REFERAT 1 Subag Glaukoma Beta Bloker Sebagai Farmakoterapi Pada Glaukoma Yustiadenta Widya Andika
REFERAT 1 Subag Glaukoma Beta Bloker Sebagai Farmakoterapi Pada Glaukoma Yustiadenta Widya Andika
Disusun oleh:
dr. Yustiadenta Widya Andika
Pembimbing:
dr. Maharani Cahyono, Sp.M(K)
DAFTAR
ISI................................................................................
............................................. 2
DAFTAR
GAMBAR ............................................................................
.................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
.................................. 4
BAB II PRODUKSI HUMOR
AQUEOUS............................................................................
5
II. 1
II. 2
Pembentukan Humor
Aqueous ..........................................................................
6
BAB III MEKANISME KERJA BETA BLOKER PADA TERAPI GLAUKOMA ......... 9
III. 1
Reseptor
Adrenergik ........................................................................
.................. 9
III. 2
III. 3
Farmakokinetik Beta
Bloker ............................................................................
11
III. 4
BAB IV JENIS OBAT BETA BLOKER, EFEK SAMPING, DAN KONTRA INDIKASI
...................................................................................
............................................................... 13
IV. 1
IV. 2
Beta Bloker
Selektif ..........................................................................
............... 21
V.2
V.3
V.4
BAB VI
PENUTUP ...........................................................................
..................................... 25
DAFTAR
PUSTAKA ...........................................................................
.................................. 26
2
DAFTAR GAMBAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
Glaukoma merupakan salah satu penyebab kebutaan yang ditandai dengan kerusakan
papil nervus II, penurunan lapang pandang, dan peningkatan tekanan intra okular.
Salah satu
faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah peningkatan tekanan intra okular
dengan
farmakoterapi maupun dengan operasi. Target terapi dari glaukoma adalah menurunkan
tekanan intraokular agar proses kerusakan nervus optikus dan defek lapang pandang
berkurang atau terhenti. Rentang obat-obatan yang tersedia sebagai terapi glaukoma
saat ini
telah banyak berkembang dan berkontribusi dalam menurunkan angka operasi pada
glaukoma.
Farmakoterapi pada glaukoma bertujuan menurunkan tekanan intra okular dengan
cara menurunkan produksi humor aqueus atau meningkatkan aliran keluar dari humor
aqueus.
Pada pasien glaukoma farmakoterapi merupakan terapi jangka panjang sehingga perlu
diperhatikan baik efek sistemik dan lokal pada mata. Perlu diperhatikan juga bahwa
terdapat
efek akibat interaksi yang terjadi yang berhubungan dengan kondisi sistemik pasien
dan obatobatan lain yang digunakan oleh pasien.
Obat anti glaukoma dapat diberikan secara sistemik atau topikal walaupun obat
topikal lebih banyak dan sering digunakan di klinis. Beta bloker merupakan obat
anti
glaukoma yang sudah lama digunakan dan masih menjadi pilihan walaupun saat ini
telah ada
pilihan lain seperti inhibitor karbonik anhidrase, analog prostaglandin. Masih
banyak klinisi
yang memilih beta bloker sebagai pilihan terapi awal. Atas dasar tersebut referat
ini akan
membahas tentang beta bloker dimulai dari cara kerja beta bloker, jenis-jenis, efek
samping
dan interaksinya.
4
BAB II
PRODUKSI HUMOR AQUEOUS
II.1
glaukoma. Humor aqueous merupakan cairan transparan dan tidak berwarna yang
dibentuk di
camera okuli posterior dan mengalir lewat pupil ke camera okuli anterior. Humor
aqueous
keluar dari mata melewati trabekular meshwork ke kanalis schlemm sebelum akhirnya
mengalir ke sistem vena lewat pleksus dari saluran kolektor dan sebagian kecil
melewati jalur
uveosklera keluar menuju akar dari iris dan otot siliaris kedalam ruang
suprakoroidalis dan
sklera. 1,2
II. 2
epitel yang terpolarisasi berada permukaan badan siliar. Prosesus siliaris yang
mempunyai
banyak kapiler yang terutama disuplai oleh cabang major arterial circle dari iris.
Lapisan
ganda tesebut adalah lapisan epitel tidak berpigmen dimana lapisan ini menghadap
aqueous
humor melalui sel basal membran plasma dan epitel berpigmen yag menghadap stroma
yang
juga melewati sel basal membran plasma. Permukaan puncak epitel dari lapisan luar
yang
berpigmen dan lapisan dalam yang tidak berpigmen bertemu satu sama lain dan
disatukan
oleh tight junction yang merupakan komponen penting bagi blood-aqueous barrier.
Bloodaquoues barrier inilah yang dapat mengatur komposisi dan jumlah dari material
yang masuk
dan keluar dari mata melewati kanalis Schlemm. 1-3
Humor aqueous di sekresi oleh epitel siliar tidak berpigmen yang dibentuk dari
substrat plasma darah. Humor aqueous disekresi oleh epitel siliaris pada kecepatan
rata-rata
2-3 µL/menit. 1
6
Gambar 2. Lapisan dari epitel prosesus siliaris. Membran Basal (BM) terdapat
membrane limitan
interna pada permukaan dalam. Sel epitel tidak berpigmen mempunyai mitokondria (M),
zonula
occludens (ZO) dan permukaan interdigitasi (I). Sel epitel berpigmen mengandung
banyak granula
melanin (MG), interseluler juctions termasuk desmosome (D) dan gap junctions (GJ) 3
Gambar 4 Diagram dari kemungkinan jalur sekresi humor aqueous di prosesus siliaris.
Ascorbic acid
(AA). Karbonic Anhidrase (CA).1
Sekresi aktif atau transpor aktif membutuhkan energi yang diperoleh dari ATP,
energy ini dipakai untuk mensekresi substansi yang melawan gradien konsentrasi.
Bagaimana
detail dari transport ion diketahui secara pasti namun sodium, klorida, dan
bikarbonat terlibat
didalamnya. 1,2,5
8
BAB III
MEKANISME KERJA BETA BLOKER PADA TERAPI GLAUKOMA
III.1
Reseptor Adrenergik
Sebelum membahas tentang mekanisme kerja beta bloker pada terapi glaukoma,
terlebih dahulu perlu dibahas sekilas tentang sistem saraf ototonom dan reseptor
dan
neurotransmiter yang berperan. Sistem saraf otonom terdiri dari dua cabang yaitu
cabang
simpatis dan parasimpatis. Secara keseluruhan cara kerja dari dua cabang ini
berlawanan satu
sama lain. Sifat kerja dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat berbeda
pada organorgan yang berbeda, tergantung reseptor yang dimiliki oleh organ-organ
tersebut. Misalnya
reseptor alfa di pupil dengan rangsangan saraf simpatis akan memberikan efek
dilatasi pupil.
Sedangkan rangsangan sistem saraf parasimpatis akan menyebabkan terjadinya
konstriksi
pupil dan akomodasi. 6,7
Reseptor sistem saraf otonom dibagi menjadi reseptor kolinergik dan adrenergik.
Pembagian dari divisi reseptor ini berdasarkan oleh sensitivitas pada berbagai
macam obat
agonis dan antagonis terhadap reseptor tersebut. Reseptor kolinergik terbagi
menjadi dua
yaitu muskarinik dan nikotinik, sedangkan reseptor adrenergik terbagi menjadi alfa
dan beta.
Pembagian ini berdasarkan sensitivitas dari berbagai macam organ yang berbeda pada
katekolamin. Diferensiasi farmakologis pada reseptor beta dan alfa dapat
diaplikasikan untuk
terapi. 1,6,7
Secara keseluruhan alfa dan beta reseptor terletak pada post sinaps di jungta
neuroefektor pada banyak organ. Alfa reseptor bekerja dalam mediasi eksitasi atau
peningkatan aktivitas dari sel efektor sedangkan reseptor beta bekerja dalam
mediasi
relaksasi atau penurunan aktivitas pada sel efektor. Namun pada otot jantung
reseptor beta
mempunyai pengecualian yaitu aktivasi reseptor beta meningkatkan automatisitas dan
9
kotraktilitas pada semua bagian jantung. Beta bloker bekerja pada sistem saraf
otonom pada
reseptor adrenergik beta. 1,6
III.2
10
III.3
sel epitel siliar tidak berpigmen. Banyak beta bloker dengan berbagai macam
struktur yang
berbeda dapat menurunkan tekanan intraokuler, namun agen obat dengan
farmakodinamika
yang lebih efektif lebih penting daripada selektifitas dari beta bloker itu
sendiri. 8,10
Selektifitas dan afinitas dari masing-masing beta bloker berhubungan dengan derajat
dari efek samping obat tersebut. Pada obat dengan potensi yang sama efek samping
pada
jantung lebih tinggi pada β1-selektif dimana efek samping ke paru dan vaskuler
lebih tinggi
pada β2-selektif. Perlu diingat bahwa overdosis dari obat dengan afinitas reseptor
yang tinggi
mempunyai kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar karena batas level
konsentrasi obat untuk efek samping lebih rendah daripada obat yang mempunyai
afinitas
lebih rendah. 1,10,11
Beberapa pertanyaan penting tentang reseptor beta pada mata belum dapat terjawab.
Salah satunya adalah keberadaan dari reseptor beta adrenergik pada sel trabekular
dan belum
jelasnya efek dari antagonis beta adrenergik pada aliran humor aqueous. Hal ini
dapat
11
dikaitkan dengan tidak adanya aktivitas aktif dari reseptor beta pada trabekular
meshwork
dan atau epitel kanalis Schlemm’s. Pertanyaan lain yang timbul adalah mekanisme
molekular
dari obat golongan antagonis beta adrenergik ini dalam menurunkan tekanan intra
okular. 1,11
Salah satu teori adalah antagonis beta adrenergik (beta bloker) menurunkan tekanan
intra okular dengan menghambat produksi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada
epitel siliaris sehingga menurunkan produksi humor aqueous sebanyak 20-50% dengan
efek
penurunan tekanan intra okuler sebanyak 20-30%. Meskipun sampai saat ini belum
jelas
lokasi dan mekanisme kerja dari beta bloker, apakah mempengaruhi vaskularisasi pada
prosesus siliaris, atau mekanisme pompa pada epitel siliaris. 1,11,12
III.4
efek samping pada okular yang rendah. Beta bloker dapat dibagi menjadi dua kelompok
utama yaitu non selektif dan selektif. Tiap-tiap agen dari kedua kelompok ini
mempunyai
perbedaan individu pada farmakologi, efficacy, tolerabilitas, dan harga. Pada beta
bloker
topikal efeknya dapat terjadi sampai 1 jam setelah ditetes dan dapat menetap sampai
4
minggu setelah penghentian obat tergantung dari masing-masing jenis obat beta
bloker.
Beberapa penelitan mengungkapkan bahwa beta bloker mengurangi produksi humor
aqueous
pada siang hari namun efeknya lebih berkurang pada saat tidur. Karena absorbsi
sistemik
dapat juga terjadi, mata kontralateral yang tidak diterapi juga perlu kita
observasi. 11,13,14
Yang perlu diperhatikan adalah beta bloker merupakan kompetitif antagonis
adrenergik yang bersaing dengan aktivitas saraf simpatif sehingga dapat menghambat
peningkatan detak jantung dan tekanan darah sebagai respon dari penggunaan energi,
sehingga kemungkinan besar akan kurang dapat ditoleransi oleh pasien berusia lanjut
yang
menjalankan aktivitas harian dan pasien muda dan aktif. Beta bloker non selektif
12
menghambat reseptor β2 di paru yang menyebabkan dilatasi dari sistem respirasi
paru.
Bronkospasme dapat terjadi secara signifikan pada pasien yang menderita asma atau
penyakit
paru obstruktif. Dapat terjadi exaserbasi pada pasien dengan bradikardia dan
atrioventrikular
blok derajat dua atau tiga, gangguan jantung atau kondisi kelainan jantung lainnya
yang
menggunakan obat beta bloker. Secara garis besar efek okular dan efek sistemik dari
beta
bloker adalah bronkospasme, bradikardia, peningkatan blokade jantung, menurunkan
tekanan
darah, menurunnya toleransi terhadap olahraga, dan depresi sistem saraf pusat.
11,15
13
BAB IV
JENIS OBAT BETA BLOKER, EFEK SAMPING, DAN KONTRA INDIKASI
Beta bloker dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu beta bloker non selektif
dan beta bloker selektif. Masing-masing agen spesifik dari dua kelompok utama ini
mempunyai karakter individual yang berbeda pada farmakologi, efficacy, dan
tolerabilitas. 10
IV.1
Timolol
Timolol diperkenalkan pada tahun 1978 dan merupakan beta bloker topikal yang
pertama disetujui penggunaannya di Amerika sebagai terapi glaukoma. Timolol
menghambat aktivitas adrenergik β1 dan β2. 10
Efficacy
Timolol memberikan efek hipotensi okular pada sukarelawan dengan mata
normal, pasien dengan hipertensi okular, dan pada pasien glaukoma kronis sudut
terbuka. Pada sebuah penelitian Kass et all, 62 pasien dengan hipertensi okular
melaporkan bahwa timolol tidak hanya menurunkan tekanan intra okular namun
juga menurunkan kemungkinan terjadinya defek lapang pandang dan perubahan
diskus optikus pada glaukoma. 10
Timolol dapat diabsorbsi secara sistemik, walaupun obat diteteskan hanya di satu
mata dapat sedikit mempengaruhi mata kontralateralnya yang tidak mendapat
terapi (crossover effect). 10,16
Dosis pertama dari timolol topikal biasanya memberikan efek paling besar dalam
mengurangi tekanan intraokuler. Sebagian pasien tidak mengalami efek inisial
14
dalam beberapa pekan kedepan, hal ini disebut sebagai short term escape. Karena
fenomena tersebut, efektivitas pemberian timolol belum dapat dinilai selama
kurang lebih 1 bulan setelah dimulainya terapi. Pemberian timolol dalam jangka
panjang akan menurunkan efektivitas dari timolol, fenomena ini disebut long-term
drift.10,17
15
minggu. Banyak ahli bedah yang berpendapat bahwa pemberian timolol harus
dihentikan sebelum dilakukan operasi filtrasi untuk memberikan kesempatan bagi
humor aqueous untuk melewati fistula setidaknya 2 minggu sebelum operasi
filtrasi jika sebelumnya diberikan dalam jangka panjang. Interval waktu yang
diperlukan untuk menghilangkan efek dari obat tersebut disebut washout time. 10,17
Walaupun dapat memberikan efek sistemik pada kebanyakan pasien mempunyai
batas keamanan pemberian yang luas. Dosis maksimum yang direkomendasikan
untuk timolol oral untuk terapi penyakit kardiovaskular adalah 30mg, sementara
satu tetes timolol maleate 0,5% mengandung kira-kira 0,2 mg dari obat tersebut.
Namun juga perlu diwaspadai karena pada beberapa individu walaupun digunakan
dalam dosis yang sangat rendah dapat menyebabkan efek samping pada individu
yang rentan.
10
Efek samping
Walapun telah banyak penelitian yang telah dilakukan dan membuktikan bahwa
timolol aman, dokter spesialis mata harus mewaspadai potensi dari efek okular
dan sistemik. Seringkali pasien tidak peka terhadap efek samping dari obat.
Sehingga harus ditanyakan efek samping seperti kesulitan bernafas, letargi,
impotensi, kecemasan, depresi, halusinasi, kesulitan tidur, disorientasi, atau
perubahan mood. Hal ini perlu di waspadai karena seringkali pasien yang
mendapatkan terapi timolol adalah pasien dengan usia tua yang juga seringkali
mempunyai keluhan penuaan yang menutupi efek samping sebenarnya.10, 13, 15, 17
Iritasi lokal dari epitel kornea dapat menyebabkan penurunan visus, konjungtiva
hiperemis, keratopati punctata superfisial, dan sindroma mata kering. Pada pasien
yang rentan dapat terjadi blefarokonjungtivitis. Walapun jarang anastesia kornea
16
dapat terjadi namun mekanisme jelasnya belum diketahui. Toksisitas sistemik dari
pemberian timolol tetes lebih sering terjadi dibandingkan dengan toksisitas lokal.
10, 13, 15, 17
Kontraindikasi
Timolol merupakan beta bloker non selektif yang menghambat reseptor β1 dan β2.
Hambatan pada reseptor β1 menyebabkan respon kardiovaskular simpatomimetik
yang dapat berujung pada bradikardi, penurunan kontraktilitas myokardial, dan
hipotensi. Pada pasien dengan fungsi myocardial yang terganggu penggunaan
timolol dapat menyebabkan bradikardi yang hebat, aritmia jantung, blok jantung,
gagal jantung kongestif, dan bahkan kematian. 10, 13-15
Hambatan pada reseptor β2 di bronkus dan bronkiolus dapat menyebabkan
kontraksi dari otot polos bronkus dan berujung pada bronkospasme dan obstruksi
jalan nafas, terutama pada pasien dengan asma atau penyakit paru obstruktif
kronis. 17
Levobunolol
Levobunolol hidroklorida merupakan analog propranolol dengan potesi beta
adrenergik antagonis non selektif.
10
Efficacy
Levobunolol mirip dengan timolol dalam hal efek samping dan penurunan tekanan
intra okular, namun mempunyai masa paruh lebih panjang dibandingkan dengan
timolol. 10,17
17
Konsentrasi dan Frekuensi Pemberian Levobunolol
Preparat levobunolol tidak terdapat di Indonesia, di Amerika di dijual dengan
merek dagang Betagan®, Vistagan®, dan Levogan®. Tersedia preparat dengan
konsentrasi 0,25% dan 0,5%. 18
Penurunan tekanan intra okuler terjadi 1 jam setelah pemakaian levobunolol dan
efek maksimum terjadi diantara 2-6 jam setelah penetesan. Efek hipotensif okular
dapat bertahan dalam 24 jam. Pada beberapa studi menyatakan bahwa konsentrasi
0,25% dan 0,5% yang diberikan satu kali sehari sama efektifnya dengan
pemberian dua kali sehari. Seperti juga timolol, levobunolol juga mempunyai efek
kontralateral yang juga dikaitkan dengan absorbsi sistemik dari obat tersebut. 10,
17
Efek Samping
Pada uji coba klinis levobunolol ditoleransi dengan baik pada kebanyakan pasien,
sama hal nya dengan timolol. Blokade sistemik dari reseptor beta yang
diakibatkan oleh levobunolol menyebabkan penurunan detak jantung 5 sampai 10
detak per menit dan juga penurunan tekanan darah. Efek lokal yang sering terjadi
adalah rasa menyengat dan terbakar pada mata. 10,17
Kontraindikasi
Berada di kelas obat-obatan yang sama dengan timolol kontra indikasi obat ini
juga tidak berbeda. Obat ini dapat menimbulkan eksaserbasi dari asma dan
bronchitis kronis pada pasien yang rentan dan juga berbahaya untuk pasien
dengan gangguan jantung dan paru lainnya. 10, 17
18
-
Metipranolol
Merupakan beta bloker non selektif yang mempunyai efek klinis sama dengan
timolol maupun levobunolol. Seperti beta adrenergik antagonis lainnya
metipranolol juga menurunkan tekanan intra okuler. 10, 17
Efficacy
Diberikan dua kali sehari dalam konsentrasi 0,3% dan 0,6%, metipranolol
menurunkan tekanan intraokuler sebesar 21% dan 31%. 10, 17
10, 17, 18
Efek Samping
Efek samping yang paling sering dan menonjol pada metipranolol dibandingkan
dengan timolol dan levobunolol adalah rasa terbakar dan menyegat pada mata.
Efek samping yang penting dan membuat obat ini ditarik dari peredaran di Inggris
adalah uveitis granulomatosa yang patogenesisnya tidak diketahui. 10
Kontraindikasi
Seperti obat beta bloker non selektif lainnya, metipranolol mempunyai
kontraindikasi pemberian pada pasien dengan gangguan kardiovaskuler dan paru.
10, 13, 17
19
-
Carteolol
Merupakan beta bloker non selektif yang strukturnya mirip dengan obat di
kelasnya namun mempunyai efek yang berbeda. Obat ini mempunyai aktivitas
simpatomimetik intrinsik yang menyebabkan efek agonis sementara. Oleh karena
obat ini mempunyai efek agonis parsial, secara teori obat ini lebih tidak
menyebabkan bronkokonstriksi, bradikardia, dan vasokonstriksi seperti agen
lainnya. Namun hal ini belum dibuktikan secara klinis. 10, 13, 17
Efficacy
Pada sebuah studi dinyatakan bahwa carteolol 1% sama efektifnya dengan timolol
0,25%. Dibandingkan dengan placebo, carteolol 1% dapat menurunkan tekanan
intraokuler 11%-14%. Tidak ada perbedaan efficacy antara carteolol 1% dengan
carteolol 2%. 10, 17
Efek Samping
Eksaserbasi asma, bradikardia, dan insufisiensi jantung. 10, 17
Kontraindikasi
Pasien dengan gangguan kardiovaskuler dan pulmoner. 10, 17
20
IV.2
Betaxolol
Banyak dari efek samping sistemik beta bloker merupakan hasil dari inhibisi non
selektif dari reseptor β1 dan β2. Betaxolol hidroklorida diperkenalkan sebagai obat
topikal kardioselektif dan β1 antagonis adrenergik. Dengan meminimalisasi
inhibisi reseptor β2 efek samping potensial terutama efek samping pulmonal dan
jantung dapat dikurangi. 10, 13, 17
Mekanisme kerja betaxolol sama dengan timolol yaitu menurunkan produksi
humor aqueous dengan memblokade reseptor beta pada sel epitel siliaris tidak
berpigmen. 10, 13, 17
Efficacy
Topikal betaxolol mempunyai efektivitas yang kurang bila dibandingkan dengan
timolol dalam hal menurunkan tekanan intraokular dan mengurangi aliran humor
aqueous. Secara struktur topikal betaxolol hanya mempunyai separuh konsentrasi
isomer yang aktif dibandingkan dengan timolol, meskipun demikian dari beberapa
uji klinis disimpulkan bahwa betaxolol memelihara dan menjaga lapang pandang
lebih baik dibandingkan pengguna timolol walaupun dalam hal penurunan tekanan
intra okuler timolol lebih unggul. 10, 13, 17
21
betaxolol memberikan efek pengurangan tekanan intra okular selama 12 jam.
10, 13,
17, 18,
Efek samping
Betaxolol 0,5% dilaporkan memberikan efek samping rasa menyengat dan
terbakar lebih sering daripada obat beta bloker non selektif. Walaupun dapat
memprovokasi terjadinya asma, betaxolol lebih dapat ditoleransi daripada obat
beta bloker non selektif. Pemberian betaxolol pada penderita asma atau gangguan
paru lainnya tidak dianjurkan, bila diberikan harus ada monitor ketat dan
penghentian penggunaan bila merasakan adanya gangguan pernafasan. 10, 15, 17
Kontraindikasi
Secara umum efek terhadap jantung lebih menonjol pada obat β 1 selektif
dibandingkan dengan beta bloker non selektif. Oleh karena itu seperti obat beta
bloker lainnya, pemberian betaxolol merupakan kontraindikasi terhadap pasien
yang mempunyai gangguan jantung seperti sinus bradikardia, blokade jantung,
syok kardiogenik, dan gagal jantung. 10, 13, 17
22
BAB V
KOMBINASI BETA BLOKER
V.1
Individu yang telah menggunakan beta bloker sebagai terapi anti-hipertensi atau
terapi
kardiovaskular lainnya respon terhadap beta bloker topikal seringkali tidak
maksimal. Selain
dari efektivitas terapi menjadi berkurang peningkatan resiko terjadinya efek
samping lebih
tinggi karena topikal dan sistemik digunakan bersamaan. Oleh karena itu beta bloker
topikal
tidak menjadi pilihan pengobatan glaukoma pada pasien yang telah menggunakan beta
bloker
sistemik. Namun penggunaan beta bloker sistemik sebagai terapi kardiovaskuler juga
dapat
mencapai segmen anterior dari mata dan dapat menurunkan tekanan intra okuler. 10,
17, 19
Beta bloker oral untuk terapi glaukoma sendiri jarang digunakan. Menurut penelitian
dari John Williamson bahwa efek terapi dari beta bloker sistemik (Nadolol 20mg)
yang
dibandingkan dengan timolol topikal 0,5% memberikan efek penurunan tekanan intra
okuler
yang sama namun efek samping yang lebih besar. 19
V.2
dalam merek dagang Cosopt® yang berisi timolol dan dorzolamide topikal. Pada
beberapa
penelitian disimpulkan bahwa kombinasi timolol dan dorzolamide menurunkan tekanan
intraokuler lebih besar dibanding penggunaan monoterapi dorzolamide atau timolol.
Pada
grup dengan terapi kombinasi, terdapat penurunan tekanan intraokuler sebesar 32,7%,
19,8%
untuk monoterapi dorzolamide, dan 22,6% untuk monoterapi timolol. Namun pada grup
yang menerima terapi kombinasi, efek samping yang terjadi lebih besar dibanding
efek
23
samping yang terjadi pada grup dengan monoterapi. Pada grup yang menerima terapi
kombinasi efek samping yang menonjol adalah penglihatan kabur, rasa terbakar pada
mata,
rasa menyengat pada mata dan berair. 10, 20, 21
V.3
V.3
24
BAB VI
PENUTUP
Beta bloker merupakan salah satu pilihan dari berbagai macam farmakoterapi untuk
glaukoma. Beta bloker bekerja menurunkan tekanan intra okular dengan menghambat
produksi cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada epitel siliaris sehingga
menurunkan
produksi humor aqueous. Meskipun sampai saat ini belum jelas lokasi dan mekanisme
kerja
dari beta bloker, namun efektivitas beta bloker masih dapat diandalkan sehingga
masih
menjadi salah satu pilihan utama untuk terapi glaukoma. 10, 11
Beta bloker sendiri dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sifat obatnya yaitu
selektif dan non selektif. Yang berada pada kelompok beta bloker non selektif yaitu
timolol,
levobunolol, metipranolol, dan carteolol sedangkan yang berada pada beta bloker
kelompok
selektif yaitu betaxolol. Dari semua beta bloker yang ada timolol merupakan obat
dengan
efek penurunan tekanan intraokuler paling besar dibandingkan dengan kelompok beta
bloker
lainnya. 10, 11, 13
Efek samping dari obat-obat golongan beta bloker hampir sama yaitu kesulitan
bernafas, letargi, impotensi, kecemasan, depresi, halusinasi, kesulitan tidur,
disorientasi. Efek
samping yang perlu diwaspadai adalah penurunan detak jantung, penurunan tekanan
darah
dan efek samping yang sering dikeluhkan adalah rasa terbakar dan menyengat pada
mata.
Kontraindikasi beta bloker adalah pada pasien dengan fungsi myocardial yang
terganggu atau
gangguan kardiovaskular lainnya, asma atau penyakit paru obstruktif kronis. 10, 15
Beta bloker dapat dikombinasikan dengan obat anti glaukoma lainnya seperti analog
prostaglandin, penghambat karbonik anhidrase, dan miotikum. Kombinasi dengan obat
anti
glaukoma tersebut memberikan hasil penurunan tekanan intra okuler yang lebih besar
dibandingkan dengan monoterapi beta bloker. 10, 20-25
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Millar C, Kaufman PL. Aqueous Humor: Secretion and Dynamics. In Duane's Clinical
Ophthalmology on CD-Rom. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
2. Levine LM, Brar VS, Goldstein MH, all e. Aqueus Humor, Iris, and Ciliary Body.
In Cantor
LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Fundamentals and Principles of Ophthalmology. San
Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2014. p. 229-240.
3. Cioffi GA, Duncan FJ, Girkin CA, all e. Intraocular Pressure and Aqueous Humor
Dynamics. In Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Glaucoma. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 2014. p. 13-26.
4. Shahiddullah M, Al-Malki WH, Delamere NA. Mechanism of Aqueous Humor Secretion,
Its Regulations and Relevance to Glaucoma. In Glaucoma, Basic and Clinical
Concepts.
Rijeka: InTech; 2011. p. 6-19.
5. Forrester Jv, Dick AD, MeNamin PJ, all e. Biochemistry and Cell Biology. In The
Eye,
Basic Sciences and Practice. London: Elsevier; 2016. p. 218-228.
6. Berman ER. Biochemistry of The Eye New York: Springer Science; 1991.
7. Uusitalo R, Palkama A. Evidence for Nervous Control of Secretion in The Ciliary
Processes. In Olavi E, editor. Histochemistry of Nervous Transmission. Netherlands:
Elsevier; 1997.
8. Giaconi JA, Law SK, Coleman AL, Caprioli J, editors. Medical Treatment, First
Line
Agents and Monoteraphy. In Pearls of Glaucoma Management. Los Angeles: Springer;
2010. p. 195-200.
9. Staveley B. Departement Biology, Memorial University of Newfoundland. [Online].;
2016
[cited
2016
March
28.
Available
from:
http://www.mun.ca/biology/desmid/brian/BIOL2060/BIOL2060-14/CB14old.html.
10. Mittag TW. Adrenergic and Dopaminergic Drugs in Glaucoma. In Ritch R, Shields
MB,
Krupin T. The Glaucomas. Saint Louis: Mosby; 1996. p. 1409-1421.
11. Gieser SC, Juzych M, Robin AL, Schwartz GF. Clinical Pharmacology of Adrenergic
Drugs. In Ritch R, Shields MB, Krupin T. The Glaucomas. Saint Louis: Mosby; 1996.
p.
14250-1433.
12. Hopkins G, Pearson R. Ophthalmic Drugs Diagnostic and Therapeutic uses. 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier; 2007.
13. Cioffi GA, Durcan FJ, Girkin CA, all e. Medical Management of Glaucoma. In
Glaucoma.
26
San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2014. p. 159-168.
14. Sharma R, Sastri N, Sadhotra P. Beta Blocker as a Glaucoma Therapy. JK Science.
2007
March; IX(1).
15. Steward WC, Castelli P. Systemic Side Effects of Beta Adrenergic Blockers.
Clinical
Cardiology. 1996 September; 19.
16. Duvall B, Kershner R. Ophthalmic Medication and Pharmacolgy. 2nd ed. Boston:
Slack
Incorporated; 2006.
17. Bartlett JD, Piscella RG, Jaanus SD, Barnebey H. Ocular Hypotensive Drugs. In
Bartlett
JD, Jaanus SD. Clinical Ocular Pharmacology. Saint Louis: Butterworth Heinemann
Elsevier; 2008. p. 139-153.
18. MIMS.
[Online].;
2016
[cited
216
March
27.
Available
http://www.mims.com/Indonesia/drug/search?q=Antiglaucoma%20Preparations.
from:
19. Williamson J, Young JH, Atta H, Muir G, Kadom H. Comparative Efficacy of Orally
and
Topically Administered Beta Blockers for Chronic Simple Glaucoma. British Journal
of
Ophthalmology. 1985; 69.
20. D Zadok, O Geyer, J Zadok, all e. Combined timolol and pilocarpine vs
pilocarpine alone
and timolol alone in the treatment of glaucoma. Am J Ophthalmology. 1994 June;
117(6).
21. G Hoovdig, H Asveed. Timolol/pilocarpine combination eye drops in open angle
glaucoma
and in ocular hypertension. A controlled randomized study. Acta Ophthalmology. 1987
October; 65(5).
22. Clineschmidt CM, Williams RD, Snyder E, Adamsons IA. A randomized trial in
patients
inadequately controlled with timolol alone comparing the dorzolamide-timolol
combination
to monotherapy with timolol or dorzolamide. AAO Journal. 1998 October; 105(10).
23. Boyle JE, Gosh K, Gieser DK, Adamsons IA. A randomized trial comparing the
dorzolamide-timolol combination given twice daily to monotherapy with timolol and
dorzolamide. AAO Journal. 1998 October; 105(10).
24. HH Russ, PA Nougueria F, N Barros Jde, all e. Ocular surface evaluation in
patients treated
with a fixed combination of prostaglandin analogues with 0.5% timolol maleate
topical
monotherapy: a randomized clinical trial. Clinics (Sao Paulo). 2013 October;
68(10).
25. QH Nguyen, M Earl. Fixed-combination brimonidine/timolol as adjunctive therapy
to a
prostaglandin analog: a 3-month, open-label, replacement study in glaucoma
patients.
Ocular Pharmacolgy Therapy. 2009 December; 25(6).
27