BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi
saw. merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran
Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-
19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena
abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik
dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis
Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan
terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam
karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status,
dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar
Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip umum dalam memahami hadis?
2. Bagaimana pemahaman hadis-hadis mukhtalif?
3. Bagaimana pehaman hadis-hadis tanawwu’ al- ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
Artinya:”Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada
yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui” (Al-An’am: 115).
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi
yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi
adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik
dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas
Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk
mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang
hendak dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”.
Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh
sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.[1]
Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman
dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara
yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-Quran,
karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna yang
berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang
bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang
mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas.
Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh
dipertentangkan. [2]
Fungsi sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar,
mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang
lainnya.
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan
hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali
menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai
maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.[3]
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan
masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan
agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup
sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis
seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan
tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang
sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.
Artinya: ” Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat
zalim dan Amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan.
Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata
kepada istri-istri beliau: ”Yang paling cepat menyusulku di antara kalian –sepeninggalku –
adalah yang paling panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau,
adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.;
mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk
mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan
”tangan yang paling panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut
lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya.
Ilmu mukhtalif alhadis adadalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut
lahirnya bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara
mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya
kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan lain-lain.
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-
hadis, ilmu ta’wil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-
istilah diatas, artinya sama.
Jadi ilmu ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadis) dua atau lebih hadis
yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara untuk mengkompromikan hadis tersebut
adakalanya dengan mentaqyid kemutlakan hadis, mentakhsis keumumannya, atau
adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
Contoh dua hadis yang shahih tapi bertentangan lahirnya:
)(رواه البخارى ومسلم....ال عدو ى وال طيرة وال هامة
“Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung
hantu....” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis:
)فر من المخذوم كما تفر من االسد (رواه البخارى ومسلم
“larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa...” (HR Bkhari dan
Muslim)
Para ulama mengkompromikan dua hadits ini, antara lain:
1. Ibnu Al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak menular dengan sendirinya. Tetapi
Allah lah yang menularkannya dengan perantaraan adanya percampuran dengan orang yang
sakit melalui sebab-sebab yang berbeda
2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa adanya penularan penyakit lepra dan semisalnya
itu adalah kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la
adwa” itu selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul SAW, mengatakan:
“Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja
yang dapat menular.[6]
Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut
lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya.
Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah tertentu
yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan lainnya
terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan
ibadah tersebut. Perbedaan atau keberagaman ajaran yang dimaksudkan adakalanya dalam
bentuk tatacara pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-
bacaan yang dibaca.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi segenap pembaca dan
menanmbah pengetahuan kita. Dengan segala kemampuan yang pemakalah miliki, masih
banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini.
[1] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153
[2] Ibid, hal. 171
[3] Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah (USA, Virgina:al-
Ma’had al-Islami, 1990), hal. 113.
[4] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1999), hal. 117.
[5] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2005),
hal.126
[6] Munzier Saputra, Ilmu hadis,(Jakarta, Rajawali Pers, 2014), hal.42-44