EPISTAKSIS ANTERIOR
Oleh :
Laili Khairani
H1A 007 033
Pembimbing:
dr. Hamsu Kadrian, Sp.THT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung dan merupakan suatu keluhan atau tanda,
bukan penyakit. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit
umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, di samping perlu juga
menemukan dan mengobati sebabnya. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin
hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang
dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya. Epistaksis berat, walaupun
jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal apabila
tidak segera ditolong.
Epistaksis, yaitu perdarahan dari hidung, dapat berupa perdarahan anterior dan
perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari septum
bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Prevalensi yang sesungguhnya
dari epistaksis tidak diketahui karena pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini
tidak dilaporkan.
Dalam menangani pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien.
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa: rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, dan nasoendoskopi.
Penting juga untuk melakukan pengukuran tekanan darah.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 2. Suplai darah dinding lateral hidung
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupaka
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)
2.2. Epistaksis
2.2.1. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau
sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala
suatu penyakit. Sedangkan Epistaksis anterior merupakan perdarahan pada bagian
depan hidung yang berasal dari Pleksus Kiesselbach di septum bagian anterior atau
dari arteri etmoidalis anterior. (1,6)
2.2.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya. Epistaksis dapat
disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. (1)
a. Kelainan lokal
Trauma
4
Epistaksis yang berhubungan dengan trauma biasanya terjadi akibat usaha mengeluarkan
sekret hidung dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan
sebagainya. Selain itu iritasi gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat
menyebabkan epistaksis.(2,5)
Infeksi lokal
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. (2,5)
Tumor
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma, karsinoma, serta
angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. (2,5)
Kelainan kongenital
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat
dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan zat-zat kimia di tempat industry yang
menyebabkan keringnya mukosa hidung. (1)
b. Kelainan sistemik
5
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis dan diabetes melitus sering menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya bersifat hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. (1,3)
Gangguan hormonal
Pada wanita hamil dan menopause sering terjadi epistaksis. Hal ini diakibatkan oleh
perubahan hormonal yang terjadi pada wanita dalam kondisi tersebut.(1,3)
Kelainan darah
Kelainan darah yang menjadi penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia.(1)
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan
morbili juga dapat disertai epistaksis. (1)
2.2.3. Patofisiologi
Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada epistaksis anterior bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal
dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada
tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan
trauma.
Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan
udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada
pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-
gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada
pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran
6
mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan
atas, alergi atau sinusitis.(5)
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005)
melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.(5)
2.2.5. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan
atau belakang hidung. Perhatian dituju pada tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Anamnesis juga ditujukan untuk mencari riwayat
penyakit pasien yang menjadi penyebab epistaksis. (2,3)
Pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari bagian depan hidung. Perdarahan dari
bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis
anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat
hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. (2,3)
7
Evaluasi sumber dan penyebab epistaksis
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi duduk atau
posisi kepala yang lebih ditinggikan. Semua kotoran dalam hidung baik cairan, secret maupun
darah yang sudah membeku dibersihkan. Sesudah dibersihkan, semua lapangan hidung dalam
diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anastesi lokal yaitu larutan
pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi laruta adrenalin 1/5000-1/10.000 ke dalam
hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. (2)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien yang mengalami
perdarahan hidung akut yang aktif dan prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.(2)
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiks
dengan cermat.
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi
dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
4. Rontgen sinus
Rontgen penting untuk mengenali neoplasma atau infeksi dengan menggunakan foto polos
atau CT scan.
5. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan.
6. Skrining riwayat penyakit
8
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk mencari riwayat penyakit yang
mendasari epistaksis, seperti pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan
ginjal, gula darah, dan hemostasis.
2.2.6. Penatalaksanaan
Keadaan hemodinamik dan patensi jalan nafas harus dipastikan dalam kondisi baik.
Resusitasi cairan harus segera dilakukan bila terjadi deplesi volume cairan yang berlebihan pada
pasien.(2,4)
Penderita diperiksa dalam posisi duduk atau dalam posisi kepala yang ditinggikan.
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Posisi ini dapat mencegah darah
mengumpul di bagian posterior faring sehingga mencegah terjadinya nausea dan obstruksi jalan
nafas. (2,4)
Segala tindakan harus dilakukan untuk menentukan lokasi sumber perdarahan yang tidak
mampu dihentikan dengan teknik kompresi simpel. Penilaian harus dilakukan pada ruangan
dengan penerangan cukup. Perdarahan pada epistaksis anterior berasal dari bagian depan rongga
hidung, yang biasanya terjadi pada pleksus kiesselbach atau berasal dari bagian depan konka
inferior. (2,4)
Sebelum evaluasi, rongga hidung di anastesi lokal dengan menggunakan tampon kapas
yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 2% topical dengan epinefrin 1/5000-1/10.000
atau kombinasi lidokain 4% topical dengan penilefrin 0,5%. Tampon ini dimasukkan dalam
rongga hidung selama 5-10 menit untuk memberikan efek anastesi lokal dan vasokonstriksi. (1,3)
c. Hentikan perdarahan
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan
cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama
9
beberapa menit baik dengan tangan. Penekanan langsung ini dapat dilakukan selama 5-20 menit.
Biasanya 65-80% kasus epistaksis anterior akan berhenti setelah pemberian kompresi langsung
ini. (2,4)
Jika dengan kompresi langsung perdarahan tidak kunjung berhenti, dan apabila telah
ditemukan sumber perdarahan berasal dari bagian anterior rongga hidung (epistaksis anterior),
maka langkah penatalaksanaan selanjutnya yang dapat dilakukan pada pasien tersebut adalah:
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan
tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan
dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal
dan vasokonstriksi. Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%. Becker (1994) menggunakan larutan asam
triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan
tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial.
Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain
menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser. Yang (2005) menggunakan
electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.(5)
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau
kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari
dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas. Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s
nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior. (5)
2.2.7. Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air
mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
10
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan
melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan
akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
2.2.8. Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :
1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua
lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur
1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai
hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton
bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5. Bersin melalui mulut.
6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau
ibuprofen.
8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.
BAB III
LAPORAN KASUS
11
Nama : Ny. M
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
3.2. Anamnesis
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat mimisan sebelumnya (+), riwayat hipertensi (-),
riwayat penyakit jantung (-), diabetes mellitus (-), sakit ginjal (-).
Riwayat Penyakit Keluarga : Didalam keluarga tidak ada yang mengalami keluhan
serupa seperti pasien.
Riwayat Alergi : Pasien tidak ada alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan.
12
Riwayat Pengobatan : Setiap perdarahan keluar biasanya pasien memberikan tampon
pada hidungnya untuk menghentikan perdarahan, dan terkadang pasien minum Asam
Traneksamat untuk menghentika perdarahannya.
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,4 oC
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (+),
furunkel (-), edema (-) furunkel (-), edema (-)
Serumen
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), kolesteatom (-), perforasi (-), kolesteatom (-),
cone of light (+) cone of light (-)
Cone of light
MT intak
13
Cone of light
Pemeriksaan hidung
Gambar
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa
(-) hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-), Deviasi (-), benda asing(-),
perdarahan (-), ulkus (-) perdarahan (-), ulkus (-)
Pemeriksaan Tenggorokan
14
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-), detritus (-), hiperemi (-),detritus (-), kripte
dan Arkus Faringeus kripte melebar (-) melebar (-)
Darah Lengkap
BT, CT
3.5. Diagnosis
Epistaksis Anterior
3.6. Terapi
3.7. KIE
15
1. Epistaksis yang terjadi pada pasien belum diketahui secara pasti penyebabnya, oleh
karena itu pasien diberitahukan suatu saat nanti kejadian seperti ini akan sering terjadi
lagi.
Jika epistaksis yang dialami pasien kambuh lagi maka disarankan pada pasien untuk
memposisikan kepala ditinggikan 45, kemudian dilakukan Pemasangan tampon
anterior untuk menghentikan perdarahannya. Yang digunakan untuk menjadi tampon
dapat kapas atau kassa bersih.
2. Dari etiologi yang memungkinkan pada pasien ini mengalami epistaksi dikarenakan
kelainan pada pembuluh darah, sehingga pasien disarankan untuk jangan mengucek-
ngucek terlalu keras pada hidungnya.
3. Diet bebas
3.8. Prognosis
Dubia ad bonam
16
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadi epistaksis karena idiopatik. Berdasarkan
anamnesis pasien mengaku keluar darah dari lubang hidung sebelah kiri sejak 13 tahun yang
lalu (Usia 10 tahun). Pasien mengeluhkan darah yang keluar berwarna merah segar, dengan
jumlah ± 20 cc. Darah yang keluar tidak menentu waktunya, terkadang saat pasien lelah bekerja,
duduk santai dan beristirahat ataupun setelah bangun tidur. Pasien mengaku dalam 1 bulan dapat
keluar darah 4 – 5 kali, namun keluar darah yang terakhir pada 3 minggu yang lalu hanya 1 kali
selama bulan ini. Darah akan berhenti mengucur setelah pasien menyumbat lubang hidungnya
menggunakan kapas atau kassa dalam waktu yang agak lama. Riwayat trauma sebelumnya
disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak pernah mengorek-ngorek hidungnya, tidak ada keluhan
hidung seperti pilek, hidung tersumbat, hidung terasa gatal, ataupun merasa kering dan panas.
17
Riwayat perdarahan gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh pasien.
Pasien terkadang mengeluhkan pusing saat darah keluar dari hidungnya, dan badannya sedikit
lemas. Jadi berdasarkan anamnesis tersebut tidak terdapat hal spesifik yang penentukan
penyebab terjadinya epistaksi pada pasien ini, sehingga disimpulkan pencetusnya idiopatik.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon anterior, ini dilakukan untuk
menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach agar perdarahan dapat berhenti, disamping tetap
menjaga kestabilan Airway, breathing, circulation. Pemberian antibiotic bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2 x 24 jam.
18
Daftar Pustaka
3. Munir, D., Haryono, Y., Rambe, A.Y.M. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.
Volume 39 No. 3. Library of USU. [Accessed from: http://repository.usu.ac.id]
4. Kucik, CJ. and Clenney, T. 2005. Management of Epistaxis. American Family Physician, Vol.
71, No. 2. [Accessed from: http://www.aafp.org/]
5. Schlosser, RJ. 2009. Epistaxis: Clinical Practice. The New England Journal of Medicine
360;8. [Accessed from: http://www.nejm.org/]
6. Mansjoer A, dkk, 2008. Epistaksis. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 cetakan 9, Jakarta
FKUI. Hal 95-97
19