Anda di halaman 1dari 11

makalah ulumul hadits tentang hadits mukhtalif, tanawwu' ibadah dan

prinsip umum memahami hadits

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi
saw. merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran
Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-
19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena
abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik
dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis
Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan
terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam
karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status,
dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi
Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar
Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip umum dalam memahami hadis?
2. Bagaimana pemahaman hadis-hadis mukhtalif?
3. Bagaimana pehaman hadis-hadis tanawwu’ al- ibadah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip umum dalam memahami hadits


1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan
penakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran, yaitu
dalam bingkai tuntunan-tuntunan Illahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti, seperti
yang dijelaskan di dalam surat al-An’aam ayat 115, yakni sebagai berikut:

Artinya:”Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada
yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha
Mengetahui” (Al-An’am: 115).

Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi
yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi
adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik
dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas
Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk
mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang
hendak dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”.
Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh
sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang
muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.[1]
Sudah dijelaskan di atas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman
dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara
yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-Quran,
karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna yang
berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang
bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang
mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas.
Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh
dipertentangkan. [2]
Fungsi sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar,
mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang
lainnya.
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan
hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali
menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai
maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.[3]
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan
masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan
agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup
sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis
seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan
tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang
sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.

3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang


(Tampaknya) Bertentangang (Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang
Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab,
kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka
hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja
bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita terhadap hal
tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau
menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga
keduanya dapat diamalkan.
Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan
hadis-hadis shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya sepintas berbeda-beda,
serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya. Kemudian
meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan
dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena keduanya saling melengkapi.
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang
pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan
mentarjihkan (atau ’memenangkan’) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih yang
tentukan oleh para ulama.
- Soal Naskh dalam Hadis
Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh
(pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang menghapus dan
yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam
menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya diketahui
mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam
hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-Quran bersifat
umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang dikatakan mansukh
tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang mengandung ketetapan
(’azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara
keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan kedudukannya.

4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan


Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya statu hadis, atau
kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut
atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa statu hukum yang dibawa oleh statu hadis, adakalanya tampak bersifat
umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa
hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan
sendirinya jika hilang ‘illah—nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah—nya.
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah
diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.
Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai
perkiraan yang menyimpang dan (terhindar dari) diterapkan dalam pengertian yang jauh dari
tujuan sebenarnya.
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-
Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus ke dalam
kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan Khawarij atau yang
seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turín berkenaan dengan kaum
musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami
al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal dan
abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau yang
hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya prinsip-prinsip
tertentu atau menunjukkan pelajaran (‘ibrah) apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem yang
bersifat local (maudhi’iy), particular (juz’iy) dan temporal (‘aniy). Di dalamnya juga terdapat
dalam al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang
umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang universal.
Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan konteks,
kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti akan lebih mudah
mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang beroleh taufik Allah SWT.

5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap


Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah
bahwa sebagian orang mencampur adukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai
oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang
pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi
tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami.
Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lanilla, dan
dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan.
Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau
prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita
disampingnya.
Bahkan, sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana
yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus
berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah
dengan berubahnya waktu dan tempat.

6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan


Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena
rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk
mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang
termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat
Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai
indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:

Artinya: ” Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat
zalim dan Amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan.
Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata
kepada istri-istri beliau: ”Yang paling cepat menyusulku di antara kalian –sepeninggalku –
adalah yang paling panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau,
adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.;
mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk
mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan
”tangan yang paling panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.

7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)


Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini adalah
dalam hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa hal yang
berkaitan dengan alam gaib (’alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhluk-
makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis
makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan
tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak
minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai sifat
kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja kepada Allah
SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya nafas yang
keluar dari seorang manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang
diberikan Allah kepada manusia.[4]
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu
seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat
mereka. Dan di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di
hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan
kejahatan dalam pandangan kita.
Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam
barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di
dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya; demikian
pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya lagi berkaitan
dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar,
peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi, khususnya dari Nabi
Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai
kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat material maupun spiritual, dan tingkatan-
tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik
yang inderawi maupun yang maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu
pula dengan ’arsh dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia.
8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan makna dan konotasi yang
dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan kata dan konotasi setiap
masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk
kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal
ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut
yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai dengan istilah mereka
yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).
B. Pemahaman hadits-hadits mukhtalif
Mukhtalif artinya yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtalif Al- Hadits adalah
hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan makannya satu sama lain.
Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diterima namun pada zhahirnya bertentangan
dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk
dikompromikan antara keduanya.[5]

Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut
lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya.

Ilmu mukhtalif alhadis adadalah ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut
lahirnya bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara
mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya
kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut, dan lain-lain.
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadis dengan ilmu musykil al-
hadis, ilmu ta’wil al-hadis, ilmu talfiq al-hadis. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-
istilah diatas, artinya sama.
Jadi ilmu ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadis) dua atau lebih hadis
yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara untuk mengkompromikan hadis tersebut
adakalanya dengan mentaqyid kemutlakan hadis, mentakhsis keumumannya, atau
adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
Contoh dua hadis yang shahih tapi bertentangan lahirnya:
)‫(رواه البخارى ومسلم‬....‫ال عدو ى وال طيرة وال هامة‬
“Tidak ada penularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung
hantu....” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara lahirnya bertentangan dengan hadis:
)‫فر من المخذوم كما تفر من االسد (رواه البخارى ومسلم‬
“larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa...” (HR Bkhari dan
Muslim)
Para ulama mengkompromikan dua hadits ini, antara lain:
1. Ibnu Al-Shalah menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak menular dengan sendirinya. Tetapi
Allah lah yang menularkannya dengan perantaraan adanya percampuran dengan orang yang
sakit melalui sebab-sebab yang berbeda
2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa adanya penularan penyakit lepra dan semisalnya
itu adalah kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat “la
adwa” itu selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul SAW, mengatakan:
“Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja
yang dapat menular.[6]

C. Pemahaman hadis-hadis tanawwu’ al ibadah


Tanawwu’ fi al-ibâdah ialah keberagaman praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh
Rasulullah saw akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan
pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.

Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah


tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan
lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam
pelaksanaan ibadah tersebut. Perbedaan atau keberagaman ajaran yang dimaksudkan
adakalanya dalam bentuk tatacara pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk
ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca.

Contoh hadis tanawwu’ fi ibadah menyangkut tata cara pelaksanaan wudhu’


ً ‫سلَّ َم؟ فَت ََوضَّأ َ َم َّرة ً َم َّرة‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫س ْو ِل‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫وء َر‬
ِ ‫ض‬ُ ‫ أ َ َال أ َ ْخبِ ُر ُك ْم بِ ُو‬:َ‫قَال‬،‫عبَّا ْ ٍس‬
َ ‫ع ْن اِب ُْن‬
َ
Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Maukah kalian aku kabarkan tentang cara wudhuk
Rasulullah SAW ?Beliau SAW berwudhuk satu kali-satu kali (untuk tiap anggota wudhu’).
‫ع ْي ِه‬
َ ‫س َل ذ َِرا‬
َ ‫غ‬ َ َ‫ع ْن ُهم ت ََوضَّأ َ فَغ‬
َ ‫س َل َوجْ َههُ ثَالَ ث ًا َو‬ َ ‫ضي اللَّ ُهم‬ َ ُ‫الرحْ ّم ِن ب ِْن أَبِي لَ ْيلَى قا َ َل َرأَيْت‬
ِ ‫ع ِليًّا َر‬ َ ‫ع ْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ
.‫سلَّ َم‬
َ ‫َّللاِ لَلَّ ُه َّم َو‬ ِ ‫س َح بِ َرأْ ِس ِه َو‬
ُ ‫احدَة ً ث ُ َّم قَا َل َه َكذَا ت ََوضَّأ َ َر‬
َّ ‫س ْو ُل‬ َ ‫ثَالَ ثًا َو َم‬
Artinya: Dari Abdirrahman bin Abu Laila, dia berkata, “saya pernah melihat Ali RA berwudhu’,
maka dia mencuci mukanya tiga kali,mencuci kedua lengannya tiga kali, dan menyapu
kepalanya satu kali, kemudian berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW berwudhu’.
Cara penyelesainnya di atas adalah semua hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah boleh
diikuti dan diamalkan, tetapi yang manakah diantaranya lebih baik untuk diikuti dan
diamalkan, jawabannya adalah yang lebih sempurna. Diantarnya, khusus menyangkut hadis-
hadis tentang tata cara berwudhu’ Rasulullah.
Dengan demikian, selanjutnya dapat dikatakan bahwa cara terbaik bagi sesorang
dalam berwudhu’ ialah dengan membasuh anggota wudhu’nya masing-masing tiga kali.
Boleh juga memilih masing-masing dua kali. Bahkan dalam situasi tertentu mungkin saja
yang dilakukan oleh Rasulullah. Dari keberagaman tersebut ada yang bernilai lebih afdhal
dari pada yang lain, patut dimaklumi bahwa keutamaan tersebut sangat tergantung dengan
kondisi waktu, tempat, dan kondisi hati orang yang beramal
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam memahami hadis ada beberapa prinsip umum dalam memahami hadis yaitu:

1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran


2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya) Bertentangang
(Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya
Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
7. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis
8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis

Ilmu mukhtalif al-hadis adalah ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut
lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang
sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan
hakikatnya.
Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah tertentu
yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan lainnya
terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan
ibadah tersebut. Perbedaan atau keberagaman ajaran yang dimaksudkan adakalanya dalam
bentuk tatacara pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-
bacaan yang dibaca.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi segenap pembaca dan
menanmbah pengetahuan kita. Dengan segala kemampuan yang pemakalah miliki, masih
banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini.

[1] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153
[2] Ibid, hal. 171
[3] Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah (USA, Virgina:al-
Ma’had al-Islami, 1990), hal. 113.
[4] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1999), hal. 117.
[5] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,(Jakarta, Pustaka Alkautsar, 2005),
hal.126
[6] Munzier Saputra, Ilmu hadis,(Jakarta, Rajawali Pers, 2014), hal.42-44

Anda mungkin juga menyukai