Anda di halaman 1dari 29

Meraih Keberhasilan Bersama Yesus

Written by Super User on 09 May 2016.

Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya. Tidak


ada yang menginginkan supaya hidupnya gagal. Itu sebabnya orang sangat benci yang dengan yang
namanya gagal. Tetapi, orang sangat gembira bila ia berhasil. Sehingga ada perbedaan psikologi
antara orang yang gagal dan orang yang berhasil. Dalam konteks Kristen, keberhasilan selalu
dihubungkan dengan relasi antara orang Kristen dengan Yesus. Keberhasilan dan kegagalan
seseorang ditentukan oleh sikapnya terhadap Tuhan Yesus. Ada yang awalnya gagal kemudian
berhasil dan sebaliknya. Seperti yang dialami oleh murid-murid Tuhan Yesus di danau Genesaret,
mereka gagal setelah semalaman menangkap ikan dan ketika hari telah fajar menyingsing, ketika
mereka sedang membasuh jala dan Tuhan Yesus tiba-tiba menyuruh mereka untuk menangkap ikan,
ternyata BERHASIL dan ikan yang ditangkapnya sangat banyak. Bagaimana kita bisa berhasil
bersama Tuhan Yesus ?

1. Lupakan kegagalan dan pandang pada Yesus – Lukas 5:3.

“Perahu Simon” adalah perahu yg telah gagal sepanjang malam, tetapi pagi hari Tuhan Yesus
menumpang perahu tersebut dan Ia duduk dan “mengajar” dari atas perahu itu. Simon Petrus dan
teman2 disuruh melupakan kegagalannya dan mengkonsentrasikan kepada Firman Tuhan dan
muncullah iman kepercayaannya kepada Tuhan Yesus. Ketika saudara mau berhasil maka kita harus
bisa melupakan kegagalan-kegagalan. Ketika kegagalan datang, maka kita harus mengarahkan
pandangan kita kepada Tuhan Yesus dan bukan kepada kegagalan kita.

2. Berani bertindak – Lukas 5:4.

Orang yang gagal cenderung trauma atau tidak mau bergerak karena takut gagal lagi, tetapi Tuhan
Yesus berkata, “bertolaklah dan tebarkanlah”, ini adalah suatu perintah agar kita bergerak dan jangan
diam saja atau hanya bengong melihat masa lalu. Adakah trauma masa lalu yang membuat kita tidak
mau bergerak? Ayo, bergerak dan bertindak jangan diam saja.

3. Taat pada perintah Tuhan Yesus – Lukas 5:5.

Perbedaan orang yang berhasil dan tidak adalah “bekerja keras” tanpa Firman atau “bekerja sama”
dengan Firman Tuhan. Ternyata rahasia keberhasilan di dalam Alkitab adalah karena taat pada
Firman Tuhan (Yosua 1:8; Mazmur 1”2-3; Ulangan 28:1-14). Apakah kita mau berhasil? Bekerja keras
atau Bekerja dengan taat pada Firman Tuhan!

4. Punya visi – Lukas 5:10.

Melalui keberhasilan dalam penangkapan sejumlah besar ikan maka Tuhan Yesus memberi visi, yaitu
“Menjala manusia”. Ini ada perubahan Nilai Kehidupan, yaitu menjala ikan – “dari hidup dimatikan”,
sedangkan menjalan manusia – “dari yang mati kemudian dihidupkan”. Jadi, keberhasilan menurut
Tuhan Yesus mempunyai Nilai Kekal. Di mana patokan keberhasilan kita? Apakah kita mau menjadi
alat Tuhan untuk menjala manusia? Mari kita tingkatkan iman kita, yaitu mengenal Tuhan Yesus dari
sebagai “Guru” (Luk. 5:5), menjadi “Tuhan” (Luk. 5:8). Artinya, Tuhan sanggup bekerja dalam
kehidupan kita, bahkan mengubah kegagalan menjadi keberhasilan.
Memahami Kesuksesan Menurut
Pandangan Alkitab

Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya


Minggu, 17 November 2013

Oleh: Samuel T. Gunawan, SE., S.Th., M.Th

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,


yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan
malam.
Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada
musimnya,
dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mazmur 1:1-3)

PROLOG

Semua orang ingin sukses! Sukses dalam karier dan usaha, memiliki keuangan yang mapan,
kekayaan yang cukup dan keluarga bahagia adalah impian setiap orang. Tetapi kita tahu
bahwa sukses lebih dari sekedar impian. Memimpikan sukses tidak akan membuat seseorang
menjadi sukses. Sukses dapat diumpamakan seperti buah dan impian untuk sukses adalah
benih. Benih apapun harus ditanam, bertumbuh, dan kemudian barulah menghasilkan buah.
Ada kata-kata bijak yang mengatakan “knowledge is power but action gets things done”.
Diantara impian dan kenyataan ada suatu proses yaitu suatu tindakan dan usaha nyata untuk
merealisasikan impian tersebut.

Tidak ada masalah dengan kata “sukses” dan tidak masalah jika seseorang menginginkan
sukses. Bagaimana cara meraih sukses itulah masalahnya. Ratusan buku berisi teori sukses
dan cara meraih sukses telah ditulis. Tidak sedikit dari buku tersebut menawarkan cara sukses
yang instan, cepat dan praktis, menghalalkan segala cara yang keliru dan merugikan orang
lain. Ironisnya, banyak orang Kristen yang tergoda dengan tawaran tersebut. Sebenarnya,
tidak ada cara instan dan mudah dalam meraih sukses. Kesuksesan adalah sebuah proses!
Semakin besar kesuksesan yang ingin dicapai semakin besar proses yang harus dilewati. Jadi,
tidak ada sukses yang dapat dibeli dengan harga tunai, melainkan semua harus dicicil setiap
hari. Dan, uang muka untuk sukses adalah langkah pertama yang kita berikan untuk meraih
impian kita.

KESUKSESAN DALAM PERSPEKTIF ALKITAB

Alkitab adalah buku panduan utama bagi iman dan praktek hidup Kristen (Yosua 1:8;
Mazmur 1:1-3). Pemahaman yang benar tentang sukses berdasarkan perspektif Alkitab akan
mendorong kita berkarya dan melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kita dan pemakaian
Tuhan atas hidup kita (Ulangan 8:18). Sebaliknya pemahaman yang keliru tentang
kesuksesan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam “jurang” kehancuran. Biasanya sukses
yang merugikan orang lain diraih dengan cara memeras, menipu, curang, korupsi, membunuh
dan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran, moral
dan hukum agama. Lalu, apakah kesuksesan yang sebenarnya? Dan bagaimana pandangan
Alkitab mengenai sukses?
Pertama, kesuksesan adalah kemampuan untuk merealisasikankan seluruh aspek kehidupan
yang terintegrasi secara utuh (3 Yohanes 1:2). Aspek-aspek kehidupan yang perlu perhatikan,
yaitu: keluarga, karier dan perkerjaan, keuangan atau ekonomi, kepribadian yang matang,
kesehatan yang prima, relasi dengan sesama, dan spiritualitas religi. Mengabaikan atau
mengorbankan satu dari aspek-aspek ini dapat berakibat fatal. Sebagai contoh, sangat
menyedihkan bila sukses dalam karier tapi gagal dalam mencapai kebahagiaan rumah tangga,
atau banyak harta tetapi kesehatan buruk. Karena itu perlu mengintegrasi dan
menyeimbangkan semua aspek kehidupan tersebut. Tetapi, dalam analisisi terakhir siapakah
yang telah secara sempurna mampu mengintegrasi semua aspek tersebut?

Kedua, standar kesuksesan tidaklah sama bagi setiap orang. Bakat, potensi, kemampuan dan
karunia setiap orang berbeda (Roma 12:3-8). Berbagai bakat dan kemampuan itu antara lain:
atletik, artistik, arsitek, desainer, politisi, mekanik, matematis, pendidik, pemikir, teknokrat,
birokrat, akuntan, pengacara, pembisnis, farmasi, medikal, dan lainnya. Meniru dan berusaha
mengejar kesuksesan menurut ukuran orang lain adalah upaya memaksa diri dan mengingkari
keberadaan pribadi kita. Memang benar bahwa kita perlu belajar dari orang lain sebagaimana
dikatakan John C. Maxwell, “orang paling bijaksana adalah orang yang belajar dari
keberhasilan orang lain”. Tetapi ini bukan berarti meniru sukses menurut ukuran orang lain.
Sukses ialah bagaimana menjalani hidup dengan menjadi diri sendiri, melakukan yang terbaik
sesuai potensi yang terus digali dan kemampuan pribadi yang terus ditingkatkan. Tidak ada
standar tentang berapa besar suatu pencapaian untuk dapat dikatakan sukses. Alkitab sendiri
tidak pernah menentukan bahwa sukses haruslah sesuatu yang besar. Dalam pandangan
Tuhan, hamba dengan modal 5 talenta yang menghasilkan keuntungan 5 talenta dan hamba
dengan modal 2 talenta yang menghasilkan keuntungan 2 talenta, sama-sama disebut sebagai
“hamba yang baik dan setia” (Matius 25:20-23).

Ketiga, kesuksesan adalah filosofi hidup benar yang dijalani dengan benar. Disadari atau
tidak, setiap orang memiliki filsafat hidup. Filsafat hidup merupakan ekspresi dari keunikan
seseorang dan mencerminkan semua aspek kehidupannya. Filsafat hidup seseorang akan
mempengaruhi perilaku dan jalan hidupnya. Memahami filsafat hidup yang benar dan
menjalankannya dengan benar akan membawa dampak kesuksesan hidup. Alkitab berkata:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan
budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang
berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2). Di atas telah disebutkan bahwa
sukses dapat diumpamakan seperti buah sedangkan impian untuk sukses adalah benih. Benih
apapun harus ditanam, bertumbuh, dan kemudian barulah menghasilkan buah. Jadi, buah apa
yang ingin kita tuai tergantung dari jenis dan kualitas benih yang kita tabur. Kristus
mengatakan, “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari
rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang
pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik
itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah
yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan
dibuang ke dalam api” (Matius 7:16-19).

Keempat, kesuksesan bukanlah tujuan hidup melainkan suatu proses dan perjalanan hidup
dalam mencapai tujuan Tuhan bagi hidup kita. Tuhan menjadikan segala sesuatu termasuk
manusia bagi kemuliaanNya (Roma 11:36; Kolose 1:16). Hidup adalah sebuah perjalan linier
dan setiap perjalanan pastilah memiliki tujuan. Menurut Alkitab, tujuan hidup tertinggi
manusia sebagaimana ditegaskan dalam Katekismus Westminster adalah “untuk memuliakan
Allah dan menikmati Dia selama-lamanya” (Roma 11:36). Karena itu, tujuan-tujuan lainnya
dari hidup manusia baik yang bersifat personal, profesional (bisnis, organisasi, lembaga, dll),
dan spiritual, semuanya harus diikat pada premis tujuan “untuk kemuliaan Allah” ini.
Memenuhi tujuan hidup yang Tuhan inginkan bagi kita merupakan panggilan hidup yang
tertinggi. Mother Theresa dari India, karena panggilan Tuhan rela meninggalkan kehidupan
nyaman dan aman di biara, pergi melayani orang-orang miskin, pinggiran dan tak tersentuh di
Calccuta. Ini merupakan contoh dari seorang yang memenuhi tujuan Tuhan dalam hidupnya.

Kelima, kesuksesan tidak dinilai dari rencana yang baik dan anggaran yang besar, tetapi dari
hasil atau prestasi yang dicapai. Artinya, sukses harus dikaitkan dengan pencapaian hasil atau
prestasi. Perencanaan yang baik dan matang itu penting, dan bahwa perencanaan yang baik
adalah awal yang baik untuk meraih sukses, tetapi perencanaan hanya satu langkah dari
langkah-langkah berikutnya. Jika tidak ada tindakan yang mengikuti untuk mewujudkannya
maka perencanaan itu tidak mengasilkan apapun. Sebagai contoh, seorang atlet lari cepat
menyadari bahwa start yang baik merupakan modal awal untuk meraih kemenangan, tetapi
itu tidaklah cukup, karena ia akan disebut pemenang bila ia bisa lebih dulu mencapai garis
finish. Sebab itu, hamba yang “sukses” dalam perumpamaan tentang talenta yang
disampaikan Kristus dalam Matius 25:14-30 adalah hamba yang diberi modal dan
“menghasilkan keuntungan”. Tuhan tidak membatasi kita untuk pencapaian dan prestasi
setinggi apapun. Justru ia ingin kita berbuah lebat, seperti pohon yang ditanam ditepi sungai,
yang tumbuh subur dan menghasilkan buah yang lebat (Mazmur 1:3; 92:13-16).

Keenam, kesuksesan tidak boleh bertentangan dengan kebenaran. Artinya, sukses apapun
yang diraih harus sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang tertulis dalam firman Tuhan
(Alkitab). Ujian yang menentukan benar atau tidaknya suatu kesuksesan dari Tuhan adalah
kesesuaiannya dengan Alkitab, yaitu kesesuaiannya dengan norma, nilai-nilai moral dan
kebenaran yang terkandung di dalam Alkitab (1 Tesalonika 5:21). Kebenaran selalu
menghasilkan damai sejahtera, “Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera,
dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya” (Yesaya
32:17). Kesuksesan yang dicapai dengan menerapkan kebenaran (firman Tuhan) pastilah
menghasilkan damai sejahtera, sebab “Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-
Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan
kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah
berhenti” (Yesaya 48:18).
Ketujuh, kesuksesan tidak ditentukan sepenuhnya oleh manusia melainkan atas perkenan dan
kehendak Tuhan (Yosua 1:8; Ulangan 28:1-13; Matius 6:33). Artinya, sukses melibatkan
campur tangan Tuhan. Justru sukses yang tidak mengikutsertakan Tuhan merupakan suatu
penghinaan terhadap Tuhan. Tuhan adalah pencipta dari semua. Tuhan adalah pemilik
segalanya. Alkitab menyatakan “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia
serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1 bandingkan Mazmur 50:10, 12). Dengan
demikian, kehidupan kita di bumi adalah sebuah kepercayaan dari Tuhan. Waktu yang kita
miliki di bumi, tenaga, kepandaian, kesempatan, hubungan, dan kekayaan, semua pemberian
dari Tuhan yang Dia percayakan dalam pemeliharaan dan pengelolaan kita. Dengan demikian
kesuksesan bukan semata-mata masalah sekuler tetapi menyangkut masalah spiritual yang
berdampak kekal. Seperti yang dikatakan oleh Toni Evans “Kesuksesan tidak bisa disebut
sekuler karena pemilik segala sesuatu adalah Tuhan. Kita tidak bisa membicarakan
kesuksesan, tanpa menaruh perspektif Tuhan lebih dulu”.

EPILOG

Akhirnya, perlu diingat bahwa sukses di dunia bersifat sementara; sukses yang dari Tuhan
bernilai kekal. Tuhan memberikan kesuksesan bagi kita supaya digunakan untuk memenuhi
tujuan-tujuanNya. Jika kita bisa menunjukkan bagaimana berkat-berkat Tuhan dalam
kehidupan kita mengalir kepada orang lain, maka Tuhan punya alasan untuk memberi kita
kesuksesan. Jika Tuhan tidak punya alasan untuk memberi kita kesuksesan, maka satu-
satunya cara untuk mendapatkan kesuksesan adalah cara yang terpisah dan berlawanan
denganNya. Jika ini yang terjadi, maka kita akan membayar harga yang mahal untuk
mendapatkannya. Karena itu, jadikan kesuksesan kita menjadi berkat bagi orang lain.
7 Langkah Menuju Kehidupan Kristen
yang Sukses
Info

Oleh Natalie Hanna Tan, Singapura


Artikel asli dalam bahasa Inggris: 7 Steps for Successful Christian Living

Kita tahu seperti apa sukses itu dan bagaimana mencapainya. Belajar yang rajin untuk masuk
ke universitas impian agar kemudian bisa mendapatkan pekerjaan impian kita, makan yang
baik dan berolahraga sehingga kita mempunyai kesehatan yang baik, mengasihi orang-orang
di sekitar kita sehingga kita bisa menikmati hubungan yang baik . . . daftar ini bisa terus
berlanjut.

Kita semua ingin menjadi sukses dalam hidup ini, bukan?

Bagaimana dengan perjalanan kita bersama Tuhan? Dapatkah kita menghidupi kehidupan
yang “sukses” dalam iman kita? Berikut adalah beberapa cara yang Tuhan tunjukkan
kepadaku tentang kehidupan Kristen yang “sukses”:

1. Menghabiskan Waktu bersama Tuhan dengan Tidak Terburu-Buru

Jika kamu seperti saya, telah datang ke gereja sejak kecil, kata-kata ini tidaklah asing. Aku
dulu berpikir bahwa menghabiskan waktu bersama Tuhan adalah membaca Alkitab dan
menuliskan hal-hal yang aku telah pelajari selama 15 menit, diikuti dengan berdoa selama 5
menit.
Tapi akhir-akhir ini, Tuhan menekankan kepadaku perlunya menghabiskan waktu bersama
dengan-Nya dengan tidak terburu-buru. Itu berarti mengambil waktu untuk menikmati
kehadiran-Nya, bersekutu dengan-Nya, dan melakukan kegiatanku bersama-Nya—lebih dari
20 menit yang biasa aku sediakan untuk-Nya setiap hari. Menghabiskan waktu bersama
Tuhan bukanlah menyia-nyiakan waktu; itu adalah kunci dari menghidupi sepanjang hari kita
dengan baik.

Hal ini bisa jadi berbeda-beda untuk masing-masing orang. Itu dapat berarti menghabiskan
waktu di malam hari daripada pagi hari dengan Tuhan, pergi ke kafe—seperti kita sedang
kencan dengan-Nya—atau bahkan menulis jurnal dan menceritakan hari kita kepada-Nya.

Ketika kita menghabiskan waktu bersama Tuhan dengan menyadari bahwa Dia hadir di sini
bersama kita, cara kita berkomunikasi dengan-Nya akan berubah—dan kita akan bertumbuh
dalam pengenalan akan Dia. Kita tidak hanya melihat Dia sebagai Allah kita, tapi kita juga
belajar untuk melihat Dia sebagai seorang Bapa dan seorang Sahabat.

2. Mengambil Waktu untuk Beristirahat

Dalam zaman sekarang ini, kita cenderung sibuk memenuhi hari kita dengan berbagai
aktivitas dan terburu-buru pergi dari tempat A ke B sampai-sampai kita kehilangan seni
beristirahat. Kita seringkali tidak menyadari bahwa beristirahat adalah sebuah konsep yang
diberikan Tuhan, pertama kali diciptakan Tuhan dalam Kejadian 2:2-3.

Tuhan menciptakan alam semesta dalam 6 hari dan beristirahat di hari ke-7—bukan karena
Dia lelah (Yesaya 40:28), tapi karena Dia ingin memberkatinya dan menguduskannya bagi
manusia untuk beristirahat. Tuhan menekankan pentingnya beristirahat dengan menciptakan
sebuah hari yang penuh untuk itu.

Seberapa sering kita benar-benar beristirahat dan mengambil waktu untuk meninggalkan
rutinitas kita sehari-hari? Itu bisa berupa menghabiskan sehari penuh bersama Tuhan atau
keluar di siang hari untuk berlari di taman. Apapun yang memulihkan energi kita juga dapat
menolong kita untuk mendekat kepada Tuhan.

3. Bersyukur

Dalam bukunya “One Thousand Gifts”, penulis asal Kanada bernama Ann Voskamp menulis
bahwa “Eucharisteo—pengucapan syukur—selalu mendahului mukjizat” dan masalah kita
adalah “kita tidak puas di dalam Tuhan dan dengan apa yang Dia berikan. Kita menginginkan
sesuatu yang lebih, sesuatu yang lain.”

Beberapa tahun yang lalu, aku mengalami kesulitan untuk bersyukur kepada Tuhan. Aku
tidak dapat melihat kebaikan-Nya di dalam hidupku, dan aku tidak melihat sesuatu apapun
yang dapat aku syukuri. Saat itulah seorang pembina menantangku untuk membuat sebuah
jurnal pengucapan syukur. Selama 90 hari, aku harus menuliskan 3 hal yang aku syukuri
kepada Tuhan setiap hari. Totalnya ada 270 hal yang aku syukuri—tanpa pengulangan!
Akhirnya aku bersyukur kepada Tuhan atas hal-hal yang terjadi setiap menit dalam hidupku
yang selama ini aku terima begitu saja: langit biru dan hari yang cerah, kesehatan yang baik,
dan tangan dan kaki untuk melakukan pekerjaan-Nya.
Mazmur 118:24 berkata, “Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak
dan bersukacita karenanya!” Tuhan telah menjaga kita dengan nafas dan kehidupan yang dari
pada-Nya setiap hari—bagaimana mungkin kita tidak bersyukur? Ketika kita bersyukur setiap
hari, kita akan melihat jejak-jejak Tuhan dalam hidup kita dan menemukan sukacita dan
kepuasan di dalamnya.

4. Fokus kepada Tuhan

Coba ini: pegang sebuah Alkitab dengan lengan terentang, lalu pelan-pelan dekatkan itu ke
arah mukamu. Pada akhirnya, Alkitab itu akan memenuhi pandanganmu dan kamu tidak akan
dapat melihat hal yang lain. Tentunya, itu bukan berarti hal-hal yang lain tidak ada di sana;
itu hanyalah perubahan pandangan dan perspektif.

Seperti himne klasik “Pandanglah pada Yesus” yang berbunyi, “di dalam terang kemuliaan-
Nya, dunia akan menjadi hampa”. Benar sekali! Ketika kita memandang Yesus, kita akan
menemukan diri kita tidak mudah tergoda dan tenggelam akan kesulitan dan tantangan yang
ada di dunia ini.

Ketika kita menanti-nantikan Tuhan setiap hari, kita juga akan mendapat kekuatan baru
daripada-Nya (Yesaya 40:31). Kehidupan yang sukses berawal ketika kita menyadari bahwa
kita lemah dan kita membutuhkan pertolongan Tuhan. Dia, bukan kita, menjadi kekuatan kita
untuk melalui hari demi hari.

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu.” (Matius 11:28).

5. Mematikan Egomu

Menjadi seorang Kristen yang sukses dengan mengejar Kristus setiap hari berarti
membiasakan diri untuk mengatakan “tidak” kepada dunia dan keinginan daging kita. Dalam
Galatia 5:19-26, Paulus berbicara mengenai bagaimana kita harus meninggalkan keinginan
daging dan hidup dipimpin oleh Roh. Matius 16:24 juga mengatakan bahwa siapapun yang
ingin menjadi murid Kristus harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti
Dia.

Kita juga dapat memeriksa hidup kita dengan standar yang diberikan Tuhan, dan meminta
pengampunan-Nya atas kelalaian kita. Ketika kita mengakui dosa kit dan berusaha untuk
berubah secara konsisten, kita diperbarui oleh anugerah-Nya dan dapat mengalami hubungan
yang lebih dekat dengan-Nya.

6. Mengatur Hidupmu

Kolose 3:23 berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu
seperti untuk Tuhan . . .” Ayat ini mendorong kita untuk bekerja sebaik-baiknya, berikan usah
terbaik kita dalam pekerjaan apapun yang diberikan kepada kita, baik besar atau kecil, karena
kita ingin menyenangkan Tuan kita. Satu cara praktis yang dapat kita lakukan adalah dengan
mengatur hidup kita dengan baik. Memperhatikan janji-janji pertemuan kita setiap hari dan
hal-hal yang harus kita lakukan, dan mengalokasikan waktu untuk beristirahat, tidur, dan
makan dengan baik, semuanya menjadi bagian yang dapat menolong kita untuk menghidupi
hidup yang terbaik yang Tuhan inginkan bagi kita. Ini tidak hanya akan membantu kita
menjadi produktif melakukan tugas-tugas kita, tapi juga akan menolong kita untuk
memprioritaskan waktu bersama Tuhan dan orang-orang di sekitar kita.

Sebuah hal yang aku telah coba lakukan untuk mengatur hidupku dengan lebih baik adalah
dengan memperhatikan jadwal harianku dalam sebuah agenda pribadi. Menuliskan rencana-
rencanaku dan hal-hal yang harus kulakukan menolongku untuk memperhatikan apa dan di
mana aku menghabiskan waktu dan energiku. Ini memungkinkanku untuk memiliki sebuah
hidup yang bermakna dan bertujuan, dan tidak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak
penting.

7. Memberi kepada Tuhan dan Sesama

Ketika membicarakan uang, waktu, atau energi, aku menyadari bahwa memberi untuk
kerajaan Allah dan kepada orang-orang yang membutuhkan selalu menjadi sebuah berkat.

Ketika aku duduk di bangku SMA, Tuhan mulai mengetuk hatiku untuk berkontribusi bagi
komunitasku. Aku kemudian menemukan sebuah kesempatan untuk menjadi relawan di
lingkunganku: Untuk mengajar dan bermain bersama anak-anak yang menderita cerebral
palsy setiap hari Senin pagi. Bagiku, itu bukanlah sebuah hal yang besar—hanya 4 jam dalam
seminggu. Tapi sepertinya itu begitu berarti bagi anak-anak yang aku temui. Senyum lebar
mereka tidak pernah gagal untuk menyenangkanku dan mereka selalu duduk bersamaku
ketika sesi istirahat untuk menceritakan tentang kehidupan dan keluarga mereka kepadaku.

Pengalaman ini membuatku sadar bahwa aku mendapatkan lebih banyak daripada yang aku
berikan. Aku mendapatkan hati dari anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik, melihat
mereka dengan cara Tuhan melihat mereka, dan aku belajar bagaimana melihat hidup dari
perspektif yang sederhana seperti seorang anak kecil.

Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Paulus menulis, “Adalah lebih bahagia memberi dari pada
menerima”. Kita harus memberi untuk pekerjaan Tuhan dan melakukan bagian kita dalam
membangun kerajaan-Nya. Tidak hanya pekerjaan-Nya akan diperluas melalui persembahan
uang, waktu, energi, dan keahlian kita, tapi kita juga akan menemukan kepuasan dan
sukacita.

***

Ketujuh cara ini bukanlah daftar yang lengkap untuk menghidupi kehidupan Kristen yang
sukses. Itu hanyalah hal-hal yang Tuhan tekankan kepadaku di dalam perjalanan kehidupan
Kristenku. Ketika aku menjalani hidupku dan mendisiplinkan diriku untuk melakukan
ketujuh hal tersebut dalam hidupku, aku menemukan diriku mendekat selangkah demi
selangkah kepada Kristus setiap hari.

Lebih daripada segalanya, apapun bentuknya, kehidupan yang sukses adalah ketika kita
mengandalkan Tuhan dan mendekat kepada-Nya.
Ketika Kesuksesan Menjadi Kegagalan di
Mata Tuhan
Info

Oleh Maleakhi P. S.

Ke manapun aku pergi, aku melihat orang-orang di sekelilingku mengejar sesuatu. Beberapa
belajar keras untuk mendapatkan nilai yang mereka inginkan, beberapa bekerja keras agar
dapat dipromosikan, sedangkan yang lain mencari uang tambahan untuk membeli mobil dan
rumah yang bagus. Meskipun hasil akhirnya berbeda, ada satu kesamaan yang mereka miliki:
semua orang mengejar sesuatu. Semua orang ingin menjadi sukses.

Tapi mengapa begitu banyak orang mengejar kesuksesan? Apa definisi kesuksesan yang
sejati? Adakah cara agar kita mendapatkan kepastian akan hal ini?

Begitu lama aku tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini—hingga suatu hari aku
menemukan sebuah quote yang menunjukkan hubungan yang menarik antara kesuksesan dan
kegagalan. Quote itu berbunyi: “Kegagalan adalah kesuksesan yang Tuhan tidak berkenan.”

Aku langsung melihat kebenaran di dalam quote tersebut. Hanya ada satu cara untuk
mengukur kesuksesan—dengan standar Tuhan. Tapi seringkali bukan inilah yang kita
lakukan. Malahan, kita mengukur kesuksesan menurut hal-hal fisik yang kita capai, bukan
karena Tuhan yang berkenan atas kita. Kita jarang diam dan bertanya, “Apakah Tuhan
berkenan atas kesuksesanku ini?”

Bayangkan skenario berikut ini: Bagaimana jika seseorang mampu hidup dengan gaya hidup
yang mewah karena kekayaan yang dia dapatkan dari hasil korupsi? Atau bagaimana dengan
seseorang yang menjadi CEO di sebuah perusahaan karena dia melakukan sabotase atas
kompetitornya? Apakah kita akan menilai hidup mereka sukses?

Di mata dunia, mungkin ya. Tapi di mata Tuhan, “kesuksesan-kesuksesan” ini sesungguhnya
adalah “kegagalan-kegagalan”.

Ketika Saul Gagal

Aku teringat akan sebuah perikop Alkitab dalam 1 Samuel 15, di mana Tuhan memerintahkan
Saul untuk mengalahkan orang Amalek, dan menumpas semua yang ada di dalamnya (ay.3).
Saul kemudian sukses mengalahkan mereka (ay.7), tapi berbeda dengan apa yang
diperintahkan Tuhan untuk menumpas semua orang dan semua ternak, dia menangkap hidup-
hidup Agag, raja orang Amalek, dan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dan
tambun. Dia menyelamatkan segala yang berharga (ay.8), dan dengan terang-terangan
melawan perintah Tuhan.

Untuk para rakyat, Saul mungkin terlihat sukses dalam misinya, tapi di mata Tuhan, dia telah
gagal dalam menjalankan misi-Nya sepenuhnya karena ketidaktaatannya. Meskipun banyak
ternak yang telah dia habisi dan banyak orang Amalek yang telah dia tumpas, Tuhan sangat
kecewa dengan Saul. Di ayat berikutnya, Tuhan berkata, “Aku menyesal, karena Aku telah
menjadikan Saul raja, sebab ia telah berbalik dari pada Aku dan tidak melaksanakan firman-
Ku” (ay.11).

Apakah Aku Gagal?

Setelah membaca apa yang Tuhan ucapkan kepada Saul, aku mulai merefleksikan hidupku
sendiri. Jika Tuhan dapat mengatakan pernyataan yang begitu keras kepada seorang raja yang
telah Dia urapi, Dia juga dapat mengatakannya kepadaku. Aku tidak dapat membayangkan
perasaanku jika Tuhan mengatakan kepadaku bahwa Dia menyesal telah menjadikanku
pemimpin atau memberikanku talenta-talenta.

Benar, kita mungkin memiliki tangan yang terampil, muka yang cakep, dan pembawaan yang
oke, tetapi jika emosi, pikiran, dan perbuatan kita tidak murni, Tuhan takkan berkenan atas
kita. Kadang, kita bahkan mungkin seperti Saul: Kita dapat melakukan pekerjaan Tuhan, tapi
tidak dengan cara yang menyenangkan-Nya. Misalnya, aku dapat mengajak jemaat
menyembah dan memuji Tuhan dengan begitu percaya diri, tapi motifku bisa jadi keliru.
Orang lain di sekitarku mungkin berpikir aku sukses dan aku berjalan dekat bersama Allah.
Tapi Dia dapat melihat apa yang telah kuperbuat, langsung ke dalam hatiku (1 Samuel 16:7).

Jadi, kesuksesan yang sejati dicapai ketika apa yang kita lakukan berkenan kepada Tuhan.
Daripada menanyakan diri kita bagaimana kita dapat sukses di mata dunia, kita seharusnya
menanyakan diri kita bagaimana kita dapat sukses di mata Tuhan. Bahkan jika dunia tidak
mengakui apa yang kita lakukan sebagai sebuah kesuksesan, berjuanglah untuk terus
menyenangkan dan taat kepada-Nya.
Tuhan berkenan atas kita ketika kita menaati dan mendengarkan Dia, seperti yang dikatakan
dalam 1 Samuel 15:22 yang berbunyi, “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran
dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya,
mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada
lemak domba-domba jantan.” Penampilan luar tidaklah berarti bagi-Nya, apa yang ada di
dalam hati kitalah yang berarti bagi-Nya. Apakah kita menaati Dia hari ini? Apakah perasaan,
pikiran, dan perbuatan kita murni di hadapan-Nya?

Kiranya ini menjadi doa kita hari ini, agar kita berjuang mencapai kesuksesan—di mata
Tuhan
Ketika Aku Iri dengan Teman Baikku
Info

Oleh Natalie Hanna Tan, Singapura


Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Was Jealous of My Best Friend

Aku mau mengakui sesuatu: Aku pernah iri dengan teman baikku.

Aku tidak bermaksud untuk iri dengannya, dan aku pun bingung bagaimana itu dapat terjadi.
Kami tumbuh besar bersama dan berbagi banyak hal sejak kami masih kecil: sukacita dan
tangisan, berbagai rahasia dan mimpi-mimpi kami. Kami memiliki banyak kesamaan—minat,
kepribadian, dan apa yang kita sukai banyak yang sama. Bahkan ada orang-orang yang
menyangka kami adalah saudara kandung.

Namun keadaan berubah di tahun 2013 ketika aku mulai merasakan ketegangan di dalam
pertemanan kami. Itu dimulai dari sebuah pemikiran kecil: “Mengapa dia menjadi bagian dari
kepanitiaan (acara gereja) dan aku tidak?” Pemikiran ini berkembang menjadi semakin besar
seiring bulan berganti.

Ketika aku mencoba untuk menyingkirkan pemikiran itu, dengan harapan itu secara ajaib
menghilang, Iblis, dengan caranya yang halus, mulai mempengaruhi pikiran dan emosiku.
Seiring dengan teman baikku menjadi semakin terkenal di gereja, Iblis membuatku merasa
inferior, membuatku menjadi iri hati dan kepahitan dengan teman baikku. Dia cantik, disukai
banyak orang, berbakat . . . dan sempurna; aku selalu ingin menjadi seperti dia, dan dia
mempunyai segala hal yang aku inginkan.
Aku menjadi frustrasi dengan Tuhan, dan berkali-kali bertanya kepada-Nya mengapa Dia
sepertinya baik dengan teman baikku, tapi tidak denganku. Mengapa dia mendapat begitu
banyak kesempatan untuk melayani? Mengapa aku tidak berhasil dalam pelayananku
sedangkan dia menerima begitu banyak berkat? Mengapa semua orang sepertinya menyukai
dia lebih daripadaku? Aku terus mencoba membuktikan diriku pada orang lain, bersusah
payah “menjadi lebih baik” dan mencoba menjadi lebih baik daripada dia. Sebelum aku
menyadarinya, aku telah terjebak dalam iri hati dan ambisiku yang egois; aku telah terjebak
dalam keinginan dagingku.

Sebenarnya, aku telah kehilangan arti dari sukses yang sejati. Untuk menjadi sukses di gereja,
aku pikir, adalah tentang seberapa aktifnya diriku. Aku pikir aku perlu melayani di banyak
kelompok, merencanakan banyak acara untuk jemaat pemuda, para mentor anak-anak,
berbicara dengan lancar di pertemuan pemuda, dan menyentuh banyak jiwa. Tapi Tuhan
menunjukkan kepadaku bahwa bukan apa yang kelihatan yang berarti. Dia menunjukkanku
apa artinya menjadi seorang pengikut Kristus yang sukses.

Dalam Galatia 5:19-21, rasul Paulus menyebutkan perbuatan daging yang akan membuat kita
tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Intinya, jika kita terus-menerus berkubang di
dalam perlakuan-perlakuan tersebut, itu menunjukkan bahwa kita belum tunduk kepada
penebusan Kristus dan pembaharuan Roh Kudus.

Lawan dari hidup oleh keinginan daging adalah hidup oleh Roh (Galatia 5:22-26). Ini
ditunjukkan ketika hidup kita menunjukkan buah Roh dan bukan dosa, termasuk saling iri
hati satu sama lain. Seiring Tuhan bekerja di dalam hidup kita dan membaharui kita, kita
bertumbuh di dalam kerinduan kita untuk menyenangkan Dia dan mencerminkan hati-Nya
dan karakter-Nya melalui hidup kita.

Dengan mengizinkan diriku untuk dikuasai oleh perasaan iri hati, secara tidak sadar aku
sedang memberikan diriku kepada dunia; aku tidak mengizinkan Tuhan untuk bekerja di
dalamku dan melalui aku. Aku tidak hidup menurut Roh.

Selama masa ini, teman baikku merasakan ketegangan di dalam pertemanan kami juga. Kami
berhenti bertemu karena kami sama-sama tahu bahwa ada sesuatu yang salah—tapi kami
tidak tahu bagaimana memperbaikinya. Aku menceritakan kepada mentorku di gereja tentang
rasa frustrasi yang aku alami. Kalau bukan karena mentorku yang mengajak kami untuk
bersama-sama membicarakan masalah ini, kami mungkin telah melepaskan pertemanan kami
seluruhnya.

Membutuhkan banyak doa dan percakapan dari hati ke hati sebelum akhirnya kami
mendapatkan terobosan. Itu bukanlah percakapan “mari-duduk-dan-ngobrol-tentang-hidup”
yang biasanya terjadi. Melainkan, kami harus dengan jujur memberitahu satu sama lain
tentang apa yang kami tidak senangi dan berbagai rasa sakit yang kami rasakan.

Bagiku, aku harus menjaga ekspektasiku akan pertemanan ini dan ekspektasiku akan teman
baikku. Aku perlu mengerti bahwa seberapa banyak pun kesamaan yang sepertinya kami
miliki, Tuhan mempunyai rencana yang berbeda bagi kami. Kekuatan kami berbeda dan aku
tidak seharusnya membandingkan diriku dengan dirinya. Melainkan, aku harus
mendukungnya—tidak hanya dalam pelayanannya, tapi dalam semua hal di mana dia terlibat
di dalamnya.
Sejujurnya, itu sama sekali tidak mudah. Tapi melalui waktu ini, aku belajar untuk menahan
setiap pemikiran negatif dan menyerahkannya kepada Tuhan. Butuh begitu banyak malam
yang menyakitkan dan malam-malam di mana aku tidak bisa tidur untuk akhirnya aku dapat
melepaskan semua emosi dan membangun kembali pertemanan kami dari awal.

Tapi aku sekarang dapat berkata bahwa semuanya itu tidaklah sia-sia. Sudah 3 tahun berlalu
sejak hal itu terjadi, dan dengan anugerah Tuhan, aku sangat senang untuk mengatakan
bahwa kini pertemanan kami telah menjadi lebih dewasa, dan kami sama-sama bertumbuh
dan mengarungi hidup lebih kuat daripada sebelumnya.
Mengapa Tuhan Memanggil Pulang Mike
Mohede di Usia Mudanya?
Info

Oleh Charles

Mike Mohede, penyanyi berusia 32 tahun yang menjadi pemenang Indonesian Idol musim
kedua, dikabarkan meninggal dunia hari ini di RS Premiere Bintaro akibat serangan jantung.

Aku sangat terkejut ketika mendengar berita dukacita ini. Ini adalah kali kedua dalam dua
hari terakhir aku mendengar kabar tentang musisi Kristen muda berbakat yang dipanggil
Tuhan di usianya yang masih begitu belia karena serangan jantung. Seorang yang lain itu
adalah Obedh, teman dari temanku, yang berusia 28 tahun ketika Tuhan memanggilnya
pulang ke surga beberapa hari yang lalu. Mengapa Tuhan memanggil mereka pulang secepat
itu?

Kedua orang ini memiliki banyak kesamaan: mereka sama-sama adalah musisi berbakat,
mereka adalah seorang Kristen yang taat, begitu banyak teman dan kerabat yang menyatakan
rasa belasungkawa di akun media sosial mereka, dan mereka berdua dipanggil Tuhan di
usianya yang masih begitu muda. Lalu mengapa Tuhan mengizinkan ini semua terjadi?
Tampaknya ini adalah sebuah pertanyaan yang juga ditanyakan banyak orang saat ini,
termasuk diriku.
Berita dukacita itu membuatku mencari lebih jauh tentang pribadi Mike, dan aku menemukan
sebuah kesaksian hidup yang pernah dibagikan oleh Mike. Aku begitu terharu ketika
membaca kata-kata Mike di dalam kesaksian tersebut.

Semua yang saya inginkan selama saya hidup Tuhan selalu berikan. Saya cuma berdoa minta
pada Tuhan dan Tuhan kasih. Saya hidup sebenarnya cuma modal dengkul.

Mike adalah seorang yang menyadari bahwa segala yang dia miliki dalam hidup ini adalah
pemberian Tuhan. Meskipun tentunya, perjalanan hidupnya tidaklah selalu mulus. Dia
menceritakan bagaimana pergumulannya ketika ayahnya dipanggil ke rumah Bapa di surga
ketika dia masih berusia 18 tahun. Namun itu tidak membuatnya kehilangan pengharapan.

Awalnya saya nggak tahu mau ngapain? Papa itu tonggak kehidupan kami. Dari situ saya
dapat satu hikmat. Saya sudah punya talenta yang Tuhan beri, punya keluarga yang selalu
dukung saya. Kenapa harus sedih? Bukankah saya punya sosok Bapa yang lebih dahsyat,
Bapa yang lebih mengenal saya, yang selalu lebih tahu saya. Saya punya pengharapan baru
untuk menjalani hidup ini.

Ketika aku membaca kesaksian Mike di atas, aku menyadari bahwa aku mungkin tidak tahu
jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul artikel ini: “Mengapa Tuhan memanggil pulang
Mike Mohede di usia mudanya?” Tetapi aku tahu satu hal: Bapa di surga lebih mengenal
Mike, dan Dia tahu yang terbaik untuk Mike. Kita mungkin tidak dapat mengerti mengapa
itu adalah yang terbaik untuk Mike, tapi Tuhan tahu. Dia lebih mengenal Mike lebih daripada
siapapun di dunia ini. Dan itu cukup untuk memberikan kita pengharapan baru untuk
menjalani hidup ini.

Sebagai orang percaya, aku percaya Mike dan Obedh saat ini telah ada di tempat yang lebih
baik, sebuah kediaman yang kekal di surga bersama Allah, karena itu adalah janji yang Tuhan
berikan kepada anak-anak-Nya.

“Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah
telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang
kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.” (2 Korintus 5:1)

Mike dan Obedh telah mengakhiri pertandingan mereka dengan baik dalam hidup ini.
Sedangkan bagi kita, Tuhan masih mengaruniakan kita kehidupan, untuk kita hidupi sebaik-
baiknya bagi Dia, hingga waktunya Tuhan memanggil kita kembali kepada-Nya.

Selamat jalan Mike dan Obedh, kami akan senantiasa merindukanmu. Terima kasih untuk
teladan iman yang telah kamu tinggalkan bagi kita semua.
Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar
Aku Berbalik Kepada-Nya
Info

Oleh Mary Ann


Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Pneumonia Was What I Needed

Dahulu, aku adalah seorang yang amat berambisi. Saat kuliah, aku menikmati hidup dan
bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan—terutama ketika itu berhubungan
dengan nilai. Aku ingin menjadi mahasiswi terbaik sehingga semua orang melihatku.
Ambisiku ini membuatku mengorbankan banyak hal yang lain: Tuhan, keluarga, dan teman-
teman. Namun kemudian keadaannya menjadi berbalik, ketika aku mulai kehilangan semua
hal yang aku miliki—pekerjaan impianku, pacarku, dan kesehatanku.

Segera setelah lulus kuliah, sebuah perusahaan desain yang selalu kuimpi-impikan menjadi
tempatku bekerja menolak lamaranku sebagai desainer grafis. Akibatnya, aku harus bekerja
di perusahaan keluargaku sebagai seorang asisten penjualan. Sangat sulit bagiku untuk
menceritakan pekerjaanku kepada teman-temanku karena mereka tahu betapa aku ingin
bekerja di perusahaan desain tersebut. Hal itu bahkan menjadi semakin sulit ketika sebagian
besar dari mereka mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang terkenal. Seakan segalanya
belum cukup buruk, pacarku—yang aku pikir akan mendampingiku seumur hidup—
memutuskanku beberapa bulan kemudian. Aku patah hati.
Ketika aku bergumul untuk move on, luka-luka lama dan berbagai perasaan datang kembali.
Tiba-tiba aku mengingat kembali masa-masa di mana orang lain menyakitiku, dan aku
menjadi kepahitan dengan mereka. Aku menjadi sangat sadar akan segala ketidakmampuan
dan kegagalanku, dan menjadi marah kepada Tuhan karena mengizinkan semua hal ini terjadi
padaku dalam waktu yang bersamaan. Aku kehilangan mimpi dan semangatku. Aku merasa
seperti terombang-ambing di tengah kehidupan yang tidak bertujuan.

Jadi aku mulai menjauh dari keluarga dan teman-temanku, dan mendekam di kamarku untuk
menangisi dan mengasihani diriku sendiri dalam kesedihan. Aku bergumul dengan banyak
suara yang ada di kepalaku yang mengatakan bahwa aku payah dalam segala hal dan aku
tidak akan pernah sukses.

Sementara itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap menjalani rutinitas Kristenku: aku
pergi ke gereja, bersaat teduh, dan berdoa . . . tapi yang kurasakan hanyalah kekosongan. Aku
tahu aku melakukan semua ini sebagai sebuah tugas, dan bukan karena aku secara sungguh-
sungguh ingin mencari Tuhan. Bagaimana mungkin aku dapat mencari Tuhan ketika segala
hal dalam hidupku seakan berantakan? Aku kecewa kepada Tuhan dan menjadi pahit hati
kepada-Nya. Mengapa Dia harus mengambil semuanya dariku? Aku berulang kali
mengatakan pada diriku bahwa Tuhan memegang kendali dan Dia tidak akan menyakitiku,
tapi sekarang, aku begitu bergumul untuk mempercayai hal itu ketika semua yang aku lihat
hanyalah hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku.

Suatu malam, aku bahkan bermimpi buruk dikejar oleh roh jahat. Ketika aku bertanya
kepadanya mengapa dia mengejarku, roh jahat itu menjawab bahwa itu karena aku “lemah”.
Aku melihat diriku berlari di dalam mimpi itu, ketakutan dan sendirian, sampai aku masuk ke
dalam sebuah gereja untuk mencari perlindungan.

Suatu hari, aku menderita demam tinggi, batuk parah, dan sesak nafas saat terbangun dari
tidurku. Semua gejala ini terus terjadi sepanjang minggu. Ketika aku pergi ke dokter, dokter
memintaku untuk melakukan X-ray. Kemudian diketahuilah bahwa aku menderita pneumonia
akut. Aku langsung diopname di rumah sakit dan diberikan pengobatan.

Malam itu, berbagai pertanyaan tentang kematian dan kehidupan berlarian di pikiranku:
bagaimana jika aku tiba-tiba berhenti bernafas dan mati malam itu? Sudahkah aku
memuliakan Tuhan dalam hidupku? Apakah Dia senang denganku? Ketika aku
memikirkannya, aku berseru kepada Tuhan, mengakui kesalahan-kesalahanku dan kegagalan-
kegagalanku. Saat itulah aku menyadari bahwa aku telah mengejar hal-hal yang salah selama
ini. Yang kucari adalah kebahagiaan dalam karirku dan cinta yang diberikan oleh manusia,
dan aku telah kehilangan sukacita dari mengikut Tuhan. Aku telah kehilangan arti
sesungguhnya dari hidup—untuk mengikut Dia dan merindukan kehadiran-Nya.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar menginginkan
kehadiran dan kasih Tuhan. Ketika aku berdoa, tiba-tiba aku merasakan sebuah kedamaian di
dalam hatiku. Aku langsung tahu bahwa Tuhan hadir dalam ruangan itu bersamaku dan Dia
mendengar semua tangisanku.

Setelah 3 hari di rumah sakit, dokter mengizinkanku untuk pulang. Aku pulang ke rumah
beberapa hari kemudian dan diberikan 3 jenis obat yang berbeda untuk aku minum. Ketika
aku kembali lagi untuk pemeriksaan X-ray yang terakhir, aku diberitahu bahwa aku telah
sembuh. Pneumonia akut yang kuderita telah sirna! Aku tidak dapat mempercayainya. Tuhan
telah mendengar doa-doaku dan menyembuhkanku sepenuhnya.

Aku bersyukur kepada Tuhan bukan hanya karena Dia telah menyembuhkan fisikku, tapi juga
karena Dia memberikanku sebuah terobosan spiritual di tengah masa-masa sulit dalam
hidupku. Aku merasa diperbarui dan diberikan kekuatan oleh kasih dan kebaikan-Nya di
dalam hidupku. Aku belajar untuk mencari Dia, menginginkan Dia setiap hari, dan bersyukur
bahkan di tengah masa-masa sulit kehidupan.

“Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab,


Aku akan menyertai dia dalam kesesakan,
Aku akan meluputkannya dan memuliakannya.
Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia,
dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku.”
(Mazmur 91:15-16)
Tuhan Akan Menuntun Kita Melalui Kabut
Kehidupan
Info

Oleh Denissa K.

Kabut sering kita jumpai di daerah berdataran tinggi, misalnya di gunung. Kabut sering
dimaknai negatif. Mengapa? Karena ketika kabut turun, pandangan akan terhalang. Jarak
pandang yang biasanya bisa mencapai ratusan meter mungkin berkurang hingga hanya 1-2
meter karena terhalang oleh kabut. Kabut seringkali juga menjadi penyebab kecelakaan,
misalnya mobil yang jatuh ke lereng atau menabrak tepi gunung atau pohon karena
pengemudi tidak dapat melihat jalan dengan jelas.

Bulan lalu, aku berkesempatan untuk naik gunung bersalju dan bermain ski di daerah gunung
tersebut. Hari pertama sampai ketiga di gunung tersebut cuaca sangat cerah, sehingga
permainan ski dapat dilakukan dengan sangat lancar dan menyenangkan. Ketiga hari pertama
tersebut aku hanya mengitari tempat yang sama dan dikategorikan sebagai rute pemula. Pada
hari keempat, seorang teman yang sudah cukup mahir bermain ski mengajakku untuk
mencoba rute yang lebih sulit dari rute sebelumnya karena harus melewati lembah. Aku
tertantang dan akhirnya pagi hari keempat, kami melewati rute tersebut. Pada percobaan
pertama aku berhasil tanpa jatuh!
Sore harinya, kami menantang seorang pemula yang lain untuk bersama-sama dengan kami
melewati rute yang sama yang kami lewati pada pagi tadi. Namun berbeda dengan
pengalamanku di pagi hari, perjalanan di sore itu membuat aku jatuh berkali-kali bahkan
hampir jatuh melewati batas penghalang. Rute yang sama tidak menjamin jalan yang aku
lalui selalu mulus. Mengapa demikian? Karena sore itu kabut tebal menutupi pandanganku.
Aku panik, hilang arah, lupa ke arah mana aku harus berbelok. Aku takut!

Bukankah kehidupan kita juga demikian? Kita sering bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, apa
yang menjadi kehendak Tuhan dalam hidupku?” atau “Jalan mana yang harus aku lalui?”
Lalu Tuhan menjawab doa kita dan memberikan petunjuk yang sangat jelas, “Tujuan kamu
adalah X, arah untuk mencapai X adalah J, lalu K, dan L” (hanya penggambaran,
diimajinasikan saja) dan kita katakan kepada Tuhan, “Baik, Tuhan, aku taat.” Namun, ketika
kita berkata “aku taat”, itu bukan berarti jalan yang akan kita lalui pasti mulus.

Janji Tuhan buat kita anak-anak-Nya bukanlah jalan yang mulus tanpa lobang ataupun
kerikil. Janji Tuhan kepada kita adalah bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang
terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Dalam perjalanan menuju tujuan yang
telah Tuhan tetapkan bagi kita, mungkin kita akan jatuh berkali-kali, tersandung, hilang arah,
lupa ke mana harus berbelok untuk mencapai tujuan kita, panik, ketakutan, ingin menyerah
karena mata kita terhalang oleh kabut-kabut yang ada di depan kita. Namun Firman Tuhan
mengingatkan kita: “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan
kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18).

Pengharapan yang kita nanti-nantikan sangat jelas. Tujuan hidup kita sangat jelas. Rute hidup
kita sangat jelas, tetapi kabut sering kali menghalangi pandangan kita dan membuat kita tidak
fokus lagi kepada tujuan. Kabut itu membuat kita lebih fokus pada penderitaan, kesulitan,
ketidakjelasan arah hidup, dan lain-lain.

Kabut yang dialami setiap orang mungkin berbeda-beda. Kesulitan-kesulitan yang ada
mungkin membuatmu ketakutan, khawatir, hilang harapan, panik, patah semangat, ingin
menyerah, jatuh, ingin mundur, bahkan mungkin ingin segera mengakhiri perjalananmu.
Namun, fokuslah kembali kepada tujuan yang Tuhan sudah sampaikan kepadamu, karena
dalam perjalanan mencapai tujuan itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanmu.

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana
sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-
keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Ketika mata kita terhalang oleh kabut kehidupan, Tuhan sendiri yang akan menuntun kita.
Oleh karena itu, jangan menyerah! Di akhir perjalanan kita, Tuhan akan menyambut kita
yang sudah dipilih-Nya dengan kemuliaan yang tidak tertandingi. Ubahlah kabut kehidupan
(dalam bahasa Inggris kabut disebut “FOG”) menjadi fokus kepada Tuhan (Focus On God,
akronim dari FOG). Tetaplah setia pada komitmen awal kita: Taat kepada Tuhan!
Mengapa Tuhan Mengambil Sesuatu yang
Telah Dia Berikan Kepadaku?
Info

Oleh Priscilla G.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal memberikan sebuah kesaksian?

Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa dengan sangat keras untuk mendapatkan beasiswa di
sebuah universitas lokal. Hanya 3 persen mahasiswa yang diterima dalam program tersebut
setiap tahun. Pengajuan beasiswaku diterima meskipun tidak semua hasil ujianku
mendapatkan nilai A. Jadi aku memberikan sebuah kesaksian di sebuah pertemuan kelompok
kecil, berterima kasih kepada Tuhan karena telah membukakanku pintu kesempatan ini.

Tapi kemudian, di semester pertama dan kedua, nilai-nilaiku tidak cukup baik dan aku
diberikan surat peringatan—dua kali. Singkatnya, isi surat itu adalah: tingkatkan nilaimu atau
kamu akan dikeluarkan dari program ini. Aku beralasan bahwa aku belum terbiasa dengan
kehidupan universitas di semester pertama.

Aku melihat kembali caraku belajar dan mencoba untuk belajar lebih keras dan lebih cerdas.
Aku berusaha untuk mengatur waktuku dengan lebih baik. Aku pikir situasinya akan
membaik.
Tapi itu tidak terjadi, dan surat peringatan kedua datang mengejutkanku. Aku tidak pernah
mendapatkan satupun surat peringatan dalam seluruh pengalamanku bersekolah; tapi kini aku
menerima 2 surat peringatan.

Setahuku, aku telah melakukan apapun yang aku bisa dan telah melakukan usaha terbaikku
untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di semester kedua. Jadi aku begitu bingung ketika
melihat nilai akhirku setelah ujian.

Aku gagal paham kenapa nilaiku seburuk itu, di tengah semua hal yang telah kulakukan. Ya,
aku tidak berharap mendapat nilai sempurna, tapi aku berharap mendapat nilai yang cukup
baik. Aku bertanya dalam hati dan yakin bahwa aku telah melakukan yang terbaik yang dapat
kulakukan. Aku mencoba bertanya kepada para profesorku—aku bahkan minta pemeriksaan
ulang untuk ujian-ujianku, tapi nilainya tidak berubah. Kemudian, aku menyalahkan Tuhan,
yang kepada-Nya aku berdoa untuk mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesal telah memberikan kesaksian di awal. Aku pun bergumul untuk
mencari maksud dari situasi yang kuhadapi. Aku bukannya tidak bersyukur kepada Tuhan
ketika Dia memberikanku kesempatan untuk mengikuti program beasiswa ini. Jadi kenapa
Tuhan mengambil sesuatu yang telah Dia berikan kepadaku?

Sejujurnya, Alkitab dan gereja bukanlah hal pertama yang kudatangi untuk mencari jawaban.
Aku tidak yakin bagaimana respons orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan
Tuhan. Jadi aku mengalihkan diriku ke Google dan mengetik “kekecewaan kepada Tuhan”,
dan menemukan sebuah buku dengan judul yang sama oleh seorang penulis Kristen di
Amerika bernama Philip Yancey.

Dalam buku itu, Philip Yancey membahas kitab Ayub, bersama dengan kitab-kitab Perjanjian
Lama lainnya di mana para nabi berseru kepada Tuhan. Setelah membaca buku itu, aku
menjadi lebih memahami cara Tuhan bekerja.

3 Pelajaran dari Kitab Ayub

1. Orang benar juga dapat menderita

Philip Yancey menulis bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal-hal terburuk yang terjadi
kepada seorang yang terbaik”. Ayub adalah seorang yang benar dan tidak bersalah. Dia juga
takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1). Allah bahkan mengatakannya sendiri, dan Dia
berkata bahwa tiada seorangpun di bumi seperti Ayub (1:8, 2:3).

Tapi dalam sehari, Ayub kehilangan lembu sapi, keledai, kambing domba, unta-unta, dan
seluruh anak-anaknya (1:14-19). Di hari yang lain, dia menderita barah yang busuk dari
telapak kakinya sampai ke batu kepalanya (2:7).

Ketiga temannya, Elifas, Bildad, dan Zofar menganggap bahwa penderitaan yang Ayub alami
adalah akibat dosa yang dilakukannya, tapi Tuhan menegur mereka karena telah berkata hal
yang tidak benar (42:7). Tuhan juga tidak menyebut dosa apapun yang menjadi alasan Ayub
menderita.

Tidak semua penderitaan yang kita alami diakibatkan oleh dosa. Bagi beberapa dari kita,
penderitaan yang kita alami bukanlah karena kesalahan kita.
Orang-orang kadang berkinerja buruk di sekolah atau pekerjaan karena mereka tidak bekerja
dengan cukup keras, tapi tidak selalu demikian. Mungkin kamu memiliki pengalaman yang
serupa denganku: kamu berpikir kamu telah belajar dengan keras, melakukan apapun yang
kamu bisa, tapi itu masih tidak cukup untuk mendapatkan nilai yang cukup.

2. Respons kita akan penderitaan kita itu penting

Penderitaan yang Ayub alami diawali karena sebuah percakapan antara Tuhan dan Iblis.
Philip Yancey menuliskan bahwa percakapan itu tergambar seperti sebuah taruhan.

Iblis berpendapat bahwa Ayub setia kepada Tuhan karena dia telah diberkati (1:10-11).
Tantangan Iblis kepada Tuhan: ambillah semua yang Ayub miliki, dan dia pasti mengutuki
Engkau (1:11, 2:5). Respons Tuhan: tantanganmu kuterima, tapi sayangkan nyawanya (1:12,
2:6).

Dan Ayub pun kehilangan segala kepunyaannya. “Ayub, tanpa diketahuinya, sedang beraksi
di dalam sebuah pertunjukan kosmik di hadapan para penonton di dunia yang tak terlihat,”
tulis Philip Yancey.

Alkitab mencatat contoh-contoh lainnya dari tindakan manusia yang memberikan dampak di
dunia yang tak terlihat: sebuah perjalanan misi oleh para murid Yesus yang menyebabkan
Iblis “jatuh seperti kilat dari langit” (Lukas 10:1-18), atau satu orang berdosa yang bertobat
yang membuat sukacita di surga (Lukas 15:7).

Sulit dibayangkan bahwa respons seseorang dapat begitu berarti di alam spiritual, tapi itulah
yang ditunjukkan oleh kitab Ayub. Respons kita akan ujian yang kita alami juga berarti. Ujian
bagi Ayub adalah untuk mempercayai Tuhan di tengah segala hal yang terjadi, untuk
mempertahankan imannya.

Dalam kasusku, aku percaya ujianku adalah menghadapi risiko dikeluarkan dari program
beasiswa yang sangat kuinginkan. Akankah aku masih setia? Ataukah itu akan menunjukkan
bahwa aku hanya percaya kepada Tuhan ketika hidupku baik-baik saja?

Aku tidak tahu apakah responsku akan ujian terhadap imanku itu mempengaruhi alam
spiritual, tapi aku percaya bahwa responsku itu berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku
percaya responsku juga berarti bagi-Nya karena itu meningkatkan imanku dan memperdalam
hubunganku dengan Tuhan.

Hari ini, beberapa tahun setelah insiden tersebut, aku dapat mengatakan bahwa aku menjadi
lebih tidak tergoyahkan ketika menghadapi masa-masa penderitaan yang lain, masa-masa
ketika sepertinya Tuhan mengambil apa yang telah Dia berikan kepadaku. Aku masih
menangis semalaman ketika mentorku di gereja (yang Tuhan tempatkan dalam hidupku)
meninggalkan imannya dan meninggalkan gereja. Aku juga menangis ketika anggota
keluargaku menderita keguguran setelah Tuhan memberikan janin di dalam rahimnya. Jika
imanku diibaratkan sebuah rumah, rumah itu menjadi bergetar ketika diperhadapkan dengan
masa-masa yang sulit ini, tapi rumah itu tidak runtuh, karena kepercayaan dasarku akan
kebaikan Tuhan kini telah menjadi lebih kuat.

3. Ada beberapa hal yang takkan pernah dapat kita mengerti


Tuhan tidak menjawab pertanyaan Ayub, “Mengapa aku menderita?”. Melainkan, Tuhan
menanyakan banyak pertanyaan kepada Ayub (Ayub 38-41).

Jawab Ayub: “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
dan yang tidak kuketahui” (42:3).

R.C. Sproul, di dalam bukunya yang berjudul “Suprised by Suffering” (“Dikejutkan oleh
Penderitaan”), menulis: “Satu-satunya jawaban yang Tuhan berikan kepada Ayub adalah
pengungkapan akan siapa diri-Nya. Itu seperti Tuhan berkata kepadanya, ‘Ayub, aku ingin
mendengar jawabanmu.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana tapi
mempercayai seorang Pribadi, Pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan pertanyaanku kepada
Tuhan, seperti yang Ayub lakukan (contoh: 7:11-21, 10:2-18). Aku memilih untuk
melanjutkan mengambil tanggung jawab yang lebih besar di gereja, namun aku juga
mengakui ketakutanku kepada Tuhan tentang bagaimana tanggung jawab tersebut mungkin
mempengaruhi waktu belajar dan nilai-nilaiku. Atas anugerah Tuhan, nilai-nilaiku secara
ajaib menjadi lebih baik di semester ketiga, yang ketika itu aku sedang menggumulkan
kekecewaanku kepada Tuhan.

Faktanya, kita adalah manusia, bukan Tuhan. Persepsi kita akan waktu dan tempat berbeda
dengan Tuhan yang Mahahadir yang melihat waktu dalam kekekalan yang tidak pernah
berakhir.

Philip Yancey menulis: “Tidak peduli bagaimanapun kita mencoba merasionalisasikan, Tuhan
kadang akan terasa tidak adil dari perspektif seseorang yang terjebak dalam waktu . . . Takkan
pernah sampai sejarah berakhir, kita akan mengerti bagaimana ‘Allah turut bekerja dalam
segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan’ (Roma 8:28).”
Soul Surfer: Kehilangan Lengan, Tapi
Merangkul Lebih Banyak Orang
Info

Ulasan oleh Kelty Tjhin

Soul Surfer adalah film yang diangkat dari kisah nyata Bethany Hamilton, seorang peselancar
profesional dari Amerika Serikat. Selamat dari serangan ikan hiu saat sedang berlatih,
Bethany harus kehilangan lengan kirinya. Kejadian itu membuatnya sangat terpukul. Ia
sempat bertanya kepada pemimpin komselnya, “Mengapa Tuhan mengizinkan ini terjadi?
Aku tidak mengerti.”

Namun, serangkaian peristiwa kemudian mengubahkan cara pandang Bethany. Ia akhirnya


kembali bangkit, tidak membiarkan kekurangan fisik melumpuhkan hidupnya. Perjuangan
hidupnya menginspirasi banyak remaja yang memiliki kelemahan fisik. Dalam sebuah
wawancara Bethany menyatakan tidak menyesali kehilangan lengannya:

“Aku tidak ingin mengubah apa yang terjadi padaku, karena itu akan membuatku kehilangan
kesempatan ini, di hadapan kamu semua, untuk merangkul lebih banyak orang daripada yang
dapat aku rangkul saat aku mempunyai dua lengan…”

Film ini menyajikan hal yang sangat realistis. Bukankah dalam kehidupan ini, kita sering
mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi? Kisah Bethany mengingatkan kita untuk
tidak menyamakan perspektif manusia dengan perspektif Allah. Apa yang dilihat baik oleh
kita belum tentu baik di mata Allah. Namun, apa yang baik di mata Allah sudah pasti baik
untuk kehidupan kita.
Aku teringat janji Tuhan kepada umat-Nya dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui
rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan,
yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan
kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Dengan mengimani bahwa Tuhan memiliki rancangan yang baik bagi anak-anak-Nya, kita
dapat menghadapi setiap situasi yang tidak ideal dengan sikap yang positif. Kita tidak
menyerah, kita terus berjuang, karena kita tahu Tuhan dapat memakai kelemahan kita untuk
menguatkan orang lain, membawa mereka untuk melihat kehebatan kuasa-Nya!

Anda mungkin juga menyukai