Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Jerman termasuk bahasa fleksi yang mempunyai banyak perubahan bentuk

untuk menggambarkan fungsi gramatikalnya. Penambahan afiks yang termasuk prefiks,

infiks, serta sufiks sering muncul pada bahasa fleksi. Perubahan bentuk ini terkadang sukar

dipahami oleh pembelajar bahasa. Namun demikian, semua perubahan tersebut bisa diuraikan

dengan kajian tertentu, salah satunya linguistik sinkronis.

Proses pembubuhan afiks terjadi dengan suatu proses morfemis yang dikenal sebagai

proses afiksasi. Prosess afiksasi merupakan salah satu proses morfologis yang amat berperan

dalam pembentukan kata baru. Verhaar menyatakan bahwa fungsi utama proses afiksasi ada

dua, antara lain infleksional dan derivasional. Afiksasi infleksional merupakan proses afiksasi

yang menghasilkan alternan-alternan dari bentuk yang tetap merupakan kata, atau unsur

leksikal, yang sama. Sedangkan afiksasi derivasional merupakan proses afiksasi yang

menurunkan kata atau unsur leksikal yang lain dari kata atau unsur leksikal tertentu (2006;

107).

Derivasi merupakan salah satu proses morfologis yang terdapat dalam setiap bahasa,

termasuk bahasa Jerman. Dalam suatu bahasa, derivasi penting untuk diketahui dalam usaha

pengkategorian kelas kata serta keajegan proses morfologis yang terdapat dalam bahasa

tertentu. Dengan mengetahui sistem derivasi suatu bahasa maka akan diketahui bagaimana

konstruksi kelas kata yang satu berubah menjadi kelas kata yang lain (Verhaar, 2006:118).

Pembentukan verba bisa dilakukan dengan derivasi kata benda maupun kata sifat.

Derivasi kata kerja dari bentuk dasar benda maupun kata sifat dalam bahasa Jerman memiliki

1
sifat dan ciri khas yang menarik. Sebagai contoh, sebelum terderivasi menjadi kata kerja, kata

sifat dalam bahasa Jerman terlebih dahulu dirubah ke dalam bentuk komparatif atau

bermakna lebih dengan membubuhkan sufiks –er. Setelah itu, kata sifat yang telah berubah

bentuk tadi dibubuhi lagi dengan prefiks –ver dan sufiks –n. seperti pada contoh di bawah ini.

gross ‘besar’ adjektiva

gross + er = grösser ‘lebih besar’ adjektiva comparatif

ver + grösser + n = vergrössern ‘membesarkan’ verba

Jika kata kerja bentukan dari bentuk dasar kata sifat dalam bahasa Jerman di atas

diartikan secara harfiah, maka memiliki arti ‘melebihbesarkan’. Hal ini dipengaruhi dari

perubahan bentuk komparatifnya yang menyatakan ‘lebih besar’. Akan tetapi, arti kontekstual

dari verba ini adalah tetap seperti verba pada umumnya, yakni ‘memperbesar’, yang secara

tidak langsung mengandung makna ‘melebihkan sesuatu dari keadaan sebelumnya’.

Berprinsip pada fenomena proses perubahan tersebut, maka peneliti ingin menelaah

lebih lanjut mengenai proses pembentukan verba dalam bahasa Jerman. Selama ini

pembelajar bahasa Jerman menemui kesulitan dalam memahami kata turunan dalam bahasa

Jerman. Penelitian ini diharapkan mampu memberi tambahan literature bagi pemahaman

proses pembentukan kata dan perubahan makna kata dalam bahasa Jerman yang mengalami

proses afiksasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji proses pembentukan kata

kerja bahasa Jerman melalui proses afiksasi derivasional yang terdapat pada Kamus Jerman-

Indonesia karangan Adolf Heuken, S.J.

2
1.2 Rumusan Masalah

Pembahasan masalah derivasi pada dasarnya mempersoalkan perubahan yang

disebabkan oleh proses morfemis. Proses morfemis tersebut dapat melalui afiksasi. Melalui

proses ini dapat diperoleh bentukan-bentukan yang mungkin hanya berubah bentuk dasar atau

asalnya, mungkin pula berubah identitas leksikalnya. Berdasarkan hal ini maka dapatlah

dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bagaimanakah derivasi verba dalam bahasa Jerman? Dalam hal ini meliputi:

1) Bagaimanakah bentuk-bentuk afiks derivasional verba dalam bahasa Jerman?

2) Bagaimanakah proses afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman?

3) Bagaimanakah sistem morfofonemis afiksasi derivasional verba dalam bahasa

Jerman?

4) Bagaimanakah makna verba turunan dari afiksasi derivasional verba dalam bahasa

Jerman?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan bentuk-bentuk afiks derivasional verba dalam bahasa Jerman.

2) Mendeskripsikan proses afiksasi derivasional verba dalam bahasa Jerman.

3) Mendeskripsikan sistem morfofonemis afiksasi derivasional verba dalam bahasa

Jerman.

3
4) Mendeskripsikan makna verba turunan dari afiksasi derivasional verba dalam bahasa

Jerman.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat teoritis

maupun praktis, yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.4.1 Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kontribusi bagi pengembangan kajian

mengenai proses pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman. Pembentukan kata kerja

dalam bahasa jerman bisa berasal dari bentuk dasar kata sifat maupun kata benda.

1.4.2 Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana tambahan mengenai

pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman, serta diharapkan dapat membantu pembelajar

bahasa Jerman dalam mengidentifikasi kata kerja dalam bahasa ini sekaligus dapat

menggunakannya dengan baik dan benar.

Kajian ini juga dapat membantu dalam upaya pemahaman kosa kata bahasa Jerman

utamanya mengenai verba bentukan yang bisa diidentifikasi maknanya berdasarkan afiks

yang digunakan.

4
1.5 Landasan Teori

Bagian ini berisi ulasan tentang beberapa pengertian yang terkait dengan topik

penelitian. Pada bagian ini akan diuraikan tentang pokok pemahaman yang penting dalam

morfologi bahasa Jerman. Uraian ini akan diawali dengan uraian mengenai konsep morfologi,

proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman, pengertian verba, adjektiva, nomina, afiks,

serta afiksasi yang sekaligus meliputi afiksasi infleksional dan juga derivasional dalam

bahasa Jerman. Adapun uraian selengkapnya disajikan dalam bab berikutnya.

1.6 Metode Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam kajian ini adalah

metode deskriptif. Sudaryanto menyatakan bahwa metode deskriptif berarti penelitian yang

dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada dan fenomena yang memang

secara empiris hidup pada para penuturnya.

Secara prkatis, metode yang digunakan dalam kajian ini dijabarkan dalam tiga metode

sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, antara lain:

1. Metode penyediaan dan pengumpulan data

2. Metode analisis data

3. Metode penyajian hasil analisis data

1.6.1 Metode Penyediaan dan pengumpulan data

5
Data yang digunakan dalam penelitian bahasa ini merupakan data tulisan yang

diambil dari buku ilmiah yang terkait dengan topik penelitian yang dianggap baik dan

lengkap. Sumber data ini dipilih mengingat data tersebut telah melalui proses pengujian

sehingga dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Adapun buku ilmiah yang akan

digunakan sebagai sumber data adalah Kamus Jerman-Indonesia yang ditulis oleh Adolf

Heuken, S.J. Pemilihan kamus ini sebagai dasar analisis mengingat kamus ini merupakan

kamus acuan yang digunakan oleh para pembelajar bahasa Jerman di Indonesia sehingga

dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Adapun kenapa sumber data hanya dibatasi pada satu buku, hal ini dimaksudkan

untuk mendapatkan analisis yang lebih rinci dan mendalam pada sumber data yang telah

dipilih berdasarkan teknik pursposive. Menurut Johnson dan Christensen, teknik ini

merupakan salah satu teknik pengambilan sampel dalam penelitian yang memungkinkan

peneliti menentukan sendiri subjek penelitiannya (239: 2008).

Adapun penyediaan data yang dilakukan dengan teknik catat dari wacana tulis atau

teks yang telah dipilih sebagai sumber data. Hasil analisis awal yang berupa kata kerja

turunan yang diduga berasal dari pembentukan kata sifat dan kata benda dengan proses

afiksasi derivasional dalam bahasa Jerman dicatat dalam tabel kata kerja turunan yang telah

disediakan.

1.6.2 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, semua data yang berupa kata kerja turunan yang ditemukan

dianalisis dengan menggunakan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituent analysis)

untuk mendapatkan identifikasi unsur-unsur penyusun setiap kata tersebut. Menurut Edi

6
Subroto (69: 2007) yang dimaksud dengan teknik urai unsur terkecil adalah mengurai suatu

satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Unsur-unsur terkecil yang dimaksudkan

dalam analisis pada kata kerja turunan yang muncul dalam kajian ini adalah morfem yang

merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna gramatis.

1.6.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan dalam bentuk deskripsi afiks-afiks pembentuk verba dari

adjektiva dalam bahasa Jerman. Proses afiksasi derivasional, sistem morfofonemis

pembentukan kata kerja serta makna verba turunan yang ditemukan pada sumber data

disajikan secara terperinci dalam sebuah laporan.

1.7 Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian dibagi dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut.

Bab I adalah pendahuluan yang berisi: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Landasan Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penyajian dan

Rencana Kerja. Bab II berisi gambaran umum mengenai tinjauan pustaka, teori serta kajian

yang akan menjadi landasan berpikir dalam penelitian ini. Pada Bab III berisi Kajian metode

serta langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini. Bab IV berisi uraian lengkap

proses afiksasi derivasional pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman, serta bab V

meringkas kesimpulan hasil dari penelitian ini.

1.8. Rencana Kerja

7
Tahapan Sept Okt Nov Des

1. Persiapan Penelitian # # # #

1.1. Pencarian Objek #

1.2. Studi Pustaka Awal # #

1.3. Penelusuran Data Awal #

1.4. Analisis Data Awal # # #

1.5 Penulisan Proposal # #

2. Pengambilan Data # # # #

2.1. Studi Pustaka # # #

2.2. Klasifikasi Data # # #

3. Pengolahan Data # # # # #

3.1 Analisis Data # # # # #

4. Penyusunan Laporan # # # # # # #

4.1. Penulisan Laporan # # # #

4.2. Laporan Masuk #

4.3. Ujian #

4.4. Revisi # #

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

8
Bab ini berisi uraian mengenai dua hal utama, yakni tinjauan pustaka dan landasan

teori. Tinjauan pustaka dimaksudkan untuk memberikan deskripsi mengenai hal-hal yang

telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam kaitannya dengan pembentukan kata kerja

dalam bahasa Jerman dengan melalui proses afiksasi. Uraian ini juga dimaksudkan untuk

menunjukkan keaslian atau keorisinalitasan dari kajian ini. Sedangkan, landasan teori

mengungkapkan teori-teori yang telah ada dan dianggap mapan yang berkaitan dengan

afiksasi derivasional pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman. Hal ini perlu dilakukan

untuk memberikan dasar dan sekaligus arah kajian tentang afiksasi pembentukan kata kerja

dalam bahasa Jerman ini.

2.1. Tinjauan Pustaka

Penelitian berhubungan dengan afiksasi derivasional pernah dilakukan oleh beberapa

peneliti, diantaranya Siti Sudartini (2009) yang meneliti “Afiksasi Derivasional Pembentukan

Kata Benda dalam Bahasa Inggris (Kajian Proses, Proporsi Pemakaian, dan

Permasalahannya). Dalam penelitian tersebut, Sudartini mengkaji proses pembentukan

afiksasi derivasional dalam bahasa Inggris. Di samping itu, beliau juga menelaah proporsi

pemakaian serta permasalahan yang muncul akibat proses afiksasi ini.

Selain itu, masih ada Awaluddin (2010) yang meneliti “Afiks Pembentuk Verba dalam

Bahasa Muna” serta Akhmad Sauqi Ahya’ (2009) yang menjabarkan “Makna dan Fungsi

Afiks Derivasional dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia (Studi Kontrastif).

Sementara itu, Rattih Ariyantini (2009) menelaah “Analisis Proses Afiksasi dalam

Pembentukan Kata Bahasa Jerman pada Buku Studio d A1”. Namun, dalam penelitian

tersebut Ariyantini hanya menjabarkan tentang macam perubahan dan frekuensi

9
pemakaiannya dalam buku Studio D A1. Jadi, dari penelitian yang dilakukan oleh Ariyantini

tersebut belum dapat ditemukan pemecahan masalah bagi pemahaman proses pembentukan,

sistem morfofonemis serta makna yang diakibatkan oleh proses afiksasi ini.

2.2 Landasan Teori

Kajian ini mencoba untuk melihat secara kritis kompleksitas dalam bahasa Jerman

dari aspek morfologi sebagai salah satu hasil pengaruh perkembangan bahasa. Seperti

dinyatakan oleh Stockwell dan Minkova, yakni all aspects of language are constantly

changing, but vocabulary is the parts that reacts most readily and rapidly to external

influences (Stockwell dan Minkova, 2001; 1-2).

Sub bagian ini akan mengulas beberapa konsep dasar terkait dengan topik kajian ini,

antara lain konsep morfologi, proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman, verba,

adjektiva, nomina, afiks, serta afiksasi yang sekaligus meliputi afiksasi infleksional dan juga

derivasional dalam bahasa Jerman.

2.3 Morfologi

Trask mendefinisikan morfologi sebagai the branch of linguistics which studies word

structure (R.L. Trask, 1999; 128-129). Trask lebih lanjut menyatakan cabang ilmu linguistik

ini secara umum terdiri atas dua kajian utama, yakni inflection dan word-formation. Kajian

dalam inflection terkait dengan pembahasan mengenai variasi bentuk suatu kata demi

memenuhi kaidah gramatikal, misalnya adanya variasi bentuk dalam bahasa Jerman untuk

kata machen yang bisa berubah menjadi mache, machst, macht, machte dan gemacht. Kajian

tentang word-formation membahas tentang pembentukan kata-kata baru dari kata-kata yang

10
sudah ada, misalnya pada kata das Krankenhaus yang berasal dari kata krank dan das Haus.

Salah satu jenis topik dalam word-formation adalah derivation atau proses derivasional.

Senada dengan Trask, Bauer menyatakan morfologi sebagai a sub-branch of

linguistics deals with the internal structure of word-forms (Bauer, 1983; 13). Sementara itu

O’Grady dan Guzman mendefinisikan morfologi sebagai the system of categories and rules

involved in word formation and interpretation (O’grady, 1996; 132). Berdasarkan ketiga

definisi tersebut, morfologi dapat dipahami sebagai salah satu cabang ilmu dalam linguistik

yang terkait dengan struktur internal kata, proses terbentuknya kata dan juga aturan-aturan

yang menyertai proses-proses tersebut.

2.4 Proses Pembentukan Kata dalam Bahasa Jerman

Kajian ini membahas tentang permasalahan dalam proses pembentukan kata dalam

bahasa Jerman. Kajian ini tidak membahas semua proses pembentukan kata dalam bahasa

Jerman, namun hanya dibatasi pada proses pembentukan kata dengan proses penambahan

afiks atau proses afiksasi, terutama afiksasi derivasional pembentukan kata kerja atau verba.

Sebelum berbicara mengenai proses pembentukan kata kerja dalam bahasa Jerman,

pembahasan mengenai jenis-jenis proses pembentukan kata yang umum dalam bahasa Jerman

kiranya penting untuk dijelaskan terlebih dahulu. Uraian ini menjadi dasar pemahaman

mengenai berbagai jenis proses pembentukan kata dalam bahasa Jerman.

William O’Grady dan Fancis Katamba mengidentifikasi beberapa proses morfologi

yang umum digunakan dalam pembentukan kata. Proses-proses morfologi tersebut meliputi,

affixation, cliticization, internal change, suppletion, compounding, conversion, clipping,

11
blends, backformation dan acronyms (138-159). Berikut adalah uraian singkat tentang

kesepuluh proses morfologi dalam bahasa Jerman tersebut.

Proses pembentukan kata yang pertama adalah affixation. Affixation merupakan

proses pembentukan kata baru dengan menambahkan afiks pada suatu bentuk dasar.

Penambahan afiks pada suatu bentuk dasar ini bisa disertai dengan perubahan kelas kata

ataupun perubahan makna pada bentuk dasar tadi. Proses penambahan afiks yang umumnya

disertai dengan perubahan kelas kata ataupun perubahan makna dari bentuk dasar dikenal

sebagai proses afiksasi derivasional, sedangkan proses penambahan afiks yang tidak disertai

dengan perubahan kelas kata ataupun makna dari bentuk dasar dikenal sebagai proses afiksasi

infleksional. Dalam proses afiksasi bahasa Jerman ada dua jenis afiks yang sering digunakan,

yakni afiks yang dilekatkan di depan bentuk dasar atau yang biasa disebut dengan Präfix dan

afiks yang dilekatkan pada bagian akhir dari bentuk dasar atau yang lazim disebut sebagai

Suffix. Berikut adalah contoh beberapa kata yang dibentuk dengan proses afiksasi, baik

derivasional maupun infleksional.

der Glück (Nom.) + -lich > Glücklich (Adj.)

‘kebahagiaan’ ‘bahagia’

lesen (Verba) + ge- > gelesen (Verba)

‘membaca’ ‘telah membaca’

stolz (Adj.) + -ieren > stolzieren (Verba)

‘bangga’ ‘membanggakan’

Proses pembentukan kata yang kedua, yakni cliticization, merupakan proses

pembentukan kata untuk mempermudah pengucapan. Proses ini sering disebut sebagai proses

12
penambahan clitics (kata yang telah dipersingkat sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai

bentuk yang independen karena alasan fonologis, seperti mempermudah atau mempercepat

pengucapan) pada kata yang lain dalam suatu kalimat. Berikut ini adalah beberapa contoh

cliticization dalam bahasa Jerman.

Ich bin im Zimmer (berasal dari kata in dem)

‘saya berada di dalam kamar’

Ich fahre zum Bahnhof (berasal dari kata zu dem)

‘saya pergi ke stasiun’

Adapun internal change merupakan suatu proses morfologis yang dapat didefinisikan

sebagai proses penggantian suatu unsur / segmen bukan morfem dalam suatu kata dengan

segmen atau unsur yang berbeda. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dihasilkan dari

proses internal change beserta bentuk dasar yang digunakan.

werden (präsens) > wurden (präteritum) ‘menjadi’

bleiben (präsens) > blieben (präteritum) ‘tinggal’

der Vater (singular) > die Väter (plural) ‘ayah’

die Mutter (singular) > die Mütter (plural) ‘ibu’

Proses morfologis yang keempat yakni suppletion. Suppletion merupakan proses

morfologi dimana suatu root digantikan oleh root yang secara fonologis sangat berbeda untuk

menyatakan perbedaan gramatikal. Berikut adalah contoh kata yang dibentuk dengan proses

morfologi tersebut.

sein > war / waren ‘adalah’

13
Proses morfologis dalam bahasa Jerman yang juga produktif adalah proses

compounding. Bersama dengan proses afiksasi, compounding merupakan proses morfologis

yang bisa dikatakan memiliki produktivitas yang tinggi untuk membentuk kata dalam bajasa

Jerman. Proses morfologis ini merupakan proses penggabungan atau kombinasi beberapa

kategori leksikal untuk membentuk suatu kata yang lebih kompleks. Heidi Harley

menyatakan ‘compounding occurs when two independently meaningfull roots are directly

combined to form a new, complex word, usually a noun or adjective’ (Harley, 2006; 98).

Tabel berikut berisi beberapa contoh kata yang dibentuk dengan proses compounding tersebut

beserta komponen penyusunnya.

Tabel 1. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Nomen + Nomen)

Nomen + Nomen Gloss

die Autobahn Jalan tol

das Motorrad Sepeda motor

die Hausfrau Ibu rumah tangga

Tabel 2. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Adjektiv + Nomen)

Adjektiv + Nomen Gloss

das Krankenhaus Rumah sakit

der Grossvater Kakek

die Grossmutter Nenek

Tabel 3. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Verben + Nomen)

14
Verben + Nomen Gloss

der Esstisch Meja makan

die Hörtexte Teks mendengarkan

das Lehrbuch Buku ajar

Tabel 4. Contoh Kata yang Dibentuk dengan Compounding (Präposition + Nomen)

Präposition + Nomen Gloss

der Ingang Pintu masuk

der Ausgang Pintu keluar

der Durchschnitt Jumlah rata-rata

Bila dilihat sepintas lalu, contoh kata-kata kompleks yang dibentuk dari proses

compounding mirip dengan kelompok kata atau frase. Namun bila diperhatikan secara

seksama kata-kata tersebut tidak sama dengan frase. Carstairs dan McCarty menyatakan dua

perbedaan yang mendasar antara compound dan frase, yakni pada letak stress dan juga pada

maknanya (Carstairs dan McCarty, 2002; 60). Compound biasanya memiliki stress pada

elemen yang pertama, berbeda dengan frase yang umumnya stress diletakkan pada elemen

kedua. Compound juga memiliki makna idiomatik yang umumnya tidak langsung dapat

diperkirakan dari elemen penyusunnya, berbeda dengan frase yang maknanya bisa

diperkirakan dari elemen penyusunnya.

Proses morfologis yang lain adalah proses conversion atau yang lebih sering dikenal

sebagai proses zero derivation. Proses morfologis ini merupakan proses perubahan kategori

sintaksis suatu kata.perubahan ini seringkali juga diikuti dengan perubahan makna (O’Grady,

15
1996; 157). Plag menyatakan, conversion can be defined as the derivation of a new word

without any overt marking (Ingo Plag, 2002; 64). Proses morfologis ini seringkali muncul

pada proses afiksasi, baik derivasional maupun infleksional. Berikut adalah beberapa contoh

kata yang dibentuk dengan proses morfolgis ini yang juga bisa dikatakan sebagai hasil

derivasi tanpa penambahan afiks.

essen ‘makan’ > das Essen ‘makanan’

leben ‘hidup’ > das Leben ‘kehidupan’

hören ‘mendengar’ > das Hören ‘pendengaran’

Proses morfologis yang juga masih tergolong produktif dalam bahasa Jerman adalah

proses clipping, blending, backformation, dan acronym. Berikut adalah uraian singkat

mengenai ketiga proses morfologis tersebut.

Clipping merupakan proses pemendekan kata polysyllabic atau bersuku kata banyak

dengan cara menghilangkan satu atau dua suku kata. O’Grady menyatakan bahwa proses ini

awalnya hanya digunakan pada komunikasi antar siswa, namun sejumlah kata hasil proses ini

pada akhirnya umum dipakai oleh penutur yang lain (1996; 157). Sejalan dengan hal tersebut

Harley (2006; 95) menyatakan :

In clippings, a multisyllabic word is reduced in size, usually to one or two syllables.

It’s often the case that a word is clipped because it comes into more common usage-its

frequency count increases- and speakers find that they don’t need to use the full

sesquipedalian version to identify the concept. They prefer a more quickly and easily

pronounced version.

Berikut adalah beberapa contoh kata yang merupakan hasil proses morfologis ini

berikut kata asalnya.

16
die Universität > die Uni ‘universitas’

der Professor > der Prof ‘profesor’

die Demonstration > die Demo ‘demonstrasi’

der Kugelschreiber > der Kulli ‘pulpen’

Sementara itu, blending bisa dikatakan sebagai proses pembentukan blends, yakni

kata-kata yang dibentuk dari gabungan dua kata yang lain dan membentuk makna yang baru.

Secara umum blending merupakan proses pembentukan kata dengan menggabungkan bagian

dari dua kata yang lain. Sama halnya dengan compounding, kata yang dihasilkan umumnya

membentuk pengertian yang baru. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dibentuk dari

proses morfologis ini.

unter + die Bahn > U-Bahn ‘kereta api bawah tanah’

die Sonne + der Tag > Sonntag ‘hari Minggu’

die Mitte + die Woche > Mittwoch ‘hari Rabu’

Adapun backformation merupakan proses pembentukan kata baru dengan

memindahkan afiks dari suatu kata. Proses ini bisa dikatakan sebagai kebalikan dari proses

afiksasi. Berikut adalah beberapa contoh kata yang dihasilkan dari proses morfologis ini.

die Vergangenheit ‘masa lalu’ > vergangen ‘sudah berlalu’

das Alter ‘usia’ > alt ‘tua’

einkaufen ‘berbelanja’ > der Einkauf ‘barang belanja’

17
Proses morfologi berikutnya adalah proses pembentukan acronyms. Acronyms

dibentuk dengan mengambil huruf awal beberapa kata dalam satu frase dan dibaca sebagai

satu kata. Berikut adalah beberapa contoh acronyms yang umumnya terkait dengan istilah

ilmiah serta nama organisasi.

DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst)

‘Dinas Pertukaran Pelajar Jerman’

DFB (Deutscher Fussball Bund)

‘Persatuan Sepak Bola Jerman’

2.5 Verba

Penentuan suatu kata termasuk verba atau bukan dapat dilihat dari ciri-cirinya. Nida

(1970: 181-186) mengemukakan bahwa verba dapat dilihat dari tiga segi yaitu ciri semantik,

ciri morfologis, dan ciri sintaktik. Ciri semantik adalah ciri yang bisa dilihat dari makna kata

misalnya verba “ambil” bermakna tindakan. Ciri morfologis adalah ciri yang dapat dilihat

dari bentuk kata yang telah mengalami proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi maupun

komposisi. Ciri sintaktik dapat dilihat dari hubungan kata yang satu dengan kata yang lain

dalam suatu frase, klausa atau kalimat. Hasan Alwi dkk (2003: 87) mengemukakan ciri-ciri

verba dapat diketahui dengan mengamati (1) perilaku semantis, (2) perilaku sintaksis, (3)

bentuk morfologisnya. Namun, secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari

kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, karena ciri-ciri (1) verba memiliki fungsi utama

sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai

fungsi yang lain, (2) verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses atau keadaan

yang bukan sifat atau kualitas, (3) verba khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat

18
diberi prefix ter- yang berarti ‘paling’, (4) pada umumnya verba tidak dapat bergabung

dengan kata-kata yang menyatakan makna ‘kesangatan’.

Menurut Kridalaksana (2005: 51) ditinjau dari segi bentuknya verba dapat dibedakan

atas dua bentuk yaitu (1) verba dasar bebas dan (2) verba turunan. Verba dasar bebas adalah

verba ang berupa morfem dasar bebas. Verba turunan adalah verba yang mengalami proses

morfologis seperti afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau berupa paduan leksem.

Ramlan (1997: 18) mengemukakan istilah kata verba mempunyai dua ciri yaitu (1)

dapat menduduki tempat predikat, dan (2) dapat diletakkan di belakang kata yang tidak

berfungsi sebagai pengingkarnya. Selanjutnya dikatakan bahwa verba dapat dibedakan

menjadi dua golongan yaitu verba transitive dan verba intransitive. Keraf (1991: 78-82)

mengemukakan bahwa verba dalam bahasa Indonesia adalah segala macam kata yang dapat

diperluas dengan kelompok kata dengan + kata sifat.

Berdasarkan beberapa konsep verba yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa verba ditentukan dengan melihat ciri morfologis, ciri sintaktik dan ciri

semantiknya. Ciri morfologis verba ditandai dengan sejumlah afiks yang berfungsi sebagai

pembentuk verba, pada ciri sintaktik, verba dapat berfungsi sebagai predikat. Ciri semantis

verba yaitu verba bermakna tindakan, proses atau keadaan.

2.6 Adjektiva

Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung

dengan partikel tidak (nicht), (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti

lebih (mehr), sangat (sehr), agak (ziemlich), (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, atau (5)

dibentuk menjadi nomina dengan konfiks (Kridalaksana, 2005: 59).

19
Adjektiva mempunyai lima macam ciri, yaitu (1) dapat berfungsi sebagai atribut, (2)

dapat berfungsi sebagai predikat, (3) dapat diingkarkan dengan kata tidak (nicht), (4) dapat

hadir berdampingan dengan kata lebih…..(mehr), daripada…..(als), atau paling….(am.. –

sten) Untuk menyatakan tingkat perbandingan, dan (5) dapat berdampingan dengan kata

penguat sangat (sehr) dan sekali (so) (Sasangka, 2000: 9).

Adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang

sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat. Adjektiva dicirikan oleh

kemungkinannya menyatakan tingkat kualitas dan tingkat bandingan acuan nomina yang

diterangkannya. Perbedaan tingkat kualitas ditegaskan dengan pemakaian kata seperti sangat

(sehr) dan agak (ziemlich) disamping adjektiva (Hasan Alwi dkk., 2003: 171).

2.7 Nomina

Nomina atau kata benda merupakan salah satu jenis kata utama selain kata kerja, kata

sifat dan kata keterangan. Alwi (2000; 213) mendeskripsikan nomina secara semantis sebagai

kata yang mempunyai referen terhadap manusia, binatang, benda, dan konsep atau

pengertian. Lebih lanjut, Alwi memaparkan bahwa berdasarkan bentuk morfologisnya,

nomina dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nomina yang berbentuk kata dasar serta

nomina bentuk turunan, yakni nomina yang diturunkan dari bentuk dasar kata lain.

Sedangkan Chaer (2008; 71-73) membagi nomina dari sisi semantis dalam sebelas tipe,

antara lain orang, orang metaforis, binatang, tumbuhan, buah-buahan, bunga-bungaan,

peralatan, makanan dan minuman, nama geografis, bahan baku, serta kegiatan. Menurut

Chaer (2008; 69-70), terdapat empat ciri utama nomina atau kata benda dilihat dari adverbial

pendampingnya, yakni (1) tidak dapat didahului oleh adverbial negasi tidak, (2) tidak dapat

20
didahului oleh adverbial derajat agak (lebih, sangat, paling), (3) tidak dapat didahului oleh

adverbial keharusan wajib, dan (4) dapat didahului oleh adverbial yang menyatakan jumlah

seperti satu, sebuah, sebatang, dan sebagainya.

2.8 Afiksasi

2.8.1 Afiks

Pembahasan mengenai afiks ini diawali dengan pemahaman tentang pengertian

morfem terlebih dahulu, mengingat afiks adalah salah satu jenis morfem. Stocwell dan

Minkova mendefinisikan morfem sebagai the smallest units that carry the fundamental

meanings of a language (Stockwell dan Minkova, 2001; 56). Lebih lanjut, Stockwell dan

Minkova menyatakan ada dua jenis morfem, yakni roots dan affixes. Setiap kata pasti

memiliki roots. Roots menjadi dasar proses penurunan atau derivasi kata dan umumnya telah

memiliki makna.

Sementara itu, Carstairs dan McCarty mengatakan ada dua jenis morfem, yakni yang

disebut sebagai free morphemes dan bound morphemes. Carstairs dan McCarty menyatakan

morphemes that can stand on their own are called free, and ones that cannot are bound.

Mereka mengkategorikan roots sebagai free morphemes dan afiks sebagai bound morphemes.

Afiks juga dapat didefinisikan sebagai satuan gramatik terikat, yang merupakan unsur

yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-

satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (M. Ramlan, 1997). Hal ini juga

dikemukakan oleh Plag, yang mendefinisikan afiks sebagai “a bound morpheme that attaches

to bases” (Plag, 2002; 90). Selanjutnya Plag menyatakan seringkali terdapat beberapa bentuk

dalam bahasa Jerman yang mirip afiks, namun ternyata bukan afiks melainkan morfem terikat

21
yang lain. Bentuk-bentuk ini seringkali disebut sebagai neoclassical elements dalam bahasa

Inggris (2002; 92). Bentuk-bentuk ini umumnya merupakan lexeme yang diserap dari bahasa

Latin ataupun Yunani. Berikut adalah beberapa contoh morfem terikat yang bukan afiks

dalam bahasa Jerman yang ditunjukkan pada elemen yang dicetak miring pada kata-kata di

bawah ini.

a. Biochemie b. Fotograf c. Geologie

‘biokimia’ ‘fotografi’ ‘ilmu geologi / ilmu bumi’

Biosphäre Fotomodell Biologie

‘Biosfir’ ‘fotomodel’ ‘ilmu biologi’

Biograph Fotoapparat Neuropathologie

‘biografi’ ‘kamera foto’ ‘neuropathologi’

Morfem bio, photo, dan logy merupakan morfem terikat yang bukan afiks, oleh

karenanya kata-kata tersebut bukanlah merupakan hasil afiksasi, melainkan hasil proses

compounding.

Sementara itu Parker menyebutkan bahwa: “the more familiar term for the class of

bound grammatical morphemes is affix (Parker, 1986; 69). Stockwell dan Minkova (2001;

63) menyatakan:

All morphemes which are not roots are affixes and affixes differ from roots in three

ways. (1) They do not form words by themselves-they have to be added on to a stem,

(2) their meaning, in many instances, is not as clear and specific as is the meaning of

roots, and many of them are almost completely meaningless, (3) compared with the

total number of roots, which is very large (thousands or tens of thousands in any

language), the number of affixes is relatively small (a few hundred at most).

22
Lebih lanjut Stockwell dan Minkova menyatakan secara umum afiks dalam suatu

bahasa dapat dikategorikan menjadi dua jenis yakni afiks-afiks yang berperan dalam

pembentukan kata baru, yakni afiks derivasional, serta afiks-afiks yang kurang berperan

dalam pembentukan kata baru, yakni yang dikenal sebagai afiks infleksional. Mereka

menegaskan, bahwa afiks derivasional yang sangat berperan dalam pembentukan kata baru,

sedangkan afiks infleksional tidak lebih dari pembentukan kata yang didasari oleh perubahan

fungsi gramatikal kata dan oleh karenanya seringkali tidak disertai perubahan makna leksikal

dari kata tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Kelly yang menyatakan,

Of affixes there are two kinds: inflectional and derivational. The former does not

change the meaning of the root. Instead, it provides the hearer with additional
information (e.g. the –ing ending on a verb marks progressive action). The latter can

change the meaning of the root.

2.8.2 Afiksasi

Proses pembubuhan afiks ini terjadi dengan suatu proses morfemis yang dikenal

sebagai proses afiksasi. Prosess afiksasi merupakan salah satu proses morfologis yang amat

berperan dalam pembentukan kata baru. Beberapa ahli bahasa menyatakan afiksasi sebagai

proses mendasar dalam pembentukan kata baru. Salah seorang yang menyatakan ini adalah

Szymanek (1989), yang menyatakan: “Affixation is probably the most frequent and wide-

spread method of producing morphologically complex words in human language”.

Hal senada juga dikemukakan oleh Verhaar, yang menyatakan bahwa di antara proses-

proses morfemis, yang terpenting adalah afiksasi, yaitu proses pengimbuhan afiks. Verhaar

juga menyatakan bahwa fungsi utama proses afiksasi ada dua, antara lain fleksi dan derivasi.

Fleksi merupakan proses afiksasi yang menghasilkan alternant-alternan dari bentuk yang

tetap merupakan kata, atau unsur leksikal, yang sama. Sedangkan derivasi merupakan proses

afiksasi yang menurunkan kata atau unsur leksikal yang lain dari kata atau unsur leksikal

tertentu (Verhaar, 2006; 107). Sementara itu Chaer mendefinisikan afiksasi sebagai proses

pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar yang melibatkan tiga unsur, yakni

23
dasar atau bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang dihasilkan (Chaer, 2003; 177).

Proses afiksasi dapat merubah jenis kata (seperti misalnya pada kata der Glück menjadi

glücklich) atau mengubah makna kata (seperti pada kata die Neble menjadi neblig). Lebih

lanjut Chaer menyatakan bahwa, proses afiksasi ini bisa bersifat inflektif maupun derivatif.

2.8.2.1 Afiksasi Derivasional

Derivasi dapat diartikan sebagai proses afiksasi penurunan satu kata dari bentuk

dasarnya, baik bentuk dasar yang samam maupun bentuk dasar dari kata yang lain, dengan

disertai perubahan makna leksikal. Finegan menyatakan dua ciri umum afiksasi derivasional,
yakni (1) mengubah makna suatu kata dan (2) mengubah kategori leksikal dari kata tersebut

(Finegan, 2004; 49). Berikut adalah beberapa contoh dari afiksasi derivasional:

der Bau (N) ‘bangunan’ > verbauen (V) ‘membangun’

gross (Adj.) ‘besar’ > vergrössern (V) ‘membesarkan’

vergangen (V) ‘sudah berlalu’ > die Vergangenheit (N) ‘masa lalu’

Jenis derivasi dipengaruhi oleh asal atau dasar kata yang mengalami proses derivasi.

Misalnya der Bau ‘bangunan’ (N) diturunkan menjadi verbauen ‘membangun’ (V) karena

berasal dari nomina maka disebut dengan derivasi denominal dan karena hasilnya sebuah

verba, maka verba verbauen disebut verba denominal. Proses gross ‘besar’ (adj) diturunkan

menjadi vergrössern ‘membesarkan’ disebut derivasi deadjektival dan karena hasilnya

adalah verba, maka verba vergrössern disebut verba deadjektival. Proses vergangen ‘sudah

berlalu’ (V) diturunkan menjadi die Vergangenheit ‘masa lalu’ (N) karena berasal dari verba,

maka disebut derivasi deverbal dan karena hasilnya sebuah N maka N die Vergangenheit

disebut nomina deverbal (Verhaar, 2006: 151).

24
2.8.2.2 Afiksasi Infleksional

Berbeda dengan afiksasi derivasional, afiksasi infleksional tidak menghasilkan lexeme

baru namun lebih cenderung menghasilkan word-forms yang baru (Bauer, 1983; 29). Afiksasi

infleksional hanya melibatkan jumlah afiks yang terbatas dan sangat terkait dengan

kesesuaian gramatika yang disebut sebagai concord and agreement. Carstairs dan McCarty

(2002; 49) menyatakan,

Some words (lexemes) have more than one word form, depending on the grammatical

context or on choices that grammar forces us to make (for example, in nouns, between

singular and plural). This kind of word formation is called ‘inflectional’.

Sama halnya dengan pembentukan nomina, afiks-afiks infleksional yang digunakan

untuk verba juga dapat dibedakan menjadi afiks yang umum atau regular dan juga irregular.

Bentuk umum atau regular adalah pembentukan kata kerja yang menunjukkan past tense

yakni dengan sufiks –te / -tet ataupun bentuk progressive yakni dengan penambahan –en.

Adapun bentuk irregular inflection dalam pembentukan kata kerja adalah yang terkait dengan

bentuk irregular verbs. Bentuk verba yang termasuk irregular verbs bisa berupa bentuk yang

tetap atau zero inflection atau dengan bentuk yang sangat berbeda dengan bentuk dasar verba.

Pembentukan adjektiva dengan proses afiksasi infleksional terkait dengan Steigerung

yakni perbandingan dalam bahasa Jerman yang umumnya dilakukan dengan penambahan

afiks –er untuk menyatakan tingkatan lebih (komparativ) dan –sten untuk tingkatan paling

(superlativ). Carstairs dan McCarty (2002; 41) menyatakan bahwa penambahan sufiks –er

dan –sten sebagai regular pattern of suffixation, sedangkan untuk pembentukan kata gut

menjadi besser dan am bensten sebagai suppletive disebut irregular.

25
Bibliografi

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 2003. Tata

Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Bauer, Laurie. 1983. English Word-Formation. Cambridge: Cambridge University Press.

Carstairs, Andrew and McCarty. 2002. An Introduction to English Morphology : Words and

Their Structure. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka

Cipta.

Finegan, Edward. 2004. Language: Its Structure and Use. Fourth Edition. Boston:

Wadsworth-Thomson Corporation.

Harley, Heidi. 2006. English Words: A Linguistic ntroduction. Malden, MA 02148-5020,

USA: Blackwell Publishing.

Johnson, Burke and Lary Christensen. 2008. Educational Research : Quantitative,

Qualitative, and Mixed Approach Third Edition. California: Sage Publications.

Kelley, Wendy. (tanpa tahun). Eight Derivational Suffixes in American English.

http://www.xmission.com/~ladyslvr/wlk/suffixes.htm).

26
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. (Edisi Kedua). Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama.

Nida, Eugene A. 1970. Morphology: The Descriptive analysis of words. (Second Edition)

Ann Arbor. The University of Michigan Press.

O’Grady, William, Michael Dobrovsky and Francis Katamba. 1996. Contemporary

Linguistics - An Introduction (3rd ed.). Edinburgh: Pearson Education Limited.

Parker, Frank. Linguistics for Non-Linguists. London: Taylor & Francis Ltd.

Plag, Ingo. 2002. Word-Formation in English. Cambridge: Cambridge University Press.

Ramlan, M. 1997. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.

Sasangka, Wisnu. 2000. Adjektiva dan Adverbia dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Stockwell, Robert dan Donka Minkova. 2001. English Words: History and Structure.

Cambridge: Cambridge university press.

Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UPT

Penerbitan dan Perctakan UNS / UNS Press.

Szymanek, Bogdan. 1989. Introduction to Morphological Analysis. Warsawa: Panstwowe

Wydawnictwo Naukowe.

Trask, R. L. 1999. Key Concepts in Language and Lingustics. New York: Roudledge.

Verhaar, J. W. M. 2006. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

27
28

Anda mungkin juga menyukai