Anda di halaman 1dari 13

MENGGALI SUMBER TEOLOGIS HISTORIS

DAN FILOSOFIS TENTANG IMAN ISLAM


DAN IHSAN

Kelompok :
ARWENDI HADOKO P.P (1462900017)
ALPIAN DIDIT PURWANSAH (1461900032)
WIRAWAN KHAIRUL MAJID (1461900042)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA 2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami

panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidata, dan inayah-

Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tugas Pendidikan Agama Islam

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai

pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak

terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenunya bahwa masih ada kekurangan baik dari

segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima

segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapa memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul Mengintegrasikan Iman Islam dan

Ihsan dalam membentuk Insan Kamilini dapat memberikan manfaat inspirasi terhadap pembaca.

Surabaya, Oktober 2019


BAB I
PENDAHULAN

1. 1 Definisi Ihsan

Ihsan (Arab: j; "kesempumaan" atau "terbaik") adalah seseorang

yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-

Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.

Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan

kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada

hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya.

Ihsan itu ialah bahawa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi jika

kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah

senantiasa mengawasi apa yang dilakukannya. Hadist riwayat muslim”dari Umar bin Khatab ia berkata

bahwa mengabdikan diri kepada Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anga melihat-

Nya,maka hendaklah anda merasa bahwa Allah melihatmu.”

1.2 Aspek Pokok Dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan

akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.

1. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah,

seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat,

rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,

kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat

(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa

bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah
senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan

baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud

dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi: “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan

engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. ”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain

jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya

seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap

yangmubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw.

menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin

mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.


2. Muamalah

Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi

sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun

dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,

tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”

Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap

seakan-akan kita melihat- Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini,

kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini

adalah mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:

a. Ihsan kepada kedua orang tua

b. Ihsan kepada karib kerabat

c. Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin

d. Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat

e. Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya

f. Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia

g. Ihsan dalam hal muamalah


h. Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
3. Akhlak

Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan

mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi

harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah

seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa

melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan

dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,

sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan

karakternya.

Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal

ibadahnya- maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia

bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan

terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah

hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempumakan akhlak yang mulia.”

I..3 Tingkatan Ihsan

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud

dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan

ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas

yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan melaksanakan amalannya sesuai dengan sunnah

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang haras ditunaikan oleh setiap

muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki

dua tingkatan, yaitu :

1. Tingkatan muraqabah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam

setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam '

kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan muroqobah yaitu apabila

seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Apabila

seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia

memperbagus

shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus :

‘‘Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak

mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya”

(Yunus: 61)

2. Tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memperhatikan sifat-sifat

Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi

( ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah

kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa yang dimaksudkan di sini

bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang

sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat Zat Allah. Ini jelas merupakan

kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan

pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan

yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada

nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh Arba

’in An-Nawawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 32-33).

I.4 Insan Kamil

I.4.1 Definisi Insan Kamil


Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak

prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.

Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw disebut sebagai

teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang

yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah

Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep

insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer.

Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya,

berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah

hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi

kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita

merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia. ” (QS. Al-

Qolam:4)

“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian,

yaitu orang-orangynengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak

mengingat Allah. ” (QS. Al- Ahzab:21) “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan

kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-

Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap

gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang

lurus. ” (Al Maidah 15-16).

I.4.2 Ciri-ciri Insan Kamil


Untuk mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang

dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-

ciri tersebut adalah sebagai berikut:


1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal

Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya manusia

yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur,

berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak

diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan

yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan

demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal

itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.


2. Berfungsi Intuisinya

Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini

dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh

dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan

mendekati kesempurnaan.
3. Mampu Menciptakan Budaya

Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,

manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya

secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak

dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat

kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.

Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.


4. Menghiasi Diri Dengan Sifat-Sifat Ketuhanan

Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada

hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia menjadi wakil

Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu
manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun

sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya

kehendak yang bebas.


5. Berakhlak Mulia

Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali

Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek

kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua

ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna)

adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil

dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, juga memiliki

kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan,

dan kelemahan.
6. Berjiwa Seimbang

Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin.

Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang

kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi

disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern

mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan

mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya ke seimbangan diri, terlebih lagi bila

tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
BAB II
ISI

II. 1 Menelusuri Konsep dan Urgensi Iman Islam dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil

Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.

1. Tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka —

menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya.

2. Manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan.

Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka

mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat - sifat dan nama - nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )

II.1.1 Tingkatan Insan Kamil

Abdulkarim Al - Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan.

1. Tingkat Pemula ( al - bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma

dan sifat - sifat ilahi pada dirinya.

2. Tingkat menengah ( at - tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat

kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al - haqaiq ar - ramaniyyah ). Pengetahuan

yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena

sebagian dari hal - hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.

3. Tingkat terakhir ( al - khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra

Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir

11.2 Mengapa Iman Islam dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil

Apakah anda percaya akan adanya Allah ? Mereka semua memberikan jawaban yang sama kami

percaya akan adanya Allah, kami percaya akan adanya malaikat - malaikatnya dan seterusnya.

Kemudian jika ditanya lebih lanjut adakah manusia yang tidak percaya akan adannya malaikat, dan

adakah manusia yang tidak percaya adanya tuhan, dan serterusnya. Hampir semua mahasiswa
menjawab tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya Tuhan, tidak ada seorang

manusiapun yang tidak percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Semua manusia percaya adanya

Tuhan, dan seterusnya.

11.3 Menggali Sumber Teologis, Historis dan Filosofis Tentang Iman Islam dan Ihsan Sebagai Pilar

Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil

1. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai

Pilar Agama Islam

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab r.a diatas kaum muslimin menetapkan

adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, islam, dam ihsan sebagai kesatuan yang

utuh.

Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan

cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan.

2. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Konsep Insan Kamil

Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby (

abad ke - 14 ). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan monster setengah

manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia menjadi monster setengah

manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan kemonsteranya. Konsekuensinya,

diluar kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang berproses menanggalkan kemonsterannya

dalam membentuk insan kamil.

a. Konsep Manusia dalam Al-Quran.

Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni

dimensi jasmani dan rohani, atau dimensi lahir dan batin.

b. Unsur -unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil

Secara ringkas, Al - Ghazali ( dalam othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen

untuk mencari pengetahuan yang benar serta kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca indra.
Panca indra memiliki keterbatasan dan tidak bisa mencapai pengetahuan yanng benar, setelah dinilai

oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya orangpun menuilai

tingkat kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan

oleh akal ketika menulai kekeliruan panca indra.

3. Nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari sakit karena

adanya nur ilahi yang menembus dirinya. Kemudian Al- Ghazali mengungkapkan pandangannya

tentang nur ilahi sebagai berikut. Kapan saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang, maka

jadilah demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. ( QS: Al- An am/ 6:125. )

II.4 Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan Kamil dan Metode Pencapaiannya

1. Karakteristik insan kamil

Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby meyebutkan adanya dua jenis

manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak menjadi insan kamil,

maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia. Untuk itu kita perlu mengenali tempat unsur

untuk mencapai derajat insan kamil, diantaranya :

- Jasad

- Hati nurani
- Roh

- Sirr (rasa)
BAB III
PENUTUP

III. 1 Kesimpulan

Untuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4

unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini haras di fungsikan

untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani haras dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat

tuhan.

Jika sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan,

meningkatkan peribadatan, dan membaguskan perbuatan, sekaligus menghilangkan karakter-karakter

yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai