Anda di halaman 1dari 145

Volume 2

2
DAFTAR ISI
Tropical Medicine

DAFTAR ISI
Dengue Hemorrhagic Fever ………………..……....………. 1
dr. Doni Priyambodo Wijisaksono, Sp.PD

Terapi Malaria ..................……………………... 16


Dr. dr. Sri Sundari, M.Kes

Draft Penanganan Malaria ……………..……………….. 27


Depkes R.I

TB-HIV …..……………………………………………………... 32
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Trematoda ………………………………………………………... 54
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Polio dan Parotis Epidemika ………………………..……... 72


Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Imaging Radiology in Tropical Disease ……………………... 95


dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Diphteria #2 (materi lanjutan amygdala 19.1) …………….. 124


Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

Dengue Hemorrhagic Fever


dr. Doni Priambodo Wijisaksono, Sp.PD

Epidemiologi

Alur
DEN virus
Tatalaksana

DHF
Klasifikasi & Aedes
Diagnosis Aegypti

Manifestasi

Dengue merupakan salah satu masalah kesehatan global karena:


• Insiden dengue di seluruh dunia meningkat drastis dalam beberapa
dekade terakhir
• Sekitar dua per lima penduduk dunia berada dalam resiko terkena dengue
• Diperkirakan sekitar 50 juta infeksi dengue terjadi tiap tahunnya
• Diperkirakan sekitar 500.000 orang dengan DBD membutuhkan rawat
inap tiap tahunnya
• Dengue merupakan endemik di lebih dari 100 negara
• Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang paling banyak
terkena kasus Dengue

1
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
• Dengue ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis, paling
banyak di wilayah urban dan semi urban
• Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk dengue, namun perawatan
medis yang sesuai seringkali dapat menyelamatkan nyawa pasien dengan
penyakit serius
• Satu-satunya cara untuk mencegah persebaran virus dengue adalah
dengan cara membasmi nyamuk yang merupakan vektor penyakit

Virus Dengue

• Merupakan virus yang termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropod Borne


Virus), genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus Dengue ditransmisikan
oleh nyamuk (Aedes Aegypti)
• Berbentuk batang, termolabil, stabil pada suhu 70°C.

2
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
• Merupakan Single-stranded RNA yang menyebabkan infeksi Dengue,
ringan maupun berat
• Terdapat 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3 & DEN-4.
• Dengue-3 (DEN-3) merupakan serotipe terbanyak, paling sering
menyebabkan DBD berat, dan yang paling luas distribusinya, selanjtnya
disusul oleh DEN-2, DEN-1, & DEN-4.

Aedes aegypti
• Virus Dengue ditransmisikan oleh nyamuk
betina yang terinfeksi
• Terutama menggigit pada pagi hingga siang
hari
• Hidup disekitar lingkungan tempat tinggal
manusia

3
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
• Menetaskan telur dan memproduksi larva di tempat air buatan

Manifestasi Klinis
Berdasarkan WHO, 2007, sindrom klinis Dengue dibedakan menjadi:
1. Undifferentiated fever
2. Classic dengue fever
3. Dengue hemorrhagic fever

Undifferentiated Fever

• Merupakan manifestasi paling umum dari dengue


• Studi prospektif menemukan bahwa 87% siswa yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala atau hanya menunjukkan gejala ringan

Dengue Fever

Merupakan demam akut dengan durasi 2-7 hari (terkadang dengan 2 puncak
demam) dengan diikuti dua atau lebih manifestasi berikut:
• Sakit kepala
• Nyeri retro orbital
• Myalgia/arthralgia
• Ruam
• Perdarahan (petekie dan tourniquet test +)
• Leukopenia.

4
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

WHO guidelines for the diagnosis of dengue haemorrhagic fever (DHF)


and dengue shock syndrome (DSS).

5
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
Klasifikasi dan Tingkat Keparahan Dengue

6
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

Diagnosis Dengue

Diagnosis dengue dapat ditegakkan melalui metode langsung dan tidak langsung.

7
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
Periode Waktu Gambaran Klinis, Laboratorium, dan Serologis Infeksi Dengue

8
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
Pendekatan Bertahap untuk Pengelolaan Dengue

GRUP A – Pasien rawat jalan

Merupakan pasien yang mampu mengonsumsi cairan melalui per oral dan buang
air kecil minimal satu kali dalam enam jam, tidak terdapat warning sign,terutama
ketika demam reda.

Panduan bagi keluarga di rumah:

• Berikan paracetamol apabila demam dirasa mengganggu.

9
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
• Minta keluarga untuk segera membawa pasien ke Rumah Sakit apabila:
tidak ada perbaikan klinis, penurunan kesadaran, nyeri abdomen berat,
muntah persisten, menggigil dan akral basah, letargi atau iritabilitas,
perdarahan (feses hitam atau muntah darah), tidak berkemih selama lebih
dari 4-6 jam.

GRUP B – Pasien yang disarankan unuk rawat inap

Merupakan pasien yang membutuhkan perawatan di pusat kesehatan sekunder


untuk dipantau, terutama saat dalam keadaan krisis. Juga termasuk pasien dengan
warning sign, pasien dengan keadaan yang dapat memperparah dengue (cth: ibu
hamil, bayi, lansia, serta penderita obesita,s, DM, gagal ginjal, penyakit hemolitik
kronis), dan pasien dengan kondisi sosial tertentu (tinggal sendiri, jauh dari
fasilitas kesehatan, maupun tidak tersedianya transportasi yang memadai).

1. Pasien dengue tanpa warning sign


Berikan cairan per oral. Jika tidak bisa, berikan terapi cairan berupa saline
0,9% atau ringer laktat dengan atau tanpa dextrosa. Pada pasien dengan
obesitas, gunakan BB ideal untuk menghitung jumlah cairan yang
diperlukan. Pasien mungkin dapat mengonsumsi cairan per oral setelah
menerima infuse selama beberapa saat. Dengan demikian, perlu untuk
sering mengecek cairan infus. Berikan cairan untuk memperbaiki perfusi
dan output urin Cairan intravena biasanya dibutuhkan hanya selama 24-
48 jam.
2. Pasien dengue dengan warning sign
Peroleh data hematokrit sebelum terapi cairan. Berikan cairan isotonik
seperti salin 0,9 %, Ringer Laktat, atau Hartmann’s Solution. Mulai
dengan 5-7ml/kg/jam untuk 1-2 jam, kemudian kurangi menjadi 3-
5ml/kg/jam untuk 2-4 jam, dan kemudian turunkan menjadi 2-
3ml/kg/jam atau kurang dari itu sesuai respon klinis. Cek ulang status
klinis dan hematokrit, jika kadar hematokrit masih sama atau hanya
meningkat minimal, lanjutkan dengan jumlah yang sama (2-3ml/kg/jam)
untuk 2-4 jam. Jika vital sign memburuk dan hematokrit meningkat

10
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
dengan cepat, tingkatkan cairan menjadi 5-10ml/kg/jam untuk 1-2 jam.
Cek ulang status klinis dan hematokrit, dan berikan cairan berdasarkan
hasil tersebut.

Kriteria untuk merujuk pasien:


- Adanya syok sebelumnya (pada hari ke2 atau ke3)
- Kebocoran plasma dan atau syok
- Denyut nadi dan tekanan darah tidak terdeteksi
- Perdarahan berat
- Overload cairan
- Kerusakan organ

11
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

12
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

13
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD

14
Wisnu Nadia - Itqi
Dengue Hemorrhagic Fever
dr. Doni Priambodo W., Sp.PD
Perdarahan berat dapat diketahui dari:

- Perdarahan persisten dan atau perdarahan terbuka dengan adanya status


hemodinamik yang tidak stabil, tanpa memperhatikan kadar hemtokrit.
- Penurunan hematokrit setelah resusitasi cairan bersamaan dengan status
hemodinamik yang tidak stabil.
- Syok yang sulit diatasi setelah pemberian cairan sebanyak 40-60ml/kg.
- Syok hipotensif dengan kadar hematokrit rendah/normal sebelum
resusitasi cairan.
- Asidosis metabolik yang persisten atau memburuk  TD sistolik
terpantau dengan baik terutama pada pasien dengan nyeri perut hebat
dan distensi.

Rencana aksi untuk penatalaksanaan komplikasi hemoragik adalah sebagai


berikut:
Beri 5-10ml/kg fresh packed red cell atau 10-20ml/kg fresh whole blood dan cek
respon klinis. Respon klinis yang baik termasuk peningkatan status hemodinamik
dan keseimbangan kadar asam basa.

Perdarahan mukosa mungkin terjadi pada semua pasien dengan dengue, namun
jika pasien tetap stabil dengan resusitasi cairan, perdarahan digolongkan sebagai
minor. Perdarahan mungkin meningkat cepat selama masa recovery. Pada pasien
dengan trombositopenia parah, pastikan pasien bed rest total dan terhindar dari
trauma untuk menghindari resiko perdarahan. Jangan berikan injeksi IM untuk
menghindari hematoma. Harus dipahami bahwa transfusi platelet profilaktik
untuk trombositopenia berat pada pasien stabil adalah tidak efektif dan tidak
diperlukan.

15
Wisnu Nadia - Itqi
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari

Terapi Malaria
dr. Sri Sundari

Assalamualaikum guys. Ini materi terakhir dr. Sri Sundari ya. Mepet sekali dengan ujian.
Semangat baca... btw, kalau bingung baca materinya inget-inget pelajaran pembentukan
DNA RNA yaaa

Diawali dengan kasus. Mari kita brainstorming.

Misal nih kita menemukan kasus dimana ada seorang laki-laki datang
dengan keluhan demam 7 hari dengan hasil lab gambaran eritrosit membesar dan
1
cincin (tropozoit muda) eritrositnya. Maka kita seabagai dokter mau ngapain
3
dulu?

Jawaban :

1. Pertama kita harus menegakkan diagnosisnya dulu. Diagnosis diatas


merupakan gambaran malaria plasmodium vivax.
2. Setelah dapet diagnosisnya mau dikasih terapi apa nih? Yap. Terapi lini
pertama dulu yaa, yakni klorokuin

Yuk kita masuk ke materi

Pola umum terapi malaria


• P. Malariae peka terhadap klorokuin. Klorokuin masih digunakan sebagai
terapi yang bagus walaupun beberapa kasus sudah resistant
• P. vivax dan P. Ovale peka terhadap klorokuin, kecuali yang resisten di
daerah papua nugini atau Indonesia
 Kasus yang jarang terjadi resistensi, yakni di Myanmar, India, dan S.
Amerika
 Jika terjadi respon yang buruk terhadap klorokuin, untuk mengobati
P. Falciparum dengan quinine ditambah doxy atau mefloquine
• P. Vivas dan P. Ovale keduanya membutuhkan terapi untuk hipnozoit
pada hati (inget patofisiologinya lagi yaa), terapinya yaitu :

16
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
 Primakuin per oral selama 14 hari. Namun obat ini kontraindikasi
terhadap defisiensi G6PD (maka dari itu G6Pdnya harus di cek dulu)
dan pada kehamilan/ibu hamil.

Terapi pada malaria tanpa komplikasi


• P. Falciparum di bagian barat dari Panama Canal, Haiti, Dominican
Republic, dan the Middle East (Timur Tengah) peka terhadap klorokuin
• Oral klorokuin. Dengan regimen ini maka dosisnya adalah sebagai
berikut :
 Dosis pertama , yakni 600 mg base (1000mg tablet)
 Dosis ulangan (lanjutan) setelah 6, 12, & 48 jam berikutnya sebanyak
300 mg base atau (500mg tablet)
- Total obat, yakni 1.5 gm base or 2.5 mg.
 Berikan total chloroquine sebanyak 4 dosis = 2.5 mgs

Hierarki pilihan terapi malaria


Jadi caranya kalau misal resisten pindah ke obat dibawahnya.

Chloroquine

Fancidar (sulfadoxine-pyrimethamine)

Mefloquine

Malarone (atavaquone-proguanil)

ACT, (artemisinin combination therapies)

Nb:

• Malarone ini sudah tidak dipakai di ndonesia

17
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
• Jangan lupa untuk diberikan :
- Doxycycline  ini merupakan antibiotik yang harus dikombinasikan
dengan obat anti malaria
- Quinine

Mekanisme kerja dan resistensi

Klorokuin
Fisiologi normal :

• Parasit malaria memakan hemoglobin dalam vakuola makanan mereka


 Molekul-molekul heme yang tersisa didetoksifikasi oleh polimerisasi
menjadi kristal, terbentuklah hemozoin
 Mekanisme kerja klorokuin adalah menghambat pembentukan
hemozoin yang menjadi racun bagi sel darah merah (RBC) terinfeksi

Resistensi klorokuin

• Resistensi parasit terhadap klorokuin disebabkan adanya penurunan


akumulasi obat pada pencernaan parasit di vakuola
 Resistensi P. Falciparum terhadap klorokuin bersifat multigenik
karena mutasi terjadi pada gen yang mengkode plasmodium
falciparum chloroquin resistant transporter (PfCRT)
 Plasmodium Falciparum resistensi tranporter klorokuin, resistensi
transporter klorokuin, lisin untuk treonin K76T, 76th amino acid.

Sulfadoxime-pyrimethamine
Fisiologi normal :

• Dihydropteroate synthase (DHPS) & dihydrofolate reductase (DHFR)


berada pada jalur folat pada tetrahydrofolate
 Esensial untuk metabolisme satu-karbon dalam sintesis asam nukleat
dan beberapa asam amino

Resistensi Sulfodoxime-pyrimethamine :

18
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
• Resistensi terjadi karena adanya akuisisi sekuensial mutasi pada gen
dihydrofolate reduktase (DHFR)
 Titik mutasi pada DFHR mengurangi afinitas untuk pririmetamin
- Sehingga terjadi pergantian asparagin menjadi serin di posisi 108

Atovaquone-proguanil
Fisiologi normal

• Atovakuon mengikat sitokrom b dan menghambat parasit mitokondria


transpor elektron
• Menyebabkan kolaps potensial membran mitokondria
 Hal ini dipotensialkan oleh proguanil
- Cycloguanil, metabolit aktif dari proguanil menghambat DHFR

Resistensi Atovaquone-proguanil

• Pergantian dari serin menjadi tirosin pada kodon 268 dari sitokrom b gen
Y2685 memungkinkan terjadi resistensi terhadap atovakuon dan
kombinasi

Doxycycline
Fisiologi normal :

• Doxycycline menghambat elongasi pada sintesis protein dengan


mencegah pengikatan aminoasil-tRNA ke ribosom 30S unit.

Resistensi Doxycycline

• Resistensi terhadap doksisiklin di parasit malaria manusia belum dapat


dijelaskan

19
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari

Mefloquine, quinidine, dan quinine


Fisiologi Normal :

• Pembentukan kompleks obat ini akan toksik untuk parasit dengan cara
mengikat heme

Resistensi obat ini :

• Dikarenakan peningkatan ekspresi P-glikoprotein homolog-1 pfmdr1


 Hal ini memungkinkan juga terjadi resistensi halofrantine
• Penurunan sensitivitas kina dikaitkan dengan resistensi terhadap obat
meflokuin dan halofantrine
 Quinine like drugs : Quinine, quinidine, halofrantrine
• Proses resistensi Quinine sangat kompleks dan mungkin berhubungan
dengan pfmdr1 dan pfcrt dan mutasi lainnya.

20
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari

Gambar. Nih daftar obat-obatan malaria

Terapi Malaria
Jika pasien mampu mengontrol obat, Malaria tanpa komplikasi dapat
diberikan obat-obatan Per Oral. Jadi tidak perlu obat-obatan IV.

21
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
• Tidak ada rekomendasi umum yang cukup, sejak terjadi resistensi yang
meluas di seluruh dunia
• Pasien yang belum pernah terpapar malaria falciparum harus sering
diobservasi di rumah sakit karena komplikasi berat dapat terjadi dengan
cepat dalam 48 jam jika tidak ada respon terhadap terapi
 Sangat jarang ada pasien dengan malaria non-falcparum
membutuhkan perawatan di rumah sakit (jadinya bisa aja rawat jalan).

Penggunaan Chloroquin untuk terapi


malaria non-falciparum di daerah tertentu
(endemis)
Prophylaxis (pencegahan)

• Pencegahan digunakan ketika seseorang ingin bepergian ke daerah


endemis malaria. Kurang lebih 2 minggu sebelum pergi dan pulang ke
dan dari daerah endemis dikarenakan masa inkubasi dari malaria yang
berbeda-beda.
• Dosis : 500 mg atau 300 mg base, anak-anak : 5 mg/kg (base) q wk
(sekali seminggu)

Terapi

• 1 gram or 600 mg base,  satu kali saat pertama,


• Kemudian 500 mg (300 mg base)  selama 6 jam berikutnya,
• Kemudian 500 mg (300 mg base)  selama 24 dan 48 jam berikutnya.

Efek samping

• Menyebabkan pemanjangan QT (QT prolonged) dan jangka panjang


(long term), arrhythmias atau retinopathy
• Dianggap aman pada untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi baru lahir.

Nb: Gunakan Primaquin pada penderita malaria P. Vivax atau P. Ovale tanpa defisiensi
G6PD .

22
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari

Penggunaan Mefloquin untuk terapi P.


Falciparum tanpa komplikasi
Prophylaxis

• Dosis : 250 mg (sekali seminggu)

Terapi

• 750 mg diikuti 500mg 12 jam setelahnya


• Dapat digunakan pada daerah malaria yang resisten terhadap chloroquin,
kecuali di Thailand, Myanmar, Cambodia, dan Vietnam.

Kontraindikasi

• Tidak digunakan pada penderita dengan defek konduksi jantung, riwayat


kejang, penyakit psikologi seperti depresi atau psikosis
• Tidak boleh dikombinasikan dengan quinidine, quinine, atau halofrantin
• Tidak boleh digunakan pada kehamilan trimester pertama

Efek samping

• GI upset, disforia, dreams, perubahan mood


• Dapat menimbulkan pemenjangan QT intervals

Penggunaan Doxycycline pada terapi P.


Falciparum tanpa komplikasi
Prophylaxis

• Dosis : 100mg per hari untuk usia di atas 8 tahun


• Kegagalan pada penggunaan doxycycline dimungkinkan tidak terjadi
karena belum ditemukan adanya resistensi terhadap obat ini

Terapi

• merupakan gabungan dari keduanya  quinine + doxycycline

23
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
Indikasi

• Baik untuk kasus MDR (Multi drugs resistance)


• Gunakan quinine 650 mg setiap 8 jam selama 3 hari dengan doxycycline
100 mg BID (2 kali sehari) selama 7 hari

*Clindamycin dapat digunakan untuk pengganti doxycycline saat hamil atau anak
kurang dari 8 tahun

Efek samping dan cara menghindarinya

• Jika menimbulkan GI upset  konsumsi obat ini bersama dengan


makanan
• Jika Ulkus esofagus  konsumsi obat ini dengan air dan duduk tegak
selama 30 menit
• Jika Photosensitivity  gunakan susnscreen
• Vaginal candidiasis
• Menurunkan keefektifan agen kontrapsepsi metode barrier

Nb : Tetap mengkonsumsi obat ini selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik

Penggunaan Atovaquone + proguanil AP


pada pengobatan P. Falciparum, tanpa
komplikasi
Prophylaxis

• Dosis : 250 mg/ 100 mg


• Satu kali satu tablet dalam sehari

Terapi

• Dosis : 250/100 mg tiap tablet


• 4 tablet dalam sehari selama 3 hari atau 2 tablet BID selama 3 hari
• Digunakan pada terapi parasit resieten obat

24
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
• Ditoleransi dengan baik dan jarang terjadi resisten

* B.I.D ( bis in die ) = 2 kali sehari

Terapi malaria P. Falcuparum berat dengan


komplikasi
• Quinidine Gluconate, load dan continuous infusion selama 24 jam
(kecuali punya quinine atau mefloquine)
 Load 6,25 mg base atau 10 mg/Kg selama 1-2 jam
 Kemudian 0,0125 base (0,02 salt) mg/Kg/menit lebih dari 4 jam
setiap 8 jam, dimulai 8 jam setelah oading dose
 Kembali menggunakan obat PO ketika eritrosit yang terinfeksi parasit
, 1% (7 hari di Asia Tenggara, 3 hari di Afrika atau di Amerika
Selatan)
• Doxycycline 100 mg setiap 12 jam selama 7 hari, IV dan digunakan PO
secepat mungkun.
• Tidak tersedia di USA : Artemether + lumefantrine

Terapi Malaria P. Falciparum Berat


• Quidine Gluconate
 IV 10 mg salt/kg load (maximal 600 mg)
- Dengan normal saline
- Diberi selama 1-2 jam
- Diikuti infus continue 0,02 mg/Kg/menit sampai PO dapat dimulai
• IV quinine diHCL
 Tidak tersedia di USA
 Dosis : IV 20 mg/Kg load dalam 5% dextrose perlahan selama 4jam.
Efek quinine itu dapat menurunkan gula darah apalagi si parasitnya
juga udah ngambil persediaan di hati
 Kemudian 10 mg/Kg selama 4 jam setiap 8 jam

25
Wisnu Shiddiq
Terapi Malaria
dr. Sri Sundari
 Maksimal 1800 mg sampai dapat digunakan obat PO

Nb:

• Tidak boleh diberikan secara bolus (efek samping ke cardiac)


• Cek glukosa setiap 4 jam
• Jika kadar gula darah rendah bisa diberi 10 % glucose

_Alhamdulillah_

26
Wisnu Shiddiq
DRAFT PEDOMAN
PENANGGULANGAN/PENANGANAN

MALARIA
DI DAERAH BENCANA

Dr. Ferdinand Laihad


Kepala Subdirektorat P2Malaria
Ditjen P2M – PL
Depkes R.I.
DRAFT PEDOMAN PENANGGULANGAN/PENANGANAN
MALARIA DIDAERAH BENCANA

DIAGNOSIS DAN PENGOBATAN:


• DIAGNOSIS DENGAN RAPID DIAGNOSIS TEST (RDT)

• PENGOBATAN MALARIA FALCIPARUM RINGAN TANPA KOMPLIKASI


LINI PERTAMA DENGAN KOMBINASI ARTESUNATE DAN
AMODIAKUIN DAN LINI KEDUA DENGAN KINA DAN TETRACYCLINE
ATAU DOXYCYCLINE:

Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur


Hari Jenis obat 2-11 1-4 5-9 10-14 > 15
bulan tahun tahun tahun tahun
Artesunate ½ 1 2 3 4
1 Amodiakuin ½ 1 2 3 3-4
Artesunate ½ 1 2 3 4
2 Amodiakuin ½ 1 2 3 3-4
Artesunate ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 1½ 2
3
Primakuin *) ¾ 1½ 2 2-3
Tabel 1. Pengobatan lini pertama untuk malaria falsiparum

Komposisi obat :
Artesunat : 50 mg/ tablet
Amodiakuin : 200 mg/ tablet ≈ 153 mg amodiakuin base / tablet
Semua pasien (kecuali ibu hamil dan anak usia < 1 tahun) diberikan tablet Primakuin (1
tablet berisi: 15 mg primakuin basa ) dengan dosis 0,75 mg basa/kgBB/oral, dosis tunggal
pada hari I (hari pertama minum obat).

Dosis pada tabel diatas merupakan perhitungan kasar bila penderita tidak ditimbang berat
badannya. Dosis yang direkomendasi berdasarkan berat badan adalah:
Artesunat: 4 mg/kgBB dosis tunggal/hari/oral, diberikan pada hari I, hari II dan hari III
ditambah Amodiakuin: 25 mg basa/kgBB selama 3 hari dengan pembagian dosis: 10 mg
basa/kgBB/hari/oral pada hari I dan hari II, serta 5 mg basa/kgBB/oral pada hari III.

Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua seperti
tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Pengobatan lini kedua untuk malaria falsiparum
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
Hari Jenis obat 0-1 2-11 1-4 5-9 10–14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
1 Kina *) *) 3x½ 3x1 3 x 1½ 3x2
Tetrasiklin / - - - - - 4 x 1/1x1
doksisiklin
Primakuin - - ¾ 1½ 2 2–3
2-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3 x 1½ 3x2
Tetrasiklin / - - - - - 4 x 1/1x1
doksisiklin

Keterangan:
*) Kina:
Pemberian kina pada anak usia < 1 tahun harus berdasarkan berat badan (ditimbang berat
badannya). Dosis kina: 30 mg/kgbb/hari (dibagi 3 dosis).
I. Doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 8 tahun
II. Dosis doksisiklin untuk anak usia 8 – 14 tahun: 2 mg/kg BB/hari
III. Bila tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin
IV. Dosis Tetrasiklin: 25-50 mg/ kgBB/4 dosis/hari atau 4 x 1(250 mg) selama 7 hari;
tetrasiklin tidak boleh diberikan pada umur < 12 tahun dan ibu hamil.
V. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak usia < 1 tahun.
VI. Dosis primakuin: 0,75 mg/kgbb, dosis tunggal.

• PENGOBATAN MALARIA VIVAX/OVALE LINI PERTAMA DENGAN


KLOROKUIN DAN LINI KEDUA DENGAN KINA:

Bila pada pemeriksaan laboratorium ditemukan P. vivax/ovale, diberikan pengobatan


sesuai tabel 3 di bawah ini :
Tabel 3. Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale
Jumlah tablet menurut kelompok umur
Hari Jenis obat 0-1 2 - 11 1-4 5–9 10 – 14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3–4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
2 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3–4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1½ 2
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
H4-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

Perhitungan dosis berdasarkan berat badan untuk Pv / Po :


- Klorokuin : hari I & II = 10 mg/kg bb, hari III = 5 mg/kg bb
- Primakuin : 0,25 mg/kg bb /hari, selama 14 hari.

Bila terjadi gagal pengobatan lini pertama, maka diberikan pengobatan lini kedua seperti
tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Pengobatan malaria vivaks / malaria ovale resisten klorokuin


Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
Hari Jenis obat 0–1 2-11 1–4 5–9 10–14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x2
1 - 14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
Dosis berdasarkan berat badan : - Kina 30 mg/Kgbb/hari (dibagi 3 dosis)
- Primakuin 0,25 mg/kgbb.

• PENGOBATAN MALARIA BERAT DENGAN ARTEMETER DAN KINA


INJEKSI

Obat malaria berat

Lini pertama :Artemether injeksi diberikan secara intramuskuler, selama 5 hari.


Setiap ampul Artemether berisi 80 mg/ml.
Dosis dan cara pemberian Artemether:
Untuk dewasa: dosis inisial 160 mg (2 ampul) IM pada hari ke 1, diikuti 80 mg (1 ampul)
IM pada hari ke 2 s/d ke 5. Dosis anak tergantung berat badan yaitu:
Hari Pertama : 3,2 mg/KgBB/hari
Hari II- V : 1,6 mg/KgBB/hari

Lini kedua : Kina perinfus/drip


Cara pemberian kina per-infus:Dosis dewasa (termasuk ibu hamil) : Kina HCl 25 %
dosis 10 mg/Kgbb (1 ampul isi 2 ml = 500 mg kina HCl 25 %) yang dilarutkan dalam 500
ml dekstrose 5 % atau NaCl 0,9 % diberikan selama 8 jam, diulang dengan cairan yang
sama setiap 8 jam terus-menerus sampai penderita dapat minum obat.
Atau :
Kina HCl 25 % (perinfus), dosis 10mg/Kg BB/4jam diberikan setiap 8 jam, diulang
dengan cairan dan dosis yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan : 6-
8 mg/kg bb) diencerkan dengan 5-10 cc dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 % per kgbb diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per- infus maka kina dapat diberikan
intramuskular. Sediaan yang ada untuk pemberian intramuskular yaitu Kinin antipirin
dengan dosis: 10 mg/kgbb IM (dosis tunggal) yang merupakan pemberian anti malaria pra
rujukan.
Tatalaksana Pengobatan lebih lengkap dapat dilihat pada Buku ”Tatalaksana kasus
Malaria” yang dikeluarkan oleh Direktorat jenderal PPM&PL, Direktorat Pemberantasan
Penyakit Bersumber Binatang tahun 2003.
PENCEGAHAN:

• PENCEGAHAN DARI GIGITAN NYAMUK DENGAN LONG LASTING


INSECTICIDE TREATED NET (LLITN) ATAU INSECTICIDE TREATED
NET (ITN).

• PENCEGAHAN DENGAN MEMBUNUH JENTIK DISARANG SARANG


NYAMUK DENGAN LARVASIDA : BTI , ALTOSID DLL.

• PENCEGAHAN DENGAN PENYEMPROTAN DINDING RUMAH ATAU


TENDA DENGAN INSEKTISIDA ETOFENPROX , LAMDA-SIHALOTRINE,
BENDIOCARB, DLL

• PENCEGAHAN DENGAN MINUM OBAT PROFILAKSIS YAITU


DOXYCICLINE UNTUK PENDATANG BERUSIA > 8 TAHUN (1 TABLET
100 MG) UNTUK PENDATANG DEWASA TIAP HARI 1 TABLET SEJAK 1
MINGGU SEBELUM MASUK SAMPAI 1 BULAN SETELAH KEMBALI.

• PEMETAAN GENANGAN AIR DENGAN JARAK SAMPAI 2 KM DEKAT


PEMUKIMAN PENDUDUK/PENGUNGSI.
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Secara epidimiologi Indonesia menepati urutan ke 2 di dunia dengan populasi


penduduk yang mengidap TBC. Hal ini diakibatkan karena virus HIV yang susah
untuk dikendalikan. Pasien dengan posItif HIV jika dibiarkan akan jatuh menjadi
AIDS yang menyebabkan bakteri TBC yang ada di dalam tubuhnya akan aktif
kembali dan bangkit.

1/3 penduduk di dunia atau sekitar 2 milyar telah terkena TBC. TBC sangat
berhubungan dengan sistem imun. Jika sistem imun seseorang turun bisa jadi
akan muncul TBC dalam tubuhnya (TB Reaktivasi). Jadi secara epidemiologi
seseorang dengan HIV akan menyebabkan TBC meningkat. Di wilayah Asia
pasifik dan Asia tenggara mobiditas dan mortalitas karena TBC terus meningkat .
Sebagian besar pasien HIV meninggal karena TBC. Oleh karena itu perlu
tatalaksana yang holistik yaitu mengelola TBC dan juga HIV nya.

32
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Jika pengobatannya mencakup dua duanya maka diperkirakan angka kejadian


TBC dan HIV di dunia akan menurun. Jika hanya salah satu yang diobati maka
akan tetap terjadi tren kenaikan morbiditas dan mortalitas akibat TB dan HIV.
Apabila pada suatu daerah terdapat orang dengan infeksi HIV maka
kemungkinan akan terjadi kasus TBC yang meningkat. Dari 1000 pasien TBC
yang ada di jogja 20 diantaranya mengidap HIV (2%). Di papua bahkan sampai
15%. Secara nasional apabila ada pasien dengan TBC 3 % diantaranya mengidap
HIV. Sebagian besar pasien HIV meninggal disebabkan oleh TBC bukan karena
HIV nya.

33
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

HIV dapat menjadikan seseorang menjadi MDR (Multi drug resisten). Dari
pengalaman klinis dokter Sumardi, pasien yang MDR TBC kebanyakan mengidap
HIV karena pengobatan TBC sanagt berhubungan dengan sistem Imun. Standart
pengobatan TBC-HIV adalah 9 bulan. Jika hanya dengan TBC cukup 6 bulan.
Jika TBC otak dengan HIV standar pengobatannya sampai 2 tahun. Pengobatan
yang lama ini tidak menjamin pasien akan sembuh total.

34
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

• Resiko timbulnya TBC akan meningkat 26 sampai 31 kali lebih tinggi


pada orang dengan HIV dibanding dengan tanpa HIV.
• Pada tahun 2013 dimana terdapat 9 juta kasus TB yang 1.1 juta
diantaranya juga meilihi HIV.
• Koinfeksi TB-HIV adalah faktor risiko terjadinya MDR TB sebesar
4.1%.
• Terjadinya MDR-TB oleh coinfection HIV, 20% lebih tinggi dari pada
tanpa HIV.
• Keberhasilan pengobatan orang dengan MDR TB dengan HIV hanya
sebesar 37% dan angka mortalitasnya sangat tinggi.
Kebanyakan orang dengan HIV memiliki TBC ekstrapulmoner. Ketika menurun
sistem imunnya, sehingga menyebabkan pengobatannya cukup rumit.
TB Ekstra Paru

35
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
TB ekstra paru lebih sering pada pasien dengan HIV (+) dibandingkan populasi
umum. Adanya TB ekstra paru pada pasien HIV merupakan tanda bahwa
penyakitnya sudah lanjut
Jenis TB Ekstra paru ,diantaranya :
 Kelenjar getah bening
 Pleura, Pericardia
 Saluran kemih dan alat kelamin
 Jaringan saraf pusat: meningitis, cerebral
 Tulang dan sendi
 Saluran Cerna
 Payudara, dll
Bila menemukan TB ekstra paru ingat TB HIV
Klinis TB-HIV
• Extra pulmonary and smear-negative pulmonary TB cases in HIV(+) patients
more difficult to diagnose
• Tahun 2009 di Sardjito7 pasien berumur muda dengan appendicitis
TB4 diantaranya HIV(+)
Latent TB Infection (LTBI)
• Pernah terinfeksi TB, tanpa keluhan, tanpa gejala
• Pasien dengan LTBI apabila terinfeksi HIV akan cepat menjadi TB aktif
• Pada pasien HIV : Pasien dengan LTBI menjadi aktif 3-12 kali >
populasi umum
Diagnosis LTBI pada pasien HIV :
 Gejala Klinis tidak ditemukan
 Mantoux test : HIV (Immunokompromais ) < 5 mm (+)
 Laboratoriumsangat berkembang saat ini

36
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

37
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

38
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
PENEMUAN KASUS TB PADA PASIEN HIV
Klasifikasi dan Tipe Pasien
1. Berdasarkan organ tubuh yang terkena :
• TB Paru
• TB Ekstra paru
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis :
• BTA Positif
• BTA Negatif
3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
• Kasus baru
• Kasus yang sudah pernah diobati
• Kasus Pindahan
• Kasus lain (tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
kembali diobati dengan BTA negatif)
4. Berdasarkan Status HIV : TB dengan HIV (+)

Penemuan Dini Kasus TBC pada pasien HIV


• Diagnosis TB pada pasien HIV tidak mudah
• Gambaran klinistidak sama dengan pasien pada umumnya
 Demam dan penurunan berat badan yang drastis merupakan
gejala yang sering ditemukan
 Batuk lama (>3mg) bukan merupakan gejala umum
• Gambaran sputum : sebagian besar negatif
 Perlu dilakukan pemeriksaan rapid test : Xpert
MTB/RIF(pada fasilitas layanan kesehatan yang telah tersedia)
 Pada fasilitas layanan kesehatan yang belum tersedia : sputum
BTA SPS
• Pemeriksaan foto toraks tidak spesifik, terutama pada pasien dengan
CD4 rendah

39
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Alur Diagnosis TB Pada ODHA UntukFaskes Yang


MemilikiLayanan/AksesTesCepat TB (GeneXpert)

40
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Alur Diagnosis TB Pada ODHA UntukFaskes Yang


SulitMenjangkauLayananTesCepat TB/
GeneXpert(-)

41
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Penggunaan antibiotic sebagai alat bantu diagnostic pada pasien suspek


TB dengan HIV (+) ?
• Pemberian antibiotik oral pada pasien HIV (+) suspek TB paru sebagai
alat bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasi :
 diagnosis TB menjadi terlambat  pengobatan TB terlambat 
meningkatkan risiko kematian
• Penggunaan antibiotic quinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB
dengan HIV positif harus dihindari karena dapat menyebabkan :
 Respon terhadap mikobakterium TB

42
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
 Menghilangkan gejala sementara
 Kemungkinan timbulnya resistensi
• Antibiotik golongan quinolon ini dicadangkan sebagai OAT lini kedua

Gambaran mikroskopik dan biakan sputum


• Berdasarkan ISTC 1, sputum BTA langsungdianjurkan 3 kali dimana
salah satu diantaranya dahak diambil pagi hari (SPS). Pada ISTC 2
sputum BTA dilakukan 2 kali pada laboratorium yang kualitasnya
terjamin.
• Spesimen dahak pasien TB dengan HIV (+) umumnya BTA negative
(RSS 47% negative)
• Pada pasien TB dengan HIV (+) yang pemeriksaan mikroskopik
dahaknya BTA negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat dianjurkan 
dapat membantu diagnosis TB
• Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis
TB

Padapasien HIV yang diduga TB, harus dilakukan pemeriksaan


Rapid test : Xpert MTB/RIF (pada fasyankes yg punya)

43
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
Ketika CD4 masih 200 akan terlihat masih normal, tetapi jika sudah dibawah 200
biasanya terdapat pola khas di radiologi paru nya. Efusi dengan manifestasi gejala
sesak sering ditemukan pada pasien TBC.

Terlihat seluruh lapang paru telah Paru relatif normal dengan BTA (-)
terkena infeksi TBC. tetapi setelah di cek GeneXpertnya
(+). Pasien ini terlihat sehat bugar.

Pasien ini dahulu pernah TBC saat


mahasiswa kemudian diobati dan
membaik. Setelah itu banyak
melakukan hubungan seksual berganti
pasangan yang menyebabkan HIV dan

44
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
TBC nya muncul kembali.
BTA (-) tapi pake gen-expert positif
CXR TB-HIV (demam 1 bulan, berat
bada turun >10%, Stage 4, batuk)
Terlihat normal, tapi sangat kurus

Terlihat lapang paru yang normal, BTA


(-), GeneXpert (+) seperti orang HIV, dengan diare 30
kali sehari

CXR TB-HIV (BTA +)

Problem Diagnosis
• Apusan sputum AFB negatif (hanya 40% (+) di rumah sakit sarjdjito dengan
pasien HIV/AIDS)
• Penampakan yang tidak spesifik pada CXR paru
• PPD skin test yang tidak reaktif

Problem Pengobatan

45
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
• Infeksi tuberkulosis muncul kerika seseorang membawa tuberkel bacili di
tubuhnya, tapi bakterianya kecil dan pada fase dorman
• Rifampicin vs Nevirapin (NNRTI)
 Nevirapin diganti dengan stavudin
• Rifampicin vs Protease Inhibitor (PI)
 Rifampicin diganti dengan rifambutin
• Zidovudin vs Anemia
 Zidovudin diganti dengan stavudin
• IRIS (Immune Reconstitution Inflamatory Syndrome) – diobati tambah
jelek dengan penapakan menjadi baik, lalu menjadi jelek dengan BB yang
naik, dan limfonodi keliatan, dengan leher seperti leher badak, dikarenakan
perbaikan sistem imun yang terlalu cepat.
 Steroid Oral
 Jangan berhentikan ARV
• Coincidencce Hepatitis B&C (flare) – biasanya pasien meninggal karena obat
TB, biasanya pengguna narkoba injeksi
 Disebabkan oleh OAT?
 Disebabkan oleh ARV?

Penemuan dini kasus HIV pada pasien TB


Konseling dan uji HIV harus dilaksanakan pada :
• Pasien TB dengan gejala HIV
• Pasien TB yang tinggal di daerah dengan prevalensi HIV tinggi
• Pasien TB dengan resiko tinggi terpajan HIV
• RSS dengan PITC
 Sesuai ISTC standar 14

Standar internasional pengendalian TB ISTC –


STANDAR 14 : Diagnosis TB HIV
• Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang
menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis.
• Uji HIV dan konseling pada semua pasien TB atau suspek TB :
 pasien TB di daerah prevalensi tinggi HIV
 pasien TB dengan gejala / tanda klinis HIV

46
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
 pasien TB dengan risiko tinggi terpajan HIV
• Pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi : pendekatan yang terintegrasi
untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.

Rekomendasi diperkuat oleh SK Kemenkes 2013 : Pelaksanaan Uji HIV


Pengobatan TB Pada Pasien HIV
Tujuan dan Prinsip Pengobatan TB
1. Menyembuhkan pasien TBC,
2. Mencegah kematian karena TB,
3. Mencegah kekambuhan,
4. Memutuskan rantai penularan,
5. Mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT (TB MDR/XDR/TDR)
6. Mengurangi dampak sosial dan ekonomi.

Penatalaksanaan TB Pada Pasien HIV/AIDS (Guideline pengobatan TB-


HIV tahun 2013 : No change)
• Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS sama
seperti pasien TB tanpa HIV/AIDS
• Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB tanpa
HIV/AIDS
Namun kenyataan dilapangan:
• Kejadian efek samping, alergi dan erupsi karena obat lebih tinggi pada TB
dengan HIV-AIDS yang mendapat obat antiretroviral  Pengobatan menjadi
lebih lama
• Semua pasien (termasuk mereka yg terinfeksi HIV) yg belum pernah diobati
harus diberi paduan obat lini pertama :
 Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
 Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau
 Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasi untuk pasien TB dengan HIV/AIDS karena mudah
terjadi kegagalan pengobatan atau kambuh.
• Semua pasien TB pada pasien HIV seharusnya :
 Mendapat obat KDT(FDC) setiap hari pada fase inisial, pemberian
secara intermitten ( 3 kali 1 minggu) tidak dianjurkan.
 Mendapat obat KDT setiap hari pada fase lanjutan.

47
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Catatan :Rekomendasi WHO tahun 2011 :


Pengobatan TB padapasien HIV untuk fase lanjutan direkomendasi pemberian
OAT setiap hari
Treatment TB-HIV
• Oral anti TB (Cat. 1 & Cat. 2)
 Rifampycin
 Isoniazide
 Ethambuthol
 Pyrazinamid
 Streptomycin
• ARV (2 NRTI + 1 NNRTI)
 2 NRTI(Zidovudin or Stavudin,Lamivudin)
 1 NNRTI (Efavirenz 600 mg)
 Tenofovir+lamivudin+efavirenz (2014)

Paduan OAT
TB baru diobati TB pernah diobati
Kategori 1 Kategori 2
2 RGZE 4RH 2 RHZES 1 RHZE 5 RHE
2 RHZE 4 R3H3 2 RHZES 1 RHZE 5
R3H3E3
Pada pasien koinfeksi TB-HIV : OAT fase lanjutan dianjurkan setiap hari, Obat
KDT(FDC) sangat direkomendasi

Terapi Antiretroviral pada pasien TB HIV ISTC Standard


15
• Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral selama pengobatan
TB.
• Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya
dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.
• Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh
ditunda.

48
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
• Pasien TB dan infeksi HIV juga harus diberi kotrimoksasol sebagai
pencegahan infeksi lainnya (PCP)
• Semua pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral selama pengobatan
TB.
• Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya
dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.
• Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh
ditunda.
• Pasien TB dan infeksi HIV juga harus diberi kotrimoksasol (bisa bikin
meninggal karena melepuh) sebagai pencegahan infeksi lainnya (PCP)

Kapan Memulai Antiretroviral


• Jika belum diobati dgn ART pada saat diagnosis TB pemberian ART
dilakukan setelah toleransi OAT baik, tanpa melihat nilai CD4 ( 2-8 minggu
OAT) dibikin stabil dari mual, muntah atau diarenya.
• Jika sudah dalam terapi ARV pada saat diagnosis TB OAT segera
diberikan , dan ARV disesuaikan ( paduan ARV dengan evafirenz lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan Nevirapine, karena penurunan
efektifitas rifampisin akan lebih besar pada pemberian Nevirapine)

Rekomendasi WHO tahun 2013 :


ARV diberikan dalam bentuk FDC : Tenofovir (TDF), Emtricitabine (FTC),
Evafirenz (EFV) atau THE (Tenofovir+Hiviral+Efavirenz)-FDC
Keuntungan : Lebih nyaman, lebih mudah  Kepatuhan lebih baik, Efek
samping lebih ringan

Permasalahan pada pengobatan TB/HIV yg perlu diperhatikan:


• Interaksi obat
• Peranan antiretroviral therapy (ART)
• Tumpang tindih efek samping obat
• Immune-reconstitution inflammatory syndrome (IRIS / SPI = sindrome pulih imun,
kasih steroid ya)
• Masalah kepatuhan pengobatan.

49
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)

Standar untuk penatalaksanaan TB dengan infeksi HIV


dan kondisi komorbid lain (Standar 17)
• Penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat
mempengaruhi respons atau hasil pengobatan TB
• Identifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil optimal
• Penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit
komorbid
Penyakit yang sering mempengaruhi hasil pengobatan TB-HIV : Hepatitis atau
juga Drug Induced Hepatitis (DIH) Sebagian besar pasien HIV menderita
Hepatitis (Hep C, Hep B)
 Efek samping OAT dan ARV : Hepatotoksik
 Menyebabkan sering terjadi DIH waktu pengobatan lebih lama
Penyakit yang sering mempengaruhi hasil pengobatan TB : DM, Hepatitis,
kelainan ginjal, dll

50
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
Terapi Pencegahan Isoniazid ISTC Standard 16.
Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita tuberculosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberculosis laten
dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
• Program IPT Telah dilakukan implementasi awal pada beberapa RS.
• Saat ini sedang dilakukan perluasan implementasi IPT
• ISTC ed 3 : IPT merupakan fokus tambahan

Apa yang sedang terjadi?


• HIV membuat TB naik
Prevalensi HIV 1% 5% 10% 20%
TB termasuk semua orang 1.2 2.1 3.6 7.8
TB yang termasuk HIV 1.1 1.5 1.9 2,8
negatif
• Waktu tunda sekitar 6 tahun

Apa yang bisa kita lakukan?


• Menyembuhkan TV; manajemen HIV (ARV)
• Tingkatkan kecepatan kasus detekti TB (DOTS)
• Tingkatkan kecepatan test HIV (PICT & HIV)
• Tes HIV positif pasien dengan TB: cegah dan obati TB
• Tes TB pasien dengan HIV : manajemen HIV (Sputum gen expert)
• Jika memungkinkan perpanjang DOTS (aktif mencari kasus, PT)
• Cegah HIV (condom, PMS, sunat, prilaku)
Dan perlu diingat bila program HIV dan TB berjalan bersama kita dapat
mengelola dan mengandung dua penyakit tersebut dalam waktu yang singkat, tapi
kita mesti mencari cara secara signifikan untuk mengurangi transmidi pada kedua
penyakit untuk waktu yang lama.

51
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
Kesuksesan ini tergantung pada sejauh mana program TB dan HIV dapat
berkerja sama
• memanfaatkan sinergi yang ada
• mengembangkan cara-cara baru untuk memberikan perawatan canggih
dalam skala besar untuk beberapa orang yang kurang mampu
• menemukan cara kreatif untuk mengurangi penularan, terutama HIV.
• Bekerja satu langkah lebih, dan terus-menerus, tidak berhenti !!!

Kesimpulan
• Program penanggulangan Tuberkulosis harus ditingkatkan sehubungan
angka prevalensi HIV yang semakin meningkat dan berperan dalam
kontribusi meningkatan infeksi TB.
• Kolaborasi TB-HIV sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan
dalam penanggulangan TB-HIV.
• Diagnosis dini TB pada pasien HIV dan diagnosis dini HIV pada pasien TB
perlu ditingkatkan untuk mempercepat pemberian terapi dan meningkatkan
keberhasilan pengobatan.
• Pada pasien TB HIV , pemberian OAT harus disegerakan
• Antiretroviral diberikan segera mungkin setelah toleransi OAT baik (2-8
minggu, tanpa melihat nilai CD4)
• Pada pasien HIV yang terdiagnosis TB segera diberikan Kotrimoksazol
untuk mencegah infeksi lainnya
• Pencegahan TB pada pasien HIV dengan pemberian Isoniazide (IPT)
belum direkomendasi di Indonesia, masih dalam implementasi awal.
• Manajemen TB-HIV mengikuti ISTC 14-17

Kenapa TB anak disebut flek? Biasanya yang paling menyebabkan apa?


Dan bagaimana dengan orang yang tidak HIV apakah bisa kambuh?
TB pada anak itu disebut flek untuk mengurangi stigma pada masyarakat, agar
tidak terkucilkan dan tidak putus asa dalam berobat, kasian anak-anak ntar dibully.
Karena tengahnya paru putih membesar dan disebut flek, TB pada kelenjar
getah bening di hilus, kalo PPDtestnya di test positif berarti ada TB di tubuh yang
aktif, tapi ga tau bagian mana, bisa aja ektrapulmoner. Terus diperiksa dari kartu
sehat ga naik-naik di posyandu dicurigai TB dengan diobati TB selama 9 bulan,
sembuh? Belum tentu karena TB di kelenjar getah bening susah ditembus obat

52
Wisnu Irham, Bimo
TB-HIV
dr. Sumardi, Sp.PD (KP)
TB. Diliat dari fisiologisnya beruang-ruang jadinya bisa aja TB tidur
Dulu ada mahasiswa yang stress karena skripsi, dulunya ada flek terus karena
stress ya muncul deh TBnya. Dan ada lagi tu sang istri yang jagain suami TB, dan
si istri di skrining di foto rontgen dan bta semua bersih dan negatif, kenapa
gitu?karena makrofagnya makan TB
Bisa aja kan ya yang dulu flek terus gedenya jadi boss, sedentary lifestyle dan
makan enak terus, eh timbul DM. Udah timbul DM timbul lagi TB yang tidur.
Wasalam deh he he he.

53
Wisnu Irham, Bimo
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Ciri ciri secar umum dari Trematoda adalah sebagai berikut:

1. Endoparasitik
2. Termasuk cacing pipih (platyhelminthes)/ Cacing daun
3. Bentuk pipih, seperti daun, tidak bersegmen, hermafrodit (kecuali
trematoda darah)
4. Mempunya 2 alat isap yaitu alat isap mulut dan alat isap perut
5. Porus ekskretorius terletak di pertengahan badan bagian posterior
6. Stadia perkembangan pada mollusca dengan tida atau lebih generasi dan
membutuhkan
dua atau lebih hospes
7. Larva bersilia disebut mirasidium
8. Muara saluran genital jantan dan betina terdapat di dekat ventral succer
(penghisap
ventral) disebut porus genitalis.
9. Habitat: usus, hati, paru, darah.

54
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Trematoda usus: F. buski, E. ilocanum, H.


heterophyes, M. yokogawai
Trematoda hati C. sinensis ( banyak dikorea), F.
hepatica
( belum ada laporan di indo)
Trematoda darah S. mansoni, S. japonicum, S.
mekongi, S. haematobium, S.
intercalatum
Trematoda paru P. westermani

Morfologi cacing daun

55
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Infeksi pada manusia


a) Metaserkaria, selain di ikan dapat juga di tumbuhan atau siput
(tergantung Spesies)
yang termakan
b) Serkaria dapat menembus kulit secara langsung (yang termasuk
disini yaitu semua Trematoda darah)

Trematoda Usus

1. Epidemiologi:
a) Penyebaran : Asia Tengah (Cina, Taiwan, Vietnam) dan Asia Tenggara
(Thailand,Malaysia, Indonesia).
b) Penularan melalui termakannya metaserkaria yang terdapat pada
tumbuhan air (yaitu Fasciolopsis buski biasa disebut juga dengan cacing
daun), ikan (Heterophyids), atau keong (Echinostoma ilocanum).
2. Spesies:
Yang termasuk didalamnya adalah
a) Fasciolopsis buski,
b) Echinostoma,

56
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
c) Heterophyids (Heterophyes-heterophyes dan Metagonimus yokogawai),
d) Gastrodiscoides hominis

3. Habitat:
a) Di usus halus (duodenum, jejunum)
b) Usus besar (G. hominis)
4. Siklus Hidup Fasciolopsis buski

5. Patologi:
a) Cacing daun melekatkan diri pada mukosa usus, menyebabkan:
peradangan, ulserasi dan hemoragi.

57
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
b) Infeksi berat yang disebabkan oleh F. buski : obstruksi usus, ileus
akut, absorbsi metabolit cacing yang toksik atau alergik yg
menyebabkan edema umum dan ascites
6. Gejala Klinis:
Gejala klinis terbagi menjadi 3:
a) infeksi ringan: tanpa adanya gejala.
b) Infeksi sedang ditandai dengan: nyeri epigastrik, mual dan diare,
terutama pagi hari.
c) Infeksi berat ditandai dengan: diare, feses berwarna kuning terang dan
mengandung makanan tak terdigesti (disebut giardiasis), tidak adanya
absorbsi vit B12, edema umum dan ascites (toxin/ malabsorbsi jika
sudah lama).

7. Diagnosis

a) gejala klinis di daerah endemik.

b) Terdapat telur parasit di feses sudah menjadi diagnosis pasti.

8. Treatment dan Pengendalian

a) Praziquantel 25 mg/ kg BB 3 x sehari 1 hari.

b) HINDARI!!!

i. makan tumbuhan air mentah (karena disana bersarang F. buski)

ii. ikan diasapkan/diasamkan, (terdaapat Heterophyidae) atau

58
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
iii. keong mentah yang terkontaminasi metaserkaria (terdapat
Echinostoma)

c) Pengaturan pembuangan kotoran,

i. tidak boleh di atau dekat kolam yang terdapat keong


Planorbidae,Segmentina, Hippeutis atau tumbuhan air vektor (water chesnut,
bamboo shoots, water calthrop).

ii. Kotoran tidak boleh untuk pupuk terutama di daerah endemik

d) Waspadai hospes reservoir F. buski seperti: anjing, babi, kelinci.

Trematoda Hati

Clonorchis sinensis

CE= cecum, OS= oral sucker, PH= pharynx, AC= ventral sucker, UT=uterus,
VT= vitellaria, TE= testis

59
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Fasciola Hepatica

1. Distribusi Geografis

a) Clonorchis sinensis di Asia Tenggara terutama di Cina, Korea dan Jepang.

b) Fasciola hepatica di Amerika Selatan,

c) F. gigantica di Hawaii.

d) Opisthorchis felineus: Polandia, Prusia, Siberia.

e) O. viverrini di Thailand, Laos, Malaysia, Vietnam.

2. Spesies

Adapun spesies nya antara lain: Clonorsis sinensis, Opisthorchis felineus, O.


viverrini,Dicrocoelium dendriticum, Fasciola hepatica, F. gigantica.

60
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
3. Siklus Hidup Clonorchis sinensis

4. Siklus Hidup Fasciola hepatica

61
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

5. Patologi

a) Cacing menyebabkan iritasi duktus biliverus sering menyebabkan


dilatasi.

b) F. hepatica menyebabkan obstruksi duktus biliverus dan kolangitis

6. Gejala Klinis

a) Indigesti, epigastric discomfort, kelemahan, dan kehilangan berat


badan.

b) Hepar membesar, nekrotik dan lunak, terjadi gangguan fungsi hati,


jaundice, anemia.

7. Diagnosis

a) Diagnosis gejala klinis di daerah endemik.

62
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
b) USG  cacing dewasa di hepar;

c) CT-scan  dilatasi dan penebalan duktus biliverus

d) Diagnosis pasti didasarkan pada penemuan telur di feses atau


cairan empedu.

8. Treatment dan Pengendalian

a) Bithionol untuk fascioliasis: 30-50 mg/kg BB 10-15 dosis

b) Praziquantel C. sinensis : 25 mg/kg BB 3x sehari 1 hari.

c) HINDARI makan tumbuhan air mentah (F. hepatica) dan makan


ikan yang dimasak kurang matang (C. sinensis), pengaturan
pembuangan sampah (tidak dekat kolam).

d) Drainase padang penggembalaan, penggunaan moluskisida,


pengobatan hewan terinfeksi (F. hepatica).

63
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
Trematoda Paru

1. Epidemiologi

Trematoda paru umum terjadi di sebagian Asia, Afrika dan Amerika


Selatan

2. Spesies : Paragonimus sp.

3. Siklus Hidup Paragonimus westermani

64
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
4. Symptoms

a) Cacing di alveolus (di dalam kapsul (semacam cairan kental))


menyebablan reaksi radang (demam)

b) Kapsul (ini pembungkus cacingnya di paru paru) pecah menyebabkan


iritasi sehingga dapat menimbulkan batuk + sputum mengandung
darah, telur, dankristal Charcott leyden. Nyeri dada, dispnoe, bronkhitis
kronis, bronchiektasis, pleural efusi, fibrosis paru.

c) Cacing dapat migrasi ke organ lain seperti: otak, kulit, hepar.

5. Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan riwayat. Penemuan telur di


sputum sering terjadi pada pemeriksaan sputum. Selain itu penegakkan
diagnosisi juga dapat menggunakan pemeriksaan tambahan X ray dada.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil eosinofili akibat adanya


infeksi cacing

6. Treatment and control

a) Praziquantel 25 mg/kg BB selama 2 hari.

b) Bithionol 15-25 mg/kg BB 2x sehari total selama 10 -15 hari

c) Pencegahan: Memasak udang/kepiting yang baik dan perbaikan sanitasi.

65
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

Trematoda Darah

1. Epidemiologi

a) Diperkirakan 250 juta orang terinfeksi dan 600 juta berisiko terinfeksi.

b) Distribusi geografis:

66
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
 S. mansoni: Afrika, Arabia, Brazil Venezuela, Suriname

 S. japonicum: Cina, Jepang, Taiwan, Filipnina, Indonesia

 S. haemotabium: Sekitar sungai Nil, Siprus, Portugal, India, Jordania.

c) HP siput: Bulinus, Biompalaria, lYmnea, Oncomelania

2. Siklus Hidup

67
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
Penyakit ini ditularkan melalui fecal oral. Telur cacing yang ikut keluar
bersatu dengan feces manusia mencemari air maupun tanah. Di lingkungan
tersebut telur berkembang menjadi mirasidium dan akan penetrasi ke
dalam tubuh siput cercaria yang berada di air itulah yang akan masuk ke
tubuh manusia. Manusai akan terinfeksi karena cercaria tumbuh menjadi
cacing dewasa dalam tubuh manusia.

3. Patologi - Simptom

a) Penetrasi serkaria  ptechial hemoragi, pruritus (swimmers' itch)  1-4


hari.

b) Selama 3 minggu awal (fase migrasi)  manifestasi toksik dan alergik;


asimtom atau; malaise, demam, urtikaria, gangguan perut. Migrasi melalui
paru-paru menyebabkan batuk. Cacing di hepar menyebkan hepatitis.

c) Cacing sampai di venule mesenterica / vesica dapat memunculkan gejala


klinis yg disebabkan oleh reaksi radang terhadap telur (onset: 1-3 bulan)

• Gejala umum saat penetrasi telur: malaise, demam, urticaria, nyeri


perut, pembesaran hepar.
• Pada kantung kemih,  lesi granulomatous, hematuria dan
• sumbatan uretra. Kanker kantung kemih di daerah endemik sering
dikaitkan dengan infeksi cacing ini secara kronik.
• Di usus  polip  infeksi berat dapat menyebabkan disentri
berat.
• Di hepar  fibrosis periportal dan hipertensi portal sebagai akibat
hepatomegali, splenomegaly dan ascites.

68
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
d) Pembesaran vena esophagus dan gastrium mengakibatkan rupturnya
vena tersebut.

e) Telur S. japonicum kadang di otak manifestasinya: sakit kepala,


disorientasi, amnesia dan koma.

f) Telur yang terbawa ke jantung arteriolitis dan fibrosis menyebabkan


pembesaran dan kegagalan ventrikel kanan.

g) Lesi vesikel akibat penetrasi cercaria

h) Anak berusia 13 tahun penderita schistosomiasis (bilharziasis). Terdapat


hepatosplenomegali, ascites, atropi otot, pyrexia, anemia dan hemorhagi di
traktus gastrointestinal. (WHO/TDR/Vogel)

69
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes

4. Diagnosis

a) Diagnosis didasarkan pada riwayat pernah tinggal di daerah endemik,


swimmers' itch dan gejala-gejala lainnya.

b) Telur berbentuk sangat karakteristik sebagai konfirmasi diagnosis pasti.,

70
Wisnu Rizallurosidin
Trematoda
drh. Tri Wulandari, M.Kes
Telur S. japonicum (55 - 65 x 70 –
100 mikrometer) lebih membulat
dengan tonjolan duri kecil di
samping (cenderung tidak
terlihat).
Telur S. hematobium di urin (55 -
65 x 110 – 170 mikrometer)
mempunyai tonjolan di ujung

telur S. mansoni di feces (45 -70 x


115-175 mikrometer)
mempunyai tonjolan duri di
samping.

5. Treatment dan Pengendalian

a) Praziquantel 40 mg/kg BB
1) dosis tunggal S. mansoni, S. haematobium, S. intercalatum.
2) 3 x 20 mg/kg BB  S mansoni, S. haematobium, S. japonicum, S. mekongi
b) Hindari kolam yang terinfeksi, Pengendalian ditujukan pada perbaikan
sanitasi, pembuangan sampah dan pemberantasan keong.
c) Belum ada vaksin.

71
Wisnu Rizallurosidin
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Polio dan Parotis Epidemika


Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Polio
PENDAHULUAN
• WHO memulai Program Eradikasi Polio (ERAPO) pada tahun 2000
♥ Satu-satunya reservoir dari virus ini adalah manusia
♥ Virus polio tidak dapat bertahan hidup lama di luar tubuh manusia
♥ Adanya vaksin yang cukup efektif dan murah
• Indonesia:
♥ Terakhir ditemukan VPL (virus polio liar) th 1995 di Jatim
♥ April 2005: di Sukabumi  outbreak

VIRUS POLIO
• Virus RNA, termasuk dalam kelompok enterovirus, famili Picornaviridae.
• 3 macam serotipe (strain) yaitu P1 (Brunhilde), P2 (Lansing) dan P3 (Leon)
• Tipe 1 yang paling paralitogenik
• Sifat: mati panas, formaldehid, klorin, pasteurisasi (600C selama 30
menit) dan sinar ultraviolet, direndam Na-hipoklorit 1% atau kaporit.
• Tahan  sabun, alkohol dan lisol.

TRANSMISI & PATOGENESIS

72
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

GEJALA KLINIS
• Masa inkubasi: 6-20 hari

A. Inapparent infection: 95%


– Subklinis atau asimtomatis.
– 1 kasus lumpuh karena VPL, berarti di sekitarnya ada 100-200 orang yang
juga terinfeksi VPL, tetapi tidak menunjukkan gejala. Orang-orang ini akan
menyebarkan VPL kemana-mana melalui tinjanya, sehingga penyebaran
VPL sangat cepat dan dapat berpindah ke tempat yang jauh.

B. Poliomielitis abortif: 4-8%


– Penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari
invasi dalam sistem saraf pusat.
– Dapat sembuh sempurna, < 1 minggu

C. Meningitis aseptis non paralitik (Poliomieltis non paralitik): 1-2%


– Didahului oleh gejala prodromal: iritabel, peka saraf meningkat, kaku
kuduk, kaku punggung
– 2-10 hari dan dapat sembuh sempurna.

D. Poliomielitis paralitik

73
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
– Lumpuh layuh atau paralisis flaksid: < 2%
– Fase prodromal  demam bifasik terutama pada anak-anak dengan
permulaan gejala ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama.
Demam Bifasik yaitu demam dengan 2 episode yang berbeda (pelana kuda/
saddleback fever), demam pertama dengan durasi 2-3 hari, kemudian turun
sampai dengan hari ke-5, kemudian demam lagi bahkan kenaikan suhu bisa
lebih tinggi.
– Tipe spinal:
• Hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks tendon
dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan
punggung.
• Paralisis flasid disertai hilangnya refleks tendon dalam
• Dari proksimal, asimetris, permanen tanpa kehilangan sensori dan
kesadaran
– Tipe bulbar:
• Kerusakan motorneuron pada batang otak
• Insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kelumpuhan pita
suara dan kesulitan bicara
– Tipe bulbospinal kombinasi antara paralisis bulbar dan spinal.

E.Post polio syndrome (PPS)


– Manifestasi lambat (15-40 tahun) setelah infeksi polio, dengan gejala klinik
polio paralitik akut
– Nyeri otot yang luar biasa, paralisis rekuren atau timbul paralysis baru.
– Patogenesisnya belum jelas namun bukan akibat infeksi yang persisten.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT MANIFESTASI


KLINIK

• Strain virus
• Usia  semakin muda makin berat
• Aktifitas fisik dan trauma
• Tonsilektomi
• Suseptibilitas genetik
• Kehamilan

74
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
DIAGNOSIS
A. Perjalanan klinis:
 Panas pada permulaan sakit, terjadi perubahan paralisis yang cepat menjadi
maksimal (dalam waktu 4 hari)
 Kelumpuhan layu, proksimal, unilateral dan tidak adanya gangguan sensori.
 Gejala residual (permanen) : 60 hari
B. Virologi:
 Feses: 2 minggu pertama kelumpuhan
 Faring: kurang sensitif
C. LCS:
 Jumlah sel lekosit (10-200 sel/mm3), sebagian besar limfosit)
 Terjadi kenaikan kadar protein ringan (40-50 mg/100ml

DIAGNOSIS BANDING
• Acute anterior poliomyelitis
Strain lain virus Enterovirus, enterovirus 70 dan 71; virus coxsackie
A4,6,7,11,14,18,21; virus coxsackie B1-6; virus Echo 1-4,6,7,9,11,14,16,19,30
• Acute myelopathy
Proses desak ruang (abseb paraspinal, tumor atau hematoma); mielopati
transverses idiopati akut
• Peripheral neuropathy
Guillain Barre sindroma; neuropati demielinating akut, neuropati aksonal akut;
pasca pemberian vaksin rabies; neuropati dalam perjalanan penyakit seperti
difteri, rabies, lyme, borrelios, intoksikasi logam berat, toksin biologis
• Penyakit sistemik
Porpiria intermiten akut; neuropati pada penyakit kritis
• Kelainan transmisi neuron
Miastenia gravis; gigitan ular; botulisme; intoksikasi insektisida; tick paralisa
• Kelainan otot
Miopati inflamasi idiopatis; trichinosis; hipokalemia dan hiperkalemia paralisa,
termasuk familial periodic paralysis.

TATA LAKSANA
• Fase akut:
– Di RS 1-2 minggu, diisolasi untuk cegah penularan
– Suportif, analgetik, istirahat total
– Foot board atau splint untuk mencegah kontraktur ankle pada posisi fleksi
dan exorotasi hip.

75
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

• Stadium subakut (2 minggu sampai 2 bulan)


– Demam (-)
– Kelumpuhan mengalami perbaikan.
– Latihan pasif atau latihan aktif yang ringan. Pada akhir stadium penderita
dapat dilatih berdiri, bila memungkinkan latihan jalan.
– Hindari latihan yang berlebihan

• Stadium penyembuhan/ konvalesen (2 bulan sampai 2 tahun pasca


kelumpuhan):
– Latihan aktif dengan beban untuk penguatan otot-otot yang lemah
maupun otot substitusinya.
– Diberikan ortesa (alat bantu penyangga tubuh) untuk mencegah
deformitas sekunder akibat ketidakseimbangan kekuatan otot.

• Stadium residual atau kronik (masa setelah 2 thn pasca kelumpuhan)


– Pengembangan pola pengganti aktivitas sehari-hari

PENCEGAHAN
1. Imunisasi: OPV dan IVP, vaksin trivalen
2. Imunisasi awal: pada saat lahir

76
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
3. Dilanjutkan: 2, 3, 4 bulan (interval 4-8 mg)
4. ASI tidak mempengaruhi respon imun
5. Bila muntah < 10 menit, diulang

OPV
• Hidup yang dilemahkan *lemah tanpamu*
• Murah, mudah
• Efektif: Pemberian 1 dosis memberikan kekebalan pada 50 % resipien, 3 dosis
akan meningkatkan kekebalan sampai 95 %.
• Virus polio vaksin akan menempel, kolonisasi dan replikasi di usus selama
sekitar 100 hari dikeluarkan melalui tinja dan akan masuk ke orang lain
disekitar resipien sehingga akan juga memberikan manfaat pada komunitas
(community effect).
• IgA sekretorik penting untuk menghalangi penempelan, invansi dan
replikasi virus polio liar  dikeluarkan feses  mati.
• Kerugian: bereplikasi dan mutasi sehingga menyebabkan terjadinya lumpuh
layu atau Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP).

IVP
– Sangat efektif: 2 dosis  antibodi yang protektif pada sekitar 90 % resipien
dan 3 dosis  99 %.
– Vaksin yg dimatikan tidak dapat replikasi dan tidak dapat menyebabkan
kelumpuhan. Aman diberikan pada penderita dengan defisiensi imun.
– Kerugian:
• Mahal, intramuskuler butuh tenaga kesehatan terlatih
• Hanya merangsang IgG tapi tidak IgA sekretorik sehingga tidak dapat
mengurangi transmisis virus polio liar
• Pada daerah yang sudah bebas polio, penderita defisiensi imun

KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi)


• OPV  VAPP (Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis)
• 1 kasus per satu juta dosis pertama penggunaan OPV dan setiap 2,5 juta
dosis OPV lengkap.
• Recepient VAPP: 7-30 hari setelah OPV
• Contact VAPP: 7-60 hari setelah OPV.

ERAPO (Program Eradikasi Polio)


• OPV  Ig A sekretorik  community effect
77
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
• Apabila imunisasi dilakukan secara serentak pada semua individu dalam
satu populasi, kekebalan usus dan efek komunitas akan menyebabkan
virus polio liar tidak dapat host untuk bereplikasi  terhentinya
transmisi virus polio liar

STRATEGI ERAPO
a. Imunisasi Rutin:
♥ OPV 4 kali, cakupan UCI 80 % di tingkat desa.
♥ kekebalan pada kelompok sasaran agar tidak terinfeksi polio
♥ Tiap 3 bulan  sweeping
♥ Tiap 2 tahun: backlog fighting pada desa yg cakupan rendah  imunisasi
masal terhadap semua anak dibawah 2 tahun, tanpa memandang status
imunisasinya.
b. PIN
♥ PIN (Pekan Imunisasi Nasional) atau NID (National Immunizations
Days).
- PIN dilaksanakan di negara yang masih terdapat transmisi polio liar
di negara di mana tidak dapat dibuktikan bahwa tidak ada lagi
transmisi polio liar.
♥ PIN dilaksanakan pada awal pelaksanaan eradikasi polio (Indonesia th
1995, 1996,1997) karena alasan:
- Transmisi polio liar umumnya masih tersebar luas sebelum program
dimulai, atau luas transmisinya tidak diketahui
♥ Surveilans AFP belum adekuat, sehingga tidak dapat digunakan untuk
menentukan daerah risiko tinggi

78
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
c. Surveilans AFP dan polio liar.
d. Mopping Up
o Tahap akhir program eradikasi polio, dimana telah dibuktikan melalui
surveilans AFP yang memenuhi standar kinerja WHO bahwa transmisi
virus polio liar terjadi secara terbatas.
o Transmisi virus polio liar telah terreduksi dan terbatas pada daerah
tertentu (focal)
o Kunjungan dari rumah ke rumah
KESIMPULAN
♥ Mencapai ERAPO masih dibutuhkan kerja keras / dukungan semua pihak
melalui kegiatan:
o Imunisasi rutin
o Imunisasi suplemen (PIN, Mopping up)
o Survailance AFP  sosialisasi

79
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

PAROTIS EPIDEMIKA

(Mumps, Gondongan)

• Atau Mumps
• Penyakit virus akut dan menular
• Pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotitis

ETIOLOGI:
• Virus genus Paramyxovirus

EPIDEMIOLOGI
• Tersebar di seluruh dunia
• Pada semua umur, 85% usai < 15 th
• Proporsi tertinggi pada 5-9 th
• 20-40% gejala sub klinis (tanpa pembesaran kelenjar parotitis)  sulit
dikenali
• Reservoir manusia, melalui kontak langsung, percikan ludah, bahan
tercemar saliva yang terinfeksi
• Mungkin melalui urine
• Virus dapat diisolasi dari saliva 6-9 hari setelah pembengkakan kelenjar
• Ditemukan dalam urine sejak hari 1-14 setelah pembengkakan kelenjar
• Infeksi klinis dan subklinis  kekebalan seumur hidup
• Kekebalan melalui placenta melindungi bayi 6-8 bulan
• Infeksi kehamilan trimester I  abortus
• Trimester terakhir  parotitis bayi lahir/ periode neonatus

PATOGENESIS
• Ada 2 teori yaitu:
1. Melalui mulut ke duktus stensen kelenjar parotitis, multiplikasi pertama
pada kelenjar ini, kmd diikuti oleh viremia umum, dan lokasi yang dituju :
testis, ovarium, pankreas, tyroid, ginjal, jantung atau otak.
2. Replikasi primer terjadi dalam epitel permukaan saluran nafas kemudian
diikuti oleh viremia umum dan lokalisasi serentak dalam kelenjar saliva dan
alat tubuh lainnya.

80
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
*Pembengkakan kelenjar parotitis hasil dari reaksi hipersensitivitas terhadap
multiplikasi virus lokal

MANIFESTASI KLINIS
• Inkubasi : 14-24 hari
• Masa Prodromal :
1. lesu, nyeri otot (leher), sakit kepala
2. nafsu makan menurun
3. diikuti pembesaran satu/ kedua kelenjar parotitis serta kelenjar ludah
lainnya, sangat cepat
4. perasaan sakit, edema di kulit
5. mereda perlahan 3-7 hari
6. demam tidak tinggi

PENYULIT
• Viremia awal penyakit
• Meluas ke organ lain: testis, otak, ovarium, pakreas, ginjal, tyroid, jantung,
kelenjar payudara, telinga, mata dan nadi

• Orkitis Epididimitis:
- Sering terjadi pada remaja dan dewasa
(14-35% kasus)
- Biasanya 8 hari setelah infeksi
- Unilateral, 17-38% bilateral
- Testis nyeri, membengkak, kulit edema dan merah
- Lama rata-rata 4hari
- Dapat terjadi atrofi, kemandulan pd orkitis bilateral

• Meningoensefalitis
- Paling sering anak-anak (250/100.000 kasus)
- Laki-laki 3-5x lebih sering
- Gejala:
* Kenaikan suhu, sakit kepala, muntah, iritabilitas dan kejang
* Tidak bisa dibedakan dg meningoensefalitis oleh karena penyebab lain

• Ooforitis:
- + 7% kasus perempuan prapubertas
- Tidak terbukti terjadinya gangguan kesuburan

81
Wisnu Irfan – Ela, Hanum
Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
• Prakreatitis
• Nefritis
• Tiroiditas
• Miokarditas
• Mastitis  peradangan pada payudara
• Ketulian
• Penyakit okuler
• Artritis

DIAGNOSIS
• Berdasarkan gejala klinis
• Diduga selama epidemi
• Laboratorium tidak spesifik
• Isolasi virus, pemeriksaan serologik
1. ISOLASI:
- Dari saliva, cairan serebrospinal, urine
- Di inokulasi sel ginjal monyet
2. SEROLOGI :
- Kenaikan antibodi serum 4x atau lebih
- Uji komplemen  diagnosis sementara
3. ANTIGEN UJI KULIT:
- Hipersensitivitis tipe lambat
- 3-4 minggu setelah infeksi
- Kurang dapat diandalkan

DIAGNOSIS BANDING
1. Parotitis penyebab lain
2. Parotitis Supurativa
3. Kalkulus saliva
4. Lesi pada ramus mandibula (osteomielitis)
5. Pembesaran kelenjar limfe bagian proksenal kelenjar parotitis

PENGOBATAN
- Simtomatik
- Tidak ada antivirus untuk penyakit ini, karna mumps merupakan self-limited
disease

72

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
- Analgesic untuk sakit kepala atau ketidaknyamanan akibat parotitis.
Analgesic kuat mungkin dibutuhkan bagi pasien dengan orchitis.
• Ibuprofen
• Acetaminophen
obat pilihan untuk nyeri pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap
obat nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), penyakit saluran cerna
atas, atau yang sedang mengkonsumsi antikoagulan PO.
- Menghindari makanan asam (misalnya, tomat, cuka mengandung aditif
makanan) dan cairan (misalnya jus jeruk) bermanfaat untuk mengurangi
rasa sakit dan ketidaknyamanan.
- Bed rest/istirahat, dukungan.

PENCEGAHAN
- Pasif – Gamma-globulin-tidak efektif
- Aktif – imunisasi MMR

PROGNOSIS
- Baik

73

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Current Update of Vaccination


Jenis dan jadwal vaksin
Vaccines safety

Target Program Imunisasi 2015-2019


• Eradikasi rasa yang tertinggal *eh POLIO yak , awas salah focus !
• Eliminasi tetanus neonatorum dan maternal
• Reduksi campak dan pengendalian rubela

74

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Jenis Imunisasi Permenkes No 42, 2013


1. Imunisasi wajib
Hepatitis B, Hib, DPT, BCG, campak, polio
2. Imunisasi pilihan
Rotavirus, PCV, influensa, varicela, MMR, hepatitis A, HPV, JE, dengue,
tifoid

75

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

76

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

77

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

78

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
Baca Tabel
1. Umur
• Angka (kolom umur):
– Umur dalam bulan: 0 – 29 hari
– Umur dalam tahun: 0 – 11 bulan 29 hari
• Contoh: DTP-1 dituliskan umur 2 bulan  direkomendasikan umur 2
bulan 0 hari sampai 2 bulan 29 hari.
2. Catatan kaki perlu dibaca

1. HEPATITIS B
 Vaksin hepatitis B1 (HBsAg 10 ug) dianjurkan diberikan dalam umur 12
jam, diberikan setelah vitamin K1.
 IM, paha anterolateral (bukan gluteus)
 Vaksin hep B2, B3 (monovalen) pada 1 dan 6 bulan
 Bila mau menggunakan vaksin kombinasi (Pentabio) maka pada usia 1
bulan tidak perlu pemberian hep b
 Dosis booster 18 bulan dengan pentabio  Hep B 5 kali  tidak
berbahaya dan meningkatkan titer AB
o Rekomendasi IDAI tentang kelangkaan vaksin

Bayi lahir dari ibu HBsAg positif


• Dalam waktu 12 jam setelah lahir
– Beberapa propinsi HbIg masuk diberikan HBIg 0,5 ml dan
vaksin HepB secara bersamaan
– Intramuskular di sisi tubuh yang berlainan
– Program

Imunisasi pada BBLR (Satgas imunisasi, AAP)


• Bayi prematur dan BBLR yang secara medis stabil*
• Menerima semua vaksin sesuai dengan umur kronologis tanpa
memandang usia kehamilan atau berat badan BBL
• Hepatitis B1: status HbSAg ibu dan BBL
• Dosis sama seperti bayi cukup bulan -BBLC

Rekomendasi jadwal Hepatitis B


• BBL > 2.000 gram: dalam 12 jam
• BBL < 2.000 gram  tergantung Hba Ag ibu

79

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
• BBL < 2.000 gram status HBsAg positif:
– Berikan Hep B 1 (selama klinis stabil) dan HBIG dalam 12 jam
– Pemberian vaksin Hb 1 (tidak dihitung sebagai dosis vaksin) 
1, 2, 6 bulan
– periksa anti HBsAg 9 sd 15 bulan
• BBL < 2.000, HBs Ag (-): Hep B 1 ditunda bila BB 2.000 gram, atau
usia 30 hari atau saat pulang.
• BBL < 2.000 gram, Hbs Ag tidak diketahui:
– Vaksin Hep B1
– Cek Hbs Ag ibu

2. POLIO

• Vaksin polio 0: polio oral (saat saat bayi pulang) atau selambatnya pada
umur 1 bulan (kecuali DIY)
• Untuk vaksin polio 1, 2, 3 dan booster: polio oral (OPV) atau polio
inaktivasi (IPV)
• April 2016 tOPV switch bOPV. Seluruh tOPV ditarik kemudian
dimusnahkan
• Juli 2016 Pemberian IPV 1 dosis
• Rekomendasi: paling sedikit 1 dosis IPV yang penting dalam masa
transisi dalam menuju eradikasi polio
• Diharapkan dunia bebas polio pada 2018
• WHO: Indonesia bebas polio 27 Maret 2014

80

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

3. BCG

• BCG = Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan


• Dapat diberikan: umur 0 - 2 bulan
• Optimal pada umur < 3 bulan (sd 2 bln 29 hr)
• Bila umur > 3 bulan uji tuberkulin
• Bila uji tuberkulin tak ada  observasi local accelerated reaction
• Dosis 0,05 mL IK (0,1 mL utk anak > 1 tahun)

Indikasi kontra:
• Bayi HIV positif dgn / tanpa gejala
• Bayi status HIV ? dgn gejala HIV, ibu HIV+
• Keganasan (e.g. leukemia, limfoma)
• Imunodefisiensi primer/sekunder
• Dapat imunosupresif (radio/kemoterapi, steroid)
4. DTP

81

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

• DTP diberikan pada umur 2,4,6 bulan


• Booster pada umur 18-24 bulan dan 5 tahun
• Umur 10-12 th : vaksin Td (Tdap) yang perlu booster tiap 10 tahun
• Sedian vaksin DPT kombinasi:
• Pentabio (DPwT-HepB-Hib)
• DPaT-Hib-IPV
• DPaT-Hib-IPV- Hep B
DPT
• Kekosongan vaksin:
– Inter changeable vaksin DPw T dan DTaP diperbolehkan
• Pentabio:
– Keamanan: demam ringan timbul sekitar 20% dalam 1-2 hari,
bengkak ringan sekitar 25%,
– respons imun (imunogenisitas) antara 85 – 100%
– Pentabio dapat digunakan sebagai booster
– Persediaan: vaksin multidosis (5 dosis)  minta ke Dinkes 
laporan

82

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
5. CAMPAK

• Tiap 0,5 ml vaksin mengandung:


- 1000 u virus strain CAM 70 yang dilemahkan
- 100 mcg kanamisin, 30 mg eritromisin
• Imunisasi campak pada anak balita (program nasional) diberikan 2 kali pada
umur 9 dan 24/ 18 bulan (Permenkes RI no 42/ 2013)
• Bila dapat MMR umur 15 bulan dan 5-6 tahun, imunisasi campak umur 24
bulan dan 6 tidak perlu.
• Imunisasi campak ke 3 pada umur 6 tahun (SD kelas 1)

6. PNEUMOKOKUS

• Ada 2 macam vaksin:


– Polisakarid pneumococcusvaccine (PPV 23)
– Pneumococcus conjugated vaccine (PCV 10, PCV 13)

83

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
Jadwal Imunisasi PCV

• Dosis ulangan diberikan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir dari
imunisasi dasar (dikutip dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006)
• Pada umur < 12 bulan, vaksin dapat diberikan dengan interval minimum
antara 2 dosis adalah 4 minggu (CDC edisi ke-7 tahun 2005)

84

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
7. ROTAVIRUS

• Vaksin rotavirus monovalen (RV1)


– Attenuated human rotavirus vaccine: 2,4 bulan
– Umur dosis 1 : 6-14 minggu 6 hari. Interval min. 4 minggu
• Vaksin rotavirus pentavalen (RV5)
– Bovine-human reassortant rotavirus vaccine: 2,4,6 bulan
– Umur dosis 1 : 6-14 minggu 6 hari. Interval min. 4-10 minggu
• RV1 harus selesai pada umur 24 minggu. dan RV5 pada 32 minggu

8. HEPATITIS A

9. VAKSIN INFLUENZA

• Vaksin trivalent inactivated influenza (TIV)


– 2 strain Influenza A
– 1 strain Influenza B
• Baru (Quadrivalent):
– 2 strain Influenza A
– 2 strain Influenza B
– Dapat diberikan kapan saja

85

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
• IM paha anterolateral atau deltoid
• Jadwal:
– Umur 6-35 bulan: 0,25ml
– Umur ≥ 3 tahun : 0,50 ml
– Umur < 9 tahun pertama kali harus mendapat 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu
– Diulang tiap tahun
• vaksin Flubio@:
– dapat diberikan untuk anak usia 12 tahun atau lebih.
– diteliti pada 404 anak berusia 6 bulan – 11 tahun di Jakarta
• serokonversi anti-influenza 100%.
• Reaksi lokal (bengkak ringan, kemerahan) 11%-23%
• demam 1,7% – 10,4%
• tidak ditemukan KIPI serius

10. VARISELA
 Vaksin varisela : virus hidup yg dilemahkan
 Rekomendasi : mulai umur 1 tahun, terbaik sebelum masuk sekolah
 Dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal
 Pada anak ≥ 13 tahun : diberikan dua kali selang 1 bulan.
 Kombinasi MMR- Varicela: 2017

86

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
11. HPV

87

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

88

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

89

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Miskonsepsi/ Isu Tidak Benar Mengenai Imunisasi


 Vaksinasi tidak bermanfaat
 Vaksin tidak aman: KIPI
 Vaksin mengandung babi
 Vaksinasi konspirasi negara asing/ amerika
 ASI dan herbal dapat melindungi dari penyakit berat

90

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
SUMBER ISU
 Tabloid, blog, milis, twitter, ceramah, talkshow
 Ummu Salamah SH, “Dr ustadz” Jarry Gray, dr. Jose Rizal, SpBO, dr.
Henny Zaen
 mengutip pernyataan individu dari luar Indonesia sebelum tahun 1960an
(lebih dari 50 tahun lalu)
 bukan hasil penelitian institusi yang terakreditasi
 berdasar pengalaman pribadi,
 keliru menginterpretasi data tentang imunisasi.
 Tidak ada institusi penelitian resmi yang mendukung isu-isu
tersebut

FAKTA
• 194 negara melakukan imunisasi rutin dengan cakupan > 80 %
– di negara kaya dan negara miskin
– negara dgn penduduk mayoritas muslim dan non muslim,
termasuk Israel Yahudi
• Cakupan baik: penurunan kasus
• Cakupan menurun  ada outbreak

Vaksin tidak aman?


• Standar keamanan vaksin lebih tinggi dibanding obat lain
• Semua vaksin sebelum beredar telah diuji untuk keamanan

91

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
• Izin masuk Indonesia: registrasi pada badan POM
• Pemantauan setelah beredar/ post marketing surveillance; BPOM, produsen
vaksin,KOMNAS PP,KIPI,DEPKES

92

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

93

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Alhamdulillah materi kali ini selesai. YEAY ! Semoga materinya bisa bermanfaat
dengan baik ya gaes. Sukses MCQ nya. Let’s reach the top together !
-MEDALLION-

94

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Polio dan Parotis Epidemika
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Latihan Soal
1. Karakteristik ruam kulit pada varisela yang khas adalah...
A. Terdapat semua tingkatan lesi kulit pada satu area, waktu
bersamaan
B. Kadang-kadang terasa gatal
C. Menimbulkan bekas pada kulit setelah sembuh
D. Muncul di muka, badan, dan ekstremitas
2. Untuk tindakan pencegahan terhadap penyakit parotitis yang paling
efektif dan efisien adalah...
A. Imunisasi MMR
B. Menghindari kontak dengan penderita
C. Memperbaiki sanitasi lingkungan
D. Pemberian gamma globulin
3. Di Indonesia efektivitas vaksin campak yang diberikan pada waktu bayi
berumur 9 bulan barlangsung selama...
A. 6 tahun
B. Seumur hidup
C. 10 tahun
D. 4 tahun
4. Penularan penyakit campak terjadi secara droplet pada waktu...
A. Sebelum keluar ruam (exantema)
B. Sebelum dan beberapa hari setelah keluar ruam
C. Sewaktu keluar koplik’s spot
D. Sewaktu keluar ruam

95

Wisnu Irfan – Ela, Hanum


Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Imaging Radiology in
Tropical Disease
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Pada penyakit tropis, pemeriksaan radiologis dapat dilakukan pada penyakit :


• Malaria • Filariasis • Torch
• Df/dhf • Morbili • Varicella
• Typhoid fever • Difteri • Cysticercosis
• Tb : m.tbc dan • Pertusis • Mikosis
m.leprae • Tetanus
• Leptospirosis

Kegunaan Radiologi pada Penyakit Tropis?

Diagnosis,
Imaging Tropical
Treatment,
Radiology Diseases
Evaluation

Pada penyakit infeksi secara umum, pemeriksaan radiologis dapat


dilakukan untuk mendeteksi mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, atau
mikosis. Dalam topical medicine dapat dilakukan mendeteksi mikroorganisme
penyebab penyakit tersebut seperti Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC,
mycobacterium leprae penyebab leprosis, salmonella typhi penyebab thypoid
fever, dengue viral penyebab dengue fever, dan dengue haemorrhagic fever, dan
plasmodium penyebab malaria.

95
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Gambaran radiologi pada penyakit tropis juga dapat digunakan sebagai
alat bantu diagnosis (pemeriksaan penunjang), alat bantu terapi, dan sebagai alat
skrinning atau alat bantu evaluasi terapi.

TUBERKULOSIS
• Global Tuberculosis Report tahun 2014 (WHO, 2015)  Indonesia no 2 di
dunia
• WHO, 2013  6800 kasus MDR TB  2% TB baru dan 12% Kasus TB dg
pengobatan ulang
• 55% kasus MDR TB belum terdiagnosis dan belum diberikan terapi

Apa fungsi pemeriksaan radiologi untuk TBC?


• Sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis TBC (lihat kriteria diagnosis
TBC menurut WHO pada materi tentang TBC, hal ini dilakukan ketika
pemeriksaan sputum negatif);
• Sebagai alat skrinning pengobatan penderita TBC

96
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
• Sebagai alat untuk mengevaluasi hasil pengobatan

Gambaran radiologi yang ditemukan pada TBC, bisa bersifat tipikal dan bersifat
atipikal. Gambaran atipikal TBC adalah gambaran yang biasa ditemukan pada
TBC (pola – pola tertentu), tetapi gambaran atipikal TBC adalah gambaran yang
tidak biasanya ditemukan pada penderita TBC yang biasanya muncul karena
keterlambatan diagnosis atau keterlambatan pengobatan dikarenakan kurangnya
pengetahuan ahli radiologi.

Cara Penularan TB
1. Ekspulsi
Pengidap TBC batuk atau bersin sehingga droplet yang mengandung M.
Tuberculosis tersebar ke udara.
2. Nasib TB
Sinar matahari dan angin dapat mensterilisasi mendispersi udara yang
mengandung M.Tuberculosis. Sedangkan tempat gelap dan lembap dapat
menjadi sarang M. Tuberculosis yang infeksius.
3. Host terinfeksi

97
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Host dapat terinfeksi melalui inhalasi, ingesti (susu yang terinfeksi), kemudian
M. Tuberculosis terimplantasi dalam paru, tonsil, nodus limfatika, usus atau
jari-jari.
Infeksi juga dapat mengalami diseminasi ke organ-organ lain melalui jalur
udara, peredaran darah dan limfatika atau melalui usus.

Faktor Infeksi
1. Ada sumber infeksi
2. Jumlah Kuman, terpapar terus menerus
3. Virulensi Kuman TBC
4. Daya Tahan Tubuh turun

98
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Kompleks Primer
Asimptomatik

Penyakit Pulmoner Akut,


Reaktivasi TB
Sembuh Penyebaran SIstemik
Pasca Primer
Asimptomatik/ Simptomatik

Organ Lain TBC Milier Paru,


(Ginjal, SSP, dll.) Meningitis

99
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Patogenesis TB
1. Mycobacterium tuberculosis terhirup oleh manusia normal,
droplet tersebut masuk ke dalam paru – paru
2. makrofag alveolar yang bertugas menjaga kebersihan paru
melawan droplet tsb dengan cara memakannya (fagositosis),
namun karena bakterinya terlalu kuat, makrofagnya justru
terinfeksi
3. Bakteri bereplikasi dalam makrofag sehingga makrofag lisis
4. Makrofag yang lisis membentuk Ghon's focus di sekitar
tempat masuknya bakteri.
5. Bakteri bermigrasi ke saluran limfatik menyebabkan
limfangitis
6. Infeksi menyebar ke Kelenjar Getah Bening (KGB)
menyebakan limfadenopati
7. Terbentuk kompleks primer (Rankhe)

100
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Penyebaran
Kuman TB

Paru sekitar
Pleura dan Saluran Udara
Perikardium

Saluran Peredaran
Pencernaan Darah

Pembuluh Limfe

Komplikasi Penyebaran Kuman TB


1 TB Pulmoner
2 TB Saluran Napas Atas TB Laringitis, TB Tonsilitis
3 TB Otologi TB Telinga
4 TB Okuler TB Mata
5 TB Sistem Saraf Pusat TB Meningitis
6 Limfonodi/ Parotis TB Limfadenitis, TB Parotitis
7 TB Kardiovaskuler TB Perikarditis, TB Aorta, TB
Myocardium
8 TB Muskuloskeletal TB Spondilitis, Osteomyelitis,
Arthritis
9 TB Genitourinari TB Ginjal
10 TB Gastrointestinal TB Usus
11 Peritonitis TB Peritonitis
12 TB Liver, Saluran
Empedu dan Pankreas
13 TB Kutan TB Mastitis, Skrofuloderma

101
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Gambaran pada Pasien Positif Pulmonary Tuberculosis (PTB)

PTB

PTB Pos-Primer
(Konsolidas dengan/tanpa
PTB Primer
kavitasi jarang terjadi
pembesaran limfonodi)

Konsolidasi ekstensif di
area kecil paru, paling Lobus atas segmen apikal Lobus bawah segmen
sering di bagian tengah atau posterior apikal
atau atas

Pembesaran limfonodi
unilateral (95%)

Efusi Pleura (10%)

Gambaran Plain Chest Radiology


a. TBC Primer :
Pada TBC primer dengan plain chest radiology akan ditemukan :
• Ghon focus  seperti nodul berukuran sekitar 3 mm
• Limfadenitis mediastinal dan hilier.
• Opasitas segmental.
• Komplek primer sembuh yang mengalami kalsifikasi.
• TB Miliaris akibat Penyebaran hematogen dan pleuritis eksudatif
b. TBC Primer Tipikal
Karakteristik :
 Lesi parenkim

102
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
 Lokasi : di mana saja, tersering di lapang tengah, lapang bawah,
atau segmen anterior lobus atas
 Konsolidasi atau nodul
 Penyembuhan  komplit, fibrosis, kalsifikasi
 Limfadenopati perihiler atau paratrakhea
 unilateral atau bilateral
 Konsolidasi (+) / (-)
 Penyembuhan  kalsifikasi

Gambaran Radiologis TB Primer


1. Lesi Parenkim
Foto thorax pada anak usia 4 tahun

Pembesaran KGB perihiler disertai Perselubungan opaq di lobus superior.


konsodilasi pada lobus superior kanan. Perhatikan baik – baik, perselubungan ini
Pemadatan limfonodi (opaq) mungkin saja infiltrat (menyerupai benang –
benang)

103
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
2. Limfadenopati

Tampak lesi opaq di lobus inferior Tampak nodul kalsifikasi di perifer


kanan (fokus Ghon) disertai disertai kalsifikasi KGB perihiler
linfadenopati perihiler kanan kanan, dikenal sebagai kompleks
Rankhe

Patologi Komplek Primer TB


• Terdapat granuloma subpleural kecil
berwarna kuning-tan di bagian kanan
paru tengah.
• Terdapat granuloma kecil berwarna
kuning-tan di limfonodi hilus
sebelah bronkus.
• Terdapat komplek Ghon yang
merupakan karakteristik TB Primer.
• Penyakit granuloma tidak akan
berkembang pada kebanyakan orang.
Seiring berjalannya waktu,
granuloma akan mengecil dan
mengapur, meninggalkan titik
pengapuran fokal sebagai tanda
penyakit granuloma pada
pemeriksaan radiologi.

104
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Komplek Ghon

• Komplek Ghon tampak lebih jelas pada gambar ini.


• TB primer adalah istilah yang lazim untuk infeksi pertama
TB pada anak.
• Sedangkan reaktivasi dan TB sekunder lebih lazim terjadi
pada dewasa.

TBC Pos-Primer
Seseorang yang pernah terinfeksi TBC sekarang bisa terinfeksi lagi atau karena
adanya reaktivasi TBC nya yang dulu, atau dulu minum obat yang sudah resisten.
Hal ini disebut TBC postprimer.

Ciri – ciri gambaran radiologisnya :


• Lesi konsolidasi 95% pada lobus superior segmen apikal-posterior dengan
gambaran patchy atau konfluen  karena bagian ini cenderung tidak mobile
saat bernapas, banyak terdapat O2, dan sebelah kanan lebih pendek dan landai
dibandingkan kiri sehingga O2 mudah masuk, m. Tuberculosis sangat
menyukai tempat yang banyak mengandung O2.
• Infiltrasi nodular halus-kasar
• Opasitas awan homogen
• Kavitasi
• Kalsifikasi (tanda kronik)
• Fibrosis  menyebabkan volume loss akibat rongga paru mengecil (tanda
kronik)
• Tuberculoma  kalsifikasi dengan ukuran besar

105
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
• Efusi Pleura

kavitas paru terjadi karena alveoli pecah, sehingga bergabung


membentuk kavitas.

106
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

• Terdapat infiltrat.
• Trakhea dan mediastinum
tertarik ke rongga dada
sebelah kanan.
• Rongga dada sebelah kiri
kempes, semua organ
tertarik ke kanan

107
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Gambaran Radiologis TB Paru Atipikal


Beberapa batasan TB paru atipikal :
• Gambaran TB primer pada orang dewasa
• Gambaran TB paru yang tidak khas baik dari lokasi maupun gambaran
radiologisnya

108
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Gambaran TB Ekstrapulmoner

Pada foto radiologi akan tampak gibbus di Gibbus


vertebranya

109
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

110
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Tuberkulosis Arthritis
• Terutama menginfeksi sendi-sendi besar seperti lutut, pinggul, bahu, sendi
sakroiliaca, dst;
• Ada Phemister’s triad :
1) juxta-articular osteoporosis,
2) marginal bone erosion,
3) gradual loss of joint space.

111
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Tuberkulosis Kelenjar Limfe

Tuberkulosis Intrakranial
• Melibatkan leptomeninges (meningitis) dan parenkim (granulomas, abscesses,
atau cerberitis);
• Hasil dari penyebaran secara hematogen dari fokus di thorax, abdomen atau
saluran genitourinari.
• Sisterna basalis paling sering terkena sehingga menyebabkan hidrosefalus.

112
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

113
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Tuberkulosis pada Saluran Genitourinari
• Biasanya berasal dari fokus di paru-paru atau tulang
• Radiologic imaging ditemukan :
Kalsifikasi hampir di semua tempat
- Autonephrectomy;
- Kavitas di sistem caliceal;
- Penyempitan pelvis dan ureter.

114
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Tuberkulosis pada Saluran Gastrointestinal
• Seringnya pada region ileo-caecal;
• Ireguleritas pada ileum terminal, terdapat kontraksi dan retraksi dari caecum ;
• Ascites, peritonitis, and limphadenopathy ( US dan CT biasanya sensitif).

DEMAM BERDARAH DENGUE


• Pemeriksaan radiologi: X-ray dada
• Chest X Ray Right Lateral Decubitus (RLD) khas ada efusi pleura.
• Efusi pleura bilateral khas ditemukan pada pasien Dengue Shock Syndrome
(DSS)
Gambaran Efusi Pleura

MALARIA
• Gejala Pernapasan: pemeriksaan Chest X Ray
• Splenomegali: pemeriksaan Ultra Sonografi
• Gejala Sistem Saraf Pusat: pemeriksaan CT Scan atau MRI

115
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
VARICELLA
• Dapat menyebabkan pneumonia dan defisit Sistem Saraf Pusat (SSP).
• Pemeriksaan imaging dengan Chest X Ray. Bila dicurigai terdapat myelitis atau
ensefalitis, MRI bisa digunakan.

MUMPS
• Pemeriksaan imaging digunakan bila ada komplikasi; parotitis, orchitis atau
meningoensefalitis.
DEMAM TIFOID
• Hepatomegali (USG)
• Perforasi usus : Abdomen 3 posisi

CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
• Pemeriksaan radiografi dada dapat menemukan pneumonia CMV.
• CT Scan lebih sensitif untuk mendeteksi infiltrat.
• CT Scan atau MRI dapat digunakan untuk mendeteksi meningitis aseptik atau
ensefalitis akibat CMV.

116
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

CONTOH KASUS I
 Anak, 8 tahun
 Benjolan sebesar biji jagung di punggung 3 bulan yll
 Anak tak bisa jalan

117
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

118
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
CONTOH KASUS II
• Laki-laki, 23 tahun , gangguan kesadaran

119
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
Meningoencephalitis TB dengan tuberculomata.

Post-terapi
Keluhan Sistem Saraf Pusat (SSP)
• Bayi-anak :
1) Gangguan tumbuh kembang
2) Hydrocephallus
3) Gangguan kesadaran
• Remaja-dewasa:
1) Gangguan kesadaran
2) Nyeri kepala kontinyu

120
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad
INFEKSI JAMUR

Abses Nocardia Cerebri

Aspergillosis

INFEKSI PARASIT

Toxoplasmosis dengan Hydrocephalus

121
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Cysticercosis
A B, C,D.
CT Scan kepala dengan MRI T1W,T2W,dan PDW;
kontrast. Tampak adanya Baik CT Scan maupun MRI,
kista-kista subependym (SE), menunjukkan adanya kista-
dalam parenchym otak (P). kista yang berisi larva scolices.
Tidak tampak adanya edema
dan tidak ada hydrocephalus

122
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Imaging Radiologi TropMed
dr. Ana Majdawati, Sp.Rad

Osteomyelitis

123
Wisnu Salma – Afif, Oriza
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

LANJUTAN MATERI
(lanjutan materi amygdala blok 19 chapeter 1 halaman 155 – judul materi
Diptheria prof. Jauhar Ismail)

Efek Samping Vaksin Toxoid Difteri dan Tetanus

Reaksi lokal (eritema, indurasi)


Reaksi lokal umumnya berupa eritema dan indurasi yang dapat disertai dengan
atau tanpa rasa nyeri, dimana sangat umum setelah pemberian vaksin yang
mengandung toksoid difteri. Reaksi lokal biasanya bersifat self-limited dan tidak
memerlukan terapi. Reaksi lokal yang timbul antara lain : sebuah nodul yang
mungkin teraba di tempat suntikan selama beberapa minggu atau terdapat
beberapa laporan ditemukan abses di tempat suntikan.

Reaksi lokal berlebihan (tipe Arthus)


Reaksi lokal berlebihan kadang-kadang dilaporkan setelah diterimanya vaksin
yang mengandung diphtheria atau tetanus. Reaksi-reaksi terkadang berupa
pembengkakan yang luas yang menimbulkan rasa sakit berlebih, sering timbul
dari bahu ke siku. Reaksi ini dimulai 2-8 jam setelah suntikan dan paling sering
terjadi pada orang dewasa, terutama mereka yang telah menerima imunisasi difteri
atau toksoid tetanus. Orang yang mengalami reaksi-reaksi yang parah biasanya
memiliki kadar antitoksin serum sangat tinggi; mereka tidak boleh diberikan dosis
penguat rutin atau booster darurat lebih lanjut dari tetanus dan diteri lebih sering
dari frekuensinya yaitu 10 tahun. reaksi lokal tidak terlalu parah dapat terjadi pada
orang yang memiliki boosters/penguat sebelumnya.

Demam dan gejala sistemik tidak umum

Reaksi sistemik yang berat jarang terjadi

124
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
Reaksi sistemik berat seperti urtikaria umum, anafilaksis, atau komplikasi
neurologis telah dilaporkan setelah pemberian toksoid difteri.

Kontraindikasi dan Kewaspadaan untuk Vaksin


Toksoid Difteri dan Tetanus
Orang dengan riwayat reaksi alergi yang parah terhadap komponen vaksin atau
setelah dosis sebelumnya seharusnya tidak menerima dosis tambahan toksoid
difteri.

Penyakit akut sedang atau berat

Toksoid difteri harus ditunda untuk orang-orang yang memiliki moderat untuk
penyakit akut yang berat, tetapi untuk orang dengan penyakit ringan dapat
divaksinasi.

Imunosupresi dan kehamilan yang tidak kontraindikasi dapat menerima vaksin


toksoid difteri.

125
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

PERTUSIS
Pertusis biasa dikenal dengan sebutan “batuk rejan” atau “batuk seratus hari”
dimana penyakit ini merupakan infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri
Bordetela pertusis yang masuk golongan bakteri gram negative. Penularan
bakteri ini melalui air borne/udara dari droplet penderita selama batuk. Pertusis
bersifat endemik disuatu wilayah terutama dinegara berkembang , WHO
memperkirakan 600.000 kematian terjadi per tahunnya pada anak yang belum
diimunisasi khususnya anak usia < 1 tahun, karena Imunoglobulin/Ig G ibu tidak
protektif terhadap bayinya.

Gejala klinis
Masa inkubasi 6-20 hari, rata-rata 7 hari

Manifestasi klinis tergantung dari :

etiologi spesifik

usia, pada usia muda maka akan makin berat dan lama

status imunisasinya

Perjalanan klinis penyakit berlangsung 6-8 minggu, yang terdiri dari 3 stadium:

Stadium kataralis (prodomal, preparoksimal)


Mulai terjadi dalam waktu 7-10 hari atau 1-2 minggu. Gejala yang timbul hampr
sama seperti common cold/ flu ringan antara lain : pilek, injeksi konjungtiva,
mata berair/ lakrimasi, batuk ringan, demam ringan, nafsu makan berkurang serta
lesu.Stadium ini sangat infeksius dan pada stadium ini diagnosis belum dapat
ditegakkan.

126
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Stadium paroksimal (spasmodic)


Stadium ini berlangsung 2-4 minggu, frekuensi dan derajat batuk bertambah ke
tahap yang lebih parah, serta yang menjadi ciri khas stadium ini yaitu batuknya
yang disebut “whoop” yaitu terdapat tarikan nafas dalam diantara batuk. Terdapat
ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi/ hembusan nafas yang diikuti oleh
usaha inspirasi/tarikan nafas masif yang mendadak yang menimbulkan whoop.
Pada bayi muda biasanya terjadi apneu.

Selama serangan batuk akan terjadi gejala penyerta seperti muka merah, sianosis,
mata menonjol, lidah terjulur, lakrimasi, dan hipersalivasi. Pada stadium ini batuk
dapat disertai dengan muntah sehingga dapat berpengaruh pada berat badan
turun pada pasien. Beberapa pencetus timbulnya batuk antara lain stres
(menangis, sedih, gembira) dan aktifitas fisik.

Stadium konvalesens (penyembuhan)


Stadium ini berlangsung selama 1-2 minggu, frekuensi dan derajat batuknya pun
menurun. Pada beberapa pasien, akan timbul serangan batuk paroksimal berulang
sehingga dapat mengakibatkan infeksi saluran nafas atas.

Diagnosis

Perjalanan klinis
Dari perjalanan klinis pasien dapat kita tanyakan serangan yang khas yaitu dimana
batuk mula-mula timbul pada malam hari dan tidak mereda, lalu dapat meningkat
menjadi siang dan malam hari, dan ditanyakan juga suara batuk “whoop” serta
riwayat kontak dengan penderita pertusis.

Riwayat imunisasi
Pemeriksaan laboratorium, seperti terdapat lekositosis 20.000-50.000/mL
dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

127
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
paroksismal. Tetapi lekositosis tidak berlaku untuk penegakan diagnosis pada bayi
karena lekositosis dapat disebabkan oleh infeksi lain.

Biakan dan Uji Serologi


Pada pemeriksaan secret nasofaring biasanya ditemukan Bordetella pertusis dan
diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertusis
dari sepasang serum.

Komplikasi/ Penyulit
Pneumonia, 90% dapat menyebabkan kematian oleh karena Bordetella pertusis
ataupun akibat infeksi sekunder

Aktifasi TB laten

Atelektasis (dapat timbul oleh karena ada sumbatan mukus yang kental)

Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli

Emfisema interstitial/ subkutan dan pneumotoraks

Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan


intrakranial, ruptur diafragma, hernia umbilikalis, hernia inguinalis, prolapsus
rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.

Kejang dan koma merupakan refleksi dari hipoksia serebral, perdarahan


subarachnoid dan terkadang oleh temperatur yang tinggi.

Ensefalitis

Dehidrasi, hiponatremia

Penurunan BB

128
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

Pengobatan dan pencegahan

Pencegahan :
Imunisasi aktif DPT

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertusis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu. Efek samping imunisasi dapat berupa timbulnya eritem, indurasi,
rasa sakit ditempat suntikan, sering panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang,
kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati,anafilaksis.

Isolasi : hindari kontak langsung dengan penderita.

Pengobatan :
Eritromisin 50 mg/ kg BB/ hari, terutama diberikan pada stadium kataral.
Eritromisin tidak memperbaiki gejala apabila diberikan terlambat.

Suportif seperti mengatur nutrisi dan hidrasi serta menghindari faktor yang dapat
menimbulkan batuk.

129
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

EKSANTEMA SUBITUM
(Roseola Infantum, Pseudorubela, Eksantema
Kritikum, Fifth Disease, Three Days Fever)

Eksantema Subitum merupakan penyakit virus yang menyerang bayi dan anak
kecil, biasanya terjadi demam selama 3-5 hari, dan perbaikan klinis akan terjadi
bersamaan munculnya ruam pada kulit.

Epidemiologi
Penyebab utama yaitu Human Herpes Virus-6,

HHV-6 memiliki genus Roseolavirus, subfamili beta-herpesvirus, dan berperan


dalam patogenesis multiple sclerosis. Ada 2 jenis HHV-6 yaitu HHV-6A dan
HHV-6B

Jarang dijumpai pada bayi <3 bulan dan > 4 tahun

Terbanyak umur 7-13 bulan

Penularan mungkin dari saliva orang dewasa yang mengandung virus.

GEJALA KLINIS
Masa inkubasi: 7-17 hari (umumnya 10 hari)

Gejala mendadak demam tinggi (39,1oC – 41,2oC), lama demam 3-5 hari, dan
temperatur umumnya turun secara krisis

Kejang dapat timbul

KU anak baik, kesan mengantuk

Batuk, rinitis ringan, dan inflamasi ringan faring & tonsil

Anak besar mengeluh sakit kepala dan sakit perut

130
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)
Muntah dan diare jarang

Palfebra terlihat oedem terasa berat (heavy eyelids)

Eksantema muncul waktu suhu menurun/ normal

Makula eritematosus/ muakulopapular menyebar (diameter 2-5mm, memucat


bila ditekan, jelas terlihat di lehar dan punggung dan dapat pula dijumpai pada
ekstremitas bagian proximal dan muka, deskuamasi jarang, tidak ada
hiperpigmentasi serta akan menghilang setelah 24-48 jam)

LABORATORIUM

dalam 24-36 jam terjadi leukositosis (16.000-20.000/mm3), tetapi kemudian


terjadi leucopenia (3000-5000/ mm3)

Netropenia absolut dan limpositosis relatif

DIAGNOSIS BANDING
Permulaan demam, sulit dibedakan dengan penyakit lain

Dapat dibedakan berdasarkan timbulnya ruam yaitu rubela, campak, dengue dan
alergi obat

Rubela: eksantema disertai panas

Campak:

didahului demam 3-4 hari sebelum munculnya

ruam

masih demam 2 hari berikutnya

disertai batuk, pilek, konjunctivitis, bercak

koplik

131
Wisnu Shidiq – Zhara,
Diphteria #2
Prof. dr. Jauhar Ismail, MPH., Sp.A(K)

PENYULIT
Kejang sering terjadi

Yang lain: kelainan neurologik, ensefalitis, hemiplegia, paresis dan retardasi


mental

PENGOBATAN dan PENCEGAHAN

Pengobatan :
Tidak spesifik, hanya dengan pengobatan simptomatis dan penderita dapat
sembuh

demam diberi asetaminofen

kejang demam dan penyulit neurologik

lainnya ditangani dengan cara semestinya.

Pencegahan :
tindakan pencegahan yang tepat, tidak ada

132
Wisnu Shidiq – Zhara,

Anda mungkin juga menyukai