Anda di halaman 1dari 35

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A217012 / Mei 2019


** Pembimbing / dr. Fenny Febrianty, Sp.PD

ABSES HEPAR PIOGENIK

Yasmin Shabira Wityaningsih, S.Ked *

dr. Fenny Febrianty, Sp.PD **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A217012 / Mei 2019
** Pembimbing / dr. Fenny Febrianty, Sp.PD

ABSES HEPAR PIOGENIK

Yasmin Shabira Wityaningsih, S.Ked *

dr. Fenny Febrianty, Sp.PD **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

ABSES HEPAR PIOGENIK

Disusun Oleh :
Yasmin Shabira Wityaningsih, S.Ked
G1A1217012

Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian/SMF Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Mei 2019

Pembimbing

dr. Fenny Febrianty, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Clinical Science Session (CSS) yang
berjudul “Abses Hepar Piogenik” sebagai salaah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Fenny Febrianty,Sp.PD yang
telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekerangan pada referat Clinical
Science Session (CSS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan referat ini. Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Mei 2019

Yasmin Shabira Wityaningsih, S.Ked

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................... iii
Daftar Isi............................................................................................................. iv
Daftar Tabel ....................................................................................................... v
Daftar Gambar .................................................................................................... vi
Daftar Singkatan................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1 Hepar .............................................................................................. 2
2.1.1 Anatomi Hepar ............................................................................ 2
2.1.2 Histologi Hepar ...................................................................... 3
2.1.3 Fisiologi Hepar ....................................................................... 4
2.2 Definisi ........................................................................................... 5
2.3 Epidemiologi ................................................................................... 6
2.4 Klasifikasi dan Etiologi ................................................................... 7
2.5 Patogenesis ...................................................................................... 8
2.6 Manifestasi Klinis ............................................................................... 11
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang ........................................... 12
2.9 Tatalaksana ...................................................................................... 15
2.10 Komplikasi....................................................................................... 20
2.11 Prognosis ......................................................................................... 20
2.10 Diagnosa Banding............................................................................ 22
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sumber Infeksi AHP ........................................................................... 7


Tabel 2.2 Bakteri Penyebab AHP ....................................................................... 8
Tabel 2.3 Perbedaan abses hepar piogenik dan abses hepar amebik .................... 22
Tabel 2.4 Diagnosis banding ................................................................................. 24

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Hepar ................................................................................ 3


Gambar 2.2 Histologi Hepar ............................................................................... 3
Gambar 2.3 Port déntre infeksi ke hepar ............................................................. 10
Gambar 2.4 Gambaran USG abses hepar ............................................................ 13
Gambar 2.5 Gambaran CT scan kontras abses hepar ............................................ 14
Gambar 2.6 Gambaran MRI abses hepar .............................................................. 15
Gambar 2.7 Alat yang digunakan untuk terapi intervensi absese hepar ............... 17
Gambar 2.8 Aspirasi perkutaneus dengan bantuan USG ...................................... 18
Gambar 2.9 Aspirasi perkuatenus setelah ditandai dengan bantuan USG ............ 18
Gambar 2.10 Pengambilan volume abses dengan kateter pigtail ......................... 18

vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN

Hepar adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari
suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hepar dari 48% abses viscera.1
Abses hepar dapat didefinisikan sebagai kumpulan material supuratif yang
terkumpul pada jaringan parenkim hepar, dimana diakibatkan adanya infeksi
bakteri, jamur, dan atau mikroorganisme parasit.2 Abses hepar secara umum
terbagi dua, yaitu abses hepar amebik (AHA) dan abses hepar piogenik (AHP).
AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling
sering dijumpai di daerah tropik/subtropik seperti Indonesia, sedangkan AHP atau
yang dikenal sebagai bacterial liver abscess, merupakan kasus yang relatif jarang,
telah dikenal sejak zaman Hippocrates, namun pertama kali dipublikasikan oleh
Bright pada 1936.1
Pada awal 1900an, angka kematian karna abses hepar sangat tinggi yaitu
75-80%, sementara hari ini, telah tercatat terdapat penurunan angka kematian,
yaitu mulai dari 10-40%. Hal ini disebabkan oleh perkembangan dari terapi
antibiotik dan prosedur intervensi untuk terapi abses hepar. Meskipun terdapat
peningkatan dari angkat kematian, nilai ini masih cukup tinggi, maka dari itu
penegakkan diagnosis awal dari abses hepar berperan penting dalam hasil klinis.
Abses hepar dapat sulit untuk terdiagnosis, dan gejalanya bervariasi. Seringkali,
tidak ditemukan gambaran klinis yang spesifik, dan sehingga untuk membuat
penegakkan diagnosis sangat bergantung pada pencitraan.2 Saat ini AHP
merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup
tinggi apabila terjadi keterlambatan dalam penegakkan diagnosis. Adanya
peningkatan pengetahuan dan teknologi dalam bidang bakteriologi, antibiotika,
dan teknik drainase secara signifikan memberikan perbaikan pada penanganan
pada abses hepar.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
2.1.1 Anatomi Hepar
Hepar terletak pada kuadaran kanan atas abdomen, terletak langsung
dibawah diafragma. Hepar memiliki berat antara 1 sampai 2 kilogram (2,25
hingga 4,5 pon), atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Hepar dilapisi oleh
kapsul jaringan ikat dan lapisan visceral peritoneum kecuali area kecil dibawah
lapisan diafragma yang disebut bare area. Hepar terdiri dari empat buah lobus
inkomplit yang terpisah dan ditopang oleh dua buah ligamentum. Terdapat dua
lobus utama hepar yaitu lobus kanan dan kiri yang dipisahkan oleh ligamentum
falciformis, lapisan peritoneal yang memisahkan hepar dengan dinding abdomen
anterior. Pada bagian tepi dari ligamentum falciformis terdapat ligamentum teres,
yang merepresentasikan sisa-sisa dari vena umbilicus pada fetus. Pada lobus
kanan terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan lobus qaudatus. Lobus qaudatus
berdekatan dengan vena cava inferior, dan lobus quadratus berdekatan dengan
kantung empedu (vesical felea).3
Sepanjang permukaan inferior hepar terdapat beberapa struktur yang
tergabung dan membentuk huruf H. Antara lain yaitu kantung empedu dan
ligamentum teres dari hepar yang membentuk bagian superior dari H; vena cava
inferior dan ligamentum venosum yang membentuk bagian inferiornya. Terakhir,
vena porta yang representasikan sisi horizontal yang menyilang pada huruf H dan
merupakan muara dari pembuluh-pembuluh darah, limfe, saluran empedu dan
persarafan yang masuk dan keluar dari hepar. Terutama untuk vena porta hepatika
dan cabang dari arteri hepatica yang masuk ke porta hepatica. 3
Terdapat dua peredaran darah yang mensupply hepar. Vena porta hepatika
membawa darah dari kapiler-kapiler di traktus gastrointestinal, limpa dan
pancreas. Pembuluh darah ini membawa 75% volume darah ke hepar. Darah yang
dibawa kaya akan nutrisi dan beberapa hasil substansi penyerapan tetapi kurang
oksigen. Pada arteri hepatika, cabang dari trunkus celiac terbagi menjadi dua yaitu
arteri hepatika dextra dan sinistra. Kedua arteri ini membawa darah yang kaya

2
oksigen ke hpear. Darah dari percabangan arteri hepatika dan vena porta hepatika
bergabung dan bersamaan melewati lobules-lobulus hepar. Di tengah setiap
lobulus adalah vena sentral yang mengalirkan darah dari lobulus. Vena sentral
mengumpulkan darah vena dan bergabung di seluruh hati untuk membentuk
banyak vena hepatika yang akhirnya kosong ke vena cava inferior.

Gambar 2.1 Anatomi Hepar3


2.1.2 Histologi Hepar
Secara histologis pada hepar terdapat jaringan ikat kapsulosa yang
membentuk sekat dan terbagi menjadi lobulus hepar. Lobulus hepar berbentuk
heksagon dan dibagian pinggirnya terdapat rangkaian yang terdiri dari cabang
vena porta, arteri hepatica dan ductus biliaris. Pada tiap lobulus terdapat sel hepar
yang disebut hepatosit. Pada bagian tengah lobulus terdapat vena sentralis yang
terhubung dengan hepatic sinusoid yang merupakan saluran berdinding tipis dari
pembuluh kapiler. Pada hepatic sinusoid terdapat sel kuppfer yang berfungsi
sebagai sel fagositik dan sistem imun.3

Gambar 2.2 Histologi Hepar3

3
2.1.3 Fisiologi Hepar
Hepar mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di
antaranya yaitu:4.5
a. Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam
empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak
di dalam usus.
b. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak,
protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan
a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino.
c. Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hepar, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan
B12 juga disimpan secara normal.
a. Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hepar mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin,
yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun
banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka
besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan
dalam bentuk ini di dalam sel Hepar sampai diperlukan. Bila besi dalam

4
sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan
besi.
b. Hepar membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hepar yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hepar, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X.
d. Hepar mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon,
dan zat lain
Medium kimia yang aktif dari hepar dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa
hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara
kimia oleh hepar meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron.
e. Hepar berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hepar adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan
mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid
hepar merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal
jantung kanan). Kerja fagositik sel kupffer membuang bakteri dan debris dari
darah.

2.2 Definisi
Abses hepar piogenik (AHP) merupakan infeksi pada hepar oleh bakteri,
dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri atas jaringan hepar nekrotik, sel inflamasi atau sel
darah di dalam parenkim hepar.1,2

5
2.3 Epidemiologi
AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan
kondisi hygiene/sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, di Amerika Serikat
insidensi dari AHP yaitu terdapat 8 –15/100.000 kasus AHP / tahun yang
memerlukan perawatan di RS, terhitung lebih dari 80% kasus abses hepar.6
Berdasarkan penelitian Chen et al di Taiwan mengenai epidemiologi abses hepar
piogenik dari tahun 2000-2011, insidensi AHP per tahun dari semua kelompok
umur didapatkan peningkatan yaitu 10,83/100.000 orang/tahun pada tahun 2000
menjadi 15,45/100.000 orang/tahun pada tahun 2011, dengan rerata insidensi per
tahunnya yaitu 13,52/100.000 orang/tahun selama periode penelitian dari tahun
2000-201.7
Sebelum tahun 1980an, E. coli merupakan bakteri patogen yang paling
sering menyebabkan AHP. Pada tiga dekade terakhir, K. pneumonia telah
menjadi penyebab paling dominan di negara-negara Asia, khususnya di Taiwan.6
Alasan penyebabnya masih belum diketahui, mungkin dapat berhubungan dengan
perbedaan kerentanan host terhadap infeksi K. pneumonia, faktor virulensi K.
pneumonia yang spesifik, serta tingkat penyebaran K. pneumonia yang lebih
tinggi dibandingkan dengan AS dan Eropa dan faktor lingkungan. Sebagai contoh,
Chung et al mencatat bahwa warga dengan etnis Korea yang tinggal di negara
selain Korea memiliki proporsi karier serotipe K1 dari K. pneumonia yang lebih
rendah dibandingkan dengan warga yang tinggal di Korea. Penemuan ini
mengindikasikan terdapat peran penting dari faktor lingkungan pada kolonisasi di
intestinal oleh rantai serotipe ini.5,7
Pasien dengan usia menengah atau lebih tua merupakan berisiko tinggi
untuk dapat terjadi AHP, walaupun dengan rentang usia berkisar lebih dari 40
tahun yaitu dengan insidensi puncak usia ditemukan pada pasien dengan usia 50-
hingga 65 tahun (dekade ke – 6). AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan dengan rasio 1.5-2.5 : 1. Abses hepar piogenik sukar ditetapkan.
Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih
canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat
diagnosisnya.6,7

6
2.4 Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi dari abses hepar tergantung dari etiologi penyebab timbulnya
abses. Abses hepar terbagi menjadi abses hepar piogenik dan abses hepar amubik.
Abses hepar piogenik disebabkan oleh infeksi bakteri, sedangkan abses hepar
amubik disebabkan oleh mikroorganisme amoeba. Pada AHP terdapat beberapa
penyebab yang dapat berpotensi menjadi sumber infeksi seperti yang tertera pada
tabel 2.1.1,5
Tabel 2.1 Sumber infeksi AHP5
Sumber Infeksi
Saluran Empedu - Batu Empedu
- Kolagniokarsinoma
- Striktur
Vena Porta - Apendisitis
- Divertikulitis
- Chrons Disease
Arteri Hepatika - Infeksi Gigi
- Endokarditis Bakterial
Penyebaran langsung - Empiema empedu
- Ulkus Peptikum
- Abses Subfrenik
Iatrogenik - Biopsi Hepar
- Blocked Billiary Stent
Trauma
Kriptogenik
Kista Hepar Terinfeksi

Pada AHA, mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi adalah


Entamoeba histolytica. Sedangkan pada AHP disebabkan oleh bakteri yang tertera
pada tabel 2.2 .5

7
Tabel 2.2 Bakteri penyebab AHP5
Tipe organisme Sering (>10%) Jarang (1-10%)
Bakteri gram negative Escherichia coli Pseudomonas
Klebsiella spp. Proteus
Enterobacter
Citrobacter
Serratia
Bakteri gram positif Streptococcus (anginosus Staphylococcus aureus
grup) β-Hemolytic streptococci
Enterococcus spp.
Viridans streptococci lain
Bakteri anaerob Bacteroides spp. Fusobacterium
Anaerobic streptococci
Clostridium spp.
Lactobacilli

2.5 Patogenesis
Proses patofisiologis AHP tidak menggambarkan hal berbeda tetapi hal ini
terjadi setiap kali terdapat respon inflamasi awal yang gagal untuk membersihkan
infeksius yang masuk ke dalam hepar. AHP sering diklasifikasikan berdasarkan
rute dari invasi hepar: 1) sistem bilier, 2) vena porta, 3) arteri hepatica, 4)
penyebaran langsung dari focus infeksi, dan 5) trauma tembus (penetrasi). Secara
ideal, klasifikasi ini dibedakan secara mikrobiologis sehingga dapat diberikan
pemilihan antibiotik yang sesuai, akan tetapi hal ini terbatas dikarenakan
banyaknya jumlah kejadian abses yang kriptogenik.5
1) Sistem bilier.
Kolangitis merupakan penyebab utama terjadinya AHP. Dalam
beberapa kasus, dapat ditemukan abses multiple dan jarang disebabkan
oleh bakteri anaerob. Obstruksi bilier yang menyebabkan hal ini biasanya
yaitu penyakit batu empedu, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh

8
obstruksi tumor, oklusi stent, kriptosporidiosis, dan migrasi Ascaris
lumbricoides ke sistem bilier.
2) Arteri hepatica.
Penyebaran bacteremia (seperti endocarditis, sepsis) dapat menyebar ke
hepar melalui aliran ini. Pasien yang meninggal karena sepsis yang
berulang ditemukan memiliki bentuk abses yang multiple saat autopsy,
tetapi jarang ditemukan pembentukan abses hepar secara mikroskopik
pada pasien yang sembuh dari syok septik.
3) Vena Porta
Sistem vena porta menerima darah dari hamper semua organ viscera.
Pylephlebitis yang disebabkan oleh diverticulitis, pankreatitis, omphalitis,
inflammatory bowel disease, atau infeksi postoperatif dapat menyebabkan
abses hepar piogenik. Apendisitis yang tidak tertangani memiliki riwayat
menjadi penyebab utama dari abses hepar piogenik pada masa sebelum
dikenalkan adanya antibiotik.
4) Penyebaran langsung dari fokus infeksi
Hal ini berhubungan dengan kolesistitis, abses subfrenik, perinefrik,
dan abses intraabdomen lainnya
5) Trauma
Trauma tembus terhadap hepar, meskipun hanya dikarenakan menelan
tusuk gigi, dapat membentuk formasi abses. Trauma tumpul juga dapat
menjadi predisposisi dari pembentukan hematoma hepar dan dapat
meningkatkan penyebaran bakteri. Sama seperti destruksi hepar dari
penyakit sickle cell, nekrosis tumor (termasuk embolisasi iatrogenic) atau
sirosis dapat menjadi predisposisi dari pembentukan abses.5

9
Gambar 2.3 Port d’entre infeksi ke hepar5
Hepar menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena
portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hepar oleh karena paparan bakteri
yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hepar
akan menghindari terinfeksinya hepar oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik
dapat memperoleh akses ke hepar dengan ekstensi langsung dari organ-organ
yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit
sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan
terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan
melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk
formasi abses fileflebitis (radang vena porta). Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hepar sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hepar,
perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hepar dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hepar yang lebih sering
terjadi AHP dibandingkan lobus kiri, hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus

10
kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan
lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik.1,6

2.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi sistemik AHP biasanya lebih berat daripada abses hati amebic.
Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis kalsik berupa nyeri
spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dengan kedua tangan diletakkan diatasnya. Demam/panas tinggi merupakan
keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen,
dan disertai dengan keadaan syok. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat,
gejala dan manifestasi klinis AHP adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi
dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan.
Apabila abses hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi
iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk maupun
terjadi atelectasis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah, berkurangnya
nafsu makan, terjadi penrunan berat badan yang unintentional, kelemahan badan,
icterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna
gelap.1,7
Berikut gambaran manifestasi klinik AHP:8,9
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai
menggigil
b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan
dan kedua tangan diletakkan di atasnya.
c. Mual dan muntah
d. Berkeringat malam
e. Malaise dan kelelahan
f. Berat badan menurun
g. Berkurangnya nafsu makan
h. Anoreksia

11
Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris yang sumer-sumer hingga
demam/panas tinggi, pada palpasi terdapat hepatomegaly serta perkusi terdapat
nyeri tekan hepar, yang diperberat dengan adanya pergerakan abdomen,
splenomegaly didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik, selain itu, bisa
didapatkan asites, icterus serta tanda-tanda hipertensi portal.1,7
Berikut gambaran pemeriksaan fisis AHP:8,9
a. Hepatomegali
b. Nyeri tekan perut kanan
c. Ikterus, namun jarang terjadi
d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura
e. Buang air besar berwarna seperti kapur
f. Buang air kecil berwarna gelap
g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik

2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit
ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Pada anamnesis
didapatkan pasien mengeluhkan nyeri pada bagian perut kanan atas, terkadang
pasien terlihat membungkuk kedepan dengan posisi kedua tangannya berada
diatas lokasi tersebut. Jika letak lesi berada dekat diafragma pasien juga dapat
mengeluhkan adanya nyeri bahu kanan, batuk ataupun atelektasis. Gejala lain
yang dapat timbul adalah mual, muntah, penurunan berat badan, berkurangnya
nafsu makan disertai malaise, ikterus, buang air besar seperti dempul, dan buang
air kecil berwarna gelap.8,10
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam bersifat remiten. Pada
sklera dan kulit pasien dapat terlihat ikterus. Pada penemirksaan fisik abdomen
ditemukan perbesar organ hepar yang nyeri tekan dan nyeri tekan pada kuadran
kanan atas perut pasien. Jika AHP telah kronis dapat ditemukan asites dan
hipertensi vena porta.8

12
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan hematologi, uji serologis, kultur darah, dan radiologis. Pada
pemeriksaan hematologi pada pasien AHP dapat ditemukan leukositosis dengan
pergeseran ke kiri (shift to the left) , anemia, peningkatan laju endap darah. Untuk
pemeriksaan kimia darah fungsi Hepar terjadi peningkatan bilirubin, alkalin
fosfatase, peningkatan enzim transaminase,dan serum bilirubin. Berkurangnya
konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan
bahwa terdapat kegagalan fungsi hepar. Kultur darah yang memperlihatkan
bakterial penyebab menjadi gold standard untuk menegakkan diagnosis secara
mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak
ditemukan kuman.8,10
Diagnosis abses hepar 90% ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
radiologis. Pemeriksaan radiologis membantu dalam mengidentifikasi penyebab
dalam beberapa kasus. Metode primer yang digunakan untuk diagnostic antara
lain konvensional ultrasound (USG) dan computer tomography (CT). Kedua
metode ini memiliki sensitivitas 96-100% dalam mendeteksi abses hepar. Pada
pemeriksaan USG, abses hepar memberikan gambaran hipoekoik dan dapat
menghasilkan gambaran yang berbeda-beda, tergantung dari septa atau gas yang
ada pada abses.2,10

Gambar 2.4 A. Gambaran USG yaitu hipoekoik abses dengan ekogenisitas


heterogen sentral yang konsisten dengan septal dan debris internal (panah warna
biru). B. Gambaran USG Doppler yang menggambarkan hipervaskularitas perifer
pada sekitar kavitas abses.2

13
Ketika pemeriksaan USG bersifat nondiagnostik, maka diperlukan CT,
magnetic resonance imaging (MRI) atau contrast enhanced US (CEUS) untuk
menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan CT kontras dengan iodine intravena
(IV), dapat menunjukkan gambaran rim enchancement dan memperbesar
gambaran septa internal, jika ada, hal ini dikarenakan peningkatan vaskularitas
dari dinding abses dan septa. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses
lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah.
Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil <
5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses
sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau
membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster
piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras
fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana
hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat
hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul
abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang
hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat
monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di
dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. 11,12

Gambar 2.5 CT dengan kontras. A. Fase arterial akhir menggambarkan


hipervaskularitas pada CT, gambaran sekitar perifer abses terlihat pada gambar
(panah warna biru). B. Fase vena porta menggambarkan internal septum dari

14
abses (bintang warna biru), menggambarkan adanya intervensi pada parenkim
hepar. Gambaran multilocular pada abses, menandakan keterlibatan untuk terapi
yang potensial2

Pada pemeriksaan MRI, abses hepar memberikan gambaran hiperintensitas


pada gambaran T2-weighted dan hipointense pada gambaran T1-weighted tanpa
kontras. Hal ini disebabkan oleh komponen abses hepar yang berprotein, dalam
beberapa kasus menunjukkan hiperintensitas pada gambaran T1-weighted tanpa
kontras. Setelah pemberian gadolinium, abses hepar dapat memberikan gambaran
enhancement yang serupa seperti yang terlihat pada CT.2,8

Gambar 2.6 MRI.A Gambaran T2-weighetd menggambarkan kavitas abses


multiple pada lobus kanan (panah warna biru). Gambaran hiperintensitas, edema
parenkim hepar (bintang warna biru). B. Gabmaran T1-weighted non kontras
menggambarkan derajat dari hiperintensitas T1 dengan kavitas abses berisikan
debris protein. C. Post kontras gambaran T1-weighted menggambarkan perifer
atau rim enchancement disekeliling abses.2

2.9 Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien AHP adalah:
Medikamentosa dan Operatif:
1. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses
hepar piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun
tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal12

15
2. Terapi Definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Pemberian antibiotika diketahui efektif untuk abses yang kecil
dengan ukuran diameter <3-5 cm. Pemberian antibiotik harus dimulai
segera setelah didapatkan hasil identifikasi dari organisme penyebab
AHP. Untuk terapi awal pasien diberikan antibiotik intravena
kemudian diikuti pemberian antibiotik oral (PO). Rekomendasi untuk
durasi pemberian antibiotik berjarak mulai dari 3 minggu pemberian
intravena ditambah pemberian per oral 1-2 bulan hingga 2-3 minggu
pemberian intravena ditambah 1-2 minggu pemberian per oral. Durasi
pemberian obat tergantung respon dari terapi, yang dibarengi dengan
pemeriksaan ulang ultrasonografi dan perbaikan dari demam dan nilai
leukositosis.6,13
Penggunaan antibiotik spectrum luas telah direkomendasikan untuk
tatalaksana terhadap basil gram negatif, coccus gram positif, dan
bakteri anaerob. Pilihan antibiotik yang direkomendasikan yaitu
golongan sefalosporin generasi ketiga ditambah metronidazole atau
piperacillin/tazobaktam. Meskipun, beberapa patogen yang
berhubungan dengan abses hepar telah resisten terhadap kedua
golongan ampicillin dan fluoroquinolone. Terapi akan menjadi lebih
sulit ketika terdapat penignaktan reseistensi K. pneumonia dibeberapa
belahan dunia.6,14
Dosis pemberian antibioik pada pasien yaitu sampai 3 gr/hari
selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik
ini yang diberikan terdiri dari:
a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa
jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV

16
c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
d. Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.12,14
3. Drainase abses
Drainase abses merupakan pilihan lini pertama untuk abses hepar.
Abses hepar dapat dilakukan drainase dengan menggunakan aspirasi
jarum atau dengan memasukkan kateter pigtail dengan bantuan USG
atau CT-Scan.11 Kriteria untuk dilakukan drainase abses yaitu: pasien
dengan demam berkelanjutan hingga setelah 48-72 jam setelah
pemberian pengobatan yang adekuat dan terapi aspirasi, ukuran abses
hepar > 6 cm; dan secara klinis atau dengan pemeriksaan USG
dicurigai terjadi perforasi impending.6,16
Berikut alat yang sering digunakan untuk aspirasi atau drainase
abses hepar dengan bantuan USG.

Gambar 2.7 Alat yang digunakan untuk terapi intervensi abses hepar:
Untuk drainase, kateter pigtail (2) diletakkan pada kavitas abses
dengan bantuan jarum (3). Sebuah adaptor (1) yang menghubungkan
kateter dengan kantong drainase (7). Untuk alternatif, terdapat
beberapa tipe jarum yang berbeda (4-6) yang dapat digunakan untuk
aspirasi cairan abses.6

17
Gambar 2.8 Aspirasi perkutaneus dengan bantuan USG15

Gambar 2.9 Aspirasi perkutaneus setelah ditandai dengan bantuan


USG15

Gambar 2.10 Pengambilan volume abses dengan jumlah banyak


dengna kateter pigtail yang dimasukkan kedalam cavitas abses15

18
4. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada pasien yang gagal respon terhadap
terapi yaitu dengan aspirasi maupun drainase abses perkutan dan
antibiotik yang secara pemeriksaan patologi intra-abdomen
memerlukan terapi bedah. Sebagai tambahan untuk laparatomi
konvensional, tindakan drainase laparoskopik yang digabung dengan
terapi antibiotik sistemik telah diketahui memiliki tingkat keamanan
dan efektivitas yang minimal sebagai pendekatan terapi invasive.
Maka dari itu, teknik aspirasi perkutaneus dan pembedahan bukan
metode yang saling bersaing, melainkan memiliki indikasi yang
berbeda, dan teknik pembedahan juga menggambarkan pilihan terapi
untuk pasien dengan kegagalan terapi perkutaneus.6,14,17
5. Pertimbangan lain dalam memilih pendekatan terapi
Sebagai tambahan terhadap ukuran dan konsistensi abses, tipe dari
abses perlu dipertimbangkan dalam memilih strategi terapi. Beberapa
laporan telah merekomendasikan bahwa abses iatrogenic yang
dikarenakan prosedur bedah harus dilakukan terapi secara bedah.
Sebagai tambahan, dikarenakan abses hepar yang disebabkan oleh
malignansi terdiri atas jaringan nekrotik memiliki risiko lebih tinggi
untuk terjadi kegagalan drainase abses. Namun, oleh karena drainase
abses merupakan tindakan invasif yang minimal, hal ini menjadi
masuk akal untuk dilakukan drainase abses jika mungkin, dan jika
memang tidak berhasil, dilakukan terapi draniase bedah.6,14,18

19
Gambar 2.8 Strategi Terapi untuk Abses Hepar2

B. Non-Medikamentosa14
1. Tirah Baring.
2. Diet tinggi kalori protein.

2.10 Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hepar disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal
hepar, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren,
perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.13

2.11 Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%.
Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada

20
peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini
disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit
ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak
serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium.13,14
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah
abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi
Hepar seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas
terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke
rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hepar, hemobilia, dan
perdarahan dalam abses Hepar. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas
tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hepar. Mortalitas abses Hepar
piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan
dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas
70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan
keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan
diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain.13,15

21
2.12 Diagnosa Banding
Tabel 2.3 Perbedaan abses hepar piogenik dan abses hepar amebik14
Abses hepar piogenik Abses hepar amebik
Anamnesis Demam, nyeri spontan perut Periode laten antara infeksi
kanan atas, pasien jalan intestinal dan infeksi hati dapat
membungkuk ke depan dengan berlangsung beberapa minggu.
kedua tangan diletakkan di Kurang dari 10% kasus
atasnya. Jika letaknya dekat mengeluhkan adanya diare
dengan diaframga dapat terjadi berdarah karena disentri amebic.
iritasi diafragma sehingga terjadi Keluhan lain yaitu, nyeri perut
nyeri pada bahu kanan, batuk terlokalisir pada kuadran kanan
ataupun atelectasis. Gejala lain atas. Demam dapat terjadi
yaitu mual, muntah, penurunan intemriten. Malaise, myalgia dan
berat badan, berkurangnya nafsu atralgia. Dapat ditemukan keluhan
makan disertai malaise, icterus, paru-paru. Ikterik jarang ditemukan
buang air besar seperti demput dan jika ada ikterik merupakan
dan buang air kecil berwarna penanda prognosis buruk.
gelap.
Pemeriksaan Peningkatan suhu tubuh, icterus, Pasien cenderung untuk tidur
Fisik hepatomegaly yang nyeri tekan, dengan posisi miring ke kiri.
nyeri tekan perut kanan atas. Jika Peningkatan suhu tubuh dan
AHP telah kronik dapat menggigil <10 hari, ikterik, nyeri
ditemukan asites dan tanda-tanda tekan abdomen yang dapat menjalar
hipertensi portal. dengan batuk atau inspirasi dalam
dan sering dirasakan pada malam
hari, terlihat ada masa di kuadran
kanan atas abdomen, terdengar
friction rub di hati.

Pemeriksaan  Hematologi lengkap: Seperti pada abses hati piogenik


Penunjang leukositosis, shift to the left,  Tes serologis: ELISA dan
anemia, peningkatan LED hemaglutinasi indirek, cellulose
 Peningkatan alkali fosfatase, acetate precipitin,
enzim transaminase dan serum counterimmunoelectrophoresis,
bilirubin antibody immunofluorescent,
 Albumin serum: dapat menurun dan rapid latex agglutination
 Waktu prothrombin: dapat tests. Serum antibody dapat
memanjang bertahan sampai setahun setelah
 Tes serologis: untuk sembuh. Sensitivitas dan

22
menyingkirkan diagnosis spesifisitas pemeriksaan ini
banding mencapai 95% dan >95%. Hasil
 Kultur darah false negative dapat terjadi pada
 Foto toraks: diafragma kanan 10 hari pertama infeksi.
meninggi, efusi pleura,  Pemeriksaan PCR untuk
atelectasis bilier, empyema, atau mendeteksi DNA amuba
abses paru. Pada posisi PA ELISA untuk mendeteksi
sudut kardiofrenikus tertutup, antigen amuba pada serum
pada posisi lateral sudut  Organisme dapat diisolasi di
kostofrenikus anterior tertutup. tinja hanya pada 50% kasus
Dibawah diafragma terlihat air  Imajing tidak dapat
fluid level membedakan abses disebabkan
 Foto polos abdomen oleh amuba atau kuman
 Angiografik: daerah avascular piogenik
 CT scan abdomen: dapat  Ultrasonography abdomen:
mendeteksi lesi ukuran <1 cm, sering di lobus kanan, single,
lesi hipodens. Dapat dan berdekatan dengan
menentukan lokasi abses, diafragma
hubungan dengan struktur
jaringan sekitarnya, dan
mendeteksi adakah udara dalam
abses (berhubungan dengan
meningkatnya angka
mortalitas).
 MRI abdomen
 Ultrasonography abdomen:
dapat digunakan untuk aspirasi
cairan pus

23
Diagnosa banding pada abses hepar adalah :1,5,11
Tabel 2.4 Diagnosa Banding Abses Hepar
Differential Diagnosis Manifestasi Klinis
Hepatoma Merupakan tumor ganas Hepar primer.
Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas,
anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata
penyakit Hepar kronik.
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali fosatase
USG : lesi lokal/ difus di Hepar
Kolesistitis akut Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi
bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas,
nyeri tekan, dan panas badan.
Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang
dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri
tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign (+),
ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik.
Laboratorium: leukositosis
USG : penebalan dining kandung empedu, sering ditemukan
pula sludge atau batu.

24
BAB III
KESIMPULAN

Abses hepar merupakan infeksi pada hepar yang disebabkan oleh adanya
infeksi pada organ lain yang telah terjadi terlebih dahulu. Infeksi yang terjadi
dapat diakibatkan oleh bakteri, protozoa, maupun jamur. Klasifikasi pada abses
hepar tergantung dari mikroorganisme pencestus nya, yaitu AHP disebabkan
bakteri dan AHA disebabkan E.histolytica.
Pada manifestasi klinis gejala yang ditimbulkan kuranglah khas dan
penting adanya pemeriksaan penunjang radiologi untuk menegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan abses hepar tergantung dari etiologinya. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan terapi pada abses hepar menjadi lebih banyak dan lebih mudah
untuk dilakukan. Semakin cepat penegakkan diagnosis dan tatalaksana yang
dilakukan, semakin baik prognosis pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas NT, Waleleng BJ. Abses Hati Piogenik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. Hal 1991-7.
2. Mavilia MG, Molina M, Wu GY. The Evolving Nature of Hepatic Abscess. -

Journal of Clinical and Translational Hepatology. 2016;4:158-68.


3. McKinley M, O’Loughlin VD. Human Anatomy Third Edition. New York :
Mc Graw Hill. 2012. p 802-806
4. Hall JE, Alih bahasa Irawat et al. Guyton & Hall Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 2007. 843-844,849-851.
5. Sifri CD, Madoff LC. The Liver and Biliary System (Liver Abscess,
Cholangitis, Cholecystitis). In: Principles and Practice of Infectious Diseases.
Philadelphia: Elsevier. 2015. Page 959-968
6. Lubbert C, Wiegand J, Karla T. Therapy of Liver Abscesses. Viszeralmedizin.
2014;30:334-341.
7. Chen YC, Lin CH, Chang SN, Shi ZY. Epidemiology and Clinical outcome of
pyogenic liver abscess: an analysis from the National Health Insurance
Research Database of Taiwan, 2000-2011. Jounal of Microbiology,
Immunology and Infection. 2014:1-8
8. Serraino C, Elia C, Bracco C, Rinaldi G, Pornero F, Silvestri A et al.
Characteristics and management of pyogenic liver abscess: A European
experience. Journal of Medicine. 2018;97(19):1-6
9. Santos-Rosa OM, Lunardelli HS, Ribeiro-Junior MAF. Pyogenic liver abscess:
Diagnostic and therapeutic management. Journal Arquivos Brasileiros De
Cirurgia Digestiva. 2016;29(3):194-7.
10. Longworth S, Han J. Pyogenic Liver Abscess. Clinical Liver Disease.
2015;6(2): 51-4.
11. Kim AY, Chung RT. Bacterial, Parasitic, and Fungal Infections of the
Liver, Including Liver Abscesses. In: Sleisenger and Fordtran’s

26
Gastrointestinal and Liver Disease Pathophysiology/Diagnosis/Management.
Philadelphia: Elsevier. Page 1374-94
12. Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Hepar Edisi Pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
487-491.
13. Setyohadi B, Nasution SA, Arsana PM. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan
Penyakit DalamBuku 2 EIMED Lanjutan. Jakarta : Interna Publishing. 2016.
Hal 282-285.
14. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Penatalaksanaan
Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis. Jakarta : Interna
Publishing. 2015. Hal 217-222.
15. Jayakar SR, Nichkaode PB. Liver abscess, management strategies, and
outcome. International Surgery Journal. 2018;5(9):3093-3101
16. Abusedera MA, El-Badry AM. Percutaneous treatment of large pyogenic
liver abscess. The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine.
2014;45:109-115
17. Cai YL, Xiong XZ, Lu J, Cheng Y, Yang C, Lin YX et al. Percutaneous
needle aspiration versus catheter drainage in the management of liver abscess:
a systematic review and meta-analysis. International Hepato-Pancreato-Billiary
Association. 2014;1-7
18. Klink CD, Binnebosel M, Schmeding M, Van Dam RM, Dejong CH,
Junge K, et al. Video-assisted hepatic abscess debridement. International
Hepato-Pancreato-Billiary Association. 2015;1-4

27

Anda mungkin juga menyukai