Anda di halaman 1dari 9

Mengintip Sejarah Istana Maimun

Istana Termegah Di Indonesia


Kamis, 7 April 2016 - 05:50

Istana Maimun (Foto)


Medan,Seruu.Com - Sumatera Utara memiliki Istana Maimun yang megah yang
merupakan istana kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon dari kota
Medan. Istana ini terletak di Jalan Bridgadir Jenderal Katamso, Kelurahan
Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun.

Istana Maimun terkadang di sebut juga dengan Istana Putri Hijau yang merupakan
istana kebesaran Kerajaan Deli. Istana ini di dominasi oleh warna kuning, warna
kebesaran Kerajaan Melayu.

Di desain oleh arsitek Italia yang di bangun oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Al
Rasyid Perkasa Alamsyah, Beliau adalah putra sulung dari Sultan Mahmud
Perkasa Alam pendiri kota Medan. Pembangunan istana ini di mulai pada 26
Agustus 1888 dan selesai pembangunannya pada 18 Mei 1891. Istana yang
memiliki luas sebesar 2.772 meter persegi dan terdiri dari 30 ruangan ini terdiri
dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian. Bagian tersebut melingkupi bangunan induk,
bangunan sayap kanan dan bangunan sayap kiri. Bangunan Istana Maimun
menghadap ke utara dan pada sisi depannya terdapat sebuah bangunan Masjid Al-
Mashun atau yang lebih di kenal dengan sebutan Masjid Raya Medan.

Sejak tahun 1946, Istana ini di huni oleh ahli waris Kesultanan Deli. Dalam
waktu-waktu tertentu istana ini sering di adakan pertunjukan musik tradisional
Melayu. Biasanya pertunjukkan-pertunjukkan tersebut di helat dalam rangka
memeriahkan pesta perkawinan atau kegiatan sukacita lainnya. Selain itu dua kali
dalam setahun, Sultan Deli biasanya mengadakan acara silahtuhrahmi antar
keluarga besar istana. Pada setiap malam Jum;at, para keluarga sultan
mengadakan acara rewatib adat (semacam wiridan keluarga).

Istana Maimun sekarang menjadi tempat tujuan Wisata Sejarah. Hal ini bukan saja
karena usianya yang sudah tua tetapi tetapi desain interiornya yang unik
mewariskan unsur-unsur kebudayaan melayu dipadukan dengan Budaya Islam,
Spanyol, India dan Italia.

Bagi para pengunjung yang datang ke Istana Maimun, mereka masih bisa melihat-
lihat koleksi yang dipajang di ruang pertemuan seperti foto-foto keluarga sultan,
perabot rumah tangga Belanda Kuno dan berbagai jenis senjata. Di istana ini juga
terdapat meriam buntung yang memiliki legenda tersendiri. Orang Medan
menyebut meriam ini dengan sebutan Meriam Puntung.

Kisah meriam puntung ini punya kaitan dengan Putri Hijau. Dikisahkan, di
Kerajaan Timur Raya, hiduplah seorang putri yang cantik jelita, bernama Putri
Hijau. Ia disebut demikian, karena tubuhnya memancarkan warna hijau. Ia
memiliki dua orang saudara laki-laki, yaitu Mambang Yasid dan Mambang
Khayali. Suatu ketika, datanglah Raja Aceh meminang Putri Hijau, namun,
pinangan ini ditolak oleh kedua saudaranya. Raja Aceh menjadi marah, lalu
menyerang Kerajaan Timur Raya. Raja Aceh berhasil mengalahkan Mambang
Yasid. Saat tentara Aceh hendak masuk istana menculik Putri Hijau, mendadak
terjadi keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan
menembak membabi-buta tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan
peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini terpecah dua. Bagian depannya
ditemukan di daerah Surbakti, di dataran tinggi Karo, dekat Kabanjahe. Sementara
bagian belakang terlempar ke Labuhan Deli, kemudian dipindahkan ke halaman
Istana Maimun.

Setiap harinya Istana Maimun terbuka untuk umum kecuali bila ada
penyelenggaraan upacara khusus yang diadakan oleh keluarga istana. (GS)

Sejarah Istana Maimun

Istana Maimun, terkadang disebut juga Istana Putri Hijau, merupakan istana
kebesaran Kerajaan Deli. Istana ini didominasi warna kuning, warna kebesaran
kerajaan Melayu. Pembangunan istana selesai pada 25 Agustus 1888 M, di masa
kekuasaan Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah. Sultan Makmun adalah
putra sulung Sultan Mahmud Perkasa Alam, pendiri kota Medan.

Sejak tahun 1946, Istana ini dihuni oleh para ahli waris Kesultanan Deli. Dalam
waktu-waktu tertentu, di istana ini sering diadakan pertunjukan musik tradisional
Melayu. Biasanya, pertunjukan-pertunjukan tersebut dihelat dalam rangka
memeriahkan pesta perkawinan dan kegiatan sukacita lainnya. Selain itu, dua kali
dalam setahun, Sultan Deli biasanya mengadakan acara silaturahmi antar keluarga
besar istana. Pada setiap malam Jumat, para keluarga sultan mengadakan acara
rawatib adat (semacam wiridan keluarga).

Bagi para pengunjung yang datang ke istana, mereka masih bisa melihat-lihat
koleksi yang dipajang di ruang pertemuan, seperti foto-foto keluarga sultan,
perabot rumah tangga Belanda kuno, dan berbagai jenis senjata. Di sini, juga
terdapat meriam buntung yang memiliki legenda tersendiri. Orang Medan
menyebut meriam ini dengan sebutan meriam puntung.

Kisah meriam puntung ini punya kaitan dengan Putri Hijau. Dikisahkan, di
Kerajaan Timur Raya, hiduplah seorang putri yang cantik jelita, bernama Putri
Hijau. Ia disebut demikian, karena tubuhnya memancarkan warna hijau. Ia
memiliki dua orang saudara laki-laki, yaitu Mambang Yasid dan Mambang
Khayali. Suatu ketika, datanglah Raja Aceh meminang Putri Hijau, namun,
pinangan ini ditolak oleh kedua saudaranya. Raja Aceh menjadi marah, lalu
menyerang Kerajaan Timur Raya. Raja Aceh berhasil mengalahkan Mambang
Yasid. Saat tentara Aceh hendak masuk istana menculik Putri Hijau, mendadak
terjadi keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan
menembak membabi-buta tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan
peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini terpecah dua. Bagian depannya
ditemukan di daerah Surbakti, di dataran tinggi Karo, dekat Kabanjahe. Sementara
bagian belakang terlempar ke Labuhan Deli, kemudian dipindahkan ke halaman
Istana Maimun.

Setiap hari, Istana ini terbuka untuk umum, kecuali bila ada penyelenggaraan
upacara khusus.

2. Lokasi

Istana ini terletak di jalan Brigadir Jenderal Katamso, kelurahan Sukaraja,


kecamatan Medan Maimun, Medan, Sumatera Utara.

3. Luas

Luas istana lebih kurang 2.772 m, dengan halaman yang luasnya mencapai 4
hektar. Panjang dari depan kebelakang mencapai 75,50 m. dan tinggi bangunan
mencapai 14,14 m. Bangunan istana bertingkat dua, ditopang oleh tiang kayu dan
batu

Setiap sore, biasanya banyak anak-anak yang bermain di halaman istana yang
luas.

4. Arsitektur
Arsitektur bangunan merupakan perpaduan antara ciri arsitektur Moghul, Timur
Tengah, Spanyol, India, Belanda dan Melayu. Pengaruh arsitektur Belanda
tampak pada bentuk pintu dan jendela yang lebar dan tinggi. Tapi, terdapat
beberapa pintu yang menunjukkan pengaruh Spanyol. Pengaruh Islam tampak
pada keberadaaan lengkungan (arcade) pada atap. Tinggi lengkungan tersebut
berkisar antara 5 sampai 8 meter. Bentuk lengkungan ini amat populer di kawasan
Timur Tengah, India dan Turki.

Bangunan istana terdiri dari tiga ruang utama, yaitu: bangunan induk, sayap kanan
dan sayap kiri. Bangunan induk disebut juga Balairung dengan luas 412 m2,
dimana singgasana kerajaan berada. Singgasana kerajaan digunakan dalam acara-
acara tertentu, seperti penobatan raja, ataupun ketika menerima sembah sujud
keluarga istana pada hari-hari besar Islam.Di bangunan ini juga terdapat sebuah
lampu kristal besar bergaya Eropa.

Di dalam istana terdapat 30 ruangan, dengan desain interior yang unik, perpaduan
seni dari berbagai negeri. Dari luar, istana yang menghadap ke timur ini tampak
seperti istana raja-raja Moghul.

5. Perencana

Ada beberapa pendapat mengenai siapa sesungguhnya perancang istana ini.


Beberapa sumber menyebutkan perancangnya seorang arsitek berkebangsaan
Italia, namun tidak diketahui namanya secara pasti. Sumber lain, yaitu pemandu
wisata yang bertugas di istana ini, mengungkapkan bahwa arsiteknya adalah
seorang Kapitan Belanda bernama T. H. Van Erp.

6. Renovasi

Istana ini terkesan kurang terawat, boleh jadi, hal ini disebabkan minimnya biaya
yang dimiliki oleh keluarga sultan. Selama ini, biaya perawatan amat tergantung
pada sumbangan pengunjung yang datang. Agar tampak lebih indah, sudah
seharusnya dilakukan renovasi, tentu saja dengan bantuan segala pihak yang
concern dengan nasib cagar budaya bangsa.
Warisan Budaya Melayu ini memang memiliki nilai histori yang tinggi. Sangat
penting bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia ke depannya.

Sayangnya, 125 tahun peringatan berdirinya Istana Maimun, nilai estetika


bangunan yang berarsitektur perpaduan unsur tradisional, Eropa, Persia, dan India
itu semakin kumuh.

Memasuki Istana Maimun, kita tidak lagi dapat melihat keindahannya seperti yang
di foto-foto peninggalan terdahulu. Kearifan lokal hilang saat kita melihat rentetan
penjual bunga di sisi depan sebelah kiri. Puluhan bus yang sengaja mangkal di sisi
samping belakang dan jemuran yang bergantungan di sayap kiri istana. Wajar jika
seorang sejarahwan, Prof DR Phil Ichwan Azhari mengatakan ‘orang hanya akan
datang sekali saja ke Istana Maimun’.

Istana yang dibangun di atas tanah ukuran 217 x 200 m yang berada di Jalan
Brigjen Katamso ini dikelilingi oleh pagar besi setinggi 1 m menghadap ke arah
timur. Bangunannya terdiri menjadi 3 bagian, bangunan induk, sayap kiri dan
sayap kanan dan betingkat dua yang ditopang oleh 82 tiang batu dan 43 buah tiang
kayu dengan lengkungan berbentuk lunas perahu terbalik dan ladam kuda.
Atapnya terlihat seperti kubah, terbuat dari atap sirap dan seng. Istana Maimun
tampak mewah dan megah, apalagi bila kita melihat beberapa meter dari luar
gerbangnya.

Memasuki bangunan induk, kita juga akan melihat prasasti berbahasa Belanda dan
Melayu yang terdapat pada sekeping marmer di kedua tiang ujung tangga naik:
DE EERSTE STEEN VAN DIT GEBOUW, IS GELEGD OP DEN 26
AUGUSTUS 1888 DOOR Z.H.DEN SULTAN VAN DELI, MAHMOED EL
RASJID PERKASA ALAMSJA. Tulisan tersebut membuktikan, peletakan batu
pertama pembangunan Istana Maimun dilakukan pada tanggal 26 Agustus 1888
oleh Sultan Ma’mun Al-Rasyid Perkasa Alam. Saat ini usia Istana Maimun telah
mencapai 125 tahun.

Rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk peringati Istana Maimun ke-125


diawali dengan seminar mengenai sejarah Kesultanan Deli, Istana Maimun, dan
Medan. Dalam kegiatan tersebut, seorang peserta bernama Siba menanyakan
tentang kepastian hukum untuk sebuah benda cagar budaya. Ia sangat
menyayangkan karena Istana Maimun ibarat tak bertuan. Tidak jelas siapa
pengelolahnya, sehingga seharusnya ada peraturan pemerintah atau Undang-
undang yang mengatur hal tersebut.

Siba mengharapkan agar Istana Maimun dikembalikan kepada Kesultanan Deli.


Hal ini dikatakannya karena melihat kondisi Istana Maimun saat ini. “Istana
Maimun itu hak ulayat, bukan milik pribadi. Ditakutkan, jika Istana Maimun ini
dinilai milik pribadi, maka bisa saja ke depannya Istana Maimun ini akan dijual,”
ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, sejarawan dari Pusis Unimed Prof DR Phil Ichwan
Azhari yang juga menjadi pemateri dalam seminar membenarkan hal tersebut.
“Memang tidak jelas, siapa yang mengelolah Istana Maimun ini, sultankah?
Susah, karena masih ada empat faksi di sini. Beberapa orang menganggap istana
ini sebagai warisannya. Dalam sebuah kebudayaan hal seperti ini sangat
berbahaya, bayangkan bila sisa-sisa makanan terjatuh di bangunan itu, kemudia
banyak semut dan rayap maka itu akan menghancurkan berlahan bangunan istana
ini,” ujarnya.

Tambahnya, tidak seharusnya kain jemuran ada di Istana Maimun. “Bayangkan


aja, ada jemuran di tempat cagar budaya seperti ini. Orang yang kemari pun
akhirnya hanya sekali saja datang, besok dia tidak mau lagi kemari,” katanya.

Tidak hanya itu, suku Melayu yang menjadi identitas Medan secara perlahan juga
mulai hilang dengan sendirinya. Sudah sulit dijumpai bahasa Melayu di Kota
Medan. Bahkan, bukan hanya bahasa, masyarakat bersuku Melayu pun perlahan
mulai mengasingkan diri dari Medan. Padahal dahulunya, sebagian wilayah
Medan merupakan wilayah perkampungan Melayu. “Jadi dahulunya Kota
Maksum dan daerah lainnya di sekitar Istana Maimun Medan ini merupakan
Kampung Melayu. Tetapi sekarang sudah sulit menjumpai orang Melayu di
daerah-daerah tersebut ,” katanya.

Tidak banyak yang Ichwan harapkan sebagai sejarahwan yang juga bersuku
Melayu, ia hanya mengharapkan agar dilakukan relokasi penghuni Istana Maimun
serta membangun sebuah replika dan Kampung Melayu. “Memang benar yang
dikatakan oleh Pak Siba tadi, seharusnya ada peraturan atau undang-undang
khusus pengelolahan bangunan bersejarah seperti Istana Maimun ini. Seharusnya
pengelolahan diserahkan ke sultan. Sultan memang masih kecil, tapi kan ada
pemangku sultannya. Sehingga Istana Maimun ini dapat lebih baik dan menjadi
kebanggaan,” ujarnya.

Selain itu, masyarakat Medan khususnya suku Melayu juga harus ikut menjaga
dan melestarikan budaya Melayu. Salah satu upaya menjaga dan melestarikan
budaya ini dengan cara membangun replika atau museum kebudayaan Melayu.
Membangun satu kawasan khusus kampung Melayu juga baik dilakukan untuk
memperkuat dan melestarikan budaya ini. “Museum itu penarik kebudayaan.
Lewat museum, identitas kebudayaan kembali diteguhkan khususnya membuat
sebuah kampung melayu di kota Medan, memang memerlukan biaya yang besar,”
ujarnya.

Menambahkan, Dra Misnah Salihat M.Hum dari Dinas Pariwisata Sumut


menyatakan bahwa hal lainnya yang harus dilakukan untuk melestarikan budaya
Melayu adalah dengan menjaga cagar budaya Melayu yakni Istana Maimun
Medan yang sudah dilindungi oleh undang-undang. “Kalau bangunan itu sudah
menjadi cagar budaya dan dilindungi oleh undang-undang, maka tidak boleh lagi
bangunan itu ditambah dan dikurangi. Nilai historis dan keaslian dari bangunan
itu harus tetap dipertahankan. Tidak seperti keberadaan Istana Maimun saat ini
yang sudah banyak ditambahi dengan benda lainnya sehingga menghilangkan
unsur cagar budaya,” katanya.

Tidak jauh berbeda, ia juga mengharapkan agar Istana Maimun Medan ini lebih
diperhatikan oleh ahli warisnya dalam hal ini generasi yang peduli dengan budaya
dan berniat untuk melestarikannya. “Dengan usia 125 tahun Istana Maimun ini
kita sangat prihatin melihat kondisinya,” ujarnya.

Keprihatin yang sama juga diungkapkan oleh Tengku Azwansyah A Teruna yang
juga menjadi pemateri dalam seminar yang dilakukan di dalam Istana Maimun.
“Medan itu lebih dikenal Horas-nya. Bukan suku Melayu. Saya berharap
Indonesia memiliki pemerintah yang lebih perduli dengan budayanya,” ujarnya.

Rangkaian kegiatan 125 Istana Maimun juga akan dilanjutkan hari ini, Sabtu
(24/8) dengan berbagai kegiatan adat oleh Sultan Deli XIV Tuanku Aria Mahmud
Lamanjiji Perkasa Alam. Berbagai kegiatan seperti tarian melayu dan berbagai
budaya atau peninggalan Kesultanan Deli juga akan dipamerkan untuk
memeriahkan kegiatan. (*

Saat itu Kerajaan Padang yang merupakan sejarah budaya Melayu di Tebingtinggi
terdiri 4 kecamatan dengan ibu kota Tebingtinggi terdiri dari dua daerah,
Kecamatan Dolokmerawan dan Kecamatan Sipispis, sedangkan untuk hilir terdiri
Kecamatan Tebingtinggi dan Kecamatan Bandarkhalifah. Setiap kecamatan
diperintah oleh seorang asisten wedana yang sekarang disebut Camat.

Semasa Pemerintahan Belanda, kewedanan disebut difdeling Padang Bedagai


yang ada di dalam afdeling Deliserdang. Afdeling Deliserdang sat itu
berkedudukan di Medan, Istana Maimun yang diperintah oleh asisten residen dan
onder afdeling Padang dan Bedagai termasuk Kerajaan Deli.

“Menurut legenda naskah tua pustaka dari Zuriyat Kerajaan Padang Tebingtinggi
yang ditulis dengan aksara arab berbahasa Melayu asal-usul berdirinya Kerajaan
Padang, bercerita bahwa keturunan raja di dalam negeri Padang yakni turunan dari
hulu raya pada zaman dahulu adalah Raja Batak Raya namanya Raja Gukguk, dia
pergi berburu pelanduk ke hutan, karena istrinya sedang hamil dan mengidam
ingin memakan pelanduk, maka pergilah Raja Gukguk bersama orang
kepercayaan kerajaan dan masyarakatnya membawa anjing buruannysa,” kata
Tengku Nurdinsyah Al Haj atau bergelar Tengku Maharaja Bongsu Negeri
Padang ke XIII yang merupakan turunan Kerajaan Padang di Tebingtinggi.

Singkat cerita, kata Nurdinsyah, konon hasil perburuan tersebut tidak menuai hasil
tetapi ketika hendak pulang ke kampung, anjing pemburunya tiba-tiba menyalak
melihat batang bulung buluh (bambu) beruas besar. Bambu itu kemudian dibawa
pulang ke rumah. Saat itu juga Raja Gukguk melihat istrinya melahirkan anak
laki-laki kemudian diberi nama, Raja Betuah Pinang Seri. Secara bersamaan Raja
Gukguk dikagetkan munculnya anak laki-laki yang ada di dalam bambu besar
yang dibawanya tadi. Anak yang ada di dalam bambu itu kemudian diberi nama
Tuan Umar Baginda Saleh (pendiri Kerajaan Padang). Karena terjadi perselisihan
antara keluarga, maka Umar Baginda Saleh merantau ke hilir hingga menetap di
wilayah Tebingtinggi sekarang dikenal dengan Kecamatan Bajenis Tebingtinggi.

Sejak itulah muncul Kerajaan Negeri Padang di Tebingtinggi. Silsilah Raja Negeri
Padang, Umar Baginda Saleh (abad XVII-1656), Marah Sudin, Raja Saladin, Raja
Adam, Raja Syahdewa, Raja Sidin, Raja Tebing Pangeran (1802-1823) dan Raja
ke VII Syah Bokar. Marah Sudin kawin dengan Zainab lahirlah Raja Marah
Zalidin, Marah Hidin, Marah Halidin, Marah Ludin dan raja ke VIII Marah
Hakum Raja Geraha Negeri Padang (1823-1870). Kemudian lahir Tengku H
Muhammad Nurdin Maharaja Muda Wazir Negeri Padang ke IX (1870-1914) dan
Tengku Sulaiman Deli (1885-1888). Dari Raja Syah Bokar usia memerintah
diangkat Raja Fatimaheran, kemudian dari Raja Tengku Muhammad Nurdin
diangkat Tengku Jalaludin Deli (1914-1928).

Dari keturunan Tengku Muhammad Nurdin lahir Tengku Hasyim ke XII (1933-
1946), dari Tengku Jalaludin lahir Tengku Ismail ke XI (1931-1933) dan dari Raja
Fatimaheran lahir Tengku Alamsyah ke X (1928-1931), dan yang ke XIII
diangkat Tengku Nurdinsyah sekarang menetap di Bandung. (habis)

Istana Maimun adalah sebuah bangunan peninggalan sejarah masa kerajaan


melayu Sultan Deli ke- IX yaitu Sultan Ma”moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah,
bangunan ini mulai dibangun pada 26 Agustus 1888 dan selesai selama 3 tahun
yang sekaligus diresmikan pada tanggal 18 Mei tahun 1891. Bangunan begitu
kokoh dan megah hingga saat ini didesain oleh arsitektur asal Italia yang bernama
Ferari. Pembangunan ini menghabiskan dana setara satu juta gulden jika
dikurskan dengan mata uang Belanda, konsep arsitekturnya unik, cantik, dan
memiliki karakter unsur tradisiononal yang khas Indonesia dengan sentuhan
Melayu, baik bentuk maupun ornamennya dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan,
antara lain Melayu, Islam, Spanyol, china, India dan Itali. Bangunan ini juga
didominasi dengan warna kuning keemasan yang identik dengan etnis Melayu.

Istana ini terletak di Kelurahan Sukaraja kecamatan Medan Maimun jalan Brigjen
Katamso
Kota Medan Sumatera Utara. Secara geografis kota Medan terletak pada koordinat
3° 30′ – 3° 43′ Lintang Utara dan 98° 35′ – 98° 44′ Bujur Timur. topografi kota
Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di
atas permukaan laut.(sumber internet wikipidia)
Bangunan yang didirikan diatas tanah seluas 2.772 m2. Persegi ini dengan dua
lantai yang memiliki luasnya 772 m2 dan mempunyai 30 bilik (kamar)yang
didalamnya terdapat berbagai macam perabotan dengan gaya Eropa, seperti
lemari, kursi dan lampu-lampu Kristal. Bangunan dua lantai ini dibagi menjadi
tiga bagian ruangan.: Ruang Utama, sayap kanan dan sayap kiri. Ruangan Utama
atau ruangan induk disebut dengan Balairung Sri yang luasnya 412 m2 ruangan
ini biasanya digunakan untuk acara-acara adat kerajaan, menerima tamu ataupun
acara penobatan Sultan Deli, ruangan ini dihiasi dengan koleksi peninggalan-
peninggalan jaman dahulu seperti senjata tua dan foto-foto keluarga, selain itu
pada bagian belakang ada dapur, gudang dan ruangan penjara. Keunikan
perpaduan tradisi Melayu dengan kebudayaan Eropa pada bangunan interiornya.
Sedangkan influence Islam dapat terlihat dari bentuk kurva di beberapa bagian
atap istana. Kurva yang berbentuk seperti kapal terbalik atau yang kerap dikenal
dengan Persia Curve yang sering dijumpai pada bangunan di kawasan Timur
Tengah, India, atau Turki.

Anda mungkin juga menyukai