Case Report Dki GGPC
Case Report Dki GGPC
Oleh
Preceptor
dr. Kemas Abdul Hamid
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
PT. GREAT GIANT FOOD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
DAFTAR ISI
i
3.2.4 Patogenesis ...................................................................................... 19
3.2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 20
3.2.6 Diagnosis......................................................................................... 22
3.2.7 Tatalaksana ..................................................................................... 24
3.3 Abemectin ............................................................................................... 26
3.3.1 Ciri Umum ...................................................................................... 26
3.3.2 Penggunaan Utama ......................................................................... 27
3.3.3 Bahaya Terhadap Kesehatan ........................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN..................................................................................... 28
LAMPIRAN .......................................................................................................... 35
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kecelakan bukan hanya sebuah masalah dalam industri yang “tidak aman” seperti
pertambangan dan konstruksi. Selain itu, keamanan dan pencegahan kecelakaan
telah menjadi perhatian para manajer karena beberapa alasan, salah satunya adalah
jumlah kecelakan yang berhubungan dengan pekerjaan ternyata mengejutkan.
Menurut BPJS Ketanagakerjaan pada tahun 2017 terdapat 123.041 kecelakaan
kerja, angkat tersebut meningkat pada tahun 2018, tercatat terdapat 173.105
kecelakaan kerja. Selain itu, kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah
suatu kejadian yang tidak terencana dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan
atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau
kemungkinan akibat lainnya.
5
1.2 Tujuan
Melakukan penegakan diagnosis okupasi pada pekerja PT GGP.
Memberikan saran yang sesuai untuk mencegah terjadinya kecelakan akibat
kerja yang sama.
1.3 Metodelogi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien dan melakukan penelusuran
kepustakaan.
6
BAB II
ILUSTRASI KASUS
7
terpapar dengan bahan kimia (abamektin). Keluhan baru dirasakan pertama kali.
Pasien belum melakukan pengobatan apa pun terkait keluhannya.
2. Uraian Tugas
Pasien bertugas untuk menyemprot daun pisang dengan bantuan mesin
martignani. Selama proses kerja pasien dalam posisi duduk di atas unit traktor,
namun terkadang pasien juga bekerja dalam posisi berdiri dengan
menggunakan mesin gendong (manual) untuk menyemprot daun pisang.
8
Penggunaan mesin martignani dilakukan secara rutin, sedangkan penggunaan
mesin gendong (manual) hanya selama 1-2 hari dalam seminggu. Pasien
bekerja selama 8 jam per hari, dengan waktu istirahat selama 1 jam dan waktu
libur 1 hari pada hari minggu. Pekerja menggunakan sepatu boot ataupun karet
pribadi dengan baju khusus (wearpack). Alat Pelindung Diri (APD) yang
dipakai beberapa pekerja seperti helm, goggles , masker, sarung tangan, dan
sepatu boots. Sedangkan pada kasus ini, pasien tidak menggunakan sepatu
boots sehingga pasien beresiko terpapar zat-zat yang berbahaya. Dari
permasalahan tersebut perlu dilakukan identifikasi terhadap bahaya potensial
yang mungkin ada sebagai faktor risiko penyakit akibat kerja atau penyakit
yang berhubungan dengan pekerjaan.
3. Bahaya Potensial
Tempa
Bahaya Lama
Masalah Kesehatan t
Potensial Kerja
Kerja
Suhu panas : heat stroke, heat
exhaustion,sinkope, miliaria,
eritema, heat cramps.
Fisik Agro 8 jam/hari
Radiasi UV : iritasi kulit, luka
bakar,
konjungtivitis, katarak.
Resiko dermatitis kontak,
Kimia intoksikasi, karena terpapar Agro 8 jam/hari
bahan kimia (insektisida).
Infeksi jamur akibat berkeringat
karena suhu panas, gigitan
Biologis serangga atau gigitan ular di area Agro 8 jam/hari
perkebunan, infeksi kulit akibat
bakteri.
Psikologis - - -
9
Bekerja selama 8 jam di
area
perkebunan
pisang bagian banana NBS
Ergonomi membuat pasien bekerja dengan Agro 8 jam/hari
posisi duduk atau berdiri dalam
jangka waktu yang cukup
lama sehingga dapat
menimbulkan keluhan gangguan
sendi/otot, dll
10
Gambar 1. Diagram Fishbone (Analisis Hubungan Pekerjaan dengan
2. Faktor Method
Kurangnya penyuluhan kepada pekerja tentang pentingnya mengenali
dan mencegah PAK, serta cara kerja pasien yang berisiko berkontak
dengan bahan kimia insektisida.
11
3. Faktor Material
Perlengkapan APD yang digunakan tidak lengkap saat bekerja dan
bahan aktif insektisida (abamektin) yang bersifat iritan.
Status Generalis
Kepala
Rambut : hitam tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), palpebra edema
(-/-)
Telinga : serumen (-/-), otorea (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), rinore (-/-)
Mulut : bibir kering dan pecah-pecah (-)
Kuku : tidak tampak pitting nail
Leher
Inspeksi : devasi trakea (-)
Palpasi : JVP normal, massa (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid
(-)
12
Thoraks
Inspeksi : gerakan pernafasan simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan ekspansi dada simetris, massa (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+) ronki (-/-) wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut datar, massa (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba Perkusi :
timpani
Auskultasi : bising usus (+) 4x/menit
Status Dermatologis
Regio : Ankle bilateral, dorsum pedis bilateral
Efloresensi : Terdapat plak hiperpigmentosa multiple, bentuk tidak teratur,
batas tegas, dengan ukuran terkecil 2 x 1,2 cm dan ukuran
terbesar 6 x 3,1 cm, diskret, sebagian ditutupi skuama kasar
putih selapis.
1. Diagnosa Klinis
Dermatitis Kontak Iritan Kronik Kumulatif Ec Abamektin
13
Pajanan kimia : pajanan abamektin
2.7 Resume
Pasien mengeluhkan muncul bercak kehitaman dan bersisik disertai perih dan panas
pada kedua punggung kaki sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan muncul setelah pasien terpapar zat aktif insektisida yaitu
14
abamektin yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga dan
kutu-kutu pada tanaman.
Pasien bekerja di perkebunan pisang GGF bagian martignani NBS sejak
2 tahun yang lalu
2.9 Penatalaksanaan
Umum:
Menggunakan alat pelindung diri saat bekerja
Mengedukasi untuk mengonsumsi obat secara teratur.
Menghindari/ meminimalisasi paparan terhadap sumber iritan.
Khusus: Medikamentosa
Sistemik : Tablet Cetirizine 10 mg/ 24 jam
Tablet Dexametason 0,5mg/12 jam
Topikal : Salep Betametasone valerate/12 jam
2.10 Prognosis
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
memiliki pembuluh darah. Epidermis avaskular mendapat nutrisi dari
dermis yang memiliki vaskularisasi. Kulit juga disuplai ujung saraf
aferen yang sensitif terhadap sentuhan, nyeri, dan temperatur.
Sebagian besar terminal saraf berada pada dermis, tetapi beberapa ada
yang menembus ke epidermis. Lapisan epidermis terdiri atas stratum
korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum,
dan stratum basale. Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling
luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak
berinti, dan telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum
lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti lapisan tersebut tampak lebih jelas
di telapak tangan dan kaki, selanjutnya ada stratum granulosum,
stratum spinosum, dan stratum basal (Moore et al, 2002 & Paulsen et
al, 2013).
b) Dermis : suatu lapisan padat berisi jalinan serabut elastik dan kolagen.
Terdiri dari pars papilare adalah bagian yang menonjol ke epidermis,
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. Serabut tersebut
memberi tonus kulit dan menyebabkan kekuatan dan kekerasan pada
kulit. Lapisan dalam dermis (pars retikulare) mengandung folikel
rambut, dengan otot polos arektor dan kelenjar sebasea. Kontraksi otot
polos arektor rambut (ligamentum musculi arektor pili) membuat
rambut berdiri pada saat merinding (Moore et al, 2002 & Paulsen et
al, 2013).
c) Jaringan subkutan : sebagian besar terdiri dari jaringan penyambung
longgar dan simpanan lemak, dan mengandung kelenjar keringat,
pembuluh darah superfisial, pembuluh limfe. (Moore et al, 2002 &
Paulsen et al, 2013).
3.2 Dermatitis
3.2.1 Definisi
Dermatitis adalah kelainan kulit yang subjektif ditandai oleh rasa gatal dan
secara klinis terdiri atas ruam polimorfi yang umumnya berbatas tidak tegas
17
(Wolff, 2009). Menurut American Medical Association, dermatitis
seringkali cukup digambarkan sebagai peradangan kulit, timbul sebagai
turunan untuk eksim, kontak (iritan dan alergi) (HSE UK, 2004). Dermatitis
kontak merupakan respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang dapat
bersifat akut maupun kronik, karena paparan dari bahan iritan eksternal yang
mengenai kulit (Firdaus, 2003).
Dermatitis yang terjadi pada pekerja adalah dermatitis kontak akibat kerja.
Dermatitis kontak akibat kerja didefinisikkan sebagai penyakit kulit yang
didapatkan dari pekerjaan akibat interaksi yang terjadi antara kulit dengan
substansi yang digunakan di lingkungan kerja, dimana pajanan di tempat
kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor (Streit
dan Lasse, 2001). Bentuk respon dari dermatitis kontak dihasilkan melalu
satu atau dua jalur utama, iritan atau alergi, dimana 80% didominasi oleh
dermatitis kontak iritan dan sisanya 20% adalah dermatitis kontak alergi.
Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Streit dan Lasse, 2001).
3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi dermatitis kontak akibat kerja bervariasi di tiap negara, hal ini
terjadi karena tidak adanya definisi standarisasi kasus, metode diagnostik,
dan sistem pencatatan yang jelas. Berdasarkan literatur, angka kejadian
DKAK bervariasi pada tiap-tiap negara berkisar antara 5 hingga 19 kasus
per 10,000 pekerja setiap tahunnya. Prevalensi tinggi ditemukan pada
kelompok pekerja khusus seperti perawat, penata rambut, pekerja
pengolahan makanan, dan pekerja besi (Witasari dan Sukanto, 2014).
18
dermatitis kontak baru yang datang ke Divisi Alergi dan Imunologi URJ
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo) adalah sebanyak 5,4%.
3.2.3 Etiologi
Salah satu penyebab dari dermatitis kontak akibat kerja yaitu bahan kimia
yang kontak dengan kulit saat melakukan pekerjaan. Untuk dapat
menyebabkan dermatitis kontak, pertama bahan kimia harus mengenai kulit
kemudian melewati lapisan permukaan kulit dan kemudian menimbulkan
reaksi yang memudahkan lapisan di bawahnya untuk terkena. Lapisan
permukaan kulit mempunyai ketahanan luar biasa untuk dapat ditembus
sehingga disebut lapisan barrier. Lapisan barrier menahan air dan
mengandung air kurang dari 10% untuk dapat berfungsi secara baik. Celah
diantara lapisan barrier ada kelenjar minyak dan akar rambut yang terbuka
dan merupakan tempat yang mudah ditembus (HSE UK, 2004).
3.2.4 Patogenesis
Beberapa jalur yang saling terkait diduga terlibat pada DKI antara lain
gangguan fungsi barier kulit, stimulasi sel epidermis, dan pelepasan
mediator proinflamasi dari keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk,
2014). Terjadinya DKI diawali dengan adanya paparan iritan yang mampu
penetrasi menembus pertahanan kulit dan menyebabkan kerusakan
keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk, 2014).
19
oleh adanya iritan, selanjutnya terjadi pelepasan mediator inflamasi, aktivasi
limfosit dan respon vaskular (Smith dkk, 2002; Chew dan Maibach, 2006).
Pada kasus kronis atau kumulatif terjadi kerusakan lapisan pertahanan lipid
akibat hilangnya kohesi korneosit dan deskuamasi. Kondisi ini selanjutnya
dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan transepidermal sebagai
akibat terganggunya fungsi barier kulit (Chew dan Maibach, 2006; Elberting
dkk, 2014). Gangguan fungsi barier akibat paparan surfaktan menginduksi
pelepasan sitokin seperti interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6 dan
tumor necrosis factor-α dari keratinosit. Sitokin ini kemudian beraksi
sebagai sinyal pelepasan kemokin proinflamasi yang akan menarik sel
mononuklear dan polimorfonuklear pada area yang terpapar bahan iritan
(Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk, 2014).
20
eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan
nekrosis jaringan pada kasus yang berat.
f) Dermatitis gesekan
Iritasi mekanik dapat terjadi akibat mikrotrauma dan gesekan berulang.
Dermatitis tipe ini umumnya menyebabkan kulit menjadi kering,
hiperkeratotik pada kulit yang terabrasi dan kulit lebih rentan terhadap
iritan.
21
g) Reaksi traumatik
Reaksi traumatik dapat terjadi setelah trauma kulit akut seperti terbakar
atau laserasi, biasanya sering timbul pada tangan dan dapat bertahan 6
minggu atau lebih. Proses penyembuhan dermatitis tipe ini lama dan
dapat muncul lesi berupa eritema, skuama, papul, atau vesikel.
Perjalanan klinis dapat menyerupai dermatitis numularis.
3.2.6 Diagnosis
Secara garis besar diagnosis dermatitis kontak dilakukan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan juga pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Selain riwayat perjalanan penyakit, pada anamnesis perlu ditanyakan
riwayat atopi, perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan
dan pengobatan yang pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan
sendiri. Namun yang paling penting ditanyakan pada anamnesis antara
lain:
22
1. Riwayat pekerjaan sekarang: tempat bekerja, jenis pekerjaan,
kegiatan yang lazim dilakukan pada hari kerja, pakaian pelindung
dan peralatan, dan fasilitas kebersihan dan prakteknya.
2. Faktor pekerjaan sehubungan dengan gangguan kulit seperti
material yang dipakai dan proses yang dilakukan, informasi
mengenai kesehatan dan keselamatan tentang material yang
ditangani, apakah ada perbaikan pada akhir pekan atau pada hari
libur, riwayat kerja yang lalu sebelum bekerja di tempat tersebut,
riwayat tentang penyakit kulit akibat kerja yang pernah diderita,
apakah ada pekerjaan rangkap di samping pekerjaan yang sekarang
3. Riwayat lainnya secara umum: latar belakang atopi (perorangan atau
keluarga), alergi kulit, penyakit kulit lain, pengobatan yang telah
diberikan, kemungkinan pajanan di rumah, dan hobi pasien.
b) Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelianan apakah sesuai dengan kontak
bahan yang dicurigai, yang tersering adalah daerah tangan, lengan, muka
atau anggota gerak. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan
melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada
seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebabsebab endogen
c) Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan khusus untuk memastikan
diagnosis DKI. Tes tempel dan uji provokasi tidak dianjurkan karena
tingkat positif palsu yang tinggi. Tetapi pada beberapa literatur, tes
tempel dilakukan untuk membedakan DKA dan DKI. Sensitifitas dan
spesifisitas uji tempel berkisar 70%, hal ini menyebabkan hasil positif
palsu masih sering dapat terjadi sehingga data epidemiologi DKI dapat
under/over-estimation. Hasil uji tempel positif mengindikasikan DKA
dan sebaliknya hasil negatif dapat dipertimbangkan sebagai DKI. Reaksi
23
alergi umumnya bersifat kresendo (peningkatan keparahan seiring
waktu) sementara reaksi iritan umumnya bersifat dekresendo
(penurunan keparahan seiring waktu) (Chew dan Maibach, 2006)
Salah satu diagnosis banding dari DKI adalah dermatitis kontak alergi
(DKA). Adapun karakteristik yang membedakan DKI dengan DKA adalah
sebagai berikut
3.2.7 Tatalaksana
Berdasarkan hasil penelitian, gejala DKAK dapat berkurang ketika
penderita beristirahat dari pekerjaannya dan kekambuhan saat bekerja
bervariasi, yaitu 35-80%
24
2. Para karyawan dilengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung yang
bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya merangsang
atau karsinogen seperti baju pelindung dan sarung tangan.
3. Melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima di suatu
perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini, karyawan baru dapat
ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan
terhadap dirinya.
4. Pemeriksaan kesehatan berkala yang bertujuan untuk mengetahui
dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit kulit
akibat kerja.
5. Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara
sukarela untuk mengetahui apakah ada menderita suatu dermatosis
akibat kerja
6. Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia, dan ahli dalam bidang
tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja, atau
memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan
untuk mencegah kontaminasi kulit.
25
o Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi
aktivitas mitotik, dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat
mensupresi pengeluaran histamine, sehingga bisa juga sebagai
antipruritus.
3.3 Abemectin
3.3.1 Ciri Umum
Abamektin adalah bahan aktif insektisida yang merupakan campuran
avarmektin B1a dan B1b (makrolida) yang dihasilkan dari fermentasi
bakteri tanah Streptomyces avermitilis. Abamektin bersifat sebagai racun
kontak dan racun perut. Insektisida tersebut bekerja sebagai racun saraf yang
26
mengaktifkan pembukaan saluran ion klorida pada sel saraf sehingga
mengakibatkan kelumpuhan dan kematian serangga. Di Indonesia pada
tahun 2014 terdapat delapan formulasi berbahan aktif abamektin yang
terdaftar untuk mengendalikan hama Plutella xylostella. Selain P. xylostella,
hama sasaran lain formulasi insektisida berbahan aktif abamektin adalah
berbagai jenis hama ulat, kutu daun, trips, pengorok daun, kepik, rayap, dan
lalat pada berbagai jenis tanaman (Aini, 2016).
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Analisis Kasus
28
rutin, sedangkan penggunaan mesin gendong (manual) hanya selama 1-2 hari
dalam seminggu.
Nama kimia Abamektin adalah avermektin yang memiliki sifat biologis dan
toksiologi. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
dikatakan bahwa tenaga kerja yang kontak dengan abamektin harus memakai
kacamata untuk mencegah kontak mata dan pakaian pelindung lainnya untuk
mencegah timbulnya reaksi peradangan kulit yang bersifat iritatif. Tidak ada
batas paparan kerja yang telah ditetapkan untuk abamektin dalam
menimbulkan reaksi kulit tetapi dikatakan oleh OSHA bahwa kontak yang
berkepanjangan dapat menimbulkan reaksi kulit. Oleh karena itu, diperlukan
adanya APD yang tepat dan pemakaian APD oleh tenaga kerja yang rutin
sehingga mengurangi dari timbulnya penyakit akibat kerja. Abamektin dapat
menimbulkan reaksi kulit disebabkan formulasi konsentrat abamektin yang
bersifat cair lebih mudah diserap kulit daripada formulasi yang berbentuk
butiran.
29
(peradangan) akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan atau subtansi
yang menempel pada kulit. Dermatitis kontak terbagi menjadi 2, yaitu:
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA).
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik
disebabkan oleh bahan kimia iritan. Sedangkan, dermatitis alergik terjadi
pada seorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen dan
merangsang reaksi hipersensitivitas tipe IV.
30
10 mg/ 24 jam diminum setelah makan. Antihistamin diberikan untuk
mendapatkan efek sedatif guna mengurangi gejala gatal. Selain itu pasien juga
diberikasn dexametasone 0,5 mg sebanyak 2x1 setelah makan untuk anti
inflamasi. Kortikosteroid diberikan pada kasus yang sedang dan berat secara
oral maupun im dan iv. Pilihan terbaik adalah prednison atau prednisolone.
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit, mengurangi
molekul CD 1 dan HLA-DR pada sel langerhans, menghambat pelepasan IL-
2 dari limfosit T dan menghambat sekresi IL-1 dan TNF-a. Kortikosteroid
oral diberikan pada kasus akut dengan intensitas gejala sedang hingga berat
serta pada DKI yang sulit disembuhkan.
Salep topikal berupa betametasone valerat dioleskan secara tipis pada tempat
luka sebanyak 2x1. Efek katabolik dari kortikosteroid topikal dapat dilihat
dari kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Adapun
efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan kortikosteroid topikal dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi epidermal dan dapat
menyebabkan efek vaskular seperti telangiektasis dan purpura.
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Sesuai dengang tujuan pembuatan laporan kasus ini, tujuan yang diharapkan adalah
munculnya penyelesaian masalah, sehingga kesehatan dan keselamatan kerja dapat
tercapai. Oleh karena itu, terkait dengan kasus ini saran yang dapat kami sampaikan
untuk menghindari kejadian kasus serupa adalah sebagai berikut.
32
5.2.1 Saran Bagi Pekerja
Menghindari/ meminimalisasi kontak langsung dengan insektisida
(abamektin) yang terdapat pada lingkungan kerja disertai dengan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.
33
DAFTAR PUSTAKA
Amado, A., Sood, A., Taylor, J.S. 2012. Irritant contact dermatitis. Dalam:
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff,
K., penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi 8. New
York USA: McGraw-Hil, 499-506.
Chew, A.L., Maibach, H.I. 2006. Ten Genotypes of Irritant Contact Dermatitis.
Dalam: Chew, A.L., Maibach, H.I., penyunting. Irritant Dermatitis. New
York: Springer, 5-9.
Firdaus U. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja: Penyakit Kulit Akibat Kerja
Terbanyak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no. 5.
Smith, H.R., Basketter, D.A., McFadden, J.P. 2002. Irritant dermatitis, irritancy and
its role in allergic contact dermatitis. Clin Exp Dermatol, 27, 138-46.
Streit, M., dan Lasse R. B., 2001. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology.
Acta Odontol Scand 59: 309-314.
Tan, C.H., Rasool, S., Johnson, G.A. 2014. Contact dermatitis: Allergic and irritant.
Clin J Dermatol, 32, 116-24.
34
LAMPIRAN
35
36
1