattus Diardii
Linn.) dan Tikus Pohon (Rattus tiomanicus Mill.). Departemen Proteksi
Tanaman. Institut Pertanian Bogor.

Priyambodo S. 2009. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-4. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Rajendran S, Kumar VL. 2008. Sulfuryl Fluoride and Phosphine as Methyl.

Ren. 2011. Penetration of methyl bromide, sulfuryl fluoride, ethanedinitrile and


phosphine into timber blocks and the sorption rate of the fumigants.
Journal of Stored Products Research 2011:47(2): 63-68.

Sekhon. 2010. Sulfuryl fluoride fumigation effects on the safety, volatile


composition, and sensory quality of dry cured ham. Meat Science 2010:
84(3):505-511.

Sitepu, Prakarsa. 2008. Pengujian Efektivitas Beberapa Fumigant terhadap Tikus


Sawah (Rattus argentiventer (Rob. & Klo.). Program Studi Hama Dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sudarmaji. 2005. Penelitian sifat tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. & Klo.)
[laporan tahunan]. Subang: BB Padi Subang.

Yu et al. 2010. Sulfuryl Fluoride as a Quarantine Treatment for Chlorophorus


annularis (Coleoptera: Cerambycidae) in Chinese Bamboo Poles. Journal
of Economic Entomology 103(2):277-283.

Anda mungkin juga menyukai