Budaya Madura-1
Budaya Madura-1
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sebab jika bukan berkat nikmat dari
Allah, kami tidak akan bisa mengerjakannya.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin dengan
menggunakan beberapa referensi dari buku sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi membangun kesempurnaan makalah ini.
Apabila ada kesalahan dalam makalah ini. Kami segenap penyusun minta maaf
yang sebesar-besarnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Oleh sebab itu kita akan membahas bagaimanakah interaksi social orang
Madura, bagaimana cara mereka berinteraksi, seperti apakah perbedaannya
dengan wilayah lain, sehingga dibuatlah makalah ini.
5
6
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
2.2 Kekerabatan
7
8
adalah bertambahnya keluarga, seperti dalam peribahasa Tona sata’ bate sana’
(Rugi uang seratus mendapat sanak). (dalam Rifai 2007)
suami istri akan pas mara langka’ kalaban polo’na (ibarat periuk dengan
tutupnya), yang akur rukun dalam segala tindak tanduknya sehingga lancar
melayarkan bahtera rumah tangganya di samudera kehidupan. Ideal sekali untuk
mengiring ke pelaminan pasangan jodoh yang seperti bulan kembhar (bulan
kembar) karena wanitanya yang cantik jelita memang pantas didampingi prianya
yang gagah dan ganteng. Lebih ideal lagi seandainya keserasian itu dapat
terejawantahkan secara lahir dan batin mara cocopo kalaban kodungnga (seperti
cupu dengan tutupnya), sepasang sejoli yang tidak saja berkecocokan penampilan
rupa tetapi juga saling berkeselarasan dalam pembawaan watak terpujinya, serta
harta kekayaan yang dimilikinya. (dalam Rifai 2007)
sorang wanita yang mau dikawini seorang pria yang sudah beristri dinamakan
alake’ matong (berpatungan suami). (dalam Rifai 2007)
Sepasang suami istri janganlah sampai abatek ajam (berwatak ayam) yang
berbaikan kalau berjauhan tetapi begitu berdekatan lalu saling mematuk sampai
luka-luka. Kehidupan rumah tangga yang tidak terlihat akur tetapi selalu ribut
dikatakan agharibak (selalu ribut). Kalau keadaan ini berlalrut-larut maka
pasangan itu akan dikatakan tinggal sendiri-sendiri sehingga mereka sampai
berpisah atau tidak serumah lagi walaupun tidak (belum) bercerai. (dalam Rifai
2007)
Sesuai dengan falsafah bhu, pa’, bhabhu, ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh,
guru, raja) yang menata tangga kuasa kehidupannya, setiap orang madura
dinasihati untuk menghormati orangtua dan sesepuhnya secara luas. Petuah ini
diberikan karena para orang tua madura menyadari betul tugas dan kewajiban
serta tanggung jawabnya untuk menghidupi, memiara, mendidik, dan madhadhi
oreng (menjadikan orang) anak keturunannya. Saat anaknya kawin akan
dipanjatkannya doa mandher sampe’a atongket roman (mudah-mudahan akan
sampai bertongkat merang padi), sehingga pasangan suami istri keturunannya itu
panjang umur yang berkah sampai kakek nenek sehingga membungkuk jalannya
saking tuanya, membuat mereka perlu bertongkat pendek sekali. Dapatlah
dimengerti jika doa pakem oran tua madura bagi kesejahteraan anak-anaknya
adalah mandhar rampa’a naong mara baringin korong (mudah-mudahan rimbun
rindang menaungi seperti beringin kurung). Dengan demikian anak keturunannya
dapat menjadi orang besar terpandang, banyak anak dan sanak keluarga, dan
berlimpah rezeki serta harta kekayaan sehingga mampu mengayomi kekuarganya.
(dalam Rifai 2007)
Orang madura tempo dulu percaya bahwa mereka sama sekali tidak
merasa dibebani karena banyak anak keturunannya, sebab tada’ kerbhuy
kaberre’an tandu’ (tidak ada kerbau yang keberatan tanduk). Ini disebabkan
12
karena pendidikan keagamaan dan budi pekerti yang mereka terima mengajarkan
bahwa setiap anak itu membawa rezekinya sendiri-sendiri. (dalam Rifai 2007)
Ada ca’-oca’an madura yang menyatakan bahwa mon ana’ labu ka somor
emma’ alonca’, mon emma’ se labu ana’ nyare andha (kalau anak keecebur
sumur, orang tua akan terjun ke dalamnya, sedangkan kalau orang tua yang
terjatuh, anak akan mencari tangga). Sekalipun demikian tetap merupakan
kewajiban orang tua untuk mengasihi, menyayangi, dan membela anaknya
sekalipun yang terlahir buruk rupa dan jelek tingkah lakunya. (dalam Rifai 2007)
Pembawaan sifat dan perilaku seseorang itu umumnya diwarisi dari orang
tuanya sejalan dengan peribahasa orang madura ghaggharra dadar ta’ kera jhau
dari bhungkana (jatuhnya daun kering tak akan jauh dari pohonnya. (dalam Rifai
2007)
Setiap orang harus sadar bahwa putaran nasib itu ada, ketika posisi
dibawah mungkin akan banyak orang yang berbondong-bondong untuk menagih
hutang atau mengurungkan janji, serta akan beramai-ramai pula menjatuhkan dan
menjelek-jelekkan namanya. Tapi jika diawal dia menjadi seorang atasan yang
baik maka akan banyak disenangi, dihormati dan disayangi oleh bawahannya
sehingga dapat merasa seperti ajam atellor e bherras (ayam bertelur diatas beras).
Karena semua unsur senang, mereka dapat bekerja dengan tenang dan rajin
sehingga hasil kegiatan unit lembaga yang dipimpinnya maju. Semua pihak
terutama yang diatas merasa sangat diuntungkan sehingga pendapatan dan bonus
untuk para pekerja bertambah. Sebagai akibatnya ia mungkin akan mendapatkan
pemberian (bukan sogokan) sebagai tanda terima kasih bawahannya. Ia senang
karena tidak peduli bahwa pemberian bawahan tadi mungkin tidak ada harganya,
sebab yang dipentingkan olehnya adalah arti keberterimakasihan mereka. Baginya
pemberian bawahan bermakna bannya’ parjhugha, sakone pangesto (banyak tidak
jelek tetapi sedikit merupakan penghargaan tulus). (dalam Rifai 2007)
Akan tetapi dalam kaitan ini harus terus diingat jiwa peribahasa Madura
yang menyatakan bahwa jhuko’ kene’ kakanna jhuku’ raja (ikan kecil makanan
ikan besar). Dengan demikian orang yang memegang jabatan akan terhindar dari
perbuatan tercela, karena bawahan sering atau bisa menjadi korban ambisi
keserakahan atasannya. Pimpinan yang seperti tu harus diawasi atasannya dengan
lebih cermat lagi, sebab mereka condong mencari muka sehingga bersifat tajhem
epenna (tajam penanya) karena senang mencari-cari kesalahan bawahannya guna
dilaporkan. Mereka pun tidak sungkan adhajung ka olo (berdayung ke hulu)
dengan jalan mencari kesempatan untuk selalu dekat dengan atasannya buat
15
kepentingan dirinya yang umumnya tak terpuji. Karyawan yang suka ajhuwal
bibir (menjual bibir) untuk mengambil hati dengan selalu berperilaku asal
atasan/bapak senang (ABS) serta suka menjelek-jelekkan sejawatnya agar
mendapat perhatian atasan tak semestinya, memang harus diwaspadai. Karyawan
seperti itu biasanya tidak punya tanggung jawab sehingga sering melakukan ghilir
tampar (menggali tali) dengan jalan meneruskan pada orang lain tugas yang
sebenaarnya menjadi tanggung jawab kewajibannya. (dalam Rifai 2007)
Dimana pun juga di dunia ini rupanya berlaku peribahasa Madura yang
menyatakan bahwa kinerja dan nasib bawahan itu mara oreng nabbhu egghung
(seperti penabuh gong). Kalau pekerjaannya benar dan baik prestasinya, tidak ada
komentar sama sekali karena yang bersangkutan dianggap sudah menjalankan
16
kewajiban yang merupakan tugas pokok fungsinya. Namun kalua berbuat salah
sedikit saja dalam menyelesaikan tugasnya maka langsung dicela habis-habisan
dan terus menerus dimarahi serta mungkin masih mendapat hukuman, eponga’
epanondu’ (didongakkan ditundukkan) kata peribahasa Madura. (dalam Rifai
2007)
2.3.2 Antarsahabat
PENUTUP
21
sebelumnya. Apabila bertemu dimanapun, asalkan tahu kalau dia berasal dari
Madura, maka interaksi mereka akan terjalin dengan baik. (Qamariah, 2016)
22
23
KESIMPULAN
Atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi itu harus berjalan dengan
seiringan dengan kata lain harus saling mengerti dan memahami, atasan tidak
boleh semena-mena dengan bawahan, yang dapat mengakibatkan menurunnya
kinerja seorang karyawan, dan bawahan juga harus bisa memposisikan dirinya
sebagai karyawan bukan sebagai babu, dan atasan harus bisa mengayomi atau
perhatian terhadap bawahannya, bisa memberikan upah yang layak dan
menseponsori bawahan supaya bisa naik jabatan. Jika dalam menjadi pemimpin
seseorang iru tidak bisa mengayomi semena-mena, maka tidak akan memiliki
kewibawaan, apalagi ketika sudah tidak menjabat berbeda dengan atasan yang
baik meski sudah tidak menjabat orang-orang akan tetap segan kepada atasan
tersebut. Dan perlu diingat pula bahwa roda itu berputar sehingga tidak selamanya
orang itu akan berada diatas.
Dan orang Madura sendiri itu suka menggunakan kata-kata yang frontal,
yang apa adanya, karena mereka sangat menghargai waktu, serta mereka tidak
perlu keindahan kata dalam berbicara yang penting pesan yang ingin mereka
sampaikan dapat diterima dengan baik.
24
25
pembawaan dan sikap, pola interaksi sosial yang dilakukan oleh perorangan itu
beberapa diantaranya akan akan ikut membentuk tingkah laku suku bangsanya
secara keseluruhan.
26