Anda di halaman 1dari 16

Teori Diksi

1. Definisi Diksi

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris

yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi

ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to

correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi adalah pilihan kata yang

tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan


Menurut Harimurti Kridalaksana, diksi adalah pilihan kata dan kejelasan

lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum.

Dalam buku Seni Menggayakan Kalimat, Widyamartaya mengutip

pendapat Gorys Keraf bahwa pilihan kata atau diksi adalah kemampuan

membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Gorys Keraf juga menguraikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi:

pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang

dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk

pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang

tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi; kedua,

pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-

nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situsi dan nilai rasa yang dimiliki

kelompok masyarakat pendengar; ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya

dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata

bahasa itu. Sementara itu, yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosakata

suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.
Dari beberapa pendapat di atas, secara umum Penulis menyimpulkan

bahwa diksi adalah pilihan kata yang sesuai dengan makna atau gagasan yang

ingin disampaikan oleh pembicara, penulis, dan penerjemah. Kata-kata tersebut

harus tepat digunakan dalam situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok

masyarakat pendengar dan pembaca.

Dengan demikian, diksi yang baik dapat diketahui apabila sebuah

tulisan mampu dipahami oleh pembaca sesuai dengan tingkat keahlian di mana

tulisan itu ditujukan.

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan

Penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan mengalihbahasakan

kata per kata. Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan itu, sering

terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi,

demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga

penerjemah dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu kata. Di

sinilah diperlukan kebijakan, kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan


menemukan kata yang tepat serta kreativitas seorang penerjemah agar teks

terjemahannya dapat berterima. Di samping itu, ia pun harus mengenali apakah

suatu kelompok kata merupakan frasa atau klausa biasa ataukah ungkapan atau

peribahasa.

Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa

Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah satu

solusi adalah menerjemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus.

Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur

budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur,

bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh Nababan,

2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalam bahasa Indonesia, tetapi

konotasinya berbeda. Atau sebaliknya, kata tersebut dalam teks asal memiliki

berbagai makna yang harus dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang

persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalam

penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah karena terkadang ia telah

paham betul apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana

menuangkannya dalam bahasa Indonesia gara-gara satu kata atau istilah saja.

Contoh-contoh berikut yang menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial,

makanan-minuman, dll.), istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang,

nama diri, sebutan, gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bunga-
44
bungaan, buah-buahan,dan hewan.

Dalam pencarian padanan, kita akan dihadapkan pada beberapa kasus.


45
Kasus berikut disarikan dari website yang ditulis oleh Ida Sundari Husen, di

antaranya:

a. Istilah/kata yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.

• Kata tersebut sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, namun

dengan makna yang lebih luas, misalnya dalam bahasa Inggris, kata rice yang

dapat berarti ’padi/beras/nasi’. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan

kata yang dimaksud.

• Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan mempunyai dua

padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya, dalam bahasa Arab, kata maktab

dapat berarti ’meja’ atau ’kantor’. Penerjemah harus memilih yang mana yang

paling cocok dengan konteksnya.

• Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa

Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya, dalam bahasa Inggris, kata

café bermakna ’warungkopi’; kitchen bermakna ’dapur’.

Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya ikut

menentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah asing tersebut.

Istilah "dapur" digunakan untuk dapur tradisional yang kotor, sedangkan kalau

dapur itu bersih dan modern namanya kitchen. Dari istilah itu muncul kitchen-set

di mana-mana. Sama halnya dengan keempat istilah lain yang tersebut di atas.

Ada yang dipinjam bulat-bulat dalam bentuk aslinya, ada pula yang secara

perlahan-lahan disulap menjadi bahasa Indonesia, seperti café atau kafe.

Dalam petunjuk-petunjuk penerjemahan sering dikatakan bahwa penerjemah

harus menggunakan padanan istilah yang digunakan di Indonesia.


b. Istilah/kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Biasanya

terdapat dalam istilah budaya yang menyangkut adat/kebiasaan, bangunan,

tumbuhan, makanan dan minuman. Contoh, dalam bahasa Arab kata al-basyaam

tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi di kamus al-Munawwir, kata

tersebut diartikan ‘nama pohon’. Dalam hal ini, seorang penerjemah harus kreatif

untuk mencari padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia, misalnya dengan

bertanya kepada ahli bahasa, baik sasaran, maupun sumber.

3. Peranti-peranti Diksi

a. Penggunaan Kata Bersinonim

Secara etimologi, kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma

yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata

sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik,

Verhaar mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat)
46
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Dikatakan

kurang lebih, karena tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya

persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan


47
maknanya tidak persis sama.

Dalam buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Abdul Chaer: 2002)

juga disebutkan bahwa dalam buku-buku pelajaran bahasa sering dikatakan

sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan

ini jelas kurang tepat, sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim
pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan

bahasa lainnya. Seperti dalam contoh berikut:

Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara


a.
dia dengan nya, dalam kalimat “minta bantuan dia” dengan “minta

bantuannya.”

b. Sinonim antara kata dengan kata, seperti antara mati dengan meninggal.

c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya meninggal


dengan tutup usia.

d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara ayah ibu dengan
orangtua.

e. Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola


dengan Bola ditendang adik.

Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya

kata beras, salju, batu, kuning, dan lain-lain tidak memiliki sinonim.

Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk

jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata

kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Sebaliknya, ada kata-

kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki

sinonim pada bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak mempunyai

sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan.

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula

yang tidak. 48 Contoh kata yang dapat digantikan satu sama lain: kata semua

bersinonim dengan kata seluruh, seperti dalam kalimat di bawah ini:


Semua warga kota diungsikan.
-
Seluruh warga kota diungsikan.
-
Sedangkan kata yang tidak dapat digantikan satu sama lain adalah kata melihat,

melirik, menonton, meninjau, dan mengintip. Kata melihat memiliki makna

umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton

memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna

melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau

melalui celah sempit. Contoh dalam kalimat:

Ia mengintip bioskop. (salah)


-
Ia menonton bioskop. (benar)
-
Sinonim dipergunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada

tempat tertsntu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya

bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan

mengkongkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa

itu) akan terwujud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk mana

yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi

yang dihadapinya.

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi

Makna denotasi dan konotasi dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam

sebuah kata. Kata denotasi tidak bernilai rasa, sedangkan kata konotasi memiliki

nilai rasa. Makna denotasi sering disebut makna konseptual, makna sebenarnya,

makna lugas, makna polos, makna sesungguhnya sesuai dengan faktanya.

Sedangkan konotasi itu bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan makna


kiasan.50 Contoh kata kurus bermakna denotasi ‘keadaan tubuh seseorang yang

lebih kecil dari ukuran yang normal’.

Konotasi terbagi dua, yakni konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi

positif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa

tinggi, baik, sopan, santun, sakral, dan sejenisnya. Sementara itu, makna konotasi

negatif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa

rendah, kotor, jelek, dan sejenisnya. 51 Contoh, kata ramping memiliki konotasi

positif, nilai rasa yang mengenakkan. Sebaliknya, kata kerempeng memiliki

konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan.

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Kata umum adalah sebuah kata yang mengacu kepada suatu hal atau kelompok

yang luas bidang lingkupnya. 52 Kata khusus (hiponim) ialah bentuk (istilah) yang
53
maknanya terangkum oleh bentuk kata umum (superordinat)nya.

Pada umumnya, untuk mencapai ketepatan pengertian, lebih baik memilih

kata khusus daripada kata umum, karena kata khusus memperlihatkan pertalian

yang khusus atau kepada obyek yang khusus, maka kesesuaian akan lebih cepat

diperoleh antara pembaca dan penulis. Misalnya, jika seorang mengatakan, “Si

Cathy, kucing Rani, mencakar adik saya,” maka, kata si Cathy tidak akan

menimbulkan salah interpretasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dan

pembaca. Karena, si Cathy mengacu kepada obyek yang khusus, yaitu kucing

Rani yang bernama si Cathy.

50
51
Rahardi, h. 105.
Chaer, Linguistik Umum, h. 292.
52
53
Keraf, h. 90.
Mahmudah Fitriyah dan Ramlan A. Gani, Pembinaan Bahasa Indonesia (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2007), cet. ke-1, h. 83.
d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

Kata-kata abstrak ialah kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca/pendengar,

karena referennya berupa konsep. Konsep ialah gambaran dari obyek atau proses
54
yang berada di luar bahasa dan memahaminya harus menggunakan akal budi.

Kata perdamaian, peradaban, dan lain-lain tidak dapat ditunjukkan dengan hanya

memperlihatkan sesuatu benda, gambarnya atau modelnya, namun harus

dijelaskan dengan definisi yang panjang lebar.

Kata konkret ialah kata-kata yang mudah dipahami karena referennya

dapat dilihat, didengar, dirasakan, atau diraba. Contoh, kata mobil, meja,

komputer, ayam, kucing, dan lain-lain. Kata-kata tersebut referennya dapat

ditunjukkan dengan cara melihat gambarnya.

Singkatnya, kata abstrak merupakan kata yang tidak mudah diserap oleh

pancaindra. Sebaliknya, kata konkret merupakan kata yang mudah diserap oleh

pancaindra.

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna
55
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal.

Rahardi menuliskan dalam bukunya bahwa bentuk idiomatis sudah lekat

dan tidak dapat diceraikan. Contoh, sesuai dengan, sehubungan dengan, berharap

akan, berbicara tentang, dan lain-lain. 56 Jadi, tidak cocok apabila ditulis sesuai

bagi, seharusnya sesuai dengan.

Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom, yaitu idiom penuh

dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara

54 Ibid., h. 83.
55 Chaer, Linguistik Umum, h. 296.
56
Rahardi, h. 106.
keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, contoh

membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedang pada idiom sebagian

masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, daftar hitam

yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap

bersalah.’57 Untuk mengetahui makna sebuah idiom sebuah kata (frasa atau

kalimat) harus mencarinya di kamus.

4. Ketepatan Pilihan Kata

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata

Ketepatan pilihan kata adalah kesanggupan sebuah kata untuk

menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau

pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau

pembicara.58 Hal ini menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata

seseorang.

Dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai

sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan

antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca.

Contoh, Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dapat

membantu menyediakan bahan-bahan guna penyusunan teori sastra Indonesia.

Suntingan: Kegiatan penelitian sastra Indonesia diharapkan dapat


59
membantu lahirnya teori sastra Indonesia.

Setiap penulis harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya

untuk mencapai maksud tersebut, karena dengan begitu tidak akan menimbulkan

57 Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 75.


58 Keraf, h. 87.
59 Sugihastuti, Editor Bahasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. ke-1, h. 215.
salah paham.

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata

Beberapa syarat berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai

ketepatan pilihan katanya itu.

1. Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang
mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana

yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya

pengertian dasar yang diinginkannya, maka ia harus memilih kata yang

denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu, ia harus

memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu.

2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Penulis


harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk

menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi

yang berlainan.

3. Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri


tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan

mengakibatkan salah paham. Misalnya, bahwa-bawah, massa-masa,

karton-kartun, dan sebagainya.

boleh menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan


4. Tidak
pendapat sendiri. Jika pemahaman itu belum dapat dipastikan, maka

penulis harus dapat menemukan makna yang tepat di dalam kamus.

Misalnya kata modern sering diartikan ‘canggih’. Padahal, kedua kata itu

memiliki makna yang sangat berbeda.


5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut, seperti kata kultur-kultural.

6. Harus dapat menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan yang


benar.

7. Harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih
tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang


8. Mempergunakan
khusus. Kata-kata tersebut merupakan pengalaman-pengalaman yang

dicerap oleh pacaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, pendengaran,

peraba, perasa, dan penciuman. Contoh, rujaknya pedas sekali (indria

perasa).

9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah


dikenal. Misalnya, kata sarjana dulu dipakai untuk menyebut semua orang

cendekiawan. Sekarang dipakai untuk gelar universiter.

10. Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Kelangsungan pilihan kata


adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau

pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis. Contoh,

Sesudah menjelang tahap akhir pertandingan itu, terjadilah keributan

antara kedua kesebelasan. Lebih baik diganti Menjelang akhir

pertandingan, terjadilah keributan antara kedua kesebelasan.

Semua butir yang dikemukakan di atas dirangkum dari Diksi dan Gaya

Bahasa (Gorys Keraf) dan Seni Memilih Kata (Kunjana Rahardi). Butir a, b, f, g

tidak disertakan contoh, karena sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.


5. Kesesuaian Pilihan Kata

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata

Kesesuaian pilihan kata mempersoalkan apakah kita dapat mengungkapkan

pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan

yang kita masuki. Dengan kata lain, pilihan kata dan gaya bahasa yang

dipergunakan tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang

hadir.

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata

Ada beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau pembicara, agar kata-

kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana, dan tidak akan

menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau

para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu


situasi yang formal. Bahasa substandar biasanya dipergunakan oleh

seseorang yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi.

Kadang-kadang bahasa tersebut juga dipergunakan oleh kaum terpelajar

dalam bersenda-gurau. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan

biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan.

2. Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi
yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata

populer. Kata-kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan diketahui

oleh seluruh lapisan masyarakat. Kata-kata ilmiah biasa dipakai dalam

diskusi-diskusi ilmiah, pertemuan-pertemuan resmi, dan tulisan-tulisan

ilmiah. Contoh: Kata Populer Kata Ilmiah


bukti argumen

pertentangan kontradiksi

kekacauan anarki

kemunduran depresi

rasa kecewa frustasi

3. Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon diartikan


sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu,

dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok khusus

lainnya.

4. Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata


slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau

murni. Kata-kata slang mengandung dua kekurangan: pertama, hanya

sedikit yang dapat hidup terus; kedua, pada umumnya kata-kata slang

selalu menimbulkan ketidaksesuaian. Kata-kata slang yang tumbuh secara

populer, akan segera hilang dari pemakaiannya. Misalnya di Jakarta timbul

kata-kata: mana tahan, eh ketemu lagi, dan lain-lain.

penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Yang


5. Dalam
dimaksud dengan kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai

dalam percakapan atau pergaulan orang-orang yang terdidik. Suatu bentuk

dari bahasa percakapan adalah singkatan-singkatan misalnya dok, prof, kep

masing-masing untuk dokter, profesor, dan kapten. Hendaknya kata-kata

tersebut dihindari dalam penulisan.

6. Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Ungkapan


seperti ini disebut klise atau stereotip. Kata-kata yang membentuknya
tidak dirasakan usang, tetapi paduan kata-kata itulah yang dianggap tidak

bertenaga lagi. Kata lekang yang berarti ‘retak atau belah’ akan memiliki

tenaga untuk menggambarkan keadaan tanah yang terbelah karena musim

kemarau yang panjang dan sinar matahari yang terik. Tetapi akan

kehilangan tenaga dalam ungkapan seperti: Adat dan pusaka yang tak

lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan.

7. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Bahasa artifisial adalah


bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak terkandung

dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan

suatu maksud. Fakta dan pernyataan yang sederhana dapat diungkapkan

dengan sederhana dan langsung tak perlu disembunyikan. Contoh:

Artifisial: Ia mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit

bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh.

Biasa : Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang.

Syarat kesesuaian di atas disarikan dari buku Diksi dan Gaya Bahasa. 60

Keraf, h. 103.

Anda mungkin juga menyukai