Kelompok :
ARWENDI HADOKO P.P (1462900017)
ALPIAN DIDIT PURWANSAH (1461900032)
WIRAWAN KHAIRUL MAJID (1461900042)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidata, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tugas Pendidikan Agama Islam
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenunya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapa memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul Mengintegrasikan Iman Islam dan
Ihsan dalam membentuk Insan Kamilini dapat memberikan manfaat inspirasi terhadap pembaca.
1. 1 Definisi Ihsan
yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-
Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.
Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan
kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada
Ihsan itu ialah bahawa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi jika
Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah
senantiasa mengawasi apa yang dilakukannya. Hadist riwayat muslim”dari Umar bin Khatab ia berkata
bahwa mengabdikan diri kepada Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anga melihat-
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan
akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah,
seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat,
rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa
bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah
senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan
baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud
dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi: “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. ”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya
seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap
yangmubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw.
menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi
sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap
seakan-akan kita melihat- Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini,
kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa
melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan
dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,
sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah
Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud
dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan
ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas
yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan melaksanakan amalannya sesuai dengan sunnah
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang haras ditunaikan oleh setiap
muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki
1. Tingkatan muraqabah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam
setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam '
kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan muroqobah yaitu apabila
seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Apabila
seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia
memperbagus
shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus :
‘‘Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak
mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya”
(Yunus: 61)
2. Tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memperhatikan sifat-sifat
Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi
( ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah
kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa yang dimaksudkan di sini
bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang
sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat Zat Allah. Ini jelas merupakan
kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan
pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan
yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh Arba
Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw disebut sebagai
teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah
Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep
Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya,
berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah
hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi
kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia. ” (QS. Al-
Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian,
yaitu orang-orangynengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak
mengingat Allah. ” (QS. Al- Ahzab:21) “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan
kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-
Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya manusia
yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur,
berakhlak sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak
diperintahkan oleh wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan
yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan
demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal
Insan Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini
dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh
dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan
mendekati kesempurnaan.
3. Mampu Menciptakan Budaya
Sebagai bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai insan,
manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya
secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat
kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Manusai merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada
hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat ia menjadi wakil
Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal. Yaitu
manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun
sebagai individu. Yaitu manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya
Insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek
kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua
ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna)
adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil
dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu
kedalaman perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan,
dan kelemahan.
6. Berjiwa Seimbang
Menurut Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin.
Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen, immortal yang
kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi
disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern
mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan
mendapatkan ketentraman batin, yang berarti tidak hanya ke seimbangan diri, terlebih lagi bila
tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan semakin rusak.
BAB II
ISI
II. 1 Menelusuri Konsep dan Urgensi Iman Islam dan Ihsan dalam Membentuk Insan Kamil
Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.
1. Tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka —
2. Manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan.
Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka
mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat - sifat dan nama - nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
1. Tingkat Pemula ( al - bidayah ). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma
2. Tingkat menengah ( at - tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al - haqaiq ar - ramaniyyah ). Pengetahuan
yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena
sebagian dari hal - hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3. Tingkat terakhir ( al - khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra
Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir
11.2 Mengapa Iman Islam dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil
Apakah anda percaya akan adanya Allah ? Mereka semua memberikan jawaban yang sama kami
percaya akan adanya Allah, kami percaya akan adanya malaikat - malaikatnya dan seterusnya.
Kemudian jika ditanya lebih lanjut adakah manusia yang tidak percaya akan adannya malaikat, dan
adakah manusia yang tidak percaya adanya tuhan, dan serterusnya. Hampir semua mahasiswa
menjawab tidak ada seorang manusiapun yang tidak percaya akan adanya Tuhan, tidak ada seorang
manusiapun yang tidak percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Semua manusia percaya adanya
11.3 Menggali Sumber Teologis, Historis dan Filosofis Tentang Iman Islam dan Ihsan Sebagai Pilar
1. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab r.a diatas kaum muslimin menetapkan
adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, islam, dam ihsan sebagai kesatuan yang
utuh.
Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan
Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby (
abad ke - 14 ). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan monster setengah
manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia menjadi monster setengah
manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan kemonsteranya. Konsekuensinya,
diluar kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang berproses menanggalkan kemonsterannya
Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni
Secara ringkas, Al - Ghazali ( dalam othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen
untuk mencari pengetahuan yang benar serta kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca indra.
Panca indra memiliki keterbatasan dan tidak bisa mencapai pengetahuan yanng benar, setelah dinilai
oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya orangpun menuilai
tingkat kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan
3. Nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari sakit karena
adanya nur ilahi yang menembus dirinya. Kemudian Al- Ghazali mengungkapkan pandangannya
tentang nur ilahi sebagai berikut. Kapan saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang, maka
jadilah demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. ( QS: Al- An am/ 6:125. )
II.4 Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan Kamil dan Metode Pencapaiannya
Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby meyebutkan adanya dua jenis
manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak menjadi insan kamil,
maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia. Untuk itu kita perlu mengenali tempat unsur
- Jasad
- Hati nurani
- Roh
- Sirr (rasa)
BAB III
PENUTUP
III. 1 Kesimpulan
Untuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4
unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini haras di fungsikan
untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani haras dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat
tuhan.
Jika sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan,
yang buruk.