Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT

Dermatitis Kontak Iritan Kronik Kumulatif Ec Abamektin

Oleh

Nabila Fatimah A 1718012090


Reffilia Irfa 1718012097
Lantani Nafisah H 1718012117
Aprina Adha W 1718012149
Cakra Wijaya 1718012161
Deno Madasa Subing 1718012049
Ocsi Zara Zettira 1718012119
Vinnyssa Anindita 1718012101
Naufal Rafif Putranta 1718012105
Nindya Augesti 1918012017

Preceptor
dr. Kemas Abdul Hamid

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
PT. GREAT GIANT FOOD
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii

DAFTAR TABEL .................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 5


1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 5
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 6
1.3 Metodelogi ................................................................................................ 6
1.4 Tempat dan Waktu .................................................................................... 6

BAB II ILUSTRASI KASUS ................................................................................ 7


2.1 Identitas Pasien ......................................................................................... 7
2.2 Anamnesis Penyakit ................................................................................... 7
2.3 Anamnesis Okupasi .................................................................................. 8
2.4 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 12
2.5 Diagnosis Okupasi ................................................................................. 13
2.6 Pemeriksaan Anjuran .............................................................................. 14
2.7 Resume ................................................................................................... 14
2.8 Kategori Kesehatan ................................................................................. 15
2.9 Penatalaksanaan ...................................................................................... 15
2.10 Prognosis .............................................................................................. 15

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 16


3.1 Anatomi Kulit ......................................................................................... 16
3.2 Dermatitis ............................................................................................... 17
3.2.1 Definisi ............................................................................................ 17
3.2.2 Epidemiologi ................................................................................... 18
3.2.3 Etiologi ............................................................................................ 19

i
3.2.4 Patogenesis ...................................................................................... 19
3.2.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 20
3.2.6 Diagnosis......................................................................................... 22
3.2.7 Tatalaksana ..................................................................................... 24
3.3 Abemectin ............................................................................................... 26
3.3.1 Ciri Umum ...................................................................................... 26
3.3.2 Penggunaan Utama ......................................................................... 27
3.3.3 Bahaya Terhadap Kesehatan ........................................................... 27

BAB IV PEMBAHASAN..................................................................................... 28

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 32


5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 32
5.2 Saran ...................................................................................................... 32
5.2.1 Saran Bagi Pekerja ......................................................................... 33
5.2.2 Saran Bagi Pihak Manajemen PT. Great Giant Food ..................... 33

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

LAMPIRAN .......................................................................................................... 35

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Fishbone (Analisis Hubungan Pekerjaan dengan ................ 11


Gambar 2. Anatomi Kulit ..................................................................................... 16

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Anamnesis Okupasi ................................................................................... 8


Tabel 2. Bahaya Potensial ....................................................................................... 9
Tabel 3. Perbedaan karakteristik DKA dan DKI ................................................... 24

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecelakaan adalah semua kejadian yang tidak direncanakan yang menyebabkan
atau berpotensial menyebabkan cidera, kesakitan, kerusakan atau kerugian lainnya.
Kecelakaan yang terjadi ditempat kerja atau dikenal dengan kecelakaan kerja.
Kecelakaan kerja ini dapat diartikan sebagai kecelakaan berhubungan dengan kerja
termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja demikian pula kecelakaan
yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan
pulang kerumah melalui jalan biasa atau wajar dilalui. Keselamatan kerja
merupakan suatu keadaan terhindar dari bahaya saat melakukan kerja. Keamanan
dan kesehatan kerja merupakan salah satu faktor yang penting agar berlangsungnya
roda pendapatan yang diterima oleh organisasi itu berjalan dengan baik. Ada
banyak tujuan untuk mengetahui klasifikasi kejadian kecelakaan kerja, salah
satunya adalah dasar untuk mengidentifikasi proses alami suatu kejadian seperti
dimana kecelakaan terjadi, apa yang karyawan lakukan, dan apa peralatan atau
material yang digunakan oleh karyawan.

Kecelakan bukan hanya sebuah masalah dalam industri yang “tidak aman” seperti
pertambangan dan konstruksi. Selain itu, keamanan dan pencegahan kecelakaan
telah menjadi perhatian para manajer karena beberapa alasan, salah satunya adalah
jumlah kecelakan yang berhubungan dengan pekerjaan ternyata mengejutkan.
Menurut BPJS Ketanagakerjaan pada tahun 2017 terdapat 123.041 kecelakaan
kerja, angkat tersebut meningkat pada tahun 2018, tercatat terdapat 173.105
kecelakaan kerja. Selain itu, kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah
suatu kejadian yang tidak terencana dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan
atau reaksi suatu objek, bahan, orang, atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau
kemungkinan akibat lainnya.

5
1.2 Tujuan
 Melakukan penegakan diagnosis okupasi pada pekerja PT GGP.
 Memberikan saran yang sesuai untuk mencegah terjadinya kecelakan akibat
kerja yang sama.

1.3 Metodelogi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien dan melakukan penelusuran
kepustakaan.

1.4 Tempat dan Waktu


Anamesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada PT GGP pada tanggal 23 Oktober
2019.

6
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 50 tahun
Pekerjaan : Pegawai GGF bagian Banana (PG-III)
Alamat : Gunung Batin
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP

2.2 Anamnesis Penyakit


Keluhan Utama
Bercak kehitaman dan bersisik disertai perih dan panas pada kedua punggung kaki
sejak 1 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik agro GGF dengan keluhan terdapat bercak kehitaman
dan bersisik pada kulit di kedua punggung kaki sejak 1 bulan yang lalu. Bercak
kehitaman bersisik disertai rasa perih (terbakar) dan panas. Pasien mengaku bercak
kehitaman bersisik tersebut timbul setelah pasien terkena bahan kimia (abamektin).
Abamektin merupakan insektisida yang digunakan untuk mengendalikan hama
serangga dan kutu pada tanaman. Awalnya muncul bercak kemerahan di ibu jari
kaki namun lama kelamaan bercak tersebut semakin meluas dan berubah menjadi
kehitaman disertai sisik. Selain itu pasien juga merasa kulitnya menjadi kering.
Perih dan panas yang dirasakan juga semakin lama semakin meningkat tanpa
adanya rasa gatal. Keluhan hanya muncul pada bagian punggung kaki, tidak
menjalar ke bagian lainnya. Sebelumnya pasien mengaku saat bekerja jarang
menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boots sehingga pasien sering

7
terpapar dengan bahan kimia (abamektin). Keluhan baru dirasakan pertama kali.
Pasien belum melakukan pengobatan apa pun terkait keluhannya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi makanan : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat bersin pagi hari : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan Kerja


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal

2.3 Anamnesis Okupasi


1. Jenis Pekerjaan
Tabel 1. Anamnesis Okupasi

Bahan/Material yang Tempat Kerja Lama


Jenis Pekerjaan
Digunakan (perusahaan) Kerja
Martignani NBS Celana dan baju Di lapangan 8jam/hari
Banana (Boom berbahan khusus perkebunan setiap hari;
Spraying), bertugas (wearpack). sepatu pisang dengan Istirahat 1
menyemprot daun boot/karet, fungisida. area pekerjaan jam/ hari;
pisang dengan suhu panas, dan Libur 1
bantuan mesin APD: berdebu. hari/minggu
martignani. Helm, goggles, sarung
tangan, masker.

2. Uraian Tugas
Pasien bertugas untuk menyemprot daun pisang dengan bantuan mesin
martignani. Selama proses kerja pasien dalam posisi duduk di atas unit traktor,
namun terkadang pasien juga bekerja dalam posisi berdiri dengan
menggunakan mesin gendong (manual) untuk menyemprot daun pisang.

8
Penggunaan mesin martignani dilakukan secara rutin, sedangkan penggunaan
mesin gendong (manual) hanya selama 1-2 hari dalam seminggu. Pasien
bekerja selama 8 jam per hari, dengan waktu istirahat selama 1 jam dan waktu
libur 1 hari pada hari minggu. Pekerja menggunakan sepatu boot ataupun karet
pribadi dengan baju khusus (wearpack). Alat Pelindung Diri (APD) yang
dipakai beberapa pekerja seperti helm, goggles , masker, sarung tangan, dan
sepatu boots. Sedangkan pada kasus ini, pasien tidak menggunakan sepatu
boots sehingga pasien beresiko terpapar zat-zat yang berbahaya. Dari
permasalahan tersebut perlu dilakukan identifikasi terhadap bahaya potensial
yang mungkin ada sebagai faktor risiko penyakit akibat kerja atau penyakit
yang berhubungan dengan pekerjaan.

3. Bahaya Potensial

Tabel 2. Bahaya Potensial

Tempa
Bahaya Lama
Masalah Kesehatan t
Potensial Kerja
Kerja
Suhu panas : heat stroke, heat
exhaustion,sinkope, miliaria,
eritema, heat cramps.
Fisik Agro 8 jam/hari
Radiasi UV : iritasi kulit, luka
bakar,
konjungtivitis, katarak.
Resiko dermatitis kontak,
Kimia intoksikasi, karena terpapar Agro 8 jam/hari
bahan kimia (insektisida).
Infeksi jamur akibat berkeringat
karena suhu panas, gigitan
Biologis serangga atau gigitan ular di area Agro 8 jam/hari
perkebunan, infeksi kulit akibat
bakteri.

Psikologis - - -

9
Bekerja selama 8 jam di
area

perkebunan
pisang bagian banana NBS
Ergonomi membuat pasien bekerja dengan Agro 8 jam/hari
posisi duduk atau berdiri dalam
jangka waktu yang cukup
lama sehingga dapat
menimbulkan keluhan gangguan
sendi/otot, dll

4. Hubungan Pekerjaan dengan Penyakit yang Dialami (Gejala / Keluhan


yang Ada)
Selama melakukan pekerjaan, pasien berisiko terpapar oleh bahan insektisida
yang disemprot seperti abamektin dan digunakan untuk mengendalikan hama
serangga dan kutu pada tanaman. Selain insektisida, pasien juga beresiko
terpapar oleh bahan herbisida seperti glifosat. Glifosat merupakan herbisida
berspektrum luas yang dapat mengendalikan gulma semusim maupun tahunan
di daerah tropis. Paparan bahan kimia tersebut dapat menimbulkan resiko
terjadinya dermatitis pada pasien. Dari permasalahan di atas perlu dilakukan
identifikasi terhadap bahaya potensial yang mungkin ada sebagai faktor risiko
penyakit akibat kerja atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

10
Gambar 1. Diagram Fishbone (Analisis Hubungan Pekerjaan dengan

Terjadinya Penyakit akibat Kerja

Berdasarkan diagram fishbone di atas dapat ditemukan akar sebab terjadinya


penyakit akibat kerja terdiri atas faktor man, methode, dan material seperti berikut:
1. Faktor Man
Faktor manusia yang berperan menimbulkan penyakit akibat kerja pada
pasien terjadi akibat kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang cara
mencegah terjadinya penyakit, kecerobohan pasien dalam bekerja, dan
reaksi hipersensitivitas tubuh pasien terhadap iritan.

2. Faktor Method
Kurangnya penyuluhan kepada pekerja tentang pentingnya mengenali
dan mencegah PAK, serta cara kerja pasien yang berisiko berkontak
dengan bahan kimia insektisida.

11
3. Faktor Material
Perlengkapan APD yang digunakan tidak lengkap saat bekerja dan
bahan aktif insektisida (abamektin) yang bersifat iritan.

2.4 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8 C
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Berat Badan : 72 kg
Tinggi Badan : 170 cm

Status Generalis
Kepala
Rambut : hitam tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), palpebra edema
(-/-)
Telinga : serumen (-/-), otorea (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), rinore (-/-)
Mulut : bibir kering dan pecah-pecah (-)
Kuku : tidak tampak pitting nail

Leher
Inspeksi : devasi trakea (-)
Palpasi : JVP normal, massa (-), pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid
(-)

12
Thoraks
Inspeksi : gerakan pernafasan simetris kanan dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan ekspansi dada simetris, massa (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+) ronki (-/-) wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : perut datar, massa (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba Perkusi :
timpani
Auskultasi : bising usus (+) 4x/menit

Status Dermatologis
Regio : Ankle bilateral, dorsum pedis bilateral
Efloresensi : Terdapat plak hiperpigmentosa multiple, bentuk tidak teratur,
batas tegas, dengan ukuran terkecil 2 x 1,2 cm dan ukuran
terbesar 6 x 3,1 cm, diskret, sebagian ditutupi skuama kasar
putih selapis.

2.5 Diagnosis Okupasi

1. Diagnosa Klinis
Dermatitis Kontak Iritan Kronik Kumulatif Ec Abamektin

2. Identifikasi Pajanan yang Dialami

13
Pajanan kimia : pajanan abamektin

3. Hubungan Pajanan dengan Penyakit


Abamektin sebagai zat aktif insektisida merupakan salah satu zat yang dapat
memicu terjadinya dermatitis kontak iritan

4. Signifikansi Tingkat Pajanan terhadap Timbulnya Penyakit


Terdapat hubungan yang signifikan antara lama pajanan terhadap timbulnya
penyakit. Pasien baru pertama kali terpapar oleh abamektin dan menyebabkan
timbulnya efloresensi yang dialami pasien. Pasien belum pernah terpapar
abamektin sebelumnya.

5. Identifikasi Kerentanan Individu


Terdapat kerentanan individu yaitu tidak menggunakan alat pelindung diri
yang memadai dan kurangnya kehati-hatian pasien dalam melakukan
pekerjaannya.

6. Investigasi Pajanan Non Okupasi


Tidak terdapat keluhan serupa sebelumnya dan riwayat terpapar oleh zat
lainnya.

7. Penetapan Diagnosis Penyakit akibat Kerja


Dapat disimpulkan bahwa penyakit pasien ini adalah dermatitis kontak iritan
e.c. abamektin yang dapat dikategorikan sebagai penyakit akibat kerja.

2.6 Pemeriksaan Anjuran

Patch test (Uji tempel).

2.7 Resume
Pasien mengeluhkan muncul bercak kehitaman dan bersisik disertai perih dan panas
pada kedua punggung kaki sejak 1 bulan yang lalu.
 Keluhan muncul setelah pasien terpapar zat aktif insektisida yaitu

14
abamektin yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga dan
kutu-kutu pada tanaman.
 Pasien bekerja di perkebunan pisang GGF bagian martignani NBS sejak
2 tahun yang lalu

2.8 Kategori Kesehatan


Kondisi kesehatan tidak mengganggu kemampuan fisik dalam proses kerja

2.9 Penatalaksanaan
Umum:
 Menggunakan alat pelindung diri saat bekerja
 Mengedukasi untuk mengonsumsi obat secara teratur.
 Menghindari/ meminimalisasi paparan terhadap sumber iritan.

Khusus: Medikamentosa
 Sistemik : Tablet Cetirizine 10 mg/ 24 jam
Tablet Dexametason 0,5mg/12 jam
 Topikal : Salep Betametasone valerate/12 jam

2.10 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

15
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Kulit


Kulit merupakan lapisan terluar yang dimiliki tubuh. Dari kepala sampai
telapak kaki bagian tubuh terluar dilindungi oleh kulit. Kulit berfungsi untuk
mengatur suhu tubuh, membantu ekskresi dari hasil metabolism dan
respirasi. Selain itu kulit juga berfungsi untuk melembabkan tubuh melalui
kelenjar yang ada di bagian kulit itu sendiri.

Gambar 2. Anatomi Kulit


Kulit dibagi menjadi 3 lapisan yaitu epidermis, dermis, dan subkutan.
a) Epidermis : lapisan terluar dari kulit. Lapisan epidermis adalah epitel
berkeratin yaitu epitel dengan suatu lapisan superfisial keras,
bertanduk yang membentuk permukaan luar protektif diatas lapisan
basal atau profunda berpigmen dan regeneratif. Epidermis tidak

16
memiliki pembuluh darah. Epidermis avaskular mendapat nutrisi dari
dermis yang memiliki vaskularisasi. Kulit juga disuplai ujung saraf
aferen yang sensitif terhadap sentuhan, nyeri, dan temperatur.
Sebagian besar terminal saraf berada pada dermis, tetapi beberapa ada
yang menembus ke epidermis. Lapisan epidermis terdiri atas stratum
korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum,
dan stratum basale. Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling
luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak
berinti, dan telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum
lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti lapisan tersebut tampak lebih jelas
di telapak tangan dan kaki, selanjutnya ada stratum granulosum,
stratum spinosum, dan stratum basal (Moore et al, 2002 & Paulsen et
al, 2013).
b) Dermis : suatu lapisan padat berisi jalinan serabut elastik dan kolagen.
Terdiri dari pars papilare adalah bagian yang menonjol ke epidermis,
berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. Serabut tersebut
memberi tonus kulit dan menyebabkan kekuatan dan kekerasan pada
kulit. Lapisan dalam dermis (pars retikulare) mengandung folikel
rambut, dengan otot polos arektor dan kelenjar sebasea. Kontraksi otot
polos arektor rambut (ligamentum musculi arektor pili) membuat
rambut berdiri pada saat merinding (Moore et al, 2002 & Paulsen et
al, 2013).
c) Jaringan subkutan : sebagian besar terdiri dari jaringan penyambung
longgar dan simpanan lemak, dan mengandung kelenjar keringat,
pembuluh darah superfisial, pembuluh limfe. (Moore et al, 2002 &
Paulsen et al, 2013).

3.2 Dermatitis
3.2.1 Definisi
Dermatitis adalah kelainan kulit yang subjektif ditandai oleh rasa gatal dan
secara klinis terdiri atas ruam polimorfi yang umumnya berbatas tidak tegas

17
(Wolff, 2009). Menurut American Medical Association, dermatitis
seringkali cukup digambarkan sebagai peradangan kulit, timbul sebagai
turunan untuk eksim, kontak (iritan dan alergi) (HSE UK, 2004). Dermatitis
kontak merupakan respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang dapat
bersifat akut maupun kronik, karena paparan dari bahan iritan eksternal yang
mengenai kulit (Firdaus, 2003).

Dermatitis yang terjadi pada pekerja adalah dermatitis kontak akibat kerja.
Dermatitis kontak akibat kerja didefinisikkan sebagai penyakit kulit yang
didapatkan dari pekerjaan akibat interaksi yang terjadi antara kulit dengan
substansi yang digunakan di lingkungan kerja, dimana pajanan di tempat
kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor (Streit
dan Lasse, 2001). Bentuk respon dari dermatitis kontak dihasilkan melalu
satu atau dua jalur utama, iritan atau alergi, dimana 80% didominasi oleh
dermatitis kontak iritan dan sisanya 20% adalah dermatitis kontak alergi.
Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Streit dan Lasse, 2001).

3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi dermatitis kontak akibat kerja bervariasi di tiap negara, hal ini
terjadi karena tidak adanya definisi standarisasi kasus, metode diagnostik,
dan sistem pencatatan yang jelas. Berdasarkan literatur, angka kejadian
DKAK bervariasi pada tiap-tiap negara berkisar antara 5 hingga 19 kasus
per 10,000 pekerja setiap tahunnya. Prevalensi tinggi ditemukan pada
kelompok pekerja khusus seperti perawat, penata rambut, pekerja
pengolahan makanan, dan pekerja besi (Witasari dan Sukanto, 2014).

Informasi mengenai karakter atau gambaran umum dari pasien yang


menderita dermatitis kontak akibat kerja sangat terbatas, terutama di
Indonesia. Penelitian yang dilakukan Witasari dan Sukanto (2014)
menunjukkan jumlah kunjungan pasien baru dermatitis kontak akibat kerja
dalam kurun waktu 3 tahun yaitu pada tahun 2010-2012 (50 dari 924 pasien

18
dermatitis kontak baru yang datang ke Divisi Alergi dan Imunologi URJ
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo) adalah sebanyak 5,4%.

3.2.3 Etiologi
Salah satu penyebab dari dermatitis kontak akibat kerja yaitu bahan kimia
yang kontak dengan kulit saat melakukan pekerjaan. Untuk dapat
menyebabkan dermatitis kontak, pertama bahan kimia harus mengenai kulit
kemudian melewati lapisan permukaan kulit dan kemudian menimbulkan
reaksi yang memudahkan lapisan di bawahnya untuk terkena. Lapisan
permukaan kulit mempunyai ketahanan luar biasa untuk dapat ditembus
sehingga disebut lapisan barrier. Lapisan barrier menahan air dan
mengandung air kurang dari 10% untuk dapat berfungsi secara baik. Celah
diantara lapisan barrier ada kelenjar minyak dan akar rambut yang terbuka
dan merupakan tempat yang mudah ditembus (HSE UK, 2004).

Substansi tersebut mengiritasi kulit, menjadikannya tidak intak lagi dan


merangsang reaksi peradangan dan dapat disertai dengan adanya edema
interseluler pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bahan-bahan
kimia yang berkontak dengan kulit.

3.2.4 Patogenesis
Beberapa jalur yang saling terkait diduga terlibat pada DKI antara lain
gangguan fungsi barier kulit, stimulasi sel epidermis, dan pelepasan
mediator proinflamasi dari keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk,
2014). Terjadinya DKI diawali dengan adanya paparan iritan yang mampu
penetrasi menembus pertahanan kulit dan menyebabkan kerusakan
keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk, 2014).

Keratinosit mengalami perubahan struktur sebagai responnya terhadap


iritan dengan bentuk bervariasi tergantung tipe iritan yang digunakan.
Sodium lauril sulfat (SLS) menimbulkan adanya gambaran sel parakeratosis
pada epidermis atas, sedangkan asam nonanoik menimbulkan adanya
gambaran sel diskeratotik. Aktivitas fungsional keratinosit juga terganggu

19
oleh adanya iritan, selanjutnya terjadi pelepasan mediator inflamasi, aktivasi
limfosit dan respon vaskular (Smith dkk, 2002; Chew dan Maibach, 2006).

Pada kasus kronis atau kumulatif terjadi kerusakan lapisan pertahanan lipid
akibat hilangnya kohesi korneosit dan deskuamasi. Kondisi ini selanjutnya
dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan transepidermal sebagai
akibat terganggunya fungsi barier kulit (Chew dan Maibach, 2006; Elberting
dkk, 2014). Gangguan fungsi barier akibat paparan surfaktan menginduksi
pelepasan sitokin seperti interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6 dan
tumor necrosis factor-α dari keratinosit. Sitokin ini kemudian beraksi
sebagai sinyal pelepasan kemokin proinflamasi yang akan menarik sel
mononuklear dan polimorfonuklear pada area yang terpapar bahan iritan
(Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk, 2014).

3.2.5 Manifestasi Klinis


Dermatitis kontak iritan memiliki manifestasi klinis yang dapat dibagi
menjadi beberapa kategori. Berdasarkan karakteristik iritan dan paparan,
manifestasi klinis DKI dibagi menjadi 10 tipe, antara lain (Chew dan
Maibach, 2006; Amado dkk, 2012) :
a) Reaksi iritasi
Reaksi iritasi secara klinis ditandai dengan reaksi monomorfik akut
berupa skuama, eritem derajat ringan, vesikel, atau erosi yang berlokasi
umumnya di punggung dan jari tangan. Kondisi ini sering terjadi pada
individu yang bekerja di lingkungan basah. Reaksi iritan dapat berubah
atau berkembang menjadi dermatitis iritan kumulatif.

b) Dermatitis kontak iritan akut


Dermatitis kontak iritan akut umumnya terjadi akibat paparan kulit
tunggal berupa asam dan basa kuat, paparan singkat serial bahan kimia
maupun akibat kontak fisik. Sebagian besar kasus DKI akut merupakan
akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa

20
eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan
nekrosis jaringan pada kasus yang berat.

c) Iritasi akut tertunda


Iritasi akut tertunda merupakan reaksi akut tanpa tanda inflamasi yang
tampak hingga 8 – 24 jam atau lebih setelah paparan. Gambaran dan
perjalanan klinis menyerupai DKI akut. Waktu munculnya lesi seperti
pada dermatitis kontak alergi (DKA), sehingga keduanya kadang sulit
dibedakan bahkan dengan tes tempel.

d) Dermatitis kontak iritan kronik kumulatif


Dermatitis tipe ini merupakan DK yang paling sering dijumpai.
Biasanya terjadi akibat adanya paparan berulang pada kulit, dimana
bahan kimia yang terlibat sering lebih dari satu dan bersifat lemah.
Bahan tersebut antara lain deterjen, sabun, surfaktan, pelarut organik
dan minyak. e) Iritasi subyektif Pasien mengeluhkan gatal, pedih, rasa
terbakar, atau perih pada hitungan menit setelah kontak dengan iritan,
namun tanpa terlihat perubahan pada kulit. Kondisi ini diduga akibat
stimulasi nosiseptor tipe C kulit, meskipun saat ini perubahan pada
vaskularisasi kulit diduga juga turut berperan.

e) Iritasi non eritematosa (suberitematosa)


Kondisi dimana iritasi tidak tampak namun tampak secara histologik.
Gejala yang sering timbul berupa rasa seperti terbakar, gatal, dan pedih.
Iritasi suberitematosa berhubungan dengan penggunaan produk yang
mengandung sejumlah surfaktan.

f) Dermatitis gesekan
Iritasi mekanik dapat terjadi akibat mikrotrauma dan gesekan berulang.
Dermatitis tipe ini umumnya menyebabkan kulit menjadi kering,
hiperkeratotik pada kulit yang terabrasi dan kulit lebih rentan terhadap
iritan.

21
g) Reaksi traumatik
Reaksi traumatik dapat terjadi setelah trauma kulit akut seperti terbakar
atau laserasi, biasanya sering timbul pada tangan dan dapat bertahan 6
minggu atau lebih. Proses penyembuhan dermatitis tipe ini lama dan
dapat muncul lesi berupa eritema, skuama, papul, atau vesikel.
Perjalanan klinis dapat menyerupai dermatitis numularis.

h) Reaksi pustular atau akneiform


Dermatitis tipe ini sering terjadi setelah paparan pekerjaan dengan
minyak, tar, logam berat, halogen dan setelah penggunaaan beberapa
kosmetik. Lesi pustular steril, bersifat transien dan muncul setelah
beberapa hari kontak dengan iritan. Biasanya sering dijumpai pada
pasien dengan dermatitis atopik ataupun dermatitis seboroik.
i) Dermatitis iritan asteatotik
Kondisi ini sering didapatkan pada pasien usia lanjut yang tidak
mengoleskan pelembab pada kulit setelah mandi. Gambaran klinis yang
khas untuk DKI tipe ini adalah gatal, kulit kering, dan skuama
iktiosiform.

3.2.6 Diagnosis
Secara garis besar diagnosis dermatitis kontak dilakukan dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan klinis dan juga pemeriksaan penunjang.

a) Anamnesis
Selain riwayat perjalanan penyakit, pada anamnesis perlu ditanyakan
riwayat atopi, perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan
dan pengobatan yang pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan
sendiri. Namun yang paling penting ditanyakan pada anamnesis antara
lain:

22
1. Riwayat pekerjaan sekarang: tempat bekerja, jenis pekerjaan,
kegiatan yang lazim dilakukan pada hari kerja, pakaian pelindung
dan peralatan, dan fasilitas kebersihan dan prakteknya.
2. Faktor pekerjaan sehubungan dengan gangguan kulit seperti
material yang dipakai dan proses yang dilakukan, informasi
mengenai kesehatan dan keselamatan tentang material yang
ditangani, apakah ada perbaikan pada akhir pekan atau pada hari
libur, riwayat kerja yang lalu sebelum bekerja di tempat tersebut,
riwayat tentang penyakit kulit akibat kerja yang pernah diderita,
apakah ada pekerjaan rangkap di samping pekerjaan yang sekarang
3. Riwayat lainnya secara umum: latar belakang atopi (perorangan atau
keluarga), alergi kulit, penyakit kulit lain, pengobatan yang telah
diberikan, kemungkinan pajanan di rumah, dan hobi pasien.

b) Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelianan apakah sesuai dengan kontak
bahan yang dicurigai, yang tersering adalah daerah tangan, lengan, muka
atau anggota gerak. Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan
melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada
seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain
karena sebabsebab endogen

c) Pemeriksaan Penunjang
Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan khusus untuk memastikan
diagnosis DKI. Tes tempel dan uji provokasi tidak dianjurkan karena
tingkat positif palsu yang tinggi. Tetapi pada beberapa literatur, tes
tempel dilakukan untuk membedakan DKA dan DKI. Sensitifitas dan
spesifisitas uji tempel berkisar 70%, hal ini menyebabkan hasil positif
palsu masih sering dapat terjadi sehingga data epidemiologi DKI dapat
under/over-estimation. Hasil uji tempel positif mengindikasikan DKA
dan sebaliknya hasil negatif dapat dipertimbangkan sebagai DKI. Reaksi

23
alergi umumnya bersifat kresendo (peningkatan keparahan seiring
waktu) sementara reaksi iritan umumnya bersifat dekresendo
(penurunan keparahan seiring waktu) (Chew dan Maibach, 2006)

Salah satu diagnosis banding dari DKI adalah dermatitis kontak alergi
(DKA). Adapun karakteristik yang membedakan DKI dengan DKA adalah
sebagai berikut

Tabel 3. Perbedaan karakteristik DKA dan DKI

No Karakteristik DKI DKA


1. Onset Cenderung akut Cenderung kronik
2. Subjek Semua orang bisa Hanya orang tertentu
terkena (riwayat alergi/sensitisasi)
yang terkena
3. Lesi awal Makula, eritema, Makula, eritema, papula,
vesikel, bula, dan erosi. melebar dari tempat awal
4. Penyebab Iritan primer Alergen
5. Mekanisme Tergantung konsentrasi Tidak tergantung dengan
bahan iritan dan status konsentrasi. Konsentrasi
swar kulit. Terjadi jika rendah sekalipun sudah
bahan iritan melewati dapat memicu DKA.
ambang batas Bergantung pada tingkat
sensitisasi
6. Hubungan Onset pada saat kontak Onset pada saat kontak
dengan paparan pertama berulang

3.2.7 Tatalaksana
Berdasarkan hasil penelitian, gejala DKAK dapat berkurang ketika
penderita beristirahat dari pekerjaannya dan kekambuhan saat bekerja
bervariasi, yaitu 35-80%

Prevalensi dermatosis akibat kerja dapat diturunkan melalui pencegahan


yang sempurna, antara lain:
1. Pendidikan pengetahuan tentang kerja dan bahan yang mungkin dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja dan cara mempergunakan alat serta
akibat buruk alat tersebut.

24
2. Para karyawan dilengkapi dengan alat penyelamat atau pelindung yang
bertujuan menghindari kontak dengan bahan yang sifatnya merangsang
atau karsinogen seperti baju pelindung dan sarung tangan.
3. Melakukan uji tempel pada calon pekerja sebelum diterima di suatu
perusahaan. Berdasarkan hasil uji tempel ini, karyawan baru dapat
ditempatkan di bagian yang tidak mengandung bahan yang rentan
terhadap dirinya.
4. Pemeriksaan kesehatan berkala yang bertujuan untuk mengetahui
dengan cepat dan tepat apakah karyawan sudah menderita penyakit kulit
akibat kerja.
5. Karyawan dianjurkan untuk memeriksakan diri ke dokter secara
sukarela untuk mengetahui apakah ada menderita suatu dermatosis
akibat kerja
6. Kerjasama antara dokter, ahli teknik, ahli kimia, dan ahli dalam bidang
tenaga kerja untuk mengatur alat-alat kerja, cara kerja, atau
memperhatikan bahan yang dipergunakan dalam melakukan pekerjaan
untuk mencegah kontaminasi kulit.

Adapun tatalaksana medikamentosa yang dapat dilakukan pada kasus DKI


antara lain adalah
o Penatalaksanaan dermatitis iritan tipe akut dapat secara simtomatis.
Penggunaan hand rub berbasis alkohol dengan kandungan berbagai
macam emollient dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan
kulit, kekeringan, dan iritasi.
o Terapi medikamentosa untuk dermatitis kontak iritan mempunyai
beberapa prinsip, seperti, emollient, menghindari iritasi, dan krim
yang mengandung dimethicone adalah terapi yang digunakan
sebagai Agen-agen terapeutik yang mengandung propilen glikol dan
urea dapat mengakibatkan inflamasi sehingga harus dihindari
sebagai terapi.
o Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai efek anti
pruritus.

25
o Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi, supresi
aktivitas mitotik, dan vasokonstriksi. Efek steroid juga dapat
mensupresi pengeluaran histamine, sehingga bisa juga sebagai
antipruritus.

KIE (Konfirmasi, Informasi dan Edukasi) kepada pasien terutama dalam


hal penggunaan dan pajanan bahan iritan sehari-hari, seperti:
o Pendidikan kepada pekerja suatu perusahaan tentang penggunaan
alat dan akibat buruk yang mungkin terjadi kalo terpajan.
o Jika pasien adalah pekerja yang sering kontak dengan bahan-bahan
iritan, dapat memberikan edukasi ke pasien dan perusahaan
tempatnya bekerja berupa pencegahan seperti pemakaian masker,
sarung tangan, perawatan kulit sehari-hari terutama yang
mempunyai kulit sensitif.
o Penggunaan bahan-bahan iritan di dalam rumah tangga sehari-hari
seperti detergent, larutan pembersih, kosmetik, dan obat-obatan
topikal tertentu juga harus dipantau, jika terjadi reaksi akut, maka
penghentian pemakaian substansi tersebut harus segera dilakukan
dan segera menghubungi pelayanan kesehatan setempat.
o Pelaksanaan uji tempel pada calon pekerja, sehingga dapat
menempatkan pekerja di bagian yang tidak kontak dengan bahan
iritan.
o Pemeriksaan kesehatan secara rutin dan berkala kepada para pekerja.
o Dalam penggunaan bahan-bahan tertentu di dalam keseharian di
rumah dan jangan menggunakan bahan yang sensitif terhadap kulit.

3.3 Abemectin
3.3.1 Ciri Umum
Abamektin adalah bahan aktif insektisida yang merupakan campuran
avarmektin B1a dan B1b (makrolida) yang dihasilkan dari fermentasi
bakteri tanah Streptomyces avermitilis. Abamektin bersifat sebagai racun
kontak dan racun perut. Insektisida tersebut bekerja sebagai racun saraf yang

26
mengaktifkan pembukaan saluran ion klorida pada sel saraf sehingga
mengakibatkan kelumpuhan dan kematian serangga. Di Indonesia pada
tahun 2014 terdapat delapan formulasi berbahan aktif abamektin yang
terdaftar untuk mengendalikan hama Plutella xylostella. Selain P. xylostella,
hama sasaran lain formulasi insektisida berbahan aktif abamektin adalah
berbagai jenis hama ulat, kutu daun, trips, pengorok daun, kepik, rayap, dan
lalat pada berbagai jenis tanaman (Aini, 2016).

3.3.2 Penggunaan Utama


3.3.3 Bahaya Terhadap Kesehatan

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Analisis Kasus

1. Apakah diagnosis kasus ini sudah tepat?


Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada anamnesis didapatkan pasien datang dengan keluhan bercak kehitaman dan
bersisik disertai perih dan panas pada kedua punggung kaki sejak 1 bulan yang lalu.
Bercak kehitaman bersisik disertai rasa perih (terbakar) dan panas timbul setelah
pasien terkena bahan kimia (abamektin). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada
regio ankle bilateral, dorsum pedis bilateral terdapat plak hiperpigmentasi multiple,
bentuk tidak teratur, batas tegas, dengan ukuran terkecil 2 x 1,2 cm dan ukuran
terbesar 6 x 3,1cm, diskret, sebagian ditutupi skuama kasar putih selapis.

2. Bagaimana analisis hubungan pekerjaan dengan penyakit yang dialami


pasien?
Pasien bekerja sebagai pegawai GGF bagian Banana (PG-III ) dibagian
Martignani NBS Banana (Boom Spraying) yang bertugas menyemprot daun
pisang dengan bantuan mesin martignani. Pasien sudah bekerja selama 2
tahun dengan rata-rata jam kerja 8 jam per hari dengan waktu istirahat 1 jam
per hari dan waktu libur 1 kali dalam seminggu. Selama proses kerja pasien
dalam posisi duduk di atas unit traktor, namun terkadang pasien juga bekerja
dalam posisi berdiri dengan menggunakan mesin gendong (manual) untuk
menyemprot daun pisang. Penggunaan mesin martignani dilakukan secara

28
rutin, sedangkan penggunaan mesin gendong (manual) hanya selama 1-2 hari
dalam seminggu.

Selama bekerja seharusnya setiap pekerja menggunakan sepatu boot dengan


baju khusus (wearpack). Selain itu menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
seperti helm, goggles, masker, dan sarung tangan dengan rutin. Sedangkan
dalam kasus ini, pasien sering tidak menggunakan sepatu boots dalam 1 tahun
terakhir saat melakukan penyemprotan daun pisang gendong (manual)
sehingga pasien memiliki risiko tinggi terpapar oleh bahan insektisida yang
disemprot yaitu abamektin (zat kimia) yang digunakan untuk mengendalikan
hama serangga dan kutu pada tanaman yang berasal dari bakteri tanah
Streptomyces avermitilis.

Nama kimia Abamektin adalah avermektin yang memiliki sifat biologis dan
toksiologi. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
dikatakan bahwa tenaga kerja yang kontak dengan abamektin harus memakai
kacamata untuk mencegah kontak mata dan pakaian pelindung lainnya untuk
mencegah timbulnya reaksi peradangan kulit yang bersifat iritatif. Tidak ada
batas paparan kerja yang telah ditetapkan untuk abamektin dalam
menimbulkan reaksi kulit tetapi dikatakan oleh OSHA bahwa kontak yang
berkepanjangan dapat menimbulkan reaksi kulit. Oleh karena itu, diperlukan
adanya APD yang tepat dan pemakaian APD oleh tenaga kerja yang rutin
sehingga mengurangi dari timbulnya penyakit akibat kerja. Abamektin dapat
menimbulkan reaksi kulit disebabkan formulasi konsentrat abamektin yang
bersifat cair lebih mudah diserap kulit daripada formulasi yang berbentuk
butiran.

Reaksi peradangan kulit tersebut dapat mengarah ke dermatitis kontak


disebabkan pasien mengalami keluhan kulit bercak kehitaman dan bersisik
disertai perih dan panas pada kedua punggung kaki kemungkinan akibat
adanya kontak dengan bahan kimia abamektin karena pasien sering tidak
menggunakan sepatu boot. Dermatitis kontak ialah respon inflamasi

29
(peradangan) akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan atau subtansi
yang menempel pada kulit. Dermatitis kontak terbagi menjadi 2, yaitu:
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA).
Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik
disebabkan oleh bahan kimia iritan. Sedangkan, dermatitis alergik terjadi
pada seorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen dan
merangsang reaksi hipersensitivitas tipe IV.

Pada kasus ini, dikarenakan adanya kontak dengan abamektin yang


merupakan zat kimia yang bersifat iritan maka diagnosis pasien mengarah
dermatitis kontak iritan kronik kumulatif. Pasien mengalami keluhan kurang
lebih selama 1 bulan dan kontak kurang lebih 1 tahun dengan abamektin pada
kaki akibat penggunaan sepatu boot yang tidak rutin, Dermatitis kontak iritan
kronik kumulatif adalah jenis dermatitis kontak yang sering terjadi karena
adanya kontak yang berlangsung beberapa minggu atau bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun kemudian. Gejala klasik berupa kulit kering, disertai skuama
yang lambat laun kulit menjadi tebal dengan likenifikasi yang difus.

3. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini?


Berdasarkan analisis kasus di atas disimpulkan penatalaksaan yang sesuai
yaitu sebagai berikut.

Secara non farmakologi dilakukan edukasi berupa menggunakan alat


pelindung diri saat bekerja. Alat pelindung diri yang dapat dipakai seperti
sepatu boots, memakai pakaian panjang disertai sarung tangan, memakai
masker. Tujuan alat pelindung diri ini kaitannya sebagai tindakan perventif
dan potensi terjadinya kecelakaan kerja serta menghindari atau
meminimalisasi paparan terhadap sumber iritan dengan menggunakan alat
pelindung diri.

Secara medikamentosa, pasien diberikan terapi obat antihistamin yaitu


cetirizine sebagai obat simtomatik untuk gatal dengan dosis yang diberikan

30
10 mg/ 24 jam diminum setelah makan. Antihistamin diberikan untuk
mendapatkan efek sedatif guna mengurangi gejala gatal. Selain itu pasien juga
diberikasn dexametasone 0,5 mg sebanyak 2x1 setelah makan untuk anti
inflamasi. Kortikosteroid diberikan pada kasus yang sedang dan berat secara
oral maupun im dan iv. Pilihan terbaik adalah prednison atau prednisolone.
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit, mengurangi
molekul CD 1 dan HLA-DR pada sel langerhans, menghambat pelepasan IL-
2 dari limfosit T dan menghambat sekresi IL-1 dan TNF-a. Kortikosteroid
oral diberikan pada kasus akut dengan intensitas gejala sedang hingga berat
serta pada DKI yang sulit disembuhkan.

Salep topikal berupa betametasone valerat dioleskan secara tipis pada tempat
luka sebanyak 2x1. Efek katabolik dari kortikosteroid topikal dapat dilihat
dari kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Adapun
efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan kortikosteroid topikal dalam
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi epidermal dan dapat
menyebabkan efek vaskular seperti telangiektasis dan purpura.

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien sudah sesuai yaitu diberikan


obat kortikosteroid serta obat antihistamin. Tetapi, untuk pilihan obat terbaik
DKI untuk golongan kortikosteroid yaitu prednison atau prednisolon.

31
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan diatas, kesimpulan yang dapat


diambil adalah sebagai berikut.
1. Bahaya yang dapat diidentifikasi pada kasus pasien Tn. R sebagai pekerja di
kebun PT. Great Giant Food adalah bahaya kontak dengan abamektin yang
bersifat iritan terhadap kulit sehingga menimbulkan dermatitis kontak iritan.
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat ditegakkan
diagnosis penyakit akibat kerja yaitu Dermatitis Kontak Iritan akibat Kerja
(DKIK).
3. Tatalaksana umum pada pasien ini meliputi menggunakan alat pelindung diri
saat bekerja, mengedukasi untuk menggunakan obat secara teratur, dan
menghindari/ meminimalisasi paparan terhadap sumber iritan. Tatalaksana
khusus, dengan pengobatan medikamentosa baik secara sistemik maupun
topikal.

5.2 Saran

Sesuai dengang tujuan pembuatan laporan kasus ini, tujuan yang diharapkan adalah
munculnya penyelesaian masalah, sehingga kesehatan dan keselamatan kerja dapat
tercapai. Oleh karena itu, terkait dengan kasus ini saran yang dapat kami sampaikan
untuk menghindari kejadian kasus serupa adalah sebagai berikut.

32
5.2.1 Saran Bagi Pekerja
Menghindari/ meminimalisasi kontak langsung dengan insektisida
(abamektin) yang terdapat pada lingkungan kerja disertai dengan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai.

5.2.2 Saran Bagi Pihak Manajemen PT. Great Giant Food

a. Membantu menyediakan perlengkapan APD yang sesuai dan dibutuhkan


oleh pekerja
b. Membuat regulasi terkait kewajiban menggunakan APD saat bekerja
dengan pengawasan berkala dan sanksi yang tegas.
c. Memberi pelatihan dan penyuluhan khusunya kepada karyawan yang
pekerjaannya sering kontak langsung dengan bahan kimia yang bersifat
iritan/alergen mengenai potensi bahaya yang terdapat di tempat kerja,
proses kerja yang aman, serta pentingnya penggunaan APD dengan benar
dan perilaku hidup bersih dan sehat selama bekerja.
d. Menyediakan sarana sumber air yang dekat dengan area bekerja agar
pekerja dapat segera mencuci anggota tubuh yang terkena zat kimia

33
DAFTAR PUSTAKA

Amado, A., Sood, A., Taylor, J.S. 2012. Irritant contact dermatitis. Dalam:
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff,
K., penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, edisi 8. New
York USA: McGraw-Hil, 499-506.

Chew, A.L., Maibach, H.I. 2006. Ten Genotypes of Irritant Contact Dermatitis.
Dalam: Chew, A.L., Maibach, H.I., penyunting. Irritant Dermatitis. New
York: Springer, 5-9.

Eberting, C.L., Blickenstaff, N., Goldenberg, A. 2014. Pathophysiologic treatment


approach to irritant contact dermatitis. Curr Treat Options Allergy, 1(4), 317-
28.

Firdaus U. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja: Penyakit Kulit Akibat Kerja
Terbanyak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no. 5.

HSE UK.2004. Medical Aspect od Occupational Sikn Disease. Guidance Note MS


24, Second Edition, Norwich, England.

Smith, H.R., Basketter, D.A., McFadden, J.P. 2002. Irritant dermatitis, irritancy and
its role in allergic contact dermatitis. Clin Exp Dermatol, 27, 138-46.

Streit, M., dan Lasse R. B., 2001. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology.
Acta Odontol Scand 59: 309-314.

Tan, C.H., Rasool, S., Johnson, G.A. 2014. Contact dermatitis: Allergic and irritant.
Clin J Dermatol, 32, 116-24.

Witasari D, Sukanto H. Dermatitis Kontak Akibat Kerja : Penelitian Retrospektif.


Journal of Periodical of Dermatology and Venereology 2012;26

34
LAMPIRAN

35
36
1

Anda mungkin juga menyukai