Anda di halaman 1dari 3

Menikah untuk Menyenangkan Siapa?

Sejatinya, pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat personal, tidak sepatutnya hal
sesakral itu menjadi bahan sindiran halus apalagi tekanan untuk menyegerakannya.

by Icha Kusuma
Issues // Politics and Society

Share:
Hampir setiap hari, kita melihat di berbagai tempat, baik itu iklan televisi, majalah, internet,
percakapan orang lain, obrolan keluarga dan obrolan di lingkungan pertemanan, tidak sedikit
yang hobi melakukan brainwashing dan mendorong-dorong mereka yang masih lajang untuk
segera menikah.

Tanpa disadari, hal ini menciptakan sebuah fenomena kebahagiaan delusional yang
sebenarnya, di dalam kalimat ajakan tersebut, terselip rasa insecurity. Keluarga atau teman
lebih senang bertanya “kapan nikah?” dibandingkan “kapan lanjut S2?”

Yang saya amati, perempuan banyak sekali dijadikan obyek meme ataupun bahan topik
tulisan di berbagai artikel serta majalah perempuan tentang ajakan untuk segera menikah
muda. Hal ini menjadi sangat efektif, terutama bila target mereka adalah para
jomblo insecure yang takut akan kesendirian, yang mencemaskan apa yang orang lain
pikirkan.

Strategi “brainwashing” dan “delusional happiness” ini mirip produk kosmetik yang banyak
bercerita soal keunggulan-keunggulan produknya, tanpa pernah memberikan pernyataan
bahwa produk tersebut ada kemungkinan tidak akan cocok untuk semua jenis kulit. Sebuah
paradigma yang sangat absurd, karena realitas yang terjadi di lingkungan sosial, tidaklah
senyata yang mereka pikirkan dan cemaskan.

Dorongan untuk menikah, hampir semuanya berkutat seputar faktor agama, kesehatan, iming-
iming kehidupan bahagia sampai akhir, bisa bermesraan halal dan lain sebagainya. Masih
sedikit sekali artikel yang membahas soal kematangan emosional, kecukupan finansial,
kemampuan mengatasi masalah sebelum memutuskan untuk memasuki kehidupan
pernikahan.

Hal-hal krusial seperti itu tentu tidak akan ditemukan di buklet pre-wedding manapun.
Kalaupun disebutkan, tidak akan ada wedding organizer yang laris manis diserbu konsumen.

Selama ini, kita banyak diarahkan untuk berpikir bahwa “menikah adalah suatu jalan menuju
kebahagiaan”, dan ketika dua orang masuk di dalamnya, bertemu dengan konflik yang
sesungguhnya, mereka baru sadar, kebanyakan dari mereka menjadi panik dan bingung harus
berbuat apa, terlebih saat mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi ribuan
konflik yang pasti akan terjadi, tetapi tidak pernah terpikir sebelumnya.

Sejatinya, pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat personal, tidak sepatutnya hal
sesakral itu menjadi bahan sindiran halus apalagi tekanan untuk menyegerakannya.

“Aku udah nikah, kamu kapan?”

“Kalau abang gak siap juga, eneng siap bawa abang ke KUA.”

“Kapan kamu bisa kasih mama cucu?”

“Kalau serius, nikahin.”

Dalam buku The Alpha Girls Guide, Henry Manampiring memaparkan bahwa ada dua alasan
perempuan untuk menikah: Karena takut akan sesuatu (takut tua, takut cemoohan, takut
miskin, dan lain-lain) dan menikah sebagai solusi untuk masalah pribadi (orangtua ingin
punya cucu, menghindari dosa dan lain-lain).

“Menikah untuk menyenangkan orang lain adalah salah satu alasan yang banyak terjadi di
Indonesia. Dengan sedikit menggali, kita bia melihat kesalahan berbahaya dari alasan
menikah yang satu ini, mengiyakan keputusan menikah untuk menyenangkan orang lain
memang akan berhasil, tapi untuk jangka pendek,” tulisnya.

“Misalnya, anda menikah untuk menyenangkan orangtua, padahal kamu belum siap untuk
menikah. Orangtua memang akan bahagia berseri-seri di hari pernikahan, dan mungkin
selama beberapa bulan pertama. Namun, bagaimana ketika bulan madu terakhir dan kamu
justru semakin ragu dan menyesali putusan tersebut? Sedangkan kamu sudah terlanjur berada
dalam sebuah ikatan resmi. Dalam jangka panjang, pernikahan yang gagal akhirnya
membawa kesedihan dan kekecewaan semua orang. Itulah tragedi yang mengintai pernikahan
yang dilakukan karena ingin menyenangkan orang lain”.

Saya melihat pernikahan di Indonesia seolah menjadi topik pembicaraan, pembahasan dan
perencanaan yang melibatkan banyak orang. Subyeknya hanya dua orang, tetapi semua orang
ingin memiliki andil dalam menyukseskan hal tersebut. Setelah tujuannya tercapai
(pernikahan) semua tugas sudah selesai dan untuk selanjutnya menjadi urusan pribadi
masing-masing.

Mengapa menikah itu menjadi semacam life goals semua orang? Padahal kehidupan tidak
akan berhenti saat perempuan menikah, dan kita semua tidak sedang menjalani kehidupan di
negeri dongeng.

Kisah princess yang bertema happily ever after itu dibentuk sebagai media hiburan semata,
dan jika hal itu terjadi dalam kehidupan nyata, hanya sebagian kecil yang mengalaminya.
Karena hanya bersifat hiburan, maka tidak mungkin penulis cerita menceritakan konflik
rumah tangga yang dialami Cinderella.

Suatu hari nanti saya akan menikah, saat saya sudah siap akan berbagai konsekuensi yang
pasti terjadi, siap berkompromi seumur hidup dengan segala kekurangan dan kelebihan
pasangan saya nanti, bukan karena desakan, ajakan, bujukan apalagi dorongan dari orang
lain, bukan juga untuk menyenangkan apalagi mengiyakan keinginan orang lain.
https://magdalene.co/story/menikah-untuk-menyenangkan-siapa

Anda mungkin juga menyukai