Anda di halaman 1dari 46

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

TERAPI BERMAIN PADA ANAK USIA REMAJA DENGAN HOSPITALISASI

Oleh kelompok 1:
1. Novrelia Nityassari (185070209111004)

2. Ika Wahyuni Puji L (185070209111013)

3. Eni Yulistianingsih (185070209111020)

4. Andik Pambudi (185070209111025)

5. Sarihon Sita H R Purba (185070209111026)

6. Ghita Rahayu A (185070209111034)

7. Muhammad Syaifulloh M (185070209111036)

8. Lina Anggraeni (185070209111038)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga
Makalah ini dapat terwujud. Paparan materi yang saya sajikan dalam Makalah ini
mengacu pada “Stressor Umum Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Dan Remaja “
Makalah ini kami buat dengan sebaik- baiknya agar dapat dimengerti oleh seluruh
pembacanya. Namun kami sadar bahwa Makalah ini masih banyak kekurangannya,
sehingga saran pembaca sangat saya harapkan untuk pembuatan Makalah selanjutnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu
sehinnga makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah ditentukan
Harapan penyusun kiranya Makalah ini bermanfaat serta dapat meningkatkan mutu
dan daya saing pendidikan kesehatan.

Malang 1 November 2018

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………….........………….ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………........iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang……………………………………..........………………….…..1

B. Permasalahan ………………………………………………………...........…..1

C. Tujuan ………………………………………………………………..............……1

D. Manfaat Terapi Bermain………………………………………………........1

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Konsep Terapi Bermain..........................................................4


B. Hospitalisasi...........................................................................5
C. Anak Usia Remaja…........………………………………………………….…7

BAB III PEMBAHASAN

A. Terapi Bermain Pada Usia Remaja.........................................11


B. Model Permainan Rubik.........................................................11
C.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………...........…..15
B. Saran………………………………………………………..............…………….15

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..........17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aktivitas bermain merupakan salah satu stimulasi bagi perkembangan anak secara
optimal. Dalam kondisi sakit atau anak dirawat di rumah sakit, aktivitas bermain ini tetap
dilaksanakan, namun harus disesuaikan dengan kondisi anak. Pada saat dirawat di rumah
sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan, seperti
marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan tersebut merupakan dampak dari
hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi beberapa stressor yang ada
dilingkungan rumah sakit. Untuk itu, dengan melakukan permainan anak akan terlepas
dari ketegangan dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan permainan anak
akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi
melalui kesenangannya melakukan permainan. Tujuan bermain di rumah sakit pada
prinsipnya adalah agar dapat melanjutkan fase pertumbuhan dan perkembangan secara
optimal, mengembangkan kreatifitas anak, dan dapat beradaptasi lebih efektif terhadap
stress. Bermain sangat penting bagi mental, emosional, dan kesejahteraan anak seperti
kebutuhan perkembangan dan kebutuhan bermain tidak juga terhenti pada saat anak
sakit atau anak di rumah sakit (Wong, 2009).
Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kepuasan. Aktivitas bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak ,
meskipun hal tesebut tidak menghasilkan komoditas tertentu. Aktivitas bermain
merupakan salah satu stimulus bagi perkembangan anaksecara optimal. Oleh karena
itudalam memilih alat bermain hendaknya disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia
anak. Sehingga dapat merangsang perkembangan anak secara optimal. Dalam kondisis
sakit atau anak dirawat di rumah sakit, aktivitas bermain ini etap perlu dilaksanakan
disesuaikan dengan kondisi anak.
Aktivitas bermain merupakan salah satu stimulus bagi perkembangan anak secara
optimal. Oleh karena itu dalam memilih alat bermain hendaknya disesuaikan dengan
jenis kelamin dan usia anak. Sehingga dapat merangsang perkembangan anak secara
optimal. Dalam kondisi sakit atau anak dirawat di rumah sakit, aktivitas bermain ini tetap
perlu dilaksanakan disesuaikan dengan kondisi anak.
Sakit dan hospitalisasi menimbulkan krisis pada kehidupan anak dirumah sakit,
anak harus menghadapi lingkungan yang asing, pemberi asuhan yang tidak dikenal, dan
gangguan terhadap gaya hidup mereka. Sering kali anak harus menghadapi prosedur yang
menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian, dan berbagai hal yang tidak diketahui (Wong,
2003). Krisis atau stress yang dialami anak saat hospitalisasi dapat pula disebabkan karena
selama menjalani perawatan medis, anak-anak harus mentolerir ketidakhadiran orang tua
mereka untuk beberapa waktu.

B. Permasalahan
1. Perkembangan pada anak usia remaja
2. Terapi bermain pada anak usia remaja.
3. Bagaimana hospitalisasi pada anak usia remaja
4. Bagaimana stressor umum hospitalisasi pada anak usia remaja.

C. Tujuan Terapi Bermain


1. Tujuan Umum
Merangsang perkembangan sensorik, intelektual, sosial, kreatifitas,
kesadaran diri, moral, dan bermain dengan terapi.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan kemampuan dan kreatifitas
b. Meningkatkan keterampilan anak usia remaja
c. Mengidentifikasi anak terhadap keterampilan tertentu
d. Memberikan kesenangan dan kepuasan

D. Manfaat Terapi Bermain

1. Untuk anak-anak sebagai salah satu terapi pengobatan dan menghilangkan


kejenuhan terhadap suasana rumah sakit.
2. Sebagai sarana orang tua untuk mengetahui suasana hati anak saat bermain.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP TERAPI BERMAIN

1. Definisi
Bermain adalah bagian penting dari kehidupan anak dan merupakan aspek
penting untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak. Bermain merupakan
aktivitas yang sangat digemari oleh anak-anak. Terapi Bermain merupakan suatu
aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktikkan ketrampilan, memberikan
ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan
berperilaku dewasa (Hidayat, 2008).

2. Sejarah Terapi Bermain

Bermain telah dianggap sebagai aspek penting sejak zaman Plato (429-347 SM)
dimana menurutnya “Dalam satu jam bermain, anda dapat menemukan lebih banyak
mengenai seseorang dari pada mengamati orang tersebut dalam setahun dengan
bercakap-cakap”. Pada abad ke-18 Rousseau (1762), dalam bukunya 'Emile' menulis
tentang pentingnya mengamati bermain sebagai wahana untuk mempelajari dan
memahami anak (Raman & Singhal, 2015).

Salah satu pelopor terapi bermain psikoanalitik dengan anak-anak adalah Hug-
Hellmuth. Dia merekomendasikan penggunaan mainan anak itu sendiri dalam rangka
sesi yang diadakan di rumah anak. Namun, dia tidak melakukan psikoanalisis pada anak
yang berusia di bawah enam tahun atau mengembangkannya sebagai teknik tertentu.
Kebanyakan psikoanalis dianggap eksplorasi ke dalam alam bawah sadar pada anak-anak
yang dapat berpotensi berbahaya (Raman & Singhal, 2015).

Dengan latar belakang ini, Melanie Klein mulai menerapkan teknik menggunakan
bermain sebagai sarana menganalisis anak yang berusia di bawah enam tahun.
Menurutnya bermain dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk bertindak
dengan cara yang anak inginkan. Klein percaya bahwa dengan bermain mampu
menggambarkan secara signifikan bagaimana hubungan anak orang tua dan orang lain di
lingkungan mereka. Dengan demikian, seperti dalam contoh klasik Klein, anak berusia
3,5 tahun yang membenturkan bersama dua truk ia sedang memikirkan hubungan
seksual orangtuanya. Dengan melakukan ini, Klein mempertimbangkan bahwa anak akan
merestrukturisasi emosinya sehingga menurunkan ketegangan dan kecemasan (Raman
& Singhal, 2015).

Namun, menurut Anna Freud, yang tidak setuju dengan rumusan Klein, dia
percaya bahwa tidak semua tindakan dalam bermain mampu untuk diinterpretasikan.
Beberapa kegiatan bermain yang dilakukan oleh anak-anak juga bisa menjadi
pengulangan dari kegiatan kehidupan sehari-hari mereka. Freud merasa bermain bisa
menjadi latihan membangun hubungan dan hubungan ini dapat digunakan kemudian
untuk bekerja dengan anak melalui interpretasi transferensi dan kontra transference
(Raman & Singhal, 2015).

Pada tahun 1930-an beberapa terapi bermain modalitas yang dikembangkan di


mana penekanan utama ditempatkan pada kekuatan kuratif hubungan emosional antara
terapis dan anak. David Levy mengembangkan pendekatan bermain yang terstruktur
untuk membantu anak menciptakan pengalaman mereka dari peristiwa traumatis
tertentu. Konsep ini berasal dari gagasan Sigmund Freud tentang paksaan pengulangan.
Menurut Levy, 'anak yang memiliki keamanan, dukungan, dan bahan bermain yang tepat
mampu memainkan sebuah peristiwa traumatis sebelumnya, berulang-ulang, sampai ia
mampu melepaskan ketakutan, kecemasan, dan tanggapan terkait dengan trauma’
(Raman & Singhal, 2015).

Solomon mengembangka 'terapi bermain aktif' yang merupakan metode untuk


digunakan pada anak-anak yang impulsif. Seorang anak yag bermain bisa
mengekspresikan perasaan dan pengalaman yang sulit, dan dengan demikian dapat
menghindarkan mereka untuk bertindak atau berperilaku sosial yang tidak pantas
(Raman & Singhal, 2015).

Carl Rogers mengembangkan terapi non-direktif, yang kemudian disebut terapi


yang berpusat pada klien. Virginia Axline memperluas konsep Carl Rogers dalam artikel
yang berjudul 'Memasuki dunia anak melalui pengalaman bermain'. Axline meringkas
konsep terapi bermain dan menyatakan, "Sebuah pengalaman bermain adalah terapi
karena memberikan hubungan yang aman antara anak dan orang dewasa, sehingga anak
memiliki kebebasan dan ruang untuk menyatakan dirinya sendiri, persis seperti dia pada
saat itu dengan caranya sendiri dan dalam waktu sendiri. Tujuan terapi bermain
berpusat pada klien adalah untuk menyelesaikan ketidakseimbangan antara anak dan
lingkungannya sehingga mampu menciptakan pertumbuhan anak yang baik (Raman &
Singhal, 2015).

Terapi bermain non-direktif telah mencapai popularitas karena


kesederhanaannya. Landreth mendorong orang tua dan konselor untuk mengakui
bahwa bermain adalah bahasa anak dan mainan adalah kata-kata mereka. Menurutnya,
bermain adalah wajar bagi seorang anak dan harus dihormati dan dipahami daripada
memaksa anak untuk berkomunikasi secara verbal (Raman & Singhal, 2015).

Selama tahun 1960-an, pembentukan program konseling dan bimbingan di


sekolah dasar memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan terapi
bermain. Penggunaan terapi bermain di sekolah didorong untuk memenuhi berbagai
kebutuhan perkembangan, sosial, dan emosional dari semua anak, serta membantu
anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri. Banyak penulis menggambarkan
keberhasilan awal mereka dalam menggunakan terapi bermain untuk mengatasi
kebutuhan perkembangan anak di sekolah dasar (Raman & Singhal, 2015).

Ada beberapa tren terbaru dalam pengembangan terapi bermain. Pembentukan


Asosiasi Terapi Bermain (APT) pada tahun 1982 adalah kemajuan besar di bidang terapi
bermain. APT yang telah menjadi program terbesar pelatihan terapi bermain di dunia,
didirikan pada tahun 1988 di University of North Texas. Berbagai universitas dan
lembaga juga menawarkan program pelatihan dan lokakarya, serta kursus pada master
dan doktor. Penggunaan konsep-konsep dan prosedur terapi bermain juga telah
diperluas ke banyak aplikasi lain, seperti terapi bermain keluarga, terapi bermain
dewasa, terapi bermain di rumah sakit, dan terapi bermain dengan banyak populasi yang
beragam (Raman & Singhal, 2015).

a. Klasifikasi

Menurut Peck (2015), tipe bermain dapat digolongkan menurut usia anak menjadi 4
yaitu:
1. Exploratory play

Tipe permainan ini diberikan pada anak usia 0-2 tahun berupa permainan yang dapat
melatih kemampuan sensorik dan motorik atau sensorimotor anak. Contoh
permainan tipe ini adalah mengambil dan menempatkan makanan pada mulut,
menjatuhkan benda ke dalam wadah untuk membuat kebisingan dan merobohkan
sebuah menara blok.

2. Symbolic play

Tipe permainan ini diberikan pada anak usia 2-4 tahun berupa kegiatan konstruksi
sederhana. Contoh tipe permainan ini adalah menghitung dan mengelompokkan
benda yang sama berdasarkan warnanya atau bentuknya kemudian
menempatkannya ke dalam wadah.

3. Creative Play

Tipe permainan ini diberikan pada anak usia 4-7 tahun berupa kegiatan konstruktif
yang kompleks. Contoh permainan tipe ini adalah membangun atau menciptakan
pola menggunakan berbagai item, membawa benda-benda dengan sendok
kemudian menempatkannya ke dalam wadah, membentuk atau mencipatakan suatu
pola atau bentuk dari tanah liat.

4. Competitive Play

Tipe permainan ini diberikan pada anak usia 7-12 tahun berupa kegiatan kompetetif
atau persaingan. Contoh permaian tipe ini adalah menempatkan benda ke dalam
wadah yang dibatasi oleh waktu tertentu, melempar bola atau anak panah pada
sasaran, bermain permainan kartu, menyelesaikan puzzle.

Sedangkan Charnigo & York (2015), klasifikasi terapi bermain dibagi menjadi 4
macam yaitu:

1. Child-Based Play Therapy

Jenis pertama dari terapi bermain adalah terapi bermain berbasis anak.
Dalam terapi bermain berbasis anak, konseling hanya melibatkan anak dan terapis di
dalam ruangan. Terapis menyediakan berbagai mainan untuk anak namun tidak
hanya sekedar untuk bermain saja, tetapi anak harus berhubungan dengan mainan
tersebut sehingga mereka juga mampu mengekspresikan diri mereka. Contoh dari
tipe permainan ini adalah terapi memberikan boneka dan wayang untuk anak-anak,
dapat memungkinkan anak-anak untuk bebas mengekspresikan diri secara verbal.
Wayang juga akan membantu anak-anak untuk memahami emosi dan perilaku
mereka. Hartwig (2014) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa ada dua
pendekatan ketika menggunakan boneka selama terapi. Pendekatan pertama adalah
terapi bermain direktif. Pendekatan ini memungkinkan terapis untuk memilih
kegiatan yang tepat untuk diberikan kepada anak. Kegiatan yang telah dipilih, harus
menyajikan masalah anak dan cara bagi anak untuk meraih tujuan mereka. Dengan
menggunakan pendekatan ini, terapis dapat memperoleh informasi, mendorong
keterlibatan, menetapkan batas, dan menafsirkan perilaku anak. Pendekatan kedua
adalah terapi bermain non-direktif. Dengan pendekatan ini, anak sendiri yang
memutuskan mainan apa yang digunakan dan bagaimana cara menggunakan mainan
tersebut. Sementara itu, terapis hanya mengamati apa yang anak lakukan selama
sesi terapi bermain berlangsung.

Child-Based Play Therapy biasanya digunakan bagi anak yang berisiko,


misalnya anak yang menunjukkan gangguan perilaku atau anak yang depresi. Dalam
sebuah studi oleh Swank dan Shin (2015), dinyatakan bahwa Child-Based Play
Therapy dapat meningkatkan prestasi akademik anak. Anak yang telah berpartisipasi
dalam Child-Based Play Therapy menunjukkan penurunan gangguan perilaku. Hasil
pada beberapa penelitian menunjukkan lewat bermain anak dapat belajar beberapa
hal. Misalnya, anak-anak belajar untuk menghargai diri mereka sendiri dan secara
bertahap belajar untuk menerima siapa mereka sebagai individu. Mereka juga
belajar bahwa perasaan mereka diterima dan bagaimana mengekspresikan perasaan
mereka secara bertanggung jawab. Anak-anak juga belajar untuk menjadi kreatif
dalam menghadapi masalah; serta belajar untuk mengendalikan diri. Child-Based
Play Therapy juga mengajarkan anak-anak bagaimana belajar membuat pilihan
secara mandiri dan bertanggung jawab atas pilihan mereka. Dalam studi lain,
Bratton, Ceballos, sheely-Moore, Meany-Walen, Pronchenko, dan Jones (2013)
menemukan bahwa jika tidak diberikan terapi misalnya terapi bermain, anak-anak
yang mengalami gangguan perilaku akan tetap mengalami gangguan perilaku dan
bahkan akan lebih memburuk dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan masalah
yang lebih serius seperti anak melakukan kekerasan, kenakalan dan penyalahgunaan
narkoba.

Terapi bermain juga dapat membantu anak-anak dengan kecacatan. Sebagai contoh,
dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Ray, Stulmaker, Lee, dan Silverman (2013)
pada anak-anak yang menunjukkan perilaku berikut: penarikan/depresi, agresif,
menantang, atau bahkan keterampilan sosial yang buruk. Studi ini menjelaskan
bahwa terapi bermain efektif untuk anak yang memiliki beberapa jenis kecacatan.
Penelitian mengenai keefektifan terapi bermain lebih lanjut dalam bidang ini sangat
direkomendasikan.

2. Family-Based Play Therapy

Tipe kedua terapi bermain adalah terapi berbasis keluarga. Dalam Family-Based Play
Therapy, proses terapi bermain melibatkan klien, orang tua, saudara kandung klien
dan terapis. Menurut Willis, Halters, dan Derek (2014), pada Family-Based Play
Therapy, terapi bermain melibatkan keluarga dan memungkinkan semua orang
dalam keluarga untuk terbuka selama sesi. Terapi bermain jenis ini juga
meningkatkan partisipasi anak dalam setiap sesi. Sebagai contoh, dalam Family
Puppet Interview model (seperti dikutip dalam Hartwig 2014), terapis dapat meminta
anak-anak selama sesi untuk menyebutkan nama boneka, membuat sebuah cerita
dari awal sampai akhir dan menyajikan cerita untuk terapis. Terapis kemudian akan
memberikan kesempatan kepada orang tua untuk bertanya pada akhir setiap sesi.
Family-Based Play Therapy juga digunakan untuk orang-orang yang mengalami
trauma dan stres kronis dalam hidup mereka. Mereka yang terlibat dalam beberapa
jenis trauma cenderung mengungkapkan atau menyembunyikan sejumlah emosi dan
pikiran mereka. Dalam sebuah studi oleh Kiser, Backer, Winkles, dan Medoff (2015),
mereka menunjukkan bahwa terdapat hasil yang efektif dari Family-Based Play
Therapy. Diamond, Reis, berlian, Siqueland, dan Isaacs (2002) menyatakan bahwa
remaja yang mengalami depresi, mereka menunjukkan tingkat kritik dan
permusuhan yang tinggi serta mengekspresikan psikopatologi orangtua. Selain itu,
penelitian yang sukses ini telah menjadi penelitian pertama yang menunjukkan data
tentang terapi keluarga yang dapat mengobati remaja dengan gangguan depresi
mayor. Penelitian lain menyebutkan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan
dalam rumah tangga dari ibu mereka juga dapat memiliki kesulitan berkomunikasi
dengan satu sama lain. Waldman-Levi dan Weintraub (2015) menyatakan bahwa
ketika kekerasan terjadi antara orang tua dan anak-anak, kekerasan mempengaruhi
sensorik, motorik, kognitif, emosional, dan sosial anak. Dalam hal ini, terapi bermain
memberikan waktu bagi anak untuk mengekspresikan diri dengan menggunakan
sensorik, motorik, kognitif, emosional dan keterampilan sosial mereka.

B. HOSPITALISASI

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang


berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses
tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut
beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan
penuh stress (Supartini, 2004).
Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah,
sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000). Perasaan tersebut dapat timbul karena
menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak
aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan
sesuatu yang dirasakannya menyakitkan. Apabila anak stress selama dalam
perawatan, orang tua menjadi stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat
stres anak semakin meningkat (Supartini, 2000).
Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya beberapa perubahan psikis yang
dapat menjadi sebab anak dirawat di rumah sakit (Stevens, 1999). Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hospitalisasi adalah suatu proses
karena alasan berencana maupun darurat yang mengharuskan anak dirawat atau
tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan
beberapa perubahan psikis pada anak. Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya
suatu tekanan atau krisis pada anak. Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka
anak tersebut akan mudah mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami stres
akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam
kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam
mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadiankejadian yang sifatnya
menekan (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005).
Masalah yang sering dihadapi oleh anak usia remaja saat Hospitalisasi yaitu :
1. Stressor Umum Hospitalisasi Pada Anak Usia Remaja
Kecemasan dalam diri remaja dapat diduga dan normal pada tahap
perkembangan tertentu. Kecemasan yang terjadi pada remaja selama
hospitalisasi dapat disebabkan karena :
a. Perpisahan dengan teman sebaya
Perpisahan dari rumah dan orang tua mungkin dapat diterima.
Kehilangan kontak dengan teman sebaya dapat mengancam emosinya karena
kehilangan status dalam kelompok dan kehilangan rasa diterima oleh
kelompok. Respon remaja terhadap perpisahan dengan teman sebayanya
terlihat dengan diam, depresi dan kesepian. Manifestasi cemas karena
perpisahan terdiri dari dari 3 fase,yaitu:
1) Fase protes
Pada fase ini sikap protes akan berlangsung dari hitungan jam sampai
hitungan hari. Sikap protes seperti tidak bisa menerima keadaan bahwa
harus berpisah sementara dengan teman sebaya akan berhenti karena
keletihan fisik.
2) Fase putus asa
Perilaku yang diamati pada fase ini, yaitu remaja tidak aktif, menarik diri
dari orang lain, tertekan, pendiam dan menolak tindakan keperawatan
3) Fase penerimaan
Pada fase ini remaja menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan
sekitar, berinteraksi, secara dangkal dengan orang yang tidak dikenal
atau perawat.
b. Kehilangan kontrol
Perjuangan remaja untuk independens, asertif, liberal terpusat pada
pencarian identitas diri. Apapun yang mempengaruhinya akan mengancam
identitas mereka dan mengakibatkan kehilangan kontrol. Remaja mungkin
bereaksi dengan menolak, tidak kooperatif dan menarik diri. Remaja ingin
tahu bahwa orang laain dapat berkomunikasi dengannya dalam level mereka
sendiri.
c. Nyeri tubuh
Nyeri tubuh yang dimaksud karena tindakan atau prosedur keperawatan
yang dilakukan oleh perawat atau dokter. Bukan anak kecil saja yang
meraskan nyeri atau kesakitan tersebut, remaja juga mengalaminya dan yang
membedakannya adalah respon terhadap nyeri tersebut.
d. Privacy
Kematangan pada alat seksualnya dan berubah bentuk organ yang lain
pada saat remaja, dapat membuat anak remaja malu dan merahasiakannya.
Akibat sakit dan dirawat di Rumah sakit, remaja sering kehilangan privacy
pada seksualnya terutama pada tindakan keperawatan dan prosedur-
prosedur tertentu. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan pada remaja.
Remaja akan berespon : menolak dilakukan tindakan, menutupi bagian yang
privacy
Respon remaja terhadap cemas dipengaruhi oleh :
1. Usia
Anak usia 13-14 tahun kecemasan akan meningkat karena pada masa
ini adalah masa peralihan antar masa anak-anak dan remaja, dimana akan
terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan rasa tidak tenang pada
diri anak. Kondisi akan stabil pada anak usia 15-18 tahun, karena anak
sudah menemukan “aku”nya dan mulai berpikir lebih baik
(Sacharin,1996)
2. Status kesehatan
Seseorang yang mengalami gangguan fisik seperti cedera, setelah
operasi akan mudah mengalami kelelahan fisik sehingga lebih mudah
mengalami stres. Penyakit yang tidak membahayakan akan meringankan
tingkat kecemasan sedangkan penyakit yang kronis akan meningkatkan
kecemasan (Stevens, 1999)
3. Jenis kelamin
Anak perempuan tingkat kecemasan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan laki-laki (Stevens, 1999), sedangkan menurut Kaplan dari populasi
dimana kecemasan pada perempuan dua kali lebih banyak dari pada pria.
Lebih tingginya frekuensi kecemasan yang dialami perempuan
kemungkinan disebabkan perempuan mempunyai yang labil dan bersifat
immatur, dan juga adanya peran hormon yang mempengaruhi kondisi
emosi sehingga mudah meledak, mudah cemasdan curiga.
4. Pengalaman di rawat di Rumah sakit
Anak yang pernah sakit dan dirawat di Rumah sakit kecemasannya
lebih rendah jika dibanding dengan anak yang belum pernah dirawat di
rumah sakit (Stevens, 1999)
5. Sistem pendukung
Sistem pendukung menurut Lewer (1996) yang dapat mempengaruhi
tingkat kecemasan pada remaja yang sakit adalah :
a. Ruangan perawatan
Perubahan lingkungan dari pola kehidupan sehari-hari dapat
meningkatkan kecemasan misalnya : ruangan yang serba putih,
dirawat bersama penderita lain dalam satu ruangan.
b. Aspek Fasilitas
Fasilitas yang kurang dan terbatas seperti kamar mandi, ukuran
ruangan terlalu sempit atau besar, peralatan rumah sakit yang asing
juga dapat meningkatkan kecemasan pada remaja.
c. Aspek Perawat dan Petugas
Perawat yang kurang komunikatif, tidak empati dan berpakaian serba
putih dapat meningkatkan kecemasan.
d. Kondisi Rumah Sakit
Kebijaksanaan rumah sakit yang dapat menimbulkan kecemasan pada
remaja adalah : terbatasnya jam besuk, tidak boleh ditunggu keluarga
selama dirawat.
6. Besar kecilnya stressor
Stressor yang besar seperti : nyeri, perpisahan dengan teman atau
keluarga, terbatasnya aktivitas, terganggunya privacy dapat
meningkatkan kecemasan (Rusman, 2004)

7. Tahap perkembangan
Pada tahap perkembangan anak usia sekolah respon terhadap
kecemasan lebih meningkat jika dibandingkan denga remaja (Rasmun,
2004)

C. REMAJA ( ANAK USIA 12 – 21 TAHUN)


Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pada
masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk
golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.
Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini
& Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa
dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa
dewasa.
Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi
wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan pengertian
remaja menurut Zakiah Darajat (1990: 23) adalah:masa peralihan diantara masa
kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan
masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah
anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula
orang dewasa yang telah matang.
Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa adolescene diartikan
sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang
mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia
remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun =
masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun =
masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja
menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 –
15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21
tahun (Deswita, 2006: 192)
Definisi remaja yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat,
dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan
dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun,
dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik,
maupun psikologis.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas maka dapat diambil kesimpulan
bahwa remaja adalah individu yang berusia 12-21 tahun yang sedang mengalami
masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
a. Perkembangan Pada Anak Usia Remaja
1. Perkembangan Fisik Remaja
Masa remaja diawali dengan masa pubertas, yaitu masa
terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik
seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis
(kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada
masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting,
berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sisitem
reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi
organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta
mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini
disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual
primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer
mencakup perkembangan organ-organ reproduksi, sedangkan
karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk
tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri
ditandai dengan menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-
rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada
remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran
suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian
tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya.
Sekitar dua tahun pertumbuhan berat dan tinggi badan
mengikuti perkembangan kematangan seksual remaja. Anak remaja
putri mulai mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9
tahun, dan mengalami menarche rata-rata pada usia 12 tahun. Pada
anak remaja putra mulai menunjukan perubahan tubuh pada usia
sekitar 10-11 tahun, sedangkan perubahan suara terjadi pada usia 13
tahun.
Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi
selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi
dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan dengan jelas
meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul
ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan
kepuasan seksual.
Selama masa remaja, perubahan tubuh ini akan semakin
mencapai keseimbangan yang sifatnya individual. Di akhir masa
remaja, ukuran tubuh remaja sudah mencapai bentuk akhirnya dan
sistem reproduksi sudah mencapai kematangan secara fisiologis,
sebelum akhirnya nanti mengalami penurunan fungsi pada saat awal
masa lanjut usia. Sebagai akibat proses kematangan sistem reproduksi
ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya,
artinya sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini
tidak berarti bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman
secara fisik.
2. Perkembangan Psikis Remaja
Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai
sistem kepribadian yang merupakan pembentukan dari perkembangan
selama ini. Di luar sistem kepribadian anak seperti perkembangan ilmu
pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa, keluarga, sekolah,
teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat
diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada
masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling
mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.

3. Perkembangan Sosial remaja


Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-
remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja
membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam
kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja
untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang)
setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga
dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa
pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang
rentang usia tersebut.
Batasan remaja menurut usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18
tahun. Ada juga yang membatasi usia remaja antara 11 hingga 22
tahun.
Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.
Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi
adalah sebagai berikut:
1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman
sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis
2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin
3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara
efektif
4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang
dewasa lainnya
5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan
keluarga
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual
untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara
9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial
10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman
perilaku.
BAB III
PEMBAHASAN

A. TERAPI BERMAIN PADA ANAK USIA REMAJA


Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan
yang sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri.
Perasaan tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena
menghadapi beberapa stressor yang ada dilingkungan rumah sakit. Untuk itu,
dengan melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan dan stress yang
dialaminya karena dengan melakukan permainan anak akan dapat mengalihkan rasa
sakitnya pada permainannya (distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya
melakukan permainan.

1. Permainan untuk anak usia remaja


Merujuk pada proses tumbuh-kembang anak remaja, dimana anak remaja
berada dalam suatu fase peralihan, yaitu disatu sisi akan meninggalkan masa kanak-
kanak dan disisi lain masuk pada usia dewasa dan bertindak sebagai individu. Oleh
karena itu, dikatakan bahwa anak remaja akan mengalami krisis identitas dan apabila
tidak sukses melewatinya, anak akan mencari kompensasinya pada hal yang
berbahaya, seperti obat-obatan terlarang dsb. Melihat karakteristik anak remaja
perlu mengisi kegiatan yang konstruktif, misalnya dengan melakukan permainan
berbagai macam olah raga, mendengarkan dan/atau bermain musik serta melakukan
kegiatan organisasi remaja yang positif, seperti kelompok basket, sepak bola, karang
taruna dll. Prinsip kegiatan bermain bagi anak remaja tidak hanya sekedar mencari
kesenangan dan meningkatkan perkembangan fisio-emosional, tetapi juga lebih juga
ke arah menyalurkan minat, bakat dan aspirasi serta membantu remaja untuk
menemukan identitas pribadinya. Untuk itu alat permainan yang tepat bisa berupa
berbagai macam alat olah raga, alat musik dan alat gambar atau lukis serta
permainan RUBIK.
a. Model Permainan yang digunakan “Rubik”
Rubik adalah teka-teki mekanis dalam bentuk tiga dimensi, yang ditemukan oleh
seorang pemahat dan profesir arsitektur dari Hungaria bernama Erno Rubik. Sebuah
rubik standar memiliki panjang sisi yang sama ukurannya yaitu 5,7cm. Terbentuk dari 26
potongan kecil yang disebut juga “cubelets” atau “cubies” yang dipasang sedemikian rupa
sehingga terbentuk sebuah kubus rubik.

Up

Right

Fron
t

Rubik cube terdiri dari enam sisi yaitu depan (front), belakang (back), kiri (left),
kanan (right), atas (up), dan bawah (down). Dalam Rubik 3x3 terdapat pembagian
kategori piece atau kubus kecil yang terdiri dari :
- Center piece : kubus kecil yang terddapat di tengah setiap sisi rubik dan
berjumlah 6 buah sesuai warna di setiap sisinya.
- Corner piece : kubus kecil yang terdapat di sudut disemua sisi rubik dan
berjumlah 8 buah dimana setiap corner piece memiliki 3 warna
- Edge piece : kubus kecil yang mengelilingi center dan berjumlah 12 buah
dengan 2 warna.
Langkah- langkah dalam bermain Rubik layer by layer :
1. Menyelesaikan layer pertama / atas
2. Menyelesaikan layer kedua // tengah
- Membentuk cross / garis disisi atas tiap layer dengan warna keempat sisi di
samping

- Isi keempat sudut atas dengan kubus yang sesuai


3. Menyelesaikan layer ketiga / bawah
- Membentuk cross / garis disisi bawah, tanpa meusak kedua layer di atas
dengan menempatkan keempat sudut bawah ditempat sebenarnya sesuai
warna ketiga sisinya
- Bentuk supaya sisi bawah memiliki warna yang sama.

Manfaat dari permainan Rubik bagi remaja adalah :


1. Menjaga sel-sel otak yang baru tetap hidup dan melatih otak kanan
2. Menjaga pemikiran tetap tajam dan melatih keterampilan koordinasi, persepsi,
visual dari permainan
3. Memelihara memori jangka pendek dan meningkatkan konsentrasi
4. Mengasah kesabaran dan melatih kecerdasan emosional anak
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Stressor yang dapat menyebabkan kecemasan pada anak usia remaja
diantaranya adalah perpisahan teman sebaya dan orang tua, kehilangan kontrol
pada ketrampilan sebelumnya, cedera tubuh dan nyeri, dan privacy. Stressor ini
dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan anak dan cara mengatasinya
dengan melakukan terapi bermain pada anak.
Bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak, karena bagi anak bermain
sama saja bekerja bagi orang dewasa. Bermaian pada anak mempunyai fungsi yaitu
untuk perkembangan sensorik, motorik, intelektual, sosial, kreatifitas, kesadaran
diri, moral sekaligus sebagai terapi anak saat sakit.
Tujuan bermain adalah melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang
normal, mengekspresikan dan mengalihkan keinginan fantasi dan idenya
mengembangkan kreatifitas dan kemampuan memecahkan masalah serta
membantu anak untuk beradaftasi secara efektif terhadap stress karena sakit dan
dirawat di Rumah Sakit.

B. Saran
Terapi bermain dapat menjadi obat bagi anak anak yang sakit. Jadi sebaiknya di
Setiap RS juga disediakan Ruangan dan fasilitas bermain bagi anak anak yang dirawat
di Ruamah Sakit. Diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya Perawat dapat
mensosialisasikan dan menerapkan terapi bermain paa orang tua dan pasien usia
Remaja sehingga orang tua dan ranak usia remaja dapat menerapkan terapi bermain
di rumah dan di Rumah Sakit.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah
wawasan, sebagai referensi, bahan kajian, serta media pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini,Rima.2014.Terapi bermain pada anak di Rumah Sakit.


Rimaanggraini18.blogspot.com. Diakses pada tanggal 31 oktober 2018 pukul 13.14 wib.

Ayubellanasta,blogspot.com,2015. Proposal terapi bermain anak. Diakses pada


tanggal 31 oktber 2018 pukul 13.16 wib.

Gunarsa D, Singgih. 2008. Psikologi Perkembangan anak dan remaja. Jurnal.


Diakses pada tanggal 31 pukul 22.02 wib.

https://www.scribb.com. Proposal Terapi Bermain A anak Remaja. Diakses pada


tanggal 31 oktober 2018 pukul 13.14 wib.

Sutresno, 2012. Implementasi Agoritma Layer untuk menyelesaikan permainan


Rubik. Jurnal Rubik. Diakses pada tanggal 31 oktober 2018 pukul 13.00 wib

Y, Utami,2014. Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal Ilmiah


WIDYA. Diakse pada tanggal 31 oktober pukul 22.05

A,Zellawati.2011. Terapi bermain untuk mengatasi permasalahan pada anak.


Majalah ilmiah INFORMATIKA. Diakses pada tanggal 31 oktober 2018 pukul 21.45 wib
SAP TERAPI BERMAIN

Pokok Bahasan : Terapi Bermain pada Anak di Ruang Perawatan Anak


Sub Pokok Bahasan : Terapi Bermain Anak Usia Sekolah
Tujuan : Mengoptimalkan Tingkat Perkembangan Anak
Tempat :
Hari/Tgl :
Waktu :
Sasaran : Anak Remaja Dengan Usia 12-21 Tahun
Metode : Bermain bersama
Media : Rubik
Pembagian Tugas Kelompok :
Leader :
Co. Leader :
Fasilitator :
Observer :

URAIAN TUGAS DALAM TERAPI BERMAIN

1. Leader
Leader, tugasnya:
 Membuka acara permainan
 Mengatur jalannya permainan mulai dari pembukaan sampai selesai.
 Mengarahkan permainan.
 Memandu proses permainan.
2. Co Leader
Co Leader, tugasnya :
 Membantu leader mengatur jalannya permainan
 Membantu memberi motivasi pada peserta bersama dengan leader
 Bersama dengan leader memandu dan mengarahkan proses bermain
3. Fasilitator
Fasilitator, tugasnya:
 Membimbing anak bermain.
 Memberi motivasi dan semangat kepada anak dalam mewarnai
 Memperhatikan respon anak saat bermain.
 Mengajak anak untuk bersosialisasi dengan perawat dan keluarganya
4. Observer
Observer, tugasnya:
 Mengawasi jalannya permainan.
 Mencatat proses kegiatan dari awal hingga akhir permainan.
 Mencatat situasi penghambat dan pendukung proses bermain.
 Menyusun laporan dan menilai hasil permainan

A. PENDAHULUAN
Masuk rumah sakit merupakan peristiwa yang sering menimbulkan pengalaman
traumatik, khususnya pada pasien anak yaitu ketakutan dan ketegangan atau stress
hospitalisasi. Stress ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya perpisahan dengan
orang tua, kehilangan control, dan akibat dari tindakan invasif yang menimbulkan rasa
nyeri. Akibatnya akan menimbulkan berbagai aksi seperti menolak makan, menangis,
teriak, memukul, menyepak, tidak kooperatif atau menolak tindakan keperawatan yang
diberikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkan pengaruh
hospitalisasi pada anak yaitu dengan melakukan kegiatan bermain. Bermain merupakan
suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan dan
kepuasan. Bermain merupakan aktivitas yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan anak dan merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional
dan sosial sehingga bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan
bermain anak-anak akan belajar berkomunikasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan dapat mengenal waktu, jarak
serta suara.
Untuk itu dengan melakukan permainan maka ketegangan dan stress yang dialami
akan terlepas karena dengan melakukan permainan rasa sakit akan dapat dialihkan
(distraksi) pada permainannya dan terjadi proses relaksasi melalui kesenangannya
melakukan permainan. Bermain merupakan suatu aktivitas bagi anak yang
menyenangkan dan merupakan suatu metode bagaimana mereka mengenal dunia. Bagi
anak bermain tidak sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan anak seperti
halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain-lain. Anak-anak memerlukan berbagai
variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan perkembangan emosinya.
Dengan bermain anak dapat menstimulasi pertumbuhan otot-ototnya, kognitifnya
dan juga emosinya karena mereka bermain dengan seluruh emosinya, perasaannya dan
pikirannya. Elemen pokok dalam bermain adalah kesenangan dimana dengan kesenangan
ini mereka mengenal segala sesuatu yang ada disekitarnya sehingga anak yang mendapat
kesempatan cukup untuk bermain juga akan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk
mengenal sekitarnya sehingga ia akan menjadi orang dewasa yang lebih mudah
berteman, kreatif dan cerdas, bila dibandingkan dengan mereka yang masa
kecilnya kurang mendapat kesempatan bermain

B. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mendapatkan terapi bermain selama 35 menit, anak diharapkan bisa
merasa tenang selama perawatan dirumah sakit dan tidak takut lagi terhadap perawat
sehingga anak bisa merasa nyaman selama dirawat dirumah sakit.

C. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mendapatkan terapi bermain satu (1) kali diharapkan anak mampu :
a. Bisa merasa tenang selama dirawat.
b. Anak bisa merasa senang dan tidak takut lagi dengan dokter dan perawat
c. Mau melaksanakan anjuran dokter dan perawat
d. Gerakan motorik halus pada anak lebih terarah
e. Kognitifnya berkembang melalui cara melipat kertas dengan membentuk
bermacam-macam model yang dikreasikan.
f. Dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebaya yang dirawat
diruang yang sama
g. Ketakutan dan kejenuhan selama dirawat di rumah sakit menjadi berkurang.
h. Mengembangkan nilai dan moral anak dengan berdoa sebelum dan sesudah
kegiatan
i. Mengembangkan bahasa, anak mengenal kata-kata baru.
j. Melatih sosial emosi anak.

D. RENCANA PELAKSANAAN :

No Terapis Waktu Subjek terapi

1 Persiapan : 7 menit Ruangan, alat,dan anak siap


a. Menyiapkan ruangan.
b. Menyiapkan alat-alat.
c. Menyiapkan anak dan keluarga
2 Proses :
a. Membuka proses terapi bermain 2 menit Menjawab salam,
dengan mengucapkan salam, Memperkenalkan diri,
memperkenalkan diri.
b. Menjelaskan pada anak tentang 5 menit Memperhatikan
tujuan dan manfaat bermain,
menjelaskan cara permainan.
c. Mengajak anak bermain . 20 menit Bermain bersama dengan
antusias
d. Mengevaluasi respon anak. 3 menit Mengungkapkan perasaannya

3 Penutup 3 menit Memperhatikan dan menjawab


Menyimpulkan, mengucapkan salam salam

MATERI TERAPI BERMAIN

A. KEUNTUNGAN BERMAIN
Keuntungan-keuntungan yang didapat dari bermain, antara lain:
1. Membuang ekstra energi.
2. Mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh, seperti tulang, otot dan organ-
organ.
3. Aktivitas yang dilakukan dapat merangsang nafsu makan anak.
4. Anak belajar mengontrol diri.
5. Berkembanghnya berbagai ketrampilan yang akan berguna sepanjang hidupnya.
6. Meningkatnya daya kreativitas.
7. Mendapat kesempatan menemukan arti dari benda-benda yang ada disekitar anak.
8. Merupakan cara untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran, iri hati dan kedukaan.
9. Kesempatan untuk bergaul dengan anak lainnya.
10. Kesempatan untuk mengikuti aturan-aturan.
11. Dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya.
B. MACAM BERMAIN
1. Bermain aktif
Pada permainan ini anak berperan secara aktif, kesenangan diperoleh dari apa yang
diperbuat oleh mereka sendiri. Bermain aktif meliputi :
a. Bermain mengamati/menyelidiki (Exploratory Play)
Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat permainan
tersebut, memperhatikan, mengocok-ocok apakah ada bunyi, mencium, meraba,
menekan dan kadang-kadang berusaha membongkar.
b. Bermain konstruksi (Construction Play)
Pada anak umur 3 tahun dapat menyusun balok-balok menjadi rumah-rumahan.

c. Bermain drama (Dramatic Play)


Misal bermain sandiwara boneka, main rumah-rumahan dengan teman-temannya.
d. Bermain fisik
Misalnya bermain bola, bermain tali dan lain-lain.
2. Bermain pasif
Pada permainan ini anak bermain pasif antara lain dengan melihat dan mendengar.
Permainan ini cocok apabila anak sudah lelah bernmain aktif dan membutuhkan
sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya.
Contoh ; Melihat gambar di buku/majalah.,mendengar cerita atau musik,menonton
televisi dsb.
Dalam kegiatan bermain kadang tidak dapat dicapai keseimbangan dalam bermain,
yaitu apabila terdapat hal-hal seperti dibawah ini :
a. Kesehatan anak menurun. Anak yang sakit tidak mempunyai energi untuk aktif
bermain.
b. Tidak ada variasi dari alat permainan.
c. Tidak ada kesempatan belajar dari alat permainannya.
d. Tidak mempunyai teman bermain.

C. ALAT PERMAINAN EDUKATIF (APE)


Alat Permainan Edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat mengoptimalkan
perkembangan anak, disesuaikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya, serta
berguna untuk :
1. Pengembangan aspek fisik, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang atau
merangsang pertumbuhan fisik anak, trediri dari motorik kasar dan halus.
Contoh alat bermain motorik kasar : sepeda, bola, mainan yang ditarik dan didorong,
tali, dll. Motorik halus : gunting, pensil, bola, balok, lilin, dll.
2. Pengembangan bahasa, dengan melatih berbicara, menggunakan kalimat yang
benar.Contoh alat permainan : buku bergambar, buku cerita, majalah, radio, tape, TV,
dll.

3. Pengembangan aspek kognitif, yaitu dengan pengenalan suara, ukuran, bentuk.


Warna, dll. Contoh alat permainan : buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka,
pensil warna, radio, dll.
4. Pengembangan aspek sosial, khususnya dalam hubungannya dengan interaksi ibu dan
anak, keluarga dan masyarakat
Contoh alat permainan : alat permainan yang dapat dipakai bersama, misal kotak
pasir, bola, tali, dll.

D. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM BERMAIN


1. Bermain/alat bermain harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
2. Permainan disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
3. Ulangi suatu cara bermain sehingga anak terampil, sebelum meningkat pada
keterampilan yang lebih majemuk.
4. Jangan memaksa anak bermain, bila anak sedang tidak ingin bermain.
5. Jangan memberikan alat permainan terlalu banyak atau sedikit.

E. BENTUK- BENTUK PERMAINAN


1. Usia 0 – 12 bulan
a. Tujuannya adalah :
1) Melatih reflek-reflek (untuk anak bermur 1 bulan), misalnya mengisap,
menggenggam.
2) Melatih kerjasama mata dan tangan.
3) Melatih kerjasama mata dan telinga.
4) Melatih mencari obyek yang ada tetapi tidak kelihatan.
5) Melatih mengenal sumber asal suara.
6) Melatih kepekaan perabaan.
7) Melatih keterampilan dengan gerakan yang berulang-ulang.
b. Alat permainan yang dianjurkan :
1) Benda-benda yang aman untuk dimasukkan mulut atau dipegang.
2) Alat permainan yang berupa gambar atau bentuk muka.
3) Alat permainan lunak berupa boneka orang atau binatang.
4) Alat permainan yang dapat digoyangkan dan keluar suara.
5) Alat permainan berupa selimut dan boneka.
2. Usia 13 – 24 bulan
a. Tujuannya adalah :
1) Mencari sumber suara/mengikuti sumber suara.
2) Memperkenalkan sumber suara.
3) Melatih anak melakukan gerakan mendorong dan menarik.
4) Melatih imajinasinya.
5) Melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari semuanya dalam bentuk
kegiatan yang menarik
b. Alat permainan yang dianjurkan:
1) Genderang, bola dengan giring-giring didalamnya.
2) Alat permainan yang dapat didorong dan ditarik.
3) Alat permainan yang terdiri dari: alat rumah tangga(misal: cangkir yang tidak
mudah pecah, sendok botol plastik, ember, waskom, air), balok-balok besar,
kardus-kardus besar, buku bergambar, kertas untuk dicoret-coret,
krayon/pensil berwarna.
3. Usia 25 – 36 bulan
a. Tujuannya adalah :
1) Menyalurkan emosi atau perasaan anak.
2) Mengembangkan keterampilan berbahasa.
3) Melatih motorik halus dan kasar.
4) Mengembangkan kecerdasan (memasangkan, menghitung, mengenal dan
membedakan warna).
5) Melatih kerjasama mata dan tangan.
6) Melatih daya imajinansi.
7) Kemampuan membedakan permukaan dan warna benda.
b. Alat permainan yang dianjurkan :
1) Alat-alat untuk menggambar.
2) Lilin yang dapat dibentuk
3) Pasel (puzzel) sederhana.
4) Manik-manik ukuran besar.
5) Berbagai benda yang mempunyai permukaan dan warna yang berbeda.
6) Bola.
4. Usia 32 – 72 bulan
a. Tujuannya adalah :
1) Mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan.
2) Mengembangkan kemampuan berbahasa.
3) Mengembangkan pengertian tentang berhitung, menambah, mengurangi.
4) Merangsang daya imajinansi dsengan berbagai cara bermain pura-pura
(sandiwara).
5) Membedakan benda dengan permukaan.
6) Menumbuhkan sportivitas.
7) Mengembangkan kepercayaan diri.
8) Mengembangkan kreativitas.
9) Mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat, lari, dll).
10) Mengembangkan kemampuan mengontrol emosi, motorik halus dan kasar.
11) Mengembangkan sosialisasi atau bergaul dengan anak dan orang diluar
rumahnya.
12) Memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan, misal :
pengertian mengenai terapung dan tenggelam.
13) Memperkenalkan suasana kompetisi dan gotong royong.
b. Alat permainan yang dianjurkan :
1) Berbagai benda dari sekitar rumah, buku bergambar, majalah anak-anak, alat
gambar & tulis, kertas untuk belajar melipat, gunting, air, dll.
2) Teman-teman bermain : anak sebaya, orang tua, orang lain diluar rumah.
6. Usia Prasekolah (yang akan dilakukan oleh kelompok)
a. Alat permainan yang dianjurkan :
1) Alat olah raga.
2) Alat masak
3) Alat menghitung
4) Sepeda roda tiga
5) Benda berbagai macam ukuran.
6) Boneka tangan.
7) Mobil.
8) Kapal terbang.
9) Kapal laut dsb
7. Usia sekolah
a. Jenis permainan yang dianjurkan :
1) Pada anak laki-laki : mekanik.
2) Pada anak perempuan : dengan peran ibu.
8. Usia Praremaja
Karakterisrik permainnya adalah permainan intelaktual, membaca, seni, mengarang,
hobi, video games, permainan pemecahan masalah.
9. Usia remaja
Jenis permainan : permainan keahlian, video, komputer, dll.

F. KETIKA ANAK MASUK RAWAT INAP


1. Tujuan kegiatan :
a. Memberi informasi.
b. Memicu normalisasi.
c. Menggunakan sistem pendukung yang dikenal.
d. Mengidentifikasi teknik koping.
2. Contoh kegiatan :
a. Mendesain tanda selamat datang.
b. Memicu orang tua mengisi angket mengenai ritual anak.
c. Memicu orang tua membawa foto dan mainan.
d. Memberi daftar kegiatan rumah sakit.
e. Proaktif melakukan permainan.

Kegiatan Untuk Kesadaran Dan Citra Diri


Tujuan kegiatan : meningkatkan pengetahuan tentang bagian tubuh internal dan eksternal,
fungsi tubuh dan penerimaan akan tubuhnya.
Kegiatan :
a. Belajar tentang bagian tubuh luar.
b. Belajar tentang bagian tubuh dalam.
c. Belajar tentang fungsi tubuh.
d. Belajar menerima tubuh.

G. EVALUASI
 Proses Bermain :
1. Melipat kertas sesuai instruksi yang diberikan
a. Klien A : Berhasil : x berhasil
Gagal : x gagal

b. Klien B : Berhasil : x berhasil


Gagal : x gagal

c. Klein C : Berhasil : x berhasil


Gagal : x gagal

 Respon setelah bermain :


Menannyakan pada klien apa yang dirasakan setelah dilakukannya kegiatan.

CARA MEMAINKAN RUBIK


Dibawah Ini Arah Putaran Rubik Dan Simbolnya!!!
 Jika memakai huruf kecil ( u, l, d, r ) maka yang diputar adalah layer ke-2 ( yang
berada didalam ).
 Jika penulisan rumus ditambah ( ' ) maka diputar kearah yang berlawanan ( melawan
arah jarum jam ).

Langkah-Langkah Memainkan Rubik


1. Menyusun Bagian Tengahnya Terlebih Dahulu

Menyusun bagian tengan/center rubik 4x4 tidak bisa sembarangan, harus sesuai letak
warnanya seperti di atas dengan syarat letak warna merah berseberangan dengan
orange, putih dengan kuning, serta hijau dengan biru. Dengan susunan warna kuning
berada diatas dan putih dibawah, lalu warna merah, biru, orange, dan hijau berputar
mengelilinginya searah jarum jam.
Tahap 1
posisikan warna putih (boleh warna yang lain tapi agar lebih mudah memahaminya
gunakan warna putih saja) seperti gambar di atas dan ikuti rumusnya.

Tahap 2

Jika tahap 1 sudah diselesaikan sekarang lakukan tahap 2, posisikan warna putih yang
lain pada posisi 2, jika sudah ikuti rumus di atas agar warna putih yang tadinya berada
di sisi kanan akan bepindah seperti pada gambar 2....

Lakukan terus tahap 1 dan 2 hingga seperti gambar rubik di bawah ini
2. Menyusun Tepi Rubik Menjadi Benar

Tepi rubik yang dimaksud di sini adalah tepi rubik yang berjumlah 2 kotak
bersebelahan yang mempunyai komposisi warna sama persis. Pembuatan warna yang
sama ini agar nanti rubik dapat diselesaikan seperti rubik 3x3. Namun kondisi tepi
yang sudah berpasangan boleh keacak seperti gambar di atas.

Ini dia bagaimana cara membuat tepi rubik menjadi berpasangan......


Inti dari langkah tersebut adalah menggabungkan potongan-potongan tepi kemudian
ditukarkan dengan pasangan yang belum jadi menjadi pasangan dengan warna tepi
yang sama dengan rumus ( u' R U' R' u ).
Lakukan cara di atas sampai tersisa 2 pasangan yang belum jadi. Jika sedang
beruntung terkadang malah sudah jadi semua. Namun, jika masih ada 2 pasang, maka
kondisikan posisi pasangan tersebut menjadi seperti berikut:
Dan ikuti rumusnya.....

Jka sudah maka tepi rubik sudah benar semua... sekarang kita lanjut ke langkah yang
ketiga...

3. Menganggapnya Sebagai Rubik 3x3


Setelah tepi dan tengah rubik dalam keadaan benar, maka rubik tersebut dapat
dianggap sebagai rubik 3x3.

Empat kotak bagian tengah rubik 4x4 dianggap sebagai bagian tengah rubik 3x3 dan 2
kotak tepi rubik 4x4 dianggap sebagai bagian tepi rubik 3x3. Untuk
menyelesaikannya gunakan penyelesaian rubik 3x3......

Jika sedang beruntung, maka pada step ini rubik 4x4 sudah jadi. Namun, tekadang ada
kondisi baru yang tidak ditemui pada rubik 3x3 ketika membuat lapisan atas. Seperti
di bawah ini...
Kondisi di atas muncul ketika kita mau menyelesaikan bagian atas rubik menjadi satu
warna setelah bagian bawahnya sudah selesai semua. Misalnya bagian atasnya adalah
warna kuning. Kita tidak bisa menyelesaikannya jika terjadi kondisi eror seperti diatas
maka gunakan rumus:
( r2 B2 U2 l U2 r' U2 r U2 F2 r F2 l' B2 r2 ) agar bagian atasnya menjadi kondisi yang
normal dan dapat di selesaikan....
4. Kondisi Eror
Pada langkah terakhir menyelesaikan rubik 4x4 menggunakan cara 3x3 terkadang kita
akan terjebak pada kondiisi eror seperti di bawah ini:

Gambar diatas adalah kondisi error dan rumus untuk memecahkannya.

Dengan catatan
Arah putaran nya seperti dibawah ini:
DI ruang mawar rumah sakit X merupakan ruang bangsal dimana saat ini terdapat 2 pasien anak usia
remaja yang bernama gita dan syaiful, seperti biasanya dipagi hari dokter visite didampingi oleh
perawat mendatangi pasien

dokter : selamat pagi dek gita

gita : selamat pagi juga dok

dokter : dek yang dirasakan sekarang apa?

Gita : badan saya rasanya meriang dok

Dokter : o..iya dek gita saya periksa dulu ya

Dokter : mbak ini saya kasih terapi ini ini ini ya

Perawat : baik dok

Dokter : dek makan dan minumnya yg banyak ya, biar cepat sembuh dam bisa pulang

Gita : iya dok terimakasih

Dokter : mari bapak/ibu, dek gita

Keluarga pasien : mari dok

Setelah dokter keluar ruangan Perawat lina dan sita memberitahu gita dan syaiful untuk bermain
rubik

Perawat : dek gita dan syaiful kakak mau ngajak kalian bermain rubik apa kalian mau?

Gita & syaiful : iya kak kami mau dari pada bosen diruangan kak

Perawat : ok kakak ambilkan dulu ya rubiknya

perawat lina dan perawat sita menemui kedua pasien dengan membawa rubik untuk bermain

Perawat : selamat pagi mbak gita dan mas syaiful?

G&S : selamat pagi suster..

Perawat : bagaimana keadaan kalian hari ini, semalam bisa tidur gak?

G : baik sus, semalam saya tidurnya nyenyak banget 😊

S : saya gak bisa sus, semalem ngegame hehehe 😃

Perawat : tapi masih bisa tidurkan? Ohh iya kita kenalan dulu ya, ada pepatah tak kenal
makan tak sayang.. kenalin ini suster sita dan suster lina.

Perawat : Ini suster sita sama suster lina mau ngajakin kalian berdua main biar kalian gk
bosan, kalian pasti bosan kan di dalam ruangan terus ya?
G&S : iya sus kita bosen di dalam terus..

Perawat : ini nanti kita main rubik ya, yang salah satu manfaatnya biar adek adek tidak bosan
disamping itu dapat melatih otak agar bisa berfikir cepat lho. Pertama suster kasih contoh dulu terus
kalian coba sendiri dan suster kasih waktu 15 menit untuk menyelesaikan satu sisi. Kalau kalian bisa
menyelesaikan satu sisi nanti suster kasih reward. Setuju yaa??

(perawat mencontohkan bermain rubik)

Perawat : ini suster kasih rubik satu-satu ya, kalau kalian bisa nyelesaian satu sisi yang sama
kalian dapat reward.. nanti 15 menit lagi suster balik kesini..

(15 menit kemudian perawat kembali ke ruangan untuk melakukan evaluasi)

Perawat : bagaimana adik gita dan syaiful, bisa main rubiknya?

Gita : gk bisa suster, ini gimana?

Syaiful : gk bisa juga suster, susah

Perawat : gk bisa semua ya, berarti gk ada yang dapat reward nih padahal suster uda bawa
rewardnya looo..

Perawat : beneran nih gk ada yang mau dapat hadiah suster, hadiahnya dijamin menarik lho

G&S : apa dulu sus hadiahnya?

Perawat : nanti kalau suster sebutin gk surprise jadinya

Gita : ok sus nih dikit lagi selesai sus

Syaiful : yosh aku berhasil selesaiin dulu

Perawat : wah hebat nih mas syaiful

Syaiful : ah suster bisa aja

Gita : suster aku juga sudah selesai lho

Perawat : nha begitu dong semangat, suster kasih ini hadiahnya semoga bisa bermanfaat
buat gita&syaiful

Gita : iya suster makasih ya…

Perawat : iya sama sama G&S

Perawat : nha sekarang bagaimana perasaanya masih bosan atau sudah terkikis bosannya

Syaiful : sudah hilang tak bersisa sus bosannya sekarang sudah berganti dengan
kegembiraan sus

Perawat : baiklah dek G&S semoga bisa terhibur, lekas sembuh dan bisa bertemu dengan
keluarga dan teman-teman dirumah ya

Perawat : suster L&S pamit dulu ya selamat pagi dek G&S

G : terimakasih sus, besok main lagi ya……


Perawat : ok……, mari adik adik suster ke ruangan perawat kalau ada apa apa jangan sungkan
sungkan untuk memanggil

Anda mungkin juga menyukai