Anda di halaman 1dari 7

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

SINTESIS BIOETANOL BERBAHAN BAKU KULIT APEL SEBAGAI


BAHAN BAKAR ALTERNATIF

BIDANG KEGIATAN
PKM PENELITIAN

Diusulkan oleh :
Yolanda Mardiana Hapsari 194120044 2019
Alfira Insani Fadhilah 194120020 2019

POLITEKNIK NEGERI MALANG


MALANG
2019
SINTESIS BIOETANOL BERBAHAN BAKU KULIT APEL SEBAGAI
BAHAN BAKAR ALTERNATIF

ABSTRAK

Bahan bakar fosil ini bisa habis kapan saja jika dipergunakan secara terus-
menerus tanpa adanya energi alternatif lain sebagai pengganti bahan bakar minyak
dari fosil ini. Oleh karena itu, diperlukanlah sumber bahan bakar alternatif untuk
mengurangi kecenderungan pemakaian bahan bakar ini. Salah satu energi
alternatif yang bisa dimanfaatkan adalah bioetanol. Bioetanol (C2H5OH) adalah
cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan
bantuan mikroorganisme. Apel sebagai salah satu biomass merupakan sumber
potensial bioetanol, karena mengandung karbohidrat sebesar 20% yang
merupakan sumber glukosa. Glukosa dapat difermentasikan untuk dijadikan
etanol.
Pada penelitian ini untuk menghasilkan etanol dari limbah kulit apel
digunakan hidrolisis dengan asam H2SO4 dilanjutkan dengan fermentasi
menggunakan ragi Saccharomyces Cereviseae. Adapun metode yang digunakan
untuk memaksimalkan kadar etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi.
Proses pembuatan bioetanol dari kulit apel sebagai salah satu bebntuk energi
alternatif yang terbarukan dan sebagai upaya pemanfaatan limbah kulit apel
sangat potensial dilakukan melalui proses fermentasi dan destilasi. Hasil
pengujian menunjukan bahwa hitam menjadi kuning dan terdapat endapan
kuning. Hal ini memperkuat bahwa fermentasi kulit apel menghasilkan alkohol.

Kata kunci : Kulit apel, bioetanol


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apel ( Malus Sylvestris Mill ) merupakan tanaman buah tahunan yang
berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim subtropis. Di Indonesia apel telah
ditanam sejak tahun 1934 hingga saat ini. Apel dapat tumbuh dan berbuah baik
didaerah dataran tinggi yang memiliki tempratur udara rendah. Salah satu derah
penghsil apel adalah kawasan Kota Batu Malang provinsi Jawa Timur.
Didaerah tersebut, perkebunan apel telah dikembangkan sejak tahun
1950, dan berkembang pesat pada tahun 1960 hingga saat ini. Usaha tani apel
yang semula diusahankan dipekarangan selanjutnya berkembang meluas kelahan
tegal yang sebelumnya ditanami sayuran dengan pemeliharaan kebun yang
semakin intensif. Jumlah tanaman mencapai 1.974.366 pohon dengan produksi
842.799 kwintal (BPS dan Bapeda Kota Batu, 2010)
Saat ini industri rumahan (Home Industry) berbahan baku apel terutama
pembuatan kripik apel di Kota Batu berkambang dengan pesat. Dengan pesatnya
perkembangan industri maka akan timbul permasalahan khususnya mengenai
permasalahan limbah. Limbah paling besar pada industri pengelolahan kripik apel
adalah kulit apel. Limbah yang dibuang dalam pembuatan kripik apel berjumlah
hampir mencapai 20% dari berat apel. Saat ini limbah kulit apel kurang
dimanfaatkan dengan baik bahkan cenderung hanya dijadikan sampah yang
dibuang pada TPA( Tempat Pembuangan Akhir ) sehingga menimbulkan masalah
bau busuk dan meningkatnya volume sampah. Oleh karena itu perlu adanya
sebuah penelitian yang akan mengkaji potensi pembuatan bioetanol dari kulit apel
sebagai energi alternatif terbarukan dan sebagai upaya pemanfaatan limbah kulit
apel.
Apel (Pyrus Malus) dapat hidup subur di daerah yang mempunyai
temperatur udara dingin. Tumbuhan ini di Eropa dibudidayakan terutama di
daerah subtropis bagian utara. Sedang apel lokal di Indonesia yang terkenal
berasal dari daerah Malang, Jawa Timur. Apel sebagai salah satu biomassa
merupakan sumber potensial bioetanol, karena mengandung karbohidrat sebesar
20% yang merupakan sumber glukosa. Glukosa dapat difermentasikan untuk
dijadikan etanol. Pada penelitian ini untuk menghasilkan etanol dari limbah kulit
apel digunakan hidrolisis dengan asam H2SO4 dilanjutkan dengan fermentasi
menggunakan ragi Saccharomyces Cereviseae. Adapun metode yang
digunakanuntuk memaksimalkan kadar etanol yang dihasilkan melalui proses
fermentasi.
Dengan menggunakan limbah kulit apel sebagai bahan dasar pembuatan
energi alternatif ini dapat mengurangi masalah penumpukan sampah organik
sehingga menimbulkan bau busuk dan meningkatkan volume sampah. Selain itu
limbah kulit apel ini sangat mudah untuk di temui di daerah kota Batu, Jawa
Timur. Sehingga bahan bioethanol yang dengan mudah didapat dengan harga
yang murah. Kemudian bioethanol dari limbah kulit apel ini dapat menjadi
pengganti alkohol yang harganya relatif lebih mahal. Misal menggunakan
bioethanol dari limbah kulit apel sebagai pengganti alkohol dalam praktikum
pembelajaran di sekolah.
Dalam penelitian Rhonny dan Danang tahun 2003 yang berjudul
“Laporan Penelitian Pembuatan Bioethanol dari Kulit Pisang” menghasilkan
bioethanol dari kulit pisang yang dibuat melalui proses anoerob dengan bantuan
mikroba yaitu saccharomyses cerevisiae dengan teknik fermentasi. Proses
pembuatan ethanol ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu tahap pertama
pengambilan pati dari kulit pisang, tahap kedua yaitu hidrolisis pati dari kulit
pisang dan tahap ketiga adalah fermentasi. Hidrolisis merupakan suatu reaksi
kimia antara air dengan suatu zat lain yang menghasilkan zat baru, pada
percobaan ini diubah menjadi glukosa. Proses fermentasi yang dilakukan pada
percobaan ini adalah mengubah glukosa menjadi bioethanol oleh saccharomyces
cereviseae.
Perbedaan yang terdapat pada penelitian saya dengan Rhonny dan
Danang yaitu pada bahan dasar dari pembuatan bioethanol. Dari penelitian yang
saya buat, saya menggunakan bahan dasar limbah kulit apel. Sedangkan dari
penelitian Rhonny dan Danang menggunakan bahan dasar kulit pisang.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang diajukan dalam penelitina ilmiah ini adalah
sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pembuatan bioetanol dari kulit apel sebagai


sumber bahan alternatif yang terbarukan dan sebagai upaya pemanfaatan
limbah kulit apel?
2. Bagaimana hasil fermentasi pembuatan bioetanol dari kulit apel sebagai
pemanfaatan limbah kulit apel?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pembuatan bioetanol dari kulit apel sebagai
suatu bentuk energi alternatif yang terbarukan sebagai upaya
pemanfaatan limbah kulit apel.
2. Untuk mengetahui dan mempelajari hasil fermentasi pembuatan bioetanol
dari kulit apel sebagai pemanfaatan limbah kulit apel.

1.4. Luaran
Luaran dari PKM-P ini yaitu Laporan Kemajuan, Laporan Akhir, Artikel
Ilmiah dan/atau produk program.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bioethanol
Bioetanol merupakan senyawa organik yang mengandung gugus
hidroksida dan mempunyai rumus umum CnHn+1OH istilah bioetanol dalam
industri digunakan untuk senyawa etanol atau etil bioetanol dengan rumus kimia
C2H5OH. Etanol termasuk bioetanol primer yaitu bioetanol yang gugus
hidroksinya terikat pada atom karbon primer. Sifat-sifat bioetanol yang mudah
menguap, meudah terbakar, berbau spesifik, cairannya tidak berwarna, dan mudah
larut dalam: air, eter, kloroform, dan aseton (Rhonny. A dan Danang J. W., 2003).

Bioethanol dapat diproduksi dari beberapa bahan secara fermentasi


dengan bantuan mikroorganisme, sebagai penghasil enzim zimosa yang
mengkatalis reaksi biokimia pada perubahan substrat organik. Mikroorganisme
yang dapat digunakan untuk fermentasi terdiri dari ragi, khamir, jamur, dan
bakteri. Mikroorganisme tersebut tidak mempunyai klorofil, tidak mampu
memproduksi makanannya dengan cara fermentasi, dan menggunakan substrat
organik sebagai makanan.
Mikroorganisme Saccharomyces cerevisae lebih banyak digunakan untuk
memproduksi alkohol secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur.
Hal ini disebabkan karena Saccharomyces cerevisae dapat memproduksi alkohol
dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi pada kadar alkohol yang tinggi.
Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 8-20% pada kondidi optimum.
Saccharomyces cerevisae yang bersifat stabil, tidak berbahaya atau menimbulkan
racun, mudah di dapat dan malah mudah dalam pemeliharaan. Bakteri tidak
banyak diguakan untuk memproduksi alkohol secara komersial, karena kebanyakn
bakteri tidak dapat tahan pada kadar alkohol yang tinggi (Sudarmadji K., 1989)
Manusia memanfaatkan Saccharomyces Cereviseae untuk
melangsungkan fermentasi, baik dalam makanan maupun dalam minuman yang
mengandung alkohol. Jenis mikroba ini mampu mengubah cairan yang
mengandung gula menjadi alkohol dan gas CO2 secara cepat dan efisien.
Proses metaolisme pada Saccharomyces Cereviseae merupakan
rangkaian reaksi yang terarah yang berlangsung pada sel. Pada proses ini terjadi
serangkain reaksi yang bersifat merombak suatu bahan tertentu yang
menghasilkan energi serta serangkaian reaksi lain yang bersifat mensintesis
senyawa-senyawa tertentu. Saccharomyces Cereviseae sebenarnya tidak mampu
langsung melakukan fermentasi terhadap makro molekul seperti karbohidrat,
tetapi karena mikroba tersebut memiliki enzim yang disekresikan mampu
memutuskan ikatan glikosida sehingga dapat difermentasi menjadi alkohol atau
asam.
Fermentasi bioetanol dapat didefinisikan sebagai proses penguraian gula
menjadi bioetanol dan karbon doksida yang disebabkan enzim yang dihasilkan
oleh massa sel mikroba. Perubahn yang terjadi selama proses fermentasi adalah:
perubahan glukosa menjadi bioetanol oleh sel-sel Saccharomyces Cereviseae
C6H1206 Saccharomyces Cereviseae C2H5OH + 2CO2
Enzim Zimosa
Glukosa Etanol
Fermentasi bioetanol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
a. Media
Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik terutama
glukosa dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi
bioetanol (Prescott and Dunn, 1959).
b. Suhu
Suhu optimum bagi pertumbuhan Saccharomyces Cereviseae dan
aktifitasinya adalah 25-350C. Suhu memegang peranan penting, karena secara
langsung akan mempengaruhi kadar bioetnol yang dihasilkan (Prescott and
Dunn, 1959).
Pada penelitian ini pertumbuhan Saccharomyces Cereviseae dijaga pada
suhu 270C ( Rhonny. A dan Danang J. W, 2003).
c. Nutrisi
Selain sumber karbon, Saccharomyces Cereviseae juga memerlukan
sumber nitrogen, vitamin, dan mineral dalam pertumbuhannya (Prescott and
Dunn, 1959).
d. pH
pH substrak atau media fermintasi merupakan salah satu faktor yang
menentukan kehidupan Saccharomyces Cereviseae. Salah satu sifat
Saccharomyces Cereviseae adalah bahwa pertumbuhan dapat berlangsung
dengan baik pada kondisi pH 4-6 (Prescott and Dunn, 1959).
e. Volume starter
Volume starter yang ditambahkan 3-7% dari volume media fermentasi.
Jumlah volume starter tersebut sangat baik dan efektif untuk fermentasi setra
dapat menghasilkan kadar alkohol yang relatif tinggi (Monick, J. A., 1968).
Penambahan volume starter yang sesuai pada proses fermentasi adalah 5% dari
volume fermentasi (Prescott and Dunn, 1959) .
f. Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang normal yaitu 3-14 hari, jika waktunya terlalu cepat
bakteri Saccharomyces Cereviseae masih dalam masa pertumbuhan, dan jika
terlalu lama maka bakteri akan mati dan etanol yang dihasilkan tidak akan
maksimal (Prescott and Dunn, 1959).
Selain itu, identifikasi ethanol dapat diketahui dengan reaksi iodoform,
larutan iodin dimasukkan kedalam sedikit alkohol, diikuti dengan larutan
natrium hidroksida secukupnya untuk menghilangkan warna iodin. Jika tidak
ada yang terjadi pada kondisi dingin, maka campuran mungkin perlu
dipanaskan dengan sangat perlahan. Hasil positif dari reaksi adalah timbulnya
endapan triiodometana (sebelumnya disebut iodoform) yang berwarna kuning
pucat pasi CHI3. Selain berdasarkan warnanya, iodooform juga bisa dikenali
dengan baunya yang sedikit mirip bau “obat”. Triiodometana digunakan
sebagai sebuah antiseptik pada berbagai plaster tempelmisalnya yang dipasang
pada luka-luka kecil. Hasil positif endapan kunign pucat dari triiodometana
(iodoform) dapat diperoleh dari reaksi dengan alkohol yang mengandung
klompok gugus-gugus CH3CHOH-R.
2.2. Limbah kulit apel
Tanaman apel merupakan salah satu jenis tanaman buah yang banyak dan
mudah tumbuh di daerah tropis termasuk Indonesia, diantaranya di daerah Batu
(Malang), Pasuruan, Lumajang dan beberapa dataran tinggi yang tidak banyak
berkabut. Ada beberapa jenis buah apel yang banyak dikonsumsi, sedangkan
beberapa lainnya digunakan sebagai produk olahan, antara lain sebagai buah
kaleng, "manisan apel", sirup, jus dan sari buah.
Buangan dari proses olahan yang berupa kulit dan ampas, selama ini
hanya digunakan sebagai substitusi pakan ternak dan pemupukan tanaman. Pada
dasarnya limbah kulit buah apel tidak hanya digunakan sebagai substitusi pakan
ternak dan pemupukan tanaman, akan tetapi limbah kulit buah apel juga dapat
digunakan sebagai energi alternatif pengganti alkohol.

Komposisi kulit apel ditunjukan pada tabel 1.

Tabel 1 Kandungan Kulit Apel


Kalori 58kal Besi 0,3mg
Karbohidrat 14,9gr Vitamin A 90 SI
Lemak 0,4gr Vitamin B1 0,04mg
Protein 0,3gr Vitamin C 5mg
Kalsium 6mg Air 84%
Fosfor 10mg - -
(Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian, 2009)

Amilum atau dalam bahasa sehari- hari disebut pati terdapat dalam
berbagaijenis tumbuh- tumbuhan yang disimpan dalam akar, batang buah, kulit,
dan biji sebagai cadangan makanan. Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan
sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuh- tumbuhan, misalnya apel, pisang
dan lain- lainnya (Poedjiadi A, 1994).
Kulit apel digunakan karena mengandung karbohidrat. Karbohidrat
tersebut dirurai terlebih dahulu melalui proses hidrolisis kemudian di fermentasi
dengan menggunakan Saccharomices cerevisae menjadi alkohol. Bioethanol
(C2H5OH) adalah cairan dari fermentasi gula dari sumber karbohidrat
menggunakan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioethanol diartikan
juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan yang mengandung
pati. Bioethanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat
menyerupai minyak premium (Khairani, 2007).
Berdasarkan tabel 1, komposisi terbanyak pertama pada kulit apel adalah
karbohidrat.
Sehingga kulit apel dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan
biethanol.

Anda mungkin juga menyukai