Anda di halaman 1dari 234

Editor : 

Made Kornia Karkata 
Herman Kristanto 

 
PANDUAN 
PENATALAKSANAAN 
KASUS OBSTETRI 

HIMPUNAN KEDOKTERAN FETOMATERNAL
PERKUMPULAN OBSTETRI GINEKOLOGI INDONESIA 
2012 

 
Penerbitan Buku Panduan Penatalaksanaan Kasus

Obstetri dikelola oleh :

Komisi Pengabdian Masyarakat Himpunan Kedokteran

Feto Maternal POGI.

Editor :

Ketua : Made Kornia Karkata

Sekretaris : Herman Kristanto

Anggota : Harry Kurniawan Gondo

Ida Bagus Wicaksana

Ketut Ratna Dewi Wijayanti

Hendriette Irene Mamo

Desain sampul dan Tata Letak :

Made Wenata Jembawan

Ryan Saktika Mulyana

Untuk Menjadi Perhatian 1


UNTUK MENJADI PERHATIAN

Buku pedoman ini tidak dimaksudkan untuk dipergunakan


sebagai standar pelayanan medis. Standar pelayanan
medis ditentukan berdasarkan semua data klinis yang
tersedia untuk setiap kasus secara tersendiri dan dapat
berubah setiap saat karena kemajuan ilmu pengetahuan
dan perubahan pola perawatan yang senantiasa
berkembang.

Isi dari buku pedoman ini adalah sebagai panduan untuk


praktik klinis, berdasarkan bukti terbaik pada saat
penyusunannya. Kepatuhan terhadap pedoman ini tidak
menjamin hasil yang sukses dalam setiap kasus. Pedoman
ini tidak harus diartikan sebagai metode yang tepat untuk
pengelolaan semua kasus atau menafikan metode
pengelolaan lain yang dapat diterima.

Setiap dokter akhirnya bertanggung jawab untuk


mengelola keunikan setiap pasiennya dengan
mempertimbangkan seluruh data klinis terakhir pasien
serta fasilitas medis yang tersedia.

Semuanya itu dilakukan untuk menentukan keputusan


terbaik bagi setiap pasien setelah melewati prosedur
konseling dan persetujuan. Selebihnya dokter harus
melakukan apa yang menjadi keputusannya secara lege
artis.

i
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kita harus mengucapkan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang dengan karuniaNYA kita telah
diberikan kesehatan dan kesempatan untuk melaksanakan
tugas kita di dunia. Keinginan untuk membuat semacam
buku pedoman bidang obstetri yang dapat dipakai oleh
semua pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
kesehatan feto-maternal di Indonesia telah dilakukan sejak
HKFM berdiri pada tahun 1999, era kepengurusan
R.Hariadi – Made Kornia Karkata. Lewat pertemuan HKFM
setiap ada PIT / KOGI telah dibuat berbagai pedoman
kasus-kasus obstetri yang paling sering terjadi dan sifatnya
masih dalam buku lepas yang terpencar. Pada tahun 2006
semuanya sudah dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk
CD yang telah disebarkan ke berbagai senter OBGIN di
seluruh Indonesia. Isinya adalah berbagai judul mata ajar
serta berbagai pedoman pelaksanaan yang terkait
dengannya. Belakangan diketahui bahwa cara penerbitan
dalam bentuk CD tersebut menimbulkan hambatan
tersendiri yang menyebabkan CD tersebut kurang suka
“dibaca”.
Saat kepemimpinan HKFM ada di tangan Noroyono
Wibowo – Damar Prasmusinto, 2006-2010, sudah muncul
lagi beberapa pedoman baru yang statusnya masih
terpisah pisah. Sampai kemudian pada kepengurusan
HKFM sekarang, Johanes Mose – Adhi Pribadi,
semuanya dirangkum dalam bentuk buku yang dikeluarkan
tahun 2010, saat ulang tahun ke 11 HKFM. Dalam buku itu
hanya berisi rangkuman semua pedoman hasil karya yang
sudah lewat dengan topik topik : Penatalaksanaan
Perdarahan Pasca Salin ; Penatalaksanaan Hipertensi
dalam Kehamilan ; Penatalaksanaan Kehamilan dengan
Penyakit Jantung ; Penatalaksanaan Kehamilan dengan
Pertumbuhan Janin Terhambat ; Penatalaksanaan
Kelainan Bawaan ; Penatalaksanaan Kehamilan dengan
Diabetes Melitus ; Penatalaksanaan Sepsis pada Ibu ;
Penggunaan Misoprostol di bidang Obstetri . Sementara itu

ii
masih ada 2 topik lepas yang sudah dikeluarkan yaitu :
Prematuritas (Bandung) dan Kehamilan Kembar (Jakarta).
Sampai terakhir, POGI Pusat memberikan himbauan
tentang penyeragaman cara penulisan buku pedoman yang
diharapkan sudah terbit pada KOGI 2012 di Bali. Untuk itu
Komisi Pengabdian Masyarakat telah mengedit ulang buku
panduan 2010 dengan bantuan seluruh senter FM di
Indonesia dan menyesuaikannya dengan arahan POGI
tersebut diatas. Keputusan HKFM pada PIT 13 Palembang
menghilangkan topik hipertensi dalam kehamilan karena
topik tersebut sudah diterbitkan oleh pihak DepKes dan
sepakat untuk menerbitkan 500 eksemplar buku pedoman
serta lebih lanjut naskah akan diunggah dalam bentuk e-
book ke situs POGI pusat untuk dimanfaatkan oleh seluruh
anggota POGI. Dengan keterbatasannya dan ijin dari
kontributor topik maka kami tampilkan kompilasi topik
fetomaternal yang disepakati dan disusun ulang sesuai
dengan urutan dan kepentingannya.
Dengan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua Ketua Divisi FM di seluruh Indonesia, semua
koordinator topik dan perorangan atas berbagai masukan,
perubahan serta sumbangsih lain dalam membuat edisi ini.
Selanjutnya, karena tak ada yang sempurna, maka kami,
mohon maaf apabila ada kekurangan atau ketidak-
cermatan yang terjadi pada buku ini. Karena berbagai
hambatan, kami terpaksa menerima naskah secara utuh
yang dikirimkan oleh koordinator topik, sehingga ada dua
macam penulisan daftar pustaka. Selanjutnya, seperti
diagendakan, buku pedoman ini, secara berkala akan
direvisi dan dilengkapi sesuai kemajuan IPTEKDOK bidang
obstetri dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Akhirnya selamat bekerja dan mengabdi sesuai dengan
Visi dan Misi HKFM kita.

Komisi Pengabdian Masyarakat HKFM

• Made Kornia Karkata


• Herman Kristanto

iii
SAMBUTAN
Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu hamil yang
tinggi di negara kita telah dilakukan sejak berpuluh tahun
sebelumnya, namun kenyataannya kegiatan ini telah
menjadi aktivitas yang terus berlangsung tanpa ada
akhirnya. Sebagai profesi yang sangat erat hubungannya
dengan ibu hamil, tentu saja kita tidak pernah merasa
berputus asa untuk terus berusaha menanggulangi
masalah yang besar ini. Peningkatan dan penyegaran ilmu
dan ketrampilan dari para SpOG yang menjadi pemeran
utama dari semua kegiatan peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan ibu hamil serta bayi yang dikandungnya,
merupakan salah satu mata rantai yang sangat strategis
untuk menanggulangi masalah ini.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia (HKFM)
sejak berdirinya kurang lebih 13 tahun yang lalu telah
melakukan banyak Pertemuan Ilmiah yang menghasilkan
kesepakatan bersama berupa Panduan Pengelolaan
Kasus-kasus Obstetri yang dinilai sebagai penyebab utama
kematian ibu hamil di Indonesia.
Upaya peninjauan dan menghimpun kembali apa yang
sudah pernah disepakati bersama ini merupakan hal yang
tidak mudah karena memerlukan komitmen yang kuat dari
teman-teman terutama Komisi Pengabdian Masyarakat
HKFM untuk terus mengingatkan teman-teman anggota
yang lain agar terus berkarya tanpa henti memberikan
karya terbaiknya.
Sebagai Ketua HKFM saya sangat menghargai dan
memberikan apresiasi yang tinggi atas kerja para editor
dan penulis dari setiap topik dari buku panduan ini. Tentu
saja ini bukan merupakan karya terakhir, tapi merupakan
karya awal tanpa henti untuk terus memperbaiki dan
memperbarui topik, pengertian dan pemahaman serta
tindakan yang tepat berbasis bukti bagi penanggulangan
kelainan tersebut.

iv
Semoga buku panduan ini akan memberikan banyak
manfaat bagi sejawat pembaca sekalian dalam upaya
sejawat untuk mengatasi masalah ibu hamil agar terhindar
dari malapetaka dan kematian.

Ketua HKFM

Johanes C.Mose

v
Prolog

Lebih baik menyalakan


lilin daripada
mengutuk kegelapan...
Pepatah Cina kuno

vi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
Untuk Menjadi Perhatian i
Kata Pengantar ii
Sambutan iv
Prolog vi
Daftar Isi vii
1. Asuhan Pranatal 1
2. Panduan Pemeriksaan Ultrasonografi Obstetri Dasar 23
3. Kehamilan dengan Diabetes Melitus 34
4. Kehamilan dengan Penyakit Jantung 50
5. Pertumbuhan Janin Terhambat 79
6. Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus 104
7. Kelainan Bawaan 115
8. Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 130
9. Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 137
10. Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria 148
11. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 160
12. Penatalaksanaan Sepsis Maternal 184
13. Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 211

Lampiran 1 : Penilaian Level Evidens


Lampiran 2 : Daftar Koordinator dan Kontributor Topik
Epilog

vii
BAB I
ASUHAN PRANATAL

TUJUAN

Menyelaraskan ibu dan janin terhadap proses kehamilan.


Di Indonesia asuhan pranatal bertujuan untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi dengan melakukan
identifikasi kehamilan berisiko, melakukan intervensi untuk
mencegah atau mengobati komplikasi yang timbul,
memberikan edukasi dan promosi kesehatan yang
mempunyai manfaat jangka panjang untuk ibu dan
keluarganya1.

HARAPAN

Asuhan pranatal (Ante Natal Care, ANC) bermanfaat untuk


ibu hamil. Walaupun perlu diketahui bahwa manfaat
asuhan pranatal masih kontroversial karena sampai saat ini
belum ada bukti yang meyakinkan bahwa asuhan pranatal
dapat memperbaiki luaran kehamilan1.

Asuhan Pranatal
1
Namun diharapkan setiap dokter spesialis obstetri dapat
menjaga keseimbangan toleransi ibu dan janin selama
kehamilan sehingga diperoleh kehamilan dan persalinan
yang selamat dan aman bagi ibu dan janin.

PENDAHULUAN

Kehamilan adalah suatu proses fisiologis yang normal.


Mayoritas dari kehamilan diterima oleh ibu sebagai hal
yang memang harus dijalaninya. Dengan demikian
intervensi pada proses ini seharusnya diyakini memberi
manfaat dan dapat diterima oleh setiap ibu hamil.
Konsep dasar dari asuhan pranatal ini adalah 20 minggu
pertama kehamilan, merupakan fase kritis yang
menentukan kelangsungan kehamilan selanjutnya2.
Pengasuhan selama kehamilan yang baik akan
berhubungan dengan kualitas manusia yang dilahirkan.

Gambar 1. Nutrisi sepanjang kehidupan3

Asuhan Pranatal
2
DEFINISI

Asuhan pranatal adalah asuhan yang diberikan kepada ibu


hamil dengan tujuan menyelaraskan ibu dan janin agar
terhindar dari komplikasi dan menurunkan insiden
morbiditas/ mortalitas perinatal dan maternal. Asuhan ini
terdiri atas promosi kesehatan, penilaian risiko, dan
intervensi atas keadaan ibu hamil. Asuhan pranatal dimulai
sejak konsepsi yang berhasil sampai dimulainya
persalinan1.

Catatan Pranatal
Harus tersedia catatan medis yang formal dan terstruktur
disesuaikan dengan kondisi tempat pelayanannya untuk
mendokumentasikan asuhan yang diberikan kepada ibu
hamil. Ibu hamil harus diizinkan membawa salinan catatan
pranatal miliknya. Ini berhubungan dengan kemungkinan
ibu hamil perlu mendapat pelayanan darurat/ tidak darurat
di tempat dimana ia tidak mendapatkan asuhan rutinnya1.

Ibu hamil yang kemungkinan memerlukan asuhan


khusus4
• Dengan penyakit jantung, termasuk hipertensi
• Dengan penyakit ginjal
• Dengan kelainan endokrin atau riwayat diabetes
• Dengan kelainan psikiatri
• Dengan kelainan hematologi
• Dengan kelainan autoimun
• Mendapat terapi farmakologi (antidepresan,
antikonvulsi, dsb)
• Riwayat infertilitas atau mendapat teknologi
reproduksi berbantu
• Kehamilan ganda
• Preeklamsia
• Diabetes gestasional yang memerlukan insulin
• Pengguna NAPZA (termasuk perokok, alkohol,
heroin, marijuana, kokain, ekstasi, dan amfetamin)
• Obesitas (IMT >30)
• Kurus (IMT <18.5)
Asuhan Pranatal
3
• Ibu hamil yang rentan ( seperti remaja, miskin,
hambatan bahasa) yang tidak mendapat dukungan
sosial
• Ibu hamil yang terpapar kekerasan rumah tangga
• Dengan keganasan
• Dengan infeksi kronik (HIV, Hep C, HSV, Hep B,
dsb)
• Dengan kelainan medis/ operatif kronik (epilepsi,
asma berat, lupus, dsb)
• Usia > 40 tahun
• Keadaan lain yang ditentukan oleh tenaga
kesehatan

Ibu hamil dengan riwayat penyakit berikut pada


kehamilan sebelumnya kemungkinan memerlukan
asuhan khusus4
• Keguguran berulang
• Persalinan preterm
• Preeklamsia, eklampsia, atau sindrom HELLP
• Isoimunisasi rhesus atau grup antibodi darah
lainnya yang bermakna
• DMG yang memerlukan insulin
• Psikosis puerperalis
• Grandemultipara (> 6 kali)
• Stillbirth atau kematian neonatus
• BBLR (< persentil 10)
• Besar masa kehamilan (> persentil 90)
• Riwayat bayi dengan kelainan kongenital (struktural
atau kromosomal)

Operasi di uterus (misal : seksio sesaria, miomektomi,


biopsi konisasi atau LEEP)
• Perdarahan antepartum atau postpartum
• Keadaan lain yang ditentukan oleh tenaga
kesehatan

Jadwal asuhan pranatal


Tidak cukup bukti untuk merekomendasikan jadwal asuhan
pranatal yang ideal untuk seluruh ibu hamil. Harus

Asuhan Pranatal
4
diketahui bahwa untuk mengoptimalkan luaran kehamilan
adalah persiapan sebelum kehamilan itu sendiri.
Jadwal asuhan pranatal berbeda-beda di setiap daerah/
negara. Rata-rata kunjungan 7-12 kali per kehamilan.
Namun disepakati bahwa pada multipara tanpa komplikasi
jumlah kunjungan dapat lebih sedikit daripada nulipara
tanpa komplikasi. Berapa kali jumlah kunjungan bersifat
individual tergantung dari faktor risiko yang dikenali sejak
kunjungan pertama atau pada kunjungan berikutnya.
Jumlah kunjungan antenatal yang rendah tidak
berhubungan dengan luaran maternal dan perinatal yang
buruk. Tetapi pada daerah dengan sarana terbatas, yang
kunjungan pranatalnya sudah rendah, penurunan jumlah
kunjungan pranatal (<5) meningkatkan risiko mortalitas
perinatal. Untuk daerah dengan sarana yang baik,
rendahnya kunjungan pranatal (<8) berhubungan dengan
ketidakpuasan/ ketidaknyamanan ibu hamil. Jadwal
kunjungan pranatal ditentukan oleh tujuan dari kunjungan
tersebut. Kunjungan minimal yang harus dilakukan adalah
4 kali, bahkan untuk daerah terpencil 1,4,5.

Gambar 2. Piramida asuhan pranatal (dulu (kiri) dan masa


datang (kanan)2

Asuhan Pranatal
5
Tabel 1. Anjuran Konseling, Skrining, dan Intervensi pada
Asuhan Pranatal pada kunjungan awal < 14 minggu1

Penilaian/Prosedur
• Anamnesis lengkap dan identifikasi risiko
• Penghitungan taksiran persalinan berdasarkan hari
pertama haid terakhir
• Skrining tekanan darah dasar
• Berat badan dan BMI
• Skrining kekerasan domestik
• Vaksinasi sesuai dengan kebutuhan
• Rujukan untuk asuhan khusus berdasarkan anamnesis
• Ditawarkan untuk skrining USG aneuploidi pada 11-13
6/7 minggu
Pemeriksaan laborartorium
• Pemeriksaan darah lengkap; golongan darah dan
rhesus; IgG rubela; RPR; HbsAg; HIV
• Pemeriksaan urin dipstik untuk protein dan glukosa
• Urinalisis dan kultur urin
• Gonore / Klamidia *
• Pap smear *
• Skrining pertanda ganda aneuploidi
• Skrining tambahan sesuai dengan riwayat penyakit dan
preeklamsia
Edukasi/ Konseling
• Menghentikan bahan berbahaya
• Olahraga / aktivitas
• Nutrisi
o Pertambahan berat badan
o Suplemen
o Makanan yang aman
• Pemberian ASI
Edukasi/ Konseling tidak terbatas pada usia kehamilan
• Tanda bahaya
• Perawatan gigi
• Keluarga Berencana
*
Pada keadaan khusus

Asuhan Pranatal
6
Tabel 2. Anjuran Konseling, Skrining, dan Intervensi pada
Asuhan Pranatal pada kunjungan 14 – 24 minggu1

Penilaian/Prosedur
• Denyut jantung janin
• Tinggi fundus
• Gerakan janin
• Tekanan darah
• Berat badan
• Skrining USG untuk anatomi
Pemeriksaan laborartorium
• Skrining pertanda ganda aneuploidi
• Proteinurin dipstik bila diperlukan
Edukasi/ Konseling
• Memeriksa dan mendiskusikan hasil pemeriksaan
Edukasi/ Konseling tidak terbatas pada usia kehamilan
• Tanda bahaya
• Perawatan gigi
• Keluarga Berencana

Tabel 3. Anjuran Konseling, Skrining, dan Intervensi pada


Asuhan Pranatal pada kunjungan 24-28 minggu1

Penilaian/Prosedur
• Denyut jantung janin
• Tinggi fundus
• Gerakan janin
• Tekanan darah
• Berat badan
• Immunoglobulin Rh bila perlu
• Skrining untuk kekerasan domestik
Pemeriksaan laborartorium
• Pemeriksaan diabetes gestational; ulang CBC
• Skrining antibodi bila diperlukan
• Proteinuria dipstik bila diperlukan
Edukasi/ Konseling
• Gejala dan tanda persalinan preterm
Edukasi/ Konseling tidak terbatas pada usia kehamilan
• Persiapan, pilihan, gejala dan tanda persalinan
• Perjalanan
• Persalinan percobaan setelah seksio sesarea (P2S3)

Asuhan Pranatal
7
Tabel 4. Anjuran Konseling, Skrining, dan Intervensi pada
Asuhan Pranatal pada kunjungan awal 28-34 minggu1

Penilaian/Prosedur
• Denyut jantung janin
• Tinggi fundus
• Gerakan janin
• Tekanan darah
• Berat badan
Pemeriksaan laborartorium
• Proteinuria dipstik bila diperlukan
Edukasi/ Konseling
• Gejala dan tanda persalinan preterm
• Gejala dan tanda preeklamsia
Edukasi/ Konseling tidak terbatas pada usia kehamilan
• Persiapan, pilihan, gejala dan tanda persalinan
• Perjalanan
• Persalinan percobaan setelah seksio sesarea (P2S3)

Tabel 5 . Anjuran Konseling, Skrining, dan Intervensi pada


Asuhan Pranatal pada kunjungan 34-41 minggu1
Penilaian/Prosedur
• Denyut jantung janin
• Tinggi fundus/ taksiran berat janin
• Gerakan janin
• Presentasi janin
• Tekanan darah
• Berat badan
Pemeriksaan laborartorium
• Proteinuria dipstik bila diperlukan
• HIV
Edukasi / Konseling
• Tanda persalinan / kapan harus menelepon
• Tanda dan gejala preeklamsia
• Manajemen lewat waktu
• Pemberian ASI
Edukasi / Konseling tidak terbatas pada usia kehamilan
• Persiapan, pilihan, gejala dan tanda persalinan
• Perjalanan
• Persalinan percobaan setelah seksio sesaria (P2S3)

Asuhan Pranatal
8
• ANC s/d 12 minggu : skrining awal (deteksi dini
kelainan ibu dan bayi)
• ANC kehamilan awal – 20 minggu : 3 x pertemuan
(jika tidak ada kelainan)
• ANC kehamilan > 20 minggu : follow up tumbuh
kembang janin
• Dilakukan pada kehamilan yang tidak ada penyulit
pada ibu dan janin
• Bila terdapat penyulit dilakukan kolaborasi dengan
bagian fetomaternal
• Ibu hamil diberikan suplementasi yang sesuai
dengan angka kebutuhan vitamin dan mineral
menurut standar WHO.

PROSEDUR ASUHAN

Kunjungan pertama
Kunjungan pertama yang optimal dilakukan sebelum hamil
12 minggu. Pada kunjungan pertama ibu hamil sebaiknya
mendapatkan informasi tentang bagaimana asuhan
kehamilan akan diberikan, tujuan pemberian asuhan, tes
skrining yang ditawarkan, anjuran untuk pola hidup sehat,
termasuk nutrisi dan olahraga1 .

Riwayat Penyakit
Harus dilakukan evaluasi riwayat penyakit dengan
seksama, khususnya untuk mengevaluasi risiko kehamilan.
Pada bagian ini harus dapat diidentifikasi ibu hamil yang
berisiko tinggi yang perlu mendapat perhatian khusus.
Harus dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan
taksiran persalinan apabila hari pertama haid terakhir tidak
diyakini.

Pemeriksaan fisik
Harus dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh (lihat tabel)
dan terarah sesuai identifikasi risiko.

Asuhan Pranatal
9
Pada kunjungan pertama ini tinggi badan dan berat
badan wajib diukur untuk untuk indeks massa tubuh {IMT=
berat (kg)/ tinggi kuadrat (m2)}. Penentuan IMT harus
dilakukan pada berat badan saat konsepsi atau awal
kehamilan. Penentuan IMT ini berhubungan dengan risiko
kehamilan seperti diabetes dan persalinan preterm, serta
risiko persalinan seperti distosia bahu, seksio sesaria,
BBLR.

Tabel 6. Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)1


Kategori berat IMT

Kurus < 18.5


Normal 18.5-24.9
Gemuk 25-29.9
Obesitas (kelas I) 30-34.9
Obesitas (kelas II) 35-39.9
Obesitas ekstrim (kelas III) > 40

Pengukuran tekanan darah dilakukan pada setiap


kunjungan asuhan pranatal. Tujuan pengukuran tekanan
darah untuk mengidentifikasi ibu hamil dengan hipertensi
kronik. Tekanan darah diastolik > 80 berhubungan dengan
risiko preeklamsia6. Tekanan darah diukur dengan posisi
lengan ibu hamil setinggi jantung, dalam keadaan duduk
atau berbaring setengah duduk, dengan menggunakan cuff
yang sesuai (panjangnya 1.5 x lingkar lengan atas dan
lebarnya menutupi > 80% lengan atas)1.

Periksa dalam
Periksa dalam tidak akurat untuk menentukan usia
kehamilan dan bukan cara memprediksi persalinan preterm
atau kemungkinan disproporsi sefalo pelvik di kehamilan
lanjut yang dapat dipercaya. Tidak dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan ini. Tetapi pemeriksaan ini dapat
dilakuan untuk menilai patologi ginekologi.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan lihat tabel 9

Asuhan Pranatal
10
Kunjungan berikut1
Kunjungan berikut harus memberikan:
• Pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
lanjutan dan pemeriksaan atas indikasi
• Penilaian tentang faktor risiko dan rencana
intervensi bila ada
• Edukasi dan promosi kesehatan khusus untuk ibu
hamil tersebut
• Kesempatan untuk berdiskusi dan tanya jawab

Pemeriksaan fisik lanjutan


Berat badan
Penambahan berat badan yang optimal berhubungan
dengan luaran kehamilan yang lebih baik.

Tabel 7. Total penambahan berat badan ibu hamil yang


dianjurkan (kg)1
IMT Kehamilan Tunggal Gemeli

<18.5 12.5-18 Tidak ada data


18.5-24.9 11.5-16 17-25
25.0-29.9 7-11.5 14-23
>30 5-9 11-19

Tekanan darah
Harus diperiksa dan dicatat pada setiap kunjungan

Denyut jantung janin


Harus diperiksa dan dicatat pada setiap kunjungan

Pengukuran tinggi fundus uteri (simfisis-fundus)


Dapat dilakukan bila usia kehamilan lebih dari 24 minggu
sampai 41 minggu. Dapat mendeteksi pertumbuhan janin
terhambat dan makrosomia, tetapi ada faktor kesalahan
intra- dan inter- pemeriksa. Tidak cukup data bahwa
pemeriksaan ini memberikan manfaat atau tidak
bermanfaat untuk luaran kehamilan.

Asuhan Pranatal
11
Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan dalam untuk menilai serviks tidak
direkomendasikan untuk menskrining persalinan preterm.

Gerakan janin
Tidak ada bukti bahwa penghitungan gerak janin (fetal kick
counts) menurunkan risiko kematian janin pada kehamilan
tunggal sehat7. Tetapi ibu hamil dapat dianjurkan untuk
memperhatikan gerak janin sejak usia kehamilan atau
sekitar 28 minggu.

Pemeriksaan Leopold
Dilakukan sejak usia kehamilan 34 minggu untuk menilai
taksiran berat janin dan presentasi. Dapat ditawarkan
pemeriksaan USG untuk konfirmasi dan kemungkinan
intervensi

Pemeriksaan pelvimetri
Tidak cukup data bahwa pemeriksaan ini terbukti dapat
memprediksi distosia saat persalinan.
Pemeriksaan edema rutin: tidak sensitif dan spesifik untuk
mengevaluasi preeklamsia

Asuhan Pranatal
12
Tabel 8. Rekomendasi untuk Asuhan Pranatal Rutin4,5
Komponen Rekomendasi Level Keterangan
Pemeriksaan
Palpasi Palpasi abdomen harus B Palpasi abdomen tidak
Abdomen dilakukan untuk menilai perlu dilakukan
presentasi janin sejak sebelum 36 minggu,
minggu ke-36 kehamilan karena potensial tidak
akurat dan tidak
nyaman untuk pasien
Pengukuran Tidak diketahui berapa C
tekanan darah sering tekanan darah
harus diukur, tetapi
banyak yang menyatakan
harus diukur setiap
kunjungan antenatal

Evaluasi edema Edema terjadi pada 80% C Edema didefinisikan


ibu hamil. Tidak sebagai pitting edema
mempunyai spesifitas dan > +1 setelah bed rest
sensitivitas untuk 12 jam, atau
mendiagnosis preeklamsia penambahan berat
badan 2.3 kg/ minggu

Denyut jantung Auskultasi denyut jantung C Bunyi denyut jantung


janin janin dianjurkan dilakukan janin memberikan efek
setiap kunjungan psikologis pada ibu,
antenatal. Bunyi jantung tetapi potensi
janin sebagai konfirmasi manfaatnya belum
janin hidup, tetapi tidak pernah diteliti
ada bukti bermanfaat
untuk hal klinik lain atau
mempunyai nilai prediktif

Hitung gerak Penghitungan gerak janin A


janin rutin tidak perlu dilakukan

Pada ibu hamil tanpa B


faktor risiko untuk luaran
perinatal yang buruk harus
waspada terhadap gerak
janin sejak 26-32 minggu
dan melakukan hitung
gerak janin bila terasa
gerakannya berkurang

Pada ibu hamil dengan A


faktor risiko, dilakukan
hitung gerak janin harian
pada 26-32 minggu dan
mendatangi RS segera
bila gerakan janin kurang
dari 6 dalam interval 2 jam

Asuhan Pranatal
13
Komponen Rekomendasi Level Keterangan
Pemeriksaan
Pengukuran Pengukuran tinggi simfisis B Pengukuran tinggi
tinggi simfisis- fundus dilakukan setiap simfisis-fundus
fundus kunjungan antenatal mempunyai efek
dalam sentimeter. kesalahan
Menggambarnya pada interpemeriksa dan
grafik pertambahan tinggi intrapemeriksa. Tetapi
fundus bermanfaat untuk pemeriksaan ini
pemantauan mudah dan murah
Urinalisis Semua ibu hamil diperiksa B Pemeriksaan
proteinuria pada proteinuria dengan
kehamilan dini untuk dipstik bermak -na bila
menskrining adanya nilainya +3 atau +4
kelainan ginjal

Urinalisis dipstik tidak C Beberapa guideline


meyakinkan untuk menganjurkan untuk
mendeteksi preeklamsia menghentikan pemerik
dini. -saan ini secara rutin,
tetapi yang lain tetap
mempertahankan

Pengukuran protein pada A Untuk konfirmasi


urin 24 jam, lebih dapat proteinuria lebih baik
dipercaya, merupakan menghitung ratio
baku emas, tetapi tidak protein kreatinin
praktis. Glukosuria trace
tidak dapat memastikan
kelainan, tetapi bila tinggi
dapat bermanfaat
Penimbangan Berat badan dan tinggi B Untuk mengetahui
berat badan badan ibu hamil harus risiko pada ibu hamil
diukur pada kunjungan kurus dan gemuk.
pertama, untuk Penambahan berat
menentukan IMT, sebagai badan tidak
dasar rekomendasi berhbungan dengan
pertambahan berat badan hipertensi karena
kehamilan
Berat badan ibu hamil C
harus ditimbang setiap
kunjungan

Pertimbangkan untuk B
penambahan berat badan
sedikit atau tidak sama
sekali pada ibu hamil
dengan obesitas

Asuhan Pranatal
14
Pemeriksaan lanjutan laboratorium (Lihat tabel 9)
Pada kehamilan 24-28 minggu: ibu hamil dengan faktor
risiko DMG harus diskrining dengan menilai gula darah
puasa dan tes toleransi glukosa oral (TTGO) 75g.

Tabel 9. Rekomendasi Skrining Laboratorium Asuhan


Pranatal4,5

Tes skrining Rekomendasi Level Keterangan


Hb, MCV Diperiksa B Skrining untuk defisiensi Fe
dan hemoglobinopati
Bila darah lengkap abnormal,
periksa anemia defisiensi besi
(ferritin) dan hemoglobinopati
(Hb elektroforesis)
Golongan Diperiksa setiap C Skrining untuk mencegah
darah, kehamilan pada penyakit hemolitik pada bayi
rhesus D trimester I baru lahir (misal dari
isoimunisasi resus)
HIV Diperiksa A Skrining HIV untuk mencegah
transmisi ke bayi
Titer Diperiksa bila tidak B Untuk melihat ibu hamil dini
antibodi diketahui riwayat yang terpapar dan tidak imun,
rubella sebelumnya atau dan sebagai petunjuk
imunisasi rekomendasi vaksinasi
pascamelahirkan untuk
kehamilan berikutnya
Hepatitis C Diperiksa pada ibu A
hamil dengan:
• Pengguna
narkoba
• Hemodialisis
• Peningkatan
AST persisten
• Pernah
transfusi
• Risiko tinggi
terpapar
produk darah
• HIV positif
• Tattoo di
tubuh
Sifilis Diperiksa setiap A Skrining untuk diagnosis dan
kehamilan terapi/ pencegahan
HbsAg Diperiksa A Skrining untuk petunjuk
investigasi pada ibu dengan
kelainan hati dan untuk
kepentingan bayi (vaksinasi
saat lahir)

Asuhan Pranatal
15
Tes skrining Rekomendasi Level Keterangan
Pemeriksaan Pemeriksaan rutin untuk E
lain seperti: toxoplasmosis, B19, mumps
serologi B19, tidak perlu dilakukan
mumps, Ditawarkan untuk B
CMV pemeriksaan serologi pada
perempuan yang terpapar
atau dengan gejala
parvovirus, mumps, CMV
untuk menentukan infeksi
lama (IgG) atau infeksi akut
(IgM)
Skrining Ditawarkan pada semua ibu B
Klamidia hamil
Diperiksa pada ibu hamil
dengan risiko tinggi
Skrining Ditawarkan pada semua ibu A
Gonore hamil

Diperiksa pada ibu hamil A


dengan risiko tinggi
Urin tengah Diperiksa untuk bakteriuria C
asimtomatik pada kehamilan
dini dan skrining tiap
trimester pada ibu hamil
dengan riwayat ISK
berulang
Tes toleransi Ditawarkan untuk diagnosis A Pemeriksaan TTGO
glukosa dan (case finding) 75 g
gula darah Diabetes tipe II untuk pasien
puasa dengan faktor risiko:
obesitas dan/ atau riwayat
DM di keluarga
Thyroid Ditawarkan pada semua ibu B Kadar subnormal
Stimulating hamil pada kehamilan dini
Hormone Diperiksa pada ibu hamil berhubungan
dengan riwayat atau gejala dengan gangguan
penyakit tiroid atau penyakit perkembangan
lain yang berhubungan intelektual janin
dengan penyakit tiroid
Pap Smear Ditawarkan bila ada indikasi B

Tabel 10. Rekomendasi pemeriksaan genetik5


Penyakit Frekuensi Tes
alfa- and beta 1 dari 10 - 75 MCV < 80 fL, hemoglobin
thalassemia elektroforesis, ferritin dan
morfologi RBC. Analisis DNA
diperlukan untuk deteksi alfa-
thalassemia carrier

Asuhan Pranatal
16
Ultrasonografi1,8,9

Pemeriksaan USG trimester I (sebelum usia kehamilan 14


minggu): dapat menentukan taksiran persalinan dan usia
kehamilan lebih akurat daripada hari pertama haid terakhir.
Untuk deteksi dini kehamilan ganda, skrining aneuploidi
dengan nuchal translucency dan diagnosis nonviable-
pregnancies.
Pemeriksaan USG anatomi janin trimester II: Ibu hamil usia
kehamilan 18-22 minggu sebaiknya ditawarkan untuk
skrining USG. Pemeriksaan USG rutin ini dapat
menurunkan insiden kehamilan lewat waktu dan induksi
persalinan, meningkatkan deteksi dini kehamilan ganda,
meningkatkan deteksi dini kelainan kongenital mayor.
Pemeriksaan USG pertumbuhan janin trimester III: Pada
ibu hamil risiko rendah atau populasi tidak terseleksi USG
rutin trimester III tidak berhubungan dengan perbaikan
mortalitas perinatal. Pemeriksaan USG selektif bermanfaat
untuk keadaan tertentu, seperti kecurigaan pertumbuhan
janin terhambat, penilaian indeks cairan amnion untuk
dugaan oligo atau polihidramnion, dan penilaian
malpresentasi. Pemeriksaan rutin Doppler arteria
umbilikalis pada ibu hamil risiko rendah atau populasi tidak
terseleksi tidak menujukkan manfaat berarti.

Gizi dan Makanan1


Ibu hamil harus dianjurkan untuk mengonsumsi makanan
gizi seimbang. Kebutuhan kalori meningkat 340-450 kkal
per hari pada trimester kedua dan ketiga. Penambahan
berat badan yang dianjurkan selama kehamilan adalah
11.5 sampai 16 kg pada ibu hamil dengan IMT normal.
Pada studi observasional ditemukan bahwa penambahan
berat badan di bawah yang direkomendasikan
berhubungan dengan berat bayi lahir rendah dan
persalinan preterm. Penambahan berat badan di atas yang
direkomendasikan berhubungan dengan risiko
makrosomia, seksio sesaria dan retensi berat pasca
melahirkan10.
Suplementasi asam folat sejak 4 minggu sebelum konsepsi
sampai 12 minggu kehamilan mencegah defek tuba
Asuhan Pranatal
17
neuralis. Dosis rekomendasi untuk pencegahan primer
adalah 0.4 mg per hari. Dosis untuk pencegahan sekunder
pada perempuan dengan riwayat defek tuba neuralis pada
anak sebelumnya adalah 4 mg per hari.
Beberapa otoritas menganjurkan suplementasi besi
pranatal universal (27 sampai 30 mg per hari) karena
konsumsi rata-rata dan cadangan besi endogen sering
tidak cukup untuk pemenuhan kebutuhan besi pada
kehamilan dan karena defisiensi besi berhubungan dengan
luaran kehamilan yang buruk, serta karena suplementasi
cukup aman. Namun demikian belum cukup bukti yang
mendukung atau menolak suplementasi rutin pada ibu
hamil. Semua ibu hamil harus diskrining untuk anemia pada
kunjungan pranatal pertama

Tabel 11. Rekomendasi Suplementasi Makanan5


Suplemen Rekomendasi Level Keterangan
Kalsium Rekomendasi asupan harian A Suplementasi kalsium
1000 sampai 1300 mg per dapat menurunkan
hari tekanan darah dan
Suplementasi rutin kalsium kejadian preeklamsia,
untuk mencegah eklampsia tetapi tidak untuk
tidak direkomendasikan. mortalitas perinatal
Suplementasi kalsium
bermanfaat pada populasi
berisiko tinggi hipertensi
dalam kehamilan atau
dengan asupan kalsium
rendah
Asam folat Suplementasi asam folat A Suplementasi
0.4-0.8 mg (4 mg untuk mencegah defek tuba
pencegahan sekunder) neuralis
harus dimulai 1 bulan
sebelum konsepsi

AKG adalah 600 mcg per B Defisiensi folat


hari berhubungan dengan
berat bayi lahir rendah,
kelainan jantung
kongenital dan anomali
orofasial, solusio
plasenta, dan abortus
spontan
Besi Ibu hamil harus diskrining B Anemia defsiensi besi
untuk anemia dan diterapi, berhubungan dengan
kalau perlu. persalinan preterm dan
BBLR
Ibu hamil harus mendapat C

Asuhan Pranatal
18
suplementasi besi 30 mg per
hari
Vitamin D Suplementasi vitamin D C Defisiensi vitamin D
dapat dipertimbangkan pada jarang terjadi tetapi
ibu hamil dengan paparan berhubungan dengan
matahari yang terbatas hipokalsemia neonatal
(misal pengguna purdah). dan osteomalasia
Namun demikian bukti efek maternal
suplementasi masih
terbatas.
AKG 5 mcg per hari (200 IU Dosis tinggi vitamin D
per hari) bersifat toksik.

Gaya Hidup1
Olahraga
Olahraga teratur selama kehamilan dengan risiko rendah
bermanfaat karena meningkatkan kesehatan dan daya
tahan tubuh ibu hamil. Namun tidak cukup data untuk ibu
hamil risiko tinggi. Tidak ada laporan pengaruhnya
terhadap persalinan preterm dan BBLR, atau luaran
maternal dan perinatal lainnya. Pada meta-analisis,
olahraga berhubungan dengan penambahan berat badan
ibu hamil yang lebih rendah (sampai 600 g).
Kemungkinan manfaat olahraga adalah memperbaiki fungsi
kardiovaskuler, pembatasan pertambahan berat badan ibu
hamil, mengurangi ketidaknyamanan muskuloskletal,
menurunkan keluhan kram otot dan edema tungkai,
stabilitas mood dan memperbaiki DMG dan hipertensi
gestational. Manfaat untuk janin antara lain menurunkan
massa lemak, memperbaiki toleransi stress, dan
meningkatkan maturasi neurobehavioral.
Olahraga ringan 20 menit, 5 kali sehari tidak memberikan
dampak buruk. Olahraga dalam kehamilan meningkatkan
denyut jantung (masih aman sampai 140 pada fungsi
jantung yang normal, dapat bervariasi tergantung usia dan
toleransi). Direkomendasikan melakukan jalan kaki,
berenang, dan olahraga lain yang tidak berat. Hindari
hipoglikemia dan dehidrasi.

Perjalanan
Konseling dilakukan tentang penggunaan sabuk pengaman
di mobil, mencegah risiko tromboemboli vena selama

Asuhan Pranatal
19
perjalanan jauh dengan pesawat terbang dengan berjalan-
jalan dan pecegahan jatuh sakit dalam perjalanan.

Hubungan seksual
Hubungan seksual tidak berhubungan dengan luaran
kehamilan yang buruk. Namun suami istri harus waspada
bahwa hubungan seksual dapat membahayakan
kehamilan. Semen adalah sumber prostaglandin.
Pyosperma berhubungan dengan ketuban pecah dini dan
orgasme serta stimulasi puting susu meningkatkan
kontraksi.

Lain-lain
Tabel 12. Masalah-masalah dalam kehamilan4,5
Masalah Rekomendasi Level Keterangan
Terbang Menaiki pesawat udara aman untuk C
ibu hamil sampai 4 minggu sebelum
taksiran persalinan
Lama perjalanan berhubungan C
denganrisiko trombosis vena
Menyusui Menyusui terbaik untuk bayi. Menyusui B
kontraindikasi pada HIV,
ketergantungan obat, dan pemakaian
obat-obatan tertentu
Konseling tingkah laku terstruktur dan B
program edukasi ASI meningkatkan
kesuksesan menyusui
Olahraga Ibu hamil harus menghindari olahraga C
yang berisiko jatuh atau
membahayakan perut.
Menyelam selama kehamilan tidak C
direkomendasikan
Perawatan Walaupun pewarnaan rambut tidak C
rambut jelas berhubungan dengan malformasi
janin, paparan terhadap tindakan ini
harus dihindari pada kehamilan dini
Berendam Kemungkinan harus dihindari pada B
air panas trimester pertama
dan sauna Paparan panas maternal pada B
kehamilan dini berhubungan dengan
defek tuba neuralis dan keguguran
Persalinan Semua ibu hamil harus dikonseling C
tentang apa yang harus dilakukan bila
ketuban pecah, bila perssalinan
dimulai, strategi manajemen nyeri, dan
nilai dukungan pada persalinan
Obat Hanya sedikit obat yang aman untuk C Risiko yang
bebas dan ibu hamil, khususnya pada trimester berhubung -
herbal pertama an dengan

Asuhan Pranatal
20
pengobatan
individual
harus
dibahas
berdasarkan
kebutuhan
pasien.
Seks Hubungan seksual selama kehamilan B
tidak berhubungan dengan luaran
kehamilan yang buruk
Alkohol Semua ibu hamil harus diskrining B Ada bukti
apakah peminum alkohol bahwa
konseling
Tidak diketahui jumlah aman konsumsi B efektif untuk
alkohol selama kehamilan. Dianjurkan menurunkan
tidak minum alkohol konsumsi
alkohol ibu
hamil dan
morbiditas
bayinya
Napza Harus diinformasikan potensial efek C Ibu hamil
buruknya terhadap janin dengan
keter-
Rujukan ke unit detoksifikasi dapat C gantungan
diindikasikan. Methadone dapat obat sering
menyelamatkan hidup pada memerlukan
perempuan tergantung opioid intervensi
khusus
Merokok Semua ibu hamil harus diskrining A Konseling
apakah merokok atau tidak, konseling bahaya
kehamilan khusus diberikan pada ibu merokok
hamil perokok dan strategi
multikompo -
non efektif
untuk
menurunkan
BBLR
Bekerja Bekerja dengan berdiri cukup lama B
dan terpapar zat kimia tertentu
berhubungan dengan komplikasi
kehamilan
Vaksinasi
Imunitas terhadap rubela, varisela, hepatitis B, influensa,
tetanus dan pertusis harus dievaluasi saat kunjungan
pertama. Pemberian vaksinasi idealnya diberikan sebelum
konsepsi. Vaksin rekombinan, inaktivasi dan subunit, serta
toksoid dan imunoglobulin tidak membahayakan
perkembangan janin. Vaksin yang dilemahkan tidak boleh
diberikan selama kehamilan. Vaksin hepatitis B aman
diberikan saat kehamilan1.

Asuhan Pranatal
21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudtelgte C. Prenatal care. In: Berghella V. Obstetric


evidence based guidelines. 2nd edition. New York:
Informa healthcare; 2012
2. Nicolaides KH. A model for a new pyramid of prenatal
care based on the 11 to 13 weeks' assessment. Prenat
Diagn. 2011;31(1):3-6
3. United Nations Administrative Committee on
Coordination Sub-Committee on Nutrition (ACC/SCN).
Nutrition Throughout the Life Cycle. Switzerland: United
Nations; 2000
4. BCPHP Obstetric Guideline 19 MATERNITY CARE
PATHWAY. B.C. 2010. Available from:
http://www.bcprenatalscreening.ca/sites/prenatal2/files/
Guideline_19.pdf
5. Kirkham C, Harris S, Grzybowski S. Evidence-based
prenatal care: Part I. General prenatal care and
counseling issues. Am Fam Physician.
2005;71(7):1307-16.
6. Duckitt K, Harrington D.Risk factors for pre-eclampsia
at antenatal booking: systematic review of controlled
studies. Br Med J. 2005;330(7491):565.
7. Kamysheva E, Wertheim EH, Skouteris H, Paxton SJ,
Milgrom J. Frequency, severity, and effect on life of
physical symptoms experienced during pregnancy.J
Midwifery Womens Health. 2009;54(1):43-9.
8. Whitworth M, Bricker L, Neilson JP, Dowswell T.
Ultrasound for fetal assessment in early pregnancy.
Cochrane Database Syst Rev. 2010;(4)
9. Neilson JP. Ultrasound for fetal assessment in early
pregnancy.Cochrane Database Syst Rev. 2010: 14;(4)
10. Abrams B, Altman SL, Pickett KE. Pregnancy weight
gain: still controversial. Am J Clin Nutr 2000;71(5
suppl):1233S-41S

Asuhan Pranatal
22
BAB II
PANDUAN PEMERIKSAAN
ULTRASONOGRAFI OBSTETRI
DASAR

PENDAHULUAN

Saat ini pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan


pemeriksa-an yang tidak terpisahkan atau sudah menjadi
bagian dari perawatan antenatal. Pemeriksaan USG
antenatal pada dasarnya adalah skrining untuk mendeteksi
kelainan kongenital janin disamping kelainan pada
plasenta, tali pusat dan cairan ketuban yang dapat
berdampak pada luaran kehamilan khususnya pada
kualitas hidup kelak di kemudian hari.
Mengingat pentingnya tujuan skrining antenatal tersebut
maka perlu disusun panduan yang sampai saat ini belum
kita miliki. Panduan ini merupakan Panduan Pemeriksaan
Ultrasonografi Obstetri Dasar Antenatal yang meliputi:
waktu pemeriksaan, apa saja yang perlu dinilai sampai
aspek dokumentasi, peralatan dan keamanan.
Walaupun tidak mungkin untuk menemukan semua kelai-
nan kongenital pada janin dan atau patologi kehamilan

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 23


tetapi setidaknya panduan ini dapat memaksimalkan upaya
deteksi kelainan, proses tumbuh kembang janin pada
kehamilan trimester satu, dua dan tiga.
Panduan ini akan sangat efektif bila dilaksanakan secara
konsisten dan juga sangat bergantung kepada kompetensi
pemeriksa. Untuk itu perlu selalu ada peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan dari pemeriksa terutama di
lini terdepan pelayanan obstetri. Pada kasus-kasus
dengan kecurigaan kelainan kongenital pada janin atau
pada kehamilan dengan risiko tinggi terjadinya kelainan
kongenital janin perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih
mendalam di senter rujukan dengan spesifikasi peralatan
dan kompetensi pemeriksa yang lebih tinggi.

TRIMESTER I (8-12 minggu)

Pemeriksaan USG pada trimester pertama ini umumnya


dilakukan dengan probe transvaginal (5-7.5 MHz) walaupun
demikian pelaksanaan dengan probe transabdominal pun
dapat dilakukan. Tujuan utama skrining pada trimester
pertama ini adalah untuk :
• Memastikan kehamilan intrauterin
• Menentukan umur kehamilan
• Mendeteksi aktifitas kardiak
• Mendeteksi kehamilan ganda
• Mendeteksi kelainan perkembangan embrio

a. Uterus dan adneksa dievaluasi untuk terlihat tidaknya


kantung gestasi (gestational sac = GS). Bila terlihat,
tentukan lokasinya dan periksa apakah sudah
didapatkan yolk sac dan embrio. Bila embrio sudah
terlihat maka ukur crown-rump length (CRL), bila belum
terlihat maka ukur diameter rata-rata GS. Perlu
penilaian secara hati-hati bila struktur yolk sac dan
embrio belum terlihat karena kemungkinan
gambarannya dapat menyerupai pseudo-GS pada
kasus kehamilan ektopik. Ukuran CRL adalah
parameter yang paling akurat untuk menentukan umur
kehamilan pada trimester pertama dengan
Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 24
penyimpangan ± 6 hari dibandingkan dengan
menggunakan ukuran rata-rata diameter GS (± 10 hari)
maupun diameter biparietal (± 8 hari). Penentuan umur
kehamilan ini penting untuk dilakukan mengingat
beberapa alasan medik diantaranya: pertumbuhan janin
terhambat (intrauterine growth restriction = IUGR)
hanya dapat didiagnosis bila sejak awal umur
kehamilan sudah dapat dipastikan dan dapat
menghindarkan kesalahan melakukan induksi
persalinan pada kasus-kasus yang diduga kehamilan
lewat bulan (serotinus).
b. Tentukan ada tidaknya aktifitas kardiak. Dengan probe
transvaginal aktifitas kardiak sudah harus terlihat pada
embrio dengan panjang ± 5 mm. Pada embrio dengan
panjang < 5 mm dan belum terlihat aktifitas kardiak
maka diperlukan pemeriksaan ulang untuk memastikan
kehidupan embrio.
c. Pastikan jumlah embrio. Deteksi kehamilan ganda
dengan USG didasarkan pada jumlah kantung amnion
dan jenis plasentasi. Monokorion-monoamniotik (MM)
dan monokorion-diamniotik (MD) mempunyai risiko
yang lebih tinggi terjadinya twin to twin transfusion
syndrome (TTTS) dan insufisiensi plasenta dibanding
dikorion-diamniotik (DD). Pada umur kehamilan 10
sampai 24 minggu dapat dideteksi adanya lambda sign
yaitu proyeksi jaringan korion pada membrane placental
junction antara kedua janin. Bila tidak ditemukan tanda
ini berarti kemungkinan adalah MD.
d. Nilai apakah terdapat kelainan dan gangguan tumbuh
kembang janin. Dicurigai terdapat gangguan per-
kembangan pada awal kehamilan dengan prognosis
yang tidak baik bila didapatkan tanda-tanda sebagai
berikut :
• ukuran GS lebih kecil dari yang seharusnya
• deformitas GS
• tidak tampak embrio pada rata-rata diameter GS
±3 cm
• tidak tampak aktifitas kardiak pada umur kehamilan
± 7 minggu

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 25


• tidak ada peningkatan rata-rata diameter GS dalam
waktu 1 minggu pengamatan.
Kelainan janin dapat pula dideteksi pada akhir
kehamilan trimester pertama, seperti anensefal dan
defek dinding abdomen. Pemahaman tentang
perkembangan embrio (embriologi) menjadi dasar
penting untuk mampu mendeteksi abnormalitas janin.
e. Struktur uterus, adneksa dan daerah cul de sac juga
haruslah dievaluasi. Bila didapatkan massa pada
adneksa atau mioma, catat lokasi dan ukurannya. Bila
didapatkan cairan pada cul de sac perlu juga dilihat
daerah panggul dan sub-hepatik untuk menentukan
adanya cairan bebas intrabdominal.
f. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah
pengukuran nuchal translucency (NT) dan deteksi nasal
bone (NB) tetapi untuk pengukuran keduanya dibahas
pada panduan khusus.

TRIMESTER II (18 - 22 minggu)

Tujuan utama dari skrining pada trimester kedua ini adalah


untuk :
• memastikan kehamilan tunggal atau ganda
• memastikan viabilitas
• menilai parameter pertumbuhan (biometri)
• mendeteksi kelainan janin
• menilai cairan ketuban
• menilai struktur dan letak plasenta

a. Memastikan kehamilan tunggal atau ganda dan


viabilitasnya. Tentukan jumlah janin, aktifitas dan ritme
kardiak. Pada kehamilan ganda periksa korionisitas dan
amniositasnya, perbandingan ukuran antara masing-
masing janin, estimasi volume cairan ketuban pada
masing-masing kantong dan bila terlihat, catat jenis
kelamin masing-masing janin.
b. Menilai parameter pertumbuhan janin.
Ukur biometri janin untuk menilai pertumbuhan. Minimal
parameter yang digunakan adalah diameter biparietal
Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 26
(biparietal diameter = BPD), lingkar abdomen
(abdominal circumference = AC) dan panjang diafisis
femur (femur length = FL). Perlu diperhatikan bahwa
variabilitas penentuan umur kehamilan dengan
mengukur biometri janin makin besar penyimpangan-
nya seiring dengan bertambahnya umur kehamilan.
Demikian juga pada janin dengan kelainan struktural
(misal: hidrosefalus atau displasia skeletal) pengukuran
biometri tidak dapat dijadikan dasar dalam menentukan
umur kehamilan. Perbedaan yang signifikan antara
umur kehamilan dengan biometri janin dapat
mengarahkan pada kecurigaan kelainan pertumbuhan
janin. Kecurigaan kelainan pertumbuhan janin bila
didapatkan ketidaksesuaian hasil pengukuran dengan
umur kehamilan (lebih baik bila sebelumnya umur
kehamilan sudah dapat dipastikan). Ketidaksesuaian
baik yang proporsional maupun disproporsional
mengarah pada kemungkinan adanya kelainan
kromosom.
c. Mendeteksi kelainan janin
Mendeteksi kelainan janin adalah dengan cara
melakukan survei anatomi janin. Umumnya dilakukan
setelah umur kehamilan 18 minggu. Beberapa keadaan
yang dapat berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan
adalah ukuran, posisi dan gerakan janin, ketebalan dan
adanya jaringan parut pada dinding abdomen ibu serta
acoustic shadowing.
Daerah atau struktur janin yang minimal harus dinilai
adalah :
1. Kepala dan leher
a. Serebelum
b. Pleksus koroidalis
c. Sisterna magna
d. Ventrikel lateralis
e. Falks serebri
f. Kavum septum pelusidum
2. Toraks

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 27


Pemeriksaan dasar jantung meliputi 4 bilik jantung
(four chambers view). Bila memungkinkan periksa
pula outflow tracts dari jantung
3. Abdomen
a. Gaster (ada tidaknya, ukuran dan situsnya)
b. Ginjal
c. Vesika urinaria
d. Tali pusat (jumlah pembuluh darah
didalamnya dan insersinya pada abdomen
4. Kolumna vertebralis (servikal, torakal, lumbal dan
sakral)
5. Ekstremitas superior dan inferior
6. Jenis kelamin
Diperiksa pada kehamilan yang low risk kecuali
pada kehamilan ganda.
d. Menilai cairan ketuban.
Penilaian volume cairan ketuban merupakan bagian
penting dari skrining USG. Perlu diperhatikan variasi
fisiologis volume cairan ketuban dengan umur
kehamilan. Kelainan jumlah cairan ketuban baik
polihidramnion (7.9 – 18%) maupun oligohidramnion (7
– 13%) berkaitan erat dengan kejadian kelainan janin.
Polihidramnion umumnya dikarenakan kelainan
selubung saraf (neural tube defect) dan traktus digestif
sedangkan oligohidramnion dikarenakan kelainan ginjal
dan traktus urinarius.
e. Menilai struktur dan letak plasenta
Kelainan struktur plasenta merupakan salah satu tanda
kelainan janin terutama bila didapatkan vakuol-vakuol
yang cukup besar dikarenakan hal ini berhubungan
dengan triploidi. Penentuan letak plasenta pada
timester kedua mempunyai makna penting bila
didapatkan plasenta previa sentralis. Sedangkan
plasenta marginalis atau letak rendah kemungkinan
bisa berubah letaknya seiring dengan pertambahan
besar uterus. Perlu diperhatikan bahwa penentuan letak
plasenta pada awal kehamilan sering tidak
berhubungan dengan letaknya saat persalinan.
Overdistensi vesika urinaria ibu atau adanya kontraksi

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 28


pada segmen bawah uterus dapat menyebabkan
kesalahan interpretasi letak plasenta.
Periksa tali pusat dan tentukan jumlah pembuluh darah
didalamnya. Bila ditemukan arteria umbilikalis tunggal
(single umbilical artery) dapat berhubungan dengan
kejadian kelainan janin pada 7-50% kasus.

Pada skrining trimester II ini struktur uterus dan adneksa


tetap harus dievaluasi untuk kemungkinan ditemukannya
patologi yang dapat berpengaruh pada kehamilan,
misalnya mioma dan atau massa pada adneksa.

TRIMESTER III (28 - 32 MINGGU)

Skrining pada trimester ketiga ini meliputi semua


pemeriksaan yang dilakukan pada skrining kedua ditambah
dengan penentuan posisi janin. Tujuan pemeriksaan pada
trimester ketiga ini adalah :
• Memastikan kehamilan tunggal atau ganda
• Memastikan viabilitas janin
• Mengevaluasi pertumbuhan janin
• Menentukan posisi janin
• Mendeteksi kelainan janin yang late onset
• Mengevaluasi struktur dan letak plasenta
• Mengevaluasi cairan ketuban

a. Mengevaluasi pertumbuhan janin


Penentuan ada tidaknya kelainan pertumbuhan janin,
baik pertumbuhan janin terhambat atau makrosomia
adalah hal penting sebagai dasar untuk melakukan
pengelolaan klinik selanjutnya. Pertumbuhan janin
dinilai dengan mengukur biometri janin. Pengukuran
biometri sama dengan yang dilakukan pada trimester
kedua dengan tetap memperhatikan tinggi potongan
dan titik yang tepat untuk melakukan pengukuran.
Pertumbuhan janin terhambat secara ringkas / mudah
adalah bila hasil pengukuran lingkar abdomen di bawah
persentil ke 5 dan makrosomia bila hasilnya di atas
persentil ke 95 dari kurva normal lingkar abdomen
Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 29
sesuai dengan umur kehamilan. Evaluasi pertumbuhan
janin dapat juga didasarkan atas estimasi berat badan
janin (dengan berbagai formula yang ada) dan
dibandingkan dengan nomogram yang banyak
dipublikasikan.
b. Menentukan posisi / letak janin
Menentukan posisi janin dapat menjadi dasar bagi
pengelolaan obstetrik selanjutnya. Penting untuk
dievaluasi kemungkinan penyebab bila didapatkan
kelainan posisi / letak janin.
c. Mendeteksi kelainan janin yang late onset
Upaya deteksi kelainan janin yang late onset (sebagai
contoh : perbedaan pertumbuhan pada kehamilan
ganda, hidrosefalus, hidronefrosis, dll) penting untuk
dilakukan karena bila ditemukan dapat dipersiapkan
secara lebih dini penatalaksanaannya. Deteksi
kelainan janin ini dengan menilai daerah dan struktur
sebagaimana skrining pada trimester kedua.
d. Mengevaluasi struktur dan letak plasenta
Disamping penting untuk menentukan posisi janin,
skrining trimester ketiga juga penting untuk menentukan
struktur dan letak plasenta. Kemungkinan plasenta
letak rendah atau plasenta previa / marginalis perlu
ditentukan pada trimester ketiga. Bila perlu dilakukan
dengan probe transvaginal. Ketebalan plasenta juga
dapat merupakan tanda abnormalitas kehamilan.
Plasenta yang tebal (> 5 cm) menunjukkan
kemungkinan fetal hidrops sedangkan plasenta yang
tipis / kecil mengarah pada insufisiensi plasenta.
e. Mengevaluasi cairan ketuban
Volume cairan ketuban dapat ditentukan baik secara
kualitatif maupun semikuantitatif dengan mengukur
indeks cairan ketuban. Kelainan volume cairan ketuban
pada trimester ketiga dapat berpengaruh pada hasil
akhir kehamilan. Polihidramnion misalnya dapat menye-
babkan persalinan prematur sedangkan oligohidram-
nion merupakan tanda telah terjadi insufisiensi
plasenta.

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 30


SPESIFIKASI PERALATAN

Peralatan yang digunakan sebaiknya berupa real time


ultrasound (agar dapat menilai viabilitas) dengan probe
yang memadai. Umumnya 3 – 5 Mhz untuk probe trans-
abdominal dan 5 – 10 Mhz untuk probe transvaginal.

KEAMANAN

Program skrining ini bila dilakukan dengan benar dan


menggunakan prinsip seting paparan USG terendah yang
bisa dilakukan (as low as reasonable achievable principle)
adalah aman bagi janin. Tidak diperkenankan melakukan
pemeriksaan USG tanpa tujuan yang jelas (misalnya
secara rutin melakukan pemeriksaan USG setiap kali
pasien datang memeriksakan diri).
Pemeriksaan USG di luar program skrining tersebut di atas
dapat dilakukan hanya bila ada indikasi medis, diantaranya:
• perdarahan
• nyeri pelvis
• kecurigaan mola hidatidosa
• kecurigaan massa pada pelvis atau kelainan uterus
• kecurigaan inkompetensi serviks
• sebagai alat bantu melakukan versi luar
• ketuban pecah dini

DOKUMENTASI

Dokumentasi merupakan salah satu faktor penting dalam


skrining USG obstetri. Data yang perlu didokumentasikan
diantaranya: identitas pasien, tanggal pemeriksaan,
gambar-gambar beserta orientasinya, hasil-hasil penguku-
ran biometri dan catatan kelainan yang ditemukan (bila
ada). Kadang diperlukan rekaman video terutama pada
kasus yang sulit untuk kepentingan konsultasi.

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 31


Daftar Pustaka

1. American Institute of Ultrasound in Medicine. AIUM


practice guideline for the performance of an antepartum
obstetric ultrasound examination. Maryland: AIUM,
2003.
2. CAR Standards for performing and interpreting
diagnostic antepartum obstetric ultrasound examination.
Available from URL
http://www.car.ca/ethics/standards/antepartum.htm
3. Merz E. Ultrasound in obstetrics and gynecology. 2nd.
Stuttgart : Thieme, 2005.
4. Doubilet PM, Benson CB. Atlas of ultrasound in
obstetrics and gynecology. Philadelphia : Lippincot
Williams & Wilkins, 2005.
5. Bneson CB, Arger PH, Bluth EI. Ultrasonography in
obstetrics and gynecology, a practical approach. New
York : Thieme, 2000.
6. Wladimiroff JW, Eik-Nes SH, eds. Ultrasound in
obstetrics and gynaecology. Philadelphia : Elsevier,
2009.
7. Hobiins JC. Obstetric ultrasound, artistry in practice.
Singapore : Blackwell Publishing, 2008.
8. Fleischer ac, Manning FA, Jeanty P, Romero R, eds.
Sonography in obstetrics and gynecology. 6th ed. New
York : McGraw-Hill, 2001.
9. Callen PW. Ultrasonography in obstetrics and
gynecology. 5th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier,
2008.
10. Demianczuk NN, Van den Hof MC. The use of first
trimester ultrasound.JOGC, 2003 (135) : 1-6.
11. Nicholaides K. The 11-13+6 weeks scan. London : Fetal
Medicine Foundation, 2004.
12. Australasian Society for Ultrasound in Medicine.
Guidelines for the performance of first trimester
ultrasound. Available from URLhttp://www.asum.com.au
13. Australasian Society for Ultrasound in Medicine.
Guidelines for the performance of mid trimester

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 32


obstetric scan. Available from URL
http://www.asum.com.au
14. Australasian Society for Ultrasound in Medicine.
Guidelines for the performance of third trimester
ultrasound. Available from URL
http://www.asum.com.au

Panduan Pemeriksaan USG Obstetri Dasar 33


KEHAMILAN DENGAN
DIABETES MELITUS
BAB III
PENDAHULUAN :

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyulit


medik yang sering terjadi saat kehamilan. Angka
kejadiannya 3-5% dari semua kehamilan. Kehamilan
dengan DM terdiri dari Diabetes Gestasi (DMG) atau
intoleransi karbohidrat yang ditemukan pertamakali saat
hamil, yang terjadi pada hampir 90% kasus, sedangkan
yang 10% lainnya adalah Diabetes Pragestasi (DMpG)
yang meliputi DM tipe 1 dan tipe 2. Peningkatan angka
kematian dan angka kesakitan perinatal pada kehamilan
dengan DM berkorelasi langsung dengan kondisi
hiperglikemia ibu. Kehamilan merupakan keadaan yang
diabetogenik. Glukosa melewati plasenta dengan cara
difusi (facilitated diffusion), sehingga hiperglikemia pada ibu
akan berakibat hiperglikemia pada janin dan keadaan ini
akan berdampak pada hiperplasi sel beta Langerhans dari
pankreas janin sehingga terjadi hiperinsulin janin yang
dikaitkan dengan kejadian makrosomia janin (hipotesis
Kehamilan dengan Diabetes Melitus 34
Pedersen). Freinkel mengemukakan hipotesis bahwa
hiperglikemia perikonsepsi akan menyebabkan kelainan
bawaan janin dan hiperglikemia pada trimester akhir
menyebabkan viseromegali atau makrosomia.
Kelainan bawaan janin saat ini merupakan salah satu
penyebab kematian perinatal pada 10% kasus kehamilan
dengan DM tipe 1 dan tipe 2 yang tidak teregulasi dengan
baik. Bayi-bayi dengan makrosomia akan terjadi
kelambatan maturasi paru janin yang akhirnya juga
meningkatkan kejadian Respiratory Distress Syndrome
(RDS). Kejadian kematian janin intrauterin pada kasus-
kasus kehamilan dengan DM juga dikaitkan dengan kondisi
hiperglikemia yang berakhir dengan keadaan lactic
acidosis.
Sampai saat ini penatalaksanaan DM pada kehamilan, cara
penapisan, menegakkan diagnosa, perawatan antenatal
maupun cara persalinannya masih belum ada kesepakatan
diantara para dokter spesialis kebidanan di Indonesia.
Untuk itu diperlukan suatu panduan agar mencapai
kesamaan pendapat tentang penatalaksanaan kehamilan
dengan DM sehingga dalam perawatan kasus tersebut
akan mencapai hasil yang optimal bagi ibu dan anak.

KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS

American Diabetes Association (ADA) secara garis besar


membuat klasifikasi DM pada umumnya berdasarkan
etiologinya (Perkeni 2006, ADA 2007)

Tabel 1. Klasifikasi DM menurut etiologinya.

I. DM tipe 1. (Kerusakan sel Beta yang menjurus ke


defisiensi insulin yang absolut).
a. Immuned Mediated
b. Idiopathic

II. DM tipe 2. (Terjadi resistensi insulin dengan defisiensi


insulin yang relatif sampai dengan suatu gangguan pada
sekresi insulin yang disertai resistensi insulin)

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 35


III. DM tipe spesifik
a. Kelainan genetik fungsi sel Beta
b. Kelainan genetik kerja insulin
c. Kelainan eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Drug/Chemical induced
f. Infeksi
g. Bentuk lain dari immune-mediated Diabetes Mellitus
yang jarang.
h. Kelainan-kelainan genetik yang menyertai DM
IV. Diabetes Gestational.

PATOFISIOLOGI
Adaptasi maternal selama ibu hamil menunjukkan ciri-ciri
yang khas yakni terjadinya hipoglisemia puasa,
hiperglisemia postprandial, resistensi insulin (Gambar 1).

Gambar 1. Adaptasi maternal dalam metabolisme karbohidrat


selama hamil.

Patofisiologi DM pragestasi sama dengan patofisiologi DM


tipe 1 atau 2. Hiperglikemia pada saat perikonsepsi akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 36


(Freinkel) (Gambar 2)

Gambar 2. Potential teratology (Hipotesis Freinkel)

Hiperglikemia pada trimester 3 menyebabkan


terhambatnya sintesa surfaktan oleh sel pneumosit II,
sehingga menyebabkan keterlambatan dalam pematangan
paru janin ( Delayed Lung Maturation) yang berakibat
terjadinya RDS pasca lahir. Makrosomia diakibatkan oleh
karena masuknya glukosa yang tinggi ke sirkulasi janin
yang merangsang hiperplasi sel beta Langerhans janin
sehingga terjadi hiperinsulin pada janin yang pada
gilirannya akan menyebabkan viseromegali (Hipotesis
Pedersen)
(Gambar 3).

Gambar 3. Hipotesis Pedersen


Patofisiologi DMG (yang terjadi pada 2-4% wanita hamil),
resistensi insulin terjadi karena efek diabetogenik dari
kehamilan (Tabel 1) yang tidak bisa diimbangi oleh sel
beta Langerhans.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 37


Tabel 1. Resistensi insulin selama hamil

PERUBAHAN HORMONAL EFEK THD.METAB. KH.


DINI (S/D 20 MINGGU)
Estrogen Tissue Glycogen Storage
Progesteron Hepatic Glucose Production
Hiperplasi sel Beta Peripheral Glucose Utilization
Sekresi Insulin Fasting Plasma Glucose
LAMBAT (20 – 40 MINGGU)
HPL “Diabetogenics”
Prolaktin Glucose Tolerance
Bound and Free Cortisol Insulin Resistance
Hepatic Glycogen Stores
Hepatic Glucose Production

Patofisiologi terjadinya penyulit jangka panjang DMG


adalah melalui mekanisme fetal programming dari Barker
yang menyatakan bahwa ancaman pada periode kritis
tertentu akan diakomodasi (adaptasi janin) yang terbawa
seumur hidup. Bayi-bayi yang mengalami IUGR akan lebih
mudah berkembang menjadi DM, gangguan jantung dan
penyakit kardiovaskuler yang lain. Demikian juga bayi
makrosomiaaa akan lebih mudah berkembang menjadi
DM dan obesitas dikemudian hari.

DIABETES MELLITUS PRAGESTASI

BATASAN
Diabetes pragestasi (DMpG) terjadi sebelum terjadinya
kehamilan (DM Tipe 1 dan 2). Terminologi lain adalah
Overt atau Preexisting DM.

ANGKA KEJADIAN
Sekitar 0,5%

DIAGNOSIS
Pada anamnesa ada riwayat DM Tipe 1 atau Tipe 2,
pemakaian obat anti-diabetes Insulin atau OAD dan diet
DM sebelum terjadinya kehamilan.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 38


RISIKO
Risiko maternal dan perinatal akan meningkat dengan
adanya:
1. Vaskulopati, misalnya adanya retinopati, nefropati
dan hipertensi
2. Regulasi glukosa yang jelek
3. Faktor prognostik yang jelek seperti ketoasidosis,
pielonefritis, hipertensi dalam kehamilan (HDK) dan
perawatan antenatal yang jelek.

PERAWATAN SEBELUM KEHAMILAN


Tujuan.
1. Regulasi glukosa untuk menurunkan risiko
terjadinya kelainan bawaan janin dan keguguran.
Waspada terjadinya hipoglikemi.
2. Menentukan adanya vaskulopati dengan evaluasi
opthalmologi, penyakit jantung koroner, fungsi
ginjal, fungsi tiroid.
3. Penyuluhan pasien dan suami tentang rencana
perawatan pada kasus kehamilan dengan DM.
4. Pemberian asam folat untuk pencegahan risiko
terjadinya defek pada susunan syaraf janin.
5. Konseling kontrasepsi.

DETEKSI DAN EVALUASI KELAINAN BAWAAN JANIN


1. Pemeriksaan HbA1C ibu pada trimester 1 untuk
mengetahui regulasi glukosa darah 3 bulan terakhir.
2. Pemeriksaan AFP pada UK 16 minggu untuk
memperkirakan kemungkinan adanya kelainan
bawaan janin.
3. USG pada UK 13-14 minggu untuk mendeteksi
anensefalus.
4. USG pada UK 18-20 minggu untuk pemeriksaan
struktur jantung janin termasuk pembuluh darah
besar untuk mendeteksi kemungkinan kelainan
jantung bawaan.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 39


PERAWATAN ANTENATAL
A. Regulasi gula darah.
Yang paling penting selama perawatan kehamilan
adalah regulasi glukosa darah.

Kadar glukosa yang diharapkan selama hamil :


Kadar rata-rata 100 mg/dL
Sebelum makan pagi < 95 mg/dL
Sebelum makan siang,
makan malam, sebelum tidur < 100 mg/dL
1 jam setelah makan < 140 mg/dL
2 jam setelah makan < 120 mg/dL

1. Monitoring kadar glukosa darah (kapiler) harian,


baik puasa, sebelum makan siang, makan malam
dan saat menjelang tidur.
2. Monitoring kadar glukosa darah (kapiler) 1 jam atau
2 jam setelah makan.
3. Pemeriksaan kadar HbA1C (Glycosylate Haemo-
globin) tiap semester = 6%.

B. Terapi Insulin.
- Multiple Insulin Injection.
- Continuous-subcutaneous insulin infusion (insulin
pump).
- Insulin reguler lispro, diberikan secara continuous
basal rate dan bolus pada pasien dengan kepatuhan
tinggi.

C. Diet yang dianjurkan.


- Rencana : 3 kali makan dan 3 kali snack
- Kalori : 30-35 kcal/kg berat badan normal
Total 2000-2400 kcal/hari
- Komposisi: Karbohidrat 40-50%, kompleks dan tinggi
serat Protein 20%, Lemak 30-40% (asam
lemak jenuh < 10%).
- Pertambahan berat badan ibu 10-11 kg.
D. Pedoman penggunaan insulin dan asupan karbohidrat.
- 1 unit rapid-acting insulin akan menurunkan glukosa
darah 30 mg/dL

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 40


- 10 g karbohidrat akan meningkatkan glukosa darah
30 mg/dL (1 unit insulin rapid acting diberikan pada
pemberian karbohidrat 10g)

E. Pemantauan janin.
Dilakukan pemantauan kesejahteraan janin antenatal
untuk mencegah kematian janin
1. Profil Biofisik Janin.
2. Pemeriksaan USG untuk memantau pertumbuhan
janin (makrosomia/PJT)
3. Amniosentesis bila diperlukan, untuk memperkira-kan
maturasi paru janin bila direncanakan untuk seksio
elektif sebelum 39 minggu.

RENCANA PERSALINAN

Saat persalinan.
Pengelompokan risiko kehamilan dengan DM ini ditujukan
ke arah risiko terjadinya kematian janin dalam rahim.

1. Risiko rendah.
- regulasi baik
- tidak ada vaskulopati
- pertumbuhan janin normal
- pemantauan kesejahteraan janin antepartum baik
- tidak pernah melahirkan mati (stillbirth)
Persalinan diperbolehkan sampai UK 40 minggu.

2. Risiko tinggi.
- regulasi jelek
- ada komplikasi vaskulopati
- pertumbuhan janin abnormal (makrosomia/PJT)
- polihidramnion
- pernah lahir mati (stillbirth)
Pertimbangkan untuk terminasi kehamilan pada UK 38
minggu (bila test maturasi paru janin positip).

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 41


Cara persalinan
1. Pada kasus-kasus risiko rendah diperbolehkan
melahirkan ekspektatif spontan pervaginam sampai
dengan usia hamil aterm
2. Pada kasus-kasus risiko tinggi direncanakan terminasi
pada UK 38 minggu dengan pemberian kortikosteroid
untuk pematangan paru janin. Cara persalinan
tergantung indikasi obstetri.
3. Pada kasus-kasus dengan makrosomia, berat janin
≥4500 g dapat dipertimbangkan untuk SC elektif.

Regulasi glukosa intrapartum


1. Periksa kadar glukosa darah (kapiler) setiap jam dan
pertahankan selalu dibawah 110 mg/dL.
2. Kontrol glukosa selama proses persalinan (lihat tabel)

Tabel 2. Kontrol glukosa selama kala I


pada pasien dengan DMpG.

Insulin (IU/h) Glucose (g/h)


Fase latent 1 5
Fase aktif - 10

KONTRASEPSI PADA DM Pragestasi


(DM tipe 1 dan tipe 2).

1. Pil KB Kombinasi
- Pil KB dosis rendah pada pasien tanpa vaskulopati
- Jangan diberikan pada perokok dan hipertensi
2. Pil progesteron diperbolehkan pada pasien dengan
vaskulopati.
3. AKDR tidak berpengaruh terhadap kontrol glukosa
maupun vaskulopati
4. Sterilisasi dianjurkan pada pasien dengan vaskulopati
yang berat.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 42


DIABETES MELLITUS GESTASI

BATASAN
Diabetes Gestasi (DMG) didefinisikan sebagai gangguan
toleransi karbohidrat dalam berbagai variasi yang
ditemukan pertama kali saat kehamilan. Hal itu tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa intoleransi glukosa
mungkin sudah terjadi sebelum kehamilan.

ANGKA KEJADIAN
Bervariasi antara 2 - 5%

FAKTOR RISIKO
Risiko rendah
a. Usia < 25 tahun
b. Berat badan normal sebelum hamil
c. Tidak ada riwayat keluarga/orang tua DM
d. Tidak ada riwayat kelainan toleransi glukosa
e. Tidak ada riwayat obstetri yang jelek
f. Bukan dari kelompok etnis dengan prevalensi tinggi
untuk DM
Risiko tinggi
a. Usia > 30 tahun
b. Obesitas
c. Polycystic ovary syndrome
d. Kehamilan yang lalu ada intoleransi glukosa
e. Kehamilan yang lalu dengan bayi besar (> 4000g)
f. Riwayat kematian janin dalam rahim yang tidak
diketahui sebabnya
g. Keluarga dengan DM tipe 2 (first-degree relatives)
h. Dari kelompok etnis dengan prevalensi tinggi untuk
DM antara lain : Hispanic, African, Native American
dan South East Asian.

SKRINING DAN DIAGNOSIS


Skrining dilakukan hanya pada wanita hamil dengan risiko
tinggi untuk DM (ADA). Dengan alasan bahwa orang
Indonesia termasuk kelompok etnis Asia Tenggara maka
kita menganut skrining universal (ACOG) yakni dilakukan
untuk setiap ibu hamil dimulai sejak kunjungan pertama

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 43


(trimester 1) untuk menapis DMpG. Bila negatif maka harus
diulangi pada UK 24-28 minggu untuk menapis DMG.
Skrining dan diagnosis yang direkomendasikan adalah
pemeriksaan satu tahap (One Step Approach menurut
WHO) yakni dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO),
dengan memberikan beban 75 gram glukosa anhidrus
setelah berpuasa selama 8 – 14 jam.
Dinyatakan DM positif apabila hasil glukosa puasa = 126
mg/dL dan 2 jam = 200 mgh/dL. Bila hasil negatif diulangi
dengan cara pemeriksaan yang sama pada UK 24-28
minggu.

PENYULIT
1. Ibu :
- DM menetap sampai setelah persalinan (DM tipe 2).
- Preeklamsia
- Polihidramnion
2. Janin dan Neonatus :
- Makrosomia & trauma persalinan
- Hipoglikemia, hipokalsemia dan hiperbilirubinemia
neonatal
- Jangka panjang bayi dikemudian hari mudah
berkembang penyakit DM, kardiovaskuler, obesitas
(Hipotesis Barker).

PERAWATAN ANTENATAL
1. Program perawatan kasus DMG dilaksanakan secara
multi-disiplin yang terdiri dari Bagian Kebidanan,
Penyakit Dalam, Gizi, Neonatus dan Anestesi.
2. Perawatan antenatal, kunjungan setiap 2 minggu
sampai dengan UK 36 minggu kemudian 1 minggu
sekali sampai dengan aterm (bila kadar glukosa darah
terkendali dengan baik).
3. Target glukosa darah senormal mungkin dengan kadar
glukosa puasa = 100 mg/dL dan 2 jam pp = 140 mg/dL
yang dicapai dengan diet, olahraga dan insulin.
4. Obat Anti Diabetes (OAD) tidak dianjurkan oleh karena
dapat menembus barier plasenta, dikawatirkan efek
teratogenik dan lebih merangsang sel beta Langerhans
pada janin.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 44


PERAWATAN SELAMA PERSALINAN
1. Untuk pasien yang kadar glukosa terkendali dengan diet
saja diperbolehkan melahirkan sampai UK aterm. Bila
sampai UK 40 minggu belum terjadi persalinan maka
mulai dilakukan pemantauan kesejahteraan janin 2 kali
seminggu.
2. Pasien dengan HDK dan pernah stillbirth sebelumnya
harus dilakukan pemantauan kesejahteraan janin 2 kali
seminggu mulai usia hamil 32 minggu
3. Perkiraan berat lahir secara klinis dan pemeriksaan
USG dilakukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda
makrosomia. Untuk mengurangi kelainan janin akibat
trauma kelahiran dianjurkan untuk mempertimbangkan
SC elektif pada taksiran berat janin ≥ 4500 g.
4. Pasien dengan DMG yang dalam terapi insulin disertai
diet untuk mengendalikan kadar glukosa direncanakan
program pemantauan/evaluasi janin antenatal
(antepartum fetal surveillance) seperti pada DMpG.
5. Perawatan intensif untuk mendeteksi dan mengatasi
kejadian hipoglikemia, hipokalsemia dan
hiperbilirubinemia pada neonatus.

PERAWATAN PASCA PERSALINAN


1. Evaluasi untuk mengantisipasi intoleransi karbohidrat
yang menetap.
- Self monitoring untuk mengevaluasi profil glukosa
darah
- Pada 6 minggu pasca persalinan, dilakukan TTGO
dengan beban 75 g glukosa (lihat persyaratan
diagnosis DMG) kemudian diukur kadar glukosa darah
(plasma) saat puasa dan 2 jam.
- Bila TTGO diatas menunjukkan kadar yang normal,
evaluasi lagi setelah 3 tahun dengan kadar glukosa
puasa. Dianjurkan untuk berolah raga teratur untuk
menurunkan berat badan pada yang obesitas.
2. Kontrasepsi oral dosis rendah ( Low-dose pils)
dilaporkan tidak pernah berpengaruh terhadap kejadian
intoleransi karbohidrat.
3. Reccurrence risk untuk DMG sekitar 60 %.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 45


Tabel 3. Kadar glukosa plasma pada 6 minggu pasca
persalinan pada DMG.

Glucose
Normal DM
Intolerance
Puasa(mg/dL) < 100 100-125 ≥ 100

2 jam (mg.dL) < 140 140-199 ≥ 140

REKOMENDASI
1. Pada wanita DM tipe 1 (Preexisting DM) risiko
terjadinya preeklamsia meningkat (Rekomendasi A)
2. DM tipe 1 yang telah ada sebelum kehamilan
(Preexisting DM) akan meningkatkan risiko terjadinya
kelainan bawaan sepuluh kali (Rekomendasi A)
3. Risiko bawaan kelainan janin berhubungan dengan
regulasi glukosa. Dengan regulasi yang baik maka
risiko terjadinya kelainan bawaan sama dengan tanpa
DM (Rekomendasi A)
4. HbA1C sebagai parameter keberhasilan regulasi kadar
glukosa darah harus mencapai kadar yang normal
(≤6%) atau sedekat mungkin dengan normal (≤ 7%)
(Rekomendasi B)
5. Pemantauan janin (NST,FBP) setiap minggu yang
mulai pada 32 minggu dan dua kali seminggu mulai 34-
36 minggu akan menurunkan kematian neonatal
(Rekomendasi E)
6. Faktor risiko untuk DMG antara lain usia yang makin
tua (> 30 th), riwayat keluarga DM, obesitas, etnis dan
perokok (Rekomendasi A)
7. Skrining dan diagnosis DMG dilakukan secara
universal (ACOG) dengan menggunakan One Step
Approach (WHO) TTGO dengan beban 75 g glukosa
anhidrus (Rekomendasi C )
8. Kontrol glukosa yang baik selama hamil menunjukkan
penurunan angka kejadian makrosomia dan
hipoglikemia neonatal (Rekomendasi C)
9. Makin tinggi kadar glukosa berkaitan dengan
meningkatnya angka kejadian makrosomia dan SC
(Rekomendasi A)

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 46


10. Wanita dengan DMG harus dilakukan skrining untuk
DM pada 6-12 minggu pasca persalinan untuk
antisipasi terjadinya DMG yang menetap
(Rekomendasi E)

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 47


DAFTAR PUSTAKA

1. Adam JMF. Beberapa ketidak sepakatan pada


Diabetes Melitus Gestasional. Dalam Asdie HAH,
Wiyono P. (eds). Nazca lengkap Pertemuan Ilmiah
Nsional Endokrin, Yogyakarta.
2. Ahn JT, Hibbart JU. 2005. Gestational Diabetes. Dalam
Craigo SD, Baker ER, Medical Complications In
Pregnancy. Practical Pathways In Obsetetrics And
Gynecology. New York. The McGraw-Hill Companies.
3. American Diabetes Association, 2003. Standards of
Medical Care For Patients with DM. Clinical Diabetes
Vol 21 No.1 pp.27-37.
4. American Diabetes Association, 2007. Clinical Practice
Recommendation. Detection and Diagnosis of GDM.
Diabetes Care vol.30 no.1.p.S7.
5. Askandar T.2004. Diabetes Mellitus in Pregnancy.
Surabaya : SDU VII.
6. Beall MH ,El Hadad M, Gayle D, Desai M, Ross
MG.2004. Adult Obsety As A Consequence Of Inutero
programming. Clinical Obsetetrics And Gynecology.
Gabbe SG,Scout JR.Eds.
7. Brody SC.2006.Gestational Diabetes Mellitus. Dalam
Wildschut HIJ, Weiner CP, Peters TJ.(eds) When to
screen in Obstetrics and Gynecology. 2 nd ed.London :
Saunders-Elsevier.
8. Carr DB, Gabbe S.1998. Gestational Diabetes :
Detection Management and Implication. Clinical
Diabetes16.1.
http://www.diabetes.org/clinicaldiabetes//v16n1j-
f98/pg4.htm.
9. Coustan D,2005. Gestational Diabetes.In Queenan
JT,HobbinJC,Spong CY.,Protocols For High Risk
Pregnancy 4th Ed. Mass.Blackwell Pub.Ch.33,224.
10. Cunningham FG,Leveno KJ,Bloom SL,Aut.JC, Gilstrap
III LC,Wenstrom KD.2005.William Obstetrics 22 nd
Ed.Diabetes 1169.The McGraw-Hill Companies Inc.
11. Devien PC.2005. Pregastational Diabetes. Dalam
Craigo SD, Baker ER. Medical Complication in
Pregnancy. Practical Pathways In Obstetrics and

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 48


Gynecology.New Cork. The McGraw-Hill Companies
Inc.
12. Gabbe S. 2005. Diabetes Mellitus. Chapter 34,227.
Queenan JT,Hobbin JC,Spong CY. Protocols For High
Risk Pregnancy 4th ed.Mass.Blackwell Pub.
13. Gerstein HC,Haynes RB.n2001. Evidence Based
Diabetes Care. BC Decke Inc.pp.164 ; 344.
14. Hermanto TJ. 2006. Diabetes Mellitus dalam
Kehamilan. Pregestational dan Gestational. Kursus
Alarm. Surabaya.
15. Kenshsole AB.2004. Diabetes and Pregnancy.In
Burrow GN, Duffy TP, Copel JA.Medical Complication
in Pregnancy. 6th ed. New Haven. Elseviers Saunder
pp. 15-40.
16. Moore TR. 2004. Diabetes In Pregnancy. Dalam
Creasy & Resnik. Maternal & Fetal Medicine 5 th ed
Phildelphia. Lippincot Wiilliam and Wilkins.243-335
17. Turrentino JE.2003.Clinical Protocols In Obstetrics and
Gynecology 2nd ed.Ney York : The Panthenon
Publishing Group.Pp.93-102.
18. Wildcshut HIJ. 2006. Diabetes Mellitus. When to sreen
in Obstetrics and Gynecology 2 nd ed.London :
Saunders-Elsevier.

Kehamilan dengan Diabetes Melitus 49


KEHAMILAN DENGAN
PENYAKIT JANTUNG BAB IV

I. PENDAHULUAN

Perubahan sistem kardiovaskuler pada kehamilan


Perubahan hemodinamik terjadi selama kehamilan, inpartu,
persalinan dan pasca persalinan seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Perubahan ini dimulai sejak usia kehamilan 5
hingga 8 minggu dan mencapai puncaknya di akhir
trimester kedua. Pada pasien dengan adanya gangguan
jantung sebelumnya, dekompensasi seringkali terjadi pada
puncak perubahan ini.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 50


Tabel 1. Perubahan hemodinamik normal selama
kehamilan (1,2,3)

PARAMETER KEHAMILAN INPARTU DAN PASCA-


HEMODINAMIK NORMAL PERSALINAN PERSALINAN

Volume darah ↑ 20%-50% ↑
(auto diuresis)
↑ 10-15
Denyut jantung ↑ ↓
denyut/menit
↑ 30%-50%
Cardiac output ↑
diatas ↓
(CO) tambahan 50%
baseline
Tekanan darah ↓ 10mmHg ↑ ↓

Stroke volume
↑ 30% (300- ↓
(SV)
500mL/kontraksi)
Resistensi
vaskular ↓20% ↑ ↓
sistemik

Volume plasma mencapai maksimum 40% diatas baseline


pada usia kehamilan 24 minggu.2 Hampir sama pula,
cardiac output (CO) mencapai 30% hingga 50% diatas
baseline, mencapai puncaknya pada akhir trimester kedua
dan plateau hingga persalinan.1 Pada awal kehamilan,
peningkatan CO berhubungan dengan peningkatan stroke
volume (SV), sedangkan pada akhir kehamilan, denyut
jantung menjadi faktor yang utama peningkatan CO.
Denyut jantung mulai meningkat saat usia kehamilan 20
minggu dan terus meningkat hingga usia kehamilan 32
minggu. Hal ini terus bertahan tinggi hingga 2-5 hari setelah
persalinan.2 Peningkatan CO terjadi oleh karena tiga faktor:
peningkatan preload dikarenakan volume darah yang
bertambah, pengurangan afterload dikarenakan penurunan
resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan denyut
jantung maternal 10-15 denyut/menit. Stroke volume
meningkat selama trimester pertama dan kedua, tetapi
menurun saat trimester ketiga dikarenakan kompresi vena
kava inferior oleh uterus. Tekanan darah menurun sekitar
10 mmHg dibawah baseline pada akhir trimester kedua
dikarenakan oleh vasodilatasi aktif melalui aksi mediator

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 51


lokal seperti prostasiklin dan nitric oxide,2 serta penurunan
resistensi vaskuler sistemik akibat penambahan pembuluh
darah baru di uterus dan plasenta.1
Kontraksi uterus, posisi (miring kiri vs supinasi), nyeri,
cemas, perdarahan, dan involusi uterus menyebabkan
perubahan hemodinamik yang signifikan saat inpartu dan
pascapersalinan. Peningkatan CO sampai 15% pada awal
inpartu, 25% saat kala I, dan 50% selama usaha
mengedan.4 Tiap kontraksi uterus memberikan 300-500 ml
darah ke sirkulasi umum. Tiap kontraksi SV meningkat,
dengan resultan peningkatan CO bertambah 50%.
Kehilangan darah selama persalinan sekitar 300 hingga
400 mL saat persalinan pervaginam dan 500 hingga 800
mL saat SS dapat berpengaruh terhadap stres
hemodinamik.
Segera setelah lahir, tekanan pengisian jantung (cardiac
filling pressure) meningkat karena adanya dekompresi vena
kava inferior dan kembalinya darah dari uterus ke dalam
sirkulasi sistemik. Hal ini mencapai peningkatan 80% CO
pada awal pasca persalinan dikarenakan autotransfusi
yang berhubungan dengan involusi uterus dan resorpsi dari
edema tungkai. Hal ini juga menyebabkan suatu diuresis.
Kehamilan juga mengawali suatu perubahan dari
hemostasis, yaitu peningkatan konsentrasi faktor koagulasi,
fibrinogen, dan adhesi platelet serta berkurangnya
fibrinolisis yang menyebabkan hiperkoagulabilitas dan
peningkatan risiko kejadian tromboemboli. Selain itu,
hambatan dari kembalinya aliran darah vena oleh
pembesaran uterus meningkatkan risiko
tromboembolisme.2

Klasifikasi penyakit jantung


Klasifikasi berdasarkan fungsional
Menentukan fungsi jantung adalah penting bagi pasien
hamil dengan penyakit jantung. Status fungsional untuk
pasien dengan penyakit jantung umumnya dikelompokkan
menurut sistem klasifikasi New York Heart Association
(NYHA) seperti pada Tabel 2 Pasien dengan NYHA kelas I

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 52


atau II memiliki risiko komplikasi yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan pada kelas III atau IV.5

Tabel 2. Sistem klasifikasi fungsional jantung


menurut New York Heart Association (NYHA)
(6)

KELAS DESKRIPSI
Pasien dengan penyakit jantung tetapi tanpa adanya
pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak
Kelas I
menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnu atau nyeri
angina.
Pasien dengan penyakit jantung mengakibatkan sedikit
keterbatasan aktivitas fisik. Akan merasa lebih baik
Kelas II
dengan istirahat. Aktivitas fisik biasa menimbulkan
kelelahan, palpitasi, dispnu ataupun nyeri angina.
Pasien dengan penyakit jantung dengan adanya
keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat.
Kelas III
Aktivitas fisik yang kurang dari biasanya menyebabkan
kelelahan, palpitasi, dispnu ataupun nyeri angina.
Pasien dengan penyakit jantung ditandai
ketidakmampuan untuk melakukan semua aktivitas fisik.
Kelas IV Gejala insufisiensi jantung dapat muncul saat istirahat.
Jika aktivitas fisik dilakukan, ketidaknyamanan
meningkat.

Klasifikasi berdasarkan kelainan anatomis


Selain itu adanya kelainan anatomis pada jantung dapat
mempersulit penanganan gagal jantung selanjutnya.
Menurut American College of Cardiology/ American Heart
Association ACC/AHA Heart Failure Guideline 2001, gagal
jantung dibagi menjadi 4 stadium (Lihat tabel 3)

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 53


Tabel 3. Stadium gagal jantung menurut ACC/AHA (7)

STADIUM DESKRIPSI CONTOH

Hipertensi sistemik,
Pasien dengan resiko tinggi berkembang
penyakit arteri koroner,
menjadi gagal jantung karena adanya kondisi
diabetes melitus, riwayat
yang berhubungan. Tidak teridentifikasi adanya
terapi obat kardiotoksik
A abnormalitas struktural atau fungsional
ataupun penyalahgunaan
perikardium, miokardium, atau katup jantung
alkohol, riwayat demam
dan tidak pernah menunjukkan tanda atau
reumatik, riwayat keluarga
gejala gagal jantung.
kardiomiopati.

Fibrosis atau hipertrofi


ventrikel kiri, dilatasi atau
Pasien dengan penyakit jantung struktural yang
hipokontraktilitas ventrikel
erat hubungannya dengan berkembangnya
B kiri, penyakit katup jantung
gagal jantung tetapi tidak pernah menunjukkan
asimptomatik, infark
tanda atau gejala gagal jantung.
miokard sebelumnya.

Dispnu atau kelelahan


akibat disfungsi sistolik
Pasien yang saat ini atau sebelumnya memiliki ventrikel kiri, pasien
C gejala gagal jantung berhubungan dengan asimtomatik yang
penyakit jantung struktural yang menyertainya. menjalani terapi untuk
gejala gagal jantung
sebelumnya.

Pasien yang menjalani


rawat inap berulang
karena gagal jantung atau
tidak bisa dipulangkan
secara aman dari rumah
Pasien dengan penyakit jantung struktural sakit, pasien di rumah
lanjutan dan didapatkan gejala gagal jantung sakit menunggu
D
saat istirahat meski dengan terapi medis transplantasi jantung,
maksimal dan memerlukan intervensi khusus. pasien di rumah dengan
dukungan intravena
secara berkelanjutan
untuk meringankan gejala
atau didukung dengan alat
bantu sirkulasi mekanik.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 54


Klasifikasi berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologinya, penyakit jantung pada kehamilan
dapat diklasifikasikan menjadi
1. Penyakit jantung kongenital
a. Penyakit jantung kongenital asianotik
b. Penyakit jantung kongenital sianotik
2. Penyakit jantung didapat (acquired heart disease)
a. Penyakit jantung rematik
b. Penyakit jantung koroner
3. Penyakit jantung spesifik pada kehamilan, yaitu
kardiomiopati peripartum

Penilaian Risiko
Penilaian risiko maternal dilakukan menurut klasifikasi
risiko yang dimodifikasi menurut World Health Organization
(WHO). Klasifikasi risiko ini mengintegrasikan semua faktor
risiko kardiovaskuler maternal yang ada termasuk penyakit
jantung penyerta dan komorbiditas lainnya. Klasifikasi ini
ditunjukkan pada Tabel 4

Tabel 4.Klasifikasi WHO yang dimodifikasi untuk


risiko kardiovaskuler maternal
KELAS RESIKO KEHAMILAN BERDASARKAN KONDISI
RISIKO MEDIS

Tidak terdeteksi peningkatan risiko mortalitas maternal


I
dan tanpa/peningkatan ringan dalam morbiditas.

Sedikit peningkatan risiko mortalitas maternal atau


II
peningkatan moderat dalam morbiditas.
Peningkatan risiko mortalitas maternal signifikan atau
morbiditas berat. Konseling dengan ahli diperlukan. Jika
III diputuskan hamil, pengawasan spesialis jantung dan
kandungan secara intensif dibutuhkan selama
kehamilan, persalinan, dan nifas.

Risiko mortalitas maternal sangat tinggi atau morbiditas


berat, dikontraindikasikan hamil. Jika kehamilan terjadi,
IV
terminasi perlu didiskusikan. Jika kehamilan berlanjut,
dirawat seperti kelas III

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 55


KONDISI DIMANA RESIKO KEHAMILAN TERMASUK WHO I
Tanpa komplikasi, kecil atau ringan
- Stenosis pulmonal
- Patent ductus arteriosus
- Prolaps katup mitral
Perbaikan lesi sederhana yang berhasil (defek septal ventrikular
atau atrial, patent ductus arteriosus, anomali aliran vena pulmonalis)
Denyut ektopik ventrikular atau atrial, isolated
KONDISI DIMANA RESIKO KEHAMILAN TERMASUK WHO II
ATAU III
WHO II (jika dinyatakan baik dan tanpa komplikasi)
- Defek septal atrial atau ventrikular yang tidak dioperasi
- Repaired tetralogi fallot
- Sebagian besar aritmia
WHO II-III (tergantung individu)
- Gangguan ventrikel kiri ringan
- Kardiomiopati hipertrofik
- Sindroma Marfan tanpa dilatasi aorta
Aorta <45 mm pada gangguan aorta berhubungan dengan
katup bikuspidal aorta
- Koarktasio yang diperbaiki

WHO III
- Katup mekanik
- Penyakit jantung sianosis (tanpa perbaikan)
- Penyakit jantung bawaan kompleks lainnya
- Dilatasi aorta 40-45 mm pada Sindrom Marfan
Dilatasi aorta 40-45 mm pada gangguan aorta
berhubungan dengan katup bikuspidal aorta
KONDISI DIMANA RESIKO KEHAMILAN TERMASUK WHO IV
(kontraindikasi hamil)
- Hipertensi arteri pulmonal dengan penyebab apapun
- Disfungsi ventrikel sistemik berat (LVEF <30%, NYHA III IV)
- kardiomiopati peripartum sebelumnya dengan adanya sisa
gangguan fungsi ventrikel kiri
- Stenosis mitral berat, stenosis aorta simptomatik berat
- Sindroma Marfan dengan dilatasi aorta >45 mm
Dilatasi aorta >50 mm pada gangguan aorta berhubungan
dengan katup aorta bikuspidal

Penjelasan :
 WHO kelas I merupakan risiko sangat rendah, dan
tindak lanjut kardiologi selama kehamilan dapat
terbatas pada satu atau dua pertemuan.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 56


 WHO kelas II merupakan risiko rendah atau
moderat, dan direkomendasikan untuk tindak lanjut
tiap trimester.
 WHO kelas III, terdapat risiko komplikasi yang
tinggi, dan peninjauan kardiologi dan obstetrik
berkala direkomendasikan tiap bulan atau tiap dua
bulan.
 WHO kelas IV perlu disarankan tidak hamil. Tetapi,
jika hamil dan tidak menginginkan terminasi,
diperlukan peninjauan tiap bulan ataupun dua
bulan.
Berdasarkan risiko mortalitas maternal, maka penyakit
jantung pada kehamilan dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5

Tabel 5. Mortalitas maternal penyakit jantung pada


kehamilan (5)
RISIKO
KELOMPOK PENYAKIT JANTUNG
MORTALITAS
- Atrial Septal Defect (ASD)
- Ventricular Septal Defect (VSD)
- Patent ductus arteriosus (PDA)
I - Mitral stenosis – NYHA klas I&II <1%
- Gangguan katup
pulmonal/trikuspidal
- Tetralogi Fallot yang dikoreksi
2A
- Mitral stenosis – NYHA klas III
atau IV
- Aorta Stenosis
- Koarktasio aorta tanpa kelainan
katup
- Tetralogi Fallot tanpa koreksi
II 5-15 %
- Sindroma Marfan dengan aorta
normal
- Riwayat miokard infark
2B
• Katup prostetik mekanis
• Mitral stenosis dengan atrial
fibrilasi

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 57


• Hipertensi pulmonal
- Primer
- Sindroma Eisenmenger
• Koarktasio aorta dengan kelainan
III katup 25-50 %
• Sindroma Marfan dengan kelainan
aorta
• Kardiomiopati peripartum dengan
disfungsi ventrikel kiri persisten

Prediktor komplikasi maternal


Skor risiko jantung berikut dapat memperkirakan
kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan
(Tabel 6). (2,5,8)

Tabel 6. Prediktor Resiko Maternal untuk Komplikasi


Jantung

KRITERIA CONTOH POIN


Kejadian sakit Gagal jantung, transient ischemic attack, stroke
1
jantung sebelumnya sebelum kehamilan, aritmia
NYHA III atau IV atau
1
sianosis
Area katup aorta <1.5 cm , area katup mitral <2
2
2
Obstruksi jantung kiri cm , atau gradien puncak left ventricular outflow 1
tract >30 mmHg
LVEF <40%, kardiomiopati restriktif, atau
Disfungsi miokardial 1
kardiomiopati hipertrofik

Risiko komplikasi maternal berhubungan dengan jumlah


prediktor diatas adalah sebagai berikut :

Jumlah Risiko kejadian gangguan


Prediktor jantung dalam kehamilan
0 5%
1 27%
>1 75%

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 58


Komplikasi neonatal
Terjadi pada 20–28% pasien dengan penyakit jantung
dengan mortalitas neonatal antara 1% dan 4%. 8,9 Prediktor
komplikasi neonatal adalah sebagai berikut.

Tabel 7. Perkiraan maternal untuk kejadian neonatus


pada wanita dengan penyakit jantung 2

1. Berdasar NYHA kelas >II atau sianosis


2. Obstruksi jantung kiri maternal
3. Merokok selama kehamilan
4. Gestasi multipel
5. Penggunaan antikoagulan oral selama
kehamilan
6. Prostesis katup mekanik

II. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG DALAM


KEHAMILAN

Sesuai NYHA, poin penting dari proses diagnosis penyakit


jantung yang lengkap meliputi hal-hal sebagai berikut :10
1. Etiologi. Apakah terjadi akibat penyakit kongenital,
infeksius, hipertensif, atau iskemik?
2. Kelainan anatomis. Bagian jantung mana yang
terlibat? Apakah hipertrofi, dilatasi, atau keduanya?
Katup mana yang terkena? Apakah bersifat
regurgitasi dan/atau stenosis? Apakah didapatkan
infark miokardium?
3. Gangguan fisiologis. Apakah terdapat aritmia?
Apakah didapatkan bukti adanya gagal jantung
kongestif atau iskemia miokardium?
4. Gangguan fungsional. Seberapa berat aktivitas
fisik mempengaruhi terjadinya gejala?
Penegakkan diagnosis penyakit jantung yang lengkap dan
benar membutuhkan proses anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang seksama. Sebagian besar diagnosis penyakit
jantung dapat ditegakkan dengan prosedur non-invasif
Kehamilan dengan Penyakit Jantung 59
misalnya anamnesa, pemeriksaan fisik, EKG, foto toraks,
maupun ekokardiografi. Jika diperlukan dapat dilanjutkan
dengan kateterisasi dan fluoroskopi.

Anamnesis & Pemeriksaan Fisik


Beberapa gejala yang menyerupai penyakit jantung dapat
muncul pada wanita hamil seperti mudah lelah, dispnu,
edema ekstremitas bawah, dan murmur. Gejala dan tanda
tersebut dapat merupakan kondisi normal pada wanita
hamil, namun demikian ada beberapa kondisi yang
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Gejala dan tanda
kardiovaskuler yang dapat muncul selama kehamilan dapat
dilihat pada Tabel 8.
Murmur atau bising jantung salah satu tanda adanya
kelainan jantung, walaupun tidak semua bising jantung
merupakan tanda penyakit jantung. Murmur atau bising
jantung dapat timbul pada hampir semua wanita selama
kehamilan. Murmur ini biasanya lemah, mid-sistolik, dan
terdengar pada sepanjang tepi tulang sternum kiri.
Intensitasnya dapat meningkat sejalan dengan peningkatan
curah jantung selama kehamilan. Pemeriksaan dengan
ekokardiografi diperlukan jika didapatkan murmur diastolik,
murmur kontinum atau murmur sistolik (grade 2 atau lebih)
– lihat Lampiran, atau murmur yang berhubungan dengan
gejala atau EKG yang abnormal.
Sangatlah penting untuk mengukur tekanan darah secara
tepat yaitu dalam posisi miring kiri, dan bila perlu dilakukan
pemeriksaan proteinuria, khususnya pasien dengan riwayat
hipertensi atau preeklampsia. Oksimetri harus dipasang
dan diperiksa saturasi oksigen dalam darah pada pasien
dengan penyakit jantung kongenital.2

Tabel 8. Gejala dan tanda kardiovaskuler pada kehamilan

NORMAL ABNORMAL
Lelah Sinkop
Dispnu Dispnu paroksismal nokturnal
Kadang-kadang palpitasi Takikardia > 120 x / menit
Murmur sistolik (1-2/6) Aritmia yang terus-menerus

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 60


Pulsasi vena leher Nafas memendek saat istirahat
Edema ekstremitas bawah Distensi vena leher
Suara S-1 wide split dan keras Summation Gallop
Murmur sistolik (4-6/6)
Murmur diastolik
Nyeri dada
Hemoptisis
Sianosis

Pemeriksaan noninvasif
Elektrokardiografi
Sebagian besar pasien hamil mengalami perputaran
jantung ke kiri dan pada EKG terdapat deviasi aksis kiri 15–
20, khususnya selama trimester ketiga, ketika diafragma
terdorong keatas oleh uterus.
Temuan yang umum meliputi perubahan sementara dari
segmen ST dan gelombang T, adanya gelombang Q dan
gelombang T terbalik pada lead III, dan adanya penguatan
(atenuasi) gelombang Q pada sadapan AVF, serta
gelombang T terbalik pada sadapan V1, V2, dan terkadang
V3. Perubahan EKG ini dapat berhubungan karena adanya
perubahan secara bertahap pada posisi jantung dan dapat
menyerupai hipertrofi ventrikel kiri ataupun kelainan struktur
jantung lainnya.
Ekokardiografi
Penggunaan ekokardiografi lebih banyak digunakan untuk
diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan karena
bersifat non-invasif dan aman. Dengan kemampuan M-
Mode, 2-D dan Doppler (pulse, continuous wave dan colour
flow) dapat ditentukan kelainan struktural termasuk ukuran
jantung, tekanan arteri pulmonal, kontraktilitas ventrikel,
adanya trombus, fungsi katup maupun iskemia miokard.
Ekokardiografi trans-esofageal dapat bermanfaat pada
beberapa kasus tertentu seperti endokarditis, diseksi aorta
atau pada keadaan kesulitan dilakukan ekokardiografi
transtoraks.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 61


 Ekokardiografi dilakukan pada semua pasien hamil
dengan tanda-tanda atau gejala-gejala kardiovaskular
yang baru ataupun yang belum jelas (Rekomendasi I-
C)

Pemeriksaan dengan latihan


Pemeriksaan dengan latihan/Exercise testing berguna
untuk menilai secara obyektif dari kapasitas fungsional,
kronotropik dan respon tekanan darah. Pemeriksaan ini
menjadi bagian penting pada pasien dengan penyakit
jantung bawaan dan penyakit katup asimtomatis. Pada
pasien dengan kelainan jantung yang telah diketahui,
diperlukan pemeriksaan sejak sebelum kehamilan untuk
menilai risiko komplikasi akibat kehamilan.
Pemeriksaan dengan Paparan Radiasi
Pemeriksaan radiografi toraks rutin harus dihindari,
terutama pada trimester pertama. Efek radiasi pada janin
tergantung pada dosis radiasi dan usia kehamilan saat
terkena paparan. Jika memungkinkan, prosedur ini ditunda
setidaknya setelah masa organogenesis terlampaui (usia
kehamilan 12 minggu).

 Foto Rontgen dada dengan memperisai janin, dapat


dipertimbangkan jika metode lain tidak berhasil dalam
mengklarifikasi penyebab dispnu (Rekomendasi IIb-C)
 Kateterisasi jantung dapat dipertimbangkan dengan
indikasi, waktu, dan memperisai janin dengan sangat
ketat. (Rekomendasi IIb-C)

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 62


Alur Diagnostik

Penatalaksanaan Umum

Prekonsepsi
Pada semua wanita yang menunjukkan gejala dan tanda
adanya penyakit jantung sebaiknya dilakukan evaluasi
menyeluruh tentang status kardiologinya sebelum
kehamilan. Evaluasi itu antara lain:
 Riwayat penyakit jantung yang diderita beserta
penanganannya

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 63


 Pemeriksaan fisik umum
 Pemeriksaan foto toraks dan EKG 12-lead
 Pemeriksaan pulse oxymetri
 Pemeriksaan trans-toraks ekokardiografi (untuk
mencari lesi spesifik maupun menentukan fraksi
ejeksi)
 Evaluasi status fungsional jantung (menurut NYHA
atau ACC/AHA)
 Pengelompokan penyakit jantung berdasarkan
kelompok risiko
 Bila perlu dilakukan pemeriksaan MSCTscan
jantung
Selain itu, dibutuhkan konseling individual oleh spesialis
kandungan ataupun kardiologi. Hal-hal penting yang perlu
disampaikan meliputi :
 Lesi jantung yang menyertai (fungsi ventrikel,
tekanan pulmonal, besarnya lesi obstruktif, shunt,
adanya hipoksemia)
 Status fungsional jantung pasien
 Kemungkinan bedah korektif maupun paliatif
 Faktor risiko tambahan seperti pemakaian
antikoagulan dan pemakaian prostetik
 Risiko kehamilan yang tergantung pada penyakit
jantung spesifik dan status klinis pasien. Oleh
karena itu perlu dijelaskan risiko yang akan terjadi
jika akan hamil atau saat ini dalam kondisi hamil.
 Pemberian rekomendasi untuk kontrasepsi, dan
masalah kehamilan jika pasien masih aktif secara
seksual.
 Harapan hidup dan kemampuan merawat anak
 Kemungkinan tatalaksana selama kehamilan
 Persalinan disarankan dilakukan di rumah sakit,
ditangani bersama oleh dokter ahli kandungan dan
jantung sejak awal kehamilan.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 64


 Penilaian risiko sebelum kehamilan dan konseling
diindikasikan pada semua wanita dengan penyakit
kardiovaskular kongenital atau didapat yang diketahui
atau dicurigai (Rekomendasi I-C)
 Penilaian risiko harus dilakukan pada semua wanita
dengan penyakit jantung dari usia anak-anak
(Rekomendasi I-C)
 Pasien risiko tinggi harus dirawat di pusat kesehatan
khusus oleh tim secara multidisiplin (Rekomendasi I-
C)
 Wanita dengan saturasi oksigen dibawah 85% saat
istirahat harus disarankan agar tidak hamil
(Rekomendasi III-C).

Antepartum
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama pasien
melakukan kunjungan antenatal antara lain :
 Pendekatan multidisiplin
 Konfirmasi usia kehamilan berdasarkan HPHT
maupun USG
 Pemeriksaan ekokardiografi janin dilakukan pada
usia kehamilan 20-24 minggu khususnya pada ibu
dengan penyakit jantung kongenital
 Pemeriksaan kesejahteraan janin dilakukan untuk
menilai pertumbuhan janin baik dengan biometri
janin, Doppler velocimetry, maupun NST dimulai
saat usia kehamilan 30-34 minggu.
 Deteksi dini kelainan yang menyertai misalnya
preeklampsia, anemiaa, hipertiroid, maupun infeksi.
 Perencanaan kapan terminasi kehamilan dan mode
of delivery-nya

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 65


Intrapartum
Induksi persalinan, penanganan persalinan, dan
pascapersalinan memerlukan perhatian dan keahlian
khusus serta manajemen kolaboratif oleh dokter ahli
kandungan, ahli jantung, dan ahli anestesia, dengan
pengalaman yang tinggi terhadap unit dan obat maternal-
fetal.
Waktu kelahiran
Pada pasien dengan penyakit jantung lebih disarankan
untuk melakukan induksi persalinan. Waktu yang tepat
sangatlah individual tergantung pada status jantung
gravida, skor Bishop, kesejahteraan janin dan maturitas
paru janin.
Induksi persalinan
Oksitosin dan pecah ketuban buatan diindikasikan jika skor
Bishop >5. Waktu induksi yang memanjang perlu dihindari
jika serviks belum matang.
Metode-metode mekanik seperti penggunaan kateter Foley
lebih baik jika dibandingkan dengan agen farmakologis,
khususnya pada pasien dengan sianosis dimana adanya
penurunan tahanan vaskular sistemik atau tekanan darah
akan sangat merugikan.2
Monitor Hemodinamik
Pulse oxymetri dan pengawasan EKG digunakan sesuai
kebutuhan. Tekanan arterial sistemik dan denyut jantung
ibu dipantau ketat dikarenakan anestesia lumbal epidural
dapat menyebabkan hipotensi.
Anestesia/analgesia
Analgesiaa lumbal epidural seringkali dianjurkan.
Analgesiaa lumbal epidural secara kontinyu dengan
anestesia lokal atau opiat, atau anestesiaa spinal opioid
secara kontinyu dapat diberikan (11)
Anestesia regional dapat menyebabkan hipotensi sistemik,
oleh karena itu harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan lesi katup obstruktif. Perfusi intravena
harus dipantau hati-hati (11).
Kehamilan dengan Penyakit Jantung 66
Persalinan pervaginam atau perabdominam
Cara persalinan secara umum yang dipilih adalah
pervaginam. Rencana persalinan harus dilakukan per-
individu, hal yang perlu diinformasikan adalah waktu
persalinan, metode persalinan, induksi persalinan,
anestesia analgesiaa / regional, dan monitoring yang
diperlukan. Persalinan harus dilakukan di pusat kesehatan
tersier dengan tim perawatan multidisiplin. Secara umum,
persalinan sesar dilakukan bila ada indikasi obstetrik.

Persalinan sesar dianjurkan untuk wanita dengan:


1. Stenosis aorta berat (AS)
2. Bentuk hipertensi pulmonal berat (termasuk sindrom
Eisenmenger)
3. Gagal jantung akut
4. Dipertimbangkan pada pasien dengan prostesis
katup jantung mekanik untuk mencegah masalah
dengan persalinan pervaginam yang terencana.
5. Sindrom Marfan
6. Diseksi aorta kronik atau akut

 Persalinan pervaginam direkomendasikan sebagai


pilihan pertama pada sebagian besar pasien
(Rekomendasi I-C)
 Pada pasien dengan hipertensi berat, persalinan
pervaginam dengan epidural analgesiaa dan
persalinan instrumental elektif perlu dipertimbangkan
(Rekomendasi IIa-C)
 Persalinan sesar harus dipertimbangkan untuk
indikasi obstetrik atau untuk pasien dengan dilatasi
aorta ascenden >45 mm, stenosis aorta berat,
persalinan prematur dengan antikoagulan oral, sindrom
Eisenmenger, atau gagal jantung berat (Rekomendasi
IIa-C)

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 67


Persalinan
Prinsip umum manajemen intrapartum adalah meminimal -
kan stres kardiovaskular. Pada sebagian besar kasus,
prinsip ini akan dicapai dengan penggunaan anestesia
epidural inkremental awal lambat dan dibantu persalinan
pervaginam.
Saat persalinan, hindari posisi supinasi dan pasien pada
posisi lateral dekubitus serta pemberian oksigen untuk
meminimalisir dampak hemodinamik dari kontraksi uterus.12
Kontraksi uterus harus dapat menurunkan kepala janin
hingga ke perineum tanpa adanya dorongan mengejan,
untuk menghindari efek samping dari manuver valsava.13,14
Persalinan sebaiknya dibantu dengan forsep rendah atau
ekstraksi vakum. Disarankan untuk melakukan monitoring
denyut jantung janin secara terus-menerus.
Berikut merupakan poin-poin yang harus diperhatikan
selama persalinan :
 Monitoring ketat
 Posisi left lateral decubitus
 Balans cairan
 Bila memungkinkan pengukuran saturasi O2 dengan
pulse oxymetri
 Pada kasus risiko tinggi pertimbangkan monitoring
invasif
 Pertimbangkan penggunaan intrapartum analgesiaa
 Pada persalinan pervaginam dilakukan percepat kala II
 Pada pasien yang menggunakan warfarin harus
dihentikan minimal 2 minggu sebelum persalinan dan
diganti heparin
Pascapersalinan
Infus oksitosin i.v lambat (<2 U/menit) diberikan setelah
pengeluaran plasenta. Metilergonovine dikontraindikasikan
karena adanya risiko (>10%) vasokonstriksi dan
hipertensi.15,16
Bantuan berupa pemasangan stoking elastik pada tungkai
bawah, dan ambulasi dini sangat penting untuk
mengurangi risiko tromboemboli.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 68


Pemantauan hemodinamik harus dilanjutkan selama
minimal 24 jam setelah melahirkan. Selain itu diperlukan
saran yang tepat tentang penggunaan kontrasepsi.

Laktasi
Laktasi dapat berhubungan dengan risiko rendah terjadinya
bakteremia sekunder akibat mastitis. Pada pasien
gangguan jantung berat / simtomatis, perlu dipertimbangan
untuk menyusui menggunakan botol.

Kontrasepsi
Kontrasepsi ideal harus memenuhi kriteria: aman, efektif,
dan dapat diterima. Untuk wanita dengan penyakit jantung,
tidak ada kontrasepsi yang benar-benar ideal, karena risiko
terjadinya komplikasi seperti trombosis dan infeksi.

Metode barier (kondom, diafragma)


Penggunaan metode barier kurang ideal karena angka
kegagalan yang cukup tinggi.

Alat kontraseptif dalam rahim


Pemakaian IUD harus hati-hati karena adanya risiko,
infeksi dan refleks vagal yang dapat menimbulkan
bradikardia pada saat pemasangan. Selain itu pada pasien
yang memakai antikoagulan ada risiko perdarahan
menstruasi yang banyak.
IUD pelepas levonorgestrel adalah kontrasepsi yang paling
aman dan paling efektif yang dapat digunakan pada wanita
dengan penyakit jantung sianosis bawaan dan pembuluh
darah pulmonal. Ini mengurangi kehilangan darah
menstruasi sebesar 40-50%.17

Pil kontraseptif oral


Kontrasepsi bebas estrogen walaupun efektifitasnya lebih
rendah tapi terbukti aman untuk wanita dengan penyakit
jantung. Kontrasepsi oral dosis rendah yang mengandung
20 µg etinilestradiol aman pada wanita dengan potensi
trombogenik rendah, tetapi harus dihindari pada wanita
dengan penyakit katup yang kompleks seperti pada

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 69


kelainan jantung mitral stenosis, riwayat tromboemboli,
atrial fibrilasi, katup jantung prostetik, kardiomiopati, dan
sindroma Eisenmenger.18,19
Injeksi
Suntikan bulanan yang mengandung medroksiprogesteron
asetat tidak sesuai untuk pasien dengan gagal jantung
karena kecenderungan terjadinya retensi cairan.2

Sterilisasi
Sterilisasi dengan tubektomi atau vasektomi dianjurkan
pada pasien yang sudah tidak menginginkan anak, atau
pada penyakit jantung dengan risiko kehamilan yang tinggi.
Adanya penggunaan anestesiaa dalam prosedur sterilisasi,
menyebabkan tetap perlunya perhatian khusus pada
pasien dengan penyakit jantung.

Terminasi Kehamilan
Dilatasi dan evakuasi adalah prosedur yang paling aman
pada trimester pertama dan kedua. Dapat pula digunakan
prostaglandin E1 atau E2, atau misoprostol untuk
mengeluarkan konsepsi.
Trimester pertama adalah waktu yang paling aman untuk
terminasi kehamilan elektif dan harus dilakukan di rumah
sakit. Selain itu perlu juga perhatian pada anestesia dan
disesuaikan untuk tiap individu.

Tabel 9. Obat-Obatan Pada Kehamilan Dengan Penyakit


Jantung
TRANSFE
R TO
FDA PLACENTA
BREAST
DRUGS CLASSIFI-CATION CATEG PERMEAB ADVERSE EFFECTS
MILK
ORY LE
(FETAL
DOSE)
inadequate human studies;
Monoclonal antibody
should be given only if the
Abciximab with antithrombotic C Unknown Unknown
potential bene t outweights
effects
the potential risk to the fetus.
Yes (no Embryophaty (mainly first
Acenocoum adverse trimester), bleeding (see
Vitamin K antagonist D Yes
arola effects further discussion in section 5
reported) for use during pregnancy).
Acetylsalicy
Well- No teratogenic effects (large
lic acid (low Antiplatelet drug B Yes
tolerated datasets).
dose)

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 70


No fetal adverse effects
Adenosineb Antiarrhytmic C No No
reported (limited human data)

Unknown (limited
Aliskiren Rennin inhibitor D Unknown Unknown
experience).

Thyroid insuf ciency


Amiodaron Antiarrhytmic (Class (9%),hyperthyroidism, goiter,
D Yes Yes
e III) bradycardia, growth
retardation, premature birth.
Ampicillin,
amoxicillin,
cephalospo
rins, No fetal adverse effects
Antibiotics B Yes Yes
erythromyci reported.
n,
mezlocillin,
penicillin
Imipenem,
rifampicin, Risk cannot excluded (limited
Antibiotics C Unkown Unknown
teicoplanin, human data)
vancomycin
Aminoglyco
sides, Risk to the fetus exist
Antibiotics D Unkown Unkown
quinoloes (reserved for vital indication)
teracyclines
Hypospadias (first
trimester):birth defects, low
Atenololc β-blocker (class II) D Yes Yes birth weight, bradycardia and
hypoglycaemia in fetus
(second and third trimester)
Renal or tubular dysplasia,
oligohydramnion, growth
Yese retardation, ossication
Benazeprild ACE inhibitor D Yes (maximum disorders of skull, lung
1.6%) hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.

Bradycardia and
Bisoprol β-blocker (class II) C Yes Yes
hypoglycaemia in fetus

Renal or tubular dysplasia,


oligohydramnion, growth
Unkown;not retardation, ossication
Candesarta Angiotensin II receptor
D Unkown recomende disorders of skull, lung
n blocker
d hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.
Renal or tubular dysplasia,
oligohydramnion, growth
retardation, ossication
Yese(maxi
Captoprild ACE inhibitor D Yes disorders of skull, lung
mum 1.6%)
hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.

No information during
Clopidogrel Antiplatelet drug C Unkown Unkown
pregnancy available.

Yes- My impair absorption of fat-


Colestipol,
lowering fat soluble vitamins, e-g, vitamin
cholestyra Lipid-lowering drugs C Unkown
soluble K> cerebral bleeding
mine
vitamins (neonatal).

No side effects (limited


Danaparoid Anticoagulant B No No
human data).

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 71


Digoxinf Cardiac glycoside C Yes Yese Serum levels unreliable, safe.

Calcium channel
Diltiazem C No Yese Possible teratogenic effects.
clocker (class IV)

Disopyrami Antiarrhythmic (class Uterus contraction.


C Yes Yese
de 1A)

Renal or tubular dysplasia,


oligohydramnion, growth
retardation, ossication
Yese(maxi
Enalaprild ACE inhibitor D Yes disorders of skull, lung
mum 1.6%)
hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.

Aldosterone
Eplereone - Unkown Unkown Unkown (limited experience).
antagonist

Feno brate Lipid-lowering drug C Yes Yes No adequate human data

Antiarrhytmic (class
Flecainide C Yes Yese Unknown (limited experience)
1C)

Yes
Fondaparin New drug, (limited
Anticoagulant - (maximum No
ux experience)
10%)
Well
tolerated;
milk
Furosemide Diuretic C Yes Oligohydramnion.
production
can
reduced

Gem brozil Lipid-lowering drug C Yes Unkown No adequate human data.

Glyceryl
Nitrate B Unkown Unkown Bradycardia, tocolytic
trinitrate

Heparine(lo Long-term application:seldom


w osteoporosis and markedly
Anticoagulant B No No
molecular less thrombocytopenia than
weigth) UF heparin.
Heparin Long-term application;
(unfractiona Anticoagulant B No No osteoporosis and
ted) thrombocytopenia.
Maternal side effects: lupus-
Yese
like symptoms; fetal
Hydralazine Vasodilator C Yes (maximum
tachyarrthmias (maternal
I%)
use).
Yes; milk
Hydrochlor production
Diuretic B Yes Oligohydramnion.
othiazid can be
reduced
Renal or tubular dysplasia,
Angiotensin II receptor oligohydramnion, growth
Irbesartand D Unknown Unknown
blocker retardation, ossication
disorders of skull, lung

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 72


hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.

Isosorbide
Nitrate B Unknown Unknown Bradycardia.
dinitre

Potential synergism with


Calcium channel
Isradipine C Yes Unknown magnesium sulfate may
blocker
induce hypotension.
Intrauterine growth
retardation (second and third
Labetalol α­|β-blocker C Yes Yese trimester), neonatal
bradycardia and hypotension
(used near term)
Fetal bradycardia, acidosis,
Antiarrhythmic (class
Lidocaine C Yes Yese central nervous system
IB)
toxicity.

Methyldopa Central α-gonist B Yes Yese Mild neonatal hypotension.

Bradycardia and
Metoprolol β-blocker (class II) C Yes Yese
hypoglycaemia in fetus.

Antiarrhytmic (class
Mexiletine C Yes Yese Fetal Bradycardia.
IB)

Tocolytic;s.I. application and


Yese potential synergism with
Calcium channel
Nifedipine C Yes (maximum magnesium sulfate may
blocker
1.8%) induce hypotension (mother)
and fetal hypoxia.
Yese
Coumarin-
(maximum
embryopathy,bleeding (see
Phenproco 10%), well
Vitamin K antagonist D Yes further discussion in section
umon tolerated as
in section 5 for use during
inactive
pregnancy).
metabolite

Procainami
Antiarrhytmic(class IA) C Yes Yes Unknown (limited experience)
de

Propafenon
ACE inhibitor C Yes Unknown Unknown (limited experience)
e

Bradycardia and
Propranolol Antiarrhytmic (classIII) C Yes Yese
hypoglycaemia in fetus

Thrombopenia, premature
Quinidine Aldostrone antagonist C Yes Yese
birth, VII th nerve toxicity.
Renal or tubular dysplasia,
oligohydramnion, growth
Yes retardation, ossication
Ramiprild Lipid-lowering drugs D Yes (maximum disorders of skull, lung
1,6%) hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.
Bradycardia and
Antiarrhytmic (class
Sotatol B Yes Yese hypoglycaemia in fetus
III)
(limited experience)
Yese
(maximum
Spironolact Aldosterone 1.2%); milk Antiandrogenic effects, oral
D Yes
one antagonist production clefts (first trimester).
can be
reduced

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 73


Statinsg Lipid-lowering drugs X Yes Unknown Congenital anomalies.

Ticlopidine Antiplatelet C Unknown Unknown Unknown (limited experience)

Renal or tubular dysplasia,


oligohydramnion, growth
retardation, ossication
Angiotensin II receptor
Valsartand D Unkown Unkown disorders of skull, lung
blocker
hypoplasia, contractures,
large joint, anemiaa,
intrauterine fetal death.
Verapamil Calcium channel Well tolerated (limited
C Yes Yese
oral blocker (class IV) experience during pregnancy)
Intravenously use is may be
associated with a greater risk
Verapamil Calcium channel
C Yes Yese of hypotension and
i.v. blocker (class IV)
subsequent fetal
hypoperfusion.
Calcium channel No experience of use in
Vernakalnt - Unkown Unkown
blocker (class III) pregnancy.
Yes
(maximum Coumarin-embrypathy,
a 10%), well bleeding (see further
Warfarin Vitamin K antagonist D Yes
tolerated as discussion in section 5 for
inactive use during pregnancy).
metabolite

Antibiotik Profilaksis
American Heart Association tidak lagi merekomendasikan
antibiotik profilaksis untuk pencegahan endokarditis bakteri
selama prosedur yang berhubungan dengan genitourinaria,
seperti persalinan pervaginam dan operasi sesar.2,20

Antikoagulan
Beberapa kondisi membutuhkan inisiasi dan antikoagulan
selama kehamilan, seperti pada pasien dengan katup
mekanis, riwayat tromboemboli vena, trombosis vena
dalam yang akut atau tromboemboli selama kehamilan,
sindrom antibodi antifosfolipid, dan atrial fibrilasi.

Rekomendasi

 Antikoagulasi direkomendasikan pada pasien dengan


trombus intrakardiak dideteksi melalui pencitraan atau
dengan bukti emboli sistemik. (Rekomendasi I-A)
 Wanita dengan HF selama kehamilan harus diterapi
berdasarkan panduan terbaru untuk pasien tidak hamil,
dengan memperhatikan kontraindikasi untuk beberapa
obat-obat dalam kehamilan. (Rekomendasi I-B)

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 74


 Terapi profilaksis antibiotik selama persalinan tidak
direkomendasikan (Rekomendasi III-C)

III. KESIMPULAN

Penyakit jantung dalam kehamilan memiliki spektrum


kelainan yang bervariasi. Konsep dasar yang perlu diingat
adalah sebagai berikut:
• Volume darah dan curah jantung meningkat selama
kehamilan normal, mencapai puncaknya ada akhir
trimester kedua.
• Kelainan jantung yang sudah ada sebelumnya harus
dievaluasi sehubungan dengan resiko yang didapatkan
selama kehamilan.
• Kontraindikasi terhadap kehamilan mencakup
hipertensi pulmonal berat atau sindrom Eisenmenger,
kardiomiopati dengan gejala NYHA kelas III atau IV,
riwayat kardiomiopati peripartum, stenosis katup berat
yang tidak dikoreksi, penyakit jantung sianosis bawaan
yang tidak dikoreksi, dan sindrom Marfan dengan aorta
abnormal.
• Pengetahuan terhadap obat-obatan jantung yang
masuk dalam kategori kontraindikasi selama kehamilan
sangatlah penting untuk pengobatan hipertensi dan
gagal jantung selama kehamilan.
• Antikoagulasi selama kehamilan memberikan tantangan
karena warfarin, unfractionated heparin, dan LMWH
memiliki efek samping terhadap maternal dan janin.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 75


DAFTAR PUSTAKA
1. Maroo A, Raymond R. Pregnancy and Heart Disease.
2009 January
2. Regitz-Zagrosek V, Lundqvist CB, Borghi C, Cifkova R,
Foidart JM, Gibbs JSR, et al. ESC Guidelines on the
management of cardiovascular diseases during
pregnancy. European Heart Journal. 2011.
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC,
Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics. 23rd ed.
United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc.; 2010.
4. Robson S, Dunlop W, Moore M, Hunter S. Combined
Doppler and echocadiographic. Br J Obstet Gynaecol.
1987; 94.
5. Martin SR. Cardiac Disease in Pregnancy. In Foley MR.
Obstetric Intensive Care Manual 3rd edition. United
States: the McGraw- Hill Companies, Inc; 2011. p. 91-
110.
6. Ray P, Murphy GJ, Shutt LE. Recognition and
management of maternal cardiac disease in pregnancy.
British Journal of Anaesthesia. 2004 June; 93(3).
7. Hunt SA, Baker DW, Chin MH, P M, Cinquegrani ,
Feldmanmd AM, et al. ACC/AHA Guidelines for the
Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in
the Adult: Executive Summary. Circulation. 2001
December.
8. Siu SC, Sermer M, Colman JM, et al. Prospective
multicenter study of pregnancy outcomes in women
with heart disease. Circulation. 2001 July; 104(5): p.
515-521.
9. Drenthen W, Pieper P, Roos-Hesselink J, van Lottum
W, Voors A. Outcome of pregnancy in women with
congenital heart disease: a literature review. J Am Coll
Cardiol. 2007; 49: p. 2303–2311.
10. Braunwald E. Disorder of the Cardiovascular System. In
Harrison TR. Harrison's Principles of Internal Medicine.
United States of America: McGraw-Hill Companies,
Inc.; 2005.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 76


11. Dob D, Yentis S. Practical management of the
parturient with congenital heart disease. Int J Obstet
Anesth. 2006; 15(137-144).
12. Bonica J, McDonald J. Principles and Practice of
Obstetric Analgesia and Anesthesia. 2nd ed. Baltimore:
Williams & Wilkins; 1994.
13. Blake M, Martin A, Manktelow B, Armstrong C, Halligan
A, Panerai R. Changes in baroreceptor sensitivity for
heart rate during normotensive pregnancy and the
puerperium. Clin Sci (Lond). 2000; 98: p. 259 – 268.
14. Foley M, Lockwood C, B Gersh VB. Maternal
cardiovascular and hemodynamic adaptation to
pregnancy. Uptodate. 2010.
15. Labriolle Ad, Genee O, Heggs L, Fauchier L. Acute
myocardial infarction following oral methyl-ergometrine
intake. Cardiovasc Toxicol. 2009; 9.
16. Svanstrom M, Biber B, Hanes M, Johansson G,
Naslund U, Balfors E. Signs of myocardial ischaemia
after injection of oxytocin: a randomized double-blind
comparison of oxytocin and methylergometrine during
Caesarean section. Br J Anaesth. 2008; 100.
17. Kilic S, Yuksel B, Doganay M, Bardakci H, Akinsu F,
Uzunlar O. The effect of levonorgestrel-releasing
intrauterine device on menorrhagia in women taking
anticoagulant medication after cardiac valve
replacement. Contraception. 2009; 80.
18. Sciscione A, Callan N. Congenital heart disease in
adolescents and adults Pregnancy and contraception.
Cardiol Clin. 1993; 11.
19. Leonard H, O’Sullivan J, Hunter S. Family planning
requirements in the adult congenital heart disease
clinic. Heart. 1996; 76.
20. Wilson W, Taubert K, Gewitz M. Prevention of infective
endocarditis: guidelines from the American Heart
Association. Circulation. 2007 October; 15.
21. Bickley LS, Szilagyi PG. Pocket Guide to Physical
Examination and Histroy Taking. 6th ed.: Lippincott
Williams & Wilkins; 2009.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 77


22. Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
Cardiac Disease and Pregnancy. Good Practice No.13.
2011 June.
23. ACOG Committee Opinion. Guidelines for diagnostic
imaging during pregnancy Number 299. Obstet
Gynecol. 2004 September; 104: p. 647-651.
24. Warnes C, Williams R, Bashore T, Child J, Connolly H,
Dearani J. ACC/AHA 2008 Guidelines for the
Management of Adults with Congenital Heart Disease:
Executive Summary: a report of the American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines. Circulation. 2008; 118: p. 2395–
2451.
25. Bonow R, Carabello B, Chatterjee K, de Leon AJ,
Faxon D, Freed M. Focused update incorporated into
the ACC/AHA 2006 guidelines for the management of
patients with valvular heart disease: a report of the
American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation. 2008; 118: p. e523–e661.

Lampiran : Gradasi murmur 21


Grade Description
Very faint, heard only after listener has “turned in’; may not be
1
heard in all posistions
Quiet, but heard immediately after placing sthethoscope on the
2
chest
3 Moderately loud
4 Loud, with palpable thrill
Very loud, with thrill. May be heard when stethoscope is partly off
5
the chest
Very loud, with thrill. May be heard with stethoscope entirely off
6
the chest

Kehamilan dengan Penyakit Jantung 78


PERTUMBUHAN BAB V
JANIN TERHAMBAT

ASPEK UMUM

1. PENDAHULUAN

Bayi kecil masa kehamilan (KMK) disebut juga SGA (small


for gestational age), sering disamakan dengan bayi
pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau intra uterine
growth restriction (IUGR). Diagnosis bayi KMK dapat
disebabkan oleh beberapa keadaan seperti: kesalahan
dalam pencatatan umur kehamilan (HPHT), bayi kecil tapi
sehat, cacat bawaan, kelainan genetik/kromosom, infeksi
intra uterin, dan PJT. Kurang lebih 80-85% bayi KMK
adalah kecil tapi sehat, 10-15% yang murni PJT dan
sisanya 5-10% adalah janin dengan kelainan kromosom,
cacat bawaan atau infeksi intra uterin. (Harkness, 2004;
Sheridan, 2005)

Janin KMK adalah janin yang berat badannya sama atau

Pertumbuhan Janin Terhambat 79


kurang dari 10 persentil, atau yang lingkaran perutnya
sama atau kurang dari 5 persentil. Sekitar 40% janin
tersebut konstitusinya kecil dengan risiko morbiditas dan
mortalitas perinatalnya yang tidak meningkat. Empat puluh
persen pertumbuhan janin terhambat (PJT) karena perfusi
plasenta yang menurun atau insufisiensi utero-plasenta,
dan 20% hambatan pertumbuhan karena potensi tumbuh
yang kurang. Potensi tumbuh yang kurang karena
disebabkan oleh kelainan genetik atau kerusakan
lingkungan. (Harper, T, 2004). Tidak semua PJT adalah
KMK, dan tidak semua KMK menderita PJT. Hanya 15%
KMK badannya kecil karena PJT. (Murray, L, 2004)

Perbedaan definisi yang dipakai, kurva standar, ketinggian


tempat tinggal, jenis kelamin dan ras seseorang, antara lain
sebagai penyebab bervariasinya angka kejadian PJT.
Selain angka kejadian PJT yang bervariasi antara 3-10%,
yang terlebih penting lagi, angka kematian perinatal bayi-
bayi dengan PJT kurang lebih 7-8 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi-bayi normal lainnya. Kurang
lebih 26% atau lebih kejadian lahir mati, ternyata
berhubungan dengan PJT. (Weiner, 2000)

Jika didapatkan estimasi berat badan dan lingkaran perut


yang kecil, maka perlu dipertimbangkan 4 hal: 1) umur
kehamilan yang salah; 2) janin kecil tapi normal; 3) janin
kecil abnormal; atau 4) janin kecil yang mengalami starvasi.

Secara klinis PJT dibedakan atas 2 tipe yaitu: tipe I


(simetris) dan tipe II (asimetris). Kedua tipe ini mempunyai
perbedaan dalam etiologi, terapi, dan prognosisnya (Lin,
1984; Manning, 1991). Cara-cara pemeriksaan klinis untuk
mendeteksi PJT (berupa identifikasi faktor risiko dan
pengukuran tinggi fundus uteri) seringkali memberikan hasil
yang kurang akurat. Campbell mencatat nilai prediksi
positif yang rendah, Positive Predicted Value (PPV) 16%
dan Negative Predicted Value (NPV) 20% (Manning, 1991,
Campbell, 1974). Peninggian kadar Alfa Feto Protein
(AFP) pada janin yang normal (tanpa cacat bawaan) akan

Pertumbuhan Janin Terhambat 80


meningkatkan kejadian PJT 5-10 kali lebih tinggi. (Weiner,
2000)

Umur kehamilan yang salah disebabkan karena: HPHT


tidak jelas atau lupa, siklus haid tidak teratur, dan setelah
penggunaan kontrasepsi pil atau suntik. Meskipun ukuran
biometri janin kecil simetris, akan tetapi tidak ada kelainan
anatomis, volume air ketuban dan aktifitas janin dalam
keadaan normal masih memerlukan pemeriksaan ulangan
setelah 2 minggu, untuk memastikan adanya peningkatan
ukuran biometri janin dan kecepatan pertumbuhan yang
normal.

Janin kecil tapi normal: ibu biasanya konstitusi tubuhnya


kecil, pada pemeriksaan USG sering dikelirukan dengan
umur kehamilan yang salah. Pada pemeriksaan USG 2
minggu kemudian akan menunjukkan deviasi ukuran-
ukuran janin lebih jauh dari normal.

Janin kecil abnormal: mungkin didapatkan kelainan


anatomi, akibat kelainan kromosom atau karena faktor
lingkungan.

Janin kecil karena starvasi: biasanya ukuran janin tidak


sesuai / asimetris dalam hal ukuran lingkaran perut, femur
dan lingkaran kepala. Akan ditemukan pula pengurangan
volume air ketuban dan gerakan janin serta terdapat
kelainan aliran darah pada a. uterina dan a. umbilikalis.
(Pilu, G, Murray, L 2004)

2. DEFINISI

Pertumbuhan janin terhambat (PJT) adalah janin dengan


berat badan kurang atau sama dengan 10 persentil, atau
lingkaran perut kurang atau sama dengan 5 persentil atau
FL/AC > 24. Hal tersebut dapat disebabkan karena
berkurangnya perfusi plasenta, kelainan kromosom, dan
faktor lingkungan atau infeksi (Maulik, D). Penentuan PJT

Pertumbuhan Janin Terhambat 81


juga dapat ditentukan secara USG dimana biometri tidak
berkembang secara bermakna setelah 2 minggu.

3. PREVALENSI

Pada penelitian pendahuluan di 4 senter fetomaternal di


Indonesia tahun 2004-2005 didapatkan 571 KMK dalam
14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling sedikit di
RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS
Dr. Sardjito Yogyakarta 6,44%.

4. KLASIFIKASI

Simetris: ukuran badannya secara proporsional kecil,


gangguan pertumbuhan janin terjadi sebelum umur
kehamilan 20 minggu, sering disebabkan oleh kelainan
kromosom atau infeksi.

Asimetris: ukuran badannya tidak proporsional, gangguan


pertumbuhan janin terjadi pada kehamilan trimester III,
sering disebabkan oleh insufisiensi plasenta (Peleg, D,
1998).

Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada


awal kehamilan, saat hiperplasia (biasanya karena kelainan
kromosom dan infeksi), akan menyebabkan PJT yang
simetris. Jumlah sel berkurang dan secara permanen akan
menghambat pertumbuhan janin dan prognosisnya jelek.
Penampilan klinisnya proporsinya tampak normal karena
berat dan panjangnya sama-sama terganggu, sehingga
ponderal indeksnya normal.

Jika faktor yang menghambat pertumbuhan terjadi pada


saat kehamilan lanjut, saat hipertrofi (biasanya gangguan
fungsi plasenta, misalnya pada preeklamsia), akan
menyebabkan ukuran selnya berkurang, menyebabkan PJT
yang asimetris dengan prognosis lebih baik. Lingkaran
perutnya kecil, skeletal dan kepala normal, ponderal
indeksnya abnormal. (Wolstenholme, 2000; Peleg, 1998).

Pertumbuhan Janin Terhambat 82


FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI

1. FAKTOR RISIKO

Kecurigaan akan PJT ditegakkan berdasarkan pengamatan


faktor-faktor risiko dan ketidaksesuaian tinggi fundus uteri
dengan umur kehamilannya (Miller,1972;Manakalata,2002).
Tetapi kurang akuratnya pemeriksaan klinis dalam
meramalkan kejadian PJT pada umumnya disebabkan
oleh: 1) kesalahan dalam menentukan umur kehamilan, 2)
kesalahan dalam cara pengukuran tinggi fundus uteri, 3)
adanya fenomena trimester terakhir, yaitu bayi-bayi yang
tersangka PJT pada kehamilan 28-34 minggu, kemudian
menunjukan pertumbuhan yang cepat pada kehamilan 36-
39 minggu.

Faktor-faktor Risiko PJT (Lin CC,1984) :


1. Lingkungan sosio-ekonomi rendah
2. Riwayat PJT dalam keluarga
3. Riwayat obstetri yang buruk
4. Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan
yang rendah
5. Komplikasi obstetri dalam kehamilan
6. Komplikasi medik dalam kehamilan

Faktor-faktor Risiko PJT sebelum & selama kehamilan


(Manakatala, 2002) :
1. Terdeteksi sebelum kehamilan
• Riwayat PJT sebelumnya
• Riwayat penyakit kronis
• Riwayat APS (Antiphospholipid syndrome)
• Indeks masa tubuh yang rendah
• Maternal hipoksia
2. Terdeteksi selama kehamilan
• Peninggian maternal serum alfa feto protein
(MSAFP) atau human chorionic gonadotropin
(hCG)

Pertumbuhan Janin Terhambat 83


• Riwayat makan obat-obatan tertentu (coumarin,
hydantoin)
• Perdarahan pervaginam
• Kelainan plasenta
• Partus prematurus
• Kehamilan ganda
• Kurangnya pertambahan BB selama kehamilan

2. ETIOLOGI

Maternal:
Hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung sianosis, DM
kelas lanjut, hemoglobinopati, penyakit autoimun,
malnutrisi, merokok, narkotik, kelainan uterus, dan
trombofilia.
Plasenta dan tali pusat:
Sindroma twin-twin transfusion, kelainan plasenta, solusio
plasenta kronik, plasenta previa, kelainan insersi tali pusat,
kelainan tali pusat, kembar.
Infeksi:
HIV, sitomegalovirus, rubela, herpes, toksoplasmosis,
sifilis.
Kelainan kromosom/genetik:
Trisomi 13, 18, dan 21, triploidi, sindroma Turner dan
penyakit metabolisme (Harper, T, 2004).
Di RS Dr. Soetomo Surabaya penyebab PJT adalah
preeklamsia/Eklamsi 79%, hipertensi 17% dan 3,4% dari
kehamilan dengan KMK di 4 senter fetomaternal menderita
cacat bawaan.

ASPEK KLINIS

1. SKRINING

Skrining: pada populasi umum skrining dilakukan dengan


cara mengukur tinggi fundus uteri (TFU), yang dilakukan
secara rutin pada waktu pemeriksaan antenatal (ANC)

Pertumbuhan Janin Terhambat 84


sejak umur kehamilan 20 minggu sampai aterm. Jika ada
perbedaan sama atau lebih besar dari 3 cm dengan kurva
standar, perlu dilakukan pemeriksaan USG (Harper,T).
Pada kehamilan yang berisiko terjadi PJT pemeriksaan
USG dilakukan pertama kali pada kehamilan trimester I
untuk konfirmasi haid pertama yang terakhir dan
kemungkinan kehamilan multipel. Kemudian pada
pertengahan trimester II (18-20 minggu) untuk mencari
kelainan bawaan dan patologi lain. Pemeriksaan USG
diulang pada umur kehamilan 28-32 minggu untuk deteksi
gangguan pertumbuhan dan fisiologi brain sparing effect
(oligohidramnion dan pemeriksaan Doppler velocimetry
yang abnormal).

Penegakan diagnosis: estimasi berat janin sama atau


kurang dari 10 persentil dan lingkaran perut (AC) yang
sama atau kurang dari 5 persentil atau FL/AC > 24, atau
biometri tidak berkembang setelah 2 minggu.

Suspek PJT jika terdapat satu atau lebih tanda-tanda di


bawah ini (MUHC Guideline) :
1. TFU 3 cm atau lebih dibawah normal
2. Pertambahan berat badan < 5 kg pada UK 24
minggu atau < 8 kg pada UK 32 minggu (untuk ibu
dengan BMI < 30)
3. Estimasi berat badan < 10 persentil
4. HC/AC > 1
5. AFI 5 cm atau kurang
6. Sebelum UK 34 minggu plasenta grade 3
7. Ibu merasa gerakan janin berkurang

2. DIAGNOSIS

1. Palpasi: akurasinya terbatas, dapat mendeteksi


janin KMK sebesar 30%, sehingga perlu tambahan
pemeriksaan biometri janin (Evidens III dan IV).
2. Mengukur tinggi fundus uteri (TFU): terbatas
akurasinya untuk mendeteksi janin KMK,
sensitivitas 56-86%, spesifisitas 80-93%. Dengan

Pertumbuhan Janin Terhambat 85


jumlah sample 2941, sensitifitas 27%, spesifisitas
88%. Pengukuran TFU secara serial akan
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas (Evidens
II dan III). Dengan jumlah sampel 1639. TFU tidak
meningkatkan luaran perinatal (Evidens Ib).
3. Estimasi berat janin (EFW) dan abdominal
circumference (AC) lebih akurat untuk diagnosis
KMK. Pada KRT dengan AC<10 persentil dapat
memprediksi KMK dengan sensitifitas 72,9-94,5%
dan spesifisitas 50,6-83,8%. Pengukuran AC dan
EFW dapat memprediksi luaran perinatal yang jelek
(Evidens II). Systematic Review dalam Cochrane
database menunjukkan bahwa pemeriksaan USG
pada KRR setelah umur kehamilan 24 minggu tidak
meningkatkan luaran perinatal (Evidens Ia).
4. Mengukur volume air ketuban (AFI), Doppler, KTG
dan BPS lemah dalam mendiagnosis PJT. Meta
analisis menunjukkan bahwa AFI antepartum < 5
cm meningkatkan bedah sesar atas indikasi gawat
janin. AFI dilakukan setiap minggu atau 2 kali
seminggu tergantung berat ringannya PJT (Evidens
I dan III). Doppler pada a. uterina akurasinya
terbatas untuk memprediksi PJT dan kematian
perinatal (RCOG Guideline No.31).

Diagnosis tersebut di atas disesuaikan berdasarkan tingkat


pengetahuan, ketrampilan dan peralatan yang dimiliki oleh
bidan, dokter umum, dokter spesialis obgin atau konsultan
fetomaternal.

DAMPAK PJT

Morbiditas dan mortalitas perinatal kehamilan dengan PJT


lebih tinggi daripada kehamilan yang normal. Morbiditas
perinatal adalah : prematuritas, oligohidramnion, DJJ yang
abnormal, meningkatkan angka SC, asfiksia intrapartum,
skor APGAR yang rendah, hipoglikemia, hipokalsemia,
polisitemia, hiperbilirubinemia, hipotermia, apnea, kejang
dan infeksi. Mortalitas perinatal dipengaruhi beberapa

Pertumbuhan Janin Terhambat 86


faktor, termasuk: derajat keparahan PJT, saat terjadinya
PJT, umur kehamilan dan penyebab dari PJT. Makin kecil
persentil berat badannya makin tinggi angka kematian
perinatalnya.

Pola kecepatan pertumbuhan bayi KMK bervariasi.


Pertumbuhan tinggi badan dan berat badan bayi preterm
KMK yang PJT lebih ketinggalan dibanding bayi preterm
Appropriate for Gestational Age (AGA) yang tidak PJT.

Bukti epidemiologis menunjukkan adanya SGA dengan


meningkatnya risiko dari kejadian kadar lipid darah yang
abnormal, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung
iskemik pada masa dewasa (hipotesis Barker) (Maulik;
Harper, 2004; Barker, 1997).

FETAL SURVEILLANCE / PEMANTAUAN FUNGSIONAL


JANIN

Tes yang dipergunakan adalah Non Stress Test (NST),


Biophysic Profile Score (BPS), Amniotic Fluid Index (AFI)
dan Doppler Velocimetry dari a. umbilikalis atau pembuluh
darah lainnya. False Negative Rate (FPR) NST 2-3 per
1000, NPV 99,8% dan False Positive Rate (FPR) 80%.
NST dilakukan setiap minggu, dua kali perminggu atau
setiap hari, tergantung berat ringannya PJT. BPS efektif
untuk memprediksi keluaran perinatal, FNR 0,8 per 1000,
NPV 99,9% dan FPR 40%-50%.

Pemantauan biometrik janin dengan USG penting untuk


menegakkan diagnosis dini PJT, akan tetapi yang lebih
penting adalah peranan USG dalam menentukan
fungsional janin. Hal ini sangat penting oleh karena akan
menentukan etiologi, derajat beratnya PJT, prognosis janin,
jenis dan waktu tindakan yang harus diambil.

1. Penilaian volume air ketuban :

Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai volume air

Pertumbuhan Janin Terhambat 87


ketuban secara semi-kuantitatif yang sangat bermanfaat
dalam mengevaluasi PJT. Penilaian volume air ketuban
dapat diukur dengan mengukur skor 4 kuadran atau
pengukuran diameter vertikal kantong amnion yang
terbesar. Nilai prediksi oligohidramnion untuk PJT berkisar
antara 79-100% (Phelan, 1985; Manning, 1981). Namun
demikian volume air ketuban yang normal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan adanya PJT.
Janin PJT dengan oligohidramnion akan disertai dengan
peningkatan angka kematian perinatal lebih dari 50 kali dari
bayi normal (Manning, 1981).

Oleh sebab itu oligohidramnion pada PJT diangap sebagai


suatu keadaan emergensi dan merupakan indikasi untuk
melakukan terminasi kehamilan pada janin viable.
Kemungkinan adanya kelainan bawaan yang dapat
menyebabkan terjadinya oligohidramnion (agenesis atau
disgenesis ginjal) juga perlu diwaspadai (Phelan, 1985;
Manning, 1981).

AFI <5 cm dan diameter kantong amnion < 2 cm memiliki


LR positif sebesar 2,5 dan LR negatif 0,94 dan 0,97 dalam
memprediksi volume air ketuban < 5 promil. Suatu
penelitian meta-analisis yang melibatkan 18 penelitian
dengan 10.000 pasien melaporkan bahwa AFI <5
berhubungan dengan peningkatan risiko nilai APGAR 5
menit < 7 (RR:5,2;CI:95%2,4-11,3) (Chauhan, 1999)
(Evidens level I dan III, rekomendasi B) (Coomarasamy,
2002)

2. Penilaian kesejahteraan janin :

Dengan mengetahui kesejahteraan janin, dapat dideteksi


ada tidaknya asfiksia pada janin dengan PJT. Beberapa
cara pemeriksaan dapat dikerjakan, antara lain
pemeriksaan BPS. Kematian perinatal akibat asfiksi akan
meningkat jika nilai skor jumlahnya < 4 (Manning, 1991).
Hasil penelitian meta-analisis melaporkan bahwa penilaian
BPS tidak meningkatkan perinatal outcome. Namun pada

Pertumbuhan Janin Terhambat 88


KRT penilaian BPS memiliki nilai prediksi negatif yang baik.
Kematian janin lebih jarang pada kelompok dengan BPS
yang normal (Alfirevic, 1997). (Evidens level Ia,
rekomendasi A) (Coomarasamy, 2002). Pelaksanaan
penilaian BPS sangat menyita waktu dan tidak dianjurkan
pada pemantauan rutin Kehamilan Risiko Rendah (KRR)
atau untuk surveillance primer janin dengan PJT (Evidens
level IB, rekomendasi A) (Coomarasamy, 2002).

3. Pengukuran Doppler Velocimetry

PJT tipe II yang terutama disebabkan oleh infusiensi


plasenta akan terdiagnosis dengan baik secara Doppler
USG. Peningkatan resistensi perifer dari kapiler-kapiler
dalam rahim (terutama pada HDK) akan ditandai dengan
penurunan tekanan diastol sehingga S/D ratio akan naik,
demikian juga PI dan RI. Pada akhir-akhir ini Doppler USG
dianggap sebagai metode yang paling dini mendiagnosis
adanya gangguan pertumbuhan sebelum terlihat tanda-
tanda lainnya.

Kelainan aliran darah pada pemeriksaan Doppler baru akan


terdeteksi dengan pemeriksaan KTG satu minggu
kemudian. Hilangnya gelombang diastol (AEDF) akan
diikuti dengan kelainan pada KTG 3-4 hari kemudian.
Gelombang diastol yang terbalik (REDF) akan disertai
dengan peningkatan kematian perinatal dalam waktu 48-72
jam (Anandakumar, 1991).

Dengan demikian pemeriksaan Doppler USG dapat


digunakan untuk mengetahui etiologi, derajat penyakit dan
prognosis janin dengan PJT.

4. Pemeriksaan pembuluh darah arteri

a. Arteri umbilikalis

Pada kehamilan yang mengalami PJT, maka gambaran


gelombang Doppler-nya akan ditandai oleh menurunnya

Pertumbuhan Janin Terhambat 89


frekuensi akhir diastol. Pada preeklamsi dan adanya PJT
akan terlihat gambaran gelombang diastol yang rendah
(reduced), hilang (absent), atau terbalik (reversed). Hal ini
terjadi akibat adanya perubahan-perubahan pada
pembuluh darah di plasenta dan umbilikus. Adanya
sklerosis yang disertai dengan obliterasi lapisan otot polos
pada dinding arteriole vili khorialis akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tahanan perifer pada pembuluh-
pembuluh darah tersebut. Sampai pada saat ini
pemeriksaan arteri umbilikalis untuk mendiagnosis keadaan
hipoksia janin pada kasus preeklampsi atau PJT masih
menjadi cara pemeriksaan pilihan oleh karena lebih mudah
mendapatkannya dan mudah interpretasinya (Sebire, 2003)

Hilang (AEDF) atau terbaliknya (REDF) gelombang diastol


arteri umbilikalis berhubungan dengan peningkatan
kesakitan dan kematian perinatal. Walaupun kejadian RDS
dan NEC tidak meningkat dengan kejadian AEDF/REDF,
namun akan disertai dengan peningkatan kejadian
perdarahan serebral, anemia dan hipoglikemia. (Karsdorp,
1994). (Evidens Ia, rekomendasi C) (Coomarasamy, 2002).

Doppler Velocimetry a. umbilikalis pada KRT merupakan


prediktor keluaran perinatal. Pulsatility Index (PI),
Systolic/Diastolic ratio (S/D ratio) dan Resistence Index (RI)
mempunyai sensitifitas 79%, spesifitas 93%, PPV 83%,
NPV 91% dan Kappa Index 73%.

b. Arteri serebralis media (MCA)

Sirkulasi serebral pada kehamilan trimester I, akan ditandai


oleh gambaran absent of end-diastolic flow, kemudian
gelombang diastol mulai akan terlihat sejak akhir trimester
pertama. Doppler velocimetry pada serebral janin juga
membantu mengidentifikasi fetal compromise pada
Kehamilan Risiko Tinggi (KRT). Jika janin tidak cukup
mendapatkan oksigen akan terjadi central redistribution dari
aliran darah dengan meningkatnya aliran darah ke otak,
jantung dan glandula adrenal. Hal ini disebut brain-sparing

Pertumbuhan Janin Terhambat 90


reflux atau brain-sparing effect (BSE), yaitu redistribusi
aliran darah ke organ-organ vital dengan cara mengurangi
aliran darah ke perifer dan plasenta (Abuhamad, 2003).

Pada janin yang mengalami hipoksia (PJT), maka akan


terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter. Pada
keadaan ini, gambaran Doppler akan memperlihatkan
adanya peninggian resistensi atau peninggian indeks
pulsatilitas arteri umbilikasis yang disertai penurunan
resistensi sirkulasi serebral yang terkenal dengan
fenomena BSE yang merupakan mekanisme kompensasi
tubuh untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan
organ-organ penting lainnya. Pada keadaan hipoksia yang
berat, hilangnya fenomena BSE merupakan tanda
kerusakan yang ireversibel yang mendahului kematian
janin.

Velositas puncak sistolis MCA merupakan indikator yang


baik bagi anemia janin dengan inkompatabilitas rhesus,
namun kurang sensitif untuk menegakkan anemia janin
pada janin dengan PJT (Makh, 2003).

3. Cerebroplacental ratio (CPR)

Pemeriksaan rasio otak/plasenta (CPR) janin (yaitu nilai PI


arteri serebralis media (MCA) / nilai PI arteri umbilikalis)
merupakan alternatif lain untuk mendiagnosis PJT.
(Bahado-Singh, 1999). Pemeriksaan CPR bermanfaat
untuk mendeteksi kasus PJT yang ringan.

Janin yang mengalami PJT akibat insufisiensi plasenta


sebelum kehamilan 34 minggu seringkali disertai dengan
gambaran Doppler arteri umbilikalis yang abnormal.
Apabila terjadi gangguan nutrisi setelah kehamilan 34
minggu, bisa terjadi gambaran Doppler arteri umbilikalis
masih normal walaupun respons MCA abnormal. Oleh
sebab itu nilai CPR bisa abnormal pada janin dengan PJT
yang ringan. Setelah kehamilan 34 minggu, nilai indeks
Doppler MCA atau CPR yang menurun harus dicurigai

Pertumbuhan Janin Terhambat 91


akan adanya PJT walaupun indeks arteri umbilikalis masih
normal (Bahado-Singh, 1999). Pemeriksaan CPR juga
diindikasikan pada janin yang kecil dengan nilai Doppler a.
umbilikalis yang normal. Apabila sudah ditemukan
AEDF/REDF pada a.umbilikalis, maka pemeriksaan CPR
tidak diperlukan lagi (Harkness, 2004).

5. Pemeriksaan pembuluh darah vena

a. Vena umbilikalis

Dalam keadaan normal, pada kehamilan trimester I, terlihat


gambaran pulsasi vena umbilikalis sedangkan pada
kehamilan >12 minggu gambaran pulsasi ini menghilang
dan diganti oleh gambaran continuous forward flow.
Pada keadaan insufisiensi uteroplasenta, gambaran pulsasi
VU akan terlihat (kembali) pada trimester II-III dan
gambaran ini menunjukkan keadaan hipoksia yang berat
sehingga sering dipakai sebagai indikasi untuk menentukan
terminasi kehamilan (Loughna,2003).

b. Duktus venosus

Duktus venosus (DV) Arantii, pada akhir-akhir ini banyak


menarik perhatian para ahli untuk diteliti karena perannya
yang penting pada keadaan hipoksia janin. Apabila terjadi
keadaan hipoksia, maka mekanisme sfingter di
percabangan VU ke vena hepatika akan bekerja sebaliknya
akan terjadi penurunan resistensi DV sehingga darah dari
plasenta (VU) akan lebih banyak diteruskan melalui DV
langsung ke atrium kanan dan atrium kiri melalui foramen
ovale. Dengan demikian gambaran penurunan resistensi
DV yang menyerupai gambaran mekanisme BSE,
merupakan petanda penting dari adanya hipoksia berat
pada PJT. Dalam keadaan normal, gambaran arus darah
DV ditandai oleh adanyan gelombang “A” dari takik akhir
diastol. Jadi, merupakan gambaran bifasik seperti

Pertumbuhan Janin Terhambat 92


punggung unta. Puncak yang kedua (gelombang “A”)
merupakan akibat dari adanyan kontraksi atrium.
Dengan bertambahnya umur kehamilan maka akan terjadi
perubahan-perubahan sebagai berikut : terjadi peningkatan
pada time averaged velocity, peak systolic velocity, dan
peak diastolic velocity. Sedangkan peak S/D dengan
sendirinya akan menetap.
Pada keadaan hipoksia seperti pada preeklamsi atau PJT,
maka akan terjadi pengurangan aliran darah yang ditandai
dengan pengurangan atau hilangnya gambaran gelombang
“A”. Pada hipoksia yang berat bisa terlihat gambaran
gelombang A yang terbalik. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa pemeriksaan Doppler DV merupakan prediktor yang
terbaik dibandingkan dengan Doppler arteri uterina dan
KTG (Bilardo, 2004).

PENGELOLAAN

1. Surveillance janin: systematic review dengan meta-


analisis menunjukkan bahwa Doppler pada a.
umbilikalis pada KRT mengurangi morbiditas dan
mortalitas perinatal. RI a. umbilikalis merupakan
prediktor luaran perinatal yang jelek seperti SGA,
APGAR Score yang rendah, KTG yang abnormal dan
pH tali pusat yang rendah (Evidens II). Jika SGA
dengan Doppler a. umbilikalis yang normal
menunjukkan KMK yang kecil tapi normal (Evidens II).
PuIsatile Index (PI), S/D ratio dan RI mempunyai
sensitifitas 79%, spesifisitas 93%, PPV 83% dan NPV
91% Kappa Index 73% (Evidens II).
2. AFI < 5 cm, single pocket < 2 cm ada hubungannya
dengan meningkatnya risiko AS < 7 pada 5 menit
(RR:5,2;95%CI:2,4-11,3) (Evidens I). Reduksi AFV ada
hubungannya dengan meningkatnya mortalitas
perinatal dibanding dengan kontrol (Evidens III).
3. Biophysical Profile Score: ada bukti bahwa BPS pada
KRT mempunyai NPV yang baik dan pada BPS yang
normal jarang terjadi kematian janin. Evaluasi BPS
tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin pada

Pertumbuhan Janin Terhambat 93


KRR. Penilaian BPS pada KRT dikerjakan jika Doppler
a. umbilikalis abnormal dan mempunyai NPV yang baik.
Ada bukti bahwa BPS jarang abnormal jika Doppler a.
umbilikalis normal (Evidens Ib). Nilai BPS efektif untuk
memprediksi luaran perinatal, FNR 0,8 per 1000, NPV
99,9% dan FPR 40-50%. Berlainan dengan NST dan
BPS, efektifitas fetal surveillance dengan cara Doppler
velocimetry a. umbilikalis pada KRT akan meningkatkan
luaran perinatal. Hal ini telah dibuktikan dengan meta-
analisis, terutama pada PJT karena preeklamsia.
4. Evaluasi KTG: FNR NST 2-3 per 1000. NPV 99,8% dan
FPR 80%. Pemeriksaan NST dilakukan setiap minggu,
2 kali perminggu atau setiap hari tergantung berat
ringannya PJT (RCOG Guideline No. 31, 2002).

PERSALINAN

1. Jika End Diastolic (ED) masih ada, persalinan ditunda


sampai umur kehamilan 37 minggu. Kapan saat
terminasi kehamilan dengan PJT sangat bervariasi.
Nilai OR AEDF dan REDF untuk kematian perinatal
masing-masing 4,0 dan 10,6 dibanding dengan jika End
Diastolic Flow masih ada. Insidensi RDS dan NEC tidak
meningkat pada AEDF atau REDF, tetapi meningkatkan
perdarahan otak, anemia atau hipoglikemia (Evidens
IIa).
2. Bila pada surveillance didapatkan AEDF atau REDF
sebaiknya diberikan steroid. Jika yang lain (BPS,
venous Doppler) abnormal segera diterminasi. Jika
umur kehamilan > 34 minggu, meskipun yang lain
normal, terminasi perlu dipertimbangkan.
3. Pemberian kortikosteoid bila umur kehamilan < 36
minggu untuk mengurangi kejadian RDS (Evidens Ia)
4. Persalinan dilakukan di tempat mana ada sumber daya
manusia dan fasilitas resusitasi yang berpengalaman.
5. Monitoring intrapartum dengan KTG
6. Cara persalinan : belum cukup data yang mendukung
seksio sesaria efektif pada semua KMK (RCOG
Guideline No.31, 2002).

Pertumbuhan Janin Terhambat 94


Di empat senter Fetomaternal di Indonesia 66,2% janin
KMK lahir pervaginam, sisanya secara seksio sesaria. Di
RS Dr. Soetomo Surabaya persalinan pervaginam 66%
seksio sesaria 34%.

Dilakukan terminasi kehamilan bila:

i. Rasio FL/AC biometri ≥ 26, janin termasuk PJT berat


ii. Doppler velocimetry a atau v umbilikalis (PI ≥ 1,8) yang
disertai AEDF/REDF
iii. AFI ≤ 4
iv. BPS memburuk
v. KTG: deselerasi lambat
vi. Tambahan: Doppler a. Uterina, MCA, DV.

Terminasi kehamilan mutlak bila: a, b dan c terpenuhi

Umur kehamilan :
a. Umur kehamilan ≥ 37 minggu: terminasi kehamilan
dengan seksio sesaria atau pervaginam bila skala
Bishop ≥ 5.
b. Umur kehamilan 32-36 minggu: boleh konservatif se-
lama 10 hari terutama (50%) terjadi pada preeklamsia.
c. Umur kehamilan < 32 minggu: perawatan konservatif
tidak menjanjikan, sebagian besar kasus berakhir
dengan terminasi.

TERAPI LAIN

Bed rest masih dipertanyakan manfaatnya, tidak ada


perbedaan keluaran janin antara perawatan bed rest
dengan perawatan jalan/ambulatoir. Bed rest bisa
menyebabkan thromboembolism, memerlukan biaya dan
tidak menyenangkan. Nutrisi dengan protein tinggi,
balanced energy/protein supplementation (protein < 25%
energi total) dapat mengurangi PJT.

Pertumbuhan Janin Terhambat 95


Kurang bukti bahwa pemberian oksigen, dekompensasi
abdomen, obat-obat seperti: Ca channel blocker, beta
mimetic dan magnesium menguntungkan dan efektif
mencegah PJT.
Meta-analisis yang melibatkan 13.000 ibu hamil
mendapatkan bahwa pemberian aspirin dapat mengurangi
kejadian PJT tetapi gagal dalam meningkatkan keluaran
perinatal. Pemberian aspirin pada kehamilan risiko tinggi
tidak mengurangi kejadian PJT tetapi mengurangi preterm.
(Maulik, RCOG, Guideline No. 31, 2002).
Menurut The Cochrane Library, Issue 3, 2005, bed rest,
nutrisi, oksigen, beta mimetic, Ca channel blocker dan
hormon belum ada cukup bukti untuk dievaluasi
pengaruhnya bagi pengobatan kehamilan dengan janin
KMK (Say,L,2005)

PENGELOLAAN KEHAMILAN PRETERM DENGAN PJT


(MUHC Guideline)

Umur Kehamilan < 32 minggu :


1. Klasifikasi PJT berdasarkan etiologi: infeksi, kelainan
bawaan atau menurunnya sirkulasi feto-plasenter
2. Tentukan tipe PJT: simetris atau asimetris
3. Obati keadaan ibu, kurangi stres, peningkatan nutrisi,
mengurangi rokok dan atau narkotik
4. Istirahat tidur miring
5. Pemeriksaan USG untuk evaluasi pertumbuhan dan
DV a. umbilikalis setiap 3 minggu sampai UK 36
minggu atau sampai timbul oligohidramnion
6. Evaluasi BPS setiap minggu termasuk NST, diikuti
dengan NST saja pada minggu yang sama.

Dirawat di Rumah Sakit jika :


1. AFI < 2,5 persentil dengan DV a. umbilikalis normal
2. Nilai DV a. umbilikalis hilang (AEDF) atau terbalik
(REDF)

Pertumbuhan Janin Terhambat 96


Terminasi jika :
1. Anhidramnion (tidak ada poket) pada UK 30 minggu
atau lebih
2. Deselerasi berulang
3. Selama 2 minggu tidak ada pertumbuhan janin dan
paru janin sudah masak
4. Hasil DV : AEDF atau REDF

Umur Kehamilan ≥ 32 minggu :


1. Klasifikasi PJT berdasarkan etiologi: kelainan bawaan,
infeksi atau menurunnya sirkulasi feto-plasenter
2. Tentukan tipe PJT: simetris atau asimetris
3. Obati keadaan ibu, kurangi stres, peningkatan nutrisi,
mengurangi rokok dan atau obat narkotika
4. Istirahat tidur miring kekiri
5. Pemeriksaan USG untuk evaluasi pertumbuhan dan
DV a. umbilikalis setiap 3 minggu
6. Setiap minggu dilakukan BPS termasuk NST, diikuti
dengan hanya NST saja pada minggu yang sama.

Dirawat di Rumah Sakit jika :


1. AFI ≤ 5 cm
2. Atau Ekuivokal BPS (6/10)

Terminasi jika :
Oligohidramnion (AFI < 5 cm)
1. Umur kehamilan 36 minggu atau lebih
2. Oligohidramnion pada UK < 36 minggu dikombinasi
dengan DV a. umbilikalis abnormal.

Abnormal Doppler velocimetry a. umbilikalis :


1. Pada UK 36 minggu atau lebih
2. Doppler velocimetry a. umbilikalis REDF setelah 32
minggu
3. Doppler velocimetry a. umbilikalis AEDF setelah 34
minggu, jika AEDF pada < 34 minggu, BPS dua kali
seminggu
4. AEDF + abnormal NST
5. AEDF + oligohydramnion

Pertumbuhan Janin Terhambat 97


Abnormal BPS :
1. Kurang atau sama dengan 4/10
2. Jika BPS ekuivokal (6/10), dirawat dan ulangi 4-6 jam,
jika tetap ekuivokal diterminasi.

Pertumbuhan janin yang kurang :


Jika tidak ada pertumbuhan selama 2 minggu pemeriksaan
USG serial.

Anhidramnion (tidak ada poket) :


Deselerasi berulang.

KESIMPULAN
Secara rasional pengelolaan kehamilan yang tersangka
PJT bisa dimulai dari tindakan untuk menghilangkan faktor
risiko seperti infeksi, kekurangan nutrisi, mengobati
hipertensi, mencegah atau menghilangkan kebiasaan
merokok, dsb.
Berbagai upaya intervensi telah dicoba namun hasilnya
belum dapat direkomendasikan seperti terapi oksigen,
nutrisi, rawat inap di RS, bed rest, beta-mimetic, calcium
channel blockers, terapi hormonal, plasma ekspander,
pemberian aspirin dsb
Pemberian kortikosteroid pada kehamilan 24-36 minggu
dapat menurunkan kejadian sindroma distres pernafasan
(RDS). (Evidens Ia, rekomendasi A).
Pemantauan kesejahteraan janin dengan Doppler USG,
KTG dan BPP. Kehamilan diterminasi apabila ditemukan
gambaran Doppler yang abnormal (AEDF/REDF, A/R
Ductus Venosus flow, pulsasi v.umbilikalisis), abnormal
KTG, atau abnormal BPP (Evidens Ia, rekomendasi A)
(Coomarasamy, 2002).
Apabila kehamilan akan diakhiri, pada janin yang prematur,
pilihannya adalah seksio sesaria. Pada janin yang aterm,
induksi persalinan pervaginam dapat dilakukan dengan
pemantauan intrapartum yang ketat. (Evidens Ia dan III,
rekomendasi C). Belum tersedia data yang cukup untuk

Pertumbuhan Janin Terhambat 98


merekomendasikan bahwa seksio efektif pada semua janin
dengan PJT. (Evidens Ia) (Coomarasamy, 2002)
Apabila Doppler a. umbilikalis memperlihatkan gambaran
ARED atau OCT positif gawat janin maka seksio sesarea
adalah pilihannya. Namun, bila Doppler a. umbilikalis hanya
memperlihatkan peninggian nilai PI dengan OCT yang
negatif, maka induksi persalinan pervaginam akan berhasil
baik pada 30% kasus (Li, 2003).
Diajurkan agar persalinan dilakukan di unit yang memiliki
fasilitas dan ahli perinatologi/neonatus yang baik. Harus
didampingi oleh petugas yang trampil melakukan resusitasi
bayi. (Evidens IV, rekomendasi C) (Coomarasamy, 2002)

Pertumbuhan Janin Terhambat 99


DAFTAR PUSTAKA

Abuhamad, A : Contemporary OB/GYN. Cover Story : Does


Doppler U/S improve outcomes in growth-restricted fetus ?.
(2003); http://obgyn.adv 100.com/obgyn/article/article, Detail.jsp
?id=114932 Alfirevic Z, Neilson JP. Biophysical profile for fetal
assessment in high risk pregnancies. Cochrane Database Syst
Rev 1997;(4).

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) :


Guideline of intrauterine growth restriction (2000).
http://www.guideline.gov/summary/summary.aspx?doc
id=3962&nbr=003100&string=1

Anandakumar C, Wong YC, Chia D. Doppler analyst and colour


flow maping in Obstetrics.In: Ratnam SS, Soon-chye N, Sen DK.
(Eds). Contributions to Obstetrics and Gynecology-Vol 2.
Singapore: Longman Singapore Pub. (Pte) Ltd. 1991: 147-53.

Bahado-Singh RO, Kovanci E, Jeffres A. The Doppler


cerebroplacental ratio and perinatal outcome in intratauterine
growth restriction. Am J Obstet Gynecol 1999; 180: 750-6.
Baschat AA. Pathophysiology of fetal growth restriction:
Implications for diagnosis and surveillance. Obstet Gynaecol Surv
2004;59(8):617-27

Barker, D.J: The long-term outcome of retarded fetal growth. Clin


Obstet Gynecol 1997. 40:853- 63.

Bilardo, C.M., Wolf, H, Stighter, R.H.: Relationship between


monitoring parameters and perinatal outcome in severe, early
intrauterine growth restriction. Ultrasound Obstet Gynecol 2004;
23:1 19-25.

Campbell, S. The assessment of fetal growth by diaghnostic


ultrasounded. Clin. Perinat 1974. 1:507 – 10.f

Chauchan, S.P; Sanderson, M; Hendrix, N.W; Magann, E.F;


Devou, L.D: Perinatal Outcame and amniotic fluid index in the
antepartum and intrapartum period. A Meta Analysis Am J Obstet
Gynecol 1999; 181:174 -8.

Pertumbuhan Janin Terhambat 100


Coomarasamy A, Fisk NM, Gee H, Robson SC. The investigation
and management of small-for-gestational-age fetus. Guideline
No.13. Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
November 2002. Available from:
www.ncl.ac.uk/nfmmg/guidelines/sga%guide.htm

Harkness, VF, Mari G, Diagnosis and management of intrauterine


growth restriction. Clin Perinat. 2004. 31:743 -64.

Harper, T; Lam, G.: Fetal Growth Restriction LastUpdate: August


26, 2004. File://E:/eMedicine-Fetal Growth Restriction Article by
Terry Harper, MD.htm

Karsdorp VH, van Vught JM, van Geijn HP, Kostense PJ, Arduini
D, Montenegro N, et al. Clinical significance of absent or reversed
and diastolic velocity waveforms in umbilical artery. Lancet
1994;344:1664 -4.

Li, H, Gudmundsson S, Olofson P.: Prospect for vaginal delivery


for growth restricted fetuse with abnormal umbilical artery blood
flow. Acta Gynecol Scand 2003; 82:823 -33.

Loughna, P.: Intrauterine Growth Restriction : Investigation and


Management. Curr Obstet Gynecol. 2003; 13:205 -11.

Lin, CC, Evans, M.I.: Intrauterine Growth Retardation.


Pathophysiology and Clinical Management. New York. Mc Graw-
Hill Book Co. 1984.

Makh DS, Harman CR, Baschat AA. Is Doppler prediction of


anemia effective in growth retarded fetus? Ultrasound Obstet
Gynecol 2003; 22:489 -92.

Manakatala, U, Harmeet. Intrauterine Growth Restriction. In;


Zutshi, V, Kumar, A, Batra, S. Problem based approach in
Obstetrics and Gynecology. New Delhi. Jaypee Brothers Medical
Pub Ltd. 2002 P 206-20.

Manning F.A., Hill LM, Platt D.: Qualitative amniotic fluid volume
determination by ultrasound: Antepartum detection of intrauterine
growth retardation. Am J Obstet Gynecol 1981; 139-254 -8.

Pertumbuhan Janin Terhambat 101


Manning F.A., Hohler, C. Intrauterine growth retardation.
Diagnostic, prognostication and management based on
ultrasonograph methods. In: Fleischer, A.C., Romero, R,
Manning, F.A.; Jeanty, P; James, A.E. (Eds). The principles and
th
Practice of Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 4 ed.
London: Practice-Hall Internat. 1991. 331-47.

Maulik, D; Sicuranza, G; Lysikiewiez, A and Fiqueron, R.: Fetal


growth restriction: 3 keys to successful management.
File://G:/OBGmanagement-com%20IUGR,thm.

Miller, H.E. Fetal growth and neonatal mortality. Pediatrics. 1972.


49:392 -5.
th
MUHC Guidelines for Intrauterine Growth Restriction 4 World
Congress Fetal Medicine
File://localhost/G:/Intrauterine%20Growth%20Ristriction,%20Offic
e%20of%20Clinical%20Effectiveness,%20University%20of%20M
issouri%20Health%20Care.htm.

Murray, L: Fetal growth Restriction dalam Obstetrics and


Gynecology An evidenced-based medicine text for MRCOG
International students edition. Ed. David M Luesley and Philip N
Baker 2004.

Phelan JP, Platt LD, Yeh S. The role of ultrasound assessment of


amniotic fluid volume in the management of the post date
pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1985; 151:304 -7.

Peleg, D; Kennedy, CM and Hunter, SK: Intrauterine Growth


Restriction: Identification and Management. August 1998.
http://www.aafp.org/afp/980800ap/peleg.html

Pilu, G; Nicolaides, K; Xymenes, R and Jeanty, P: Small for


Gestational age. Diagnosis of fetal abnormalities,
http://www.centrus.com.br/Diplomat FMF/series FMF/18-
23weeks/chapter-13/sga-01.html

Royal College of Obstetricians and Gynecologists: The


investigation and management of the small for gestational age
fetus. Guideline No. 31 November 2002.
www.reog.org.uk/resources/public/pdf/Small-Gest-Fetus-
No.031.pdf

Pertumbuhan Janin Terhambat 102


Sebire NJ. Umbilical artery Doppler revisited: pathophysiology of
changes in intrauterine growth restriction revealed. Ultrasound
Obstet Gynecol 2003; 21:419-22.

Say, L; Guimezoglu, AM; Hofmeyr, GJ: The Cochrane Library,


Issue 3, 2005. http://www.update-
software.come/abstract/ab000148.htm

Sheridan, C. intrauterine growth restriction. Diagnosis and


Management. Aus. Fam. Phisic. 2005. 34:717 -23

Weiner, C.P.; Baschat, A.A. Feta Growth Restriction and


Management. In: James, D.K.; Steer, P.J.; Weiner, C.P.; Gonek,
B. (Eds). High risk pregnancy. Management options. London WB
rd
Saunders 23 .2000.pp: 291-308.

Wolstenhlme, J and Wright, C. 2000 : Gene, chromosome and


IUGR. In: Kingdom, J and Baker, P. (Eds): Intrauterine Growth
Restriction.

Pertumbuhan Janin Terhambat 103


PENATALAKSANAAN BAB VI
KEHAMILAN
MULTIFETUS

TUJUAN

Kehamilan multifetus selalu dikaitkan dengan berbagai


masalah medis dan nonmedis. Saat ini kehamilan
multifetus/ ganda/ multipel semakin sering terjadi,
sehubungan dengan metode reproduksi berbantu.
Kemajuan manajemen perinatologi mendukung penurunan
angka morbiditas dan mortalitas neonatus pada kehamilan
ganda. Sejalan dengan hal tersebut penyulit dalam
kehamilan seperti preeklamsia dan perdarahan pada
kehamilan ganda tetap menjadi masalah yang
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas maternal. Twin to
twin transfusion syndrome (TTTS) dan kehamilan kembar
siam adalah beberapa penyulit kehamilan ganda yang
memerlukan perhatian khusus. Panduan berikut bertujuan
memberikan penjelasan mengenai tatalaksana kehamilan
multifetus untuk pelayanan kehamilan praktis.
Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus
104
HARAPAN

Pemahaman atas konsep penatalaksanaan kehamilan


multifetus akan menurunkan morbiditas dan mortalitas
maternal dan neonatus.

PENDAHULUAN

Insiden kehamilan multipel terus meningkat, sesuai dengan


semakin meningkatnya penggunaan obat-obatan untuk
induksi ovulasi dan Teknologi Reproduksi Berbantu
(TRB).1,2 Morbiditas dan mortalitas meningkat pada
kehamilan multipel dibandingkan kehamilan tunggal.1
Pengaruh kehamilan multipel pada masalah ekonomi,
sosial dan emosional lebih besar pada kehamilan multipel.

DEFINISI

Kehamilan multipel: kehamilan dengan 2 janin atau lebih.


Kehamilan ganda monozigotik/ kembar identik: kehamilan
ganda yang terjadi dari 1 telur yang dibuahi oleh 1 sperma.
Kembar identik dapat bersifat dikorion-diamnion,
monokorion-diamnion, atau monokorion-monoamnion.
Jenis kelamin sama, wajah serupa, dst. Kehamilan ganda
dizigotik adalah kehamilan yang berasal dari 2 telur yang
dibuahi sperma yang berbeda. Jumlah kehamilan ini kira-
kira 2/3 total kehamilan ganda. Jenis kelamin dapat sama
atau berbeda, dan mereka berbeda seperti anak-anak lain
dalam keluarga

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KEHAMILAN


GANDA

1. Ras
2. Keturunan. Keturunan kembar dari pihak bapak tidak
meningkatkan kemungkinan kehamilan kembar

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


105
3. Usia ibu. Semakin tinggi umur semakin tinggi
frekuensinya (> 35 tahun), setelah umur 40 tahun
frekuensi kehamilan kembar menurun lagi.
4. Paritas. Frekuensi kehamilan kembar meningkat sesuai
dengan paritas ibu
5. Tinggi Badan. Penelitian di Eropa menunjukkan bahwa
kembar dizigot lebih sering terjadi pada ibu yang
mempunyai tinggi badan lebih tinggi dibandingkan
dengan kembar monozigot. Tinggi badan ayah yang
pendek mengurangi angka kejadian kembar di Eropa.
6. Waktu konsepsi. Kemungkinan kehamilan kembar
meningkat sesaat setelah penghentian kontrasepsi pil
7. Teknologi reproduksi berbantu. Induksi ovulasi ataupun
In Vitro Fertilization (IVF). Sekitar 25-30% kehamilan
dari IVF adalah kembar, 5% triplet, dan <1% adalah
kuadriplet atau lebih.

REKOMENDASI

Kehamilan kembar lebih banyak terjadi A


pada kehamilan yang berasal dari fertilisasi
in vitro daripada kehamilan spontan.

Keturunan kembar dari pihak bapak tidak C


meningkatkan kemungkinan kehamilan
kembar

ASUHAN ANTENATAL

Konseling
Pasien harus mendapat informasi tentang adanya
peningkatan morbiditas dan mortalitas feto-maternal pada
kehamilan ganda, termasuk prematuritas, pertumbuhan
janin terhambat, kelainan kongenital, Twin to Twin
Tranfusion Syndrome (TTTS), cerebral palsy, diabetes
gestasional, preeklamsia dan perdarahan pasca salin.1,2,3

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


106
1. Kehamilan multipel menyebabkan 17% persalinan
preterm (< 37 minggu), 23% persalinan preterm dini
(<32 minggu), 24% berat badan lahir rendah (<
2500 g) dan 26% berat badan lahir sangat rendah
(< 1500 g) .2
2. Risiko gangguan mental dan fisik lebih besar.2
3. Pertumbuhan janin terhambat didapatkan pada 14-
25% pada kehamilan gemeli dan lebih besar pada
kehamilan triplet dan quadriplet.2
4. Insiden cerebral palsy 4x dan 17 x lebih sering pada
kehamilan gemeli dan triplet.2
5. Diabetes gestasional 3-6% lebih tinggi pada
kehamilan gemeli.2 6. Preeklamsia 2,6 x lebih tinggi
pada kehamilan gemeli.2
6.
Pada kehamilan monokorion, morbiditas dan mortalitas
lebih besar. 2
1. TTTS terjadi pada 10-15% kasus.4
2. Kematian janin pada trimester kedua ( < 24 minggu)
lebih besar.4
3. Berat badan lahir dan usia kehamilan rata-rata lebih
rendah.4

Diskusikan kebutuhan pasien/keluarga yang berhubungan


dengan masalah yang dapat timbul pada kehamilan
multipel, termasuk masalah sosial dan ekonomi yang lebih
besar pada kehamilan multipel, terutama akibat persalinan
preterm.4

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan USG dilakukan pada UK 10-13 minggu, untuk
menilai viabilitas, korionisitas, kelainan kongenital mayor,
dan nuchal translucency (NT). Korionisitas dinilai dengan
USG pada UK 10-14 minggu. 3,4,5 Pengukuran panjang
serviks dengan menggunakan USG transvaginal berguna
untuk memprediksi terjadinya persalinan preterm. Panjang
serviks < 25 mm pada usia kehamilan 24 minggu
merupakan prediktor terjadinya persalinan preterm.2

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


107
Penilaian Doppler dilakukan setelah usia kehamilan 24
minggu. Perbedaan rasio sistolik-diastolik arteri umbilikalis
(SDAU) antara kedua janin > 0,4, memiliki sensitivitas
sebesar 42-73% dalam memprediksi terjadinya berat badan
lahir rendah. Perbedaan pulsatility index (PI) > 0,5 memiliki
sensitivitas 78% dalam memprediksi perbedaan berat
badan > 20% antara kedua janin.6

Pada dikorion:4
1. Evaluasi adanya kelainan struktur: usia kehamilan
20-22 minggu.
2. Penilaian pertumbuhan janin secara serial: usia
kehamilan 24,28, dan 32 minggu, kemudian tiap 2-4
minggu.

Pada monokorion:3,4
1. Pemeriksaan NT berguna untuk skrining aneu-
ploidi dan tidak bermanfaat untuk memprediksi
adanya TTTS.
2. Perbedaan NT > 20% berhubungan dengan risiko
kematian janin sebesar 63% dan risiko terjadinya
TTTS yang berat sebesar 52%.
3. Penilaian TTTS dan pertumbuhan diskordan: usia
kehamilan 16 minggu, kemudian tiap 2-3 minggu.
4. Evaluasi kelainan struktur janin: usia kehamilan 20-
22 minggu (termasuk pemeriksaan gambaran
jantung yang diperluas/Echo).
5. Evaluasi USG tiap 2-3 minggu mulai usia kehamilan
16 minggu hingga persalinan.

REKOMENDASI

Deteksi dini jenis korion dan pemantauan perkembangan janin B


dengan ultrasonografi mengurangi risiko morbiditas perinatal hingga
delapan kali lipat.

Deteksi twin to twin transfusion syndrome ditegakkan dengan B


ultrasonografi dan karakteristiknya berupa diskordansi ukuran dan
jumlah cairan amnion antara kedua janin.

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


108
PENCEGAHAN PRETERM

Ukuran panjang serviks dan fibronektin berguna untuk


memprediksi persalinan preterm. Panjang serviks
berhubungan dengan risiko persalinan preterm.
Pengukuran panjang serviks dapat dilakukan dengan
pemeriksaan USG transvaginal atau melalui pemeriksaan
digital. Pemeriksaan panjang serviks dengan digital aman
dilakukan dan memiliki nilai prediksi positif 60-70%.
Pemasangan cerclage profilaksis tidak memperpanjang
usia kehamilan dan memperbaiki luaran perinatal.
Konsentrasi fibronektin > 50 ng/mL pada cairan serviko-
vaginal merupakan prediktor terjadinya persalinan preterm.
Pemantauan aktivitas uterus di rumah tidak mencegah
terjadinya persalinan preterm. Perawatan di rumah sakit
tidak mencegah persalinan preterm atau kematian
perinatal, sebaliknya meningkatkan risiko preterm dan
tekanan psikososial pada ibu. Belum ada penelitian
prospektif manfaat pembatasan aktivitas dan istirahat di
rumah dalam mencegah persalinan preterm. Penggunaan
tokolisis profilaksis pada kehamilan multipel masih
kontroversial, dan komplikasi yang ditimbulkan akibat
penggunaan agen tokolisis lebih sering ditemukan pada
kehamilan multipel. Kortikosteroid diberikan apabila terjadi
persalinan preterm.

REKOMENDASI

Pada gemeli, resiko persalinan preterm sebelum 32 A


minggu terjadi lebih banyak pada gemeli monokorionik
(9.2%), dibandingkan dikorionik (5.5%).

TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME (TTTS)


Kriteria Diagnosis:4
1. Plasenta monokorion (tunggal)
2. Jenis kelamin sama
3. Salah satu oligohidramnion (single pocket terdalam
< 2cm), yang lain polihidramnion (single pocket
terdalam > 8cm)
Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus
109
4. Kondisi berat: Gangguan hemodinamik dan jantung
pada salah satu janin, atau tampilan vesika yang
berbeda.

Tatalaksana:5
1. Tanpa intervensi (survival 0-30%)
2. Amnioreduksi (survival64%)
3. Fotokoagulasi laser (survival 55%)
4. Septostomi (survival83%)

REKOMENDASI

Amnioreduksi serial merupakan terapi pilihan bagi TTTS C


apabila tidak tersedia metode foto koagulasi laser

Kematian satu janin


Risiko kematian dan kelainan neurologis pada janin yang
hidup sebesar 12% dan 18%. Risiko ini lebih besar pada
kehamilan monokorionik.4 Janin yang hidup memiliki risiko
mengalami hipotensi yang berat dan berkepanjangan.2
Anemia pada janin dinilai melalui pengukuran puncak
kecepatan sistolik (peak systolic velocity) pada arteri
serebri media dengan menggunakan doppler.4
Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan
risiko yang dapat terjadi pada ibu.2

Cara Persalinan
Persalinan per-vaginam dilakukan di rumah sakit yang
dapat melakukan pemantauan intrapartum yang ketat,
seksio sesarea segera dan tersedia tim medis yang
berpengalaman dan peralatan resusitasi neonatus.
Ibu diberikan akses intravena dan analgesia yang adekuat.
Kehamilan Dikorion3,4
1. Pada UK 34-36 minggu, didiskusikan cara
persalinan dan perawatan intrapartum.
2. Pengakhiran kehamilan dilakukan pada UK 37-38
minggu lengkap.

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


110
Kehamilan Monokorion3,4
1. Pada UK 32-34 minggu, didiskusikan cara
persalinan dan perawatan intrapartum.
2. Pengakhiran kehamilan dilakukan pada UK 36-
37minggu lengkap (tanpa komplikasi).

Catatan: Penatalaksanaan kehamilan multipel termasuk


waktu dilakukan terminasi kehamilan dan cara persalinan,
masih kontroversial. Penanganan dengan managemen aktif
kala tiga merupakan suatu kewajiban karena tingginya
kemungkinan terjadinya perdarahan pasca salin karena
peregangan uterus yang berlebihan pada kehamilan
gemeli. Pada semua keadaan, peregangan tali pusat
terkendali dan pemberian oksitosin dapat mengurangi lama
waktu dan perdarahan baik pada persalinan pervaginam
maupun perabdominal. Harus dilakukan inspeksi yang teliti
tentang kelengkapan plasenta, mengingat pada persalinan
gemeli didapatkan peningkatan kelainan bentuk plasenta
dan lobus suksenturia

REKOMENDASI

Rute persalinan pada kehamilan kembar perlu B


mempertimbangkan presentasi fetus, taksiran berat
janin, ada tidaknya diskordansi, pengalaman
operator, ketersediaan USG dan umur kehamilan.

Indikasi SC elektif pada kehamilan kembar :


monoamniotik dan kembar siam. C

Penanganan dengan managemen aktif kala tiga


merupakan suatu kewajiban karena tingginya B
kemungkinan terjadinya hemoragi postpartum.

PENATALAKSANAAN PASCA PARTUM

Penanganan balans cairan yang ketat, mengingat


kemungkinan terjadinya edema paru yang lebih tinggi pada
pasca persalinan gemeli, pengawasan ketat terhadap
adanya gejala klinis kesulitan bernafas, agitasi dan
Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus
111
takipnea dapat dipastikan dengan pemeriksaan fisik ada
atau tidaknya ronki basah dan juga pada pemeriksaan
roentgen dada.
Pengawasan terhadap terjadinya infeksi pasca salin,
terutama endomiometritis pada pasca seksio sesaria yang
meningkat dibandingkan dengan persalinan fetus tunggal,
pengukuran temperatur yang rutin selama beberapa hari
pasca partum, penelusuran adanya tanda klinis seperti
nyeri abdomen, nyeri dada, nyeri bagian ekstremitas
bawah, disuria dan gejala lainnya harus ditanyakan tiap
hari.
Peningkatan kejadian trombosis vena meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah seksio sesaria pada kehamilan
gemeli. Gejala klinis yang harus diperhatikan adalah timbul
rasa nyeri yang sangat secara tiba-tiba dan menyangkut
salah satu ekstremitas dapat juga tidak khas, seperti
demam yang tidak tinggi dan takikardia.
Tambahan kalori untuk dikonsumsi oleh ibu sebanyak 500-
600 kcal per bayi per hari untuk kelancaran laktasi dengan
komposisi 20% protein, 40% karbohidrat dan 40% lemak.
Ibu diedukasi untuk cukup mengkonsumsi cairan dan juga
posisi menyusui yang baik dengan posisi double football,
double cradle atau kombinasi.
Identifikasi dini terjadinya post partum blues dikarenakan
tingginya tenaga yang harus dikeluarkan untuk pemenuhan
kebutuhan ASI dan perawatan bayi gemeli, penunjukan
rasa empati bahkan hingga rujukan ke spesialis jiwa
merupakan penanganan kesinambungan gangguan mood
yang umumnya terjadi 3 bulan setelah persalinan.
Penapisan dengan menggunakan Edinburgh Postnatal
Depression Scale dapat memberikan gambaran ada atau
tidaknya depresi yang terjadi pada ibu setelah melahirkan.

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


112
ALUR PENATALAKSANAAN

Kehamilan
Ganda

Dikorionik Monokorionik Komplikasi

Asuhan • Konseling
Antenatal • Pemeriksaan USG
• Pencegahan persalinan
preterm

Waktu
Persalinan
Cara

Twin to twin
transfusion
syndrome
Kematian satu
janin
Perawatan
pasca partum

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


113
DAFTAR PUSTAKA

1. Society Obstetricians and Gynecologists of Canada


consensus statement. Management of Twin
Pregnancies (part 11). Report of Focus Group on
Impact of Twin Pregnancies. Journal SOGC. 2000.
2. American College of Obstetricians and Gynecologists.
Clinical Management Guidelines for Obstetrician-
Gynecologists No 56. 2004.
3. Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
Consensus views arising from the 50th study group:
Multiple Pregnancy. 2006.
4. Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
Green-top Guideline No 51: Management of
Monochorionic Twin Pregnancy. 2008.
5. Society Obstetricians and Gynecologists of Canada
consensus statement. Management of Twin
Pregnancies (part 1). Journal SOGC. 2000.
6. Maulik D, Zalud I. Doppler Ultrasound in Obstetrics and
Gynecology. Springer. 2005Flamm BL, Geiger AM.
Vaginal birth after cesarean delivery: an admission
scoring system. Obstet Gynecol, 1997;90:907-10.

Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


114
KELAINAN BAWAAN BAB VII

Pendahuluan

Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 7,6 juta bayi lahir


setiap tahun dengan kelainan bawaan dan sekitar 90%
terdapat di Negara dengan penghasilan sedang atau
rendah (WHO 1998). Kelainan bawaan mayor terjadi
sekitar 3% dari bayi yang lahir hidup dan 50% dari kelainan
ini sudah diketahui sejak baru lahir, sedangkan sisanya
baru tampak nyata pada masa anak atau dewasa. Kelainan
ini mempunyai peran besar pada tingginya angka kematian
bayi, di samping morbiditas pada anak dan dewasa
(Vrijheid M. et al., 2000). Di Negara maju maupun Negara
berkembang angka kematian bayi sudah menurun sebesar
68,8% dari tahun 1950-1994, tetapi angka kematian bayi
karena kelainan bawaan hanya menurun sebesar 33,4%
(Rosano A.et al., 2006). Kematian perinatal di Indonesia
meskipun sudah dapat diturunkan, tetapi kematian neonatal
dini masih tinggi. Jika angka kematian bayi karena infeksi,
asfiksia, prematuritas bisa ditekan, maka masalah kelainan

Kelainan Bawaan 115


bawaan akan berperan besar untuk terjadinya kematian
bayi di Indonesia.
Isi buku panduan ini juga memuat beberapa kutipan dari
makalah kuliah utama dan presentasi mengenai kelainan
bawaan serta diskusinya, di samping masukan para
peserta rapat rekomendasi PIT Feto Maternal VII di
Denpasar Bali.
Buku panduan ini diharapkan dapat menigkatkan kehirauan
SpOG terhadap masalah kelainan bawaan, di samping
sebagai panduan penanganan secara umum. Karena itu
maka pengelolaannya disesuaikan dengan kemampuan
pelayanan, fasilitas yang ada dan hasil komunikasi serta
konseling dengan pasien dan keluarganya.

Definisi dan Klasifikasi

Menurut Williams Obstetrics (2005) kelainan bawaan dapat


diklasifikasikan sebagai :
1. Malformasi ; kelainan genetic, sehingga sejak
pertumbuhan sudah mengalami kelainan
2. Deformasi ; kelainan karena mekanik, bukan
genetic.
3. Disrupsi ; kelainan yang bukan karena genetic tetapi
ada intervensi yang menyebabkan keadaan ini.
4. Fenokopi ; kelainan minor yang sebabnya bisa
berbeda-beda
5. Sindrome ; kelainan yang manifestasinya
bermacam-macam tetapi penyebabnya satu.
6. Sekuense ; kelainan yang terjadi ber-urutan yang
disebabkan karena satu sebab.
7. Asosiasi ; kelainan yang munculnya bersamaan
tetapi, etiologinya bisa berbeda-beda.

Dari pemerikasaan USG kelainan bawaan dapat dibagi


menjadi dua kelainan besar:
1. Kelainan Mayor ; kelainan anatomis jelas terlihat
dari USG, dan mempunyai kepentingan medis,
chirurgis atau kosmetis dengan pengaruh pada

Kelainan Bawaan 116


kesakitan dan kematian (misal ; hidro sefalus,
anensefalus).
2. Kelainan Minor ; kelainan yang tidak mempunyai arti
medis, chirurgis atau kosmetis yang serius dan tidak
berpengaruh pada harapan hidup normal maupun
gaya hidup (misal ; hernia umbilikalis, mikropenis,
dll).

Pembagian lain menurut WHO :


• Lethal (misal : anensefalus).
• Berat : kelainan yang jika intervensi medis tidak
dilakukan, akan menyebabkan handicap atau
kematian.
• Ringan : kelainan yang memerlukan intervensi medis
tetapi masih ada harapan hidup (misal : undescensus
testiculorum).

Angka kejadian kelainan bawaan

Belum banyak data yang menggambarkan berapa besar


angka kejadian kelainan bawaan di Indonesia, baik angka
kejadian di rumah sakit maupun angka di populasi.
Laporan dari beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia
yang dapat dikumpulkan dari Manado, Denpasar,
Surabaya, Jogjakarta dan Surakarta pada bulan Januari
2004 – Juli 2005, mendapatkan angka kejadian rata-rata
3,72% dengan variasi 0,88 sampai dengan 7,71%.
Diagnosa kelainan bawaan 63,18% ditegakkan setelah
bayi lahir, 21,25% intranatal dan 11,81% antenatal. Nasib
dari bayi dengan kelainan bawaan 30,15% lahir mati,
13,38% mengalami kematian neonatal dini dan 31,49%
hidup, tetapi tidak diketahui nasibnya.
Bayi dengan kelainan bawaan, 86,81% merupakan
kelainan tunggal dan 13,29% kelainan multipel; 36,81%
kelainan kranio fasial; 26,38% kelainan gastrointestinal;
4,58% kelainan jantung dan sisanya merupakan kelainan
pada organ lainnya (sumber Sub. Bagian FetoMaternal dari
RS di kota tersebut diatas tahun 2005).

Kelainan Bawaan 117


Etiologi

Kelainan bawaan dapat disebabkan oleh :


1. Kelainan genetic 30% (single gene disorder atau
chromosomal anomaly). Kelainan bawaan mayor
akan terjadi sebanyak 2-3% dari bayi yang lahir,
dimana sebagian dari kelainan ini berupa autosomal
trisomi dan sebagian kelainan seks kromosom.
2. Multi faktor karena interaksi antara unsur genetik
dan lingkungan (30%), dan sisanya tidak diketahui
sebabnya. Kelainan ini disebabkan oleh teratogen
yaitu segala unsur atau bahan yang bisa
menyebabkan kelainan struktur dan atau fungsi,
gangguan pertumbuhan dan kematian janin.
Teratogen bisa berupa obat, faktor lingkungan
seperti radiasi, bahan logam, infeksi (misal :
TORCH, lues) dan lain lain. Bahwa terjadinya
kelainan bawaan lebih tinggi pada bayi yang lahir
sebagai hasil dari In Vitro Fertilization (IVF) atau
Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI) masih
kontroversi. Simpson 2002, melaporkan 50% dari
abortus pada kehamilan trimester pertama dan 5%
dari bayi lahir mati ternyata mengalami kelainan
kromosom.

Pada perkembangan hasil konsepsi, ada 3 fase kepekaan


terhadap teratogen. Pada praorganogenesis akan
menyebabkan kematian hasil konsepsi, pada fase
embrionik akan menyebabkan kelainan bawaan mayor dan
pada fase fetal akan menyebabkan kelainan bawaan minor
dan kelainan fungsi.
Pada gambar dibawah dapat dilihat kepekaan embrio/fetus
terhadap paparan teratogen, berhubungan dengan
organogenesis dan kemungkinan kelainan bawaan.

Kelainan Bawaan 118


Pre
Organoge EMBRYONIC PERIOD FETAL PERIOD
nesis (weeks) (weeks)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 20 38

FUNCTIONAL DEFECT AND


DEATH MAJOR MALFORMATIONS
MINOR MALFORMATIONS

Gambar 1 :
Derajat kepekaan embryo terhadap teratogen pada masa perkembangan.
(Williams Obstretics, 2005)

Pengelolaan kelainan bawaan

Pengelolaan kelainan bawaan di suatu rumah sakit


ditentukan oleh beberapa kondisi antara lain: prevalensi
dan jenis kelainan bawaan di daerah tersebut, etiologi,
fasilitas yang ada, pengetahuan dan kehirauan pengelola,
dan pendidikan masyarakat.

Keadaan dan langkah yang perlu diperhatikan adalah :

1. Faktor risiko
Kecurigaan akan adanya kelainan bawaan harus
dimunculkan, antara lain pada:
- Ibu hamil dengan umur lebih dari 35 tahun
- Riwayat turunan dengan kelainan bawaan
- Penderita Diabetes Melitus
- Tercemar bahan teratogen pada kehamilan
- Pertumbuhan janin abnormal

Kelainan Bawaan 119


- Bayi kembar terutama kalau terdapat volume air
ketuban tidak normal.
- Tetapi sebagian dari kelainan bawaan dapat terjadi
pada ibu yang tidak mempunyai factor risiko. Pada
bayi kembar kemungkinan adanya aneuplody dua
kali pada masing-masing bayi kembar dizygot
dibandingkan dengan masing-masing bayi yang
kembar monozygot (Jenkin et al., 2004). Untuk
mengenal faktor risiko, maka perlu diketahui etiologi
dan teratogen yang menyebabkan terjadinya
kelainan tersebut.
Penelitian mengenai kelainan genetik terus
berkembang terutama secara biomolekuler untuk
dicarikan pemecahannya ke arah terapi genetik.
Penelitian saat ini telah berkembang ke arah
bagaimana suatu teratogen bisa menyebabkan
kelainan bawaan (Wilson, Simpson JL & Niebyl JR,
2000).

Kepekaan terhadap teratogen tergantung dari :


a. Genotip hasil konsepsi
b. Waktu terpaparnya hasil konsepsi pada fase
perkembangan
c. Mekanisme dari teratogenesis
d. Manifestasi dari kelainan bawaan
e. “Nature” dari teratogen
f. Dosis teratogen

2. Skrining

Beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk


menentukan perlu atau tidak dilakukan skrining untuk
kelainan bawaan di Indonesia :
a. Berapa besar angka kejadian kelainan
bawaan di Indonesia
b. Apakah kelainan bawaan ini memberikan
dampak yang besar
c. Kalau diagnosa ditegakkan apakah
intervensi/terapi bisa dilakukan

Kelainan Bawaan 120


d. Skrining harus mudah dan murah

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk


skrining adalah :
a. Maternal serum skrining (MSS);
pemeriksaan serum darah ibu pada
kehamilan 16 minggu (15-20 mg) yang
dilakukan untuk mengetahui adanya
sindroma Down sebesar 75%, Trisomi 18
60-80%. Risiko terjadinya sindroma Down
akan meningkat hingga 80% bila dilakukan
gabungan pemeriksaan triple screening
meliputi: alpha-feto-protein (AFP), human
chorionic gonadotropin (HCG), dan
unconjugated estriol (uEs).
b. Pemeriksaan genetik untuk beberapa
kelainan bawaan seperti: Thalassemia,
Trisomi 21, Trisomi 18, dll.
c. Pemeriksaan laboratorium seperti : anti bodi
TORCH, Lues.
d. USG, morphologic scanning pada kehamilan
20-22 minggu

3. Pencegahan

Meskipun sebagian besar dari kelainan bawaan sampai


saat ini belum dapat dicegah, tetapi beberapa faktor
risiko dapat dihindarkan.
a. Pencegahan primer
 Menghindari tercemar dengan bahan-bahan
teratogen pada masa kehamilan
 Pemberian Asam Folat akan menurunkan
angka mortalitas dan morbiditas sebesar 72%
(42-87%) dan penurunan kematian spesifik
karena kelainan bawaan sebesar 1-10%
 Vaksinasi Rubella
 Menghindari merokok, minum alkohol
 Kontrol DM pada kehamilan

Kelainan Bawaan 121


 Pencegahan pertumbuhan janin terhambat
 Pre-marital konseling, menghindari kawin
dengan pasangan sedarah atau kawin keluarga
jika diduga terdapat riwayat adanya kelainan
kromosom

b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
diagnosis prenatal. Pemeriksaan prenatal dapat
dilakukan untuk beberapa kelainan bawaan. Kalau
terdapat keraguan maka konsultasi harus dilakukan
sampai dibuat diagnosa definitif.
Diagnosis prenatal yang dapat dilakukan oleh
seorang SpOG ialah melakukan USG pada awal
kehamilan untuk mengetahui kemungkinan adanya
kelainan bawaan pada bayi. Untuk NT dilakukan
pada kehamilan 11-13 minggu, sedangkan untuk
mengetahui kelainan bawaan mayor pada
kehamilan 20-22 minggu dengan tujuan :
 Untuk memastikan apakah ada kelainan atau
tidak.
 Mengetahui kemungkinan kelainan bawaan
lethal atau tidak.
 Mengetahui kelainan bawaan yang mungkin
diterapi intra uterin.
 Menentukan bayi yang memerlukan follow up
post natal karena ada potensi cacat.
 Menolong, mempersiapkan dan mengondisikan
orang tua bayi dengan kelainan bawaan terkait.

Indikasi untuk menegakkan diagnosis prenatal,


sangat penting pada kelompok risiko (Chia P &
Raman, 2004.):
 Kehamilan pada usia 35 tahun atau lebih.
 Ibu hamil dengan kelainan janin pada
pemeriksaan dengan USG.
 Riwayat keluarga dengan kelainan kromosom.
 Pasangan dengan bayi lahir mati atau bayi
cacat.

Kelainan Bawaan 122


 Kelainan kromosom pada satu atau kedua
orang tua.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :


a. Pemeriksaan non invasif
USG ; untuk mengetahui kelainan bawaan
secara dini, melakukan investigasi dan bila
mungkin diikuti prosedur terapi invasif intra
uterin. Pada kehamilan 11-13 minggu dapat
dilakukan pengukuran nuchal translucency (NT)
dan pada 20-22 minggu dapat diidentikasi
adanya kelainan organ sedang pada kehamilan
trimester terakhir dapat diketahui adanya
pertumbuhan janin terhambat.
Temuan USG yang berkaitan dengan kelainan
bawaan :
 Jumlah air ketuban: oligo/poli-hidramnion.
 Ada pertumbuhan janin terhambat.
 Kelainan bentuk tubuh janin.
 Kelainan morfologi sruktur intra fetal.
 Ukuran biometri janin abnormal.
 Arteri umbilikal tunggal.
 Aktifitas biofisik janin berkurang.

b. Pemeriksaan Invasif
Amniosentesis ; dilakukan untuk kariotiping
janin, peningkatan AFP pada NTD, kematangan
paru janin dan spektrometri bilirubin pada
alloimunisasi darah merah. Fluorescent in situ
hybridization (FISH), dapat diaplikasikan pada
amniosentesis dan CVS, untuk mengetahui
adanya aneuploidi kromosom 21, 18, 13, X dan
Y.
1) Chorionic Villous Sampling (CVS) ; pada
kehamilan 10-12 mg, dilakukan sitogenetik
dan pemeriksaan DNA janin.
2) Fetal Blood Sampling ; dilakukan untuk tes
diagnostik dari rapid karyotype,

Kelainan Bawaan 123


alloimmunization, infeksi janin, auto
immunization.
3) Fetal Organ Biopsy (hati, otot, dan kulit) ;
pada beberapa penyakit yang hanya dapat di
diagnosis dengan cara ini, seperti inborn
errors of metabolism (karena kelainan enzim
pada parenkim hati), muscular dystrophy
dengan biopsi otot dan adanya kelainan kulit
yang jarang pada janin dalam kandungan.

4. Konseling Prenatal
Pengetahuan mengenai kelainan bawaan yang
disebabkan karena kelainan genetik pada seseorang,
tanpa adanya pilihan terapi akan menyebabkan
kekecewaan yang sebenarnya tidak perlu pada
seseorang dan hanya akan menyebabkan seseorang
dikucilkan dari pergaulan umum (WHO, 2005).
Seorang dokter seharusnya mempunyai pengetahuan
dasar mengenai prinsip teratology seperti “six general
principle of teratogenesis” (Simpson J L & Nielby J R,
2002). Karena hal tersebut maka sebagai dokter harus
mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai
masalah tersebut untuk bisa memberikan konsultasi
genetik kepada masyarakat, khususnya pasien dan
keluarganya. Prenatal konseling penting dan kalau
perlu diberikan secara multi disiplin.

Beberapa opsi yang harus di sampaikan dan


didiskusikan dengan segala aspeknya, adalah :
• Apakah kehamilan dilanjutkan atau diterminasi
• Kemungkinan terapi intra uterin
• Dimana tempat terapi ini bisa dikerjakan
• Rekomendasi cara melahirkan dan tempat di mana
sebaiknya melahirkan

5. Terapi

Pelayanan medik yang diberikan pada pasien dengan


bayi kelainan bawaan diharapkan berdasarkan :

Kelainan Bawaan 124


1) Keputusan standar profesi medik
2) Keputusan standar hukum
3) Keputusan standar spiritual
4) Keputusan standar etik-medik dan moral
5) Harapan pasien dan kepuasan pasien
Semua keadaan diatas harus dijadikan acuan dalam
mengambil keputusan dan setelah dilakukan diskusi
dengan para pakar, pasien dan keluargannya, barulah
ditentukan tindakan apa yang akan dilakukan.
Berdasarkan hal diatas maka penanganan pada
kehamilan dengan kelainan bawaan sangat tergantung
pada :
1) Ibu hamil dan keluarganya, setelah mempertimbang
kan masalah psikologik, sosial, ekonomi, agama
atau kepercayaan.
2) Kemampuan dan kemauan dokter dalam memberi
kan pertolongan.

Secara umum penanganan kelainan bawaan adalah :


1) Tidak bisa hidup diluar rahim  terminasi (??)
2) Bisa di terapi jika lahir cukup bulan  tunggu
3) Distosia  Seksio Sesarea
4) Kelainan bertambah parah jika ditunggu 
terminasi lebih awal
5) Pencegahan terhadap berkembangnya kelainan 
terapi intra uterin

Terapi Janin Intra Uterin

Operasi pada janin masih didalam uterus (fetus as a


patients) telah dilakukan di beberapa negara dengan
hasil yang memuaskan. Terapi ini dilakukan untuk
beberapa kelainan bawaan yang berupa kelainan
anatomi. Untuk operasi ini harus dipertimbangkan
bahwa hasilnya nanti akan memberikan keuntungan,
jenis kelainan jelas secara ultrasonografi, jika dibiarkan
jelas akan menimbulkan morbiditas dan mortalitas intra
uterin atau pada masa perinatal dan operasi intra

Kelainan Bawaan 125


uterin ini jelas akan memberikan keuntungan besar
dibandingkan jika ditunggu sampai bayi lahir.
Operasi intra uterin yang sudah cukup banyak berhasil
adalah operasi neural tube defect, hernia diafragma,
eksisi congenital cystic adenomatoid malformation atau
teratoma (Gossett D. And Gurewisehe, 2002).

6. Konseling post natal

Setelah bayi lahir perlu pendekatan dengan keluarga


(jangan menghindar) dan dilakukan konseling, yang
isinya antara lain adalah :
- Tunjukan bayi pada orang tua bayi.
- Beritahu jenis kelainan yang ada.
- Berikan penjelasan mengenai kelainan dan
hubungannya dengan prognosis dan terapi.
- Jika masih ada keraguan, sampaikan akan
dilakukan observasi dan pemeriksaan lanjutan atau
konsultasi bagaimana tindakan selanjutnya.
- Informasi penyebab (kalau bisa).

Masalah Etika

Masalah etika pada kasus kelainan bawaan banyak


terkait dengan diagnosis prenatal dan menentukan
tindakan yang akan diambilnya. Secara etik hal – hal itu
mencakup :
a. konseling
b. indikasi tes/tindakan
c. prosedur tes/tindakan
d. mendapat informed consent
e. kerahasiaan

Prenatal diagnosis maupun terapi yang dilakukan


untuk janin di dalam kandungan, secara umum harus
dipertimbangkan dari sudut ibu, bayi dan nilai yang
berlaku di masyarakat. Dari sudut ibu dan keluarganya
dipertimbangkan antara lain : aspek sosio-psikologik
dan biaya, sedangkan kalau melakukan tindakan

Kelainan Bawaan 126


invasif perlu dipertimbangkan antara lain : efek
samping yang mungkin timbul. Dari sudut bayi
kemungkinan terjadinya abortus sedangkan dari sudut
masyarakat adalah timbulnya isu legalisasi abortus dan
pelanggaran Undang-Undang Kesehatan.

Handicapped Children

Dengan makin meningkatnya kemajuan pelayanan


kesehatan maka makin banyak bayi lahir dengan
kelainan bawaan terselamatkan dan dapat berumur
panjang. Tidak jarang bayi – bayi tersebut tumbuh
kembang dan mempunyai gangguan mental atau
tingkat kecerdasan yang memerlukan suatu pendidikan
khusus dengan biaya besar, sehingga akan
merupakan beban berat bagi keluarga pasien atau
pemerintah. Perlu dikembangkan penelitian mengenai
bahan teratogen, mekanisme terjadinya kelainan,
pencegahan dan usaha untuk membantu penanganan
anak dengan kelainan bawaan.

Dokumentasi Kelainan Bawaan

Kejadian kelainan bawaan perlu didokumentasi dengan


baik untuk keperluan penyediaan data epidemiologi
dan pengklasifikasian yang lebih sistematik.

Kelainan Bawaan 127


Algoritma Pengelolaan Kelainan Bawaan

Faktor Risiko Pencegahan Penelitian


Primer

Pemeriksaan M56,
Skrining Genetik, Infeksi

Diagnosis Prenatal Etika


(Pencegahan Sekunder)

Pem.Non Invasif USG pd: Pem.Non Invasif USG pd :


- kehamilan 11-13 mg, - kehamilan 11-13 mg,
- kehamilan 20 mg - kehamilan 20 mg

Terapi Intra Uterine


- Persalinan Preterm Prenatal Terminasi
- Persalinan Aterm Konseling

Operasi Post Natal


Konseling

Kelainan Bawaan 128


Daftar Pustaka

Al-Najashi S.S. and Al-Umran K. U. 1997. Congenital anomalies


among infants of diabetes mothers: a study of 466 cases at King
Fahd Hospital of the university. A Khobar. J Obst. And
Gynaccology. 17:1:23-25.

Chia P., Raman S., 2004. Is My Baby Normal ?. Detection &


Correction of Foetal Abnormalities. Discern Publishing House.
Family. Health. Medical Library.

Creasy, R. K., R Lams, J. D (eds) 2004 Maternal

Cunningham, F. G. Leveno, K. J., Bloom, S I. Hauth, J. C.,


nd
Gilstrap III. I., Wenstrom. K. D., 2005. William Obstetrics, 22 Ed.
New York McGraw-Hill. I., pp 1169-1184.

Duroseau P and Blakemore K. 2002. Preconception Counselling


and Prenatal Care. The John Hopkins Manual of Gynecology &
Obstetrics. 2 nd Edit., Editrs. Bankowski B J. Hearne A E,
Lambrau N C, Fox H E, Wallach E E., pp 59-74., Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelpia.

Gossett D. and Gurewitsch E., 2002 Congenital Anomalies. The


Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Editrs.
Bankowski B J., Hearne A e LambrouN C., Fox H E and Wallach
E E. p. 153-161. Lippincott Williams & Wilkins.

Gucciardi E., Pietrusiak M. A., Reynold D. I., Rooulean J. 2002.


Incidence of Neural tube defect in Ontario 1986-1999. C M A J: 6.
167 (3).

Hansen M., Kurinezuk J. J., BoweC. Et al., 2002. Resiko


Kelainan Kongenital Mayor Akibat ICSI dan IVF. N Eng J Med.
346 (100 : 725-730. Saripati. Translated Version of hattp ://
www.entornomedico.org/medicos/especialidades/pedatria., Page
1

Holmes I., Horris J., Oakley G P., et al., Teratolopy Society

James, D. K. Et Al. 2003. Evidence-based Obstetrics. London :


Saunders

Kelainan Bawaan 129


PENGELOLAAN BAB VIII
KETUBAN PECAH
DINI

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban


sebelum ada tanda – tanda persalinan. Insiden KPD di
Indonesia berkisar antara 2 – 5 %. Kejadian ini
berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian
prematuritas dan infeksi, yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap angka mortalitas dan morbiditas ibu
dan janin. Kejadian infeksi akibat KPD di negara
berkembang adalah 13 – 47 %. Sementara itu, angka
kejadian neonatal mortality rate (NMR) adalah 18 per 1000
kelahiran hidup, dimana prematuritas berperan sebagai
salah satu penyebab pada 26 % kasus dan infeksi sebesar
28 % dari keseluruhan kasus. Faktor yang dideteksi
sebagai penyebab adalah ketuban pecah lebih dari 24 jam
pada 1,8 – 6,7 %. Oleh karena itu WHO menyarankan
langkah-langkah untuk menurunkan angka NMR
diantaranya adalah pemberian antibiotik pada kasus KPD
dan kortikosteroid pada kasus prematuritas.1

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 130


ETIOLOGI

Penyebab ketuban pecah dini secara individual pada


kebanyakan kasus masih sulit diketahui, namun biasanya
ketuban pecah dini disebabkan oleh : 2,3

Kelemahan selaput ketuban


1. Abnormalitas atau rendahnya struktur kolagen, akibat :
− Berkurangnya ketebalan kolagen
− Adanya enzim kolagenase dan protease yang
menyebabkan depolimerisasi kolagen, sehingga
elastisitas dari kolagen berkurang
2. Infeksi bakteri melalui mekanisme :
− Aktivitas enzim fosfolipase A2 yang merangsang
pelepasan prostaglandin, sel interleukin
− Endoktoksin bakteri
− Produksi enzim proteolitik yang menyebabkan
lemahnya selaput ketuban
− Lepasnya radikal bebas dan reaksi peroksidase
yang merusak selaput ketuban
− Peningkatan jumlah lisolesitin dalam cairan amnion
yang dapat mengaktivasi fosfolipid A2
− Ascending infection oleh bakteri.

Peningkatan tekanan distensi


Misalnya kehamilan ganda, polihidramnion, makrosomia,
solusio plasenta.
Faktor risiko ketuban pecah dini : 2
1. Riwayat kehamilan sebelumnya dengan ketuban
pecah dini
2. Flora servikovaginal
3. Defisiensi Cu, Zn, Vitamin C
4. Merokok
5. Aktivitas seksual
6. Sindroma Ehlers Danlos
7. Trauma

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 131


PEMERIKSAAN UNTUK MENEGAKKAN DIAGNOSIS
KPD

Pemeriksaan dengan spekulum lebih dipilih daripada


periksa dalam vagina karena dapat memperpanjang fase
laten infeksi. Informasi yang didapat dari pemeriksaan
spekulum ini adalah adanya pengeluaran cairan ketuban
dari ostium uteri externum, jumlah, warna dan bau. Bila
tidak yakin bahwa itu cairan ketuban maka dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan tes lakmus. Pemeriksaan
penunjang ultrasonografi dilakukan untuk mengetahui
jumlah cairan ketuban dan kesejahteraan janin ( dengan
skor biofisik janin dan atau non stress test ).4

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

WHO dan Cochrane review belum memberikan


rekomendasi pilihan antibiotik. Hal ini kemungkinan
disesuaikan dengan penelitian pola kuman yang ada di
rumah sakit dan daerah tersebut. Pemberian antibiotik ini
terbukti berhubungan dengan penurunan kejadian
korioamnionitis pada kasus KPD aterm maupun preterm
dan penurunan infeksi neonatus, penggunaan surfaktan,
pemberian oksigen pada kasus KPD aterm ( tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kasus KPD preterm ).5
Pilihan antibiotik yang dapat dipergunakan adalah injeksi
ampisilin 2 gr diikuti dengan 4 x 1 gr ampisilin injeksi dalam
48 jam dilanjutkan eritromisin 4 x 250 mg oral dalam 10 hari
atau amoksisilin oral 3 x 250 mg dalam 5 hari selama janin
belum lahir.6

KOMPLIKASI KPD

a. Komplikasi pada ibu


Komplikasi KPD pada ibu paling banyak adalah
korioamnionitis yang dapat berlanjut ke sepsis (dengan
angka kejadian 3,5 – 6,4%)
b. Komplikasi pada anak
Komplikasi KPD pada anak antara lain prolaps tali
pusat, prematur, infeksi neonatus.

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 132


PENGELOLAAN KPD

1. UMUR KEHAMILAN < 28 MINGGU


Ketuban yang pecah sebelum umur kehamilan 28
minggu akan memperberat sindrom Potter, akibat
agenesis ginjal yang menyebabkan oligohidramnion dan
menimbulkan deformitas pada ekstremitas, wajah dan
hipoplasia pulmonal. Selain itu komplikasi jangka
panjang akan menyebabkan cerebral palsy, kelainan
perkembangan saraf, penyakit paru kronis dan
hidrosefalus. Hal ini harus diberitahukan pada pasien
yang memilih terapi konservatif. Bila memilih terapi
konservatif maka penatalaksanaannya sama dengan
umur kehamilan < 34 minggu.4

2. UMUR KEHAMILAN 28 – 37 MINGGU


Diperlukan pemberian kortikosteroid untuk pematangan
paru pada umur kehamilan 28 – 34 minggu. Untuk umur
kehamilan 34 – 37 minggu sudah tidak diperlukan
pematangan paru lagi.
Regimen obat yang dapat digunakan adalah
deksametason 2 x 6 mg im ( 2 hari ) atau betametason 2
x 12 mg im ( 1 hari ).7 Tokolitik diberikan selama
pemberian kortikosteroid tersebut ataupun bila akan
dilakukan rujukan ke pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Setelah pemberian kortikosteroid selesai, maka sudah
tidak direkomendasikan lagi penggunaan tokolitik.
Kontraindikasi untuk dilakukan terapi konservatif adalah
kesejahteraan janin yang buruk, korioamnionitis dan
ditemukan tanda - tanda inpartu. Diagnosis korio-
amnionitis ditegakkan bila ditemukan salah satu dari
fetal takikardi atau ibu takikardi atau ibu demam atau
uterus nyeri dan tegang.8
Bila umur kehamilan ≥ 34 minggu sebaiknya dilakukan
terminasi kehamilan mengingat kemungkinan terjadinya
ascending infection, sudah ada maturitas paru dengan
ada atau tidak pemberian kortikosteroid. Masih banyak
kontroversi pada pengelolaan KPD pada umur
kehamilan 32 – 34 minggu. Jika memungkinkan dapat

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 133


dilakukan tes pematangan paru dari pemeriksaan invasif
amniosintesis.
Bila kematangan paru telah tercapai maka dapat
dilakukan terminasi kehamilan. Bila paru belum matang,
maka dilanjutkan pemberian kortikosteroid. Namun bila
tes pematangan paru ini tidak mungkin dilakukan maka
dapat dilakukan pengelolaan ekspektatif tanpa
pemberian kortikosteroid maupun tokolitik. Serta terus
dilakukan pemantauan kesejahteraan janin setiap hari
dan evaluasi kemungkinan korioamnionitis. Jika kondisi
ibu dan janin selama pemantauan baik dapat ditunggu
sampai umur kehamilan mencapai 34 minggu. Untuk
terminasi kehamilan sama dengan pengelolaan untuk
umur kehamilan 37 minggu.4

3. UMUR KEHAMILAN ≥ 37 MINGGU


Bila KPD terjadi pada umur kehamilan aterm maka
sebaiknya dilakukan terminasi kehamilan. Pilihan
pervaginam maupun bedah seksio sesaria tergantung
kondisi ibu, janin dan kehamilan.5 Pematangan serviks
dengan misoprostol 25 ug per vaginam setiap 6 jam
selama 2 kali pemberian bila skor Bishop ≤ 5. Bila
setelah 2 kali pemberian skor Bishop tidak ada
peningkatan maka dilanjutkan dengan induksi persalinan
oksitosin. Selama dilakukan induksi persalinan maupun
priming misoprostol tetap dilakukan evaluasi denyut
jantung janin maupun kemungkinan korioamnionitis.

PEMERIKSAAN SKRINING
Pemeriksaan skrining pada kasus KPD adalah
kemungkinan infeksi saluran kemih, penyakit menular
seksual dan streptokokus grup beta.8

BILA ADA SIRKLASE PADA KASUS KPD


Tidak ada perbedaan angka kejadian korioamnionitis bila
sirklase dilepas maupun tidak. Oleh karena itu sirklase
dilepas bila ada korioamnitis, tanda – tanda inpartu,
perdarahan pervaginam dan umur kehamilan ≥ 34 minggu.8

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 134


ALUR PENGELOLAAN

Pasien datang dengan


gejala KPD

Pengelolaan awal :
- Menegakkan diagnosis
- Memastikan umur kehamilan
- Memastikan kesejahteraan
janin
- Pemberian antibiotik
profilaksis

Umur kehamilan ≥ 34 minggu Umur kehamilan < 34


minggu

Terminasi Kontraindikasi konservatif :


- Korioamnionitis
kehamilan - Kesejahteraan janin Konservatif
Indikasi ibu, buruk
Bedah janin dan - Tanda – tanda inpartu
seksio obstetri
sesaria

Priming Umur Umur Umur


misoprostol kehamilan kehamilan kehamilan
Pervaginam 32 - 34
bila BS < 5 < 28 minggu 28 - 32
minggu minggu

Induksi Konseling - Kortikosteroid - Konfirmasi


oksitosin komplikasi - Tokolitik pematangan
bila BS ≥ 5 KPD - Evaluasi paru atau
kesejahteraan
janin dan - Ekspektatif
kondisi ibu. tanpa
kortikosteroid
maupun
tokolitik
Paru telah - Evaluasi
matang kesejahteraan
janin dan
kondisi ibu

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 135


DAFTAR PUSTAKA

1. Care of the newborn in developing country. In


problems of the newborn. Available at :
http://www.oxfordjournals.org/our_journals/tropej/onl
ine/chapter1_bk2.pdf.
2. Mercer B. Premature rupture of the membranes. In :
Shaver DC, Phelan ST, eds. Clinical Manual of
Obtetrics. Singapore : McGraw Hill Inc; 1993; p293–
301.
3. Draper D, McGregor J, Hall J, Jones W, Beuts M,
Heine P et al. Elevated protease getivities in human
amnion dan ehol.ion correlate with preterm
premature rupture of membranes. Am J Gynecol
1995; 173; 1506-12
4. ACOG Committee on Practice Bulletins-Obstetrics,
authors. Clinical management guidelines for
obstetrician-gynecologists. (ACOG Practice Bulletin
No. 80: premature rupture of membranes). Obstet
Gynecol 2007;109:1007–1019
5. Festin M. Antibiotics for preterm rupture of
membranes: RHL commentary (last revised: 14
June 2003). The WHO Reproductive Health Library;
Geneva: World Health Organization.
6. SOGC clinical practice guideline. Antibiotic therapy
in preterm premature rupture of the membranes.
JOGC 2009;233:863-867
7. Crowley P. Prophylactic corticosteroids for preterm
birth. Cochrane Database Syst Rev. 2000;2
CD000065.
8. Caughey AB, Robinson JN, Norwitz ER.
Contemporary diagnosis and management of
preterm premature rupture of membranes. Rev
Obstet Gynecol 2009;1:11-22.

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini 136


PENATALAKSANAAN BAB IX
KEHAMILAN LEWAT
WAKTU

1. Tujuan Pedoman

Bedasarkan rekomendasi POGI Maret 2011, maka


dilakukan revisi penatalaksanaan kehamilan lewat waktu.
Panduan klinis praktis ini bertujuan untuk membantu para
klinisi dalam penanganan kehamilan lewat waktu
(Postterm) dengan mempertimbangkan kondisi ibu maupun
janin.

2. Harapan dan Ruang lingkup

Pedoman ini disusun dengan harapan dapat dipakai


sebagai acuan didalam menangani kasus-kasus kehamilan
lewat waktu, sehingga diharapkan dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas bayi-bayi postterm di masa yang
akan datang.

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 137


Adapun ruang lingkup pedoman penatalaksanaan
kehamilan postterm ini meliputi:

Definisi kehamilan postterm


Insiden kehamilan postterm
Faktor risiko dan Etiologi
Patofisiologi
Antenatal monitoring
Penatalaksanaan
Prognosis

3. Pendahuluan dan latar belakang

Telah dibuktikan bahwa kehamilan lewat waktu


mengakibatkan peningkatan kesakitan dan kematian baik
maternal maupun perinatal. angka mortalitas perinatal
meningkat saat kehamilan melewati 41 minggu. Penyebab
utama kematian termasuk hipertensi gestasional,
pemanjangan fase persalinan oleh karena disproporsi
sefalopelvik, unexplained anoxia, dan malformasi.
Sindroma post maturitas dihubungkan dengan gangguan
pertumbuhan janin intra uteri dan terjadi kalau ada
insufisiensi plasenta. Istilah yang dipakai sekarang untuk
menunjukan kondisi ini adalah kehamilan postterm atau
kehamilan lewat waktu. Adanya ultrasonografi telah terbukti
mengurangi insidens kehamilan lewat waktu dan
mengurangi induksi persalinan yang tidak tepat. (1,2)

Insiden kehamilan lewat waktu berkurang dengan


penggunaan alat USG dalam penentuan umur kehamian.
Seperti contoh pada tahun 1988, Boyd dan kawan-kawan
menunjukkan insiden kehamilan lewat waktu berkurang dari
7,5 % kalau menggunakan tanggal menstruasi menjadi
2,6% kalau USG pada kehamilan awal dipergunakan
menentukan umur kehamilan. Hasil yang sama didapatkan
oleh Gardosi dan kawan-kawan, persalinan lewat waktu
berdasarkan atas menstruasi terakhir adalah 9,5%
berkurang menjadi 1,5% jika USG dipergunakan. Penelitian
oleh Taipale dan Hiilesmaa yang melakukan pemeriksaan
USG pada umur kehamilan 8-16 minggu pada 17.221
Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 138
wanita, berdasarkan kriteria biometri janin dibandingkan
dengan penggunaan waktu menstruasi jumlah kehamilan
lewat waktu berkurang dari 10,3 % menjadi 2,7 %.
Penggunaan hanya waktu menstruasi dalam penentuan
umur kehamilan mengakibatkan over-estimasi jumlah
kehamilan lewat waktu dan induksi persalinan yang tidak
diinginkan. Penggunaan USG pada trimester pertama
mempunyai dampak yang besar terhadap diagnosis dan
penanganan pada kehamilan lewat waktu (2)

4. Definisi-definisi dari istilah yang dipakai


Definisi internasional tentang kehamilan lewat waktu
diambil dari definisi yang dibuat oleh American
College of Obstetricians and Gynecologist yaitu
kehamilan yang mencapai 42 minggu (42 complete
weeks) atau lebih atau melebihi 294 hari dihitung
dari hari pertama menstrusi terakhir.
Postdate adalah kehamilan yang melewati taksiran
persalinan.
Postmatur merupakan kondisi khusus pada janin
dimana janin menampakkan gambaran kehamilan
lewat waktu yang patologis.
Sindroma post maturitas dihubungkan dengan
gangguan pertumbuhan janin intra uteri dan terjadi
kalau ada insufisiensi plasenta

5. Intervensi
Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan kehamilan post term
adalah pemantauan kesejahteraan janin dan
merencanakan pengakhiran kehamilan.

Cara mengakhiri kehamilan:


Cara pengakhiran kehamilan, tergantung dari hasil
pemeriksaan kesejahteraan janin dan penilaian pelvik skor
(PS).

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 139


1. Pastikan umur kehamilan
2. Ibu hamil dengan umur kehamilan yang tidak jelas
ditangani dengan melakukan NST setiap minggu
dan penilaian volume air ketuban. Pasien dengan
AFI ≤ 5 cm atau dengan keluhan gerak anak
menurun dilakukan induksi persalinan.
3. Jika usia kehamilan sudah diketahui dengan pasti,
pemantauan kondisi kesejahteraan janin dimulai
sejak umur kehamilan 41 minggu. NST dilakukan 3
kali seminggu, dan USG dilakukan 2-3 kali semiggu
4. Induksi dilakukan pada usia kehamilan 42 minggu,
dengan memperhitungkan kondisi serviks (Pelvik
skor).
5. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan
serviks
6. Bila PS lebih atau sama dengan 5 dilakukan
oksitosin drip. Jika tidak lahir pada induksi seri
pertama, induksi seri kedua dilakukan dalam 3 hari
7. Jika terdapat komplikasi seperti hipertensi,
penurunan gerak janin, atau oligohidramnion, maka
induksi persalinan, jika perlu dengan ripening
serviks dilakukan pada usia kehamilan 41 minggu.

6. Prognosis
Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi
daripada kehamilan aterm, terutama terhadap kematian
perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum)
berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksia.
Pengaruh kehamilan postterm antara lain terjadinya
perubahan pada plasenta, pengaruh pada janin, dan
pengaruh pada ibu.

a. Perubahan Pada Plasenta.


Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab
terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan
meningkatnya resiko pada janin. Penurunan fungsi
plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol
dan plasental laktogen. Perubahan yang terjadi pada
plasenta sebagai berikut :

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 140


- Penimbunan kalsium.
Pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat
menyebabkan gawat janin dan bahkan kematian janin
intra uterin yang dapat meningkat 2 – 4 kali lipat.
- Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan
jumlahnya berkurang.
Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan
mekanisme transpor plasenta.
- Degenerasi jaringan plasenta.
Terjadinya proses degenerasi jaringan plasenta seperti
edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, thrombosis intervili,
dan infark vili.
- Perubahan biokimia.
Insufisiensi plasenta menyebabkan protein plasenta
dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan
konsentrasi RNA meningkat. Transpor kalsium tidak
terganggu, aliran natrium, kalium, dan glukosa
menurun. Pengangkutan bahan dengan berat molekul
tinggi seperti asam amino, lemak, dan gama globulin
biasanya mengalami gangguan sehingga dapat
menyebabkan gangguan janin intra uterin.

b. Pengaruh Pada Janin.


Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada
kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun
terutama setelah 42 minggu. Hal ini dapat dibuktikan
dengan penurunan kadar estriol dan plasental laktogen.
Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan peningkatan
kejadian gawat janin dengan resiko 3 kali lipat. Akibat
proses penuaan dari plasenta, pemasokan makanan dan
oksigen akan menurun di samping adanya spasme arteri
spiralis. Sirkulasi uteroplasenta akan berkurang 50 %
menjadi 250 ml / menit. Beberapa pengaruh kehamilan
postterm terhadap janin antara lain :
- Berat janin.
Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada
plasenta, maka terjadi penurunan berat janin. Dari
penelitian Vorherr tampak bahwa sesudah umur
kehamilan 36 minggu grafik rata – rata pertumbuhan

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 141


janin mendatar dan tampak adanya penurunan
sesudah 42 minggu. Namun seringkali plasenta masih
dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin
bertambah terus sesuai dengan bertambahnya umur
kehamilan. Resiko persalinan bayi dengan berat lebih
dari 4000 gram pada kehamilan postterm meningkat 2
– 4 kali lebih besar dari kehamilan aterm.

- Sindromaa postmaturitas.
Tidak semua neonatus kehamilan postterm
menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi
plasenta. Umumnya didapatkan 12 – 20 % neonatus
dengan tanda postmaturitas pada kehamilan postterm.
Berdasarkan derajat insufisiensi plasenta yang terjadi,
tanda postmaturitas dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu
stadium I (kulit menunjukkan kehilangan verniks
kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan
mudah mengelupas ), Stadium II ( gejala di atas
disertai pewarnaan mekonium / kehijauan pada kulit ),
dan stadium III ( disertai pewarnaan kekuningan pada
kuku, kulit, tali pusat ).

- Gawat janin dan kematian perinatal.


Menunjukkan peningkatan setelah kehamilan 42
minggu atau lebih, sebagian besar terjadi intrapartum.
Umumnya disebabkan oleh makrosomia ( dapat
menyebabkan terjadinya distosia pada persalinan,
fraktur klavikula, palsi Erb – Duchene, sampai
kematian bayi ), insufisiensi plasenta ( yang berakibat
pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion,
hipoksia janin, dan keluarnya mekonium yang dapat
menyebabkan terjadinya aspirasi mekonium pada
janin), dan cacat bawaan ( akibat hipoplasia adrenal
dan anensefalus ).
Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30
% sebelum persalinan, 55 % dalam persalinan, dan 15 %
pasca natal. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi baru
lahir adalah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia,
polisitemia, dan kelainan neurologik.

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 142


c. Pengaruh Pada Ibu.
Morbiditas dan mortalitas ibu meningkat sebagai
akibat dari makrosomia janin dan tulang tengkorak menjadi
lebih keras yang menyebabkan terjadinya distosia
persalinan, incoordinate uterine action, partus lama,
meningkatkan tindakan obstetrik, dan persalinan traumatis /
perdarahan postpartum akibat bayi besar. Aspek emosi,
dimana ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana
kehamilan terus berlangsung melewati persalinan.

7. Penjelasan-penjelasan sesuai dengan nilai-nilai


evidens nya

Data – data evidence-based yang menyokong tindakan


pengelolaan kehamilan postterm :

a. Usia kehamilan. Karena variasi yang normal dari


ukuran bayi pada trimester ketiga, pengukuran usia
kehamilan pada saat trimester ketiga kurang dapat
dipakai (± 21 hari). Meskipun data-data terakhir
menunjukkan keakuratan USG pada trimester
pertama, variasi pemeriksaan berkisar ± 7 hari
sampai usia kehamilan 20 minggu, ± 14 hari pada
usia kehamilan 20 sampai 30 minggu, dan ± 21 hari
diatas usia kehamilan 30 minggu.
b. Angka kematian perinatal (stillbirth dan kematian
neonatal dini) pada usia kehamilan lebih dari 42
minggu adalah dua kali dibandingkan kehamilan
aterm (4-7 kematian berbanding 2-3 kematian per
1000 kelahiran) dan meningkat 6 kali lipat lebih
pada usia kehamilan 43 minggu ke atas (8-10
kematian).
c. Kehamilan Postterm merupakan faktor risiko
rendahnya kadar pH darah arteri umbilikalis saat
lahir dan rendahnya nilai APGAR 5 menit pertama.
d. Meskipun bayi postterm lebih besar dari bayi aterm
dan mempunyai insiden yang lebih tinggi untuk
makrosomia janin (2,5-10% berbanding 0,8-1%),
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa induksi

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 143


persalinan sebagai pencegahan terjadinya
makrosomia.
e. Kehamilan postterm berhubungan dengan
peningkatan risiko terhadap wanita hamil, termasuk
distosia (9-12% berbanding 2-7% pada kehamilan
aterm), peningkatan risiko robekan jalan lahir
karena makrosomia (3,3% berbanding 2,6% pada
kehamilan aterm) dan meningkatkan angka seksio
sesarea sebanyak dua kali lipat.
f. Pemeriksaan usia kehamilan dengan USG pada
kehamilan awal dapat menurunkan insiden
kehamilan didiagnosis sebagai kehamilan postterm
(OR, 0,68; 95% CI 0,57-0,82) dan mengurangi
intervensi yang tidak perlu.
g. Induksi persalinan elektif mengurangi angka seksio
sesarea (21,2% berbanding 24,5%) terutama
tindakan yang dilakukan akibat pemantauan denyut
jantung janin menunjukkan hasil yang jelek.
h. Sebuah penelitan meta analisis, menunjukkan
bahwa induksi rutin pada usia kehamilan 41 minggu
berhubungan dengan angka kematian perinatal
yang lebih rendah (OR 0,2; 95% CI 0,06-0,7) dan
tidak ada peningkatan angka seksio sesarea (OR
1,02; 95% ci 0,75-1,38.
i. Risiko stillbirth pada usia kehamilan 41 minggu
berkisar antara 1,04-1,27 per 1000 wanita hamil,
berbanding 1,55-3,1 per 1000 wanita hamil pada
usia kehamilan 42 minggu.
j. Rekomendasi A :
i. Wanita dengan cerviks yang belum matang
dapat dilakukan induksi persalinan atau
ekspektan manajemen.
ii. Prostaglandin dapat digunakan dalam
kehamilan postterm untuk ripening dan
induksi persalinan.
iii. Persalinan harus dilakukan jika terdapat
bukti gawat janin atau oligohidramnion.
k. Rekomendasi C :
i. Melakukan survailens kehamilan postterm
antara usia kehamilan 41 minggu (287 hari;

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 144


EDD +7 hari) dan 42 minggu (294 hari; EDD
+ 14 hari).
ii. Pemeriksaan 2 kali seminggu untuk evaluasi
volume air ketuban pada usia kehamilan 41
minggu.
iii. Rekomendasi untuk persalinan pada pasien
postterm dengan serviks yang matang dan
tanpa komplikasi.

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 145


Skema Tatalaksana Kehamilan Lewat Waktu

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 146


DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, et al. Postterm


Pregnancy. In : Williams Obstetrics, 23rd edition 2010.

2. Albert Reece, John C. Hobbins. Prolonged Pregnancy. In :


rd
Clinical Obstetrics The Fetus & Mother, 3 edition, 2007

3. Norwitz ER, Robinson JN. Management of Postterm


Pregnancy. In : ACOG Practice Bulletin. Number 55,
September 2004:639-45.

4. Creasy K.R, Resnik R. Lams J.D, Lockwood C.J, Moore T.


R. Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine 6th edition
Philadelphia : Saunders elsilver 2009; 69-80, 872-874.

5. Newton E.R. ed Queenan J.T, Spong, C.Y, Lockwood, C.J in


Management of High Risk Pregnancy, an evidance-based
approach fifth edition, Massachusetts 2007, hal 6-17

6. Luke B. Ed Reece E.A., Hobbins, J.C in Clinical Obstetri the


fetus and mother third edition, Massachusetts, 2007 hal 645-
647.

Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu 147


PERSALINAN
PERVAGINAM
PASCA SEKSIO BAB X
SESARIA
TUJUAN

Persalinan per-vaginam pasca seksio sesaria (PPVPS)


merupakan bagian integral dari praktek obstetri modern.
Tingginya angka seksio sesaria (SS) tanpa indikasi obstetri
yang kuat pada beberapa dekade terakhir membawa
konsekuensi peningkatan morbiditas ibu dan menurunkan
kemampuan untuk bereproduksi. Ibu hamil dengan riwayat
SS mempunyai risiko morbiditas yang lebih tinggi daripada
tanpa riwayat SS. Morbiditas ini tidak selayaknya dibeban-
kan kepada ibu tersebut dalam perjalanan reproduksinya
bila tidak ada indikasi yang kuat atas tindakan SS
sebelumnya.
Untuk memenuhi kebutuhan panduan bagi para dokter
kebidanan dalam menatalaksana pasien dengan riwayat
SS, dibuatlah panduan ini.

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


148
HARAPAN

Persalinan per-vaginam pasca SS merupakan tantangan


bagi para dokter kebidanan. Paradigma “once cesarean
always cesarean” sudah bukan masanya lagi. Kesadaran
akan lebih banyaknya keuntungan persalinan normal
dibanding SS membuat pasien hamil menjadi lebih kritis
dalam memilih cara persalinan. Spesialis obstetri dan
ginekologi harus dapat memberikan penjelasan yang baik
kepada pasien tentang persalinan per-vaginam pasca SS.

PENDAHULUAN

Laju SS meningkat dengan pesat pada 3 dekade terakhir. 1,2


Hampir di seluruh belahan dunia terjadi trend peningkatan
SS (Gambar 1). Peningkatan ini diidentifikasi disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti monitoring janin untuk deteksi
dini keadaan gawat janin, keperluan untuk melakukan SS
berulang, peningkatan usia maternal saat melahirkan dan
perubahan tatalaksana persalinan, 3,4,5 bahkan juga
pengaruh cara pembayaran seperti di Amerika Serikat. 6
Seorang ibu yang menjalani SS, baik yang berencana atau
intrapartum, mempunyai risiko 2 kali lipat akan morbiditas
maternal yang buruk dan mortalitas (termasuk kematian,
histerektomi, transfusi darah, dan perawatan intensif) dan 5
kali lipat risiko infeksi pasca persalinan dibandingkan
persalinan per-vaginam. Untuk luaran bayi, walaupun SS
sedikit menurunkan risiko kematian janin intrapartum, pada
presentasi kepala SS berhubungan dengan peningkatan
risiko morbiditas dan mortalitas perinatal. Luaran yang baik
dengan SS ditemukan pula pada kasus presentasi
bokong.7
Persalinan dengan SS pada awalnya diharapkan dapat
menjadi salah satu akses untuk memonitor pelayanan
kesehatan.8 Penggunaan indikator ini untuk proksi atas
mortalitas maternal, berdasarkan premis bahwa pada
ketiadaan intervensi operatif seperti SS dan histerektomi
banyak perempuan yang mengalami komplikasi obstetri
serius (persalinan macet, eklampsia dan perdarahan yang
tidak dapat teratasi) akan meninggal. Indikator ini
Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria
149
kontroversial karena SS kadang berlebihan dan tidak ada
indikasi yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan
bayi.9

Gambar I. Trend Seksio Sesaria di beberapa negara tahun


1989-1999

DEFINISI

Persalinan per-vaginam pasca SS (PPVPS) ditujukan pada


wanita hamil yang pernah melakukan SS sebelumnya,
yang berencana melakukan persalinan per-vaginam.

Risiko dan keuntungan


Risiko
Risiko ruptur uteri 22-74/10.000 (level IIa, IIb)

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


150
Risiko transfusi darah atau endometritis sebesar 1%
(level IIa)
Kematian ibu karena ruptur uteri pada PPVPS <
1/100.000 kasus di Negara maju (level III)
Risiko kematian perinatal yang berhubungan
dengan persalinan 2-3/10.000 (level IIa)
Risiko terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik pada
bayi baru lahir 8/10.000 (level IIa)

Keuntungan
Risiko masalah pernapasan pada bayi setelah lahir
berkurang; Pada PPVPS risiko sebesar 2-3%
sedangkan pada Elective Repeated Cesarean
Section (ERCS) sebesar 3-4% (level IIa)
Risiko komplikasi anestesi sangat rendah (level IIa)
Risiko komplikasi serius pada kehamilan berikutnya
rendah (level IIa, IIb)

REKOMENDASI

Ibu hamil dengan riwayat SS sebelumnya tanpa adanya


faktor risiko layak ditawarkan persalinan normal. B

Keuntungan dan risiko persalinan per vaginam pada


riwayat SS harus diberikan dulu pada pasien

KONSELING ANTENATAL

Konseling antenatal harus didokumentasikan pada catatan


di rekam medik. Diberikan konseling mengenai risiko dan
keuntungan untuk ibu dan bayi, baik pada persalinan
vaginal (PPVPS) atau SS elektif (ERCS) pada bekas SS.
Keputusan cara persalinan disetujui oleh ibu hamil dan
dokternya sebelum waktu persalinan yang diperkirakan/
ditentukan (ideal pada UK ≥ 36 minggu). Ibu hamil diberi
informasi bahwa keberhasilan PPVPS setelah riwayat 1x
SS adalah 72-76% (level IIa, IIb). Riwayat persalinan
spontan setelah kehamilan pasca SS, merupakan prediktor
terbaik keberhasilan PPVPS (87-90%)

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


151
Faktor risiko kegagalan PPVPS adalah: induksi persalinan,
belum pernah persalinan vaginal, indeks massa tubuh
(IMT) > 30, indikasi SS sebelumnya adalah distosia,
PPVPS pada atau setelah UK 41 minggu, tanpa anestesi
epidural, riwayat SS pada preterm, pembukaan serviks saat
masuk < 4 cm, SS sebelumnya < 2 tahun, usia tua, ras di
luar kulit putih, tubuh pendek, jenis kelamin janin laki-laki.
(level IIa, IIb, III)

REKOMENDASI

Ibu hamil yang mempertimbangkan memilih PPVPS harus B


diinformasikan tentang kemungkinan keberhasilan PPVPS
yang cukup tinggi (72-76%)

Ibu hamil yang ingin melakukan PPVPS harus diinformasikan B


tentang risiko absolut terjadinya ruptur uteri yang sangat
rendah (74 per 10.000)

Ibu hamil yang ingin mempertimbangkan PPVPS harus B


diinformasikan terdapat peningkatan risiko dilakukan tranfusi
darah dan terjadinya endometritis dibandingkan dengan SS
elektif

Ibu hamil dengan riwayat SS bila memutuskan dilakukan B


kembali SS harus diberikan informasi mengenai komplikasi
serius pada kehamilan selanjutnya

Data yang tersedia terbatas mengenai keamanan dan C


efektivitas partus percobaan pada pasien dengan riwayat SS
pada kehamilan kembar, dan inter-delivery time yang singkat

Semua ibu hamil dengan riwayat SS harus dirujuk ke spesialis


Obstetri Ginekologi selama periode antenatal, sebaiknya
sebelum usia kehamilan 36 minggu
Tidak direkomendasikan melakukan pemeriksaan radiografi
pelvimetri pada ibu dengan riwayat SS

KONTRA INDIKASI PPVPS

Wanita dengan riwayat SS klasik atau inverted T.10,12


Wanita dengan riwayat histerotomi atau miomektomi
yang menembus kavum uteri11
Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria
152
Wanita dengan riwayat insisi pada uterus selain dari SS
transversal pada segmen bawah tanpa komplikasi,
harus dilakukan penilaian lengkap mengenai riwayat
operasi sebelumnya.10
Wanita dengan riwayat 2x SS transversal pada segmen
bawah tanpa komplikasi bukan merupakan
kontraindikasi PPVPS, namun sebelumnya diberikan
informasi yang lengkap termasuk risiko ruptur uteri 5x
lebih besar.10,12 (level IIa, IIb, III)
Riwayat ruptur uteri atau risiko ruptur berulang tidak
diketahui10,12 (level IIb, III, IV)
Tiga atau lebih riwayat SS10 (level IIb, III, IV)

Catatan:
Pada beberapa keadaan (seperti abortus, kematian janin
intrauterin), persalinan vaginam bukan merupakan
kontraindikasi (level II). Analisis multivariant menunjukkan
tidak ada perbedaan angka ruptur uteri pada PPVPS
dengan riwayat 2x atau lebih dibandingkan 1x SS, namun
angka histerektomi dan transfusi lebih besar pada riwayat
SS 2x atau lebih (level IIa, IIb, III). Keamanan PPVPS
pada kasus kehamilan gemeli, makrosomi dan jarak yang
singkat antar persalinan belum diketahui (level IIa, IIb, III).

REKOMENDASI

Ibu hamil dengan riwayat SS dengan riwayat insisi uterus C


vertikal atau bentuk T dianjurkan dilakukan SS primer pada
persalinan berikutnya

Ibu hamil dengan riwayat ruptur uteri sebelumnya C


dianjurkan dilakukan SS primer pada persalinan berikutnya

PEMANTAUAN INTRAPARTUM

Dilakukan di kamar bersalin dengan staf dan peralatan


yang lengkap, dengan pemantauan intrapartum ketat dan
tersedia kamar operasi untuk melakukan SS segera dan
resusitasi neonatal. Dokter SpOG, SpAn, bidan, kamar

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


153
operasi, perlengkapan resusitasi dan perawatan neonatal
serta hematologi selalu tersedia. 10 (level IV)
Dapat melakukan operasi atau laparotomi dalam waktu 30
menit jika PPVPS gagal atau terjadi ruptur uteri. 11 (level
IIIC). Anestesi epidural bukan merupakan kontraindikasi. 10
(level IIa, III, IV). Pemantauan janin secara ketat dilakukan
mulai kontraksi timbul untuk mendeteksi adanya ruptur uteri
atau asfiksia perinatal.10 (level IIb, IV)

REKOMENDASI

Abnormalitas denyut jantung janin biasanya mendahului C


ruptur uteri

Partus pervaginam pada pasien dengan riwayat SS harus B


dilakukan di tempat dimana terdapat fasilitas untuk
dilakukan SS segera dan resusitasi neonatal

Penggunaan anestesia epidural tidak dikontraindikasikan C


pada pasien yang ingin melakukan PPVPS

INDUKSI DAN AUGMENTASI

Augmentasi diputuskan setelah dilakukan penilaian dan


konseling pada pasien 10(level IV). Beri informasi adanya
peningkatan risiko ruptur uteri dan SS sebanyak 2-3 x dan
1,5 x lebih besar pada persalinan yang dilakukan
induksi/augmentasi dibandingkan persalinan spontan. 10
(level IIa). Penilaian serviks serial dilakukan dengan teliti
dan sebaiknya dilakukan oleh orang yang sama untuk
meyakinkan kemajuan pembukaan serviks yang adekuat,
sehingga memungkinkan untuk melanjutkan PPVPS. 10
(level IV). Keputusan untuk melakukan induksi/augmentasi,
metode yang dipilih, jarak pemeriksaan vagina dan
parameter kemajuan persalinan didiskusikan dan dilakukan
oleh konsultan. 10 (level IV). Oksitosin dan folley catheter
bukan merupakan kontraindikasi pada PPVPS. 11 (level IIa)

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


154
Prostaglandin berhubungan dengan peningkatan risiko
ruptur uteri dan tidak boleh digunakan sebagai bagian dari
PPVPS.10,12 (level IIa)

REKOMENDASI

Ibu hamil dengan riwayat SS dapat dilakukan induksi B


persalinan dengan kewajiban diberitahukan tentang
keuntungan dan risiko induksi persalinan

Ibu bersalin dengan riwayat SS dapat diberikan augmentasi C


oksitosin saat persalinan, bila kontraksi uterus tidak adekuat
dengan pengawasan ketat

Induksi persalinan dikaitkan dengan peningkatan risiko B


terjadinya ruptur uteri dan SS

Pematangan serviks dengan menggunakan prostaglandin B


membawa risiko tinggi terjadinya ruptur uteri

Terdapat peningkatan risiko terjadinya ruptur uteri 2 kali lipat B


dan 1,5 kali peningkatan risiko SS pada persalinan yang
dilakukan augmentasi.

Semua ibu hamil dengan riwayat SS harus dirujuk ke spesialis


Obstetri Ginekologi selama periode antenatal, sebaiknya
sebelum usia kehamilan 36 minggu.

Tidak direkomendasikan melakukan pemeriksaan radiografi


pelvimetri pada ibu dengan riwayat SS.

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


155
ALUR PENATALAKSANAAN PPVPS

Riwayat 1x seksio sesarea


transversal pada segmen
bawah tanpa komplikasi
Tidak
Ya

Seksio sesarea elektif Kehamilan tanpa


Elective Repeat Cesarean komplikasi
Tidak
Section (ERCS)
Ya

Ya Kontraindikasi
persalinan pervaginam

Konseling antenatal Tidak

Pemantauan dan Persalinan per vaginam


pascaseksio sesarea
tindakan intrapartum
(PPVPS)/ vaginal birth
after cesarean (VBAC)

Konseling induksi dan


augmentasi

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


156
SKOR KEBERHASILAN PPVPS

Flamm dan Geiger13 membuat sistem skoring yang dapat


meramalkan keberhasilan PPVPS, seperti pada tabel di
bawah ini.

Tabel. Kriteria Flamm untuk prediksi keberhasilan PPVPS13

Karakteristik Nilai
Umur pasien < 40 tahun 2
Riwayat persalinan per vaginam
Persalinan per vaginam sebelum dan sesudah SS 4
sebelumnya 2
Persalinan per vaginam sesudah SS sebelumnya 1
Persalinan per vaginam sebelum SS sebelumnya 0
Tidak ada riwayat persalinan per vaginam 1
Alasan selain partus macet pada SS sebelumnya
Penipisan serviks saat datang 2
>75% 1
25% sampai 75% 0
<25% 1
Pembukaan serviks sudah 4 cm saat datang

Skor Persentase Keberhasilan


0 sampai 2 49
3 60
4 67
5 77
6 88
7 93
8 sampai 10 95

Masih ada berbagai cara lagi untuk meramal keberhasilan


PPVPS

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


157
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamilton B, Minino A, Martin J, Kochanek K, Strobino


D, Guyer B. Annual summary of vital statistics: 2005.
Pediatrics, 2007;119:345-60.
2. Notzon FC. International differences in the use of
obstetric interventions. J Am Medic Assoc, 1990;263:
3286-3291.
3. Anderson GM, Lomas J. Determinants of the
increasing cesarean birth rate-Ontario data 1979 to
1982. N Engl J Med, 1984;31 1: 887-892.
4. Gould JB, Davey B, Stafford RS. Socioeconomic
differences in rates of cesarean section. N Engl J Med,
1989;321:233-239.
5. Parazzini F, Pirotta N, Vecchia C, Fedele L.
Determinants of cesarean section rates in Italy. Br
JObstet Gynaecol, 1992;99:203-206.
6. Taffel SJ. Cesarean section in America: dramatic
trends, 1970 to 1987. Stat Bull Metrop Insur Co,
1989;70(4):2-11.
7. Villar et al. Maternal and neonatal individual risks and
benefits associated with caesarean delivery:
multicentre prospective study. Br Med J, 2007; 335:
1025
8. UNICEF/WHO/UNFPA.Guidelines for monitoring the
availability and use of obstetric services. New York,
UNICEF, 1997.
9. Abou Zahr dan Wardlaw. Maternal mortality at the end
of a decade: signs of progress? Bulletin of the World
Health Organization, 2001; 79 : 561-73
10. Royal College of Obstetricians and Gynecologists.
Green-top Guideline No. 45: Birth after Previous
Caesarean Birth. 2007
11. Society Obstetricians and Gynecologists of Canada
clinical practice guidelines. Guidelines for Vaginal Birth
after Previous Caesarean Birth. JOGC FEVRIER 2005.
12. American College of Obstetricians and Gynecologists
VBAC practice bulletins 115. 2010.

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


158
13. Flamm BL, Geiger AM. Vaginal birth after cesarean
delivery: an admission scoring system. Obstet
Gynecol, 1997;90:907-10

Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


159
PENATALAKSANAAN BAB XI
PERDARAHAN
PASCA SALIN

I. Tujuan Pedoman

Sesuai dengan rekomendasi POGI 2010 tentang


perubahan format buku panduan, maka perlu dilakukan
revisi terhadap Panduan Penatalaksanaan Perdarahan
Pasca Salin yang sudah ditetapkan oleh HKFM POGI yang
berlaku sejak 2006.

II. Harapan Dan Ruang lingkup

Perdarahan pasca salin (PPS) masih merupakan


perdarahan obstetrik mayor yang paling sering ditemukan
dan salah satu penyebab utama kematian maternal.1
Dengan disusunnya pedoman ini diharapkan didapatkan
kesepahaman dalam Penatalaksanaan PPS baik dalam hal
definisi, diagnosis, dan penatalaksanaanya.
Ruang lingkup bahasan :
1. Insiden

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 160


2. Definisi
3. Klasifikasi
4. Diagnosis
5. Penatalaksanaan

Pedoman ini ditujukan untuk menangani kasus PPS dini


dan PPS sekunder tetapi tidak dapat dipergunakan untuk
ibu-ibu yang mempunyai kelainan faktor pembekuan yang
telah diketahui sebelumnya seperti: hemofilia atau ibu yang
mendapatkan terapi antikoagulan. Tidak dapat juga diguna
kan untuk ibu yang menolak mendapatkan transfusi darah.
Upaya preventif berupa asesmen faktor risiko, pencegahan
partus lama dan manajemen aktif kala 3 serta upaya
penanganan awal PPS harus dilakukan oleh semua
penolong persalinan mulai dari bidan di desa, hingga di
tempat pelayanan yang lebih tinggi.
Kasus risiko tinggi yang sudah diprediksi akan mengalami
PPS sejak antenatal harus diberikan konseling untuk
melahirkan di fasilitas lengkap yang mempunyai bank
darah dan ruang operasi. Pada kasus PPS yang baru
diketahui pada saat persalinan harus segera ditangani
dengan langkah-langkah standar pengelolaan PPS
sebagaimana akan diuraikan pada algoritma pedoman ini
sambil mengupayakan rujukan ke tempat pelayanan yang
mampu melakukan tindakan operatif. Selama perjalanan
ke tempat rujukan atau menunggu ruang operasi harus
diupayakan mengurangi perdarahan yang terjadi.

III. Pendahuluan Dan Latar Belakang

Perdarahan pasca salin merupakan penyebab kematian


maternal yang penting meliputi hampir ¼ dari seluruh
kematian meternal di seluruh dunia. Berdasarkan laporan
UK Confidential Enquiries into Maternal Deaths tahun
2003-2005, perdarahan adalah penyebab ketiga angka
kematian ibu.1 Bahkan di UK, mayoritas kematian
maternal akibat perdarahan (10 dari 17 kasus / 58%)
termasuk kategori yang dapat dicegah (preventable)
karena telah ditangani secara substandar.2 Berdasarkan

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 161


laporan SDKI 2007 Indonesia masih mempunyai angka
kematian maternal yang tinggi yaitu 228/100.000 kelahiran
hidup dan diperkirakan 28%3 perdarahan sebagai
penyebab utama morbiditas maternal yang berat pada
hampir semua kasus yang diaudit sebagai ‘near miss’ baik
di negara maju maupun negara berkembang.2
Sehubungan dengan pentingnya PPS sebagai penyebab
utama morbiditas dan mortalitas maternal serta bukti-bukti
penanganan substandar pada mayoritas kasus-kasus yang
fatal, maka perdarahan obstetrik harus dianggap sebagai
topik prioritas yang membutuhkan penetapan prosedur
standar nasional untuk tatalaksananya. Perdarahan
obstetrik mencakup perdarahan antepartum dan
postpartum atau pascasalin. Pedoman ini hanya dibatasi
untuk penanganan PPS.

IV. Identifikasi Dan Penilaian Berbasis Bukti

Pedoman PPS ini disusun berdasarkan Protap Perdarahan


Pasca Salin dari HKFM 2008 dengan penambahan dari
RCOG Green Top Guideline no. 52 yang diterbitkan bulan
Mei 2009, khususnya yang berkaitan dengan EBM, yang
telah disesuaikan dengan fasilitas yang ada di Indonesia.
RCOG Green Top Guideline disusun berdasarkan
metodologi standar untuk menyusun pedoman-pedoman
RCOG yang lain dengan mengambil data dari Cochrane
Library, TRIP, Medline, PubMed (electronic database).
Sedapat mungkin rekomendasi disusun berdasarkan basis
bukti yang telah diakui dan apabila data yang berbasis bukti
belum ditetapkan, dicantumkan sebagai ‘Good practice
point’.

V. Definisi PPS

Perdarahan pasca salin adalah perdarahan yang


mencapai 500-1000cc setelah anak lahir yang bisa
diakibatkan oleh atoni uteri, perlukaan jalan lahir, sisa
jaringan plasenta dan kelaianan faktor pembekuan darah.
Secara klasik WHO mengklasifikasikan PPS sebagai:5-6

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 162


• Perdarahan pasca salin Primer/Dini yaitu: pedarahan ≥
500cc dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir.
• Perdarahan pasca salin Sekunder / lanjut yaitu:
perdarahan ≥ 500cc sesudah 24 jam pertama setelah
persalinan.

Berdasarkan jumlah perdarahannya, PPS dibagi menjadi 2


yaitu:
• Perdarahan pasca salin minor: jumlah perdarahan
antara 500-1000cc tanpa tanda-tanda klinis syok.
• Perdarahan pasca salin mayor: jumlah perdarahan
>1000 cc atau <1000cc tetapi terdapat tanda-tanda
klinis syok.

Pedoman ini menggunakan pendekatan pragmatis, bila


diperkirakan darah yang keluar antara 500-1000 cc tanpa
tanda-tanda klinis syok, dilakukan penatalaksanaan dasar
untuk menghentikan perdarahan dan resusitasi awal.
Bila perdarahan diperkirakan >1000cc (atau <1000 cc
tetapi tampak tanda-tanda klinis syok seperti takikardia,
hipotensi, takipnu, oliguria atau pengisian kapiler perifer
yang melambat) maka harus segera dilakukan protokol
lengkap. Perkiraan jumlah darah yang keluar secara visual
seringkali underestimate / kurang dari yang sesungguhnya
sehingga sebaiknya dipakai metoda yang lebih akurat
seperti menimbang kassa yang terpakai dan mengukur
darah yang keluar.7

VI. Prediksi dan Prevensi Perdarahan Pasca Salin

Apakah faktor risiko PPS dan bagaimana meminimalkan


risiko tersebut? Faktor risiko dapat ditemukan saat
antenatal atau intrapartum. Klinisi harus waspada dan
tanggap terhadap faktor risiko PPS dan sudah harus
mempertimbangkan risiko ini pada saat konseling
penentuan tempat persalinan.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 163


Tabel 1. Risiko PPS 8
8

VII. Keterangan Sesuai Evidens Based Medicine


Practice

Mayoritas kasus PPS tidak ditemukan faktor risiko.


Manajemen aktif kala III menurunkan jumlah perdarahan
dan menurunkan risiko PPS.
• Manajemen aktif kala III terdiri dari pemberian
oksitosin 10 IU intramuskuler 1 menit setelah bayi
lahir, melakukan peregangan tali pusat terkendali
dengan melakukan traksi berlawanan setinggi os
pubis, masase uterus. Jika tidak terjadi tanda-tanda
pelepasan plasenta traksi harus dihentikan dan
ditunggu kontraksi selanjutnya sampai plasenta
terlepas dan lahir. Masase fundus uteri dilanjutkan
setiap 15 menit selama 1 jam untuk merangsang
kontraksi uterus.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 164


• Masase fundus uteri adalah meletakkan telapak
tangan pada fundus uteri, kemudian dengan lembut
dan mantap menggerakkan tangan dengan arah
memutar pada fundus uteri supaya uterus
berkontraksi.

Pemberian oksitosin profilaksis yang diberikan secara rutin


pada manajemen aktif kala III terbukti menurunkan risiko
PPS hingga 60%.
Untuk ibu bersalin secara seksiosesarea, oksitosin (5 IU
dengan cara intravena perlahan) harus diberikan untuk
merangsang kontraksi uterus dan mengurangi perdarahan.
Dosis oksitosin bolus mungkin tidak sesuai untuk beberapa
kasus, misalnya pada ibu bersalin dengan kelainan
kardiovaskuler, sehingga disarankan pemberian oksitosin
dengan dosis lebih rendah sebagai alternatif yang lebih
aman.
Misoprostol tidak seefektif oksitosin tetapi dapat digunakan
bila tidak memungkinkan pemberian oksitosin , misalnya
pada persalinan di rumah.
Semua wanita dengan riwayat seksio sesarea harus
dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan letak
plasenta dan mendeteksi kemungkinan adanya plasenta
akreta atau perkreta.
Ibu hamil dengan plasenta akreta / perkreta mempunyai
risiko sangat tinggi mengalami PPS dini. Bila plasenta
akreta atau perkreta terdiagnosa antepartum, proses
persalinan harus ditangani secara multidisiplin dibawah
komando konsultan. Tim terdiri dari konsultan obstetri dan
staf anestesi disertai ketersediaan darah, plasma beku dan
trombosit serta tempat persalinan yang lengkap dengan
fasilitas OK 24 jam dan ICU.

VIII. Keterbatasan Data Dalam Pedoman

Kesulitan dalam menentukan jumlah perdarahan yang


akurat membuat banyak kasus yang tidak terlaporkan atau
underestimated sehingga belum diperoleh jumlah data
yang akurat mengenai jumlah kasus PPS di Indonesia.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 165


IX. Penatalaksanaan PPS (medisinalis, operatif,
termasuk informed consent )

Segera setelah diagnosa PPS ditegakkan, penatalaksana-


an yang mencakup 4 komponen, yaitu: komunikasi,
resusitasi, monitoring tanda-tanda vital serta mencari dan
menghentikan sumber perdarahan harus dilakukan secara
simultan. Harus diingat bahwa PPS minor dapat dengan
mudah menjadi PPS mayor dan seringkali terjadi tanpa
disadari. Pola penatalaksanaan yang akan diuraikan dalam
pedoman ini adalah untuk kasus yang ditangani di RS yang
dipimpin oleh konsultan obstetri dengan akses laboratorium
dan bank darah dengan staf obstetri dan anestesi terlatih
yang siap siaga.
Bila PPS dini terjadi di kondisi yang berbeda (persalinan di
rumah atau di rumah bersalin dengan penolong bidan)
pedoman ini harus segera dilakukan untuk mengurangi
perdarahan yang terjadi serta sesegera mungkin merujuk
pasien ke tempat pelayanan yang mempunyai fasilitas
operatif dan tim yang terlatih.

9.1. Komunikasi

Siapa yang harus diberi informasi bila seorang ibu bersalin


mengalami PPS?
Penatalaksanaan Dasar untuk PPS minor ( jumlah darah
yang keluar antara 500-1000 cc tanpa tanda-tanda klinis
syok)
• Informasi pada bidan yang bertugas
• Informasi pada tenaga obstetri dan anestesi yang
terlatih dalam penatalaksanaan PPS
Protokol lengkap untuk PPS mayor (kehilangan darah
>1000cc dan perdarahan masih terus berlangsung atau
terjadi syok)
• Panggil bidan terlatih lain (tambahan di luar bidan
yang bertugas)
• Panggil dokter jaga obstetri dan hubungi konsultan
obstetri

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 166


• Panggil dokter jaga anestesi dan hubungi konsultan
anestesi
• Hubungi dokter jaga hematologi
• Hubungi bank darah
• Panggil petugas untuk mengantar spesimen darah
• Tetapkan seorang petugas tambahan untuk
mencatat tindakan, cairan, obat yang telah diberikan
dan mencatat tanda-tanda vital pasien.
Pada kasus PPS mayor dengan perdarahan yang masih
berlangsung ini konsultan obstetri dan anestesi harus hadir
untuk terlibat langsung dalam penanganan pasien.
Komunikasi harus dilakukan kepada pasien dan
keluarganya tentang kondisi pasien serta masalah yang
sedang terjadi termasuk penanganan yang akan dilakukan
serta kemungkinan terburuk yang dapat terjadi seperti
perlunya tindakan operatif bila tindakan konservatif dan
medisinalis tidak membantu.

9.2. Resusitasi

Segera lakukan penilaian awal adanya syok atau per-


darahan hebat dengan pendekatan sistematis ABC. Secara
simultan dilakukan upaya menentukan penyebab
perdarahan.

A dan B (assess airway and breathing)


Berikan oksigen konsentrasi tinggi (10-15 liter/menit)
melalui sungkup tanpa harus memperhitungkan konsen-
trasi oksigen maternal. Bila jalan nafas terganggu karena
terganggunya kesadaran, perlu diberikan bantuan anestesi
secepat mungkin. Biasanya tingkat kesadaran dan
perbaikan jalan nafas akan cepat terjadi segera setelah
volume sirkulasi diperbaiki. Penting sekali untuk segera
menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan
menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap
proaktif daripada underestimate dan bersikap menunggu /
pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah dan bila
fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus dimonitor.
Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 167
C (Evaluate circulation)
Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G - 16G,
harus segera diambil 20 cc spesimen darah untuk
pemeriksaan darah lengkap, profil pembekuan darah,
elektrolit dan penentuan golongan darah, crossmatch untuk
penyediaan 4 unit darah ( RIMOT = resusitasi, infus 2 jalur,
monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah,
oksigen, team approach ). Jumlah cairan dan jenis cairan
yang diberikan harus disesuaikan dengan derajat
perdarahan dan derajat syok. Diberikan cairan kristaloid
dan koloid sambil menunggu hasil crossmatch.

Penatalaksanaan dasar untuk PPS minor (kehilangan 500-


1000cc darah tanpa tanda-tanda klinis syok)
• Akses intravena dengan jarum 14 G 1 jalur
• Berikan infus kristaloid
Protokol lengkap untuk PPS mayor (kehilangan darah
>1000 cc atau perdarahan masih berlangsung atau
terdapat tanda klinis syok)
• Penilaian A=airway (jalan nafas)
• Penilaian B=breathing (usaha nafas)
• Evaluasi C=circulation
• Pemberian oksigen 10-15 liter/menit
• Pemasangan jalur intravena (l4 G 2 jalur)
• Pasien diposisikan datar
• Upayakan pasien tetap dalam kondisi hangat
• Pemberian transfusi darah sesegera mungkin
• Sampai darah tersedia, diberikan cairan infus 3,5
liter cairan kristaloid Hartmann hangat 2 liter dan
atau koloid 1-2 liter secepat mungkin.
• Trasfusi darah harus menggunakan jalur intravena
tersendiri
• Pemberian faktor VII-a rekombinan harus
berdasarkan hasil pemeriksaan pembekuan darah.

Terapi cairan dan produk darah untuk transfusi


• Kristaloid : hingga 2 liter cairan Hartmann
• Koloid :1-2 liter hingga produk darah tersedia

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 168


• Darah : harus yang sudah di crossmatched bila
crossmatch tidak memungkinkan dapat diberikan
darah yang tidak dicrossmatch dengan golongan
darah yang sama dengan pasien.
• Fresh frozen plasma (FFP) : 4 unit setiap 6 unit
eritrosit (PRC) atau bila rasio protrombin time (PT) /
activated partial thromboplastin time (aPTT) >1,5 x
normal, dengan dosis 12-15 ml/kg atau total 1 liter.
• Trombosit : bila jumlah trombosit < 50.000
• Kriopresipitat : bila fibrinogen < 1 g/liter

Lakukan penilaian Klinis dalam setiap situasi

Tujuan utama resusitasi pada kasus PPS adalah upaya


mengembalikan volume dan oxygen-carrying capacity
darah. Penggantian cairan yang hilang harus dilakukan
berdasarkan pertimbangan jumlah darah yang hilang (hati
hati jangan sampai terjadi underestimated). Packed Red
Cell (PRC) adalah cairan terbaik untuk menggantikan darah
yang hilang dan harus ditransfusikan secepat mungkin.
Pertimbangan klinis harus didasarkan pada keadaan klinis
pasien dan tidak harus menunggu hasil laboratorium.
Pada tahun 2006 The British Committee for standards in
Hematology membuat standar pencapaian resusitasi cairan
dan darah pada keadaan PPS mayor dengan parameter
sebagai berikut:
• hemoglobin > 8g/dl
• jumlah trombosit > 75.000/L
• protrombin > 1,5 x nilai normal
• fibrinogen> 1,0 g/L.

Cairan apakah yang dapat digunakan untuk resusitasi ?

9.2.1. Cairan pengganti


Berdasarkan konsensus, volume total 3,5 L cairan (2 liter
Larutan Hartmann hangat secepat mungkin diberikan,
dilanjutkan dengan koloid hangat maksimal 1,5 liter) bila
darah belum tersedia. Yang terpenting selain volume,
cairan infus tersebut harus diberikan secepat mungkin dan
Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 169
harus dalam keadaan hangat karena suhu tubuh pasien
harus tetap hangat.

9.2.2. Transfusi darah


Apabila darah yang telah di-crossmatched belum tersedia
setelah 3,5 L cairan awal diberikan, harus dicari upaya
yang dapat segera memperbaiki oxygen-carrying capacity.
Terdapat berbagai variasi alternatif tergantung pasien dan
kondisi setempat. Untuk kasus emergensi di Inggris,
biasanya digunakan darah Group O RhD-negatif untuk
menghindari ketidak-cocokan darah. Atau bila jenis darah
kompatibel, bisa diberikan darah yang belum di
crossmatched. Sehubungan dengan kebutuhan darah
untuk kasus PPS mayor, semua tempat bersalin,
khususnya tempat bersalin kecil tanpa bank darah harus
menyediakan stok darah O RhD-negatif. The Confidential
Enquiry into Maternal and Child Health merekomendasikan
setiap ibu dengan faktor risiko PPS yang telah diketahui
sejak antenatal sebaiknya tidak bersalin di fasilitas yang
tidak mempunyai bank darah dan fasilitas operatif.

9.2.3. Komponen darah apakah yang dapat digunakan?


Bila darah yang hilang mencapai 4,5 liter (80% dari volume
darah total) dan telah diberikan cairan pengganti dalam
jumlah banyak, akan terjadi gangguan faktor pembekuan
sehingga komponen darah tambahan harus diberikan.
Sementara menunggu advis dari dokter ahli hematologi,
dapat diberikan maksimal 1 liter fresh frozen plasma (FFP)
dan 10 unit kriopresipitat (2 pak) secara empiris untuk
menghentikan perdarahan yang terus berlangsung, sambil
menunggu hasil pemeriksaan faktor koagulasi. Terapi
empiris ini berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh The
British Committee for Standards in Haematology guideline.
(www.transfusiguidelines.org.uk). Klinisi harus selalu ingat
bahwa segera setelah diagnose PPS ditegakkan
permintaan komponen darah ini harus segera dimintakan
karena perlu waktu untuk memprosesnya.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 170


9.3. Monitoring dan Investigasi
Pemeriksaan laboratorium apakah yang harus dilakukan
dan bagaimana sebaiknya memonitor pasien PPS?

Penatalaksanaan dasar untuk PPS Minor:


• Mengambil darah vena (20 cc) untuk:
o Skrining golongan darah
o Pemeriksaan hematologis lengkap
o Skrining faktor pembekuan termasuk
fibrinogen
• Mencatat nadi dan tekanan darah setiap 15 menit.

Protokol Lengkap untuk PPS mayor, adalah:


• Mengambil darah vena (20cc) untuk crossmatch,
pemeriksaan hematologis lengkap, pemeriksaan
faktor koagulasi termasuk fibrinogen, fungsi renal
dan hepar. Disediakan minimal 4 kantong darah.
• Monitor suhu setiap 15 menit
• Memasang monitor nadi, tekanan darah dan
respirasi kontinyu (memakai pulse-oximeter, EKG
dan alat pengukur tensi otomatis)
• Memasang kateter foley untuk memonitor output
urin
• Memasang 2 jalur infus, dengan jarum 14 atau 16 G
• Pertimbangkan pemasangan CVP
• Pertimbangkan transfer ke ICU atau High care unit
segera setelah perdarahan terkontrol atau
setidaknya monitoring ketat di ruang persalinan
• Pencatatan parameter tanda vital, semua cairan,
obat dan darah yang diberikan serta prosedur yang
dilakukan.

Pemasangan CVP tidak saja dilakukan untuk memonitor


tekanan arteri sentral secara akurat tetapi juga untuk
menilai pemberian input cairan. Berdasarkan rekomendasi
The 2000-2002 report of UK confidential Enquiries into
Maternal Deaths : Monitoring dengan CVP harus dilakukan

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 171


bila sistem kardiovaskuler terganggu baik oleh perdarahan
atau proses penyakit. Pemasangan CVP pada kasus
PPS mayor harus dilakukan oleh konsultan anestesi yang
terampil agar risiko morbiditas dan mortalitas karena
perdarahan akibat pemasangan CVP dapat dicegah.
Hal penting yang harus diingat, segera setelah perdarahan
berhasil diatasi dan faktor koagulasi dikoreksi, pemberian
trombofilaksis harus segera dimulai karena kasus PPS
mayor merupakan risiko tinggi terjadinya trombosis.
Sebagai alternatif, bila trombofilaksis merupakan
kontraindikasi misalnya pada kasus trombositopenia, dapat
dipasang alat pneumatic compression.
Pasien dan keluarganya harus terus diberi informasi
tentang perkembangan situasi yang terjadi.

9.4. Penatalaksanaan anestesi

Ahli anestesi diperlukan kehadirannya untuk menilai


keadaan umum pasien, untuk memulai atau melanjutkan
resusitasi sebagai upaya memperbaiki volume intravaskuler
dan pemberian anestesi yang adekuat bila pasien harus
dibantu lebih lanjut dengan terapi operatif.

Pada kondisi pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler,


anestesi regional merupakan kontraindikasi relatif. Blok
sistem simpatis berpotensi memperburuk hipotensi akibat
perdarahan. Bila sistem kardiovaskuler relatif stabil,
anestesi regional dapat diberikan. Pemberian blok epidural
kontinyu lebih baik daripada blok spinal karena dapat
mengontrol tekanan darah dan dapat dipergunakan pada
tindakan operatif yang lama.
Bila perdarahan terus berlanjut dan stabilitas
kardiovaskuler mulai terganggu, lebih tepat dipilih anestesi
umum. Standar baku yang disarankan adalah rapid
sequence induction untuk menurunkan risiko aspirasi.
Harus dipilih zat anestesi induksi yang tidak banyak
mempengaruhi sistem kardiovaskuler dan vasodilator
perifer yang minimal. Adrenalin dan atropin harus tersedia

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 172


pada saat induksi. Ventilasi dengan oksigen konsentrasi
tinggi diperlukan sampai sumber perdarahan terkontrol.

9.5. Menghentikan perdarahan


Penyebab PPS adalah l atau lebih dari 4 faktor dibawah ini:
• Tone (gangguan kontraksi uterus)
• Tissue (sisa produk konsepsi)
• Trauma (robekan jalan lahir)
• Thrombin (gangguan fungsi koagulasi)
Penyebab terbanyak PPS Dini adalah atonia uteri. Akan
tetapi pemeriksaan klinis harus dilakukan dengan seksama
untuk menyingkirkan sebab lain atau penyebab penyerta
lainnya, seperti:
• Sisa jaringan (plasenta, membran, bekuan darah)
• Laserasi vagina/serviks atau hematom
• Ruptur uteri
• Hematom ligamentum latum
• Perdarahan ekstragenital (misalnya: ruptur
subkapsula hepar)
• Inversio uteri.

Bila penyebab perdarahan adalah atonia uteri, serangkaian


langkah mekanis dan farmakologis berikut ini harus segera
dilakukan sampai perdarahan berhenti:
• Pastikan kandung kencing kosong (dipasang kateter
foley)
• Dilakukan kompresi uterus bimanual eksterna dan
interna untuk merangsang kontraksi
• Diberikan oksitosin 5 IU dengan cara pemberian
bolus iv perlahan (dapat diulang)
• Diberikan ergometrin 0,5 mg iv perlahan atau i.m.
(kontraindikasi relatif pada wanita dengan
hipertensi)
• Infus oksitosin (40 unit dalam 500 cc larutan Hart -
mann dengan kecepatan 125cc/jam) kecuali diperlu
kan restriksi cairan.
• Misoprostol 800 ug per-rektal.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 173


Bila tindakan farmakologis gagal untuk mengontrol
perdarahan, segera lakukan intervensi operatif.
Tamponade uterus dengan balon merupakan intervensi
operatif temporer yang tepat untuk semua wanita dengan
atonia uteri sebagai penyebab satu-satunya atau
penyebab utama PPS. Bila masih gagal, langkah
intervensi operatif konservatif di bawah ini dapat
dipertimbangkan, berdasarkan kondisi sarana prasarana
yang ada, antara lain :

• Tamponade balon
• B-Lynch suture
• Ligasi arteri uterina bilateral
• Ligasi arteri hipogastrika
• Embolisasi arteria selektif. (hanya bila dicurigai
adanya plasenta akreta dan fasilitas memungkin
kan)

Rekomendasi: gambar diagram teknik B-Lynch suture


yang sudah dilaminasi harus tersedia di OK.

Segera beralih ke tindakan histerektomi obstetri sesegera


mungkin (terutama pada kasus plasenta akreta dan ruptur
uteri). Diperlukan pertimbangan yang mendalam sebelum
keputusan melakukan histerektomi.

Tahapan penatalaksanaan perdarahan Pascasalin berikut


ini dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS.9

a. Ask for HELP


Segera meminta pertolongan, atau dirujuk ke rumah
sakit bila persalinan di bidan / PKM. Kehadiran ahli
obstetri, bidan, ahli anestesi dan hematologis sangat
penting. Pendekatan multi disipliner dapat
mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan.
Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah
data yang penting untuk penentuan tahap tindakan
berikutnya.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 174


b. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood
Sambil melakukan resusitasi juga dilakukan upaya
menentukan etiologi perdarahan pasca salin. (4 ‘T’s)
c. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir
harus segera ditangani dengan masase uterus dan
pemberian obat - obatan uterotonika. Bila uterus tetap
lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna
dengan menggunakan kepalan tangan kanan di dalam
uterus dan telapan tangan kiri melakukan masase di
fundus uteri.

1. Medisinalis ( regimen farmakologis )

Oksitosin infus / ergometrin / prostaglandin. Dapat


diberikan oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin dan
dipasang dengan kecepatan 125 cc / jam. Hindari
kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema
pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya dapat
menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal ini timbul
karena efek antidiuretic hormone ( ADH ) - like effect dari
oksitosin. Jadi monitoring ketat masuk dan keluarnya cairan
sangat esensial saat pemberian oksitosin dalam dosis
besar. Ergometrin dapat diberikan secara intramuskuler
atau intravena dengan dosis awal 0,2 mg ( secara perlahan
). Dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih
diperlukan. Pemberian ergometrin dapat diulang setiap 2 -
4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg
atau 5 dosis per hari. Ergometrin kontraindikasi diberikan
pada preeklampsia, vitiumcordis dan hipertensi. Bila
perdarahan pascasalin tidak berhasil dengan pemberian
ergometrin atau oksitosin, dapat diberikan misoprostol.

2. Operatif ( prosedur – teknis operatif )

a. Shift to theatre
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi pasien segera
dievakuasi ke ruang operasi. Pastikan pemeriksaan

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 175


untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput
ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan
tindakan kuretase. Kompresi bimanual dilakukan selama
ibu dibawa ke ruang operasi.

b.Tamponade intra uterine or uterine packing


Pada keadaan perdarahan masih berlangsung setelah
langkah - langkah di atas, pikirkan juga kemungkinan
adanya koagulopati yang menyertai atonia yang
refrakter. Tamponade uterus dapat membantu
mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat
memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan.
Segera libatkan tambahan tenaga dokter spesialis
kebidanan dan hematologis, serta juga menyiapkan
ruang ICU. Dapat dilakukan tamponade test dengan
menggunakan Tube Sengstaken, yang mempunyai nilai
prediksi positif 87% untuk menilai keberhasilan
penanganan PPS. Bila pemasangan tube tersebut
mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak
memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi bila
perdarahan masih tetap masif maka pasien harus
menjalani tindakan bedah. Penilaian dilakukan sambil
mempersiapkan ruang operasi atau merujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi.
Pemasangan tamponade uterus dengan
menggunakan balon relatif mudah dilaksanakan dan
hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini
dapat menghentikan perdarahan, mencegah koagulopati
karena perdarahan masif dan memberi waktu persiapan
tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien
yang tidak membaik dengan terapi medis. Walaupun
saat ini yang paling banyak dipakai adalah Sengstaken -
Blakemore oesophageal catheter ( SBOC ), dapat juga
dipakai Rush urological hydrostatic baloon dan Bakri
SOS baloon. Biasanya dimasukkan 300 - 400 cc cairan
untuk mencapai tekanan yang cukup adekuat sehingga
perdarahan berhenti.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 176


c. Apply compression suture
Harus selalu dipertimbangkan antara mempertahankan
hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas.
Sebelum mencoba setiap prosedur bedah konservatif
harus dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan
perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik dan
paritasnya. Keputusan untuk melakukan laparotomi
harus cepat setelah melakukan informed consent
terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan
dilakukan di ruang operasi.
Ikatan kompresi pertama kali diperkenalkan oleh
Christopher B - Lynch sehingga tindakan tersebut
dinamakan Ikatan B - Lynch ( B - Lynch suture ).
Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.1
atau no 2, Vicryl 0 ( Ethicon ) dan PDS 0 tanpa adanya
komplikasi. Akan tetapi perlu diingat bahwa tindakan B -
Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya
menilai efektifitas tindakan B - Lynch dengan cara
kompresi bimanual uterus secara langsung di meja
operasi. Penting sekali kerjasama yang baik dengan ahli
anestesi untuk menilai kemampuan pasien bertahan
lebih lanjut dalam keadaan perdarahan bila upaya
konservatif gagal. Khususnya di negara Indonesia,
karena pasien seringkali datang ke tempat rujukan
dalam keadaan sudah kehilangan banyak darah dan
cadangan darah yang minim atau tidak ada, maka lebih
bijaksana bila klinisi langsung melakukan histerektomi,
daripada melakukan upaya konservatif. Upaya bedah
konservatif hanya dilakukan bila kondisi pasien stabil.

d. Systemic Pelvic Devascularization


a. Ligasi a. uterina.
b. Ligasi a. hipogastrika.

e. Subtotal or total abdominal hysterectomy

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 177


ALOGARITMA PENATALAKSANAAN PERDARAHAN
PASCA SALIN10

X. Informed Consent

Pemberian informed concent secara komplit, jelas dan


benar terutama mengenai tindakan yang akan dilakukan
disertai dengan dampak yang akan terjadi di saat itu dan
pada masa mendatang.

XI. Standar Audit

1. Monitor semua kasus persalinan dengan kehilangan


darah >1000 cc.
2. Penanganan yang adekuat pada pasien bekas seksio
sesarea.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 178


3. Dokumentasi penatalaksanaan, khususnya pada pasien
yang mengalami PPS.
4. Penanganan yang adekuat dan luaran pasien yang
mengalami PPS.
5. Informasi kepada tim Peristi tentang pasien dengan
PPS.
6. Pelatihan yang adekuat terhadap semua tim obstetri
(bidan dan staf medis).

XII. Manajemen Risiko ( medikolegal / pitt - fall )

1. Mengenal faktor risiko yang dapat menimbulkan


perdarahan pasca salin (tabel 1)
2. Melakukan pelatihan terhadap semua penolong
persalinan baik bidan, dokter umum maupun dokter
spesialis berdasarkan Protap Penatalaksanaan
Perdarahan Pasca Salin HKFM edisi revisi ini.
3. Pasien dengan risiko tinggi perdarahan pascasalin
diberikan konseling untuk bersalin di rumah sakit yang
mempunyai bank darah dan ruang OK 24 jam.
4. Mempersiapkan penanggulangan bila terjadi PPS yang
tidak mempunyai faktor risiko sebelumya.
5. Pendekatan tim penanggulangan kegawat-daruratan
medis.
6. Memberikan informed consent
7. Pertemuan audit medis secara rutin untuk menilai
kasus dan senantiasa memperbaiki prosedur-prosedur
penatalaksanaanya.

XIII. Dokumentasi

Bagaimana tuntutan dapat dihindari bila terjadi


Perdarahan Pasca Salin?

Dokumentasi proses persalinan dengan perdarahan


pasca salin yang akurat adalah esensial.
Dokumentasi yang tidak adekuat dapat menimbulkan
konsekuensi medikolegal. Sangat penting adanya prosedur
penyimpanan catatan medis yang memenuhi standar.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 179


Hal penting yang harus dicatat:
• staf yang menolong proses persalinan dan waktu
kedatangannya
• kronologis kejadian
• waktu pemberian obat, dosis dan pengaruhnya
• waktu intervensi operatif
• kondisi pasien di setiap tahap tindakan
• waktu pemberian dan jumlah cairan dan komponen
darah yang diberikan.

XIII. Jadwal revisi yang akan datang setiap 3 tahun oleh


pengurus HKFM yang baru.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 180


Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 181
Daftar Pustaka
1. Mousa HA, Alfirevic Z. Treatment for primary
postpartum haemorrhage. Cochrane Database Syst
Rev2007;(1);CD003249.DOI:10.1002/14651858.CD00
3249.pub2.
2. Confidential Enquiry into Maternal and Child Health.
Why Mothers Die 2002-2005. Seventh Report on
Confidential Enquiries into Maternal Deaths in the
United Kingdom. London
CEMACH,2006(www.cemach.org.uk/getattachment/92
7cf18a-735a-47a0-9200-cdea103781c7/Saving-
Mothers-Lives-Report-2003-2005-fullaspx)
3. Penney G, Brace V. Near miss audit in obstetrics. Curr
Opin Obstet Gynecol 2007;19:145-50.
4. BPS 2008
5. Royston E. Armstrong S, editors. Preventing Maternal
Deaths. geneva: World Health Organization, 1989.
6. World Health Organization. The Prevention and
Management of Postpartum Haemorrhage. Report of a
Technical Working Group Geneva: WHO; 1990.
7. Bose P, Regan F, Paterson-Brown S. Improving the
accuracy of estimated blood loss at obstetric
haemorrhage using clinical reconstructions. BJOG
2006; 113;919-24
8. RCOG Green-top Guideline no.52 Mei 2009.
9. Chandraharan E, Arulkumaran S. Management
Algorith for Atonic Postpartum Haemmorrhage. JPOG
May/Jun 2005; (3 1)3: 106-12.
10. NSW Pregnancy & Newborn Services Network.
Framework for prevention, early recognition and
management of postpartum haemorrhage (PPH). 7
November 2002. NSW Health Dept. Sydney 2002.
11. Schellenberg JC. Primary Postpartum Haemorrhage
(PPH). Last edited. August 13,2003 Available
at:http://www. gfmer.ch/Endo/ Lectures_09 / primary
_postpartum_haemorrhage.htm. Retrieved at:
21/1/2006.
12. Naib JM, Siddiqui MI, Jehangir S. The Role of
prostaglandin in the management of primary
Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 182
postpartum haemorrhage due to uterine atony/
hypotony and the impact of their use on the need for
obstetrical hysterectomy. JPMI 2004; 18(2).
13. Smith Kl, Baskett TF. Uterine compressions sutures as
an alternative to hysterectomy for severe postpartum
hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2003; 25(3): 197-
200.
14. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald D. Active
versus expectant management in the third stage of
labour. Cochrane Database syst.Rev. 2003,3:
CD000057.
15. Rogers J, Wood J, McCandlish R, et al. Active versus
expectant management of labor; the Hutchingbrooke
trial. Lancet 1998; 35: 693-7.
16. Cameron MJ, Robson SC. Vital statistics: an overview.
Dalam : Lynch CB, Keith LG, Lalonde AB, Karoshi M,
penyunting: textbook of postpartum hemorrhage a
comprehensive guide to evaluation, management and
surgical intervention, edisi ke-1. Lancashire: Sapiens
Publishing; 2006.h.17-30.
17. B-Lynch C, Chez R. B-Lynch for Control of Postpartum
Hemmorrhage Contemporary Obstetrics and
Gynecology. In: Magann E F, Lanneau G S. Third
stage of Labour. Obstet Gynecol Clin N Am 32 (2005)
323-332; P.321-32)
18. Tamizian O, Arulkumaran S. The Surgical
Management of Postpartum Haemorrhage. In: Best
Practice & Research Clinical Obstetric & Gynecology
2002, 16(1): 81-98.

Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin 183


PENATALAKSANAAN
SEPSIS MATERNAL
BAB XII

PENDAHULUAN :

Di negara sedang berkembang kematian ibu merupakan


fenomena gunung es, karena berbagai faktor, banyak
kematian ibu yang tidak dilaporkan dan tercatat.
Dinyatakan hampir 500.000 kematian ibu hamil/bersalin/
nifas terjadi tiap tahun yang disebabkan oleh komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas dan 99% terjadi di
negara – negara berkembang. Sebagai contoh di Inggris
terjadi kematian 2 - 9 ibu hamil/bersalin/nifas per 100.000
kelahiran, sedangkan di Afrika terjadi 100 kematian ibu
hamil/bersalin/nifas per 10.000 kelahiran.1 Angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia tidak saja yang tertinggi
diantara negara ASEAN, tetapi juga menurunnya sangat
lamban yaitu dari 450/100.000 kelahiran pada tahun 1986
menjadi 421/100.000 pada tahun 1992 dan target yang
harus dicapai pada akhir Pelita VI adalah 225/100.000.2
Telah diketahui ada 5 penyebab utama kematian ibu di

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 184


seluruh dunia yaitu, perdarahan, sepsis, hipertensi,
persalinan lama dan unsafe abortion. Sebagian besar
kematian ibu yang disebabkan oleh ke lima hal tersebut
sebenarnya dapat dicegah dengan memberikan
pelayanan kesehatan yang memadai, memberikan
informasi/edukasi serta penanganan medis yang cepat
dan tepat.4,5 Laporan di RSUP Sanglah Denpasar selama
5 tahun (1996 – 2000) didapatkan AKI 170/100.000
kelahiran, lebih rendah dari angka rata-rata di Rumah
Sakit Pendidikan Nasional. Terdapat pergeseran
penyebab kematian karena perdarahan dari 68,5% (1969-
1971) menjadi 33,33% (1996-2000); karena infeksi
menurun dari 38,08% (1972-1974) menjadi 12,5% (1996-
2000). Sebaliknya ditemukan kematian ibu oleh penyakit
medis penyerta yang meningkat dari 12,90% (1975-1977)
menjadi 18,75% (1996-2000).3 AKI yang disebabkan oleh
kondisi medis langsung terbanyak (25%) disebabkan
karena perdarahan, diikuti oleh infeksi (15%), unsafe
abortion (13%), eklampsia (12%), persalinan lama
dengan/ tanpa pecah ketuban (8%) dan penyebab lainnya
(8%). Sedangkan penyebab tidak langsung adalah
anemia, penyakit kardiovaskular, malaria, tuberkulosis,
hepatitis dan penyakit-penyakit lainnya. Meskipun sudah
mulai jarang tetapi bila infeksi yang terjadi pada saat
hamil, persalinan, dan nifas yang tidak ditangani dengan
baik bisa berkelanjutan menjadi sepsis, sepsis berat dan
syok septik dan berkembang menjadi Multi Organ
Dysfunction Syndrome (MODS), yang menimbulkan
mortalitas yang sangat tinggi.

FAKTOR RISIKO / PREDISPOSISI 4, 5, 6

Banyak faktor langsung maupun tidak langsung yang


berpengaruh memudahkan terjadi infeksi dan sepsis
pada kehamilan, persalinan dan nifas.
Beberapa kondisi tersebut antara lain :
1. sosial ekonomi rendah
2. anemi dan kurang gizi
3. melahirkan operatif / seksio sesaria

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 185


4. mengalami ketuban pecah dini
5. partus lama dan partus kasep
6. masyarakat yang : - tidak tahu
- partus dukun
7. kehamilan dengan komplikasi infeksi seperti
pielonefritis, infeksi luka, infeksi traktus urinarius
dan sepsis puerperalis.

SUMBER INFEKSI :

Infeksi bisa berasal dari sumber endogen, eksogen,


sebab obstetri maupun non obstetri serta penularan
nosokomial.

OBSTETRI
- khorioamnionitis
- post partum endometritis
- abortus provokatus
- luka seksio sesar
- necrotizing fasciitis
- luka episiotomi dan perlukaan jalan lahir
- pelvic thrombophlebitis
- partus lama dan partus kasep

NON-OBSTETRI
- appendicitis
- kholesisititis
- infeksi saluran kemih / pielonefritis
- pneumonia
- HIV
- Malaria

PROSEDUR INVASIF
- pengikatan serviks / cerclage
- abortus provokatus kriminalis
- infeksi post CVS / amniotomi

LAIN-LAIN
- Toxic shock syndrome (TSS)

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 186


MIKROPATOGEN

Kebanyakan infeksi bersifat poli-mikrobial yang bisa


terdiri dari bakteri atau kokus gram negatif maupun gram
positif, spesies anaerob maupun aerob serta
kemungkinan terlibatnya infeksi oleh jamur.
Kokus gram positif : Pneumococcus; Streptococcus
Group A, B, dan D; Staphilococcus aureus. Bakteri gram
negatif : Escheria Coli; Hemophyllus Influenza; spesies
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas dan
Serratia. Bakteria gram positif : Listeria monocytogenes.
Anaerob : Spesies Bacteroides; Clostridium Perfringens;
Fusobacterium; Peptococcus; Peptostreptococcus. Serta
spesies fungal.

PATOGENESIS 8,9,10,11

Sepsis dipandang sebagai respon inflamasi yang tidak


terkontrol. Mekanisme sepsis berhubungan dengan
respon sistemik yang komplek dan proses imunologik
yang dicetuskan oleh masuknya mikroorganisme atau
produknya ke dalam sirkulasi. Mikroorganisme penyebab
infeksi tersebut kemudian masuk kedalam sirkulasi
(bakteremia) atau mengalami proliferasi lokal dan
melepaskan berbagai mediator imununoreaktif ke dalam
sirkulasi darah.
Pada bakteri gram negatif terdapat lipopolisakarida (LPS),
yang bila masuk ke dalam sirkulasi sebagian akan terikat
dengan LBP (Lypopolysacharide Binding Protein)
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14 terlarut dan
membentuk komplek CD14-LPS. Kompleks ini
menyebabkan transduksi sinyal intraselular melalui
nuclear factor kappa B (NFkB), tyrosine kinase, pro RNA
Cytokine oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan
menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like recepror-2 (
TLR2).

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 187


Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri
yang merupakan induktor sitokin terdiri dari lipotheicoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG). Pada sepsis terjadi
pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebihan. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang
bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit,
makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya. Terjadi
aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen,
sistem koagulasi, dan fibrinolisis, pelepasan proteinase
dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain
mediator yang bersifat proinflamasi, dilepaskan juga
mediator yang bersifat antiinflamasi.

Gambar 1.
Interaksi LPS, LBP dan reseptor CD14,TLR2 pada permukaan monosit
menyebabkan aktifasi sinyal intraseluler melalui NFkB, TK dan PKC.11

Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan IL-1 yang


merupakan sitokin terpenting dalam sepsis dan keduanya
bekerja sinergis, menyebabkan efek biologis transkripsi
berbagai gen molekul adesi, seperti intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1) dan plasminogen activator inhibitor-
1 (PAI-1), phospolipase A2, NO synthetase serta
cyclooxygenase. Pengaruh TNF–α dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 188


tissue factor (TF), penurunan regulasi trombomodulin
sehingga meningkatkan efek prokoagulan, pembentukan
NO, endotelin-1, prostaglandin E2 dan prostaglandin I2,
sedangkan NO berperan dalam mengatur tonus vaskuler.
Pada sepsis produksi NO oleh sel endotel meningkat,
sehingga menyebabkan gangguan hemodinamik berupa
hipotensi, disamping itu NO juga berkaitan dengan reaksi
inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin
proinflamasi, ekspresi molekul adesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO tersebut
berkaitan dengan syok septik yang resisten terhadap
vasopressor.
IL-1 dan TNF-α juga dapat merangsang proses koagulasi
melalui berbagai jalur. Sitokin tersebut dapat merangsang
endotel dan monosit untuk mengekspresikan tissue
factor, yang merupakan tahap pertama jalur ekstrinsik
kaskade koagulasi. Tissue factor ini kemudian akan
menghasilkan trombin, dan selanjutnya trombin dapat
menyebabkan fibrin clot di dalam mikrovaskuler.

Gambar 2 : Pathogenesis gangguan koagulasi akibat sepsis. 10

Selanjutnya sitokin tersebut dapat pula menyebabkan


gangguan pada sistem fibrinolisis, melalui terbentuknya
plasminogen activator inhibitor-1, yang merupakan

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 189


substansi inhibitor yang kuat, dan menyebabkan disrupsi
activated protein C dan antitrombin III.
Activated Protein C, yang merupakan co-factor dari
protein S, mencegah pembentukan trombin melalui
pemecahan faktor Va dan VIII a, dan selain itu activated
protein C juga mempertahankan integritas sistem
fibrinolisis melalui penghambatan terhadap plasminogen
activator inhibitor-1. Akhir dari proses inflamasi dan
koagulasi tersebut menyebabkan insufisiensi
kardiovaskuler, multiple organ disfunction syndrome
(MODS) sampai multiple organ failure (MOF) dan
akhirnya dapat menyebabkan kematian. Insufisensi
kadiovaskuler bisa terjadi secara langsung pada level
miokardium sebagai akibat dari efek langsung TNF-α
atau pada level pembuluh darah sebagai akibat dari
vasodilatasi dan kebocoran kapiler.

MANIFESTASI KLINIS INFEKSI: 1,6,14,15,16

Gambaran klinis infeksi adalah akibat langsung dari efek


sitopatik mikroorganisme serta reaksi imunitas berupa
produksi mediator-mediator humoral atau seluler yang
diproduksi tuan rumah/host sebagai reaksi inflamasi.
Reaksi inflamasi yang timbul akan mengakibatkan suatu
sindroma yang terdiri dari gangguan hemodinamik
disertai dengan disfungsi sistem organ. Infeksi yang tidak
ditanggulangi akan berkembang menjadi systemic
inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, sepsis
berat dan syok septik.
Diagnosis SIRS ini ditegakkan oleh sekurang-kurangnya
dua kriteria yaitu:
1. temperatur > 38o C atau < 36 o C
2. detak jantung > 90 / menit
3. frekuensi pernafasan > 20/menit atau PCO2
arteri <32 mmHg
4. jumlah lekosit > 12000/µl atau < 4000/µl
dengan >10% bentuk imatur.
Bila sepsis ini berkembang serta menimbulkan disfungsi
organ, disebut sepsis berat dan bila ada komplikasi

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 190


hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi volume
cairan intra-vaskuler maka akan jatuh kedalam septik
syok yang berakibat fatal.
Definisi gradasi sepsis yang dipakai sampai saat ini
adalah sesuai dengan konsensus dari American Of Chest
Physicians and the Society of Critical Care Medicine
(ACCP/SCCM) tahun 1994 sebagai berikut: 7,8
1. Infeksi :
Reaksi inflamasi yang disebabkan oleh adanya
mikroorganisme atau invasi organ steril oleh
mikroorganisme.
2. Bakteremia : adanya bakteri dalam darah.
3. Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS)
:
4. Reaksi inflamasi sebagai reaksi terhadap adanya
berbagai penyakit/kondisi dengan diagnosis
seperti telah disebutkan diatas.
5. Sepsis (SIRS + Infeksi) adalah SIRS yang
disebabkan oleh faktor infeksi.
6. Sepsis berat:
Sepsis dengan tanda tanda disfungsi organ atau
penurunan perfusi organ (asidosis laktat, oliguri
<30 ml/jam atau 0,5 ml/kg berat badan/jam,
hipotensi <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg)
dan perubahan mental.
7. Syok septik :
Sepsis berat dan hipotensi yang persisten,
meskipun telah diberikan cairan yang adekuat,
dan setelah menyingkirkan penyebab hipotensi
yang lainnya. Sindrom disfungsi organ multipel
(MODS), adanya gangguan fungsi multi organ
pada pasien dengan sakit berat akut dimana
hemostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi

DIAGNOSIS 8,14,15,18,21

Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan gabungan


temuan faktor predisposisi dengan manifestasi klinis

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 191


berupa SIRS. Berdasarkan hal itu bisa dikategorikan
adanya infeksi, bakteremia, sepsis, sepsis berat, syok
septik sampai MODS atau MOF. Kuman penyebab
dapat diidentifikasi dari pemeriksaan laboratorium
lengkap yang meliputi pemeriksaan darah, urin, dan kultur
dari berbagai cairan tubuh dan amniosentesis bila
dicurigai adanya infeksi intra uterin. Hasil kultur darah
yang positif menguatkan adanya infeksi yang serius.
Karena keterbatasan teknik kultur hanya 30% kuman
penyebab dapat dikenali disamping secara klinis infeksi
bisa masih terbatas lokal dan belum menstimulasi reaksi
sistemik.
Pemeriksaan kultur darah dilakukan sesegera mungkin
begitu muncul gejala panas. Pemeriksaan rutin Candida
tidak dianjurkan.

PENATALAKSANAAN :

Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus


dimulai secara agresif dan adekuat dalam waktu kurang
dari 6 jam. Patokan yang disebut dengan ”Early goal
directed therapy” telah terbukti dapat menurunkan angka
kematian ibu secara bermakna. Pendekatan tersebut
terdiri dari : pemberian cairan intra vena, peningkatan
pemberian oksigen, pemberian obat obat vasopresor,
pemberian obat obat inotropik, pemberian tranfusi darah,
pemberian ventilasi mekanik dan pemakaian kateter
arteri. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan
penyesuaian kembali, cardiac preload, afterload dan
kontraktilitas jantung untuk tujuan akhir yaitu tercapainya
keseimbangan antara oxygen delivery dan oxygen
demand. 12

1. PENGOBATAN DENGAN ANTIBIOTIKA

Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan


spektrum yang mencakup kemungkinan kuman
penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian,
keamanan serta biaya. Pemberian antibiotika segera

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 192


harus dilakukan tanpa menunggu hasil kultur dan dapat
dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas.
Apabila hasil kultur dan tes sensitifitas sudah ada, maka
jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes
sensitifitas yang ada, untuk menghindari timbulnya
resistensi antibiotika tersebut. Pada infeksi yang berat
dipilih cara pemberian intravena untuk mempercepat
kerja obat. Beberapa pilihan antibiotika pada
sepsis/sepsis berat/syok septik sebagai berikut :
1. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan
kehamilan dan persalinan, yang dicurigai dengan
infeksi aerob dan anaerob masih dapat diberikan
kombinasi penisilin, aminoglikosid dan klindamisin
atau metronidazole.
2. Sebagai alternatif, pada pasien pasien yang tidak
mengalami neutropenia dapat diberikan sefalo-
sporin generasi ke dua atau ke tiga. Dapat
dipertimbangkan Sefalosporin generasi ketiga
atau keempat, seperti Cefotaxime, Ceftizoxime,
Cefo-perazone, Ceftriaxone, Cefpirone,Cefepine
atau Ceftazidime serta Meropenem untuk infeksi
yang berat atau infeksi oleh berbagai macam
strain bakteria gram negatif.
3. Pada sepsis berat yang mengancam nyawa
direkomendasikan kombinasi sefalosporin
generasi ketiga atau keempat dengan
aminoglikosida.
4. Pada beberapa rumah sakit, terdapat bakteri gram
negatif yang resisten terhadap aminoglikosida dan
sefalosporin generasi kedua, tiga dan empat.
Pada kondisi ini dapat diberikan Meropenem atau
Ciprofloxacin. Pseudomonas aeruginosa yang
resisten terhadap gentamisin, dapat diberikan
Amikasin, Ceftazidime, Cefepime, Meropenem
atau Tobramisin. Strain Enterokokal yang saat ini
resisten dengan banyak antibiotika dapat
diberikan klorampenikol, doksisiklin atau
fluorokuinolon.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 193


5. Obat anti jamur tidak dianjurkan untuk diberikan
secara rutin, kecuali pada pasien pasien yang
mengalami penurunan imunitas dan kondisi
kondisi tertentu yang memudahkan terjadinya
infeksi jamur dan dapat diberikan ampotericin B
atau flukonasol.13,14,15

Tabel 1
Beberapa Pilihan Antibiotika untuk sepsis/sepsis berat/syok sepsis16

Subset Patogen Terapi yg Terapi Perubahan IV


penyebab dianjurkan alternatif ke oral
Sumber Enterobac Meropenem 1 gr Quinolone IV Moxifloxacin
Intraabdomi -teriaceae (IV)/8 jam ( 2 mgg) (2 mgg) 400 mg(po)/24
nal/pelvik B. fragillis atau + salah satu jam (2 mgg)
Piperacillin/ tazo- dari: atau kombina-
bactam 3.375 gr Metronidazole si dengan
IV/6jam (3 mgg) 1 gm IV/24 Clinda-
atau jam (2 mgg) mycin 300
Ertapenem 1 gr atau mg(po) / 8 jam
(IV) /24 jam (2 Clindamycin (2 mgg)
mgg) 600 mg IV / 8 + salah satu
atau kombinasi jam (2 mgg) dari
dengan Cipro-
Ceftriaxone 1 gr floxacin 500
IV/24 jam (2 mgg) mg(po) /12
Plus jam atau
Metronidazole 1 gr Levoflo-
IV/24 jam (2 mgg) xacin 500
mg/24 jam (2
mgg)
Urosepsis Enterobac Meropenem 1gr Quinolone IV Quinolone(po)
- teriaceae IV/8jam (1- 2 mgg) (1- 2 mgg) (1- 2 mgg)
E. faecalis atau atau
Piperacillin/tazo- kombinasi
bactam 3,375 gr dengan
IV/jam (1 – 2 mgg) amniglikosidaI
IV (1-2 mgg)
atau
Vancomicin
1gr IV/12 jam
(1- 2 mgg)
Candidemia C.albicans Flukonasol 800mg
IV 1x,lanjutkan
dengan 400 mg
IV/24 jam (2 mgg)
atau
Ampotericin B 0,7
mg/kg IV /24 jam
(2 mgg)

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 194


atau
Itrakonasol 200
mg IV/12 jam (2
hari) lanjutkan
dengan 200 mg
IV/24 jam (2 mgg)

2. RESUSITASI CAIRAN :

Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah


adanya vasodilatasi umum yang diakibatkan oleh
pelepasan NO dalam jumlah besar. Disamping itu pada
sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh
adanya peningkatan kapasitas vaskular (penurunan
venous return), dehidrasi (karena asupan yang kurang,
kehilangan cairan melalui keringat dan pernapasan) atau
karena adanya perdarahan dan kebocoran plasma.
Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan menormalkan
metabolisme selular. Pemberian cairan kristaloid / koloid
untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik diberikan
secara bolus 250 – 1000 ml selama 5-15 menit, setelah
itu dipertahankan sesuai dengan tekanan darah, yaitu
mempertahankan tekanan darah sistolik minimal 90
mmHg atau tekanan arterial rata-rata (MAP) 60-65
mmHg, dan volume urine ≥ 0,5 ml/kg berat badan/jam.
Bila setelah pemberian cairan tersebut secara klinis,
tekanan darah tidak ada perubahan/masih hipotensi,
frekuensi denyut jantung tidak menurun, isi nadi tidak
cukup, kulit dan ekstermitas dingin, produksi urin tidak
membaik dan kesadaran tidak membaik, maka pemberian
cairan selanjutnya sebaiknya dimonitor dengan
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) yang
dipertahankan pada tekanan 8-12 mm H2O atau yang
lebih tepat dengan memonitor tekanan ventrikel kiri dan
tekanan diastolik dengan pemasangan Pulmonary
Capillry Wedge Pressure (PCWP) yang dipertahankan
pada tekanan 12-16 mmHg. Suplai oksigen sistemik
tergantung dari cardiac output dan oxygen carrying

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 195


capacity dari darah. Kadar Hb yang ideal untuk pasien
sepsis adalah 8 hingga 10 gr/dl tergantung keadaan klinis
penderita. Semua tindakan ini dilakukan di ruang
perawatan intensif dengan monitoring yang ketat.
Apabila tekanan darah tetap tidak naik setelah pemberian
cairan dan peningkatan hemoglobin, maka diperlukan
pemberian obat vasopresor. Vasopresor yang dipilih
harus mempertimbangkan efek kardiak dan vaskular
perifer dari obat tersebut. Norepinefrin lebih sering
dipakai karena tidak banyak menyebabkan peningkatan
frekuensi denyut jantung. Pada syok septik, norepinefrin
juga lebih baik dalam meningkatkan cardiac output
dibandingkan dengan dopamin, demikian juga dalam
perbaikan aliran darah ke ginjal dan produksi urin. Bila
cardic output tetap tidak baik, yang ditandai oleh perfusi
perifer yang tidak adekuat, serta indeks kardiak <2,5
L/min/m2, maka dapat diberikan obat obat inotropik,
seperti dobutamin, yang dimulai dengan dosis 2,5 µg/kg
berat badan/ menit dan dinaikkan setiap 30 menit, sampai
tercapai perfusi yang normal atau frekuensi jantung >140
x/menit atau hilangnya hipotensi. Akhirnya apabila
kombinasi vasopresor dan obat inotropik sudah diberikan
dan hasilnya belum optimal maka dapat diberikan
vasopresin dengan dosis 0,01 sampai 0,04 unit/menit
dengan tujuan untuk mencegah iskemia arteria koroner
dan splanikus. Pemberian bikarbonat pada asidosis tidak
dianjurkan .7,8,9,10,13,14,15
Pemberian resusitasi cairan harus dilakukan dengan
pengawasan hemodinamik yang ketat yaitu, tekanan
darah, nadi, cardiac output, PCWP, produksi urin dan
kadar asam laktat darah. Hati-hati dalam pemberian
cairan koloid pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi ginjal, sebab dapat mempengaruhi fungsi filtrasi
ginjal yang pada akhirnya dapat menyetuskan terjadinya
gagal ginjal akut. 9,15

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 196


KONTROL SUMBER INFEKSI :

Sumber infeksi harus segera dihilangkan begitu kondisi


pasien mengijinkan. Pada kasus kasus infeksi luka atau
fasciitis dapat dilakukan debridement, evakuasi produk
konsepsi yang tersisa dengan kuretase, drainase pada
abses pelvik, laparatomi dan bahkan dilakukan
histerektomi apabila diperlukan.7
Bila sumber infeksi intrauterin pada saat kehamilan
(misalnya khorioamnionitis pada ketuban pecah dini),
maka kehamilan harus diterminasi sesuai dengan
persyaratan yang ada.

4. PENGOBATAN MENCEGAH GAGAL NAFAS:17

Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal


nafas (frekuensi nafas >35 kali/menit), penurunan
kesadaran, dan hipoksemia berat, maka dilakukan
intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi mekanik.
Adapun kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan
apakah seseorang sudah ada dalam kondisi kegagalan
nafas yang mengancam adalah hal-hal sebagai berikut :
1. Mekanikal :
a. Kapasitas Vital < 15 ml/kg
b. Maternal inspiratory force (MIF) < - 25 cm H20
c. Frekuensi nafas > 35 kali/menit
2. Oksigenasi :
a. Pa 02 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4
b. P(A-a)02 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0
3. Ventilasi :
a. Pa CO2 > 55 mmHg (pada keadaan akut)
b. Dead space / tidal volume ( Vd/Vt > 0,6)
4. End Respiratory lung inflation inadequate for adequate
gas exchange.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 197


5. PEMBERIAN KORTIKOSTEROID:18

Meskipun masih kontroversi penggunaan kortikosteroid


dosis kecil jangka panjang menunjukkan perbaikan
hemodinamik dan menurunkan kebutuhan obat
vasopresor, serta menurunkan secara bermakna angka
kematian pasien di ruang intensif serta mengurangi hari
rawat inap. Penggunaan kortikosteroid ini juga tidak
terbukti menimbulkan perdarahan saluran cerna,
terjadinya superinfeksi dan hiperglikemia. Dengan
demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan pada
pasien sepsis dan syok septik. Rekomendasi dosis yang
dberikan adalah hidrokortison 50- 100 mg intravena
setiap 6-8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per infus
ditambahkan dengan fluorokortison 50 ug/hari, untuk
kemudian dilakukan tappering-off secara bertahap sesuai
dengan kondisi klinis. Pemberian physiologic doses of
corticosteroid tersebut dapat diberikan pada kadar kortisol
yang normal atau tinggi dengan asumsi terjadi efek
penurunan regulasi reseptor adrenergik yang disertai
dengan respon desensitisasi.9,17,19

6. PEMBERIAN ANTIKOAGULAN : 13

Sesuai dengan tersedianya fasilitas pada pasien dengan


sepsis berat syok septik dan pasien dengan resiko
kematian tinggi (APACHE II >25) dapat diberikan
recombinant activated protein C (rh APC). Efek terapi
yang diharapkan dari rhAPC ini adalah efek antikoagulan
dan antifibrinolitik, sehingga dapat memperbaiki kondisi
konsumtif koagulopati dan menghambat kaskade
inflamasi. Perdarahan merupakan risiko mayor pemberian
activated protein C, seperti perdarahan intrakranial.
Kriteria pemberian dan kontra indikasinya dapat dilihat
pada lampiran 1. Score APACHE II dapat dilihat pada
lampiran 2.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 198


7. PENGENDALIAN GULA DARAH :

Untuk mencegah terjadinya kematian akibat MODS,


dilakukan pemberian terapi insulin untuk mengendalikan
kadar gula darah pada kadar 80 - 100 mg/dl, dan harus
dilakukan monitoring ketat terhadap adanya tanda tanda
hipoglikemi. Pada pasien sepsis yang mengalami
hiperglikemi akan terjadi penurunan fungsi fagositosis
netrofil dan pemberian insulin mampu meningkatkan
fungsi tersebut. Potensi insulin yang lainnya adalah
kemampuan untuk menurunkan kejadian apoptosis sel
dengan cara mengaktivasi pospatidil inositol3-kinase.
Tanpa me-mandang apapun mekanismenya
pengendalian gula darah pada pasien kritis penting
dilakukan dengan catatan tetap melakukan monitoring
adanya hipoglikemi yang dapat membahayakan jaringan
otak (Hypoglycemic brain injury). Kadar gula darah yang
direkomendasikan adalah antara 80-110 mg/dl.
9,11,12,13,18,19

Tabel dibawah ini dapat dipakai sebagai pedoman


pemberian dan monitoring insulin pada pasien sepsis.
12
Tabel 2. Appropriate action depending on blood glucose level :

BG Level
Test Action
(mg/dl)
A: Measure on entry to Start insulin at dose of 2-4 IU/h.
>220
ICU Continue test B
Start insulin at dose 1-2 IU/h.
220-110
Continue test B
Do not start insulin continue test BG.
<110
Monitoring every 4 h. Continue test A
B: Measure glucose level
>140 Increase dose by 1-2 IU/h
until normal
110-140 Increase dose 0,5-1 IU/h
Adjust insulin dose by 0,1-0,5 IU/h.
Approaching N
Continue test C
C: Measure glucose every
Approaching N Adjust insulin dose by 0,5-1 IU/h
4h
Normal Leave insulin dose unchanged
Falling steeply Reduce insulin dose and check

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 199


glucose within 1-2 h
Reduce insulin dose and glucose
60-80
within 1 h
Stop insulin assure adequate baseline
40-60
Glucose intake and check glucose 1 h
Stop insulin, assure adequate
baseline
<40
Glucose intake administer glucose 10
g IV boluses and check glucose 1 h

8. PENATALAKSANAAN KOAGULASI
INTRAVASKULER DISEMINATA (KID) :

Koagulasi intravaskuler diseminata (KID) adalah proses


trombohemoragik sistemik yang terkait dengan kondisi
klinis tertentu dengan adanya bukti-bukti laboratorium
seperti (1). aktivasi prokoagulan, (2). aktivasi fibrinolitik,
(3). konsumsi inhibitor dan (4). kegagalan organ.
Diagnosis KID pada sepsis seringkali sulit ditegakkan
hanya berdasarkan pemeriksaan laboratorium saja, oleh
karena hampir semua uji laboratorium memberikan hasil
abnormal. Sebaliknya bila hasil uji laboratoriumnya masih
belum menunjukkan gangguan, maka pemeriksaan ulang
dilakukan dalam 24-48 jam sesuai keadaan klinis
penderita, sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan
kondisinya. Konsensus International Society on
Thrombosis and Haemostasis (ISTH) ke-47 tahun 2001,
mengajukan sistem penilaian untuk menetapkan
diagnosis KID. Bila skor 5 atau lebih sugestif KID dan bila
kurang dari 5 perlu diulang dalam 1 – 2 hari. 9,20
20
Tabel 3. Sistem Skor KID (ISTH 2001)

1. Penilaian risiko : apakah terdapat penyebab yang


berkaitan dengan KID ?  jika tidak penilaian tidak
dilanjutkan
2. Uji koagulasi ( hitung trombosit, PT, fibrinogen,
FDP/D-dimer )
3. Skor :
- Hitung trombosit : > 100. 000 =0

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 200


50.000 – 100 000 = 1
< 50 000 =2
- FDP/D-dimer :
Tidak meningkat ( D-dimer < 500 ) =0
Meningkat sedang ( D-dimer 500-1000 ) = 2
Sangat meningkat ( D-dimer > 1000 ) = 3
- Pemanjangan masa protrombin (PT)
< 3 detik = 0
4-6 detik = 1
> 6 detik = 2
- Fibrinogen : < 100 mg/dl = 1
> 100 mg/dl = 0
_______________________________________________
Jumlah Skor :
• ≥ 5 : sesuai KID  skor diulang setiap hari untuk
pemantauan beratnya KID
• < 5 : sugestif KID  skor diulang dalam 1-2 hari

KID yang disebabkan oleh sepsis hal yang terpenting


adalah mengatasi penyebabnya yaitu sepsis itu sendiri.
Terapi antifibrinolitik (asam traneksamat/ asam amino-
kaproat) tidak dianjurkan karena mengganggu proses
fibrionolisis dan dapat memperberat kegagalan organ.
Rekomendasi pemberian heparin adalah bila terdapat
bukti terjadinya tromboemboli (penurunan kesadaran,
iskemik fokal, gangren superfisial, oliguria, azotemia,
nekrosis kortikal, ARDS, perdarahan / ulserasi saluran
cerna atas akut, anemia hemolitik). Heparin diberikan
secara intravena dengan dosis 100 IU/kgBB bolus
dilanjutkan dengan 15-25 IU/kgBB/ jam (750-1250 IU/jam)
dengan infus kontinyu dan dosis selanjutnya disesuaikan
untuk mencapai aPTT 1,5 – 2 kali kontrol.
Fresh Frozen Plasma (FFP) dan konsentrat trombosit
diberikan bila didapatkan perdarahan dan risiko terjadi
perdarahan atau akan menjalani tindakan invasif.
Pemberian antitrombin III direkomendasikan sebagai
terapi substitusi bila aktivitas AT III < 70% dengan tujuan
memperbaiki keadaan KID dan disfungsi organ.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 201


Antitrombin III diberikan dengan dosis awal 3000 IU(50
IU/kgBB) diikuti 1500 IU setiap 8 jam dengan infus
kontinyu selama 3-5 hari. Substitusi AT III juga dapat
diberikan berdasarkan rumus 0,6 x berat badan (kg) x
(aktivitas yang diinginkan - aktivitas awal). Aktivitas AT III
yang diinginkan adalah >120%. Pemakaian konsentrat
AT III bersamaan dengan heparin tidak dianjurkan karena
tidak memperbaiki mortalitas dan malah meningkatkan
risiko perdarahan.
Bila memungkinkan dianjurkan untuk memantau AT III
setiap 8 jam,atau bila terjadi perbaikan klinis atau menilai
kembali skor KID.9,20

9. PENGAKHIRAN KEHAMILAN :

Terdapat beberapa pengaruh sepsis terhadap kehamilan,


yaitu terjadinya penurunan sirkulasi uteroplasenta dan
persalinan preterm yang disebabkan oleh hipoksemia
maternal dan asidosis. Keputusan untuk melahirkan tetap
mempertimbangkan kondisi pasien dan umur kehamilan
(kecuali ada infeksi intra uterin). Apabila pemberian terapi
yang adekuat terhadap sepsis tetap tidak memberikan
perbaikan kondisi ibu atau terjadi perburukan kondisi ibu
maka melahirkan/mengosongkan uterus dengan segera
dapat dipertimbangkan karena dapat memperbaiki
venous return dan volume paru.

KESIMPULAN

1. Berbagai penanganan obstetri yang aman dan


bersih, tindakan pencucian tangan serta sterilisasi
alat-alat, perlakuan partograf WHO serta
pengembangan dan penemuan antibiotika
menyebabkan faktor infeksi telah relatif menurun
sebagai penyebab AKI. Tetapi bila sampai terjadi
dan bila tidak mendapatkan penanganan yang
adekuat maka masalahnya akan menjadi serius dan
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu
dan bayi.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 202


2. Sepsis maternal harus segera dikenali dengan
memperhatikan adanya faktor risiko dan munculnya
tanda SIRS.
3. Diagnosis sepsis sudah boleh ditegakkan bila ada
faktor predisposisi infeksi dan ditemukan minimal
dua kriteria SIRS.
4. Kecepatan melakukan tindakan secara agresif
sangatlah penting, golden period nya adalah dalam
waktu 6 jam pasien harus sudah mendapatkan
penanganan intensif dengan didahului pemberian
cairan yang cukup serta antibiotika yang tepat.
5. Pada dasarnya pengelolaan sepsis maternal
memerlukan perawatan intensif, pendekatan multi-
disiplin serta pengawasan yang ketat dan oleh
karenanya sesuai dengan algoritma pengelolaan,
setelah mendapatkan penanganan pendahuluan
maka sebaiknya segera dirujuk ke senter yang
mempunyai fasilitas penanganan lebih lengkap.
6. Dianjurkan dengan melihat algoritma maka setiap
senter dapat bertindak sesuai dengan fasilitas yang
dimiliki.
7. Agar dihindarkan keadaan yang ”Early Under
Treatment and Late Over Treatment” sebab bila
pasien sudah jatuh ke dalam keadaan MOD dan
MOF maka mortalitasnya sangat tinggi, pengobatan
sia sia dan menghabiskan biaya yang sangat
mahal.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 203


Daftar Pustaka

1. Sandhu AK, Mustafa FE. Maternal mortality in Bahrain


1987-2004 : an audit of causes of avoidable death.
Eastern Mediteranian Health Journal, Vol 14, No 3, 2008.
721- 727.
2. Saifudin AB, Adrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D
(Eds). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Edisi pertama, Jakarta, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003:3-9.
3. Kornia Karkata, Sepidiarta. Pergeseran Kausa Kematian
Ibu Bersalin di RSUP Sanglah Denpasar, Selama Lima
Tahun 1996 – 2000., Maj Obstet Ginekologi Indonesia Vol.
30 No. 3 Juli 2006: 175-78.
4. Kvale G, Olsen BE, Hinderaker SG, Ulstein M, Bergsjo P.
Maternal deaths in developing countries : A preventable
tragedy. Norsk Epidemiology 2005; 15 (2) : 141-149.
5. Kaur D,kaur V , Yuel VI. Alarmingly High Maternal Mortality
1n 21st Century. JK Science. Vol 9,No 3, july-September
2007, 123- 12.
6. Dolea C, Stein C. Global Burden Of Maternal Sepsis in the
year 2000. Epidemiology and Burden of Disease WHO
Geneva, July 2003.
7. Saude GR. Maternal sepsis. Obstetric Intensive care
nd
manual. 2 Edition. The Mc Graw-Hill Companies Ltd,
2004 : 113 – 118.
8. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, fein AM,
Knaus WA et al. Definitions and organ failure and
guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.
The ACCP/SCCM Concensus Coference Committee.
American College Of Chest Physi\cians/ Society of Critical
medicine. Chest 1992; 101; 1664-1655, Down load from
chestjournal.org on August 21, 2008.
9. Hochkiss RS, Karl IE. The Pathophysiolgy and treatment
of sepsis. The New Englad Journal of Medicine, 348:2,
January, 9, 2003; 138- 148.
10. Rigato O, Silva E, Kallas EG, Brunialti MKC, Martins PS,
Salomo R. Pathogenic Aspects of Sepsis and Possible
Targets for adjunctive Therapy.
http://www.bentham.org/cdtiemd1-1/salomao/salomao.htm.
page 1-18
11. Chen K, Widodo D. Patofisiologi Sepsis. Peran Mediator
Inflamasi. Bunga Rampai Penyakit Infeksi. Pusat Informasi

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 204


dan Penelitian Depertemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2004. 54-60.
12. Vincent JL, Abraham E, Annane D, Bernard G, Rivers E,
Berghe G. Reducing Mortality in Sepsis : new directions.
Supplement. Critical Care, December 2002,vol 6,Suppl 3.
13. Larosa SP . Sepsis: Menu of new approaches replaces
one therapy forall. Cleveland Clinic Journal of Medicine,vol
69,number 1,January 2002.65-70.
14. Khan EJ, Bangash MD. Recommendations for appropriate
use of antimicrbials at Hospitals in Pakistan. Departemen
of Infectious diseases and Infection control, Shifa
International Hospital, Islamabad, 2003.
15. Rusel JA. Management of sepsis. The New England
Journal of Medicine. October 19, 2006. 1699- 171.
16. Cunha BA, Ronald MD,Nichols MD. Empiric Therapy
th
Based on Clinical syndrome. Antibiotic Essenstials,7 ed.
Physicians Press,2008. 118-119.
17. Schiel X, Hebart H, Kern WV, Kiehl MG, Solch JP, Wilhelm
S.et al. Sepsis in neutropenia. Guidelines of the Infectious
Diseases Working Party of the German Society of
Hematology and Oncology. Annual Hematol (2003) 82
(supp 2): s158-166.
18. Gei AF, Suarez VR. Respiratory Emergencies during
nd
pregnancy. Obstetric zintesive Intensive care.2
Edition.The Mc Graw Hill Companies, Ltd.2004.
19. Cooper MS, Stewart PM. Corticosteroid Insufficiency in
Acute Ill Patients. New England Journal of Medicine,
February 20, 2003. 727-733.
20. Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Chen K,
Govinda A, Sukrisman L. Konsensus Nasional
Tatalaksana Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC)
pada sepsis 2001.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 205


Lampiran 1.

Kriteria pemberian rh APC adalah :


1. Adanya bukti atau kecurigaan sumber infeksi, yang
dibuktikan dengan salah satu dari hal - hal berikut ini :
a. Sputum purulen.
b. Gambaran radiologis thorax dengan infiltrat baru
yang tidak dapat dijelaskan dengan proses
noninfeksi.
c. Adanya kontaminasi dari isi usus pada saat
operasi.
d. Adanya bukti infeksi dari pemeriksaan fisik atau
radiologik.
e. Adanya leukosit pada cairan tubuh yang
seharusnya steril.
f. Kultur darah positip.

2. Adanya bukti SIRS yang memenuhi minimal 3 dari


kriteria.

3. Kriteria kegagalan organ :


a. Sepsis berat (kriteria 1 dan 2) dengan APACHE II
Score ≥ 25, dan
b. Disfungsi sistem kardiovaskuler: pasien harus
mengalami.
- Syok septik, yang ditandai dengan MAP < 60
mmHg atau tekanan darah sistolik < 90
mmHg atau ada kebutuhan vasopresor untuk
memepertahankan tekanan darah pada
kondisi volume intravaskuler cukup (CVP >
mmHg atau PCWP > 12 mmHg, atau setelah
pemberian cairan yang adekuat (12 cc/kgBB),
atau
- Adanya 2 atau lebih tanda tanda kegagalan
organ sebagai berikut :
1. Disfungsi sistem pernafasan : PaO2/FiO2
ratio < 200.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 206


2. Disfungsi renal : produksi urin < 0,5
mL/KgBB/Jam dalam 1 jam, pada kondisi
volume intravaskuler sudah cukup (CVP
> 8 mmHg atau PCWP > 12 mmHg atau
setelah pemberian cairan adekuat 12
mL/kgBB ).
3. Disfungsi hematologik : trombositopenia
(<80 000 platelet/mm3 atau kadarnya
menurun 50% dalam 3 hari terakhir) atau
INR > 1,2 yang tidak dapat dijelaskan
dengan kelainan liver atau pemakaian
warfarin.
4. Asidosis metabolik yang tidak terjelaskan
: pH < 7,30 dengan peningkatan kadar
plasma laktat 1,5 kali diatas nilai batas
atas normal.

Kontra indikasi pemberian rhAPC adalah sebagai


berikut :
1. Perdarahan internal aktif.
2. Pembedahan < 12 jam.
3. Trombositopenia ( ≤ 20 000 platelet/mm3)
4. Adanya perdarahan post operasi.
5. Adanya perdarahan gastrointestinal.
6. Adanya riwayat masa/lesi di sistem saraf atau
adanya herniasi serebral.
7. Adanya riwayat stroke, malformasi arteriovenous,
aneurisma cerebral, pembedahan intrakranial atau
intraspinal atau trauma kepala berat yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit dalam
waktu 3 bulan terakhir.
8. Sirosis
9. Adanya riwayat perdarahan stelah tindakan per
kutaneus
10. Adanya riwayat gangguan kesadaran
11. Adanya pemberia heparin ≥15.000 U/hari dalam 8
jam terakhir, low molecular weight heparin dengan
dosis lebih besar dari dosis propilaksis dalam 12
jam terakhir.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 207


12. Terapi trombolitik sistemik dalam 3 hari terakhir,
aspirin >650 mg/hari dalam 3 hari terakhir,
warfarin dalam 4 hari terakhir atau clopidogrel
dalam 4 hari terakhir
13. Proses penyakit dalam stadium terminal
14. Trauma pada paru,lien dan liver
15. Pemakaian kateterepidural

Adapun dosis obat yang dianjurkan adalah sebagai


berikut :
Berikan rh APC dengan dosis 24µg/kg/jam dengan infus
kontinyus dalam waktu 96 jam. Apabila akan dilakukan
pembedahan atau tindakan per kutaneus, pemberian
rhAPC distop 2 jam sebelum tindakan dan dapat
diberikan lagi 1 jam setelah tindakan per kutaneus atau
12 jam setelah prosedur pembedahan dengan
hemostasis yang adekuat. Bila terjadi perdarahan
gastrointestinal, segera hentikan pemberian rhAPC dan
lakukan pemeriksaan endoskopi. Pasien harus
mendapatkan profilaksis stress ulcer, misalnya sucralfate,
atau proton-pump inhibitor. Bila pasien membutuhkan
heparin full dose, maka pemberian rh APC dihentikan.

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 208


Lampiran 2
Score APACHE – II :

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 209


Lampiran 3.

ALGORITMA PENATALAKSANAAN SEPSIS


MATERNAL

Identifikasi
pasien Tim Sepsis

Resusitasi Pemberian Antibiotika


cairan Spektrum Luas

< 8-12
CVP 500-1500 ml kristaloid bolus
?

< 8-12

< 65
MAP
? vasopresor

≥ 65

< 70% < 30%


Transfusi
Central
Venous O2 Hct
sat ? ?
Penyesuaian
≥ 30% Dosis
Dobutamin

Protein C Steroid jika Posisi Semi- Kontrol Ventilator


Jika ada ada indikasi. recumbent Sumber pada kondisi
indikasi. Infeksi ARDS

Penatalaksanaan Sepsis Maternal 210


PENGGUNAAN
MISOPROSTOL
DALAM BIDANG
OBSTETRI BAB XIII
PENDAHULUAN

Banyak ragam jenis obat dan cara penggunaan uterotonika


di bidang obstetri untuk terminasi kehamilan, induksi
persalinan, perdarahan pasca salin. Salah satu jenis
uterotonika yang saat ini banyak digunakan adalah
misoprostol dikarenakan mudah didapat, mudah cara
penyimpanannya dan ekonomis. Namun masih belum ada
kesepakatan mengenai dosis dan cara pemberiannya.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan misoprostol tersebut
adalah off label use. Mengingat efek samping misoprostol
yang dapat mengakibatkan ruptur uteri maka sebaiknya
tidak digunakan pada pasien rawat jalan.

INDIKASI MISOPROSTOL

Misoprostol dapat digunakan sebagai:


1. Induksi persalinan.

Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 211


2. Perdarahan pasca salin.
3. Terminasi kehamilan.

KONTRAINDIKASI

1. Riwayat seksio sesar


Risiko ruptur uteri sebesar 4 – 5 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan pemakaian oksitosin
2. Reaksi alergi terhadap misoprostol.

REKOMENDASI PENGGUNAAN MISOPROSTOL

1. Induksi persalinan
Misoprostol digunakan sebagai induksi persalinan janin
yang masih hidup. Khususnya bila Bishop score masih
rendah yakni < 6.
Rekomendasi dosis dan interval obat berdasarkan cara
pemberian adalah sebagai berikut : (Level of evidence
Ia, Rekomendasi A)
- Pemberian per oral
Misoprostol 20 – 25 ug per oral setiap 2 jam.1
- Pemberian per vaginam
Misoprostol 25 ug pervaginam setiap 6 jam.2
Dosis maksimal adalah dua kali pemberian. Tidak
direkomendasikan untuk membasahi tablet miso-
prostol dengan air sebelum dimasukkan ke dalam
vagina.
- Pemberian sublingual, buccal maupun rektal belum
direkomendasikan.

Hal – hal yang harus diperhatikan selama pemberian


misoprostol adalah sebagai berikut :
- Selama pemberian misoprostol pasien sudah
berada di kamar bersalin.
- Dilakukan pemeriksaan kesejahteraan janin
sebelum induksi persalinan.
- Setelah misoprostol diberikan, setiap 30 menit
dilakukan pemeriksaan denyut jantung janin dan
kontraksi uterus.

Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 212


- Tersedia obat tokolitik yakni terbutaline 250 ug
subkutan.
- Jangan memberikan oksitosin sebelum 6 jam
pemberian misoprostol
- Pemberian misoprostol sebagai induksi persalinan
dilakukan di rumah sakit yang mampu melakukan
operasi cito.

2. Terminasi kehamilan trimester I (Umur kehamilan < 14


minggu) untuk janin hidup.
Rekomendasi dosis dan interval obat agar terjadi
ekspulsi spontan adalah sebagai berikut:
- Misoprostol per vaginam 800 ug setiap 6 jam
sampai dosis maksimal 3 kali pemberian. (Level of
evidence Ib, Rekomendasi A)
- Rekomendasi dosis dan interval obat sebelum
dilakukan tindakan kuretase adalah misoprostol
pervaginam atau sublingual 400 ug 2 - 3 jam
sebelum tindakan. (Level of evidence Ia,
Rekomendasi A)

3. Terminasi kehamilan trimester II (umur kehamilan 15 –


27 minggu) untuk janin hidup.
Rekomendasi dosis dan interval obat adalah
misoprostol pervaginam 400 ug setiap 3 jam sampai
dosis maksimal 5 kali pemberian pada umur kehamilan
15 - 20 minggu.7 Bila Umur kehamilan lebih dari 20
minggu maka dosis dan interval obat dikurangi, sama
dengan penggunaan misoprostol untuk IUFD. (Level of
evidence Ib, Rekomendasi A)

4. Intrauterine fetal death (IUFD)


Rekomendasi penggunaan adalah sebagai berikut :
- Umur kehamilan 20 – 26 minggu
Misoprostol pervaginam 100 ug setap 6 – 12 jam
sampai maksimal 4 kali pemberian.
- Umur kehamilan ≥ 27 minggu
Bila bishop score ≤ 6, digunakan misoprostol
pervaginam 25 – 50 ug setiap 4 jam sampai
Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 213
maksimal 6 kali pemberian. (Level of evidence Ib,
Rekomendasi A)

5. Perdarahan pasca salin


Misoprostol digunakan untuk pencegahan perdarahan
pasca salin bila tidak tersedia uterotonika injeksi.
Rekomendasi untuk pencegahan perdarahan
postpartum adalah misoprostol per oral 600 ug dan
untuk pengobatan perdarahan pasca salin adalah
misoprostol per rektal 800 ug. (Level of evidence Ib,
Rekomendasi A)

EFEK SAMPING
1. Mual dan muntah
Angka kejadian adalah kurang dari 2 %.
2. Demam dan menggigil
Angka kejadian adalah kurang dari 2 %.
3. Hiperkontraktilitas uterus
Hiperkontraktilitas dapat berupa :
- Takisistol
Frekuensi kontraksi sebanyak 6 kali dalam 10 menit
dalam 2 x 10 menit.
- Hipertoni
Durasi kontraksi lebih dari 2 menit.
- Sindrom hiperstimulasi
Takisistol dan gawat janin

Terminasi Per 100 ug setiap 6 – 12


kehamilan janin vaginam jam, maksimal 4 kali
hidup maupun pemberian
mati (20 – 26
minggu)
Terminasi Per 100 ug setiap 6 – 12
kehamilan pada vaginam jam setiap 4 jam,
IUFD (≥ 27 maksimal 6 kali
minggu) pemberian
Perdarahan post Oral 600 ug
partum Rektal 800 ug

Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 214


Selama penggunaan misoprostol, 15 dari 250 orang
mengalami takisistole ; 3 dari 250 orang mengalami
hipertoni ; 1 dari 250 mengalami sindrom hiperstimulasi.
Penanganannya adalah penggunaan tokolitik.
4. Gawat janin
Frekuensi gawat janin antara misoprostol dan oksitosin
adalah sama.
5. Ruptur uteri
Risiko ruptur uteri meningkat bila misoprostol diberikan
pada riwayat seksio sesaria.
6. Mobius syndrome
Sindrom ini terjadi bila ada kegagalan abortus yang
diinduksi dengan misoprostol.

Tujuan Rute Dosis


Induksi Per oral 20 – 25 ug per oral
persalinan setiap 2 jam
Per 25 ug setiap 6 jam,
vaginam maksimal 2 kali
pemberian
Terminasi Per 800 ug setiap 6 jam,
kehamilan janin vaginam dosis maksimal 3 kali
hidup (< 14 pemberian
minggu) Per 400 ug setiap 2 – 3 jam
vaginam sebelum kuretase
Sublingual
Terminasi Per 400 ug setiap 3 jam,
kehamilan janin vaginam maksimal 5 kali
hidup (15 – 20 pemberian
minggu)

Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 215


Daftar Pustaka

1. Alfirevic Z, Weeks A. Oral misoprostol for induction of labour


(review). Cochrane review 2007. Available at :
www.thecochranelibrary.com
2. Hofmeyr GJ, Gülmezoglu AM. Vaginal misoprostol for
cervical ripening and induction of labour (review). Cochrane
review 2007. Available at : www.thecochranelibrary.com
3. Muzonzini G, Hofmeyr GJ. Buccal or sublingual misoprostol
for cervical ripening of labour (review). Cochrane review
2007. Available at : www.thecochranelibrary.com
4. A. Weeks, Z Alfirevic, A Faundes, GJ. Hofmeyr, P. Safar,
D.Wing. Misoprostol for induction of labor with a live fetus.
Int J Gynecol Obstet 2002;99:S194-7
5. A. Faundee, C Fiala, O.S. Tang, A. Velasco. Misoprostol for
the termination of pregnancy up to 12 completed weeks of
gestation. Int J Gynecol Obstet 2002;99:S172-7
6. Nathalie K, Patricia AL, Thoai DN, Jennifer LH, Cervical
preparation for first trimester surgical abortion. Cochrane
review 2010. Available at : www.thecochranelibrary.com
7. Ho PC, Blumenthal PD, Gemzell-Danielsson K, Gomez
Ponce de LR, Mittal S, Tang OS. Misoprostol for the
termination of pregnancy with alive fetus at 13 – 26 minggu.
Int J Gynecol Obbstet 2007;99:S178-81
8. Gomez R, Wing B, Fiala C.Misoprostol for intrauterine fetal
death. Int J Gynecol Obstet 2007;99:S190-3.
9. Z Alfieric, J Blum, G Walraven, A Weeks, B Winikoff.
Prevention of postpartum hemorrhage. Int J Gynecol Obstet
2007;99:S198-201
10. J Blum, Z Alfieric, G Walraven, A Weeks, B Winikoff.
Treatment of postpartum hemorrhage. Int J Gynecol Obstet
2007;99:S202-205.

Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri 216


LAMPIRAN 1
PENILAIAN LEVEL EVIDENS DALAM BUKU INI
BERDASARKAN KRITERIA DI BAWAH INI.

Kriteria kualitas penilaian berbasis bukti dan klasifikasi


rekomendasi

Tingkat keberhasilan

I. Bukti diperoleh dari sedikitnya satu uji klinis


terkontrol secara acak dengan benar.
II-A Bukti dari uji klinis terkontrol yang dirancang dengan
baik tanpa pengacakan.
II-B Bukti dari uji kohort yang dirancang dengan baik
(prospektif atau retrospektif) atau studi kasus kelola,
sebaiknya dari lebih dari satu pusat atau kelompok
penelitian.
III Bukti diperoleh dari perbandingan antara waktu atau
tempat dengan atau tanpa intervensi.
IV Pendapat otoritas yang dihormati, berdasarkan
pengalaman klinis, studi deskriptif, atau laporan
komite ahli.
Klasifikasi Rekomendasi

A. Ada bukti yang baik untuk mendukung rekomendasi


bahwa kondisi tersebut secara khusus
dipertimbangkan dalam pemeriksaan kesehatan
berkala.
B. Ada cukup bukti untuk mendukung rekomendasi
bahwa kondisi tersebut secara khusus
dipertimbangkan dalam pemeriksaan kesehatan
berkala.
C. Kurang bukti yang mendukung sehubungan dengan
kriteria inklusi atau eksklusi dari kondisi
pemeriksaan kesehatan berkala, tapi rekomen-
pertanyaan dapat dibuat berdasarkan alasan lain.
D. Ada cukup bukti untuk mendukung rekomendasi
bahwa kondisi tersebut tidak dipertimbangkan
dalam pemeriksaan kesehatan berkala.
E. Ada bukti yang baik untuk mendukung rekomendasi
bahwa kondisi dikecualikan dari pertimbangan
dalam pemeriksaan kesehatan berkala
KOORDINATOR DAN
KONTRIBUTOR TOPIK

LAMPIRAN 2
KOORDINATOR DAN KONTRIBUTOR TOPIK

I. Asuhan Pranatal
Koordinator : Damar Prasmusinto
Anggota :
• Noroyono Wibowo
• Nonny Nurul Handayani

II. Panduan Pemeriksaan Ultrasonografi Obstetri Dasar


Koordinator : Herman Kristanto MS
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UNDIP

III. Kehamilan Dengan Diabetes Melitus


Koordinator : Agus Abadi
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UNAIR

IV. Kehamilan Dengan Penyakit Jantung


Koordinator : Soetomo Soewarto
Anggota : 1 Tim Feto 1 Maternal
Seksi Kardiologi
Seksi Anestesiologi : Djujuk Rahmat Basuki
V. Pertumbuhan Janin Terhambat
Koordinator : H. M. Sulchan Soefoewan
Sekretaris : Hariyasa Sanjaya
Anggota :
• Agus Abadi
• Anantyo Binarso
• Erry Gumilar D
• Gulardi Wiknjosastro (alm)
• Hartono Hadisaputro
• Haryono Roeshadi
• Hatta Ansyori
• IG Putu Surya
• Jay Tinggogoy
• Johanes C. Mose
• Kurdi Syamsuri
• Made Kornia Karkata
• Najoan N. Warouw
• Noroyono Wibowo
• Rukmono Siswishanto
• Sarma L. Raja
• Sofie Rifayani Krisnadi
• Wim T. Pangemanan

VI. Penatalaksanaan Kehamilan Multifetus


Koordinator : Damar Prasmusinto
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UI

VII. Kelainan Bawaan


Koordinator : I Gede Putu Surya
Sekretaris : Surya Negara
Anggota :
• Haryono Roeshadi
• Sarma L. Raja
• Hatta Ansyori
• TMA Chalik, DGO
• Djusar Sulin
• Yusrawati
• Zulmaeta
• Hatta Ansyori
• Wim T. Pangemanan
• Hidayat Wijayanegara
• Udin Sabarudin
• Rukmono Siswishanto
• Sulchan Soefoewan
• Loekmono Hadi
• Sri Sulistyowati
• Hermanto T. Joewono
• Bangun Trapsila
• Imam Wahyudi
• Nuke
• Ketut Suryanegara
• Irmingrad M. S. Murah Manoe
• Efendi Lukas
• Najoan N. Warouw
• Jan Tinggogoy

VIII. Pengelolaan Ketuban Pecah Dini


Koordinator : Herman Kristanto MS
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UNDIP

IX. Penatalaksanaan Kehamilan Lewat Waktu


Koordinator : Ketut Suryanegara
Anggota : Tim Fetomaternal FK-Udayana

X. Persalinan Pervaginam Pasca Seksio Sesaria


Koordinator : Damar Prasmusinto
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UI

XI. Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Salin


(Revisi 2011)
Koordinator : Johanes C. Mose
Sekretaris : Udin Sabarudin
Anggota :
• Hidayat Wijayanegara
• Firman F. Wirakusumah
• Sofie R. Krisnadi
• Jusuf S. Effendi
• Anita D. Anwar
• Budi Handono
• Setyorini Irianti
• Adhi Pribadi
• M. Alamsyah
• Ahmad Yogi
• Amelia Shidiq

XII. Penatalaksanaan Sepsis Maternal


Koordinator : Made Kornia Karkata
Sekretaris : A.A.N Jaya Kusuma
Anggota :
• I Gede Putu Surya
• Tjok. G. A. Suwardewa
• Nyoman Hariyasa Sanjaya
• Ketut Suryanegara
Sumbangan saran :
• HM. Sulchan Soefoewan
• Imam Wahyudi
• Jusuf S. Effendi
• Budi Handono
• Kusnarman Keman
• Agoes Poerwoko
• Makmur Sitepu
• Bambang Wibowo
• R. Detty Siti Nurdiati
• Khrismawan
• M. Alamsyah
• Joserizal Serudji
• Amillia Siddiq
• Lilia Mufida
• Diah Rumekti Hadiati
• Adhitya Maharani Devi

XIII. Penggunaan Misoprostol dalam Bidang Obstetri


Koordinator : Herman Kristanto MS
Anggota : Tim Fetomaternal FK-UNDIP
EPILOG

Ketika pikiran yang baik datang dari semua arah, ranah


diskusi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna telah
disepakati, daya dukung sumber daya manusia serta
keahliannya sangat mumpuni maka dengan modal semua
itu ternyata belum cukup untuk mewujudkan impian dan
cita - cita organisasi. Masih diperlukan suatu komitmen
yang sungguh - sungguh dan berkelanjutan dari seluruh
sivitas terkait. Harus diakui pula bahwa dalam praktiknya
tidaklah mudah menghimpun seluruh potensi “strength”
menjadi keluaran yang cukup “strong”. Tetapi harus tetap
diakui bahwa segala upaya yang telah dilakukan secara
bersama-sama selama ini akan merupakan bagian dari
catatan sejarah perkembangan organisasi HKFM.
Ketika niat baik dalam pikiran yang diikuti dengan
kesepakatan dan dilanjutkan dengan usaha yang
bersungguh-sungguh maka hasil akhir, adalah soal lain.
Dengan cara berpikir seperti itulah buku pedoman ini
disusun.
Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul merupakan
prinsip dalam menyusun buku ini sehingga diharapkan
semua senter dapat ikut berpartisipasi dalam berbagai
program organisasi untuk kemajuan HKFM kedepan.
Pada akhirnya, sekali lagi, ucapan terima kasih yang tulus
disampaikan untuk seluruh Pengurus HKFM Pusat, Ketua
Divisi FM diseluruh senter pendidikan Obstetri Ginekologi
dan semua pihak yang ikut berperan dalam penerbitan
Buku Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri Himpunan
Kedokteran Fetomaternal 2012. Semestinya secara berkala
buku ini akan direvisi sesuai dengan perkembangan
iptekdok dan lingkungannya. Semoga visi, misi dan tujuan
organisasi dapat segera terwujud.

+++
Komisi Pengabdian Masyarakat
Himpunan Kedokteran Feto Maternal
POGI

Anda mungkin juga menyukai