Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... iv
BAB II PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 1
C. Tujuan .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Anatomi Fisiologi ............................................................................................. 3
B. Mekanika Pernapasan ....................................................................................... 4
C. Definisi ............................................................................................................. 5
D. Patoginesis ........................................................................................................ 5
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ateleksitas Paru ...................................... 6
F. Manifestasi Klinik............................................................................................. 7
G. Diagnosis Banding ........................................................................................... 7
H. Pemeriksaan Fisik Pada Paru ........................................................................... 8
I. Cara Pemeriksaan Fisik Paru ............................................................................. 11
J. Penatalaksanaan ................................................................................................. 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 36
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 36
B. Saran ................................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 37

ii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Frekuensi dan Pola Pernapasan Normal Berdasarkan Usia. ........................... 13


Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah ............................................................................. 17
Tabel 3. Kuisioner HRS dan Parameternya .................................................................. 22
Tabel 4. Intervensi Fisioterapi ...................................................................................... 31
Tabel 5. AFPR .............................................................................................................. 34

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Anatomi Paru-Paru ..................................................................................3


Gambar 2.2. Palpasi ......................................................................................................24
Gambar 2.3. Lokasi Untuk Perkusi dan Auskultasi......................................................24
Gambar 2.4. Titik Fremitus ..........................................................................................26
Gambar 2.5. Titik Perkusi ............................................................................................27

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atelektasis pertama kali di jelaskan oleh Laennec pada tahun 1819. Atelektasis
berasal dari kata ateles yang berarti “tidak sempurna” dan ektasis yang berarti “ekspansi”.
Secara keseluruhan atelektasis mempunyai arti ekspansi yang tidak sempurna. Atelektasis
di definisikan sebagai kolapsnya alveoli dan berkurangnya udara di dalam ruang
intrapulmonal atau kolapsnya semua atau sebagian paru. Keadaan ini sering menjadi
komplikasi paru pasca operasi dengan bukti pemeriksaan radiografi mencapai 70% pada
pasien yang sedang menjalani thorakotomy dan celiotomy.
Komplikasi pada paru relatif sering terjadi pasca operasi dan dapat dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, yang paling umum terjadi adalah setelah
operasi thorakoabdominal, dan operasi jantung. Kejadian ini dilaporkan bahwa
komplikasi paru pasca operasi berkisar lima hingga 80%, diantaranya adalah atelektasis,
bronkospasme, pneumonia, dan penyakit paru eksarserbasi kronis. Komplikasi pada paru
merupakan resiko pasca operasi, dimana keadaan ini tergantung oleh faktor anastesia,
faktor bedah, dan pasiennya sendiri.
Penyebab atelektasis bervariasi, diantaranya adalah sumbatan mukus pada bronkus,
kompresi ekstrinsik dari hemopneumothoraks dan hipoventilasi alveolus. Keadaan ini
timbul karena penurunan volume tidal pernapasan yang sering dicetuskan oleh nyeri insisi
selama beberapa hari pertama setelah operasi. Terdapat tiga faktor utama yang merupakan
faktor pencetus pada perkembangan terjadinya atelektasis pada pasien pasca bedah, yaitu
posisi terlentang untuk waktu yang lama, ventilasi dengan gas tinggi dalam konsentrasi
oksigen yang tinggi, dan pengurangan surfaktan paru setelah operasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah tentang program tetap ini adalah
sebagai berikut:
1. Membandingkan anatomi, fisiologi, dan patofisiologi.
2. Mementukan jenis pemeriksaan fisioterapi dan menganalisis hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan.
3. Menganalisis problematik dan mendesain intervensi fisioterapi.

1
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Pembahasan mengenai anatomi dan fisiologi terkait atelektasis.
2. Pembahasan mengenai patofisiologi terkait etelektasis.
3. Pembahasan mengenai pemeriksaan fisioterapi.
4. Pembahasan mengenai intervensi fisioterapi.
5. Pembahasan menegnai kemitraan fisioterapi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI FISIOLOGI
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga
dada atau toraks. Jaringan paru terdiri dari serangkaian saluran napas yang bercabang-
cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar jaringan ikat elastik.
Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding arteriol dan bronkiolus. Tidak
terdapat otot di dalam dinding alveolus yang dapat menyebabkan alveolus mengembang
atau menciut selama proses bernapas. Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan
dimensi-dimensi toraks.

Gambar 2.1 Anatomi Paru-paru


Sumber: Light, et al., 2009
Dinding toraks dibentuk oleh dua belas pasang iga yang melengkung dan menyatu
di sternum di sebelah anterior dan vertebra torakalis di posterior. Diafragma, yang
membentuk dasar (lantai) rongga toraks, adalah lembaran besar otot rangka berbentuk
kubah yang memisahkan secara total rongga toraks dari rongga abdomen. Diafragma
hanya di tembus oleh esofagus dan pembuluh darah yang melintas di antara rongga toraks
dan abdomen. Rongga toraks ditutup di daerah leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-
satunya komunikasi antara toraks dan atmosfer adalah melalui saluran pernapasan ke
dalam alveolus. Seperti paru, dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat
elastik.

3
Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan berbentuk
seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran pernapasan. Dinding alveolus
terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe I yang gepeng. Jaringan padat kapiler paru yang
mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal satu lapisan sel. Ruang interstisium antara
alveolus dan jaringan kapiler di sekitarnya membentuk suatu sawar yang sangat tipis,
dengan ketebalan hanya 0,2 µm yang memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di
dalam kapiler paru. (Selembar kertas minyak tipis untuk menjiplak yang tebalnya lima
puluh kali dibandingkan ketebalan sawar udara-ke-darah ini). Ketipisan sawar tersebut
mempermudah pertukaran gas.

B. MEKANIKA PERNAPASAN
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan
rendah, yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama
proses bernapas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan yang berubah berselang-
seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot-otot pernapasan. Terdapat
tiga tekanan berbeda yang penting pada ventilasi.
1. Tekanan Atmosfer (Barometrik)
Tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda-benda di
permukaan bumi. Di ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas
permukaan laut karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun. Dapat terjadi
fluktuasi minor tekanan atmosfer akibat perubahan kondisi-kondisi cuaca (yaitu, pada
saat tekanan barometrik meningkat atau menurun).
2. Tekanan Intra-alveolus
Dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis, adalah tekanan di dalam alveolus.
Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran pernapasan, udara
dengan cepat mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi
perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer, udara terus mengalir
sampai tekanan keduanya seimbang (equilibrium).

4
3. Tekanan Intra-pleura
Tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan
intratoraks, yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks. Tekanan
intrapleura biasanya lebih kecil daripada tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg saat
istirahat.

C. DEFINISI
Atelektasis paru adalah ekspansi tak lengkap atau kolapsnya semua atau sebagian
paru. Keadaan ini sering disebabkan oleh obstruksi bronkus dan kompresi pada jaringan
paru.

D. PATOGENESIS
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi
terjadinya atelektasis, diantaranya adalah obstruksi saluran pernapasan, kompresi jaringan
parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun proses pada dinding dada,
penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi dan defisiensi surfaktan. Ketiga
penyebab ini dapat menjelaskan dasar fisiologis penyebab atelektasis.
1. Atelektasis Resorpsi
Terjadi akibat adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara ke
dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya
berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Atelektasis resorpsi dapat disebabkan oleh
segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan.
2. Atelektasis Kompresi
Terjadi bila rongga pleura sebagian atau seluruhnya terisi dengan eksudat,darah,
tumor, atau udara. Kondisi ini ditemukan pada pneumotoraks, efusi pleura, atau tumor
dalam toraks. Keadaan ini terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpakan gaya
yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus menjadi kolaps. Atelektasis
kompresi terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka, karena tekanan atmosfir
lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang (tekanan pleura), dan
dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps.

5
3. Atelektasis Kontraksi
Terjadi akibat perubahan perubahan fibrotik jaringan parenkim paru lokal atau
menyeluruh, atau pada pleura yang menghambat ekspansi paru secara sempura.
Atelektasis kontraksi bersifat irreversible.
4. Mikroatelektasis
Mikroatelektasis (atelektasis adhesive) adalah berkurangnya ekspansi paru-paru
yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa kompleks yang paling penting yaitu
hilangnya surfaktan. Surfaktan memiliki phospholipid dipalmitoyl yang mencegah
kolaps paru dengan mengurangi tegangan permukaan alveolus. Berkurangnya
produksi atau inaktivasi surfaktan, keadaan ini biasanya ditemukan pada NRDS
(Neonatal Respiratory Distress Syndrome), ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome), dan proses fibrosis kronik.

E. FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA ATELEKTASIS


PARU
1. Obesitas
Dijelaskan bahwa selama anestesi umum, pasien yang mengalami obesitas
memiliki resiko lebih besar terbentuk atelektasis dibandingkan pada pasien non-
obesitas. Perbedaan mekanik pada sistem respirasi dan ditemukannya hipoksia pada
pasien obesitas sebagian besar dikarenakan oleh penurunan volume paru-paru dan
peningkatan tekanan intra-abdominal.
2. Tipe Anastesi
Atelektasis terbentuk akibat anastesi inhalasi dan intravena, terlepas dari
apakah pasien bernapas spontan atau lumpuh dan menggunakan ventilasi mekanis.
Efek ventilasi dari anestesi regional bergantung pada jenis dan luasnya blockade
motorik. Blockade neuroaxial dapat megurangi kapasitas inspirasi hingga 20% dan
volume cadangan ekspirasi yang mendekati nol, efek blokade yang kurang luas dapat
mempengaruhi pertukaran gas paru yang hanya minimal, oksigenasi arteri dan
eliminasi karbondioksida yang baik. Keadaan ini dipertahankan selama anestesi
spinal dan epidural.

6
3. Pengaruh Posisi
Penurunan volume sisa fungsional paru merupakan faktor predisposisi
terjadinya atelektasis, yaitu penutupan bronkus bagian bawah, sehingga dapat
menciptakan pola khas atelektasis basis.
4. Fraksi Oksigen Terinspirasi
Fraksi oksigen terinspirasi (FiO2) adalah jumlah oksigen yg dihantarkan atau
diberikan ke pasien melalui ventilator. Konsentrasi berkisar 21 sampai 100%,
Rekomendasi untuk pengaturan FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%.
Namun pemberian 100% tidak boleh terlalu lama sebab resiko keracunan oksigen
akan meningkat. Keracunan O2 menyebabkan perubahan struktur pada membran
alveolar kapiler, dan keadaan ini dapat menyebabkan edema paru, atelektasis, dan
penurunan PaO2 yg refrakter (ARDS).

F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang paling umum didapatkan pada atelektasis adalah sesak napas,
pengembangan dada yang tidak normal selama inspirasi, dan batuk. Gejala gejala lainnya
adalah demam, takikardi, adanya ronki, berkurangnya bunyi pernapasan, pernapasan
bronkial, dan sianosis. Jika kolaps paru terjadi secara tiba-tiba, maka gejala yang paling
penting didapatkan pada atelektasis adalah sianosis. Jika obstruksi melibatkan bronkus
utama, mengi dapat didengar, dapat terjadi sianosis dan asfiksia, dapat terjadi penurunan
mendadak pada tekanan darah yang mengakibatkan syok. Jika terdapat sekret yang
meningkat pada alveolus dan disertai infeksi, maka gejala atelektasis yang didapatkan
berupa demam dan denyut nadi yang meningkat (takikardi). Pada pemeriksaan klinis
didapatkan tanda atelektasis pada inspeksi didapatkan berkurangnya gerakan pada sisi
yang sakit, bunyi nafas yang berkurang, pada palpasi ditemukan vokal fremitus berkurang,
trakea bergeser ke arah sisi yang sakit, pada perkusi didapatkan pekak dan uskustasi
didapatkan penurunan suara pernapasan pada satu sisi.

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis atelektasis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan, serta
pemeriksaan radiografi. Foto radiografi dada digunakan untuk konfirmasi diagnosis. CT
scan digunakan untuk memperlihatkan lokasi obstruksi. Foto radigrafi dada dilakukan
dengan menggunakan proyeksi anterior-posterior dan lateral untuk mengetahui lokasi dan

7
distribusi atelektasis. Sebagai dasar gambaran radiologi pada atelektasis adalah
pengurangan volume paru baik lobaris, segmental, atau seluruh paru, yang akibat
berkurangnya aerasi sehingga memberi bayangan yang lebih suram (densitas tinggi) dan
pergeseran fissura interlobaris. Tanda-tanda tidak langsung dari atelektasis adalah
sebagian besar dari upaya kompensasi pengurangan volume paru, yaitu penarikan
mediastinum kearah atelektasis, elevasi hemidiafragma,sela iga menyempit, pergeseran
hilus. Adanya "siluet" merupakan tanda memungkinkan adanya lobus atau segmen dari
paru-paru yang terlibat.

H. PEMERIKSAAN FISIK PADA PARU


1. Inspeksi
a) Pigeon chest: bentuk dada seperti burung diameter transversal sempit, anterior
posterior, membesar atau lebar, tulang sternum menonjol kedepan.
b) Funnel chest: bentuk dada diameter sternum menyempit, anterior posterior
menyempit, transversal melebar.
c) Barrel chest: bentuk dada seperti tong, diameter anterior posterior transversal
memiliki perbandingan 1:1, juga amati kelainan tulang belakang seperti kifosis,
lordosis, dan skoliosis.

Pada pengkajian dada dengan inspeksi juga perhatikan:

a) Frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya bernapas.


b) Sifat bernapas: pernapasan perut atau dada.
c) Adakah retraksi dada, jenis: retraksi ringan, sedang, dan berat.
d) Ekspansi paru simetris ataukah tidak.
e) Irama pernapasan: pernapasan cepat atau pernapasan dalam (pernapasan
kussmoul).
f) Pernapasan biot: pernapasan yang ritme maupun amplitudenya tidak teratur
diselingi periode apnea.
g) Cheyne stokes: pernapasan dengan amplitude mula-mula kecil makin lama
makin besar kemudian mengecil lagi diselingi peripde apnea.

8
2. Palpasi
Palpasi dada bertujuan mengkaji kulit pada dinding dada, adanya nyeri tekan,
masssa, kesimetrisan ekspansi paru dengan menggunakan telapak tangan atau jari
sehingga dapat merasakan getaran dinding dada dengan meminta pasien
mengucapkan tujuh puluh tujuh secara berulang–ulang. Getaran yang dirasakan
disebut vocal fremetus.
Perabaan dilakukan diseluruh permukaan dada (kiri,kanan depan, belakang)
umumnya pemeriksaan ini bersifat membandingkan bagian mana yang lebih
bergetar atau kurang bergetar,adanya kondisi pendataan paru akan terasa lebih
bergetar, adanya kondisi pemadatan paru akan terasa lebih bergetar seperti
pnimonia,keganasan pada efusi plueura atau pneumathorak akan terasa kurang
bergetar.

3. Perkusi
Perkusi dinding thorak dengan cara mengetuk dengan jari tengah, tangan
kanan pada jari tengah tangan kiri yang ditempeklan erat pada dinding dada celah
interkostalis. Perkusi dindng thorak bertujuan untuk mengetahui batas jantung, paru,
serta suara jantung maupun paru. Suara paru normal yang didapat dengan cara
perkusi adalah resonan atau sonor, seperti dug, dugm dug, redup atau kurang resonan
suara perkusi terdengar bleg, bleg, bleg. Pada kasus terjadnya konsolidasi paru
seperti pneumonia, pekak atau datar terdengar mengetuk paha sendiri seperti kasus
adanya cairan rongga pleura, perkusi hepar dan jantung. hiperesonan/timpani suara
perkusi pada daerah berongga terdapat banyak udara seperti lambung,
pneumothorax dan coverna paru terdengar dang, dang, dang.
a) Batas paru hepar di ICS 4 sampai ICS ke 6.
b) Batas atas kiri jantung ICS 2-3.
c) Batas atas kanan jantung ICS 2 linea sternalis kanan.
d) Batas kiri bawah jantung line media clavicuralis ICS ke lima kiri.

9
4. Auskultasi
Auskultasi paru adalah menedengarkan suara pada dinding thoraks
menggunakan stetoskop karena sistematik dari atas ke bawah dan membandingkan
kiri maupun kanan suara yang didengar adalah:
a) Suara Napas
1) Vesikuler: suara napas vesikuler terdengar di semua lapang paru yang
normal, bersifat halus, nada rendah, inspirasi lebih panjang dari ekspiasi.
2) Broncho vesikuler: terdengar di daerah percabangan bronchus dan trachea
sekitar sternum dari regio inter scapula maupun ICS 1:2. Inspirasi sama
panjang dengan ekspirasi.
3) Brochial: terdengar di daerah trakea dan suprasternal notch bersifat kasar,
nada tinggi, inspirasi lebih pendek, atau ekspirasi.
b) Suara Tambahan
Pada pernapasan normal tidak ditemukan suara tambahan, jika ditemukan
suara tambahan indikasi ada kelainan, adapun suara tambahan adalah:
1) Rales/Krakles
Bunyi yang dihasilkan oleh exudat lengket saat saluran halus
pernapasan mengembang dan tidak hilang, suruh pasien batuk, sering
ditemui pada pasien dengan peradangan paru seperti TBC maupun
pneumonia.
2) Ronchi
Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik inspirasi
maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret dalam trakea atau bronkus
sering ditemui pada pasien oedema paru, bronkitis.
3) Wheezing
Bunyi musical terdengar “ngii...” yang bisa ditemukan pada fase
ekspirasi maupun ekspirasi akibat udara terjebak pada celah yang sempit
seperti oedema pada bronkus.
4) Fleural Friction Rub
Suatu bunyi terdengar kering akibat gesekan pleura yang meradang,
bunyi ini biasanya terdengar pada akhir inspirasi atau awal ekspirasi, suara
seperti gosokan amplas.

10
5) Vocal Resonansi
Pemeriksaan mendengarkan dengan stethoscope secara sistematik
disemua lapang guru, membandingkan kanan dan kiri pasien diminta
mengucapkan tujuh puluh tujuh berulang-ulang.

I. CARA PEMERIKSAAN FISIS PARU


Kunci dari settiap teknik pengkajian ini adalah untuk mengembangkan
pendekatan yang sistematik, teknik yang paling tepat yaitu jika pengkajian dimulai dari
kepala lalu ke tubuh bagian bawah. Kemudian hal yang perlu disiapakan dan
diperhatikan oleh perawat ada pada saat pengkajian antara lain yatu peralatan yang
diperlukan, cuci tangan sebelum melakukan prosedur, siapkan pasien, pastikan
lingkungan yang kondusif, jaga privasi pasien, pemeriksaan harus efektif dan efisien bagi
perawat dan pasien, dan gunakan universal precaution. Berikut merupakan cara-cara
yang digunakan dalam pemeriksaan fisik paru menurut George Lawry (2015:81) sebagai
berikut:

a. Inspeksi
1. Pemeriksaan dada dimulai dari thoraks posterior, klien pada posisi duduk.
2. Dada di observasi dengan membandingkan satu sisi dengan sisi yang lainnya.
3. Tindakan dilakukan dari atas (apex) sampai ke bawah.
4. Inspeksi thoraks posterior terhadap warna kulit dan kondisinya, skar, lesi, massa,
gangguan tulang belakang seperti: kiposis, skoliosis, dan lordosis.
5. Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan pergerakan dada.
6. Observasi tipe pernapasan, seperti: pernapasan hidung atau pernapasan
diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
7. Saat mengobservasi respirasi, catat durasi, dari fase inspirasi dan fase ekspirasi.
Ratio pada fase ini normalnya 1:2. Fase ekspirasi yang memanjang menunjukkan
adanya obstruksi jalan napas dan sering ditemukan pada klien Chronic Airflow
Limitation (CAL)/COPD.
8. Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter antero posterior (AP) dengan
diameter lateral/transversal (T). Ratio ini normalnya berkisar 1:2 sampai 5:7,
tergantung dari cairan tubuh klien.
9. Kelainan pada bentuk dada:

11
a) Barrel Chest
Timbul akibat terjadinya overinflation paru. Terjadi peningkatan
diameter AP:T (1:1), sering terjadi pada klien emfisema.
b) Funnel Chest (Fectus Excavatium)
Timbul jika terjadi depresi dari bagian bawah dari sternum. Hal ini akan
menekan jantung dan pembuluh darah besar, yang mengakibatkan murmur.
Kondisi ini dapat timbul pada ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat
kecelakaan kerja.
c) Pigeon Chest (Pectus Carinatum)
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum dimana terjadi
peningkatan diameter AP. Timbul pada klien dengan kiposkoliosis berat.
d) Kiposkoliosis
Terlihat dengan adanya elevasi scapula. Deformitas ini akan mengganggu
pergerakan paru-paru, dapat timbul pada klien dengan osteoporosis dan
kelainan muskuloskeletal lain yang mempengaruhi thoraks.
10. Kelainan bentuk tulang belakang:
a) Kiposis
Meningkatnya kelengkungan normal kolumna vertebra torakalis menyebabkan
klien tampak bengkok.
b) Skoliosis
Melengkungnya vertebra torakalis ke lateral, disertai rotasi vertebral.
11. Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan dada atau tidak
adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
12. Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat
mengindikasikan obstruksi jalan napas.

12
Tabel 1. Frekuensi dan Pola Pernapasan Normal Berdasarkan Usia.
Usia Frekuensi
Bayi baru lahir 35 - 40 x/mnt
Bayi (6 bulan ) 30 - 50 x/mnt
Todler (2 tahun) 25 - 32 x/mnt
Anak – anak 20 – 30 x/mnt
Remaja 16 – 19 x/mnt
Dewasa 12 – 20 x/mnt
Sumber: Bickle, 2014

b. Palpasi
Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan observasi
abnormalitas, mengindentifikasi keadaan kulit dan mengetahui vocal/tactile premitus
(vibrasi). Palpasi thorak untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi.
Seperti: massa, lesi, bengkak. Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien
mengeluh nyeri. Vocal premitus: getaran dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara.
1. Leher
Trakea yang normal dalam garis lurus di antara otot sternokleidomastoideus
pada leher dengan mudah digerakkan serta dengan mudah kembali ke posisi garis
tengah setelah di geser. Massa dada, goiter, atau cidera akut dapat mengubah posisi
trakea, selain itu pada efusi pleura selalu membuat deviasi trakea ke sisi jauh dari
yang sakit sementara aelektasis, trakea sering tertarik ke bagian yang sakit.
2. Dada
a) Vocal fremitus adalah vibrasi yang dirasakan ketika pasien mengatakan “77”
(tujuh puluh tujuh). Vibrasi normal bila terasa di atas batang bronkus utama.
Bila teraba diatas perifer paru, hal ini menunjukkan konsulidasi sekresi atau
efusi pleura ringan sampai sedang.
b) Fremitus ronkhi adalah vibrasi yang teraba di atas sekresi dan sekresi dan
kongesti pada bronkus atau trakea.

13
c) Emfisema subkutan menyebabkan krepitasi di atas daerah yang terkena. Bila di
auskultasi, juga terdengar crackles. Hal ini dapat berpindah kedaerah yang
berbeda tergantung pada posisi pasien. Kebocoran udara dari suatu
pneumothoraks atau pneumomediastium kedalam jaringan subkutan
menyebabkan emfisema subkutan.
c. Perkusi
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner, organ yang
ada disekitarnya dan pengembangan (ekskursi) diafragma. Jenis suara perkusi:
1. Suara Perkusi Normal
Resonan (sonor) yaitu bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru
normal. Dullness yaitu dihasilkan di atas bagian jantung atau paru. Timphani
yaitu musikal, dihasilkan di atas perut yang berisi udara.
2. Suara Perkusi Abnormal
Hipperresonan yaitu bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan dan
timbul pada bagian paru yang abnormal berisi udara. Flatness yaitu sangat dullness
dan oleh karena itu nadanya lebih tinggi. Dapat didengar oleh perkusi daerah paha,
dimana area seluruhnya berisi jaringan.

d. Auskultasi
Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup mendengarkan
suara napas normal, suara tambahan (abnormal), dan suara-suara napas normal
dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan napas dari laring ke alveoli, dengan
sifat bersih.
1. Suara Napas Normal
a) Bronchial: sering disebut juga dengan “tubular sound” karena suara ini
dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa), suaranya terdengar keras,
nyaring, dengan hembusan yang lembut, fase ekspirasinya lebih panjang
daripada inspirasi, dan tidak ada henti diatara dua fase tersebut. Normal
terdengar di atas trachea atau daerah suprasternal notch.

14
b) Bronchovesikular: merupakan gabungan dari suara napas bronchial dan
vesikular. Suaranya terdengar nyaring dan dengan intensitas yang sedang.
Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah thoraks
dimana bronchi tertutup oleh dinding dada.
c) Vesikular: terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih
panjang dari ekspirasi , ekspirasi terdengar seperti tiupan.
2. Suara Napas Tambahan
a) Wheezing: terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan karakter suara
nyaring, musikal,suara terus menerus yang berhubungan dengan aliran udara
dengan melalui jalan napas yang menyempit.
b) Ronchi: terdngar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter suara terdengan
perlahan, nyaring, suara mengorok terus-menerus. Berhubungan dengan
sekresi kental dan peningkatan produksi sputum.
c) Pleural friction rub: terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Karakter suara:
kasar, berciut, suara seperti gesekan akibat dari inflamasi pada daerah pleura.
Sering kali klien juga mengalami nyeri saat bernapas dalam.
d) Crackles: setap fase lebih sering terdengar saat inspirasi. Karakter suara
meletup, terpatah-patah akibat udara melewati daerah yang lembab di alveoli
atau bronchiolus. Suara seperti rambut yang digesekkan.
e) Coarse crackles: lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara lemah, kasar,
suara gesekan terpotong akibat terdapatrnya cairan atau sekresi pada jalan napas
yang besar. Mungkin akan berubah ketika klien batuk.

15
J. PENATALAKSANAAN

1. Manajemen Fisioterapi
a. Chief of Complaint
Merujuk tentang keluhan utama yang pertama kali diucapkan oleh
seorang penderita ketika fisioterapis melakukan awal anamnesis.

b. History Taking
Uraian secara singkat dari seluruh masalah yang dirasakan dan atau
didalami oleh penderita yang akan dijawab oleh penderita berkaitan
dengan wawancara berupa sejumlah pertanyaan sistematis yang
dikemukakan oleh fisioterapis. Pertanyaan wawancara dibedakan
menjadi pertanyaan wawancara umum dan wawancara khusus.
1) Anamnesis Umum
I. Biodata
a) Nama :
b) Umur :
c) Jenis kelamin :
d) Status :
e) Agama :
f) Pekerjaan :
g) Hobi :
h) Alamat :

II. Vital Sign


Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik
berbagai fisiologis yang digunakan untuk membantu menentukan
status kesehatan seseorang, terutama pada pasien yang secara
medis tidak stabil atau memiliki faktor-faktor resiko komplikasi
kardiopulmonal dan untuk menilai respon terhadap intervensi.
Tanda vital juga berguna untuk menentukan dosis yang adekuat
bagi tindakan fisioterapi, khususnya exercise.

16
Vital sign terdiri atas, yaitu
a) Tekanan Darah
Interpretasi hasil pengukuran tekanan darah pada
usia ≥ 18 tahun: berdasarkan Joint National Committee VII
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah
TDS* TDD*
Klasifikasi Tekanan Darah
mmHg mmHg

Normal < 120 < 80


Pre-Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 90-99
Hipertensi Stage 2 >160 >100

Sumber: Aras, 2017

b) Denyut Nadi
Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi, tergantung dari
banyak faktor yang mempengaruhinya, pada saat aktivitas
normal:
1) Normal : 60-100 x/mnt 2.
2) Bradikardi : < 60x/mnt 3.
3) Takhikardi : > 100x/mnt.

c) Suhu Tubuh
Metode mengukur suhu tubuh:
1) Oral. Termometer diletakkan dibawah lidah tiga sampai
lima menit. Tidak dianjurkan pada bayi.

17
2) Axilla. Metode yang paling sering di lakukan. Dilakukan
5-10 menit dengan menggunakan termometer raksa. Suhu
aksila lebih rendah 0.6° C (1°F) dari pada oral.
3) Rektal. Suhu rektal biasanya berkisar 0.4°C (0.7°F) lebih
tinggi dari suhu oral.

d) Pernapasan
Interpretasi pernapasan:
1) Takhipnea : Bila pada dewasa pernapasan lebih dari
24 x/menit.
2) Bradipnea : Bila kurang dari 10 x/menit.
3) Apnea : Bila tidak bernapas.

2) Anamnesis Umum

a) Sejak kapan Bapak/Ibu mengalami keluhan ini?


b) Bagaimana bisa terjadi Bapak/Ibu?
c) Apakah pernafasan Bapak/Ibu cepet atau lambat?
d) Ada nyeri ketika Bapak/Ibu bernafas?
e) Aktivitas seperti apa Bapak/Ibu lakukan sehingga nyerinya
muncul?
f) Apakah Bapak/Ibu memiliki kebiasaan merokok?
g) Apakah tidur Bapak/Ibu terganggu atau tidak?
h) Apakah aktivitas Bapak/Ibu sehari-hari terganggu?
i) Apakah Bapak/Ibu sudah ke dokter sebelumnya?
j) Apakah Bapak/Ibu pernah foto rongsen?
k) Masih adakah keluhan lain?

18
c. Assymetric
Dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami
bentuk model dari bangunan fisik/jaringan yang letak dan topiknya tidak
simetris berkaitan dengan adanya perubahan patofiologi fisik karena
gangguan gerak dan fungsi gerak tertentu. Teknik
pelaksanaan assymetric untuk mengungkap makna perubahan pada
patofisiologi tertentu sebagai berikut:
1) Observasi/Inspeksi
Dilihat adanya bentuk proteksi tubuh atau malposisi akibat
suatu gangguan fisik baik dalam keadaan diam maupun dalam
keadaan bergerak.
a) Statis
Dilihat dari kondisi fisik pasien dalam keadaan diam.
Contohnya: Posisi berdiri.
b) Dinamis
Dilihat dari kondisi fisik pasien dalam keadaan bergerak.
Contohnya: Pasien.berjalan ditempat.
c) Tes Orientasi
Dilihat dari kondisi fisik pasien dalam melakukan aktivitas.
Contohnya: Pasien mengambil dompet, menyisir rambut, dan
gerakan fungsional lainnya.

2) Palpasi
Dilakukan dengan cara meraba pada suatu bentuk, dan posisi
serta keadaan yang terkait dengan perubahan patofisiologi tertentu.
Contohnya: Oedem, suhu, dan kontur kulit serta titik-titik nyeri.

19
3) Melakukan Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
a) Pemeriksaan Aktif
Untuk mengetahui kualitas tulang atau sendi, otot dan saraf.
Contoh: Apakah ada keterbatasan lingkup gerak sendi (ROM),
nyeri gerak.
b) Pemeriksaan Pasif
Untuk mengungkap kualitas tulang dan sendi serta kualitas
otot dan tendon dalam posisi memanjang. Contoh: Untuk
mengetahui andfeel dari gerakan tersebut, apakah soft andfeel,
hard andfeel atau elastic.
c) Pemeriksaan Resissted
Untuk mengungkap kualitas muskulotedinogen yang
biasa dikenal dengan tes provokasi. Contoh: untuk mengetahui
apakah ada kelainan pada otot, tendon dan tulang.

d. Rescriptive
Mengungkap makna tentang berbagai jenis limitasi yang dialami
oleh penderita berkaitan dengan patofisiologi tertentu. Meliputi:
1) Limitasi ROM
Berdasarkan pemeriksaan gerak fungsi dasar, setelah itu
ditelusuri tentang regio, arah limitasi gerakan yang dimaksud.
Contoh: keterbatasan pada gerakab pada semua gerakan shoulder.
2) Limitasi ADL
Mengungkap makna gerakan ADL apa yang mengalami
gangguan limitasi berdasarkan dengan perubahan patofisiologi
tertentu. Contoh: limitasi ADL makan, minum, aktivitas kamar
mandi, memelihara diri, berpakaian, dan aktivitas seks dan aktivitas
lainnya.

20
3) Limitasi Rekreasi
Mengungkap makna hobi apa atau rekreasi apa yang
membuat penderita mengalami keterbatasan karena perubahan
patofisiologi tersebut.
4) Limitasi Pekerjaan
Mengungkap makna pekerjaan yang ditekuni penderita saat
ini mengalami gangguan akibat perubahan patofisiologi tertentu.

e. Tissue Impairment dan Psikogenik


Memprediksi jaringan apa yang mengalami gangguan, jenis
gangguan, aktualitas gangguan, serta faktor penyebab yang juga
berhubungan dengan gangguan psikosomatis yang berkaitan atau tidak
dengan diagnostik klinik dari dokter pada penderita yang mengalami
patofisiologi tertentu.
Komponen jaringan yang mengalami gangguan/kelemahan:
1) Muskulotendinogen
Yaitu berhubungan dengan gangguan otot dan tendon (muscle
weakness, atropi, kontraktur dan lain-lain).
2) Osteoarthrogen
Yaitu berhubungan dengan gangguan tulang dan sendi
(intraarticular joint stiffness, degenerative).
3) Neurogen
Yaitu berhubungan dengan gangguan saraf (LBP).
4) Physicogen
Yaitu berhubungan dengan gangguan psikis atau mental
penderita.

21
f. Spesific Test
Pemeriksaan terminal dari berbagai pemeriksaan-pemeriksaan
fisioterapi yang bersifat spesifik atau khusus yang membutuhkan
pengetahuan, skill, dan pemahaman.
Pada kasus penyakit jantung, dilakukan tes spesifik sebagai berikut:
1) Hamilton Rating Scale (HRS)
Menggunakan kuisioner Hamilton Rating Scale untuk
mengukur tingkat kecemasannya.
Tabel 3. Kuesioner HRS dan Parameternya

No Pertanyaan 0 1 2 3 4
1 Perasaan Ansietas
- Cemas
- Firasat Buruk
- Takut Akan Pikiran Sendiri
- Mudah Tersinggung
2 Ketegangan
- Merasa Tegang
- Lesu
- Tak Bisa Istirahat Tenang
- Mudah Terkejut
- Mudah Menangis
Gemetar
- Gelisah

3 Ketakutan
- Pada Gelap
- Pada Orang Asing
- Ditinggal Sendiri
- Pada Binatang Besar
- Pada Keramaian Lalu Lintas
- Pada Kerumunan Orang Banyak

22
4 Gangguan Tidur
- Sukar Masuk Tidur
- Terbangun Malam Har
Tidak Nyenyak
Bangun dengan lesu
Banyak Mimpi
- Mimpi Buruk
- Mimpi menakutkan
5 Gangguan Kecerdasan
- Sukar Konsentrasi
- Daya Ingat Buruk
6 Perasaan Depresi
- Hilangnya Minat
- Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
- Sedih
- Bangun Dini Hari
- Perasaan Berubah-Ubah Sepanjang Hari
7. Gejala Somatik (Otot)
- Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
- Kaku
- Kedutan Otot
- Gigi Gemeruntuk
Skor : Interpretasi
0. = Tidak ada < 14 = Tidak ada kecemasan
1. = Ringan 14-20 = Kecemasan ringan
2. = Sedang 21-27 = Kecemasan Sedang
3. = Berat 28-41 =Kecemasan Berat
4. = Berat Sekali 42-56 = Kecemasan berat sekali

23
2) Palpasi

Gambar 2.2 Palpasi


Sumber: Eviana, 2013
Perabaan dilakukan diseluruh permukaan dada (kiri,
kanan, depan, belakang) umumnya pemeriksaan ini bersifat
membandingkan bagian mana yang lebih bergetar atau kurang
bergetar, adanya kondisi pendataan paru akan terasa lebih
bergetar, adanya kondisi pemadatan paru akan terasa lebih
bergetar seperti pnimonia, keganasan pada pleural effusion atau
pneumathorak akan terasa kurang bergetar.

3) Auskultasi

Gambar 2.3 Lokasi Untuk Perkusi dan Auskultasi


Sumber: Lawry, 2015

24
Auskultasi paru adalah menedengarkan suara pada dinding
thorax menggunakan stetoskope karena sistematik dari atas ke
bawah dan membandngkan kiri maupun kanan suara yang
didengar adalah:
i. Suara Napas
a) Vesikuler: suara napas vesikuler terdengar di semua
lapang paru yang normal, bersifat halus, nada rendah,
inspirasi lebih panjang dari ekspiasi.
b) Brancho vesikuler: tedrdengar di daerah percabangan
bronchus dan trachea sekitar sternum dari regio inter
scapula maupun ICS 1:2. Inspirasi sama panjang dengan
ekspirasi.
c) Brochial: terdengar di daerah trachea dan suprasternal
notch bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek,
atau ekspirasi.

ii. Suara Tambahan


Pada pernapasan normal tidak ditemukan suara tambahan,
jika ditemukan suara tambahan indikasi ada kelainan, adapun
suara tambahan adalah:
a) Rales/Crakles
Bunyi yang dihasilkan oleh exudat lengket saat saluran
halus pernapasan mengembang dan tidak hilang, suruh
pasien batuk, sering ditemui pada pasien dengan
peradangan paru seperti TBC maupun pneumonia.

25
b) Ronchi
Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik
inspirasi maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret
dalam trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien
oedema paru, bronchitis.
c) Wheezing
Bunyi musikal terdengar “mengi” yang bisa ditemukan
pada fase ekspirasi maupun ekspirasi akibat udara terjebak
pada celah yang sempit seperti oedema pada brochus.

4) Fremitus Taktil

Gambar 2.4 Titik Fremitus


Sumber: Drake, et al., 2009
Pemeriksaan mendengarkan dengan stethoscope secara
sistematik disemua lapang guru, membandingkan kanan dan kiri
pasien diminta mengucapkan tujuh puluh tujuh berulang-ulang.
a) Vokal resonan normal terdengar intensitas dan kualitas sama
antara kanan dan kiri.
b) Bronchophoni: terdengar jelas dan lebih keras dibandingkan sisi
yang lain umumnya akibat adanya konsolidasi.
c) Pectorilequy: suara terdengar jauh dan tidak jelas biasanya pada
pasien effusion atau atelektasis.
d) Egopony: suara terdengar bergema seperti hidungnya tersumbat.

26
5) Perkusi

Gambar 2.5 Titik Perkusi


Sumber: Guyton, et al., 2014
Tujuan perkusi dada dan paru ini ialah untuk mencari batas
dan menentukan kualitas jaringan paru-paru. Perkusi dapat cara:
direk, langsung mengetuk dada atau rusuk dua cara klasik
Auenbrugger) atau indirek: ketukan pada jari kiri yang bertindak
sebagai plessimeter oleh jari kanan. Di bagian depan mulai di fossa
supraclav. Terus ke bawah, demikian juga pada bagian belakang
dada. Ketukan perkusi dapat keras atau lemah. Makin keras makin
dalam suara dapat ‘tertembus’. Misalnya untuk batas paru bawah
yang jaringan parunya mulai menipis, dengan perkusi keras maka
akan terkesan jaringan di bawahnya sedangkan dengan perkusi
lemah maka masih terdeteksi paru yang tipis ini sehingga masih
terdengar suara sonor. Dengan perkusi dapat terdengar beberapa
kemungkinan suara:
a) Suara sonor (resonant): suara perkusi jaringan paru normal),
b) Suara memendek (suara tidak panjang),
c) Suara redup (dull), ketukan pada pleura yang terisi cairan, efusi
pleura,
d) Suara timpani (tympanic) seperti ketukan di atas lambung yang
kembung,
e) Suara pekak (flat), seperti suara ketukan pada otot atau hati,

27
f) Resonansi amforik, seperti timpani tetapi lebih bergaung,
metallklang, atau
g) Hipersonor (hyperresonant) disini justru suara lebih keras,
contoh pada bagian paru yang di atas daerah yang ada cairannya,
suara antara sonor dan timpani, karena udara bertambah
misalnya pada emfisema pulmona, juga pneumothorak.

6) Ekspansi Thoraks
Pengembangan thoraks dapat juga diukur dengan meteran pada
tiga tempat yaitu:
a) Upper lobus : axilla,
b) Middle lobus : processus xipoideus, dan
c) Lower lobus : subcostal.
Dilakukan dengan meletakkan meteran secara melingkar antara
axilla, processus xipoid dan subcostal dengan ujung berada pada
pertengahan dada. Dimulai saat pasien full expirasi lalu deep inspirasi,
catat hasil penambahan pengembangan thoraks.
Normal: >2 cm penambahannya.

7) Pemeriksaan Nyeri Dada


a) Nyeri dinding dapat dipalpasi di area dinding anterior, posterior
dan lateral.
b) Dilakukan dengan menekan lembut tiap area dinding dada lalu
anjurkan pasien untuk inspirasi dalam kemudian tanyakan pada
pasien dimana terasa paling nyeri.
c) Nyeri dinding dada akan meningkat sering terjadi saat ditekan
langsung atau dipalpasi selama pasien inspirasi dalam. Nyeri
dinding dada akibat angina tidak berubah bila di palpasi.

28
8) Tes Laboratorium
a) Pemeriksaan Darah Tepi
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang
ditemukan adanya leukositosis yang menunjukkan adanya
supurasi aktif dan anemia yang menunjukkan adanya infeksi
menahun.
b) Pemeriksaan Urine
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya
proteinuria yang bermakna dan disebabkan oleh amiloidosis.
Namun imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal
kadang bisa meningkat atau menurun.
c) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum meliputi volume dan warna sputum
serta sel-sel dan bakteri yang ada dalam sputum. Bila terdapat
infeksi maka volume sputum akan meningkat dan menjadi
purulen serta mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri.
d) Radiologi
Pemeriksaan radiologi adalah cara-cara pemeriksaan yang
menghasilkan gambar bagian dalam tubuh manusia untuk tujuan
diagnostik yang dinamakan pencitraan diagnostik.

2. Diagnosis
Diagnosis Fisioterapi adalah penetuan jenis kelainan atau gangguan
gerakan dan fungsi gerak tubuh yang disusun berdasarkan pengkajian berupa
pemeriksaan fisioterapi yang ilmiah dan berbasis bukti. Diagosis fisioterapi lahir
melalui pemeriksaan fisioterapi secara sistematis, misalnya pengungkapan gejala
gerak dan gangguan fungsi gerak yang diawali dari CHARTS.

29
3. Problem Fisioterapi
Problem fisioterapi adalah masalah fisioterapiyang terkait dengan gangguan
gerak dan fungsi gerak dari suatu patofisiologi kondisi tertentu.
a) Problem primer adalah problem yang pertama sekali terjadi setelah ada
stressor terhadap jaringan tertentu, contoh gangguan sesak napas.
b) Problem sekunder adalah masalah fisioterapi yang muncul berkaitan dengan
penyebab problem primer, contoh kecemasan.
c) Problem kompleks adalah problem yang terjadi berikutnya yang bersifat
kompleks yang berhubungan dengan ADL, pekerjaan dan rekreasi penderita,
contoh gangguan ADL dan rekreasi.

4. Tujuan Fisioterapi
1) Jangka pendek adalah tujuan yang sifatnya segera dicapai dari problematika
fisioterapi dan merupakan awal dari pemulihan aktifitas fungsional. Contoh
mengurangi kecemasan, meningkatkan ekspansi thorax, dan mengurangi
spansme otot.
2) Jangka panjang adalah meneruskan dari tujuan jangka pendek, setelah tujuan
jangka pendek berhasil sehingga tujuan akhirnya yaitu meningkatkan aktifitas
fungsional pasien seperti semula. Contoh meningkatkan aktifitas fungsional.

5. Program Fisioterapi
Program fisioterapi adalah suatu rencana tindakan fisioterapi yang tersusun
secara sistematis yang diambil dari karakter-karakter problem fisioterapi yang
terkait dengan gangguan gerak dan fungsi gerak suatu kondisi atau suatu
patofisiologi tertentu yang susunannya terdiri atas problem primer, sekunder, dan
kompleks. Tujuan dan manfaat program fisioterapi salah satunya sebagai
pedoman dalam melakukan intervensi fisioterapi berdasarkan skala prioritas yang
rasional.

30
Program fisioterapi memiliki tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan jangka pendek berkaitan dengan penyelesaian masalah utama dan masalah
sekunder yang mengikuti masalah utama. Pada pasien penderita penyakit paru
biasanya tujuan jangka pendek dari pemberian sebuah program fisioterapi adalah
mengurangi sesak nafas, membantu mengurangi sputum, meningkatkan ekspansi
thoraks, mengurangi adanya spasme pada otot dan mengembalikan postur.
Sedangkan tujuan jangka hadir untuk menuntaskan problem kompleks yang
berhubungan dengan ADL pasien, seperti meningkatkan aktivitas fungsional.

6. Intervensi Fisioterapi
Intervensi fisioterapi adalah penerapan program fisioterapi yang telah
disusun dan direncanakan. Intervensi fisioterapi harus dilakukan dengan baik dan
benar agar tercapainya hasil terapi yang diinginkan sehingga pasien mengalami
kemajuan dari waktu ke waktu.
Tabel 4. Intervensi Fisioterapi
Modalitas Tujuan & Dosis
Mengurangi rasa cemas pada pasie sehingga
pasien tidak merasa khawatir akaan sakit yang
dirasakan.
Dosis
Komunikasi Teraupetik
Untuk F: 1x/ terapi
I: Pasien fokus
T: Motivasi
T: 2-3 menit

31
Untuk meningkatkan fungsi paru dan
menambah jumlah udara yang dapat
dipompakan oleh paru sehingga dapat
menjaga kinerja otot-otot bantu pernapasan
dan dapat menjaga serta meningkatkan
mobilitas sangkar thorax.
Breathing Exercise
Dosis
F: 1x/ terapi
I: 8 hit x 3 rep/ 2 set
T: Deep Breathing, abdominal Breathing
T: 2 menit

Untuk melepaskan mucus dari dinding


saluran napas dan untuk merangsang
timbulnya reflek batuk, sehinggga dengan
reflek batuk mucus akan lebih mudah
dikeluarkan. Jika saluran napas bersih maka
pernapasan akan menjadi normal dan
ventilasi menjadi lebih baik. Jika saluran
Postural drainage
napas bersih dan ventilasi baik maka
frekuensi batuk akan menurun.
Dosis:
F: 1 kali/ terapi
I: 3x repitisi
T: Clapping post-anter(dextra)
T: 20-30 menit

32
Untuk memelihara dan memperbaiki
mobilitas dinding dada, trunk, dan shoulder
yang menganggu respirasi.
Dosis
F: 1x/ terapi
Chest Mobilization Exercise I: 8 hit x 2 rep/ 2set
T: Lateral trunk stretching, m.pectoralis
active & passive streching
T: 5 menit

Dosisi
F: 1x/terapi
I: 20 meter
ADL Exercise
T: walking exercise
T: 5 menit

7. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi


Modifikasi diberikan saat terlihat peningkatan pada kondisi pasien untuk
beberpa pertemuan kedepan berdasarkan hasil evaluasinya dengan cara
meningkatkan dosis atau mengkolaborasikan modalitas fisioterapi.

33
8. Kemitraan
Melakukan kemitraan dalam rangka memberikan layanan prima kepada
pasien, diantaranya dengan dokter spesialis Jantung paru untuk menentukan
tingkat keparahan penderita dan menegakkan diagnosis klinis, dokter spesialis
radiologi untuk menunjang diagnosis pada penderita, dokter ahli gizi untuk
mengatur kondisi gizi penderita, dan perawat untuk membantu melakukan setiap
tindakan medis yang diberikan kepada penderita serta psikolog atau psikiater
untuk menangani kecemasan penderita.

9. Home Program
Tabel 5. AFPR (Aktivitas Fungsional Pemeliharaan Diri dan Rekreasi
No Program Dosis Keterangan
Aktivitas
aerobik ini dapat
dilakukan secara
progresif
dimulai dari
bersepeda
selama 5 menit,
F : 3 kali 10 menit, 20
seminggu menit dan 30
I : 3 RPE menit dan
T : 30 menit per ditingkatkan
1 Aerobic exercise
sesi kecepatannya
T : bersepeda jika
atau ergometric menggunakan
bicycle ergometric
bicycle dengan
intensitas 25
watt dan
meningkat 5
watt sampai
mencapai 40
watt

34
Latihan ini
diberikan untuk
F : 2-3 kali per
menjaga
minggu dengan
fleksibilitas
jeda istirahat 1
dengan
hari
Aerobic exercise melakukan
I : 2 RPE
2 Diagonal arm rises, arm gerakan pada
T : 30 menit per
abduction, forward flexion regio shoulder
sesi latihan
yang akan
T:
mempengaruhi
menggunakan
ruang thorax
teraband
untuk ekspansi
ketika bernapas

10. Dokumentasi
a) Catat dan simpan hasil pemeriksaan program fisioterapi yang akan dijalankan.
b) Catat semua kejadian serius selama pelaksanaan program fisioterapi.

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Terdapat tiga mekanisme yang dapat menyebabkan atau memberikan
kontribusi terjadinya atelektasis, diantaranya adalah obstruksi saluran pernapasan,
kompresi jaringan parenkim paru pada bagian ekstratoraks, intratoraks, maupun
proses pada dinding dada , penyerapan udara dalam alveoli, dan gangguan fungsi
dan defisiensi surfaktan. Fisioterapi sebagai tenaga kesehatan memiliki peran
yang sangat penting dalam penyembuhan kapasitas fisik dan fungsional. Dengan
menggunakan modalitas fisioterapi diharapkan membantu dalam proses preventif,
kuratif, dan rehabilitasi pada masalah fisioterapi yang dialami pasien dalam
kondisi etelektasis.

B. Saran
Penyusun menyadari bahwa laporan in masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritikan dan saran dari pembaca sangat berguna bagi penyusun.

36
DAFTAR PUSTAKA
Aras, D. (2017). Proses dan pengukuran fisioterapi. Makassar: CV.Physio Sakti.
Guyton, A. C., Hall, J. E., (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.
Khairani, R. (2012). Karakteristik Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal
Respirasi Indo Vol.32 , 155-156.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. (2011). Disorders
of pleura. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. Amerika: The
McGraw-Hill Companies.
Schwartzstein, R. M., & Adams, L. (2010). Symptoms of respiratory disease and
their management : dyspnea. In M., Broaddus, Martin, King, Schraufnagel,
Murray and Nadel (Ed.), Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory
Medicine (5th ed., pp. 613 – 627). United States: Saunders Elsevier.
Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. (2014). Roberts and Hedges’
Clinical Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition. Elsevier
Saunders. Philadelpia.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (2009). Penyakit-penyakit
pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5thed. Jakarta: Interna Publishing.
p:2329-36.

37

Anda mungkin juga menyukai