Anda di halaman 1dari 21

TEORI KONSTITUSI

Disusun Oleh

Yemima Christina Phoa

1904551079

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

DAFTAR ISI
1
Pendahuluan ………………………………………………………………………… 3

1.1 Latar belakang …………………………………………………........... 3

1.2 Rumusan masalah ……………………………………………………….. 3

1.3 Batasan masalah ……………………………………………………....... 4

1.4 Tujuan ……………………………………………………………….. 4

1.5 Metode Penulisan ……………………………………………………….. 4

Pembahasan ……………………………………………………………………….. 5

Sejarah Pertumbuhan Konstitusi ……………………………………….. 5

Pengertian Konstitusi ……………………………………………….. 9

Pengertian Konstitusi Menurut Para Sarjana ……………………………….. 12

Materi Muatan Konstitusi ……………………………………………….. 17

Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi ……………………………….. 17

Supremasi Konstitusi dan Negara Hukum ……………………………….. 19

Kesimpulan ……………………………………………………………………….. 21

Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 22

Pendahuluan

2
1.1 Latar Belakang

Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan
pada pemerintahan negara yang biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam
kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan
hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai
prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,
prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi
umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi
dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.
Dengan demikian konstitusi memiliki arti; permulaan dari segala peraturan mengenai suatu
negara. Pada umumnya langkah awal untuk mempelajari hukum tata negara dari suatu negara
dimulai dari konstitusi negara yang bersangkutan. Mempelajari konstitusi juga berarti
mempelajari hukum tata negara dari suatu negara, sehingga hukum tata negara disebut juga
dengan constitutional law. Istilah Constitutional Law di Inggris menunjukkan arti yang sama
dengan hukum tata negara. Penggunaan istilah Constitutional Law didasarkan atas alas an
bahwa dalam hukum tata negara unsure konstitusi lebih menonjol.

Dengan deimikan suatu konstitusi memuat aturan atau sendi-sendi pokok yang
bersifat fundamental untuk menegakkan bangunan besar yang bernama “Negara”. Karena
sifatnya yang fundamental ini maka aturan ini harus kuat dan tidak boleh mudah berubah-
ubah. Dengan kata lain aturan fundamental itu harus tahan uji terhadap kemungkinan untuk
diubah-ubah berdasarkan kepentingan jangka pendek yang bersifat sesaat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka dapat diambul rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apakah konstitusi itu?
b. Bagaimana peranan konstitusi di Indonesia?

3
1.3 Batasan Masalah
Melihat luasnya masalah yang berkaitan dengan konstitusi, maka penulis membatasi masalah
pada :
a. Sejarah perkembangan konstitusi
b. Pengertian kosntitusi, tujuan konstitusi, kedudukan konstitusi, dan fungsi konstitusi
dalam suatu negara
c. Materi muatan dalam konstitusi
d. Supremasi konstitusi

1.4 Tujuan
Tujuan diadakan pembuatan makalah ini adalah :
a. Mengetahui tentang konstitusi
b. Mengetahui peranan serta sejarah konstitusi

1.5 Metode Penulisan

Metode penulisan bersifat studi pustaka. Studi kepustakaan adalah segala usaha yang
dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topic atau
masalah yang akan atau sedang diteliti. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data
dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literature-literatur, catatan-
catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Informasi diperoleh dari buku, jurnal, dan laporan penelitian.

PEMBAHASAN

4
Sejarah pertumbuhan konstitusi

Jauh sebelum pemikir-pemikir Barat mengemukakan temuan mereka atas berbagai


konstitusi di Yunani, sejarah Islam telah mencatat bahwa sejak zaman Rasulullah Muhammad
Saw. telah lahir konstitusi tertulis yang pertama, yang kemudian dikenal dengan Konstitusi
Madinah atau ada juga yang menyebut sebagai Piagam Madinah. Tidak lama sebelum hijrah ke
Madinah, Muhammad Saw. membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama
di Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan
pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh
penghuninya.

Para ahli ilmu pengetahuan khususnya ahli sejarah menyebut naskah politik yang dibuat
Muhammad Saw. itu dengan bermacam-macam. W. Montgomery Watt menamakannya “The
Constitution of Medina”, R. A. Nicholson “charter”, Abidin Ahmad “piagam”. Sedangkan “Al-
shahifah”, adalah nama yang disebutkan dalam naskah itu sendiri. Menurut Ahmad Sukardja kata
shahifah semakna dengan charter dan piagam, dimana kata charter dan piagam lebih menunjuk
kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu hal. Ditetapkannya piagam politik
tersebut merupakan salah satu siasat Rasul sesudah hijrah ke Madinah, yang dimaksudkan untuk
membina kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Dalam piagam tersebut dirumuskan
kebebasan beragama, hubungan antar kemlompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup,
dan lain-lain. Berdasarkan isi Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara
politis dibina dibawah pimpinan Muhammad Saw.

Dalam berbagai tulisan yang disusun oleh para ilmuwan muslim dan non-muslim., adanya
Piagam Madinah itu tampaknya telah diakui. W. Montgomery Watt menyatakan, bahwa
“dokumen ini secara umum diakui autentik”. Ia menambahkan dokumen tersebut merupakan
sumber ide yang mendasari negara Islam pada awal pembentukannya. Adapun tentang waktu
pembuatan dokumen tersebut, Montgomery Watt member informasi bahwa Welhausen
berpendapat sebelum perang Badar. Demikian pula Caetani. Hubert Grimme mengatakan
sesudah perang Badar. Watt menguatkan pendapat pertama. Ia mengutip pendapat Welhausen
bahwa dimasukkannya golongan Yahudi ke dalam Ummah adalah argument penting untuk
menentukan dokumen itu dibuat sebelum Badar. Marduke Pickthal, H.A.R. Gibb, Wensinck, dan
Watt, menyebut Shahifah sebagai konstitusi. Namun, masih perlu diuji lebih jauh apakah
Shahifah memenuhi syarat untuk sebuah konstitusi.

Oleh sebagian sarjana politik konstitusi diartikan sama dengan undang-undang dasar.
Tetapi kepustakaan belanda membedakan pengertian konstitusi (constitution) dan undang-
undang dasar (grondwet). Konstitusi adalah peraturan tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan
undang-undang merupakan bagisan tertulis dalam konstitusi. Walalupun demikian, namun tidak
ada konstitusi yang memasukkan semua peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Karena, konstitusi merupakan dokumen yang hanya memuat prinsip-
prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental. Artinya, ia hanya mengandung hal-hal yang

5
bersifat pokok, mendasar, atau asas-asasnya saja. Jadi, tidak semua masalah yang dianggap
penting bagi negara dimasukkan kedalam konstitusi atau undang-undang dasar. Karena itu, C. F.
Strong mengemukaka bahwa “tidak ada konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis, demikian pula
tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis”. Sifat dan karakteristik konstitusi yang demikian,
agar ia tidak selalu diubah karena perkembangan jaman dan masyarakat. Jadi, cukuplah hal-hal
yang bersifat fundamental dan universal saja yang dimasukkan kedalam konstitusi.

Konstitusi menurut Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita
bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Didalamnya terdapat berbagai
aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga
negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi, dan sebagainya. Namun, mengenai unsur
ketetapannya tidak ada kesepakatan diantara para ahli.

Dari berbagai keterangan mengenai pengertian konstitusi dan unsur-unsur atau cirri-ciri
yang dikemukakan diatas, maka suatu konstitusi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok
mengenai penyelenggara pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan dengan
organisasi negara, kedaulatan negara, pembagian kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah di bidang-bidang sosial, politik,
ekonomi, agama, dan budaya, cita-cita dan iedologi negara, dan sebagainya.

Berdasarkan konklusi itu, maka harus diakui bahwa Piagam Madinah tidak dapat
memenuhinya secara paripurna. Sebab didalamnya tidak ditemui penjelasan tentang pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya
pemegang hukum tertinggi. Namun demikian, ia dapat disebut konstitusi, karena ciri-ciri lain
dapat ia penuhi, yaitu ia dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan
masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan negra yang dipegang oleh Nabi, dan
adanya ketetapan prnsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu mengakui
kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan
kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupan
masyarakat Madinah ia bercita-cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan
menjadi satu umat dan hidup berdampingan secara damai sebagi satu umat yang bermoral,
menjunjung tinggi hukum dan keadilan atas dasar iman dan takwa. Prinsip-prinsip yang
terkandung didalam Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai suatu ide yang revolusioner untuk
saat itu. Dari sudut tinjauan modern ia dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk
membangun masyarakat uang majemuk.

Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah yang dibuat untuk mempersatukan kelompok-
kelompok sosial di Madinah menjadi satu umat dan mengakui hak-hak mereka demi kepentingan
bersama, merupakan contoh teladan dalam sejarah kemanusiaan dalam membangun masyarakat
yang bercorak majemuk. Menurut kacamata Barat, konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan
politik telah disusun melalui dan oleh hukum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani, dimana mereka
telah mengenal beberapa kumpulan hukum(semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya

6
(antara tahun 624-404 S.M.) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi
Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.

Pemahaman awal tentang ”konstitusi” ada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan
dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma,
pengertian “constitutionnes” memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk didalamnya pernyataan-
pernyataan pendapat dari para ahli hukum/negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping
undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan.
Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para Kaisar Roma, telah
menjelma dalam bentuk “L’Etat General” di Prancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan
“ordo et unitas” telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham: “Demokrasi Perwakilan”
dan “Nasionalisme”. Dua paham inilah yang merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusi
modern.

Pada zaman abad pertengahann corak konstitualismenya bergeser kea rah feodalisme.
Sistem feudal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para tuan tanah.
Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang harus mengabdi pada
salah satu tuan tanahnya. Sehingga raja yang semestinya mempunyai status lebih tinggi daripada
tuan tanah, menjadi tidak mendapat tempat.

Di Eropa Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai dengan
semakin kokohnya absolutism, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan Austria pada abad ke-15.
Gejala ini dimahkotai oleh ucapan “L’Etat C’est moi”-nya Louis XIV (1638-1715) dari Prancis.
Lain halnya dengan Inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan sebagai
puncak kemenangannya ditandai dengan pecahnya “The Glorious Revolution” (1688).
Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan berakhirnya
absolutism di Inggris, serta munculnya parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya,
12 negara koloni Inggris mengeluarkan “Declarations of Independence” dan menetapkan
konstitusi-konstitusinya sebagai dasar negara yang berdaulat yaitu tepatnya pada 1776. Deklarasi
ini merupakan bentuk konkretisasi dari berbagai teori perjanjian.

Perjalanan sejarah berikutnya, pada 1789 meletus revolusi dalam Monarchi Absolutisme
di Prancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya
stabilitas keamanan negara. Sampai pada akhirnya, 20 Juni 1789 “Estats Generaux”
memproklamirkan dirinya “Constituante”, walaupun baru pada 14 September 1791 konstitusi
pertama di Eropa diterima oleh Louis XIV. Sejak itu, sebagian besar negara-negara di dunia, baik
monarchi maupun republic, negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasar atas suatu
konstitusi.

Di Prancis muncul sebuah buku yang berjudul “Du Contract Social” karya J.J. Rousseau.
Dalam buku ini Rousseau mengatakan “manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam hak-

7
haknya”, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tesis Rousseau
ini sangat menjiwai “De Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen”, karena deklarasi
inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Prancis (1791) khususnya yang menyangkut
hak-hak asasi manusia. Pada masa inilah awal dari konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis
(modern) seperti yang ada di Amerika. Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini keudian
diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol
(1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di Belgia
(1831), konstitusi di Italia (1848), konstitusi di Austria (1861), dan konstitusi di Swedia (1866).
Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria, dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi
secara tertulis. Tapi perlu diingat bahwa konstitusi-konstitusi waktu itu belum menjadi hukum
dasar yang penting.

Konstitusi sebagai undang-undang dasar dan hukum dasar yang mempunya arti penting
atau sering disebut dengan “Konstitusi Modern”, baru muncul bersamaan dengan semakin
berkembangnya “Sistem Demokrasi Perwakilan dan Konsep Nasionalisme”. Demokrasi
Perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat akan kehadiran Lembaga Legislatif.
Lembaga ini diharapkan dapat membuat undang-undang untuk mengurangi serta membatasi
dominasi hak-hak raja. Alas an inilah yang mendudukkan konstitusi (yang tertulis) itu sebagai
hukum dasar yang lebih tinggi daripada raja, sekaligus terkandung maksud memperkokoh
Lembaga Perwakilan Rakyat.

Pada giliran berikutnya, masa Perang Dunia I tahun 1914 telah banyak member dorongan
yang dahsyat bagi konstitusionalisme yaitu dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang
tidak liberal, dan menciptakan negara-negara baru dengan konstitusi yang berasaskan demokrasi
dan nasionalisme. Upaya itu dikonkretkan dengan didirikannya Liga Bangsa-bangsa untuk
perdamaian dunia. Tiga tahun kemudia muncul reaksi keras melawan konstitusionalisme politik
yang ditandai dengan Revolusi Rusia (1917), diikuti meletusnya fasisme di Italia,
pemberontakan Nazi di Jerman, sampai pada akhirnya meletus Perang Dunia II. Pengaruh Perang
Dunia II terhadap konstitusionalisme politik jauh lebih parah dibandingkan pada masa Perang
Dunia I. Sebab kemenangan dari bangsa-bangsa yang berserikat terhadap kekuatan tirani saat itu.
Berarti Perang Dunia II telah memberikan kesempatan kedua kalinya kepada bangsa-bangsa
untuk menerapkan metode-metode konstitusionalisme terhadap bangunan internasional melalui
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencapai perdamaian dunia yang permanen.
Konstitusi modern diharapkan bisa merupakan jaminan bagi pelaksanaan hak-hak asasi manusia
serta paham welfare state, sekaligus memberikan perlindungan secara yuridis konstitusional.
Sebagaimana disinyalir oleh Strong bahwa tujuan pokok dari konstitusi modern adalah : :to
secure social peace and progress, safeguard individual rights and promote national well-being”.

Pengertian Konstitusi

8
Istilah konstitusi telah dikenal semenjak zaman Yunani Purba, akan tetapi masih diartikan
materiil, sebab belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis. Hal ini dapat dibuktikan pada
paham Aristoteles yang membedakan istilah Politiea dan Nomoi. Politiea diartikan sebagai
konstitusi sedangkan Nomoi diartikan Undang-Undang. Politiea mengandung kekuasaan
tertinggi dari pada Nomoi. Pada zaman Romawi dikenal adanya Lex Regia yang berisikan
perjanjian perpindahan kekuasaan rakyat Caesar yang berkuasa mutlak. Dalam abad menengah
dikenal pula sejenis konstitusi yang disebut Leges Fundamentalis yang berisikan hak dan
kewajiban rakyat atau Rex dan Raja atau Regnum.

Konstitusi atau Constitution atau Verfassung berbeda dengan Undang-Undang Dasar atau
Grundgesetz. Bila kita memperhatikan adanya Lex Regia ataupun Leges fundamentalis Nampak
bahwa dalam perkembangan sejarah, perjanjian-perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah
mulai dinaskahkan. Tujuan menaskahkan adalah untuk memudahkan pihak-pihak mematuhi hak
dan kewajibannya. Analisis teori konstitusi dapat ditinjau dari sisi hukum (yuridis) dan tertulis
atau grundgesetz atau grondswet.

Konstitusi yang ditinjau dari sisi hukum disebut Constitutional Recht, yang diperhatikan
ditekankan kepada faktor-faktor kekuasaan nyata dalam masyarakat sedangkan Grondswet yang
diperhatikan semata-mata konstitusi dalam arti sempit yaitu yang tertulis atau Undang-Undang
Dasar saja. Berarti ikhwal konstitusi lebih luas daripada grondswet. Perhatikan paham Herman
Heller mengenai konstitusi :

a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan


dan belum konstitusi dalam arti hukum.
b. Kemudian kehidupan politik dalam masyarakat itu (Die Politische verfassung als
gesellchaft licke wirklich keit) dicari unsur-unsur hukumnya melalui abstraksi barulah
menjadi kesatuan kaidah hukum (ein Rechtsver-fassung).
c. Setelah itu ditulis kaidah hukum itu didalam suatu naskh yang di sebut Undang-Undang
Dasar.
(Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim 1976 : 65)

Kita mengenal beberapa istilah konstitusi.

1. Konstitusi dalam arti materil adalah perhatian terhadap isinya yang terdiri dari atas pokok
yang sangat penting dari struktur dan organisasi negara.
2. Konstitusi dalam arti formil adalah perhatian terhadap prosedur, pembentukanya harus
istimewa dibandingkan dengan pembentukan perundang-undangan lain.
3. Konstitusi dalam arti tertulis maksudnya konstitusi itu dinaskahkan tertentu guna
memudahkan pihak-pihak mengetahuinya.
4. Konstitusi dalam arti merupakan undang-undang tertinggi adalah baik pembentukan dan
perubahannya melalui prosedur istimewa dan juga ia merupakan dasar teringgi dari
perundang-undangan lainnya yang berlaku dalam negara itu.

9
Yang dimaksud dengan “teori” adalah dasar memberikan pertanggungjawaban secara
ilmiah (wetenschappelijke verantwoording). Karena yang dibicarakan dalam teori konstitusi
bukanlah sesuatu yang serta merta dapat dipraktekkan, bukanlah mengenai nilai-nilai praktis
(practische waarde) melainkan mengenai nilai-nilai teoritis (theoritische waarde). Teori
umumnya penting bagi jurist als toeschouwer, yang perlu mengetahui upaya teoritis (theoritische
oordeel), jadi bukan mengenai ruang lingkup dan isi. Jurist als toeschouwer dalam melihat
hukum, seperti halnya ahli ilmu alam melihat gejala-gejala alam dalam laboratorium. Bagi Jurist
als toeschouwer, diluar undang-undang masih ada sumber hukum lainnya.

Hora Siccama dalam bukunya “Natuurlijke Waarheid en historische bepaaldheid”


mengatakan bahwa de jurist als toeschouwer lebih mengetahui kekurangan-kekurangan atau
kesalahan-kesalahan yang di lakukan oleh de jurist als medespeler, dan karenanya jurist als
toeschouwer mencoba mencari sebab musababnya dengan mengadakan analisa-analisa tentang
suatu peristiwa untuk menentukan caranya yang lebih baik dan sempurna, bagaimana
melaksanakan hukum itu. Berbeda halnya dengan Jurist als medespeler, yang mementingkan
nilai-nilai praktis (practische waarde). Misalnya hukum perdata, hukum pidana, dan lain-lain
(semua mengenai rechtsdogmatiek), memberikan pegangan bagi jurist als medespeler dalam
menjalankan tugasnya. Jadi mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing), yang berarti segera
dapat digunakan dalam praktek. Bagi jurist als medespeler, hukum adalah undang-undang (recht
is wet).

Dalam mempelajari teori konstitusi, akan ditinjau tidak hanya dari sudut yuridisnya saja,
tetapui meliputi pula faktor-faktor kekuatan yang nyata (de reele machtsfactoren) atau menurut
istilah Herman Heller natur und kultur bedingungen. Teori konstitusi adalah cabang ilmu
pengetahuan yang masih muda. Oleh sebab itu tidak heran dalam kalangan sarjana belum
terdapat persesuaian mengenai tempatnya. Ada yang mengatakan termasuk dalam lapangan ilmu
negara, tetapi ada pula yang mengatakan masuk dalam bidang ilmu politik. Beberapa sarjana
memandangnya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Diantaranya Leon Duguit
dan Hauriou di Prancis, kemudian disusul oleh Carl Schmitt dan Rudolf Smend di Jerman yang
metodenya bersifat analisa kritis (critish analitisch). Di Inggris adalah Strong dan Hawgood
dengan metode yang bersifat perbandingan sejarah (histirisch vergelijkend). Tetapi strong
melihat negara dalam segi strukturnya, jadi mengenai bengunan-bangunan negara (staats
instellengen). Sedangkan Hawgood melihat negara dari segi keseluruhannya, jadi mengenai
negara sebagai ganzheit (keseluruhan).

Teori tentang konstitusi, sebagai suatu mata pelajaran yang berdiri sendiri, untuk pertama
kali diselidiki didalam lingkungan universitas di Prancis. (Djokosutomo Kuliah 1955/1956). Hal
tersebut tidak mengherankan karena negara itu paling sering menghadapi persoalan konstitusi.
Sampai masa republic ke-4 (1946) Prancis telah mengenal dua belas macam konstitusi. Dalam
literatur, malahan Prancis sering disebut sebagai “laboratory of constitution making”. Segala
macam konstitusi diselidiki. Konstutusi Prancis yang pertama adalah bersandarkan pada paham
John Locke dan Montesquieu. Kemudian pada tahun1972, bentuk constitutionele monarchie

10
berubah menjadi republik demokrasi. Yang dijadikan pedoman pun berubah, tidak lagi paham
John Locke dan Montesquieu tetapi paham Rousseau. Yang souverein pada waktu itu adalah
Maximilien Francois Marie Isidore de Robespierre. Ia adalah seorang revolusionis dan lawyer,
memperoleh pendidikan pada the college of Luis-le-Grand dan the college of Law di Prancis:
pengagum yang fanatik terhadap teori sosial dari philosopher Jean Jacques Rousseau. Pada
waktu kejatuhan monarki pada bulan Agustus 1792, Robespierre yang dari golongan Jacobijn itu
terpilih sebagai the first deputy for Paris to the National Convention, yang mendesak untuk
mengeksekusi Luis XVI. Tragisnya bahwa pada tanggal 28 Juli 1794, ia sendiri bersama 21
pengikut terdekatnya juga mati dibawah guillotine.

Golongan Girondijn dan Royalisten kemudian berkuasa kembali. Walaupun tidak sampai
mengembalikan monarki tetapi konstitusi yang telah disusun secara demokratis oleh golongan
Jacobijn tersebut tidak diperlakukan. Konstitusi Prancis lalu memperoleh bentuk yang lain pula,
demikian selanjutnya. Sehingga pengalamannya dalam pembuatan konstitusi, maka Prancis
mengganggap dirinya expert, ahli dalam pembuatan konstitusi. Menurut mereka bahwa
konstitusi Prancis pada tahun 1946 adalah suatu kodifikasi yang lengkap, merupakan hasil
filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan. Mereka mengatakan hasil filsafat, karena batang tubuh
konstitusi tersebut merupakan pengkhususan dari beberapa sendi itu telah dapat merumuskan
peraturan yang lengkap, karena menurut pendapat mereka bahwa semua peraturan pada dasarnya
dapat dikembalikan kepada beberapa sendi saja. Merupakan hasil kesenian, karena kata-kata
yang dipergunakan adalah sederhana sekali, sehingga dapat menggambarkan dengan jelas apa
yang dimaksudka. Sebagai ilmu pengetahuan, karena didalamnya tidak terdapat pertentangan.

Paul Scholten dalam bukunya Algemeen Deel, membentangkan tentang metode


konstruksi dalam penyusunan hukum positif. Yang terpenting bagi kita adalah tentang konstruksi
yang terdiri dari :

a. Yang menggunakan abstraksi yakni rechtsnalogie


b. Yang menggunakan determinasi yakni rechtsverfijning

Menurut Paul Scholten, suatu konstruksi yang baik harus mengandung 4 hal :

1. Harus menutupi/meliputi sendi-sendi/bahan-bahan hukum, yang akan mencakup seluruh


lapangan hukum positif. (pertentangkan dengan hasil filsafat dari konstitusi Prancis).
2. Harus memenuhi aestetische eisen (eisin=syarat). (pertentangkan dengan hasil kesenian
dari konstitusi Prancis).
3. Harus harmonis, dalam arti tidak ada pertentangan. (pertentangkan dengan hasil ilmu
pengetahuan dari konstitusi Prancis).
4. Harus hemat, rasionil yang berarti jangan panjang-panjang tetapi gunakan kata-kata
sesingkat mungkin.

Apabila pendapat sarjana Prancis dibandingkan dengan keempat syarat yang diperlukan
dalam konstitusi hukum positif diatas, maka konstitusi Prancis yang dikatakannya hasil filsafat,

11
kesenian, dan ilmu pengetahuan itu ternyata adalah hal yang biasa saja. Karena konstruksi yang
mereka lakukan adalah sama seperti yang dilakukan oleh sarjana pada umumnya.

Berikut ini akan kita tinjau paham beberapa sarjana mengenai konstitusi.

1. Konstitusi menurut paham Leon Duguit


Titik tolak pahamnya adalah “de droit social” atau hukum yang hidup dalam masyarakat
(sociale recht). Sebagai seorang sosiolog Duguit bersikap realistis, ia memandang hukum
bukanlah sebagai norma tetapi sebagai peristiwa (recht als feit), jadi hukum yang
sungguh-sungguh timbul dan tumbuh dalam masyarakat. Hukum dihubungkan dengan
kesetiakawanan (solidariteit) de facto. Yakni ikatan sosial, karena menurut Duguit,
hukum adalah penjelmaan dari sociale solidarteit, tetapi yang dimaksud Duguit dengan
sociale solidariteit adalah hubungan fungsi antara anggota-anggota masyarakat. Menurut
Duguit, sociale solidariteit itu muncul dalam perasaan hukum perseorangan. Sehingga
pengertian-pengertian seperti eigendom, tidak lagi dianggap sebagai hak asasi ilmiah,
tetapi merupakan fungsi sosial. Demikian pula tentang pengertian badan hukum (recht
spersoon), kehendak negara (staatswil), dan lain-lain. Semua itu hanyalah pengertian-
pengertian metafisis, jadi tidak nyata karenanya harus dikesampingkan. Selanjutnya
menurut Duguit, peraturan hukum objektif itu tidak tergantung pada kehendak manusia.
Dan pekerjaan pembuat undang-undang (wetgever) sesungguhnya bukanlah membentuk
(constueren) norma-norma tetapi menemukan, menetapkan norma-norma yang sudah ada
dalam masyarakat. Dengan demikian menurut Dugut, konstitusi bukanlah sekadar
undang-undang dasar yang memuat sejumlah/kumpulan norma-norma semata-mata, akan
tetapi struktur negara yang nyata-nyata terdapat dalam kenyataan masyarakat.
2. Konstitusi menurut paham Maurice Hauriou
Hauriou adalah ahli hukum Katolik, yang ajarannya dipengaruhi Thomas van Aquino dan
Ideen Leer Plato. Sebagaimana ajaran Plato, makan menurut Houriou bahwa manusia
senantiasa dipengaruhi oleh ide-ide dari dunia cita dan ide-ide itu menjelma menjadi
kenyataan dalam masyarakat sebagai kenyataan masyarakat (sociale werkelijkheid) telah
terjadi penjelmaan kembali dari ide-ide. Menurut Houriou yang penting dalam kenyataan
masyarakat bukanlah norma-norma hukumnya, melainkan lembaga-lembaganya, baik
lembaga-lembaga hukum maupun lembaga-lembaga negara. Seperti halnya negara yang
merupakan suatu lembaga konstitusi. Itulah sebabnya ajaran Houriou disebut
institusionalisme. Karena menurut Houriou institusi ialah suatu kelompok manusia yang
berkelompok mengelilingi ide. Ide dari dunia cita itu dalam kenyataan menjelma di
tengah-tengah kelompok manusia.
3. Konstitusi menurut paham Ferdinand Lassalle
Lassalle membagi konstitusi dalam dua pengertian sebagai berikut.
a. Pengertian sosiologis atau politis (sociologische atau politische begrip). Konstitusi
adalah synthese faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam
masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan
yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan tersebut diantaranya :

12
raja, parlemen, cabinet, pressure groups, partai politik dan lain-lain itulah yang
sesungguhnya konstitusi.
b. Pengertian yuridis (yuridische begrip) “konstitusi adalah suatu nakah yang memuat
semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan”. Nyatalah bahwa Lassalle
dipengaruhi pula oleh paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan undang-
undang dasar.
4. Konstitusi menurut paham A.A.H. Struycken
Menurut struycken, konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-garu=is besar
dan asas-asas tentang organisasi daripada negara. Jadi Struycken adalah termasuk
penganut paham bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Tetapi Struycken
pun tidak menyebutkan dengan tegas sifat undang-undang yang tertinggi (de hoogstewet)
dari konstitusi. Walaupun demikian dengan menyebutkan suatu undang-undang (een wet)
berarti Struycken juga menghendaki konstitusi sebagai naskah yang tertulis, hal mana
sesuai dengan paham modern. Mengenai isi konstitusi dikatakannya sendi-sendi dan asas-
asas (grondslagen en grondsbeginselen), jadi hanya memuat sendi-sendi dan asas-asas
saja sehingga tidak usah mencerminkan seluruh masalah yang penting secara lengkap, hal
sama sesuai pul dengan paham modern.
5. Konstitusi menurut paham Dr. Gruys
Menurut Gruys, undang-undang dasar adalah suatu jenis istimewa undang-undang. Jadi,
undang-undang dasar merupakan species dari pengertian genus undang-undang. Dalam
literatur biasanya undang-undang itu dibedakan antara undang-undang dalam arti
material dan undang-undang dalam arti formal. Tetapi Gruys mengemukakan tiga
pengertian undang-undang sebagai berikut.
a. Undang-undang = hukum objektif (objective recht). Arti kuno ini masih dapat kita
lihat dalam istilah sah (wettig) atau menurut undang-undang yang berarti sesuai
dengan hukum/berlaku atau sah menurut peraturan hukum objektif.
b. Undang-undang = dalam arti formal berarti suatu keputusan yang berasal dari
kekuasaan tertinggi negara. Kekuasaan tertinggi negara ini dalam negara demokrasi
ialah perlemen+pemerintah. Jadi undang-undang dalam arti formal adalah tidak lain
dari persesuaian kehendak antara parlemen dan pemerintah.
c. Undang-undang dalam arti material berarti setiap keputusan penguasa yang
mengandung tujuan yang bersifat umum. Setiap penguasa berarti tidak perlu yang
tertinggi tetapi badan apa saja asal mempunyai kekuasaan legislatif.

Menurut Gruys, undang-undang dasar sama dengan grundgsetz harus merupakan undang-
undang yang tertinggi, dan yang baik prosedur pembentukannya maupun perubahannya
haruslah istimewa. Hal tersebut pulalah yang membedakan undang-undang dasar dari
undang-undang biasa.

6. Konstitusi menurut paham Hermann Heller


Metode yang digunakan oleh Herman Heller ialah metode cara perolehan pengetahuan
(methode van kennis verkrijkging). Menurut Herman Heller, negara adalah organisasi

13
kekuasaan territorial. Maka untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan negara,
haruslah dilihat fungsinya terhadap masyarakat. Apakah masyarakat memang
membutuhkan negara. Berdasarkan kenyataan bahwa dalam suatu daerah, hidup manusia
dengan bermacam kemauan. Oleh sebab itu perlu ada yang mengatur. Jadi harus ada
instansi yang mengatur agar manusia yang mempunyai aneka ragam sifat dan kemauan
itu dapat hidup bersama dengan teratur. Dan dengan eksistensi negara berarti bahwa
negara telah dapat mempengaruhi masyarakat, begitu pula sebaliknya tanpa masyarakat
maka tidak aka nada negara. Dengan kata lain antara negara dan masyarakat terdapat
dialectisch verband. Berkenaan dengan arti konstitusi, Herman Heller mengemukakan
tiga pengertian sebagai berikut.
a. Die politische verfassung als gesellschaftftlitch wirklichkeit. Konstitusi adalah
mencerminkan kehidupan politik didalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, jadi
mengandung pengertian politis dan sosiologis.
b. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah
hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
c. Die gescheriben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai
undang-undang yang tertinggi, yang berlaku dalam suatu negara.
7. Konstitusi menurut paham Carl Schmitt
Metode Carl Schmitt yang disebut cara penghimpunan yang tersusun tersebut ialah
metode dengan cara menyusun bahan-bahan yang sudah ada dalam literatur lalu
kemudian menyimpulkannya menjadi pahamnya sendiri itulah sebabnya paham Carl
Schmitt disebut “collectisch”. Carl Schmitt membagi konstitusi dalam empat pengertian
karena pengertian pokok pertama terbagi lagi dalam empat sub pengertian, dan
pengertian pokok kedua mempunyai dua sub pengertian, maka jumlahnya menjadi
delapan pengertian.
Pengertian Pokok Pertama
Konstitusi dalam arti absolut (absolute verfassungbegriff). Perkataan absolut
mengandung arti bahwa konstitusi disamping memuat tentang bentuk negara, faktor
integrasi dan norma-norma dasar/struktur pemerintahan, juga mencakup semua hal yang
pokok yang ada pada setiap negara pada umumnya. Pengertian pokok pertama ini terbagi
dalam empat subpengertian.
1. Konstitusi menggambarkan hubungan antara faktor-faktor kekuatan yang nyata (de
riele machtsfactoren) dalam suatu negara, yakni hubungan antara raja, parlemen,
cabinet, partai politik, pressure group, dan lain-lain, serta mencakup semua bangunan
dengan paham yang dikemukakan oleh lassale.
2. Konstitusi memuat formarum, yakni bentuk yang menentukan bentuk-bentuk lainnya.
3. Konstitusi sebagai faktor integrasi, Carl Schmitt menghubungkannya dengan
“integration theory” dari Rudolf Smend.
4. Konstitusi merupakan norm der normen, yakni norma dasar yang menjadi sumber
bagi norma-norma lainnya yang berlaku.

Pengertian Pokok Kedua

14
Konstitusi dalam arti relatif (relative verfassungbegriff). Perkataan “relative”
mengandung arti bahwa konstitusi dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan
tertentu di dalam masyarakat, sehingga tidak berlaku umum dan sifatnya adalah relative
karena hanya terdapat dan dimuat dalam konstitusi negara tertentu saja. Pengertian pokok
kedua ini terbagi dalam dua sub pengertian berikut.

1. Konstitusi dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam


masyarakat. Dalam hal ini sudah disinggung isi verfassung, jadi sudah mengenai
verfassung dalam arti materiil. Verfassung dalam arti materiil pada mulanya hanyalah
menyinggung hal-hal yang fundamental. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
disinggung pula hal-hal yang meskipun bukan fundamental namun dianggap penting.
2. Konstitusi dalam arti formal atau konstitusi memperoleh bentuk tertulis. Karena
konstitusi dalam arti materiil itu penting isinya dan merupakan undang-undang
istimewa.

Pengertian Pokok Ketiga

Konstitusi dalam arti positif (de positive verfassungbergiff). Proses relativering terhadap
konstitusi menimbulkan konstitusi dalam arti positif. Pada pengertian absolute
disinggung mengenai objek, forma-formarum, faktor integrasi, normde normen dan lain-
lain dan bukan mengenai subjek.

Pengertian Pokok Keempat

Konstitusi dalam arti ideal (idealbergiff der verfassung). Konstitusi merupakan wadah
yang menampung cita-cita bangsa. Bila dalam pengertian pokok konstitusi yang keempat
ini, konstitusi mengandung arti sebagai wadah yang menampung suatu ide, maka ide
yang bersangkutan dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti yang dimaksud
dalam pengertianpokok konstitusi yang kedua (relative verfassungbergiff).

8. Konstitusi menurut paham CF. Strong


Strong melihat negara dalam segi strukturnya, jadi mengenai staatsintellingen (bangunan-
bangunan negara), dalam memperbandingkan konstitusi berbagai negara. Strong sampai
pada pola ketatanegaraannya dengan klasifikasi pembahasan sebagai berikut.
 The nature of the state to which the constitution applies
 The nature of constitution itself
 The nature of the legislature
 The nature of executive
 The nature of judiciary

Negara kesatuan, menurut Strong adalag bentuk negara dimana wewenang legislatif
tertinggis dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Walaupun wilayah
negara dibagi dalam beberapa wilayah, tetapi kekuasaan sesungguhnya terletak pada
pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai

15
wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak
otonomi (dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir
kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Jadi, kedaulatan kedalam maupun
keluar sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat.

9. Konstitusi menurut paham Hawgood


Hawgood dalam bukunya “modern constitution since 1781”, mengupas dua macam
bengunan negara, yakni bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Dalam
memperbandingkan bentuk-bentuk negara, Hawgood memperkenalkan beberapa macam
bentuk negara ideal. Tetapi kebanyakan telah merupakan bengunan-bangunan historis,
yang sekarang sudah tidak mempunyai arti lagi. Oleh karena itu, hanya diambil tiga
macam saja.
a. Spontaneous state (Spontane staat). Konstitusi disebut revolutionary constitution.
Spontaneous state adalah negara yang timbul sebagai akibat revolusi. Dengan
demikian konstitusinya pun bersifat revolusioner. Dan oleh karenanya, konstitusinya
disebut revolutionary constitution.
b. Negotiated state (parlementaire staat). Konstitusinya disebut parliamentarian
constitution. Negotiated state adalah negara yang berdasarkan pada kebenaran
relative.
c. Derivative state (efgeleide staat). Konstitusinya disebut neo national constitution.
Derivative state adalah negara mengambil pengalaman dari negara-negara yang sudah
ada. Menurut Hawgood, derivative state ini hanya meniru, tidak ada buah pikiran
yang asli. Bentuk negaranya menurun dari negara-negara Barat. Keadaan demikian
disebut neo national. Maksudnya adalah nsionalisme yang berdasarkan pada
kolonialisme. Yakni nasionalisme yang timbul karena penjajahan sebagai akibat
akulturasi proses. Sehingga konstitusinya disebut neo national constitution.

Karena cara yang dipergunakan Hawgood ialah memperbandingkan bentuk negara,


bentuk pemerintahan maupun konstitusi dari berbagai negara maka metodenya disebut
comparative history.

Materi Muatan Konstitusi

Mengenai isinya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu terdiri dari 37 Pasal ditambah
dengan empat pasal tambahan dengan empat pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan
Tambahan, yang mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam Pembukaannya juga merupakan rangkaian pasal-pasal yang bulat dan
terpadu. Di dalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua bagian,
yaitu:

16
1. Pasal-pasal yang berisi materi pengaturan sistem pemerintahan negara, di dalamnya
termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan saling berhubungan dari
kelembagaan negara.
2. Pasal yang berisi materi hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta
berisi konsepsi negara diberbagai bidang : politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan
lain-lain. Kearah mana negara bangsa dan rakyat indonesia akan bergerak mencapai cita-
cita nasionalnya.

Menurut Leslie Wolf Philip dalam bukunya comparative constitutions, The Macmillan
Press Ltd, London, 1972 menyatakan tinjauan yang berdasarkan atas subtansi kontitusi ini adalah
tinjauan yang bersifat modern, sedangkan tinjauan atas segi bentuk konstitusi merupakan
tinjauan tradisional. Melalui tulisan mengenai”Dewan Konstitusi di perancis”, Bagir Manan
mengemukakan:

“Kaidah-kaidah konstitusional ini memuat prinsip-prinsip tentang susunan dan organisasi negara,
alat-alat kelengkapan negara, tugas dan wewenang serta hubungan antar organ negara satu
dengan yang lain, hak dan kewajiban warga negara atau rakyat pada umumnya, serta hubungan
antar pemerintah dan warga negara atau rakyat negara”.

Jadi, isi, substansi, kandungan atau materi muatan Undang-Undang Dasar itu secara luas
mencangkup pengaturan hal-hal yang fundamental mengenai susunan pemerintahan negara;
kedudukan, tugas, wewenang, dan hubungan dari lembaga negara; hubungan negara dengan
warga negara dan penduduknya; jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara serta
kewajiban warga negara; pemisahan/pembagian pembatasan tugas ketatanegaraan; serta
konsepsi negara dalam berbagai bidang kehidupan ke arah mencapai cita-cita nasional suatu
negara.

Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi

1) Kedudukan Konstitusi
Kedudukan, fungsi, dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke
zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan
mutlak penguasa negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng
pemisah antara rakyat yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi
sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu,
setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, kedudukan dan peran konstitusi bergeser
dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap kezaliman
golongan penguasa, menjadi senjata pemungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan
sepihak seseorang dalam sistem monarki dan kekuasaan sepihak satu golongan oligarki
serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama
rakyat.
2) Fungsi Konstitusi

17
Menurut Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang, fungsi konstitusi
merupakan sebagai akta pendirian negara (constitution as a birth certificate). Konstitusi
dijadikan bukti otentik tentang eksistensi dari suatu negara sebagai badan hukum
(rechstpersoon). Guna memenuhi fungsi ini, maka setiap negara di dunia ini selalu
berusaha mempunyai konstitusi. Menyangkut dengan fungsi konstitusi dan hubungan
negara dengan konstitusi sekarang ini, G.S. Diponolo menyatakan: “Tiada orang yang
berbicara tentang organisasi negara dengan tiada berbicara tentang konstitusi”. Dengan
demikian, bila dilihat dari segi waktu, fungsi konstitusi dalam arti Undang Undang Dasar
itu adalah sebagai syarat berdirinya negara bagi negara yang belum terbentuk, atau
sebagai pendirian akte pendirian negara bagi negara yang sudah terbentuk sebelum
Undang-Undang Dasarnya ditetapkan. Terlepas dari waktu ditetapkanya, sebelum atau
sesudah suatu negara negara terbentuk, yang jelas fungsi konstitusi itu adalah sebagai
dokumen formal nasional, dasar organisasi negara, dasar pembagian kekuasaan negara,
dasar pembatasan dan pengendalian kekuasaan pemerintah, penjamin kepastian hukum
dalam praktek penyelenggara negara, pengaturan lembaga-lembaga, dan pengaturan
pemerintah.
3) Tujuan Konstitusi
C.F Strong menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi
kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan
merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Oleh karena itu setiap konstitusi
senantiasa memiliki dua tujuan, yaitu:
 Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik,
 Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa serta
menetapkan batas-batas kekuasaan bagi penguasa.
Konstitusi merupakan sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Tujuan
dibuatnya konstitusi adalah untuk mengatur jalannya kekuasaan dengan jalan
membatasinya melalui aturan untuk menghindari terjadinya kesewenangan yang
dilakukan penguasa terhadap rakyatnya serta memberikan arahan kepada penguasa untuk
mewujudkan tujuan Negara. Jadi, pada hakikatnya konstitusi Indonesia bertujuan sebagai
alat untuk mencapai tujuan negara dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara.

Supremasi Konstitusi

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman
Yunani Kuno sejalan dengan perkembangan pemahaman konstitusi itu sendiri. Plato, dalam
bukunya “the Statesman” dan “the Law” menyatakan bahwa negara hukum merupakan bentuk
paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah
pemerintahan oleh hukum. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan
dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep

18
negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V.
Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang
berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan


masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya kehidupan
masyarakat di era global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Dua isu pokok
yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah
pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Saat ini, paling tidak dapat dikatakan terdapat
dua belas prinsip negara hukum, yaitu Supremasi Konstitusi (supremacy of law), Persamaan
dalam Hukum (equality before the law), Asas Legalitas (due process of law), Pembatasan
Kekuasaan (limitation of power), Organ Pemerintahan yang Independen, Peradilan yang Bebas
dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary), Peradilan Tata Usaha Negara
(administrative court), Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi
Manusia, Bersifat Demokratis (democratische-rehtsstaats), Berfungsi sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Bernegara(Welfare Rechtsstaat), sertaTransparansi dan Kontrol Sosial.1

Dalam suatu negara hukum,mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik


terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum
sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam
pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi.
Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang
mendasarkan diri pada aturan hukum.

Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan


perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada
dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap
perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures.

Namun demikian, prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan
masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak
dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan
menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang
dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Berdasarkan prinsi negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada
1

19
konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial
tertinggi.

Kesimpulan

Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisikan
aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian
ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal).
Tujuan konstitusi suatu negara yaitu membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak
sewenang-wenang, maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan
berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela dan bisa merugikan
rakyat banyak serta melindungi HAM. Maksudnya, setiap penguasa berhak menghormati HAM
orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.

20
Pada hamper semua jenis konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan
berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah
lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih
dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
jenis kekuasaan tertentu itu.

Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu


hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang
diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi
itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi
adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat
sementara ataupun keinginan dari sekelompok orang belaka.

Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek
ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa
apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara
keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap
berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli
tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menadi bagian dari
konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Huda, Ni’matul. 2010. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers


2. Busroh, Abu Daud. 2013. Ilmu Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara
3. Rifai, Amzullan. 2010. Teori Sifat Hakikat Negara. Malang: Tunggal Mandiri
Publishing

21

Anda mungkin juga menyukai