ARSITEKTUR TRADISIONAL
PENGARUH AGAMA BUDHA, HINDU TERHADAP BENTUK
ARSITEKTUR
NAMA:FENDY PRADANA-142018002
TEKNIK ARSITEKTUR
TAHUN AKADEMIK2018/2109
PENDAHULUAN
Latar belakang
Secara umum masuknya suatu kebudayaan luar (asing) ke dalam suatu kebudayaan
tertentu akan memunculkan tiga hal; pertama, kedua kebudayaan itu akan
berakulturasi; kedua, masing-masing kebudayaan akan berjauhan; dan ketiga, salah satu
kebudayaan akan hilang atau hancur.
Proses kehidupan masyarakat Indonesia (Nusantara) yang terus berhubungan dengan India dan
cina telah terjadi akulturasi terhadap kebudayaan Indonesia. Akulturasi budaya yang paling
mudha dilihat ialah dalam bentuk kesenian, baik itu seni rupa atau seni sastra dan bangunan.
Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dalam bidang seni bangunan di Indonesia dapat kita
jumpai seperti bangunan candi. Bangunan candi yang bercorak Hindu dengan Budha memiliki
perbedaan fungsi. Bangunan candi bercorak Hindu biasanya digunakan sebagai tempat makam
(pripih). Sementara candi bercorak Budha digunakan sebagai tempat pemujaan atau peribadatan.
Selain bangunan candi contoh bangunan lainnya yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu
dan Budha seperti patitiran atau pemandian seperti pemandian di Jalatunda dan Belahan, dan
bangunan Gapura, bentuk bangunannya umumnya menyerupai candi namun memiliki pintu
keluar masuk.
SEJARAH AGAMA HINDU
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500SM. Sumber ajaran Hindu terdapat dalam
kitabsucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhitaatau “himpunan” yaitu:1.Reg Weda,
berisi syair puji-pujian kepada paradewa.2.Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.3.Yajur
Weda, berisi mantera-mantera untukupacara keselamatan.4.Atharwa Weda, berisi doa-doa
untukpenyembuhan penyakit.Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memilikikitab suci
lainnya yaitu:1.Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-halsesaji.2.Kitab Upanishad, berisi
ajaran ketuhanan danmakna hidup.Agama Hindu menganut polytheisme (menyembahbanyak
dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:1.Dewa Brahmana,
sebagai dewa pencipta.2.Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara danpelindung.3.Dewa Siwa,
sebagai dewa perusak.
Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyakdipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan yang
sangatpenting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yangberguna untuk memasak dan upacara-
upacarakeagamaan. Menurut agama Hindu masyarakatdibedakan menjadi 4 tingkatan atau kasta
yangdisebut Caturwarna yaitu:1.Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.2.Kasta Ksatria,
terdiri dari raja, keluarga raja, danbangsawan.3.Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang,
danburuh menengah.4.Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil,dan budak.Selain 4 kasta
tersebut terdapat pula golongan phariaatau candala, yaitu orang di luar kasta yang
telahmelanggar aturan-aturan kasta.Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggapsuci
misalnya, Benares sebagai tempatbersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Ganggayang airnya
dapat mensucikan dosa umat Hindu,sehingga bisa mencapai puncak nirwana.
Selain pendapat di atas, para ahli mendugabanyak pemuda di wilayah Indonesia yang
belajaragama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauanmereka mendirikan organisasi
yang disebutSanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak,mereka kembali untuk
menyebarkannya. Pendapatsemacam ini disebut Teori Arus Balik.
Perkembangan Agama Hindu dan Budha yang telah mempengaruhi sistem pemerintahan,
kepercayaan, sosial dan budaya masyarakat juga tampak pada arsitekturnya. Hal yang paling
dominan adalah munculnya arsitektur Candi sebagai bentuk pengaruh yang tak terpisahkan.
Candi di Indonesia dapat ditelusuri dari Sumatera, Jawa dan Bali. Arsitektur Candi pada
dasarnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan peribadatan dan pemakaman para raja.
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan
keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1]
Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha.
Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat
ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik,
baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan
istilah candi.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan
berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang
disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas,
daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan
hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur
yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya
kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.
2. Terminologi Candi
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan
Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen
tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi
Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan
bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era
Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah
Bujang di Kedah). Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan
Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada
semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi
juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi
Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan
istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.
Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan, akan
tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan
orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti
Borobudur, Prambanan, dan Mendut.
Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat
sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang
Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan
sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni
tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan,
Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin,
Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak
Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah
adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada abad ke-9
Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
a. Candi di Sumatera
Candi di Pulau Sumatra tidak sebanyak yang terdapat di Pulau Jawa. Kebanyakan
candi di Sumatra terletak di lokasi yang cukup jauh dari kota, sehingga tidak banyak
wisatawan yang berkunjung ke sana. Sebagian besar candi di Sumatra, yang telah diketahui
keberadaannya, berada di provinsi Sumatra Utara, khususnya di Kabupaten Mandailing
Natal dan Tapanuli Selatan. Sangat sedikit informasi yang diketahui tentang keberadaan
candi-candi tersebut. Di samping itu, umumnya lokasi candi cukup jauh dari kota, sehingga
tidak banyak orang yang mengetahui keberadaannya atau berkunjung ke sana.
Di Simangambat dekat Siabu, Sumatra Utara, misalnya, terdapat reruntuhan candi Syiwa.
Diduga candi tersebut dibangun pada abad ke-8. Untuk mengetahui lebih banyak
mengenai reruntuhan candi ini masih perlu dilakukan penelitian dan penggalian.
Kawasan lain di Sumatra Utara yang dikenal mempunyai banyak candi ialah kawasan
Padang Lawas, yang mencakup Kecamatan Sipirok, Sibuhuan, Sosopan, Sosa, dan Padang
Bolak. Di kawasan ini terdapat belasan reruntuhan candi Hindu yang kesemuanya terletak
tidak jauh dari sungai. Sebagian besar terdapat di Kecamatan Padang Bolak. Tidak banyak
yang diketahui tentang reruntuhan candi tersebut. Diduga candi-candi tersebut dibangun
pada masa pemerintahan Kerajaan Panei pada abad ke-11 M.
Di antara candi-candi di kawasan Padang Lawas, yang paling dikenal adalah Candi Bahal
yang terletak di Desa Bahal. Candi ini telah diketahui keberadaannya sejak zaman Belanda.
Pemerintah Belanda menamakannya Candi Portibi (kata portibi dalam bahasa Batak berarti
dalam dunia ini). Di kompleks Candi Bahal terdapat tiga bangunan candi yang telah
direnovasi, yaitu Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Ketiga candi tersebut terletak pada
satu garis lurus. Walaupun telah mengalami pemugaran, banyak bagian candi yang sudah
tidak ditemukan lagi sehingga harus diganti dengan batu bata. Candi lain di kawasan ini,
yang sudah mengalami pemugaran adalah Candi Sipamutung. Candi ini merupakan
kompleks percandian yang cukup besar dan terdiri dari beberapa bangunan, namun hampir
tidak ada informasi tertulis yang bisa didapat tentang candi ini.
Di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, juga terdapat beberapa candi, di antaranya
adalah Candi Astano, Candi Tinggi dan Candi Gumpung, Candi Kembar baru, Candi
Gedong, Candi Kedaton, dan Candi Kota Mahligai. Bentuk bangunan candi dan sisa artikel
bersejarah yang dijumpai Muaro Jambi menunjukkan bahwa bangunan ini berlatar
belakang Hinduisme dan diperkirakan dibangun pada abat ke-4 sampai dengan ke-5 M.
Candi yang cukup besar dan terkenal di Sumatra adalah Candi Muara Takus yang terletak
di Provinsi Riau, tepatnya di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto, Kabupaten
Kampar. Di dekat hulunya, Sungai Kampar bercabang dua menjadi Sungai Kampar Kanan
dan Kampar Kiri. Di pinggir Sungai Kampar Kanan inilah letak Desa Muara Takus.
Bangunan candi Muara Takus sebagian besar dibuat dari batu bata merah. Berbeda dengan
reruntuhan candi lain yang ditemukan di Sumatra Utara, Candi Muara Takus merupakan
candi Buddha. Keberadaan candi diduga mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan
Sriwijaya dan juga dapat dijadikan petunjuk bahwa Muara Takus pernah berfungsi sebagai
pelabuhan kapal. Hal itu dimungkinkan mengingat orang Sriwijaya adalah pelaut-pelaut
yang tangguh yang mampu melayari Sungai Kampar sampai jauh ke arah hulu.
Berdasarkan catatan I-Ching, ada yang memperkirakan daerah Muara Takus merupakan
Ibukota Kerajaan Sriwijaya atau paling tidak sebagai kota pelabuhan yang pernah jadi
salah satu pusat belajar agama Buddha, tempat menimba ilmu para musafir dari Cina,
India, dan negara-negara lainnya.
b. Candi di Jawa Barat
Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena
pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala
pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad
lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno
yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya
menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan
Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta
kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan
Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina
yang memuat uraian tentang Sunda.
Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara
(458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang
pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti
Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang
memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak
kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara.
Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S.
Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru
Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa
Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik
Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara
pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi
milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru
Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki
dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah
Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai
sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M),
Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).
Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa
Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja
wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 - 395 M). Raja
Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 - 434 M), yang membangun ibukota
kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami
masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan
oleh menantunya pada tahun 669 M.
Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 - 561 M),
Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa
pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah
yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh
Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura,
yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke
tempat lain.
Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S.
Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di
Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman.
Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M,
mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan.
Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu
Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan
Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga
ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa
Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya,
Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan
di Kerajaan Mataram Hindu.
Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa
reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di
antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi
Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis
(ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya
Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles
Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-
candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan
fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa
Barat.
Pada abad ke-7 sampai dengan awal abad ke-8, di Jawa Tengah terdapat sebuah
kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada akhir paruh pertama abad ke-8, diperkirakan th.
732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram
diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja
Sanjaya, diperkirakan telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng.
Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari
Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa
Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah.
Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya,
Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850
M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya
yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana.
Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh karena itu, candi-
candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu, sedangkan
di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha. Kedua Wangsa yang berkuasa di Jawa
Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan (838 - 851 M)
dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.
Di samping letak dan bentuk bangunannya, candi Jawa tengah mempunyai ciri khas dalam
hal reliefnya, yaitu pahatannya dalam, objek dalam relief digambarkan secara naturalis
dengan tokoh yang mengadap ke depan. Batas antara satu adegan dengan adegan lain tidak
tampak nyata dan terdapat bidang yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang dianggap
sebagai pohon suci yang tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat banyak didapati di
candi-candi Jawa tengah.
Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa
berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan
sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang
diperkirakan lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya,
Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana.
Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan
mempunyai putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan
pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi
yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang.
Dalam Prasasti Dinoyo (760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang
berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan
candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan Candi Songgoriti
di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam skala besar baru muncul lagi pada masa
pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan Pemandian Belahan dan Candi Jalatunda
di Gunung Penanggungan.
Candi di Jawa Timur mempunyai ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan
Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas, seperti
Borobudur, Prambanan atau Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati
kompleks yang agak luas adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi di Jawa
Timur umumnya lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih tinggi dan
berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama candi, orang harus
melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga.
Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil
ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi pintu masuk
digantikan dengan patung atau ukiran naga. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada
reliefnya. Relief pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal
(tipis) dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping dan tokoh yang
digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang.
Candi-candi Hindu di Jawa Timur umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang
berkaitan dengan Trimurti, tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan
Syiwa, misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan
ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang berkaitan
dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa
Timur adalah adanya relief yang menampilkan kisah wayang.
Pada abad ke-13 Kerajaan Majapahit mulai surut pamornya bersamaan dengan masuknya
Islam ke pulau Jawa. Pada masa itu banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama
Hindu dan Buddha ditinggalkan dan akhirnya dilupakan begitu oleh masyarakat yang
sebagian besar telah berganti memeluk agama Islam. Akibatnya, bangunan candi yang
ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi belukar. Ketika kemudian
daerah di sekitarnya berkembang menjadi daerah pemukiman, keadaannya menjadi lebih
parah lagi. Dinding candi dibongkar dan diambil batunya untuk fondasi rumah atau
pengeras jalan, sedangkan bata merahnya ditumbuk untuk dijadikan semen merah.
Sejumlah batu berhias pahatan dan arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk
dipajang di halaman pabrik-pabrik atau rumah dinas milik perkebunan.
Berbeda denga candi-candi Jawa Tengah, selain sebagai monumen candi di Jawa Timur
diduga kuat juga berfungsi sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telah
meninggal. Candi yang merupakan tempat pendarmaan, antara lain, Candi Jago untuk Raja
Wisnuwardhana, Candi Jawi dan Candi Singasari untuk Raja Kertanegara, Candi Ngetos
untuk Raja Hayamwuruk, Candi Kidal untuk Raja Anusapati, Candi Bajangratu untuk Raja
Jayanegara, Candi Jalatunda untuk Raja Udayana, Pemandian Belahan untuk Raja
Airlangga, Candi Rimbi untuk Ratu Tribhuanatunggadewi, Candi Surawana untuk Bre
Wengker, dan candi Tegawangi untuk Bre Matahun atau Rajasanegara. Dalam filosofi
Jawa candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya
kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan tersebut berkaitan erat
dengan konsep “Dewa Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat pada masa yang sama.
Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya relief pada kaki candi yang menggambarkan
legenda dan cerita yang mengandung pesan moral, seperti yang terdapat di Candi Jago,
Surawana, Tigawangi, dan Jawi.
Candi di Jawa Timur jumlahnya mencapai puluhan, umumnya pembangunannya
mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Belum semua
candi dimuat dalam situs web ini. Masih banyak candi, terutama candi-candi kecil yang
belum terliput, di antaranya: Bacem, Bara, Bayi, Besuki, Carik, Dadi, Domasan, Gambar,
Gambar Wetan, Gayatri, Gentong (dalam pemugaran), Indrakila, Jabung, Jimbe, Kalicilik,
Kedaton, Kotes, Lemari, Lurah, Menakjingga, Mleri, Ngetos, Pamotan, Panggih, Pari,
Patirtan Jalatunda, Sanggrahan, Selamangleng, Selareja, Sinta, Songgoriti, Sumberawan,
Sumberjati, Sumberjati, Sumbernanas, Sumur, Watu Lawang, dan Watugede
Berbeda dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali disebut pura, merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura di Bali
merupakan tempat pemujaan umat Hindu. Setiap keluarga Hindu memiliki pura keluarga
untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur keluarga, sehingga pura di Pulau Bali jumlahnya
mencapai ribuan.
Pura Kahyangan Desa.
Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga Kahyangan atau
Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa
dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang
Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem
untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale Agung, karena
pura yang umumnya terletak di pusat desa ini juga digunakan sebagai tempat
melaksanakan musyawarah desa.
Selain Pura Sad Kahyangan, yang termasuk dalam kategori Pura Kahyangan Jagat adalah
Pura Dhang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun oleh pemimpin spiritual pada masa
lalu. Sebagian besar Pura Dhang Kahyangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang Hyang
Nirartha, seorang pedanda (pendeta Hindu) dari Kerajaan Majapahit. Pada zaman
pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka (1489 M), Dhang Hyang
Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Dhang Hyang Dwijendra, mengadakan yatra
(perjalanan spiritual) keliling Bali, Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa tempat yang
disinggahi Dhang Hyang Nirartha dibangunlah beberapa pura, seperti Pura Uluwatu, Pura
Rambut Siwi, dsb.
Pura Luhur. Hampir setiap kabupaten di Bali memiliki Pura Luhur (luhur = tinggi), yaitu
pura yang hari ulang tahunnya diperingati oleh umat dengan cara menyelenggarakan
piodalan yang melibatkan ribuan orang. Pura Tanah Lot, Goa Lawah, dan Pura Uluwatu
juga termasuk dalam kategori pura luhur.
Pura Kawitan
Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh
tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon,
Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan
Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa sejarah Bali
yang tercatat diawali pada abad ke-8 Masehi. Di antara raja-raja Bali, yang banyak
meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan
pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu.
Dalam Prasasti Blanjong ( 913 M) yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Kesari
Warmadewa digunakan kata 'Walidwipa' yang mengacu pada suatu wilayah pemerintahan
di Bali.
Pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit mengadakan ekspedisi ke Bali, dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada dan Panglima Arya Damar. Pada masa itu Bali dikuasai oleh
Kerajaan Bedahulu dengan rajanya Astasura Ratna Bumi Banten dan patihnya Kebo Iwa.
Bali berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak itu Bali merupakan bagian dari
Kerajaan Majapahit. Sebagai kepala pemerintahan di P. Bali, Majapahit mengangkat Raja
Sri Kresna Kepakisan (1350-1380 M) yang berkedudukan di Desa Samprangan dekat kota
Gianyar. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke istana Suwecapura di Gelgel,
Klungkung.
Selama masa kejayaan Majapahit, Kerajaan Gelgel diperintah oleh raja-raja keturunan Sri
Kresna Kepakisan. Ketika Majapahit mengalami keruntuhan, Kerajaan Gelgel yang tidak
lagi menjadi negara jajahan tetap diperintah oleh keturunan Sri Kresna Kepakisan. Salah
satu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong (1460-1550 M), sangat termasyhur karena pada
masa pemerintahannya P. Bali mengalami masa keemasan. Dalem Waturenggong
memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel sampai ke sebagian wilayah Jawa Timur,
Lombok dan Sumbawa.
Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--
1580 M), putra sulung Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahan Dalem Di Made
(1605-1651 M), Gelgel bahkan kehilangan wilayah Blambangan dan Bima (tahun 1633 M)
dan Lombok ( tahun 1640 M). Pada tahun 1651, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
Gusti Agung Maruti. Selama pemerintahan dipegang oleh Gusti Agung Maruti, wilayah
bawahan Gelgel, seperti Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangsem,
Mengwi dan Tabanan melepaskan diri dari kekuasaan Gelgel dan membentuk
pemerintahan sendiri.
Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut
kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke
istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap
mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai
pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.
Pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Pada tahun 1818, Jembrana
berhasil direbut kembali oleh mantan Raja Jembrana, namun pada tahun 1821 kerajaan
tersebut kembali ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Sampai akhir abad ke-18, Bali terpecah
menjadi 8 kerajaan, yaitu : Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangsem, Klungkung,
Mengwi dan Tabanan. Kerajaan-kerajaan kecil ini yang mendasari pembagian wilayah
pemerintahan sebagai kabupaten-kabupaten di Bali sekarang.
Pura Swagina.
Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok masyarakat dengan profesi atau mata
pencarian tertentu. Sebagai contoh, Pura Melanting adalah pura untuk para pedagang, Pura
Subak untuk kelompok petani, dsb.
MACAM-MACAM CANDI YANG ADA DI INDONESIA
A. CANDI BOROBUDUR
Candi borobudur adalah nama sebuah candi Budha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi berada kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.Candi ini didirikan oleh para penganut
agama Budha Mahayana sekitar tahun 800-an masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra.
Candi Borobudur berbentuk punden berundak-undak raksasa, yang terdiri dari enam tingkat
berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama
sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Borobudur
yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan
sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui
untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat
untuk memperkuat konstruksi candi.
Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Ruphadatu. Lantainya
berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara
alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada
ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.
Mulai lantai kelima hingga ke tujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini melambangkan alam atas di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patun
Patung-patung Budha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung tersebut masih tampak samar-samar.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa terbesar
dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini diduga
dulu ada sebuah patung penggambaran Adibudha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar
ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur.
Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-
lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Struktur Borobudur bila dilihat
dari atas membentuk struktur mandala.
B. CANDI PRAMBANAN
Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, dengan tinggi bangunan
utama adalah 47 meter. Candi ini dibangun dibangun pada sekitar tahun 850 masehi (abad ke-9)
oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau
Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini
ditinggalkan dan mulai rusak.
Candi Prambanan ini pernah mengalami renovasi. Banyak bagian candi yang direnovasi,
menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat
lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena
itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak pondasinya saja.
Komplek candi ini terdiri dari 8 candi utama, yaitu Candi Syiwa (tengah), Candi Brahma
(selatan), Candi Wisnu (utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai
kendaraan Trimurti; Candi Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi
(Kerbau) adalah kendaraan Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda. Serta lebih daripada 250
candi kecil
C. CANDI KALASAN
Candi ini mempunyai tinggi 34 meter, panjang dan lebar 45 meter. Terdiri dari tiga
bagian, yaitu bagian bawah atau kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Di sekeliling candi
terdapat stupa dengan tinggi kurang lebih 4,60 dan berjumlah 52 buah.
D. CANDI SEWU
Candi ini merupakan kompleks candi berlatar belakang agama Buddha terbesar di Jawa
tengah di samping Borobudur, yang di bangun pada akhir abad VIII masehi. Candi Sewu dahulu
merupakan candi kerajaan dan salah satu pusat kegiatan keagamaan.
E. CANDI SAMBISARI
Candi Sambisari merupakan candi Hindu beraliran Syiwaistis dari abad ke-X dari
keluarga Syailendra ini berada di wilayah kabupaten Sleman, propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Saat penggalian kompleks candi Sambisari juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya,
misalnya perhiasan, tembikar, prasasti lempengan emas. Dari penemuan tersebut didapat
perkiraan bahwa candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M saat pemerintahan Raja Rakai
Garung dari Kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno).
F. CANDI KEDULAN
Candi ini memiliki arsitektur mirip Candi Sambisari, tapi dengan seni hias yang lebih
kaya. Dari hiasannya justru mendekati Candi Ijo dan Candi Barong.
G. CANDI BARONG
Candi ini berdasarkan bentuk bangunan, pola hias, arca dan ornamen bangunan. Candi ini
diperkirakan dibangun sekitar abad IX-X Masehi. Latar belakang keagamaan candi ini adalah
Hindu.
H. CANDI MENDUT
Candi Mendut didirikan oleh dinasti Syailendra. Bangunan ini berlatar belakang agama
Budha. Dibangun sekitar tahun 824 M.Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang
ditutupi dengan batu alam.
Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan
kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat daya. Di atas basement terdapat lorong
yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil.
Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi bangunan candi ini
adalah 26,4 meter.
I. CANDI SINGASARI
Candi ini merupakan salah satu bangunan terbesar dari masa Hindu- Budha di Jawa Timur.
Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Komplek percandian menempati areal 200 m x 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi
barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hamper 4m, disebut dwarapala)
dan di dekatnya terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di
komplek pusat kerajaan.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas
bujursangkar berukuran 14mx14m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen, ukiran,
arca dan relief.
Bila dilihat dari bentuknya, candi-candi di atas mempunyai bentuk yang hampir sama. Walau
terdapat perbedaan antara candi yang satu dengan yang lain, itu hanya karena pengaruh budaya
derah setempat. Candi-candi di atas banyak mengadopsi gaya arsitektur India, yang kemudian
disesuaikan lagi oleh masyarakat setempat. Bahan yang dipakai didominasi oleh batuan,
sehingga walau umurnya sudah ratusan tahun masih bias terlihat sampai sekarang.
Zaman Hindu-Budha berperan sebagai babak penting dalam perkembangan budaya di kawasan
pulau Jawa. Dipicu intensitas perdagangan maritim, kebudayaan India memperkenalkan konsep
arsitektur berteknologi bata dan batu yang diterapkan pada berbagai candi. Pengaruh India juga
memperkenalkan pola kosmologi dan gagasan kota sebagai entitas sosial budaya dan politik.
Pola ini dilestarikan pada struktur kota pedalaman Jawa yang berpusat pada keraton.
Setelah diterima oleh masyarakat Jawa Kuno, kemudian segala pengaruh budaya luar itu diolah
kembali dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan budaya yang telah berkembang sebelumnya
(kebudayaan prasejarah Indonesia).
Tidak dapat diingkari bahwa arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapat
pengaruh yang kuat dari India. Hal itu terjadi seiring dengan diterimanya agama Hindu-Buddha
dalam masyarakat Jawa Kuno. Karena sistem keagamaannya diterima, maka sudah tentu
didirikanlah tempat-tempat suci sebagai sarana peribadatannya. Dalam perkembangannya,
ternyata arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapatkan coraknya tersendiri
yang berbeda dengan bangunan sejenis di India.
Pengaruh agama dari India yang datang ke Jawa diolah lagi oleh para pendeta-pemikir Jawa
Kuna, lalu muncul gagasan yang memadukan hakekat Siva-Buddha. Oleh karena ada perpaduan
itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda, tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.
Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu,
candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya
dan mungkin bukan bangunan keagamaan.
Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau
Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi
Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan
bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari,
candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok
candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi
Jawi.
Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya,
contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi
Wringin Lawang.
Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hirarki, dari candi
terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala
kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:
Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat
digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya
dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi
Sewu, dan Candi Panataran.
Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau
desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal
yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi
Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat
dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,
raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi
Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi
Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre
Wengker).
c. Jenis berdasarkan Fungsi
b. Berupa Prasasti
– Yupa (batu bertulis) Peniggalan Kerajaan Kutai- Prasasti Canggal (732 M), Prasasti Kalasa
(778M), Prasasti Karang Tengah (824 M), Prasasti
Argapura (963 M), Merupakan SumberSejarah yang mengungkapkan KeberadaanKerajaan
Mataram Kuno.- Tujuh Prasasti Peninggalan Kerajan TarumaNegara, 5 ditemukan di Bogor, 1 di
Cilincing,dan 1 di Lebak Banten, yaitu Prasasti Ciaterun,Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Cianten,
danPrasasti Lebak.-Prasasti Anjuk Ladang beramngka tahun 937 MsumberSejarah yang
mengungkapkn kebetradaan MpuSindok (rajapertama Medang dan pendiriDinasti Isyana
)Prasasti-prasasti sebagai sumber sejarahKerajaan Sriwijaya di Sumatra , Berangka padatahun
684-775 M , Antara lain P. KedudukanBulat , P. Talang Tuwo , P. Telayu Batu Kecil , P.Kota ,
P.Karang Berahi .
c. Pertirtaan
Pertirtaan merupakan pemandian suci untuk rajadan para bangsawan.Contoh petirtaan yang
penting adalah :
Petirtaan Jalatunda, terletak di lereng baratGunung Pananggungan. Dibangun pada
masapemerintahan Raja Airlangga
Pertirtaan Belahan, terletak di lereng timurGunung Pananggungan. Dibangun pada
masapemerintahan Raja Airlangga
Pertirtaan di Candi Tikus, terletak di Trowulan, Mojokerto
Petirtaan Gua Gajah, terletak di Gianyar, Bali
Petirtaan Tirta Empul. Terletak di desaManukaya, Tampaksiring, Bali.
d, Benteng
Istana kerajaan umumnya dibangun di balikbenteng yang kuatBenteng ada 2 macam, yaitu :
Benteng Buatan, dibangun dengan sengajaberwujud tembok, parit yang dalam dan ebar
Benteng alam, yamg berwujud sungai ataupegunungan. Contoh benteng alam adalah
benteng yang terdapat di Bukit Ratu Boko yangdikenal dengan nama Candi Ratu Boko. Candiini
dibangun oleh Balaputradewa.
e. Gapura
Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau
kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan
unsur penting dalam arsitektur Hindu.
Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang. Dalam bidang arsitektur gapura sering
disebut dengan entrance, namun entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol
yang dimaksudkan disini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area. Secara hierarki
sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi
komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah.
1.Kori Agung, yaitu berupa bangunan seperticandi yang di tengahnya terdapat pintu untukkeluar
masuk. Contoh Kori Agung, antara lain :Candi Jedong, Candi Plumbangan, dan CandiBajang R
Pertama kori agung (gapura beratap) merupakan bangunan seperti candi yg di tengahnya terdapat
pintu untuk keluar masuk.
2, candi bentar merupakan gapura berbentuk seperti bangunan candi yang terbelah dua.
Dua jenis gapura dari masa klasik. Gapura kori agung atau paduraksa (kiri) dan gapura candi
bentar (kanan). (Sumber: id.wikipedia.org).
Berupa Relief. Relief adalah hasil seni pahatsebagai pengisi bidang pada dinding candi
1.Relief Candi Borobudur
a.karmawibbhangga, padakaki candi, sebabakibat perbuatan baik / buruk
manusiab.jatakamala-awadana, dinding lorong 1,2perbuatan sang budha,
bodhisatvac.gandawyudha-badhracari, dinding 2-4,usaha sudana mencara ilmu yang
tinggisampai ia bersumpah mengikuti bodhisatva,samantharbhadra
2.Relief Candi Lorojonggrang
a.Cerita ramayana, pada dinding serambi atascandi sywa dan candi brahmana.b.Carita
kresnayana, pada pagar candi wisnu.c.Relief candi jajaghu, mamuat ceritakresnayana,
partayajna, kunjarakarna. 1 kalikita jumpai punokawan.d.Relief candi surowono, memuat
cerita arjunawiwaha, adegan sritanjung yang dibunuholehsidapaksa.e.Relief candi panataran,
memuat ceritaramayana, kresnayana.
3.SENI PATUNG
1.Peninggalan Bercorak Hindu.
a.Patung Dewa-Dewi : trimurti (dalam wujudmaha guru, mahakala, mahabirawa), durga
b.Patung Airlangga, dalam wujud dewa wisnumenunggang garudac.Patung Kendedes,
wujud dewiprajnaparamitad.Patung Kertanegara, wujud joko dolok
danamonghapasae.Patung Kertajasa, wujud dewa sywaf.Patung Dwarapala, wujud
raksasamenggenggam gada2.Peninggalan Patung Budha
1.Arca Aksobhya, sikap bumi sparcamudra /tangan sentuh bumi sebagai saksi,
hadaptimur
2.Arca Ratnasambhawa, sikapwaramudra/memberi anugerah, selatan.
3.Arca Amitaba, sikap dayana mudra /bersemedi, barat.
4.Arca Amogasidhi, sikap abaya mudra /tangan menentramkan,utara.
5.Arca Wairicana, sikap darmacakara mudra /tangan memutar roda darma,di dalam stup
4.SENI SASTRA
1.Masa Kerajaan Kediria.kitab kakawin baratayudha : mpusedah,panuluhb.kitab kakawin
hariwangsa,gatotkacasraya :mpu panuluhc.kitabsmaradhana :
mpu dharmajad.kitab lubdaka,wratasancaya : mpu tanakunge.kitab kresnayana : mpu triguna
2.Masa Kerajaan Majapahita.kitab negara kertagama : mpu prapancab.kitab sutasoma :
mpu tantularc.kitab pararaton : riwayat raja-rajasinghasari,majapahitd.kitab sundayana :
peristiwa bubate.kitab ranggalawe,pemberontakanranggalawaf.kitab sorandoka :
pemberontakan sorag.kitab usana jawa : penakhlukan bali olehgajahmada dan arya dama
Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha
1. Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan Timur, bukti itu berupa tujuh buah prasasti berbentuk yupa. Yupa
ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti itu dibuat kira-kira pada abad ke-5
Masehi.
Kerajaan Kutai di Hulu sungai Mahakam. Pendiri kerajaan itu bernama Kudungga, dipastikan
bukanlah sebuah nama Hindu, namun asli nusantara.
Prasasti-prasasti itu sendiri dibuat untuk memuliakan Raja Kutai yang ketiga, Mulawarman.
Prasasti yang menyebutkan bahwa raja tersebut telah memberikan sumbangan berupa 20.000
ekor sapi kepada para Brahmana.
2. Tarumanegara
Kerajaan Hindu pertama di Jawa Barat dan kedua di nusantara ialah Tarumanegara. Kerajaan ini
terletak di antara sungai Cisadane dan sungai Citarum pada abad ke-5 Masehi. Catatan para
pengelana Cina yang singgah di Jawa seperti kisah Fa-Shien mengenai sebuah kerajaan yang
bernama To-lo-mo (Tarumanegara). Tang dan Sung menyebutkan bahwa kerajaan tersebut
beberapa kali mengirimkan utusannnya ke Cina.
3. Kalingga
Dalam sebuah berita Cina yang berasal dari seorang biksu Budha bernama I-Tsing, pada
pertengahan abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Holing atau Kalingga di daerah Jawa
Tengah. Kerajaan Kalingga diperintah oleh seorang ratu bernama Sima. Pemerintahannya sangat
keras, namun adil dan bijaksana.
4. Melayu
Melayu merupakan salah satu kerajaan terkuat di nusantara. Banyak ahli sejarah yang
memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di daerah Sungai Batanghari, Jambi. Banyaknya
peninggalan kuno seperti candi dan arca yang ditemukan di sana.
Pada masa pemerintahan dinasti Tang, dilaporkan bahwa pada tahun 644 dan 645 utusan dari
negeri Moloyeu (Melayu) membawa hasil bumi. Pengelana Cina I-Tsing kemudian melaporkan
bahwa pada abad ke-7 kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Nama Melayu baru muncul kembali pada abad ke-12 ketika kerajaan Singasari melancarkan
ekspedisi. Pemelayu. Melayu mengalami masa kejayaan pada pemerintahan raja Adityawarman.
Menurut catatan pada arca Manjusti di Candi Jago, Jawa Timur, bahwa Adityawarman
membantu Gajah Mada menaklukkan pulau Bali.
5. Sriwijaya
Sriwijaya pertama kali dijumpai di dalam Prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka. Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan di Sumatera Selatan yang berpusat di Palembang. Pada tahun 671,
seorang biksu Budha bernama I-Tsing menceritakan bahwa ketika ia pergi dari Kanton ke India,
ia singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta.
Kerajaan Sriwijaya juga diperkuat oleh penemuan beberapa prasasti yang semuanya ditulis
dengan Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu,
Kota Kapur, dan Karang Berahi.
6. Mataram Kuno
Kerajaan Mataram berada di wilayah Sungai Bogowonto, Progo, Elo, dan Bengawan Solo di
Jawa Tengah. Kerajaan ini dapat diketahui dari prasasti Canggal. Prasasti Belangka tahun 732 M
menyebutkan bahwa kerajaan itu pada awalnya dipimpin oleh Sana, diteruskan oleh
keponakannya, Sanjaya.
Kerajaan Mataram Kuno terkenal keunggulannya dalam pembangunan candi Agama Budha dan
Hindu. Candi yang diperuntukkan bagi Agama Budha antara lain candi Borobudur yang
dibangun oleh Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi Hindu yang dibangun antara lain
candi Roro Jongrang di Prambanan yang dibangun oleh Raja Pikatan.
8. Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas di Jawa Timur. Kerajaan ini
dibangun oleh Mpu Sendok yang sebelumnya memerintah kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Tengah. Di tempat barunya ini Mpu Sendok mendirikan sebuah dinasti yang bernama Isyana.
9. Kediri
Keputusan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya menghasilkan pembentukan dua kerajaan,
Jenggala dan Panjalu (Kediri). Panjalu berhasil mendesak Jenggala.
Sebagai gantinya, 60 tahun kemudian muncullah kerajaan Kediri. Pada tahun 1116, Kediri
diperintah oleh Sri Kameswara (1116-1135). Kemudian ia digantikan oleh Jayabaya. Jayabaya
memerintah antara tahun 1135 hingga 1157, ia memakai lambang Garudamukha untuk
menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan sah Airlangga.
10. Singasari
Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok setelah dia berhasil mengalahkan Kediri. Riwayat
Ken Arok sendiri tidak banyak diketahui karena namanya tidak dikenal dalam prasasti. Dalam
kitab Pararaton dan Negarakertagama, ia dikatakan berasal dari sebuah keluarga biasa dari desa
Pungkur. Melalui bantuan pendeta bernama Danghyang Lohgawe, ia kemudian berhasil bekerja
pada Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung.
Tertarik oleh isteri sang akuwu yang cantik bernama Ken Dedes, Ken Arok kemudian
membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring. Setelah itu ia
menikahi Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung.
Kisah tragedi Anusapati, anak yang dikandung Ken Dedes dari Tunggul Ametung, mengetahui
tragedi yang menimpa ayahnya. Ia kemudian membunuh ayah tirinya itu dengan keris yang telah
membunuh ayah kandungnya dan mengambil alih tahta kerajaan.
Pemerintahan Anusapati berlangsung selama 21 tahun (1227 – 1248). Masa pemerintahannya
tidak banyak diketahui selain dia gemar mengabung ayam, dia dibunuh oleh Tohjaya, seorang
anak Ken Arok dari istri lainnya yang bernama Ken Umang. Pada gilirannya, Tohjaya kemudian
dibunuh oleh anak Anusapati yang bernama Ranggawuni. Ranggawuni naik tahta pada tahun
1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana. Ia merupakan raja Singasari pertama yang namanya
diabadikan dalam prasasti Narasingharmuti.
Perluasan pengaruh Kemaharajaan Cina – Mongol di bawah Khubilai Khan menimbulkan
tantangan terhadap kekuasaan Kertanegara. Ketika sang kaisar mengirimkan utusan yang
menuntut agar Singasari tunduk kepada Cina. Kertanegara melukai wajah sang utusan yang
bernama Mengki Khubilai Khan murka dan mengirimkan pasukan untuk menyerang Jawa pada
tahun 1292.
Akan tetapi, keruntuhan Kertanegara ternyata datang dari jurusan lain. Seorang keturunan raja-
raja Kediri bernama Jayakatwang memberontak terhadap kekuasaan Singasari untuk
memulihkan kembali kejayaan Kediri yang diruntuhkan oleh leluhur Kertanegara. Jayakatwang
berhasil membunuh Kertanegara meskipun menantunya yang bernama Raden Wijaya berhasil
lolos.
11. Majapahit
Pendiri Majapahit ialah Raden Wijaya. Raden Wijaya merupakan menantu Kertanegara yang
berhasil meloloskan diri ke Madura setelah kematian mertuanya. Dengan bantuan penguasa
Madura bernama Arya Wirajaya, ia menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Jayakatwang di
Kediri. Jayakatwang kemudian memberikan daerah Hutan Tarik (sekarang Trowulan) kepada
Raden Wijaya.
Raden Wijaya diam-diam memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk membalas
dendam. Pada awal tahun 1293 tentara Cina – Mongol yang dikirim untuk menghukum
Kertanegara tiba di Pulau Jawa. Raden Wijaya berhasil membunuh Jayakatwang.
Setelah berhasil mengalahkan Kediri, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan
memaksa mereka lari meninggalkan pulau Jawa. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan
gelar Sri Kertarajasa Jaya Wardhana pada 12 November 1293.
Para pengikut Kertarajasa yang berjasa dalam mendirikan Majapahit kemudian diangkat menjadi
pejabat tinggi kerajaan. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh, yaitu Arya Wiraraja. Pu Tambi
(Nambi), dan Ronggo Lawe. Pengangkatan tersebut menimbulkan rasa tidak puas bagi jabatan
yang lebih tinggi.
Timbullah serangkaian pemberontakan seperti yang dilakukan Ronggo Lawe pada tahun 1295
serta Pu Sora dan Juru Demung antara tahun 1298 – 1300. Di tengah-tengah kekacauan ini,
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309.
Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara yang bergelar Sri Jayanegara. Pemberontakan
Nambi tahun 1316 dapat dipadamkan oleh Mahapati. Kemudian menyusul pemberontakan Semi
pada tahun 1318 dan Kuti 1319. Setelah peristiwa itu, raja Jayanegara sadar kalau Mahapati
ternyata tukang fitnah. Akhirnya, ia ditangkap dan di hukum mati.
Ketika terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada.
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tanca. Tahta kerajaan kemudian diwakilkan
kepada puterinya, Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan). Selama pemerintahan ratu tersebut,
kemelut politik masih muncul. Hal tersebut terlihat dengan adanya pemberontakan Sadeng pada
tahun 1331. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan
atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Mangkubumi (Perdana Menteri).
Pada saat dilantik, Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut sebagai
Sumpah Palapa. Dalam sumpahnya itu, Gajah Mada bertekad untuk tidak berhenti beristirahat
sampai seluruh nusantara dipersatukan di bawah panji Majapahit. Tribhuwanatunggadewi
menduduki tahta selama 22 tahun dan kemudian menyerahkan tahta Majapahit kepada puteranya
Hayam Wuruk. Hayam Wuruk menjadi raja dengan gelar Sri Rajasanegara. Pemerintahannya
berlangsung selama 39 tahun, ia didampingi oleh Gajah Mada sebagai patihnya.
Di bawah duet Sri Rajasanegara dan Gajah Mada, persatuan nusantara perlahan-lahan dapat
diwujudkan meskipun sempat diwarnai keributan dengan adanya peristiwa Bubat. Peristiwa yang
menewaskan Maharaja Sunda Padjajaran yang bernama Sri Bhaduga dan Dyah Pitaloka,
puterinya yang menjadi calon permaisuri Hayam Wuruk. Peristiwa ini meretakkan Hayam
Wuruk dan Gajah Mada.
Hayam Wuruk sangat memperhatikan kehidupan agama. Ia berusaha mempersatukan tiga aliran
agama, yaitu Budha, Siswa dan Wisnu. Kerukunan hidup beragama di Majapahit dilukiskan oleh
Mpu Tantular dalam bukunya Sutasoma dengan kalimat “Bhineka Tunggal Eka”. Beberapa
pujangga besar yang hidup pada masa tersebut adalah Mpu Prapanca dengan karyanya kitab
Negarakertagama dan Mpu Tantular dengan karyanya Arjuna Wiwaha.
Kematian Gajah Mada pada tahun 1364, yang disusul oleh wafatnya Hayam Wuruk pada tahun
1389 menyebabkan kemunduran besar bagi Majapahit.
Pengaruh fisikmerupakan tinggalan dari zaman Hindu-Buddha yang dapat kita lihat secara
fisik pada benda-benda masa kini. Sedangkan pengaruh nonfisik merupakan tinggalan yang
memengaruhi adat, pola pikir, ataupun perilaku pada masyarakat masa kini. Penasaran apa
saja pengaruh Hindu-Buddha di masa kini?
1. FISIK
a. Wilayah Nusantara
Wilayah Indonesia saat ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh kehadiran kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha, yaitu Singasari, Sriwijaya, dan Majapahit. Pada masa Sriwijaya, wilayah
kekuasaannya meliputi daerah Malayu di sekitar Jambi, daerah yang saat ini menjadi Pulau
Bangka, daerah Lampung Selatan, serta usaha Sriwijaya untuk menaklukan Pulau Jawa. Di
masa Singasari, wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Pahang (saat ini Malaysia), Malayu
(saat ini Sumatera Barat), Gurun (nama pulau di Indonesia bagian timur), Bali, seluruh Pulau
Jawa, Bakulapura dan Tanjungpura (saat ini wilayah di barat daya Kalimantan).
Peradaban Majapahit yang lebih maju dalam perniagaan dan seni serta wilayah kekuasaan yang
luas, mengantarkannya menjadi salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Asia Tenggara.
Kerajaan maritim Hindu-Buddha memiliki pengaruh yang luas karena tidak terbatas hanya di
daratan saja, sehingga dapat melakukan penjelajahan mengarungi lautan untuk menyebarluaskan
pengaruh di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Pada akhirnya, wilayah-wilayah kerajaan yang terbentuk pada masa itu membentuk wawasan
tentang wilayah Nusantara yang sebagian besar menjadi negara Indonesia.
Peta wilayah kekuasaan Majapahit. (Sumber: Sejarah Nasional Indonesia II)
b. Bidang Arsitektur
Salah satu pengaruh yang masih bertahan hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan di
masa lalu yang banyak digunakan oleh bangunan masa kini. Beberapa bagian bangunan yang
terpengaruh adalah pembagian bangunan dan halaman, atap bangunan, dan gapura.
Pertama adalah bagian bangunan. Candi terdiri dari tiga bagian utama yaitu bhurloka (dunia
manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).
Konsep ini kemudian diadaptasi dan saat ini dapat kamu lihat pada rumah-rumah tradisional
Bali. Biasanya rumah tradisional Bali memiliki halaman yang luas dan dibagi ke dalam tiga
bagian tersebut. Bangunan rumahnya terdiri dari bagian utama (bagian atas bangunan), madya
(badan bangunan), dan nista (kaki bangunan).
Selain pada pembagian bagian bangunan, pengaruh arsitektur juga dapat dilihat pada atap
bangunan. Contohnya adalah Masjid Agung Demak yang menggunakan atap tumpang seperti
pada pura.
Selain dua hal di atas, bagian gapura juga dapat mengalami pengaruh dari Hindu-Buddha.
Dua jenis gapura dari masa klasik. Gapura kori agung atau paduraksa (kiri) dan gapura candi
bentar (kanan). (Sumber: id.wikipedia.org).
Misalnya, Masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus tahun 1549 M. Masjid ini memiliki
arsitektur seperti bangunan pura pada bangunan. Selain itu, pada bagian gerbangnya memiliki
bentuk gapura jenis candi bentar.
2. NONFISIK
a. Teknologi Perkapalan
Teknologi perkapalan semakin maju sejak masa Hindu-Buddha khususnya Sriwijaya. Ciri
khasnya antara lain adalah badan (lambung) kapal berbentuk seperti huruf V.
Macam-macam bagian lambung kapal. Bentuk pertama (atas) adalah bentuk lambung kapal V.
(Sumber: maratimeworld.web.id).
Ciri khas lainnya adalah bentuk haluan dan buritan yang simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air
di bagian lambungnya, tidak menggunakan paku besi dalam pembuatannya, serta kemudi
berganda di kiri dan kanan buritan. Biasanya, kapal-kapal ini dibuat dengan teknik menyambung
satu papan dengan papan lainnya, kemudian mengikatnya dengan tali ijuk.
Kapal pada masa klasik, yang muncul pada relief di Candi Borobudur dan rekonstruksinya.
(Sumber: hurahura.com)
b. Navigasi Pelayaran
Pelayaran bangsa Indonesia pada masa kuno bergantung pada sistem angin musim. Pengetahuan
tentang angin darat dan angin laut penting bagi pelaut. Untuk mengetahui arah, pada siang hari
para pelaut memanfaatkan matahari, lalu di malam hari mereka menggunakan letak kelompok
bintang tertentu di langit, seperti bintang mayang, bintang biduk, dan sebagainya.
c. Sistem Pendidikan
Jika saat ini kamu banyak menemukan sekolah yang memiliki asrama, itu adalah salah satu
warisan masa klasik. Salah satu kerajaan yang terkenal dengan pendidikan agama Buddha-nya
dan memiliki asrama adalah Sriwijaya. Saat itu kerajaan memiliki asrama (mandala) sebagai
tempat untuk belajar ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya. Asrama biasanya terletak di sekitar
kompleks candi dan digunakan oleh para murid.
Pada masa awal Hindu-Buddha masuk ke Indonesia dari India, Bahasa Sanskerta hanya
digunakan oleh kaum pendeta. Bahasa lain yang digunakan oleh masyarakat pada masa itu
adalah Bahasa Pali. Pada akhirnya, Sanskerta-lah yang banyak memengaruhi Bahasa Indonesia.
Berikut beberapa kata yang telah diserap atau sering digunakan dalam Bahasa Indonesia:
e. Upacara/Tradisi
Upacara/tradisi di masa Hindu dan Buddha banyak yang bertahan hingga saat ini. Beberapa
upacara atau tradisi yang bertahan hingga saat ini seperti upacara ngaben, tradisi potong gigi,
hari raya Waisak, ataupun wayang. Ngaben adalah upacara kematian dengan membakar
mayatnya dan abunya dibuang ke laut. Tujuannya adalah untuk melepaskan Sang Atma (roh)
dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam
Atmanam).
Upacara Ngaben di Bali. (Sumber: brilio.net)
Tradisi wayang juga masih bertahan hingga saat ini. Wayang mengalami percampuran dengan
kebudayaan India melalui cerita-cerita seperti cerita Ramayana dan Mahabarata. Pagelaran
wayang hingga sekarang masih sering diadakan di Indonesia mulai dari pagelaran wayang kulit,
wayang golek.
Akulturasi Kebudayaan merupakan percampuran dari unsur, ciri khas kebudayaan satu dan juga
kebudayaan lain, percampuran inilah kemudian membentuk suatu Kebudayaan baru yang ciri
khasnya berasal dari dua budaya itu. Unsur yang khas pada masing-masing kebudayaan itu tak
dapat hilang dengan muncunya kebudayaan baru tersebut. Proses dari Akulturasi kebudayaan
yang bercampur tersebu haruslah mempunyai unsur seimbang. Dan berikut contoh dari
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dengan kebudayaan Hindu Budha :
Di India, candi fungsinya adalah untuk tempat pemujaan. Tetapi, di Indonesia disamping utnuk
tempat pemujaan, namun, juga dipakai sebagai tempat pemakaman raja-raja. Dari penjelasan
diatas, bahwa memang ada perpaduan kebudayaan yakni fungsi candi di India dan juga tradisi
pemujaan roh dari nenek moyang serta sebagai pemakaman di Indonesia.
Karena pemimpin-pemimpin yang memang telah ada selanjutnya diangkat jadi seorang raja
dengan kekuasaannya yakni kerajaan. Bukti dari akulturasi kebudayaan Nusantara dengan
kebudayaan Hindu Budha pada bidang pemerintahan bisa dilihat dari syarat seorang bisa menjadi
seorang raja, yaitu harus mempunyai kesaktian danjuga wibawa. Raja dengan kesaktian dinila
punya kedekatan dengan para dewa.
6. Contoh Akulturasi Bidang Arsitektur
Arsitektur pada bidang Arsitektur seperti bentuk bangunan keagamaan yakni banyak candi yang
terkenal di masa Hindu Budha. Contohnya : Candi Tikus, Candi Sewu, Candi Gedong
Song,Candi Cetho, Candi Jatulanda dan sebagainya.