Anda di halaman 1dari 7

Anggota kelompok:

Dea Putri 18.I2.0005


Oei Gracia MW 18.I2.0028
Tania Lasso 18.I2.0037

TUGAS GASTRONOMI

“Kue Putu”

Sumber:https://www.google.com/search?q=mengapa+nama+kue+putu+adalah+puthu&sourc
e=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiGqMefidfiAhVLp48KHdt2A-
gQ_AUIEigD&biw=1366&bih=654#imgrc=doQp891LY2HgXM

Kata Putu dan Puthu jelas berbeda pengucapannya bagi orang Jawa. Puthu diucapkan lebih
tebal pada huruf “th”. Putu memiliki arti cucu, sedangkan puthu merupakan sejenis kue
tradisional yang terbuat dari tepung beras kertan dan parutan kelapa. Selain berbeda dalam
hal pengucapan, puthu jelas memiliki cita rasa yang sangat istimewa. Namun dalam tulisan
ini selanjutnya kue puthu ditulis sebagai kue putu.

Jika di sore hari terdengar lengkingan panjang suara bak peluit kereta uap, suara itu adalah
suara dari mesin uap pembuat kue putu. Air dalam sebuah ketel atau bejana tertutup yang
dipanasi akan mengalami kenaikan temperatur. Jika pemanasan terus dilakukan hingga
melampaui titik didih air, maka air akan mendidih dan berubah wujud dari fase cair menjadi
fase uap atau gas. Uap air dalam ruang tertutup memiliki tekanan yang sangat tinggi. Jika uap
tersebut dialirkan melalui pipa atau rongga sempit, maka gesekan yang terjadi antara uap
dengan permukaan dinding dalam pipa akan menimbulkan suara bernada tinggi yang kita
dengar sebagai lengkingan.
Sumber : www.ervinaasp.com

Proses pembuatan kue putu sebenarnya sangat sederhana dan tidak memakan waktu yang
lama. Tepung beras setengah basah dimasukkan dalam cetakan berbentuk tabung yang
terbuat dari bambu bulat. Di tengah adonan tepung beras dimasukkan irisan gula jawa yang
akan membentuk sumbu pemanis kue putu. Adonan yang sudah dimasukkan dalam cetakan
tabung bambu selanjutnya dipasang pada suatu lubang yang terhubung langsung ke ketel uap.
Melalui pori adonan kue inilah tekanan uap yang tinggi akan lewat sambil memindahkan
panas atau kalor ke adonan kue yang dilewati. Kemudian kue putu akan menebarkan bau
harum wangi yang khas. Melengkapi sajian kue putu, di atasnya biasanya ditaburi parutan
kelapa yang akan menambah rasa gurih (Adi, 2014).

Menurut Adi (2014), kue putu adalah perlambang keterpinggiran nasib wong cilik. Biasa
dijual oleh bapak-bapak tua renta yang dengan setia telah menjalani profesinya selama
bertahun-tahun. Dari hari ke hari melayani para pelanggan setianya yang kebanyakan terdiri
dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Meskipun terkesan remeh dan tidak keren, kiue
putu telah banyak berjasa menopang banyak rumah tangga yang hidup sederhna, bahkan
seringkali pas-pasan.

Sejarah Kue Putu

Penggiat Sejarah di Jelajah Jejak Malang (JJM), Mochammad Antik (37) menerangkan,
sejarah kue putu sebenarnya dapat ditemukan di "China Silk Museum". Bersamaan dengan
penyajian teh longjin, kue ini dinilai sudah ada sejak 1200 tahun lalu, yakni di Dinasti Ming.
Puthu di masa awalnya dikenal dengan sebutan XianRoe Xiao Long yang berarti kue dari
tepung beras berisi kacang hijau yang amat lembut dan dikukus dalam cetakan bambu.

"Dan kalau di Indonesia dikenal dengan nama puthu," kata Antik saat ditemui di
kediamannya di Kota Malang, Ahad (11/2).

Di Indonesia, Antik mengatakan, nama puthu muncul dalam naskah sastra lama, Serat
Centhini yang ditulis pada 1814 di masa kerajaan Mataram. Di dalam naskah tersebut,
kejadian penyebutan puthu ini diambil sekitar 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur (Jatim).
Desa ini kemungkinan besar berada di Probolinggo apabila melihat dari rute perjalanan
pelaku cerita naskah, Syekh Amongraga dan Tambangraras.

Di dalam naskah, kata puthu muncul saat Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyediakan
hidangan pagi. Dari hidangan tersebut terdapat nasi goreng, nasi rames, nasi tumpeng dengan
lauk ikan betutu dan kambing. Adapun minumannya terdapat serbat dan kopi sedangkan
makanan sampingannya, serabi serta puthu.

Penyebutan puthu juga muncul di peristiwa lain dengan lokasi serupa, Desa Wanamarta. Di
naskah Centhini disebutkan Nyai Daya dan Nyai Sumbaling tengah menyiapkan kudapan
setelah shalat Subuh. Di hidangan tersebut terhidang gemblong, ulen-ulen, lempeng, serabi,
puthu, jadah, jenang, dendeng balur, dendeng gepuk, pisang bakar, kupat, balendrang, jenang
grendul, pisang raja dan wedang bubuk.

"Dari dua kejadian ini ada hal menarik yang bisa ditarik. Kue puthu sepertinya selalu
dihidangkan pagi hari. Pada masa itu seakan kue puthu itu sarapan pagi, camilan pagi atau
mungkin makanan pembuka," jelas dia.

Sementara ihwal datangnya pengaruh puthu ke Indonesia, Antik berpendapat, ini


kemungkinan terjadi saat Cina datang ke Indonesia. Kondisi ini terjadi sekitar masa awal
perkembangan Islam atau kemunduran Kerajaan Majapahit. Lebih tepatnya terjadi sekitar
1368 sampai 1600-an.

Di masa tersebut, Antik mengatakan, orang-orang Cina dari Laksamana Cheng Ho mulai
menyebarkan Islam di Tanah Air. Seperti diketahui, bukan saja ada pengaruh agama di sana
tapi juga terjadi akulturasi kebudayaan. Dengan kata lain, pengaruh puthu bersamaan kuliner
Cina lainnya muncul di era tersebut.
Puthu di masa Dinasti Ming dikenal dengan isian kacang hijaunya sedangkan di Indonesia
lebih pada gula merah. Menurut Antik, perubahan ini bisa jadi karena menyesuaikan dengan
situasi di lapangan. "Dulu gula merah lebih mudah dicari dibandingkan bahan baku kacang
hijau. Apalagi gula merah kita melimpah kala itu," terangnya.

Selain puthu biasa, Antik menjelaskan, terdapat pula kue puthu mayang di masyarakat saat
ini. Menurut dia, kehadiran jenis ini kemungkinan hanya varian untuk menyesuaikan pasar.
Namun jika dilihat dari sisi usia, puthu biasa dapat disebut yang paling tua di antara
keduanya.

Semakin berkembangnya jaman kue puthu pun ikut berkembang. Kue puthu memiliki ragam
yang berbeda tergantung daerahnya. Seperti putu bambu yang sering kita kenal karena
dimasak dengan bambu dan mengeluarkan bunyi “nging”.

Gambar 1. Kue putu bambu

Putu ayu merupakan salah satu jenis putu yang dengan bentuk yang sangat cantik. Putu ayu
memiliki warna hijau dari daun suji dan putih yang berasal dari parutan kelapa. Kue
tradisional ini memiliki rasa yang lembut dan juga manis

Gambar 2. Kue putu ayu


Putu Mayang berasal dari tepung kanji ataupun tepung beras yang dibentuk menyerupai mi,
diberi tambahan kinca ataupun gula jawa. Selain diberi gula merah, ada sebagian orang yang
menyantapnya dengan diberi tambahan sedikit taburan parutan kelapa dan juga gula
menghasilkan rasa legit dan gurih.

Gambar 3. Kue putu mayang

Putu soppa berasal dari bugis yang berbahan dasar beras ketan. Putu soppa ini memiliki rasa
gurih yang cocok untuk dijadikan menu sarapan. Pembuatan putu soppa ini juga
menggunakan cetakan dari pipa-pipa kecil. Bentuknya seperti putu pada biasanya kemudian
ditaburi dengan parutan kelapa.

Gambar 4. Kue putu soppa


Iwel-iwel juga merupakan putu yang berasal dari Jawa. Bedanya adalah parutan kelapa di
iwel-iwel dicampurkan dengan tepung beras, lalu di bagian tengahnya diisi dengan gula
merah dibungkus daun pisang lalu dikukus. Iwel-iwel memiliki tekstur yang keras.
Gambar 5. Iwel-iwel
Lapet terbuat dari tepung ketan yang dipadu dengan enten-enten (parutan kelapa yang
dimasak dengan gula merah). Adonan lapet kadang-kadang dicampur dengan kentang
ataupun juga tepung sagu dengan tujuan menghasilkan tekstur yang kenyal.

Gambar 6. Lapet
Ombus-ombus merupakan salah satu jenis kue putu yang berasal dari Medan. Pembuatan
ombus-ombus ini adalah tepung beras dikukus terlebih dahulu lalu dicampur dengan parutan
kelapa. Adonan tersebut diisi dengan gula merah lalu dibungkus daun pisang dengan bentuk
kerucut.

Gambar 7. Ombus-ombus
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Dhahana. (2014). Surabaya Punya Cerita. Yogyakarta : Indie Book Corner.
https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/18/02/12/p3zi6l328-merentang-
sejarah-kue-tradisional-puthu (Diunduh pada Jumat, 31 Mei 2019 pukul 18:00 WIB)
https://travelingyuk.com/ragam-kue-putu-dari-nusantara/111219/ (Diunduh pada Jumat, 7
Juni 2019 pukul 16:00 WIB)
https://www.ervinaasp.com (Diunduh pada Jumat, 7 Juni 2019 pukul 17:00 WIB)
https://www.google.com/search?q=mengapa+nama+kue+putu+adalah+puthu&source=lnms&
tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiGqMefidfiAhVLp48KHdt2A-
gQ_AUIEigD&biw=1366&bih=654#imgrc=doQp891LY2HgXM (Diunduh pada Jumat, 7
Juni 2019 pukul 17:12 WIB)

Anda mungkin juga menyukai