Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PSIKOLOGI BUDAYA MADURA

Dosen Pengampu: Masrifah S. Psi, M. Psi,.

Desca Marina Noer Zakia 170541100110

Della Fitria Anggraini 170541100111

Ahmad Rizki Darmawan 170541100129

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sebab jika bukan berkat nikmat dari
Allah, kami tidak akan bisa mengerjakannya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin dengan
menggunakan beberapa referensi dari buku sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi membangun kesempurnaan makalah ini.
Apabila ada kesalahan dalam makalah ini. Kami segenap penyusun minta maaf
yang sebesar-besarnya.

Bangkalan, 27 Agustus 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................


Latar Belakang ......................................................................................................
Rumusan masalah ..................................................................................................
Tujuan ....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................


2.1 interaksi Sosial ...............................................................................................
2.2 Kekerabatan ....................................................................................................
2.2.1 Penanggalan Jodoh .......................................................................................
2.2.2 Suami dan Istri..............................................................................................
2.2.3 Anak dan Orangtua .......................................................................................
2.2.4 Sanak Saudara .............................................................................................
2.3 Kesetiakawanan ..............................................................................................
2.3.1 Atasan dan Bawahan ...................................................................................
2.3.2 Antar Sahabat ..............................................................................................
2.3.3 Sesama Orang Madura ................................................................................
BAB III PENUTUP ..................................................................................................
BAB IV KESIMPULAN ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Madura merupakan sebuah pulau yang terdapat dipulau Jawa, yang


berprovisi di Jawa timur. Pulau Madura memiliki empat kabupaten diantaranya
kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Meskipun Madura merupakan bagian dari provinsi Jawa timur tetapi


Madura bisa dibilang berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di Jawa
timur, selain tempatnya yang berada di pulau yang berbeda, dan yang paling
mencolok adalah Bahasa yang dimilikinya, oleh sebab itu Madura juga memiliki
interaksi social yang berbeda pula atau memiliki kekhasannya sendiri.

Interaksi social orang Madura meliputi bagaimana kekerabatan yang


mereka miliki, yang mana sudah menjadi hal umum bahwa kekerabatan orang
Madura terkenal sangat solid, selanjutnya mengenai kesetiakawanan, yang mana
hal-hal tersebut sangat menarik dan mencolok, sehingga perlu untuk kita ketahui
dan pelajari.

Perilaku setiap individu akan terlihat secara penuh apabila individu


tersebut berada dalam pergaulan lingkungan massyarakat. Interaksi yang
dilakukan oleh individu dengan orang lain akan dijadikan sebagai ukuran
keberhasilan seseorang dalam membawakan dirinya, keluarganya, perkerjaannya,
dan masyarakat di lingkungannya. Karena berhubungan dengan pembawaan dan
sikap, pola interaksi sosial yang dilakukan oleh perorangan itu beberapa
diantaranya akan akan ikut membentuk tingkah laku suku bangsanya secara
keseluruhan. (dalam Rifai 2007)

Oleh sebab itu kita akan membahas bagaimanakah interaksi social orang
Madura, bagaimana cara mereka berinteraksi, seperti apakah perbedaannya
dengan wilayah lain, sehingga dibuatlah makalah ini.

5
6

1.2 Rumusan masalah

Bagaimanakah interaksi social masyarakat Madura ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimanakah interaksi social masyarakat Madura.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Interaksi Sosial

Perilaku setiap individu akan terlihat secara penuh apabila individu


tersebut berada dalam pergaulan lingkungan massyarakat. Interaksi yang
dilakukan oleh individu dengan orang lain akan dijadikan sebagai ukuran
keberhasilan seseorang dalam membawakan dirinya, keluarganya, perkerjaannya,
dan masyarakat di lingkungannya. Karena berhubungan dengan pembawaan dan
sikap, pola interaksi sosial yang dilakukan oleh perorangan itu beberapa
diantaranya akan akan ikut membentuk tingkah laku suku bangsanya secara
keseluruhan. (dalam Rifai 2007)

2.2 Kekerabatan

Meskipun orang Madura bersifat individualis sehingga akan terlebih


dahulu mementingkan dan mengutamakan kepentingan pribadinya, namun
semangat gotong royong dan kekeluargaan orang Madura terbilang cukup besar.
Tali kekeluargaan antar individu memang sangat diperhatikan oleh orang Madura.
(dalam Rifai 2007)

Masyarakat Madura percaya bahwa memiliki Bhala Karaba (Kaum


kerabat) atau Sana’ Bharajba (Sanak keluarga) yang banyak merupakan suatu
tanda keberhasilan dalam kehidupannya. Oleh karena itu muncullah ungkapan
Madura Ala-bhala (Berkeluarga) yang berarti mencari, membentuk, membina,
mengumpulkan, atau memperluas jaringan dalam hubungan kekeluargaan. Secara
umum yang dilakukan oleh masyarakat Madura adalah dalam hal perkawinan.
(dalam Rifai 2007)

Dalam mencari pendamping kehidupan, mereka tidak segan untuk


Narabhas jhalan ka jhauna sopaja sakabbhinna mon erek-erek semma’
(Menerobos jalan ke tempat yang jauh agar semuanya kalau di tarik menjadi
dekat). Masyarakat tidak memikirkan kerugian mengenai biaya, yang terpenting

7
8

adalah bertambahnya keluarga, seperti dalam peribahasa Tona sata’ bate sana’
(Rugi uang seratus mendapat sanak). (dalam Rifai 2007)

Secara tidak langsung, anak orang Madura di didik bahwa dalam


pasangan hidup dapat dicari dimana saja, sesuai dengan pandangan hidup bahwa
Songennep ta’ abingker (Bumi Sumenep tidak berbingkai). Dengan demikian,
akan semakin banyak orang yang dapat menjadi dekat hubungan kekeluargaannya
dikarenakan oleh ikatan perkawinan. (dalam Rifai 2007)

2.2.1 Penanggalan Jodoh

Jika pasangan di pelaminan itu merupakan saudara yang bersepupuan,


kegiatan itu disebut Apo’ Ghempo’ (Mengumpulkan). Perjodohan dengan kerabat
dekat ini sering dilakukan oleh keluarga menengah atas yang biasa disebut dengan
Mapolong Tolang (Mengumpulkan tulang). Mereka memang tidak segan
mengambil menantu dari kalangan keluarga sendiri. Dilakukannya hal tersebut
bertujuan agar harta benda yang menumpuk dapat diwariskan ke keluarga sendiri
dan tidak jatuh ke tangan orang luar. (dalam Rifai 2007)

Pada pihak lain, orang yang menentang perkawinan tersebut karena


mengetahui bahaya pada keturunan yang nantinya dapat mengalami suatu
penyakit kurang menyetujui perkawinan antar keluarga dekat. Orang Madura
tempo dulu sudah mengetahui kelemahan ini sehingga mereka mengatakan
Akabin ban bhala’ bhalai (Kawin dengan keluarga dekat dapat mencelakakan).
Dalam hal ini berarti bahwa perkawinan tersebut bersifat rapuh,sehingga sangat
berlainan dengan ikatan kekerabatan yang tidak pernah terputuskan. Oleh karena
itu diperlukan kewaspadaan dalam melakukan perjodohan antar keluarga dekat,
sebab jika sampai putus nantinya akan mengakibatkan renggangnya hubungan
keluarga sehingga merusak keharmonisan seluruh keluarga besar. (dalam Rifai
2007)

Dalam peribahasa Madura yang artinya piring pecah tidak dapat


diutuhkan kembali hal ini mengisyaratkan kepada para orang tua agar berhati-hati
menjaga anak perempuannya yang diibaratkan sebagai piring kaca yang artinya
9

sekali terjatuh akan berantakan berkeping-keping yang tidak dapat diperbaiki


kembali. Berbeda dengan anak laki-laki yang disamakan dengan piring seng. Jika
terjatuh hanya akan penyok dan dapat diperbaiki sehingga masih dapat dipakai
kembali. Oleh karena itu, dalam pergaulan yang berkaitan dengan pencarian jodoh
anak perempuan jangan sampai dilepas bebas agar laku terjual sebab kalau terjadi
apa-apa maka seluruh keluarga yang akan menanggung aibnya. (dalam Rifai
2007)

Dalam urusan perjodohan umumnya anak-anak atau remaja yang belum


dewasa tidak dapat menolak kehendak orang tuanya. Hal ini mengingatkan para
orang tua agar berhati-hati mengawinkan anak-anaknya yang belum dewasa.
Terutama antara gadis usia muda dengan pria yang sudah berumur. Dalam
perkawinan pasangan yang berbeda umur dapat memungkinkan timbulnya
masalah kemampuan seksual salah satu pihak, yang kegagalannya bisa merusak
keserasian dan mencerai beraikan rumah tangga. Peringatan ini perlu dikeluarkan
mengingat banyaknya perkembangan tidak menguntungkan jika perkawinan itu
kandas. Jika terjadi perceraian sering menjadikan hidup seorang janda muda
mengikuti jalan tidak benar dan semakin liar. (dalam Rifai 2007)

Orang Madura menganggap perlunya kehati-hatian dalam menggalang


perjodohan agar kedua belah pihak serasi dan saling berkeselarasan. Namun,
orang Madura juga menganggap bahwa perjodohan adalah suratan tangan yang
sudah digariskan Tuhan. Oleh karena itu sekalipun terhalang oleh tujuh lapis
gunung dan lautan jika memang sudah jodoh mereka pasti akan dipertemukan
juga. (dalam Rifai 2007)

2.2.2 Suami dan Istri

Oleh orang madura, sepasang pengantin baru diibaratkan sebagai langka’


anyar pol’ anyar (periuk baru tutupnya baru). Periuk dan tutupnya yang sama-
sama baru tadi biasanya dibuat secara khusus dan dipaskan benar satu sama
lainnya sehingga keserasian kedua bagian tersebut dijamin. Oleh karena itu
layaklah untuk mengharapkan bahwa keserasian dan keharmonisan sepasang
10

suami istri akan pas mara langka’ kalaban polo’na (ibarat periuk dengan
tutupnya), yang akur rukun dalam segala tindak tanduknya sehingga lancar
melayarkan bahtera rumah tangganya di samudera kehidupan. Ideal sekali untuk
mengiring ke pelaminan pasangan jodoh yang seperti bulan kembhar (bulan
kembar) karena wanitanya yang cantik jelita memang pantas didampingi prianya
yang gagah dan ganteng. Lebih ideal lagi seandainya keserasian itu dapat
terejawantahkan secara lahir dan batin mara cocopo kalaban kodungnga (seperti
cupu dengan tutupnya), sepasang sejoli yang tidak saja berkecocokan penampilan
rupa tetapi juga saling berkeselarasan dalam pembawaan watak terpujinya, serta
harta kekayaan yang dimilikinya. (dalam Rifai 2007)

Keserempakan sepasang suami istri itu diandaikan pula dengan ungkapan


ajhuma’ esaba’ (dijunjung diletakkan) yang merupakan pedoman keutamaan
hidup berkeluarga yang harus dijalaninya dalam membina mahligai rumah tangga
idaman. Sepasang suami istri sangat rukun yang boleh dikatakan tidak pernah
berpisahan oleh orang Madura di peribahasakan mara konye’ bhareng kapor
(seperti kunyit dan kapur) atau mara me’-eme’ (bagai keroncor dengan
belangkas). Ini tidak berbeda dengan peribahasa Jawa ‘Sastrena mii lan mintunu’
(sesetia mimi dan pasangannya) untuk mengandaikan ketidakberpisahan suami
dan istrinya seperti kesetiaan sepasang binatang laut ketam belangkas. (dalam
Rifai 2007)

Pria Madura tempo dulu banyak yang arampe (berpakaian berlapis-lapis),


artinya memiliki istri lebih dari seorang yang jumlahnya dapat sampai empat
orang sesuai dengan salah satu ajaran agama islam. Ngormang (seperti umang-
umang) adalah ungkapan untuk seorang pria berada yang beristri beberapa orang
yang menempatkan setiap istrinya dirumah sendiri-sendiri secara terpisah.
Sekarang kebiasaan berpoligami sudah umum ditinggalkan, sebab monogami
ternyata lebih menjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. Sekalipun
demikian tetap dianjurkan agar pria jangan sampai abadday bine’ (berdagang
istri) dengan jalan suka kawin cerai. Dulu ketika poligami masih dipraktikkan,
11

sorang wanita yang mau dikawini seorang pria yang sudah beristri dinamakan
alake’ matong (berpatungan suami). (dalam Rifai 2007)

Sepasang suami istri janganlah sampai abatek ajam (berwatak ayam) yang
berbaikan kalau berjauhan tetapi begitu berdekatan lalu saling mematuk sampai
luka-luka. Kehidupan rumah tangga yang tidak terlihat akur tetapi selalu ribut
dikatakan agharibak (selalu ribut). Kalau keadaan ini berlalrut-larut maka
pasangan itu akan dikatakan tinggal sendiri-sendiri sehingga mereka sampai
berpisah atau tidak serumah lagi walaupun tidak (belum) bercerai. (dalam Rifai
2007)

2.2.3 Anak dan Orang tua

Sesuai dengan falsafah bhu, pa’, bhabhu, ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh,
guru, raja) yang menata tangga kuasa kehidupannya, setiap orang madura
dinasihati untuk menghormati orangtua dan sesepuhnya secara luas. Petuah ini
diberikan karena para orang tua madura menyadari betul tugas dan kewajiban
serta tanggung jawabnya untuk menghidupi, memiara, mendidik, dan madhadhi
oreng (menjadikan orang) anak keturunannya. Saat anaknya kawin akan
dipanjatkannya doa mandher sampe’a atongket roman (mudah-mudahan akan
sampai bertongkat merang padi), sehingga pasangan suami istri keturunannya itu
panjang umur yang berkah sampai kakek nenek sehingga membungkuk jalannya
saking tuanya, membuat mereka perlu bertongkat pendek sekali. Dapatlah
dimengerti jika doa pakem oran tua madura bagi kesejahteraan anak-anaknya
adalah mandhar rampa’a naong mara baringin korong (mudah-mudahan rimbun
rindang menaungi seperti beringin kurung). Dengan demikian anak keturunannya
dapat menjadi orang besar terpandang, banyak anak dan sanak keluarga, dan
berlimpah rezeki serta harta kekayaan sehingga mampu mengayomi kekuarganya.
(dalam Rifai 2007)

Orang madura tempo dulu percaya bahwa mereka sama sekali tidak
merasa dibebani karena banyak anak keturunannya, sebab tada’ kerbhuy
kaberre’an tandu’ (tidak ada kerbau yang keberatan tanduk). Ini disebabkan
12

karena pendidikan keagamaan dan budi pekerti yang mereka terima mengajarkan
bahwa setiap anak itu membawa rezekinya sendiri-sendiri. (dalam Rifai 2007)

Ada ca’-oca’an madura yang menyatakan bahwa mon ana’ labu ka somor
emma’ alonca’, mon emma’ se labu ana’ nyare andha (kalau anak keecebur
sumur, orang tua akan terjun ke dalamnya, sedangkan kalau orang tua yang
terjatuh, anak akan mencari tangga). Sekalipun demikian tetap merupakan
kewajiban orang tua untuk mengasihi, menyayangi, dan membela anaknya
sekalipun yang terlahir buruk rupa dan jelek tingkah lakunya. (dalam Rifai 2007)

Pembawaan sifat dan perilaku seseorang itu umumnya diwarisi dari orang
tuanya sejalan dengan peribahasa orang madura ghaggharra dadar ta’ kera jhau
dari bhungkana (jatuhnya daun kering tak akan jauh dari pohonnya. (dalam Rifai
2007)

Secara tegas orang madura menyatakan bahwa tada’ ghentong nyello’ ke


canteng (tidak ada tempayan yang menimba dari gayung). Seorang tua memang
tidak mengharapkan balas budi atau bantuan apa-apa dari anaknya. Sebaliknya
menjadi kewajiban seorang anaklah untuk berbakti pada orang tua dan
sesepuhnya. (dalam Rifai 2007)

2.2.4 Sanak Saudara

Dalam menjaga keharmonisan hubungan keluarga akan diperlukan saling


pengertian yang menyeluruh. Sekalipun orang madura sangat menghargai
keteraturan dan ketertiban sesuai dengan kedudukan tangga kuasa, ghilir kacang
(digilir kacang) mungkin tidak dapat diterapkan secara konsekuen. Oleh karena
itu seorang kakak, misalnya harus rela dilangkahi adiknya karena berbagai
pertimbangan berkesempatan kawin terlebih dahulu. Untuk mengenakkan
perasaan sang kakak adat madura menyediakan upacara yang intinya diungkapkan
dengan ngala elengkae atau ngala palengka (mengalah dilangkahi menerima
dilangkahi adiknya kawin terlebih dahulu). (dalam Rifai 2007)
13

Samaramba (kerukunan keluarga) sangat diperhatikan oleh orang madura


tertama pada orang yang terhitung chobbu’ bhuco pa’-empa’ (kotak anyaman
bersudut empat—memiliki kaitan keluarga luas kemana-mana). Akan tetapi
memiliki keluarga besar tidak ada artinya kalau keeratan hubungan mereka tidak
terpatrikan dengan kukuh sampai berpadu aeng epeddhang ta’ apesa (Air dtetak
pedang tidak terpisah). Kerukunan keluarga seperti itu tidak akan mudah
diguncangkan oleh finah sehingga tahan terhadap gangguan mengadu domba yang
datang dari luar. (dalam Rifai 2007)

Diantara mereka juga berlaku peribahasa tada’ samelladdha oreng bannean


(tidak ada jarak seperti orang berbeda), maka semua pihak yang masih sedarang
daging atau masih bersanak bakal terikat oleh perasaan dekat yang terus
ditumbuhkan sehingga tolong menolong akan dapat berlangsung dengan sangat
suburnya. Kecondongan ini memnag dapat menimbulkan nepotisme sebab alam
melakukan interaksi yang melibatkan berbagai pihak mereka terlihat akan
mendahulukan kepentingan keluarga. Pada pihak lain, dikalangan orang madura
diantau sikap ini tidak akan mengurangi sikap kesetiakawanan sesama orang
maduranya, sekalipun tidak berkerabat dekat. (dalam Rifai 2007)

2.3 PO-SAPO ESEMPAY: KESETIAKAWANAN

2.3.1 Atasan dan Bawahan

Ondhur sa’ang dating cabbi (pergimerica datang cabai) merupakan


peribahasa Madura yang mencoba menggambarkan nasib karyawan bawahan
yang ditinggal pergi seorang atasan yang keras, untuk kemudian digantikan oleh
seorang yang tidak kalah bengisnya. (dalam Rifai 2007)

Seorang atasan tidak boleh bersifat sangat keras kepada bawahannya.


Atasan jangan sampai ditakuti seperti barakay pangleghur (biawak panglegur-
didongengkan bahwa sebelum menjadi bagian kota Sumenep di sungai dekat
kampong Panglegur ada biawak buntung yang galak dan ganas, yang
menyebabkan orang yang melihatnya jatuh sakit sehingga daerah itu dijauhi
karena ditakuti orang). Seorang atasan yang baik akan memiliki parbaba (virtue of
14

authority atau wibawa pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi


orang lain melalui sikap dan tingkah laku kepemimpinan yang penuh daya tarik
pribadi). Jika seorang atasan tidak memiliki sebuah wibawa yang alami atau
naluriah maka akan dihormati tapi sebaliknya ketika dia sudah tidak menjabat
atau purna maka dirinya akan diibaratkan laddhing tada’ bajhana (pisau tidak
berbaja) atau tada opassa (tidak ada tuahnya). (dalam Rifai 2007)

Setiap orang harus sadar bahwa putaran nasib itu ada, ketika posisi
dibawah mungkin akan banyak orang yang berbondong-bondong untuk menagih
hutang atau mengurungkan janji, serta akan beramai-ramai pula menjatuhkan dan
menjelek-jelekkan namanya. Tapi jika diawal dia menjadi seorang atasan yang
baik maka akan banyak disenangi, dihormati dan disayangi oleh bawahannya
sehingga dapat merasa seperti ajam atellor e bherras (ayam bertelur diatas beras).
Karena semua unsur senang, mereka dapat bekerja dengan tenang dan rajin
sehingga hasil kegiatan unit lembaga yang dipimpinnya maju. Semua pihak
terutama yang diatas merasa sangat diuntungkan sehingga pendapatan dan bonus
untuk para pekerja bertambah. Sebagai akibatnya ia mungkin akan mendapatkan
pemberian (bukan sogokan) sebagai tanda terima kasih bawahannya. Ia senang
karena tidak peduli bahwa pemberian bawahan tadi mungkin tidak ada harganya,
sebab yang dipentingkan olehnya adalah arti keberterimakasihan mereka. Baginya
pemberian bawahan bermakna bannya’ parjhugha, sakone pangesto (banyak tidak
jelek tetapi sedikit merupakan penghargaan tulus). (dalam Rifai 2007)

Akan tetapi dalam kaitan ini harus terus diingat jiwa peribahasa Madura
yang menyatakan bahwa jhuko’ kene’ kakanna jhuku’ raja (ikan kecil makanan
ikan besar). Dengan demikian orang yang memegang jabatan akan terhindar dari
perbuatan tercela, karena bawahan sering atau bisa menjadi korban ambisi
keserakahan atasannya. Pimpinan yang seperti tu harus diawasi atasannya dengan
lebih cermat lagi, sebab mereka condong mencari muka sehingga bersifat tajhem
epenna (tajam penanya) karena senang mencari-cari kesalahan bawahannya guna
dilaporkan. Mereka pun tidak sungkan adhajung ka olo (berdayung ke hulu)
dengan jalan mencari kesempatan untuk selalu dekat dengan atasannya buat
15

kepentingan dirinya yang umumnya tak terpuji. Karyawan yang suka ajhuwal
bibir (menjual bibir) untuk mengambil hati dengan selalu berperilaku asal
atasan/bapak senang (ABS) serta suka menjelek-jelekkan sejawatnya agar
mendapat perhatian atasan tak semestinya, memang harus diwaspadai. Karyawan
seperti itu biasanya tidak punya tanggung jawab sehingga sering melakukan ghilir
tampar (menggali tali) dengan jalan meneruskan pada orang lain tugas yang
sebenaarnya menjadi tanggung jawab kewajibannya. (dalam Rifai 2007)

Dalam sebuah organisasi hubungan setiap unsur kelembagaan perlu


tergambarkan dengan jelas sehingga garis komando akan terlihat dan dimengerti
semua orang. Sebaliknya harus dihindari keadaan lingkungan kerja yang acetak
duwa’ (berkepala dua) sebab pasti akan membingungkan bawahan. Suasana kerja
dan kemajuan pekerjaan bisa menjadi kalang kabut karena menghadapi 2
pimpinan yang mungkin memiliki kebijakan yang berbeda. (dalam Rifai 2007)

Berdasarkan kewenangan dan kekuasaan yang terletak di tangannya,


seorang atasan tentunya bisa mapotea dangdang pote, macelangga dhalko’
celleng (memutihkan burung gagak putih, mengitamkan burung kuntul hitam).
Hitam putih nasib bawahan memang betul-betul terletak di tangannya, sebab
seorang atasan haruslah seseorang yang pinter adhalang (pandai mendalang). Ia
dituntut punya kemampuan mengelola situasi dan mencari peluang serta lihai
berlobi membuat pendekatan meyakinkan guna menggolkan suatu usulan
kegiatan. Berkat kemampuannya, tada’ dhalang kakorangan lakon (tidak ada
dalang kehabisan ceritera) sehingga selalu bisa mencari jalan untuk mengatasi
persoalan yang dihadapinya. Sebagai akibatnya kalua seorang atasan tidak
berpandai-pandai diri dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dengan mudah ia
bisa tergelincir pada perbuatan yang sewenang-wenang. (dalam Rifai 2007)

Dimana pun juga di dunia ini rupanya berlaku peribahasa Madura yang
menyatakan bahwa kinerja dan nasib bawahan itu mara oreng nabbhu egghung
(seperti penabuh gong). Kalau pekerjaannya benar dan baik prestasinya, tidak ada
komentar sama sekali karena yang bersangkutan dianggap sudah menjalankan
16

kewajiban yang merupakan tugas pokok fungsinya. Namun kalua berbuat salah
sedikit saja dalam menyelesaikan tugasnya maka langsung dicela habis-habisan
dan terus menerus dimarahi serta mungkin masih mendapat hukuman, eponga’
epanondu’ (didongakkan ditundukkan) kata peribahasa Madura. (dalam Rifai
2007)

Tidaklah bijaksana bagi seorang atasan untuk membiarkan seorang


pegawai yang cakap untuk terus hanya dimanfaatkan tenaganya tanpa memikirkan
kemajuan kariernya. Kalau atasan kurang memerhatikan nasib bawahannya,
seorang pekerja baik dapat menjadi samper laju e sampayan (kain panjang
menjadi butut di jemuran). Sekalipun promosinya mungkin akan mengganggu
kelancaran kerja lingkungannya ia tetap harus ditingkatkan jabatan, kedudukan
dan tanggung jawabnya serta dinaikkan pangkatnya. Kalau diperlukan,
promosinya itu mungkin harus disertai kepindahannya ke tempat lain yang lebih
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, agar tidak timbul kesan bahwa ia
hanya ecangcang ta’ ealle (ditambatkan tidak dipindahkan). Untuk menyuburkan
sebidang lahan dengan pupuk kandang, orang memang tidak bisa menambatkan
seekor sapi di situ secara terus menerus sebab rumput tegalan tersebut bisa habis.
Bawahan yang cakap tidak boleh diperlakukan sebagai koceng ekalieburi na’-
kana’ (kucing disenangi anak-anak) atau koceng ekaen-maenan na’-kana’ (kucing
dimainmainkan anak-anak), yang hanya dipuji tetapi tidak dicukupkan
penghasilannya atau dinaikkan pangkatnya. Untuk itu seorang atasan dituntut
berhati penuh kebijaksanaan sehingga bawahan terandalkan yang terabaikan
pangkat, jabatan, dan kedudukannya segera terpromosikan lagi sampai mereka
ibarat samper epasampay (kain panjang diselempangkan) sehingga merasa
sebagai oreng mate odi’ pole (orang mati hidup lagi). Seorang atasan perlu ingat
pada bunyi baburughan Madura bahwa ngadhadhi baba’an ta’ matoron
dharajaddha attasan (menghargai bawahan tidak merosotkan harkat atasan).
(dalam Rifai 2007)

Dengan demikian bawahan jangan hanya ekasoko tanang (dijadikan kaki


dan tangan), atau ekepeyat dan ekasorkot (dijadikan kesekan pembersih kaki)
17

untuk ditugasi menyelesaikan bermacam pekerjaan ke barat dan ke timur tanpa


pandang waktu. Sudah merupakan kenyataan bahwa bawahan yang baik selalu
cekatan kerjanya sehingga berbagai beban pekerjaan ditumpukkan padanya, sela
abhan-embhan ghi’ eghand?hunge (sudah menggendong masih ditunggangi) kata
peribahasa Madura. Apalagi kalau seorang bawahan sampai epegha’ kaok atau
epegha’ keyok (ditangkap terus disembelih), yang bermakna dimintai tolong
secara sukarela tetapi sesudah mau bersedia lalu diharuskan segera mulai tanpa
ampun karena adanya tenggat waktu yang harus dipenuhi. (dalam Rifai 2007)

Menjadi kewajiban atasan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan


setiap bawahannya sehingga ia akan dapat menempatkan seseorang pada
tempatnya sesuai dengan kemampuannya. Salah besarlah seorang atasan kalau
sampai memekerjakan seseorang yang ditempat yang banne` kaskella (bukan
potongannya untuk bekerja kasar). Bawahan sebenarnya senang mendapat teguran
positif yang konstruktif dari atasannya terhadap kesalahan yang diperbuatnya.
Teguran membangun itu akan dirasakan sebagai celo’na acar (kekecutan acar),
yang semula mungkin akan dirasakan tidak enak dan kecut atau pahit
menyakitkan. Akan tetapi kalau dipikir dan dirasa-rasakan, serta konteksnya
dipertimbangkan secara menyeluruh, baru akan disadari kebenaran manfaat
teguran tersebut. (dalam Rifai 2007)

Perlu disadari sepenuhnya bahwa kepindahan atau kepergian atasan yang


baik pasti akan dirasakan oleh lingkungannya, sebagaimana tersirat dari
peribahasa karabu elang panongghulla (bros kehilangan permata utamanya).
(dalam Rifai 2007)

2.3.2 Antarsahabat

Kanca kentel (sahabat kental), ri’-saburi’ (bersepantatan), dan kanca lang-


saghulung (kawan senasib-sepenanggungan) merupakan ungkapan Madura untuk
menunjukkan persahabatan sejati yang sangat erat dan akrabnya. Keakraban
persahabatannya akan menyebabkan kesenangan yang satu dirasakan pula secara
sepenuhnya oleh yang lain. Tidak hanya kesenangan, tetapi kesusahan pun akan
18

dibagi-bagi pula sehingga temannya merasa kapeperan (ikut dirugikan).


Keharmonisan persahabatannya dikatakan sebagai kapor ban ghula (kapur dan
gula) yang pasti selalu dipakai bila orang membuat minuman cendol. Dalam
kaitan ini kapur dipakai untuk mengentalkan adonan tepungnya dan gulanya perlu
untuk menyempurnakan kenikmatan produk akhirnya saat disuguhkan. Rasa ketir
dan manis bersatu padu sangat serasinya untuk membuat minuman cendolnya
menjadi utuh dan sempurna. (dalam Rifai 2007)

Kalau kesaling cocokan tanggapan antara dua orang bersahabat karib


dapat dikatakan kapattowan (berkeseimbangan), persahabatan antar keduanya
akan sangat akrab betul. Adapun kesetiakawanan yang terpatri antara tiga orang
sahabat dinyatakan dengan ungkapan Madura canggha tomang (tiang tungku).
Seperti orang melayu, keseiasekataan antar sahabat yang baik itu dinyatakan
dengan ungkapan pa’-empa’ sakaban (empat sekawan) yang maksudnya ‘sama
saja’). Di antara orang bersahabat karib yang selalu sepakat serta sulit dipisahkan,
akan saling ikhlas berkorban demi kepentingan sahabatnya tadi, tak ubahnya
sebagai saudara sendiri. Untuk itu orang Madura menciptakan papareghan yang
berbunyi bila kenca palotan, bila kanca taretan (kalau teman,saudara). (dalam
Rifai 2007)

Sebagai akibatnya timbullah peribahasa oreng dhaddhi taretan, taretan


dhaddhi oreng (orang dapat jadi saudara, saudara jadi orang), untuk menyatakan
bahwa rasa kedekatan persahabatan pada orang luar dapat sangat kuat sehingga
melebihi rasa keeratan batin terhadap sanak saudara sendiri. (dalam Rifai 2007)

Sekalipun demikian ada ungkapan ra’-berra’ghula (berat-berat gula)


untuk menunjukkan bahwa ikatan persahabatan dua sekawan yang seia sekata
masih mungkin terganjal oleh keraguan atas tabiat satu sama lainnya yang belum
terukurkan betul. Gangguan keakraban persahabatan bisa melebar kalau
sebelumnya pernah timbul silang pendapat di antara keduanya. Persahabatan tidak
19

mungkin kekal lestari kalau seorang di antaranya bersifat cem-accemman (asam-


asaman) atau bosan-bosanan dan angina-anginan kelakuannya. (dalam Rifai 2007)

2.3.3 Sesama orang Madura

Seperti disinggung diatas, kuatnya rasa ejhin atau keperseoranganan orang


Madura, keengganannya mencampuri urusan orang lain, terlembagakannya ikatan
kekeluargakannya, dan kepercayaannya pada kemapanan dan keteraturan tatanan,
ternayata tidak mengurangi rasa kesetiakawanan mereka yang tidak termasuk
dalam system yang melibatkan hubungan darah. Pola solidaritas ini terutama
terlihat pada sesama orang Madura di suatu rantau (Sudagung 1984/2001: 120
dalam Rifai, 2007). Jiwa peribahasa ‘bersatu kita teguh bercerai kita jatuh’ yang
dimadurakan dengan ungkapan po-sapo esempay (sapu diikat) rupanya membekas
secara mendalam dalam diri orang-orang Madura di perantauan. Peribahasa dan
pepatah serta ungkapan Madura sejenis yang mengacu pada keserempakan,
ternyata memang selalu terkait pada sesuatu yang jelas hubungan ketetanggaannya
(jhak-ajhak), terlihat keperluannya (song-osong lombhung), serta yang
terlokalisasi kegiatannya (asaor mano). Dengan sendirinya semakin jauh daerah
yang dihuninya dari Madura, akan semakin sedikit jumlah orang Madura di suatu
daerah. Kenyataan ini meningkatkan rasa cemas, keterasingan, ketidakpastian, dan
keterancaman oleh unsur lingkungan sehingga menguatkan ikatan solidaritas
social (dan juga ekonomi) antar sesama orang Madura itu terkesan sering
dipraktikkan secara berlebihan (“super ethnocentrism” kata orang Inggris).
Sebagai akibatnya apabila ada orang Madura mengahadapi permasalahan yang
melibatkan kelompok etnis lain, benar atau salah ia akan senantiasa dibela mati-
matian yang terkadang diikuti dengan tindak kekerasan. Tapi jika di Madura
sendiri itu kurang solidaritasnya karena mereka hanya bergantung pada orang
yang merantau. (dalam Rifai 2007)

Sehubungan dengan kesetiakawanan antar orang Madura ini ada semacam


lelucon yang sering diguraukan di kalangan orang Madura timur. Dalam gurauan
itu dinyatakan bahwa orang Sumenep adalah kelompok elite dan juga bangsawan
20

manusia Madura (ghuste` di lapis pertama dalam tatanan kemasyarakatannya),


dan orang Pamekasan merupakan priyayi atau diplomat pelaksananya (parjaji di
lapisan kedua). Adapun orang Sampang di anggap sebagai pedagang dan pekerja
yang berguna karena kekuatan ototnya (sodhaghar, jhuraghan ban koli di lapisan
ketiga), sedangkan orang Bangkalan hanyalah kelompok premannya (oreng
dhume’ ban tokang blater di lapisan terbawah). Anwar (dalam Rifai 2007)
menambahkan bahwa kegiatan penduduk Madura timur lebih ditekankan pada
olah batin, sementara penduduk Madura barat lebih bertumpu pada olah fisik
tubuh, terutama keterampilan bela diri. Olok-olok seperti ini sering dibalas oleh
orang Madura barat dengan mengingatkan bahwa selama beberapa abad
pemimpin Madura timur berasal dari atau memunyai hubungan darah dengan
leluhur bangsawan Bangkalan. Dari gurauan ini dapat dilihat bahwa orang
Madura timur (yang dulunya lebih suka disebut oreng Bhangkalan) itu tidak
selamanya akur, karena sejarah panjang mereka telah mengikuti alur berbeda.
(dalam Rifai 2007)
BAB III

PENUTUP

PENELITIAN YANG RELEVAN DENGAN INTERAKSI SOSIAL ORANG


MADURA

A. Penelitian budaya komunikasi etnis Madura dalam kehidupan


social di kelurahan mata kota Kendari

Penelitian tersebut menggunakan teknik pengumpulan data observasi,


wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Dengan analisis deskriptif kualitatif.

Dalam penelitian ini budaya komunikasi etnik Madura dalam kehidupan


social di kelurahan Mata Kota Kendari. Budaya komunikasi masyarakat Madura
sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian ini adalah budaya komunikasi
yang lebih mengarah pada budaya komunikasi yang lebih terbuka, dimana
penyampaian pesan dalam komunikasi dilakukan secara langsung, blak-blakan,
tetapi dalam berinteraksi mereka lebih banyak menggunakan Bahasa verbal dari
pada Bahasa non verbal. Ini terlihat lebih dominanya penggunaan Bahasa-bahasa
lisan yang muncul dari pembicaraan yang mereka lakukan. (Qamariah, 2016)

Masyarakat Madura dalam berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh tradisi


mereka yang sangat khas, mulai dari logat Bahasa, cara mereka bertutur kata,
menyampaikan pesan mereka yang ada dalam pikiran mereka sampai pada
pengungkapan atau pengekspresian perasaan mereka. Dan orang Madura
cenderung dalam menyampaikan sesuatu dengan to the point, karena mereka
menghargai waktu dari pada kemasan pesan yang akan disampaikan. Masyarakat
Madura cenderung tidak perlu merangkai kata-kata indah yang enak di dengar.
Komunikasi masyarakat Madura terlihat keras tapi sebenarnya tidak, karena itu
merupakan ciri khas orang Madura sendiri. (Qamariah, 2016)

Dikehidupan social perilaku masyarakat Madura pada dasarnya jujur dan


sederhana. Memiliki hubungan yang sangat erat, walaupun mereka tidak kenal

21
sebelumnya. Apabila bertemu dimanapun, asalkan tahu kalau dia berasal dari
Madura, maka interaksi mereka akan terjalin dengan baik. (Qamariah, 2016)

22
23

Dikehidupan social mereka memiliki suatu system kekerabatan yang khas


dan unik. Sebagai pembeda dengan yang lainnya dan mereka tidak memiliki
penamaan yang khusus, tetapi mereka percaya bahwa orang Madura merupakan
satu garis keturunan yang sama sejak dahulu. (Qamariah, 2016)
BAB IV

KESIMPULAN

Atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi itu harus berjalan dengan
seiringan dengan kata lain harus saling mengerti dan memahami, atasan tidak
boleh semena-mena dengan bawahan, yang dapat mengakibatkan menurunnya
kinerja seorang karyawan, dan bawahan juga harus bisa memposisikan dirinya
sebagai karyawan bukan sebagai babu, dan atasan harus bisa mengayomi atau
perhatian terhadap bawahannya, bisa memberikan upah yang layak dan
menseponsori bawahan supaya bisa naik jabatan. Jika dalam menjadi pemimpin
seseorang iru tidak bisa mengayomi semena-mena, maka tidak akan memiliki
kewibawaan, apalagi ketika sudah tidak menjabat berbeda dengan atasan yang
baik meski sudah tidak menjabat orang-orang akan tetap segan kepada atasan
tersebut. Dan perlu diingat pula bahwa roda itu berputar sehingga tidak selamanya
orang itu akan berada diatas.

Antarahabat di Madura itu sangat kental, mereka menganggap teman


adalah tretan atau saudara. Sehingga mereka akan memperlakukan sahabat mereka
dengan baik seperti perlakuannya pada saudara mereka sendiri.

Mereka memiliki rasa saling memiliki sesama orang Madura, mereka


menganggap mereka dalam satu keturunan yang sama, sehingga solidaritas
mereka sangat kuat, meskipun mereka tidak saling kenal asalkan dari Madura
mereka akan dengan mudahnya menjadi akrab.

Dan orang Madura sendiri itu suka menggunakan kata-kata yang frontal,
yang apa adanya, karena mereka sangat menghargai waktu, serta mereka tidak
perlu keindahan kata dalam berbicara yang penting pesan yang ingin mereka
sampaikan dapat diterima dengan baik.

Interaksi yang dilakukan oleh individu dengan orang lain dijadikan


sebagai ukuran keberhasilan seseorang dalam membawakan dirinya, keluarganya,
perkerjaannya, dan masyarakat di lingkungannya. Karena berhubungan dengan

24
25

pembawaan dan sikap, pola interaksi sosial yang dilakukan oleh perorangan itu
beberapa diantaranya akan akan ikut membentuk tingkah laku suku bangsanya
secara keseluruhan.

Semangat gotong royong dan kekeluargaan orang Madura terbilang cukup


besar. Tali kekeluargaan antar individu memang sangat diperhatikan oleh orang
Madura. Masyarakat Madura percaya bahwa memiliki Bhala Karaba (Kaum
kerabat) atau Sana’ Bharajba (Sanak keluarga) yang banyak merupakan suatu
tanda keberhasilan dalam kehidupannya. Secara tidak langsung, anak orang
Madura di didik bahwa dalam pasangan hidup dapat dicari dimana saja, sesuai
dengan pandangan hidup bahwa Songennep ta’ abingker (Bumi Sumenep tidak
berbingkai). Dengan demikian, akan semakin banyak orang yang dapat menjadi
dekat hubungan kekeluargaannya dikarenakan oleh ikatan perkawinan.

Pria Madura tempo dulu banyak yang arampe (berpakaian berlapis-


lapis), artinya memiliki istri lebih dari seorang yang jumlahnya dapat sampai
empat orang sesuai dengan salah satu ajaran agama islam. Sekarang kebiasaan
berpoligami sudah umum ditinggalkan, sebab monogami ternyata lebih
menjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
Orang madura tempo dulu percaya bahwa mereka sama sekali tidak
merasa dibebani karena banyak anak keturunannya Ini disebabkan karena
pendidikan keagamaan dan budi pekerti yang mereka terima mengajarkan
bahwa setiap anak itu membawa rezekinya sendiri-sendiri.
Diantara mereka juga berlaku peribahasa tada’ samelladdha oreng
bannean (tidak ada jarak seperti orang berbeda), maka semua pihak yang
masih sedarang daging atau masih bersanak bakal terikat oleh perasaan dekat
yang terus ditumbuhkan sehingga tolong menolong akan dapat berlangsung
dengan sangat suburnya.
DAFTAR PUSTAKA

Rifai. (2007). Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar media

Qamariah. (2016). Budaya komunikasi etnis Madura dalam kehidupan social di


kelurahan mata kota Kendari. 1-15.

26

Anda mungkin juga menyukai