Anda di halaman 1dari 45

TUGAS 5

SEJARAH ARSITEKTUR TIMUR

ARSITEKTUR TRADISIONAL
PENGARUH AGAMA BUDHA, HINDU TERHADAP BENTUK
ARSITEKTUR

NAMA:FENDY PRADANA-142018002

DOSEN : RENY KARTIKA SARY, S.T.,M.T

TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

TAHUN AKADEMIK2018/2109
PENDAHULUAN

 Latar belakang
Secara umum masuknya suatu kebudayaan luar (asing) ke dalam suatu kebudayaan
tertentu akan memunculkan tiga hal; pertama, kedua kebudayaan itu akan
berakulturasi; kedua, masing-masing kebudayaan akan berjauhan; dan ketiga, salah satu
kebudayaan akan hilang atau hancur.

Proses kehidupan masyarakat Indonesia (Nusantara) yang terus berhubungan dengan India dan
cina telah terjadi akulturasi terhadap kebudayaan Indonesia. Akulturasi budaya yang paling
mudha dilihat ialah dalam bentuk kesenian, baik itu seni rupa atau seni sastra dan bangunan.

Pengaruh kebudayaan Hindu dan Budha dalam bidang seni bangunan di Indonesia dapat kita
jumpai seperti bangunan candi. Bangunan candi yang bercorak Hindu dengan Budha memiliki
perbedaan fungsi. Bangunan candi bercorak Hindu biasanya digunakan sebagai tempat makam
(pripih). Sementara candi bercorak Budha digunakan sebagai tempat pemujaan atau peribadatan.

Umumnya bangunan candi memiliki tiga bagian;


1. Kaki candi berbentuk persegi.
2. tubuh candi terdiri atas bilik-bilik yang berisi arca, tiap sisi memiliki arca yang berbeda
bentuk.
3. Bagian ketiga yaitu atap candi, pada puncaknya terdapat lingga atau stupa (tempat
pemujaan).
Berikut contoh-contoh candi yang bercorak kebudayaan Hindu dan Budha:
Bercorak Hindu; seperti candi Prambanan, candi Ratu Boko, candi Dieng, candi Jago, dan
lainnya.
Bercorak Budha; seperti candi Borobudur, candi Mendut, candi Kalasan, candi Sewu, candi
Muara Takus, dan lainnya.

Selain bangunan candi contoh bangunan lainnya yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu
dan Budha seperti patitiran atau pemandian seperti pemandian di Jalatunda dan Belahan, dan
bangunan Gapura, bentuk bangunannya umumnya menyerupai candi namun memiliki pintu
keluar masuk.
 SEJARAH AGAMA HINDU
Agama Hindu berkembang di India pada ± tahun 1500SM. Sumber ajaran Hindu terdapat dalam
kitabsucinya yaitu Weda. Kitab Weda terdiri atas 4 Samhitaatau “himpunan” yaitu:1.Reg Weda,
berisi syair puji-pujian kepada paradewa.2.Sama Weda, berisi nyanyian-nyanyian suci.3.Yajur
Weda, berisi mantera-mantera untukupacara keselamatan.4.Atharwa Weda, berisi doa-doa
untukpenyembuhan penyakit.Di samping kitab Weda, umat Hindu juga memilikikitab suci
lainnya yaitu:1.Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-halsesaji.2.Kitab Upanishad, berisi
ajaran ketuhanan danmakna hidup.Agama Hindu menganut polytheisme (menyembahbanyak
dewa), diantaranya Trimurti atau “Kesatuan Tiga Dewa Tertinggi” yaitu:1.Dewa Brahmana,
sebagai dewa pencipta.2.Dewa Wisnu, sebagai dewa pemelihara danpelindung.3.Dewa Siwa,
sebagai dewa perusak.
Selain Dewa Trimurti, ada pula dewa yang banyakdipuja yaitu Dewa Indra pembawa hujan yang
sangatpenting untuk pertanian, serta Dewa Agni (api) yangberguna untuk memasak dan upacara-
upacarakeagamaan. Menurut agama Hindu masyarakatdibedakan menjadi 4 tingkatan atau kasta
yangdisebut Caturwarna yaitu:1.Kasta Brahmana, terdiri dari para pendeta.2.Kasta Ksatria,
terdiri dari raja, keluarga raja, danbangsawan.3.Kasta Waisya, terdiri dari para pedagang,
danburuh menengah.4.Kasta Sudra, terdiri dari para petani, buruh kecil,dan budak.Selain 4 kasta
tersebut terdapat pula golongan phariaatau candala, yaitu orang di luar kasta yang
telahmelanggar aturan-aturan kasta.Orang-orang Hindu memilih tempat yang dianggapsuci
misalnya, Benares sebagai tempatbersemayamnya Dewa Siwa serta Sungai Ganggayang airnya
dapat mensucikan dosa umat Hindu,sehingga bisa mencapai puncak nirwana.

 SEJARAH AGAMA BUDDHA


Agama Buddha diajarkan oleh Sidharta Gautama diIndia pada tahun ± 531 SM. Ayahnya
seorang rajabernama Sudhodana dan ibunya Dewi Maya. Buddhaartinya orang yang telah sadar
dan ingin melepaskandiri dari samsara.Kitab suci agama Buddha yaitu Tripittaka artinya
“TigaKeranjang” yang ditulis dengan bahasa Poli. Adapunyang dimaksud dengan Tiga
Keranjang adalah:
1.Winayapittaka : Berisi peraturan-peraturan danhukum yang harus dijalankan oleh umat
Buddha.
2.Sutrantapittaka : Berisi wejangan-wejangan atauajaran dari sang Buddha.
3.Abhidarmapittaka : Berisi penjelasan tentangsoal-soal keagamaan.Pemeluk Buddha wajib
melaksanakan Tri Dharma atau“Tiga Kebaktian” yaitu:
1.Buddha yaitu berbakti kepada Buddha.
2.Dharma yaitu berbakti kepada ajaran-ajaranBuddha.
3.Sangga yaitu berbakti kepada pemeluk-pemelukBuddha.Disamping itu agar orang
dapatmencapai nirwanaharus mengikuti 8 (delapan) jalan kebenaran atauAstavidha
yaitu:1.Pandangan yang benar.
2.Niat yang benar.
3.Perkataan yang benar.
4.Perbuatan yang benar.
5.Penghidupan yang benar.
6.Usaha yang benar.
7.Perhatian yang benar.
8.Bersemedi yang benar.
Karena munculnya berbagai penafsiran dari ajaranBuddha, akhirnya menumbuhkan dua aliran
dalamagama Buddha yaitu:1.Buddha Hinayana, yaitu setiap orang dapatmencapai nirwana atas
usahanya sendiri.2.Buddha Mahayana, yaitu orang dapat mencapainirwana dengan usaha
bersama dan salingmembantu.Pemeluk Buddha juga memiliki tempat-tempat yangdianggap suci
dan keramat yaitu :1.Kapilawastu, yaitu tempat lahirnya Sang Buddha.2.Bodh Gaya, yaitu
tempat Sang Buddha bersemedidan memperoleh Bodhi.3.Sarnath/ Benares, yaitu tempat Sang
Buddhamengajarkan ajarannya pertama kali.4.Kusinagara, yaitu tempat wafatnya Sang Buddha.

 PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYAPENGARUH HINDU-


BUDDHADI INDONESIA
A.Proses Masuk dan Berkembangnya Hindu-Budha di Indonesia
Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asiaterdapat dua negeri besar yang tingkat
peradabannyadianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Keduanegeri ini menjalin hubungan
ekonomi danperdagangan yang baik. Arus lalu lintas perdagangandan pelayaran berlangsung
melalui jalan darat danlaut. Salah satu jalur lalu lintas laut yang dilewatiIndia-Cina adalah Selat
Malaka. Indonesia yangterletak di jalur posisi silang dua benua dan duasamudera, serta berada di
dekat Selat Malakamemiliki keuntungan, yaitu:1.Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing,
sepertiIndia, Cina, Arab, dan Persia,2.Kesempatan melakukan hubungan
perdaganganinternasional terbuka lebar,3.Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakinluas,
dan4.Pengaruh asing masuk ke Indonesia, sepertiHindu-Budha.Keterlibatan bangsa Indonesia
dalam kegiatanperdagangan dan pelayaran internasionalmenyebabkan timbulnya percampuran
budaya. Indiamerupakan negara pertama yang memberikanpengaruh kepada Indonesia, yaitu
dalam bentukbudaya Hindu. Ada beberapa hipotesis yangdikemukakan para ahli tentang proses
masuknyabudaya Hindu-Buddha ke Indonesia.1. Hipotesis BrahmanaHipotesis ini
mengungkapkan bahwa kaumbrahmana amat berperan dalam upaya penyebaranbudaya Hindu di
Indonesia. Para brahmana
mendapat undangan dari penguasa Indonesia untukmenobatkan raja dan memimpin upacara-
upacarakeagamaan. Pendukung hipotesis ini adalah VanLeur.2.Hipotesis KsatriaPada hipotesis
ksatria, peranan penyebaranagama dan budaya Hindu dilakukan oleh kaumksatria. Menurut
hipotesis ini, di masa lampau diIndia sering terjadi peperangan antargolongan didalam
masyarakat. Para prajurit yang kalah atau jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkanIndia.
Rupanya, diantara mereka ada pula yangsampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah
yangkemudian berusaha mendirikan koloni-koloni barusebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu
pulaterjadi proses penyebaran agama dan budayaHindu. F.D.K. Bosch adalah salah
seorangpendukung hipotesis ksatria.3. Hipotesis WaisyaMenurut para pendukung hipotesis
waisya, kaumwaisya yang berasal dari kelompok pedagang telahberperan dalam menyebarkan
budaya Hindu keNusantara. Para pedagang banyak berhubungandengan para penguasa beserta
rakyatnya. Jalinanhubungan itu telah membuka peluang bagiterjadinya proses penyebaran
budaya Hindu. N.J.Krom adalah salah satu pendukung dari hipotesiswaisya4. Hipotesis
SudraVon van Faber mengungkapkan bahwapeperangan yang tejadi di India telah
menyebabkangolongan sudra menjadi orang buangan. Merekakemudian meninggalkan India
dengan mengikutikaum waisya. Dengan jumlah yang besar, didugagolongan sudralah yang
memberi andil dalampenyebaran budaya Hindu ke Nusantara.

 Selain pendapat di atas, para ahli mendugabanyak pemuda di wilayah Indonesia yang
belajaragama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauanmereka mendirikan organisasi
yang disebutSanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak,mereka kembali untuk
menyebarkannya. Pendapatsemacam ini disebut Teori Arus Balik.

B.Pengaruh Hindu Budha Di Indonesia


Masuknya pengaruh unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India telah mengubah dan
menambahkhasanah budaya Indonesia dalam beberapa aspekkehidupan.
Tersebarnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia berpengaruh luas
dalamkehidupan masyarakat Indonesia, diantaranyadalam bidang berikut ini :
1.Kepercayaan
Bangsa Indonesia mulai menganut agama Hindudan Budha walaupun tidak
meninggalkankepercayaan aslinya, seperti pemujaan terhadaproh nenek moyang.
2.Sosial
Dalam bidang sosial, terjadi bentuk perubahandalam tata kehidupan sosial masyarakat.
Misalnyadalam masyarakat Hindu diperkenalkan adanyasistem kasta.
3.Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, tidak begitu besarpengaruh dan perubahannya, karena
masyarakatIndonesia telah mengenal aktifitas perekonomianmelalui pelayaran dan perdagangan
jauh sebelummasuknya pengaruh Hindu-Budha.
4.Kebudayaan
Pengaruh kebudayaan Hindu-budha terlihat darihasil-hasil kebudayaan seperti bangunan candi,
senisastra, berupa cerita-cerita epos diantaranya EposMahabharata dan Epos Ramayana.
Pengaruhlainnya adalah sistem tulisan. Kebudayaan Hindu-Budha amat berperan
memperkenalkan sistemtulisan di masyarakat Indonesia.
5. Agama
Ketika memasuki zaman sejarah, masyarakat diIndonesia telah menganut kepercayaan
animismedan dinamisme. Masyarakat mulai menerima sistemkepercayaan baru, yaitu agama
Hindu-Buddha sejakberinteraksi dengan orang-orang India. Budaya barutersebut membawa
perubahan pada kehidupankeagamaan, misalnya dalam hal tata krama,
upacara-upacara pemujaan, dan bentuk tempatperibadatan.
6. Pemerintahan
Sistem pemerintahan kerajaan dikenalkan olehorang-orang India. Dalam sistem ini kelompok-
kelompok kecil masyarakat bersatu dengankepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku
yangterbaik dan terkuat berhak atas tampuk kekuasaankerajaan. Oleh karena itu, lahir kerajaan-
kerajaan,seperti Kutai, Tarumanegara, dan Sriwijaya.
7. Arsitektur
Salah satu tradisi megalitikum adalah bangunanpunden berundak-undak. Tradisi tersebut
berpadudengan budaya India yang mengilhami pembuatanbangunan candi. Jika kita
memperhatikan CandiBorobudur, akan terlihat bahwa bangunannyaberbentuk limas yang
berundak-undak. Hal inimenjadi bukti adanya paduan budaya India-Indonesia.
8. Bahasa
Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesiameninggalkan beberapa prasasti yang
sebagianbesar berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta.Dalam perkembangan selanjutnya
bahkan hinggasaat ini, bahasa Indonesia memperkaya diri denganbahasa Sanskerta itu. Kalimat
atau kata-katabahasa Indonesia yang merupakan hasil serapandari bahasa Sanskerta, yaitu
Pancasila, DasaDharma, Kartika Eka Paksi, Parasamya PurnakaryaNugraha, dan sebagainya.
9. Sastra
Berkembangnya pengaruh India di Indonesiamembawa kemajuan besar dalam
bidang sastra.Karya sastra terkenal yang mereka bawa adalahkitab Ramayana dan Mahabharata.
Adanya kitab-kitab itu memacu para pujangga Indonesia untuk
menghasilkan karya sendiri. Karya-karya sastrayang muncul di Indonesia adalah
:1.Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa,2.Sutasoma, karya Mpu Tantular, dan3.Negarakertagama,
karya Mpu Prapanca.

C.Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha di Indonesia


a. a.Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan
b. Kerajaan Kutaib.Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
c. Kerajaan Salakanagara (150-362)
d. Kerajaan Tarumanegara (358-669)
e. Kerajaan Sunda Galuh (669-1482)
f. Kerajaan Kalingga
g. Kerajaan Mataram Hindu
h. Kerajaan Kadiri (1042 – 1222)
i. Kerajaan Singasari (1222-1292)
j. Kerajaan Majapahit (1292-1527)c.Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra
k. Kerajaan Malayu Dharmasraya
l. Kerajaan Sriwijaya

D.Teori Masuknya Agama Hindu Budha


1. Teori Brahmana
Di kemukakan oleh J.C Van Leur. Menurutnyapara Brahmana sangat berperan dalampenyebaran
agaman Hindu di Indonesia. ParaBrahmana diundang oleh penguasa nusantarauntuk menobatkan
raja, memimpin upacara-upacara keagamaan, dan mengajarkan ilmupengetahuan.
2. Teori Ksatria
Dikemukakan oleh C.C Berg. Menurutnyaagama Hindu disebarkan oleh para prajuritperang yang
kalah dan melakukan migrasi kenusantara.
3. Teori Waisya
Dikemukakan oleh N.J Krom. Menurutnyaagama Hindu disebarkan oleh para pedagangyang
datang ke nusantara.
4. Teori Arus Balik
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch. Menurutnyaagama Hindu Budha dibawa oleh para
pemudayang khusus belajar agama di India
E.Peninggalan Hindu-Buddha di Indonesia
Peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan yangbercorak Hindu-Budha di daerah-daerah
Indonesiaumumnya berupa seni bangunan (candi,petirtaan/pemandian, benteng, gapura), seni
rupa(relief, dan patung), serta karya sastra.
 Perkembangan Arsitektur Hindu Budha di Indonesia

Perkembangan Agama Hindu dan Budha yang telah mempengaruhi sistem pemerintahan,
kepercayaan, sosial dan budaya masyarakat juga tampak pada arsitekturnya. Hal yang paling
dominan adalah munculnya arsitektur Candi sebagai bentuk pengaruh yang tak terpisahkan.
Candi di Indonesia dapat ditelusuri dari Sumatera, Jawa dan Bali. Arsitektur Candi pada
dasarnya adalah bangunan yang digunakan untuk tujuan peribadatan dan pemakaman para raja.

1. Candi Hindu -Buddha

Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan
keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha.[1]
Bangunan ini digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewi ataupun memuliakan Buddha.
Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat
ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik,
baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, juga disebut dengan
istilah candi.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung
Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan
berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang
disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas,
daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.

Beberapa candi seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detil, kaya akan
hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur
yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya
kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.
2. Terminologi Candi

Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan
Dewi Durga sebagai dewi kematian.[6] Karenanya candi selalu dihubungkan dengan monumen
tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi
Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan
bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era
Hindu-Buddha di Nusantara, yaitu di Indonesia dan Malaysia saja (contoh: Candi Lembah
Bujang di Kedah). Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan
Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada
semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi
juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi
Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan
istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.

3. Lokasi Sebaran Candi di Indonesia

Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan, akan
tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan
orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti
Borobudur, Prambanan, dan Mendut.

Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat
sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang
Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan
sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni
tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan,
Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin,
Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak
Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu.[8] Candi Prambanan di Jawa Tengah
adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada abad ke-9
Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

a. Candi di Sumatera

Candi di Pulau Sumatra tidak sebanyak yang terdapat di Pulau Jawa. Kebanyakan
candi di Sumatra terletak di lokasi yang cukup jauh dari kota, sehingga tidak banyak
wisatawan yang berkunjung ke sana. Sebagian besar candi di Sumatra, yang telah diketahui
keberadaannya, berada di provinsi Sumatra Utara, khususnya di Kabupaten Mandailing
Natal dan Tapanuli Selatan. Sangat sedikit informasi yang diketahui tentang keberadaan
candi-candi tersebut. Di samping itu, umumnya lokasi candi cukup jauh dari kota, sehingga
tidak banyak orang yang mengetahui keberadaannya atau berkunjung ke sana.
Di Simangambat dekat Siabu, Sumatra Utara, misalnya, terdapat reruntuhan candi Syiwa.
Diduga candi tersebut dibangun pada abad ke-8. Untuk mengetahui lebih banyak
mengenai reruntuhan candi ini masih perlu dilakukan penelitian dan penggalian.

Kawasan lain di Sumatra Utara yang dikenal mempunyai banyak candi ialah kawasan
Padang Lawas, yang mencakup Kecamatan Sipirok, Sibuhuan, Sosopan, Sosa, dan Padang
Bolak. Di kawasan ini terdapat belasan reruntuhan candi Hindu yang kesemuanya terletak
tidak jauh dari sungai. Sebagian besar terdapat di Kecamatan Padang Bolak. Tidak banyak
yang diketahui tentang reruntuhan candi tersebut. Diduga candi-candi tersebut dibangun
pada masa pemerintahan Kerajaan Panei pada abad ke-11 M.
Di antara candi-candi di kawasan Padang Lawas, yang paling dikenal adalah Candi Bahal
yang terletak di Desa Bahal. Candi ini telah diketahui keberadaannya sejak zaman Belanda.
Pemerintah Belanda menamakannya Candi Portibi (kata portibi dalam bahasa Batak berarti
dalam dunia ini). Di kompleks Candi Bahal terdapat tiga bangunan candi yang telah
direnovasi, yaitu Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III. Ketiga candi tersebut terletak pada
satu garis lurus. Walaupun telah mengalami pemugaran, banyak bagian candi yang sudah
tidak ditemukan lagi sehingga harus diganti dengan batu bata. Candi lain di kawasan ini,
yang sudah mengalami pemugaran adalah Candi Sipamutung. Candi ini merupakan
kompleks percandian yang cukup besar dan terdiri dari beberapa bangunan, namun hampir
tidak ada informasi tertulis yang bisa didapat tentang candi ini.

Di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, juga terdapat beberapa candi, di antaranya
adalah Candi Astano, Candi Tinggi dan Candi Gumpung, Candi Kembar baru, Candi
Gedong, Candi Kedaton, dan Candi Kota Mahligai. Bentuk bangunan candi dan sisa artikel
bersejarah yang dijumpai Muaro Jambi menunjukkan bahwa bangunan ini berlatar
belakang Hinduisme dan diperkirakan dibangun pada abat ke-4 sampai dengan ke-5 M.

Candi yang cukup besar dan terkenal di Sumatra adalah Candi Muara Takus yang terletak
di Provinsi Riau, tepatnya di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto, Kabupaten
Kampar. Di dekat hulunya, Sungai Kampar bercabang dua menjadi Sungai Kampar Kanan
dan Kampar Kiri. Di pinggir Sungai Kampar Kanan inilah letak Desa Muara Takus.
Bangunan candi Muara Takus sebagian besar dibuat dari batu bata merah. Berbeda dengan
reruntuhan candi lain yang ditemukan di Sumatra Utara, Candi Muara Takus merupakan
candi Buddha. Keberadaan candi diduga mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan
Sriwijaya dan juga dapat dijadikan petunjuk bahwa Muara Takus pernah berfungsi sebagai
pelabuhan kapal. Hal itu dimungkinkan mengingat orang Sriwijaya adalah pelaut-pelaut
yang tangguh yang mampu melayari Sungai Kampar sampai jauh ke arah hulu.
Berdasarkan catatan I-Ching, ada yang memperkirakan daerah Muara Takus merupakan
Ibukota Kerajaan Sriwijaya atau paling tidak sebagai kota pelabuhan yang pernah jadi
salah satu pusat belajar agama Buddha, tempat menimba ilmu para musafir dari Cina,
India, dan negara-negara lainnya.
b. Candi di Jawa Barat

Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena
pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala
pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad
lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno
yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya
menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan
Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta
kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan
Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina
yang memuat uraian tentang Sunda.
Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara
(458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang
pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti
Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang
memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak
kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara.
Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S.
Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru
Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa
Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik
Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara
pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi
milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru
Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki
dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah
Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai
sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M),
Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).
Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa
Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja
wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 - 395 M). Raja
Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 - 434 M), yang membangun ibukota
kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami
masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan
oleh menantunya pada tahun 669 M.
Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 - 561 M),
Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa
pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah
yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas
kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh
Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura,
yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah
kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke
tempat lain.
Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S.
Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di
Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman.
Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M,
mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan.

Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu
Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan
Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga
ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa
Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya,
Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan
di Kerajaan Mataram Hindu.

Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa
reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di
antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi
Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis
(ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya
Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles
Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-
candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan
fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa
Barat.

c. Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Pada abad ke-7 sampai dengan awal abad ke-8, di Jawa Tengah terdapat sebuah
kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada akhir paruh pertama abad ke-8, diperkirakan th.
732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram
diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja
Sanjaya, diperkirakan telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng.
Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari
Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa
Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah.

Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya,
Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850
M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya
yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Buddha Mahayana.
Pada masa inilah sebagian besar candi di Jawa Tengah dibangun. Oleh karena itu, candi-
candi di Jawa Tengah bagian Utara pada umumnya adalah candi-candi Hindu, sedangkan
di wilayah selatan adalah candi-candi Buddha. Kedua Wangsa yang berkuasa di Jawa
Tengah tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan (838 - 851 M)
dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra.

Candi di Jawa Tengah umumnya menghadap ke Timur, dibangun menggunakan batu


andesit. Bangunan candi umumnya bertubuh tambun dan terletak di tengah pelataran. Di
antara kaki dan tubuh candi terdapat selasar yang cukup lebar, yang berfungsi sebagai
tempat melakukan ‘pradaksina’ . Di atas ambang pintu ruangan dan relung terdapat hiasan
kepala Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah. Bentuk atap candi di Jawa tengah
umumnya melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa. Keterulangan bentuk pada
atap tampak dengan jelas.

Di samping letak dan bentuk bangunannya, candi Jawa tengah mempunyai ciri khas dalam
hal reliefnya, yaitu pahatannya dalam, objek dalam relief digambarkan secara naturalis
dengan tokoh yang mengadap ke depan. Batas antara satu adegan dengan adegan lain tidak
tampak nyata dan terdapat bidang yang dibiarkan kosong. Pohon Kalpataru yang dianggap
sebagai pohon suci yang tumbuh ke luar dari objek berbentuk bulat banyak didapati di
candi-candi Jawa tengah.

Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta jumlahnya mencapai puluhan, umumnya


pembangunannya mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan Mataram Hindu, baik di bawah
pemerintahan Wangsa Sanjaya maupun Wangsa Syailendra. Belum semua candi dimuat di
antaranya: Abang, Asu, Bogem, Bugisan, Candireja, Dawungsari, Dengok, Gampingan,
Gatak, Gondang, Gua Sentana, Gunungsari, Gunungwukir (Canggal), Ijo, Kelurak,
Marundan, Merak, Miri, Morangan, Muncul, Ngawen, Payak, Pendem, Pringapus, Retno,
Sakaliman, Sojiwan, Umbul dan Watugudig.

d. Candi di Jawa Timur

Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa
berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan
sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang
diperkirakan lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya,
Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana.
Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan
mempunyai putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan
pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi
yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang.

Dalam Prasasti Dinoyo (760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang
berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan
candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan Candi Songgoriti
di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam skala besar baru muncul lagi pada masa
pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan Pemandian Belahan dan Candi Jalatunda
di Gunung Penanggungan.

Candi di Jawa Timur mempunyai ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan
Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas, seperti
Borobudur, Prambanan atau Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati
kompleks yang agak luas adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi di Jawa
Timur umumnya lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih tinggi dan
berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama candi, orang harus
melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga.

Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil
ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi pintu masuk
digantikan dengan patung atau ukiran naga. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada
reliefnya. Relief pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal
(tipis) dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping dan tokoh yang
digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang.

Candi-candi Hindu di Jawa Timur umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang
berkaitan dengan Trimurti, tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan
Syiwa, misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan
ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang berkaitan
dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa
Timur adalah adanya relief yang menampilkan kisah wayang.

Rentang waktu pembangunan candi-candi di Jawa Timur lebih panjang dibandingkan


dengan yang berlangsung di Jawa Tengah, yang hanya berkisar antara 200-300 tahun.
Pembangunanan candi di Jawa timur masih berlangsung sampai abad ke-15. Candi-candi
yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya menggunakan bahan dasar batu
bata merah dengan hiasan yang lebih sederhana.Beberapa candi yang dibangun pada akhir
masa pemerintahan Kerajaan Majapahit oleh para ahli antropologi dinilai mencerminkan
"pemberontakan" yang muncul akibat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat
terhadap keadaan pada masanya yang kacau dan juga sebagai akibat kekuatiran terhadap
munculnya budaya baru. Ciri gerakan tersebut adalah: 1) Adanya upacara-upacara mistis-
magis yang umumnya dilaksanakan secara rahasia; 2) Dimunculkannya tokoh penyelamat;
3) Adanya tokoh-tokoh yang diyakini sebagai pembela keadilan; 4) Munculnya komunitas
yang mengucilkan diri, umumnya ke daerah-daerah pegunungan; serta 5) dimunculkannya
kembali budaya "lama" sebagai wujud kerinduan terhadap zaman keemasan yang telah
lampau. Ciri-ciri tersebut didapati, di antaranya, di Candi Cetha dan Candi Sukuh.

Pada abad ke-13 Kerajaan Majapahit mulai surut pamornya bersamaan dengan masuknya
Islam ke pulau Jawa. Pada masa itu banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama
Hindu dan Buddha ditinggalkan dan akhirnya dilupakan begitu oleh masyarakat yang
sebagian besar telah berganti memeluk agama Islam. Akibatnya, bangunan candi yang
ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi belukar. Ketika kemudian
daerah di sekitarnya berkembang menjadi daerah pemukiman, keadaannya menjadi lebih
parah lagi. Dinding candi dibongkar dan diambil batunya untuk fondasi rumah atau
pengeras jalan, sedangkan bata merahnya ditumbuk untuk dijadikan semen merah.
Sejumlah batu berhias pahatan dan arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk
dipajang di halaman pabrik-pabrik atau rumah dinas milik perkebunan.

Keterangan mengenai candi-candi di Jawa Timur umumnya bersumber dari Kitab


Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca (1365) dan Pararaton yang ditulis oleh
Mpu Sedah (1481), selain juga dari berbagai prasasti dan tulisan di candi yang
bersangkutan. Dalam wacana arkeologi Indonesia, terdapat 2 corak percandian yakni corak
Jawa Tengah (abad 5-10 M) dan corak Jawa Timur (abad 11-15 M), dimana masing-
masing memiliki corak serta karakteristik berbeda. Candi bercorak Jawa Tengah umumnya
memiliki tubuh yang tambun, berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi terletak di
tengah, sedangkan corak Jawa Timur bertubuh ramping, berundak horisontal dengan
bagian paling suci terletak belakang.

Berbeda denga candi-candi Jawa Tengah, selain sebagai monumen candi di Jawa Timur
diduga kuat juga berfungsi sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telah
meninggal. Candi yang merupakan tempat pendarmaan, antara lain, Candi Jago untuk Raja
Wisnuwardhana, Candi Jawi dan Candi Singasari untuk Raja Kertanegara, Candi Ngetos
untuk Raja Hayamwuruk, Candi Kidal untuk Raja Anusapati, Candi Bajangratu untuk Raja
Jayanegara, Candi Jalatunda untuk Raja Udayana, Pemandian Belahan untuk Raja
Airlangga, Candi Rimbi untuk Ratu Tribhuanatunggadewi, Candi Surawana untuk Bre
Wengker, dan candi Tegawangi untuk Bre Matahun atau Rajasanegara. Dalam filosofi
Jawa candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya
kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan tersebut berkaitan erat
dengan konsep “Dewa Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat pada masa yang sama.
Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya relief pada kaki candi yang menggambarkan
legenda dan cerita yang mengandung pesan moral, seperti yang terdapat di Candi Jago,
Surawana, Tigawangi, dan Jawi.
Candi di Jawa Timur jumlahnya mencapai puluhan, umumnya pembangunannya
mempunyai kaitan erat dengan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Belum semua
candi dimuat dalam situs web ini. Masih banyak candi, terutama candi-candi kecil yang
belum terliput, di antaranya: Bacem, Bara, Bayi, Besuki, Carik, Dadi, Domasan, Gambar,
Gambar Wetan, Gayatri, Gentong (dalam pemugaran), Indrakila, Jabung, Jimbe, Kalicilik,
Kedaton, Kotes, Lemari, Lurah, Menakjingga, Mleri, Ngetos, Pamotan, Panggih, Pari,
Patirtan Jalatunda, Sanggrahan, Selamangleng, Selareja, Sinta, Songgoriti, Sumberawan,
Sumberjati, Sumberjati, Sumbernanas, Sumur, Watu Lawang, dan Watugede

e. Candi di Bali dan Lombok

Berbeda dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali disebut pura, merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura di Bali
merupakan tempat pemujaan umat Hindu. Setiap keluarga Hindu memiliki pura keluarga
untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur keluarga, sehingga pura di Pulau Bali jumlahnya
mencapai ribuan.
Pura Kahyangan Desa.
Setiap desa umumnya memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga Kahyangan atau
Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa
dalam tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang
Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem
untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale Agung, karena
pura yang umumnya terletak di pusat desa ini juga digunakan sebagai tempat
melaksanakan musyawarah desa.

Pura Kahyangan Jagat.


Pura Kahyangan merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang Hyang Widi
Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan juga tempat memuja roh para leluhur. Yang
termasuk dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya, ialah Pura Sad Kahyangan
(sad = enam), yaitu pura yang berada di enam lokasi Kahyangan besar di P. Bali. Pura Sad
Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura
Watukaru, Pura Bukit Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini
sebagai sendi spiritual Pulau Bali dan merupakan pusat kegiatan keagamaan.

Selain Pura Sad Kahyangan, yang termasuk dalam kategori Pura Kahyangan Jagat adalah
Pura Dhang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun oleh pemimpin spiritual pada masa
lalu. Sebagian besar Pura Dhang Kahyangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang Hyang
Nirartha, seorang pedanda (pendeta Hindu) dari Kerajaan Majapahit. Pada zaman
pemerintahan Dalem Waturenggong, sekitar tahun 1411 Saka (1489 M), Dhang Hyang
Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Dhang Hyang Dwijendra, mengadakan yatra
(perjalanan spiritual) keliling Bali, Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa tempat yang
disinggahi Dhang Hyang Nirartha dibangunlah beberapa pura, seperti Pura Uluwatu, Pura
Rambut Siwi, dsb.

Pura Luhur. Hampir setiap kabupaten di Bali memiliki Pura Luhur (luhur = tinggi), yaitu
pura yang hari ulang tahunnya diperingati oleh umat dengan cara menyelenggarakan
piodalan yang melibatkan ribuan orang. Pura Tanah Lot, Goa Lawah, dan Pura Uluwatu
juga termasuk dalam kategori pura luhur.

Pura Kawitan
Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh
tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon,
Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan
Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, dapat dikatakan bahwa sejarah Bali
yang tercatat diawali pada abad ke-8 Masehi. Di antara raja-raja Bali, yang banyak
meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan
pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu.
Dalam Prasasti Blanjong ( 913 M) yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Kesari
Warmadewa digunakan kata 'Walidwipa' yang mengacu pada suatu wilayah pemerintahan
di Bali.
Pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit mengadakan ekspedisi ke Bali, dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada dan Panglima Arya Damar. Pada masa itu Bali dikuasai oleh
Kerajaan Bedahulu dengan rajanya Astasura Ratna Bumi Banten dan patihnya Kebo Iwa.
Bali berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak itu Bali merupakan bagian dari
Kerajaan Majapahit. Sebagai kepala pemerintahan di P. Bali, Majapahit mengangkat Raja
Sri Kresna Kepakisan (1350-1380 M) yang berkedudukan di Desa Samprangan dekat kota
Gianyar. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke istana Suwecapura di Gelgel,
Klungkung.

Selama masa kejayaan Majapahit, Kerajaan Gelgel diperintah oleh raja-raja keturunan Sri
Kresna Kepakisan. Ketika Majapahit mengalami keruntuhan, Kerajaan Gelgel yang tidak
lagi menjadi negara jajahan tetap diperintah oleh keturunan Sri Kresna Kepakisan. Salah
satu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong (1460-1550 M), sangat termasyhur karena pada
masa pemerintahannya P. Bali mengalami masa keemasan. Dalem Waturenggong
memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel sampai ke sebagian wilayah Jawa Timur,
Lombok dan Sumbawa.

Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada masa pemerintahan Dalem Bekung (1550--
1580 M), putra sulung Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahan Dalem Di Made
(1605-1651 M), Gelgel bahkan kehilangan wilayah Blambangan dan Bima (tahun 1633 M)
dan Lombok ( tahun 1640 M). Pada tahun 1651, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
Gusti Agung Maruti. Selama pemerintahan dipegang oleh Gusti Agung Maruti, wilayah
bawahan Gelgel, seperti Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Jembrana, Karangsem,
Mengwi dan Tabanan melepaskan diri dari kekuasaan Gelgel dan membentuk
pemerintahan sendiri.

Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang bernama Dewa Agung Jambe merebut
kembali kekuasaan dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat pemerintahan ke
istana Samarapura di Klungkung, namun kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap
mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung, diposisikan sebagai
pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan Bali dan Lombok.

Pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Pada tahun 1818, Jembrana
berhasil direbut kembali oleh mantan Raja Jembrana, namun pada tahun 1821 kerajaan
tersebut kembali ditaklukkan oleh Raja Buleleng. Sampai akhir abad ke-18, Bali terpecah
menjadi 8 kerajaan, yaitu : Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, Karangsem, Klungkung,
Mengwi dan Tabanan. Kerajaan-kerajaan kecil ini yang mendasari pembagian wilayah
pemerintahan sebagai kabupaten-kabupaten di Bali sekarang.

Pura Swagina.
Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok masyarakat dengan profesi atau mata
pencarian tertentu. Sebagai contoh, Pura Melanting adalah pura untuk para pedagang, Pura
Subak untuk kelompok petani, dsb.
 MACAM-MACAM CANDI YANG ADA DI INDONESIA
A. CANDI BOROBUDUR

Candi borobudur adalah nama sebuah candi Budha yang terletak di Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi berada kurang lebih 100 km di sebelah barat daya
Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.Candi ini didirikan oleh para penganut
agama Budha Mahayana sekitar tahun 800-an masehi pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra.

Candi Borobudur berbentuk punden berundak-undak raksasa, yang terdiri dari enam tingkat
berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama
sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa. Borobudur
yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan
sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui
untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama
atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat
untuk memperkuat konstruksi candi.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Ruphadatu. Lantainya
berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara
alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada
ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ke tujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran.
Tingkatan ini melambangkan alam atas di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan
ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patun
Patung-patung Budha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam
kurungan. Dari luar patung-patung tersebut masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa terbesar
dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini diduga
dulu ada sebuah patung penggambaran Adibudha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar
ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur.
Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-
lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang
merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia. Struktur Borobudur bila dilihat
dari atas membentuk struktur mandala.

B. CANDI PRAMBANAN

Candi Prambanan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, dengan tinggi bangunan
utama adalah 47 meter. Candi ini dibangun dibangun pada sekitar tahun 850 masehi (abad ke-9)
oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau
Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Tidak lama setelah dibangun, candi ini
ditinggalkan dan mulai rusak.

Candi Prambanan ini pernah mengalami renovasi. Banyak bagian candi yang direnovasi,
menggunakan batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat
lain. Sebuah candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena
itu, banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak pondasinya saja.

Komplek candi ini terdiri dari 8 candi utama, yaitu Candi Syiwa (tengah), Candi Brahma
(selatan), Candi Wisnu (utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai
kendaraan Trimurti; Candi Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi
(Kerbau) adalah kendaraan Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda. Serta lebih daripada 250
candi kecil
C. CANDI KALASAN

Candi ini mempunyai tinggi 34 meter, panjang dan lebar 45 meter. Terdiri dari tiga
bagian, yaitu bagian bawah atau kaki candi, tubuh candi dan atap candi. Di sekeliling candi
terdapat stupa dengan tinggi kurang lebih 4,60 dan berjumlah 52 buah.

D. CANDI SEWU

Candi ini merupakan kompleks candi berlatar belakang agama Buddha terbesar di Jawa
tengah di samping Borobudur, yang di bangun pada akhir abad VIII masehi. Candi Sewu dahulu
merupakan candi kerajaan dan salah satu pusat kegiatan keagamaan.
E. CANDI SAMBISARI

Candi Sambisari merupakan candi Hindu beraliran Syiwaistis dari abad ke-X dari
keluarga Syailendra ini berada di wilayah kabupaten Sleman, propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Saat penggalian kompleks candi Sambisari juga ditemukan benda-benda bersejarah lainnya,
misalnya perhiasan, tembikar, prasasti lempengan emas. Dari penemuan tersebut didapat
perkiraan bahwa candi Sambisari dibangun tahun 812-838 M saat pemerintahan Raja Rakai
Garung dari Kerajaan Mataram Hindu (Mataram Kuno).

F. CANDI KEDULAN

Candi ini memiliki arsitektur mirip Candi Sambisari, tapi dengan seni hias yang lebih
kaya. Dari hiasannya justru mendekati Candi Ijo dan Candi Barong.
G. CANDI BARONG

Candi ini berdasarkan bentuk bangunan, pola hias, arca dan ornamen bangunan. Candi ini
diperkirakan dibangun sekitar abad IX-X Masehi. Latar belakang keagamaan candi ini adalah
Hindu.

H. CANDI MENDUT

Candi Mendut didirikan oleh dinasti Syailendra. Bangunan ini berlatar belakang agama
Budha. Dibangun sekitar tahun 824 M.Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang
ditutupi dengan batu alam.

Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan
kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat daya. Di atas basement terdapat lorong
yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil.
Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi bangunan candi ini
adalah 26,4 meter.
I. CANDI SINGASARI

Candi ini merupakan salah satu bangunan terbesar dari masa Hindu- Budha di Jawa Timur.
Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Komplek percandian menempati areal 200 m x 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi
barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hamper 4m, disebut dwarapala)
dan di dekatnya terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di
komplek pusat kerajaan.

Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas
bujursangkar berukuran 14mx14m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen, ukiran,
arca dan relief.

Bila dilihat dari bentuknya, candi-candi di atas mempunyai bentuk yang hampir sama. Walau
terdapat perbedaan antara candi yang satu dengan yang lain, itu hanya karena pengaruh budaya
derah setempat. Candi-candi di atas banyak mengadopsi gaya arsitektur India, yang kemudian
disesuaikan lagi oleh masyarakat setempat. Bahan yang dipakai didominasi oleh batuan,
sehingga walau umurnya sudah ratusan tahun masih bias terlihat sampai sekarang.

Zaman Hindu-Budha berperan sebagai babak penting dalam perkembangan budaya di kawasan
pulau Jawa. Dipicu intensitas perdagangan maritim, kebudayaan India memperkenalkan konsep
arsitektur berteknologi bata dan batu yang diterapkan pada berbagai candi. Pengaruh India juga
memperkenalkan pola kosmologi dan gagasan kota sebagai entitas sosial budaya dan politik.
Pola ini dilestarikan pada struktur kota pedalaman Jawa yang berpusat pada keraton.
Setelah diterima oleh masyarakat Jawa Kuno, kemudian segala pengaruh budaya luar itu diolah
kembali dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan budaya yang telah berkembang sebelumnya
(kebudayaan prasejarah Indonesia).

Tidak dapat diingkari bahwa arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapat
pengaruh yang kuat dari India. Hal itu terjadi seiring dengan diterimanya agama Hindu-Buddha
dalam masyarakat Jawa Kuno. Karena sistem keagamaannya diterima, maka sudah tentu
didirikanlah tempat-tempat suci sebagai sarana peribadatannya. Dalam perkembangannya,
ternyata arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah mendapatkan coraknya tersendiri
yang berbeda dengan bangunan sejenis di India.

Pengaruh agama dari India yang datang ke Jawa diolah lagi oleh para pendeta-pemikir Jawa
Kuna, lalu muncul gagasan yang memadukan hakekat Siva-Buddha. Oleh karena ada perpaduan
itu, maka peralatan ritusnya pun menjadi berbeda, tidak lagi sama dengan di tanah asalnya.

 Jenis dan Fungsi Candi


a. Jenis berdasarkan Agama

Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu,
candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya
dan mungkin bukan bangunan keagamaan.
 Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau
Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi
Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
 Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan
bhiksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari,
candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok
candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
 Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi
Jawi.
 Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya,
contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi
Wringin Lawang.

b. Jenis berdasarkan Hirarki dan Ukuran

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hirarki, dari candi
terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala
kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:
 Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat
digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya
dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi
Sewu, dan Candi Panataran.
 Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau
desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal
yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi
Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
 Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat
dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati,
raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi
Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi
Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre
Wengker).
c. Jenis berdasarkan Fungsi

Candi dapat berfungsi sebagai:


 Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi,
atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan
candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi
Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja
Manjusri.
 Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau
sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan
relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang
dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan
penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual,
contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
 Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun
untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang
berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal seringkali
dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga
dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi
Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
 Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi
di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta
Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai
pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
 Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi,
candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari
dan Plaosan
 Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks
Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
 Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai
pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus
 Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok
dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, seringkali
secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs
Trowulan, atau pun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan
merupakan bangunan keagamaan.

 PENINGGALAN ARSITEKTUR HINDU – BUDHHA DI


INDONESIA
a. Candi
1. Candi Peninggalan Kerajaan MataramLama
 Candi yang bersifat Hindu
 Candi Gunung Wukir, terletak di sebelahselatan Muntilan
 Kelompok Candi Dieng, terletak diKabupaten Wonosobo. Dikelompok candi
initrdapat beberapa candi yang oleh penduduksetempat diberi nama tokoh
wayang,misalnya : Bima, Gatotkaca, Puntadewa,Arjuna, Semar, dan lain-lain
 Candi Selogriyo, terletak di kaki GunungSumbing
 Candi Pringapus, terletak di timur GunungSundoro
 Kelompok Candi Gedong Songo, terletak dilereng Gunung Ungaran
 Candi Perot, terletak di lereng GunungSumbing
 Candi Argopuro, terletak di lereng GunungSumbing
 Candi Ijo, terletak di dekat Prambanan
 Candi Gebang, terletak di dekat Yogyakarta
 Candi Sambisari, terletak di dekat Yogyakarta
 Kelompok Candi Lorojonggrang ( Prambanan), terletak di perbatasan Yogyakarta-
Klaten.Di
 kelompok ini ada 3 candi induk, Candi Syiwa,Candi Brahma, dan Candi Wisnu.
 Candi yang bersifat Budha, bercorak budha,bermitologi budha, bernuansa
arsitektur budhadan ajaran budha :
 Candi Borobudur, terletak di KabupatenMagelang
 Candi Kalasan, terletak di kabupatensleman. Dibangun oleh Raja Panangkaran.
 Candi Sari, terletak di dekat Candi Kalasan.
 Candi Banyunibo, terletak di dekatPrambanan.
 Candi Sajiwan, terletak didekat Prambanan.Candi ini untuk menghormat
Awalokiteswara.

 Candi Plaosan, terletak di dekat prambanan.Dibangun pada masa Raja Pikatan


 Candi Sewu, terletak didekat Prambanan
 Candi Bubrah, terletak didekat Prambanan
 Candi Lumbung, terletak didekat Prambanan
 Candi Asu, terletak didekat Candi Sewu
 Candi Ngawen, terletak di dekat Muntilan.Candi ini dibuat oleh raja yang
beragamaHindu, dan diperuntukan untuk umat yangberagama Budha

 Candi Mendut, terletak di kabupatenMagelang. Di dalamnya terdapat


PAtungPadmapani dan Wajrapani
 Candi Pawon (Bajranalan), terletak dikabupaten Magelang. Di bangun
olehPramodhawardhani.

2. Candi Peninggalan Kerajaan Medang(Dinasti Isyana)


 Candi Lor (Anjuk Ladang),terletak di Brebek,Nganjuk.
 Candi Gunung Gangsir, terletak di di Bangil.
 Candi Songgoroti, terletak di Batu Malang
 Candi Sumber Nanas, terletak di Blitar
 Candi Belahan, dibangun oleh Raja Airlingga
 Pertapaan Pucangan, terletak di GunungPenanggungan

3. Candi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


 Kelompok Candi Muara Takus, terletak diBangkinang, Tampar, Riau
 Kelompok CAndi Gunung Tua, terletak dipadang sidempuan, Tapanuli, Sumatra
Utara.
 Di kelompok ini ada 1 candi yang bentuknyakhas, yaitu Candi Biaro Bahal

4. Candi Peninggalan Kerajaan Singasari


 Candi Kidal, terletak di Malang
 Candi Jawi, terletak di dekat Pringen
 Candi Singasari, terletak di Malang
 Candi Jago, terletak di Malang

5. Candi Peninggalan kerajaan Majapahit


 Candi Simping
 Candi Rimbi, terletak di Mojokerto
 Candi Panggih
 Candi Surawana, terletak di Kediri
 Candi Tigawangi, terletak di Pare
 Candi Kalicilik, terletak di Blitar
 Candi Jabung, terletak di Kraksaan,Probolinggo
 Candi Pari, terletak di Porong
 Candi Tikus, terletak di Mojokerto
 Candi Brahu, terletak di Mojokerto
 Candi Panataran, terletak di Blitar
 Candi Sukuh, terletak di Karanganyar. Candiini menunjukan unsure Jawa asli
 Candi Samentar, terletak di Blitar

6. Candi Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan


 Candi Badut, terletak di Malang

7. Candi Peninggalan Kerajaan Bali


 Kompleks Candi Gunung Kawi, terletak di Tampaksiring

b. Berupa Prasasti
– Yupa (batu bertulis) Peniggalan Kerajaan Kutai- Prasasti Canggal (732 M), Prasasti Kalasa
(778M), Prasasti Karang Tengah (824 M), Prasasti
Argapura (963 M), Merupakan SumberSejarah yang mengungkapkan KeberadaanKerajaan
Mataram Kuno.- Tujuh Prasasti Peninggalan Kerajan TarumaNegara, 5 ditemukan di Bogor, 1 di
Cilincing,dan 1 di Lebak Banten, yaitu Prasasti Ciaterun,Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Cianten,
danPrasasti Lebak.-Prasasti Anjuk Ladang beramngka tahun 937 MsumberSejarah yang
mengungkapkn kebetradaan MpuSindok (rajapertama Medang dan pendiriDinasti Isyana
)Prasasti-prasasti sebagai sumber sejarahKerajaan Sriwijaya di Sumatra , Berangka padatahun
684-775 M , Antara lain P. KedudukanBulat , P. Talang Tuwo , P. Telayu Batu Kecil , P.Kota ,
P.Karang Berahi .

c. Pertirtaan
Pertirtaan merupakan pemandian suci untuk rajadan para bangsawan.Contoh petirtaan yang
penting adalah :
Petirtaan Jalatunda, terletak di lereng baratGunung Pananggungan. Dibangun pada
masapemerintahan Raja Airlangga
Pertirtaan Belahan, terletak di lereng timurGunung Pananggungan. Dibangun pada
masapemerintahan Raja Airlangga
Pertirtaan di Candi Tikus, terletak di Trowulan, Mojokerto
Petirtaan Gua Gajah, terletak di Gianyar, Bali
Petirtaan Tirta Empul. Terletak di desaManukaya, Tampaksiring, Bali.

d, Benteng
Istana kerajaan umumnya dibangun di balikbenteng yang kuatBenteng ada 2 macam, yaitu :
Benteng Buatan, dibangun dengan sengajaberwujud tembok, parit yang dalam dan ebar
Benteng alam, yamg berwujud sungai ataupegunungan. Contoh benteng alam adalah
benteng yang terdapat di Bukit Ratu Boko yangdikenal dengan nama Candi Ratu Boko. Candiini
dibangun oleh Balaputradewa.

e. Gapura
Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau
kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan
unsur penting dalam arsitektur Hindu.
Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang. Dalam bidang arsitektur gapura sering
disebut dengan entrance, namun entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol
yang dimaksudkan disini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area. Secara hierarki
sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi
komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah.

Ada 2 macam bentuk gapura :

1.Kori Agung, yaitu berupa bangunan seperticandi yang di tengahnya terdapat pintu untukkeluar
masuk. Contoh Kori Agung, antara lain :Candi Jedong, Candi Plumbangan, dan CandiBajang R
Pertama kori agung (gapura beratap) merupakan bangunan seperti candi yg di tengahnya terdapat
pintu untuk keluar masuk.

2, candi bentar merupakan gapura berbentuk seperti bangunan candi yang terbelah dua.
Dua jenis gapura dari masa klasik. Gapura kori agung atau paduraksa (kiri) dan gapura candi
bentar (kanan). (Sumber: id.wikipedia.org).

 SENI RUPA ARSITEKTUR HINDU - BUDHHA

Berupa Relief. Relief adalah hasil seni pahatsebagai pengisi bidang pada dinding candi
1.Relief Candi Borobudur
a.karmawibbhangga, padakaki candi, sebabakibat perbuatan baik / buruk
manusiab.jatakamala-awadana, dinding lorong 1,2perbuatan sang budha,
bodhisatvac.gandawyudha-badhracari, dinding 2-4,usaha sudana mencara ilmu yang
tinggisampai ia bersumpah mengikuti bodhisatva,samantharbhadra
2.Relief Candi Lorojonggrang
a.Cerita ramayana, pada dinding serambi atascandi sywa dan candi brahmana.b.Carita
kresnayana, pada pagar candi wisnu.c.Relief candi jajaghu, mamuat ceritakresnayana,
partayajna, kunjarakarna. 1 kalikita jumpai punokawan.d.Relief candi surowono, memuat
cerita arjunawiwaha, adegan sritanjung yang dibunuholehsidapaksa.e.Relief candi panataran,
memuat ceritaramayana, kresnayana.
3.SENI PATUNG
1.Peninggalan Bercorak Hindu.
a.Patung Dewa-Dewi : trimurti (dalam wujudmaha guru, mahakala, mahabirawa), durga
b.Patung Airlangga, dalam wujud dewa wisnumenunggang garudac.Patung Kendedes,
wujud dewiprajnaparamitad.Patung Kertanegara, wujud joko dolok
danamonghapasae.Patung Kertajasa, wujud dewa sywaf.Patung Dwarapala, wujud
raksasamenggenggam gada2.Peninggalan Patung Budha
1.Arca Aksobhya, sikap bumi sparcamudra /tangan sentuh bumi sebagai saksi,
hadaptimur
2.Arca Ratnasambhawa, sikapwaramudra/memberi anugerah, selatan.
3.Arca Amitaba, sikap dayana mudra /bersemedi, barat.
4.Arca Amogasidhi, sikap abaya mudra /tangan menentramkan,utara.
5.Arca Wairicana, sikap darmacakara mudra /tangan memutar roda darma,di dalam stup
4.SENI SASTRA
1.Masa Kerajaan Kediria.kitab kakawin baratayudha : mpusedah,panuluhb.kitab kakawin
hariwangsa,gatotkacasraya :mpu panuluhc.kitabsmaradhana :
mpu dharmajad.kitab lubdaka,wratasancaya : mpu tanakunge.kitab kresnayana : mpu triguna
2.Masa Kerajaan Majapahita.kitab negara kertagama : mpu prapancab.kitab sutasoma :
mpu tantularc.kitab pararaton : riwayat raja-rajasinghasari,majapahitd.kitab sundayana :
peristiwa bubate.kitab ranggalawe,pemberontakanranggalawaf.kitab sorandoka :
pemberontakan sorag.kitab usana jawa : penakhlukan bali olehgajahmada dan arya dama

 SEJARAH PERKEMBANGAN HINDU – BUDHA DI INDONESIA


Penyebaran Agama Hindu – Budha di Nusantara
Perspektif masuknya agama Hindu di Indonesia ada 4 teori:
1. Teori Sudra (golongan orang biasa)
Sesuai dengan namanya, teori ini menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke nusantara
dibawa oleh orang-orang India berkasta Sudra.
2. Teori Waisya (golongan pedagang)
Menurut teori ini, kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu adalah
golongan Waisya. Teori ini dikemukakan oleh Prof. N.J. Krom.
3. Teori Ksatria (golongan raja)
Menurut teori ini, kelompok yang berperan besar dalam penyebaran agama Hindu di nusantara
adalah golongan ksatria. Proses penyebaran agama tersebut dilakukan dengan cara pendudukan
(kolonisasi). Teori yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Ir. J.L. Mouens.
4. Teori Brahmana (golongan ulama / tokoh agama)
Menurut teori ini, faktor utama penyebaran agama Hindu di nusantara adalah dari kaum
Brahmana. Teori yang dikemukakan oleh J.C. Ban Leur.
Penyebaran Agama Budha
Melihat bukti-bukti antropologi yang ada, agama Budha diperkirakan masuk ke nusantara sejak
abad ke-2 Masehi. Hal tersebut dapat dinyatakan dengan penemuan patung Budha dari perunggu
di Jember dan Sulawesi Selatan. Patung-patung itu menunjukkan gaya seni Amarawati.
Agama Budha di nusantara berasal dari laporan seorang pengelana Cina bernama Fa Hien pada
awal abad ke-5 Masehi. Dalam laporan tersebut, Fa Hien menceritakan bahwa selama bermukim
di Jawa, ia mencatat adanya komunitas Budha yang tidak begitu besar di antara penduduk
pribumi.
Seorang Biksu Budha bernama Gunawarman, putera dari seorang raja Kashmir di India, yang
datang ke negeri Cho-Po untuk menyebarkan agama Budha Hinayana. Negeri Cho-Po mungkin
terletak di Jawa atau Sumatera.

 Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha

1. Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan Timur, bukti itu berupa tujuh buah prasasti berbentuk yupa. Yupa
ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti itu dibuat kira-kira pada abad ke-5
Masehi.
Kerajaan Kutai di Hulu sungai Mahakam. Pendiri kerajaan itu bernama Kudungga, dipastikan
bukanlah sebuah nama Hindu, namun asli nusantara.
Prasasti-prasasti itu sendiri dibuat untuk memuliakan Raja Kutai yang ketiga, Mulawarman.
Prasasti yang menyebutkan bahwa raja tersebut telah memberikan sumbangan berupa 20.000
ekor sapi kepada para Brahmana.

2. Tarumanegara
Kerajaan Hindu pertama di Jawa Barat dan kedua di nusantara ialah Tarumanegara. Kerajaan ini
terletak di antara sungai Cisadane dan sungai Citarum pada abad ke-5 Masehi. Catatan para
pengelana Cina yang singgah di Jawa seperti kisah Fa-Shien mengenai sebuah kerajaan yang
bernama To-lo-mo (Tarumanegara). Tang dan Sung menyebutkan bahwa kerajaan tersebut
beberapa kali mengirimkan utusannnya ke Cina.

3. Kalingga
Dalam sebuah berita Cina yang berasal dari seorang biksu Budha bernama I-Tsing, pada
pertengahan abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Holing atau Kalingga di daerah Jawa
Tengah. Kerajaan Kalingga diperintah oleh seorang ratu bernama Sima. Pemerintahannya sangat
keras, namun adil dan bijaksana.

4. Melayu
Melayu merupakan salah satu kerajaan terkuat di nusantara. Banyak ahli sejarah yang
memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di daerah Sungai Batanghari, Jambi. Banyaknya
peninggalan kuno seperti candi dan arca yang ditemukan di sana.
Pada masa pemerintahan dinasti Tang, dilaporkan bahwa pada tahun 644 dan 645 utusan dari
negeri Moloyeu (Melayu) membawa hasil bumi. Pengelana Cina I-Tsing kemudian melaporkan
bahwa pada abad ke-7 kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Nama Melayu baru muncul kembali pada abad ke-12 ketika kerajaan Singasari melancarkan
ekspedisi. Pemelayu. Melayu mengalami masa kejayaan pada pemerintahan raja Adityawarman.
Menurut catatan pada arca Manjusti di Candi Jago, Jawa Timur, bahwa Adityawarman
membantu Gajah Mada menaklukkan pulau Bali.

5. Sriwijaya
Sriwijaya pertama kali dijumpai di dalam Prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka. Sriwijaya
merupakan sebuah kerajaan di Sumatera Selatan yang berpusat di Palembang. Pada tahun 671,
seorang biksu Budha bernama I-Tsing menceritakan bahwa ketika ia pergi dari Kanton ke India,
ia singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sansekerta.
Kerajaan Sriwijaya juga diperkuat oleh penemuan beberapa prasasti yang semuanya ditulis
dengan Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu,
Kota Kapur, dan Karang Berahi.

6. Mataram Kuno
Kerajaan Mataram berada di wilayah Sungai Bogowonto, Progo, Elo, dan Bengawan Solo di
Jawa Tengah. Kerajaan ini dapat diketahui dari prasasti Canggal. Prasasti Belangka tahun 732 M
menyebutkan bahwa kerajaan itu pada awalnya dipimpin oleh Sana, diteruskan oleh
keponakannya, Sanjaya.
Kerajaan Mataram Kuno terkenal keunggulannya dalam pembangunan candi Agama Budha dan
Hindu. Candi yang diperuntukkan bagi Agama Budha antara lain candi Borobudur yang
dibangun oleh Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi Hindu yang dibangun antara lain
candi Roro Jongrang di Prambanan yang dibangun oleh Raja Pikatan.

7. Wangsa Warmadewa di Bali


Keluarga Raja Warmadewa muncul pertama kali pada tahun 914. Hal itu diketahui dalam
prasasti dari Sanur yang dikeluarkan oleh Sri Kesariwarmedewa.

8. Medang Kamulan
Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas di Jawa Timur. Kerajaan ini
dibangun oleh Mpu Sendok yang sebelumnya memerintah kerajaan Mataram Kuno di Jawa
Tengah. Di tempat barunya ini Mpu Sendok mendirikan sebuah dinasti yang bernama Isyana.

9. Kediri
Keputusan Airlangga untuk membagi dua kerajaannya menghasilkan pembentukan dua kerajaan,
Jenggala dan Panjalu (Kediri). Panjalu berhasil mendesak Jenggala.
Sebagai gantinya, 60 tahun kemudian muncullah kerajaan Kediri. Pada tahun 1116, Kediri
diperintah oleh Sri Kameswara (1116-1135). Kemudian ia digantikan oleh Jayabaya. Jayabaya
memerintah antara tahun 1135 hingga 1157, ia memakai lambang Garudamukha untuk
menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan sah Airlangga.

10. Singasari
Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok setelah dia berhasil mengalahkan Kediri. Riwayat
Ken Arok sendiri tidak banyak diketahui karena namanya tidak dikenal dalam prasasti. Dalam
kitab Pararaton dan Negarakertagama, ia dikatakan berasal dari sebuah keluarga biasa dari desa
Pungkur. Melalui bantuan pendeta bernama Danghyang Lohgawe, ia kemudian berhasil bekerja
pada Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung.
Tertarik oleh isteri sang akuwu yang cantik bernama Ken Dedes, Ken Arok kemudian
membunuh Tunggul Ametung dengan sebilah keris buatan Mpu Gandring. Setelah itu ia
menikahi Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung.
Kisah tragedi Anusapati, anak yang dikandung Ken Dedes dari Tunggul Ametung, mengetahui
tragedi yang menimpa ayahnya. Ia kemudian membunuh ayah tirinya itu dengan keris yang telah
membunuh ayah kandungnya dan mengambil alih tahta kerajaan.
Pemerintahan Anusapati berlangsung selama 21 tahun (1227 – 1248). Masa pemerintahannya
tidak banyak diketahui selain dia gemar mengabung ayam, dia dibunuh oleh Tohjaya, seorang
anak Ken Arok dari istri lainnya yang bernama Ken Umang. Pada gilirannya, Tohjaya kemudian
dibunuh oleh anak Anusapati yang bernama Ranggawuni. Ranggawuni naik tahta pada tahun
1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana. Ia merupakan raja Singasari pertama yang namanya
diabadikan dalam prasasti Narasingharmuti.
Perluasan pengaruh Kemaharajaan Cina – Mongol di bawah Khubilai Khan menimbulkan
tantangan terhadap kekuasaan Kertanegara. Ketika sang kaisar mengirimkan utusan yang
menuntut agar Singasari tunduk kepada Cina. Kertanegara melukai wajah sang utusan yang
bernama Mengki Khubilai Khan murka dan mengirimkan pasukan untuk menyerang Jawa pada
tahun 1292.
Akan tetapi, keruntuhan Kertanegara ternyata datang dari jurusan lain. Seorang keturunan raja-
raja Kediri bernama Jayakatwang memberontak terhadap kekuasaan Singasari untuk
memulihkan kembali kejayaan Kediri yang diruntuhkan oleh leluhur Kertanegara. Jayakatwang
berhasil membunuh Kertanegara meskipun menantunya yang bernama Raden Wijaya berhasil
lolos.

11. Majapahit
Pendiri Majapahit ialah Raden Wijaya. Raden Wijaya merupakan menantu Kertanegara yang
berhasil meloloskan diri ke Madura setelah kematian mertuanya. Dengan bantuan penguasa
Madura bernama Arya Wirajaya, ia menawarkan diri untuk bekerjasama dengan Jayakatwang di
Kediri. Jayakatwang kemudian memberikan daerah Hutan Tarik (sekarang Trowulan) kepada
Raden Wijaya.
Raden Wijaya diam-diam memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk membalas
dendam. Pada awal tahun 1293 tentara Cina – Mongol yang dikirim untuk menghukum
Kertanegara tiba di Pulau Jawa. Raden Wijaya berhasil membunuh Jayakatwang.
Setelah berhasil mengalahkan Kediri, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan
memaksa mereka lari meninggalkan pulau Jawa. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan
gelar Sri Kertarajasa Jaya Wardhana pada 12 November 1293.
Para pengikut Kertarajasa yang berjasa dalam mendirikan Majapahit kemudian diangkat menjadi
pejabat tinggi kerajaan. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh, yaitu Arya Wiraraja. Pu Tambi
(Nambi), dan Ronggo Lawe. Pengangkatan tersebut menimbulkan rasa tidak puas bagi jabatan
yang lebih tinggi.
Timbullah serangkaian pemberontakan seperti yang dilakukan Ronggo Lawe pada tahun 1295
serta Pu Sora dan Juru Demung antara tahun 1298 – 1300. Di tengah-tengah kekacauan ini,
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309.
Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara yang bergelar Sri Jayanegara. Pemberontakan
Nambi tahun 1316 dapat dipadamkan oleh Mahapati. Kemudian menyusul pemberontakan Semi
pada tahun 1318 dan Kuti 1319. Setelah peristiwa itu, raja Jayanegara sadar kalau Mahapati
ternyata tukang fitnah. Akhirnya, ia ditangkap dan di hukum mati.
Ketika terjadi pemberontakan Kuti inilah muncul nama Gajah Mada.
Pada tahun 1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tanca. Tahta kerajaan kemudian diwakilkan
kepada puterinya, Tribhuwanatunggadewi (Bhre Kahuripan). Selama pemerintahan ratu tersebut,
kemelut politik masih muncul. Hal tersebut terlihat dengan adanya pemberontakan Sadeng pada
tahun 1331. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai balasan
atas jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi Mangkubumi (Perdana Menteri).
Pada saat dilantik, Gajah Mada mengucapkan suatu sumpah terkenal yang disebut sebagai
Sumpah Palapa. Dalam sumpahnya itu, Gajah Mada bertekad untuk tidak berhenti beristirahat
sampai seluruh nusantara dipersatukan di bawah panji Majapahit. Tribhuwanatunggadewi
menduduki tahta selama 22 tahun dan kemudian menyerahkan tahta Majapahit kepada puteranya
Hayam Wuruk. Hayam Wuruk menjadi raja dengan gelar Sri Rajasanegara. Pemerintahannya
berlangsung selama 39 tahun, ia didampingi oleh Gajah Mada sebagai patihnya.
Di bawah duet Sri Rajasanegara dan Gajah Mada, persatuan nusantara perlahan-lahan dapat
diwujudkan meskipun sempat diwarnai keributan dengan adanya peristiwa Bubat. Peristiwa yang
menewaskan Maharaja Sunda Padjajaran yang bernama Sri Bhaduga dan Dyah Pitaloka,
puterinya yang menjadi calon permaisuri Hayam Wuruk. Peristiwa ini meretakkan Hayam
Wuruk dan Gajah Mada.
Hayam Wuruk sangat memperhatikan kehidupan agama. Ia berusaha mempersatukan tiga aliran
agama, yaitu Budha, Siswa dan Wisnu. Kerukunan hidup beragama di Majapahit dilukiskan oleh
Mpu Tantular dalam bukunya Sutasoma dengan kalimat “Bhineka Tunggal Eka”. Beberapa
pujangga besar yang hidup pada masa tersebut adalah Mpu Prapanca dengan karyanya kitab
Negarakertagama dan Mpu Tantular dengan karyanya Arjuna Wiwaha.
Kematian Gajah Mada pada tahun 1364, yang disusul oleh wafatnya Hayam Wuruk pada tahun
1389 menyebabkan kemunduran besar bagi Majapahit.

 Pengaruh dan Warisan Kebudayaan Hindu – Budha

1. Pengaruh Kebudayaan Hindu – Budha


Perkembangan Hindu – Budha di nusantara tidak sekedar membawa perubahan dalam bidang
keagamaan saja melainkan juga berpengaruh pada kehidupan politik, sosial dan budaya.

2. Perubahan dalam bidang politik


Di bidang politik yang paling nyata adalah diperkenalkannya sistem kerajaan. Sebelumnya,
kedudukan pemimpin dalam masyarakat nusantara ialah orang yang dituakan oleh sesamanya.

3. Perubahan dalam bidang sosial


Masyarakat nusantara terbagi menjadi beberapa golongan sesuai dengan aturan kasta. Akan
tetapi, sistem kasta yang berlaku di nusantara tidaklah seketat di negara asalnya.

4. Perubahan dalam bidang kebudayaan


Pengaruh di bidang kebudayaan terutama berkaitan dengan penyelenggaraan upacara
keagamaan, seperti upacara sesajen, pembuatan relief, candi serta penggunaan bahasa sansekerta.

5. Warisan kebudayaan Hindu – Budha


– Arsitektur
Arsitektur warisan kebudayaan Hindu – Budha dapat dilihat dari stupa dan candi. Awalnya stupa
dikenal sebagai kuburan kubah atau bukit makam yang sederhana, kemudian bentuk arsitektur
ini menjadi sebagai bangunan suci bagi umat Budha.
Gerbangnya terdapat di empat penjuru mata angin, biasanya dihiasi dengan gambar-gambar
timbul (relief).
Adapun candi merupakan bangunan peninggalan masa lalu yang digunakan untuk memuliakan
orang yang telah meninggal, khusus bagi para raja dan orang-orang terkemuka.
– Seni sastra
Seni sastra peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu – Budha ialah tampak dalam penulisan prasasti,
kitab dan kakawin. Prasasti biasanya ditulis untuk memberikan informasi sehubungan dengan
adanya peringatan, perintah, atau keberadaan suatu kerajaan. Pada masa kerajaan Kutai,
informasi itu dipahatkan pada Yupa (tugu batu).
Kitab adalah sebuah karangan tentang kisah, catatan atau laporan suatu peristiwa. Kitab ditulis
dalam lembaran daun lontar. Isi kitab berupa rangkaian puisi yang terdiri atas beberapa bait,
ditulis dalam bahasa yang indah. Ungkapan dalam puisi itu disebut kakawin. Beberapa kitab
yang ditulis misalnya, Mahabharata, Arjuna Wiwaha, Negarakertagama, dan Sutasoma.
– Seni rupa / ukir
Karya seni rupa banyak dijumpai dalam bentuk relief yang dipahatkan pada dinding candi,
biasanya berupa gambar dan hiasan serta ada yang merupakan rangkaian cerita atau kisah orang-
orang tertentu. Relief-relief itu antara lain dapat ditemui dalam berbagai candi seperti Borobudur,
Prambanan dan Panataran.

Pengaruh fisikmerupakan tinggalan dari zaman Hindu-Buddha yang dapat kita lihat secara
fisik pada benda-benda masa kini. Sedangkan pengaruh nonfisik merupakan tinggalan yang
memengaruhi adat, pola pikir, ataupun perilaku pada masyarakat masa kini. Penasaran apa
saja pengaruh Hindu-Buddha di masa kini?

1. FISIK

a. Wilayah Nusantara

Wilayah Indonesia saat ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh kehadiran kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha, yaitu Singasari, Sriwijaya, dan Majapahit. Pada masa Sriwijaya, wilayah
kekuasaannya meliputi daerah Malayu di sekitar Jambi, daerah yang saat ini menjadi Pulau
Bangka, daerah Lampung Selatan, serta usaha Sriwijaya untuk menaklukan Pulau Jawa. Di
masa Singasari, wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Pahang (saat ini Malaysia), Malayu
(saat ini Sumatera Barat), Gurun (nama pulau di Indonesia bagian timur), Bali, seluruh Pulau
Jawa, Bakulapura dan Tanjungpura (saat ini wilayah di barat daya Kalimantan).

Peradaban Majapahit yang lebih maju dalam perniagaan dan seni serta wilayah kekuasaan yang
luas, mengantarkannya menjadi salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Asia Tenggara.
Kerajaan maritim Hindu-Buddha memiliki pengaruh yang luas karena tidak terbatas hanya di
daratan saja, sehingga dapat melakukan penjelajahan mengarungi lautan untuk menyebarluaskan
pengaruh di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Pada akhirnya, wilayah-wilayah kerajaan yang terbentuk pada masa itu membentuk wawasan
tentang wilayah Nusantara yang sebagian besar menjadi negara Indonesia.
Peta wilayah kekuasaan Majapahit. (Sumber: Sejarah Nasional Indonesia II)

b. Bidang Arsitektur

Salah satu pengaruh yang masih bertahan hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan di
masa lalu yang banyak digunakan oleh bangunan masa kini. Beberapa bagian bangunan yang
terpengaruh adalah pembagian bangunan dan halaman, atap bangunan, dan gapura.

Pertama adalah bagian bangunan. Candi terdiri dari tiga bagian utama yaitu bhurloka (dunia
manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia para dewa).
Konsep ini kemudian diadaptasi dan saat ini dapat kamu lihat pada rumah-rumah tradisional
Bali. Biasanya rumah tradisional Bali memiliki halaman yang luas dan dibagi ke dalam tiga
bagian tersebut. Bangunan rumahnya terdiri dari bagian utama (bagian atas bangunan), madya
(badan bangunan), dan nista (kaki bangunan).

Pembagian bagian-bagian rumah pada rumah tradisional Bali. (Sumber: clipartxtras.com)


Selain itu, pembagian tersebut juga dapat dilihat pada halaman rumah yang dibagi menjadi tiga,
yaitu jaba (halaman depan), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman belakang/dalam).

Selain pada pembagian bagian bangunan, pengaruh arsitektur juga dapat dilihat pada atap
bangunan. Contohnya adalah Masjid Agung Demak yang menggunakan atap tumpang seperti
pada pura.

Atap tumpang pada Masjid Agung Demak. (Sumber: youtube.com)

Selain dua hal di atas, bagian gapura juga dapat mengalami pengaruh dari Hindu-Buddha.
Dua jenis gapura dari masa klasik. Gapura kori agung atau paduraksa (kiri) dan gapura candi
bentar (kanan). (Sumber: id.wikipedia.org).

Misalnya, Masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus tahun 1549 M. Masjid ini memiliki
arsitektur seperti bangunan pura pada bangunan. Selain itu, pada bagian gerbangnya memiliki
bentuk gapura jenis candi bentar.

Gapura (siluet) dan menara Masjid Agung Kudus. (Sumber: jateng.tribunnews.com)

2. NONFISIK

a. Teknologi Perkapalan

Teknologi perkapalan semakin maju sejak masa Hindu-Buddha khususnya Sriwijaya. Ciri
khasnya antara lain adalah badan (lambung) kapal berbentuk seperti huruf V.
Macam-macam bagian lambung kapal. Bentuk pertama (atas) adalah bentuk lambung kapal V.
(Sumber: maratimeworld.web.id).

Ciri khas lainnya adalah bentuk haluan dan buritan yang simetris, tidak ada sekat-sekat kedap air
di bagian lambungnya, tidak menggunakan paku besi dalam pembuatannya, serta kemudi
berganda di kiri dan kanan buritan. Biasanya, kapal-kapal ini dibuat dengan teknik menyambung
satu papan dengan papan lainnya, kemudian mengikatnya dengan tali ijuk.

Kapal pada masa klasik, yang muncul pada relief di Candi Borobudur dan rekonstruksinya.
(Sumber: hurahura.com)
b. Navigasi Pelayaran

Pelayaran bangsa Indonesia pada masa kuno bergantung pada sistem angin musim. Pengetahuan
tentang angin darat dan angin laut penting bagi pelaut. Untuk mengetahui arah, pada siang hari
para pelaut memanfaatkan matahari, lalu di malam hari mereka menggunakan letak kelompok
bintang tertentu di langit, seperti bintang mayang, bintang biduk, dan sebagainya.

c. Sistem Pendidikan

Jika saat ini kamu banyak menemukan sekolah yang memiliki asrama, itu adalah salah satu
warisan masa klasik. Salah satu kerajaan yang terkenal dengan pendidikan agama Buddha-nya
dan memiliki asrama adalah Sriwijaya. Saat itu kerajaan memiliki asrama (mandala) sebagai
tempat untuk belajar ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya. Asrama biasanya terletak di sekitar
kompleks candi dan digunakan oleh para murid.

d. Bahasa dan Sistem Aksara

Pada masa awal Hindu-Buddha masuk ke Indonesia dari India, Bahasa Sanskerta hanya
digunakan oleh kaum pendeta. Bahasa lain yang digunakan oleh masyarakat pada masa itu
adalah Bahasa Pali. Pada akhirnya, Sanskerta-lah yang banyak memengaruhi Bahasa Indonesia.
Berikut beberapa kata yang telah diserap atau sering digunakan dalam Bahasa Indonesia:

 durhaka dari kata drohaka.


 Bahagia dari kata bhagya.
 Manusia dari kata manusya.
 Tirta berarti air.
 Eka, dwi, tri berarti satu, dua, tiga.

e. Upacara/Tradisi

Upacara/tradisi di masa Hindu dan Buddha banyak yang bertahan hingga saat ini. Beberapa
upacara atau tradisi yang bertahan hingga saat ini seperti upacara ngaben, tradisi potong gigi,
hari raya Waisak, ataupun wayang. Ngaben adalah upacara kematian dengan membakar
mayatnya dan abunya dibuang ke laut. Tujuannya adalah untuk melepaskan Sang Atma (roh)
dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam
Atmanam).
Upacara Ngaben di Bali. (Sumber: brilio.net)

Tradisi wayang juga masih bertahan hingga saat ini. Wayang mengalami percampuran dengan
kebudayaan India melalui cerita-cerita seperti cerita Ramayana dan Mahabarata. Pagelaran
wayang hingga sekarang masih sering diadakan di Indonesia mulai dari pagelaran wayang kulit,
wayang golek.

Akulturasi Kebudayaan merupakan percampuran dari unsur, ciri khas kebudayaan satu dan juga
kebudayaan lain, percampuran inilah kemudian membentuk suatu Kebudayaan baru yang ciri
khasnya berasal dari dua budaya itu. Unsur yang khas pada masing-masing kebudayaan itu tak
dapat hilang dengan muncunya kebudayaan baru tersebut. Proses dari Akulturasi kebudayaan
yang bercampur tersebu haruslah mempunyai unsur seimbang. Dan berikut contoh dari
Akulturasi Kebudayaan Nusantara dengan kebudayaan Hindu Budha :

1. Contoh Akulturasi Seni Aksara dan Sastra


Akulturasi kebudayaan dari negara India masuk Indonesia kemudian mempengaruhi
perkembangan dari seni sastra di Indonesia. Seni sastra yang berbentuk seperti tembang ataupun
puisi dan bisa juga berbentuk prosa. Seni sastra bisa dibedakan jadi 3 bentuk, yaitu :

 Jenis-Jenis dari Manusia Purba dengan ditemukan di Indonesia


 Asal Usul dari Nenek Moyang dari Bangsa Indonesia
 Sejarah Masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia
Kitab Ramayana dan juga Mahabarata adalah salah satu dari kitab Kepahlawanan dan lumayan
dikenal di Indonesia. Perkembangan seterusnya yakni dari kitab-kitab itu lalu muncul sebuah
seni pertunjukan yang bernama Wayang Kulit. Nah, seni pertunjukan dari Wayang ini telah
terkenal sekali terutama di Pulau Jawa, nilai-nilai dalam pertunjukan itu bersifat Edukatif. Dan
menariknya adalah kalau cerita-cerita pada pertunjukan wayang itu berasal dari negara India
tetapi wayangnya asli dibuat oleh orang Indonesia. Contoh tersebut adalah bentuk akulturasi
kebudayaan dari nusantara dengan kebudayaan hindu budha.

2. Contoh Akulturasi Seni Bangunan


Akulturasi kebudayaan dari nusantara dan kebudayaan hindu budha terlihat dalam seni
bangunan, seperti contoh bangunan candi-candi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Bentuk
candi tersebut adalah bentuk akulturasi antara unsur kebudayaan dari India dengan kebudayaan
Nusantara. Unsur asli kebudayaan dalam seni bangunan adalah bentuknya punden berundak.

3. Contoh Akulturasi Seni Rupa dan Seni Ukir


Seni rupa dengan seni ukir adalah contoh akulturasi kebudayaan nusantara dengan kebudayaan
hindu budha. Pengaruh akulturasi pada bidang seni Rupa dengan Seni ukir itu bisa dilihat dari
relief-relief candi. Contoh dari relief di dinding Candi Borobudur yakni adalah pahatan riwayat
hidup Sang Buddha, pada sekitar relief itu terdapat sebuah relief berbentuk burung merpati dan
juga rumah panggung dan itu adalah ciri khas unsur kebudayaan Indonesia. Disamping itu
adajuga relief kala makara dengan memiliki motif binatang dan tumbuh-tumbuhan

4. Contoh Akulturasi Sistem Kepercayaan


Pada awalnya bangsa Indonesia merupakan menyembah roh dari nenek moyang, namun
sesesudah masuk pengaruh kebudayaan dari India, kepercayaan yang memang teah dianut yakni
animisme tak hilang jika dilihat dari fungsi candi yang ada di Indonesia.

Di India, candi fungsinya adalah untuk tempat pemujaan. Tetapi, di Indonesia disamping utnuk
tempat pemujaan, namun, juga dipakai sebagai tempat pemakaman raja-raja. Dari penjelasan
diatas, bahwa memang ada perpaduan kebudayaan yakni fungsi candi di India dan juga tradisi
pemujaan roh dari nenek moyang serta sebagai pemakaman di Indonesia.

5. Contoh Akulturasi Sistem Pemerintahan


Pada awanya sistem pemerintahan diIndonesia bersifat sederhana, dimana rakyat mengangkat
pemimpin menjadi kepala suku. Dengan riteria : seorang yang senior, punya kesaktian, dapat
membimbing, ekonominya lebih, punya wibawa serta arif. Tetapi sesudah pengaruh kebudayaan
India masuk, sistem kepercayaan lama tak hilang begitu saja

Karena pemimpin-pemimpin yang memang telah ada selanjutnya diangkat jadi seorang raja
dengan kekuasaannya yakni kerajaan. Bukti dari akulturasi kebudayaan Nusantara dengan
kebudayaan Hindu Budha pada bidang pemerintahan bisa dilihat dari syarat seorang bisa menjadi
seorang raja, yaitu harus mempunyai kesaktian danjuga wibawa. Raja dengan kesaktian dinila
punya kedekatan dengan para dewa.
6. Contoh Akulturasi Bidang Arsitektur
Arsitektur pada bidang Arsitektur seperti bentuk bangunan keagamaan yakni banyak candi yang
terkenal di masa Hindu Budha. Contohnya : Candi Tikus, Candi Sewu, Candi Gedong
Song,Candi Cetho, Candi Jatulanda dan sebagainya.

7. Contoh Akulturasi Seni Pertunjukan


Akulturasi padaseni pertunjukan yakni sepertipada pertunjukan seni wayang. Pertunjukan
tersebut sudah dikenal di Indonesia dari sejak zaman prasejarah. sekarang ini,
pertunjukanwayang biasa dikaitkan dengan magis seperti pemujaan nenekmoyang melalui
bayangan dari bentuk wayang. Disamping itu, lakon pewayangan juga banyak bercerita tentang
petualangan dan juga kepahlawanan. Contohnyayakni “murwakala dan juga dewi sri’.

Anda mungkin juga menyukai