Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI EMERGENCY

OLEH:

SRI HANDAYANI
016.02.0637

Disusun oleh :

SRI HANDAYANI
016.02.0637

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERTENSI EMERGENCY
A. Definisi Hipertensi emergency
Terdapat perbedaan beberapa penulis mengenai
terminologi peningkatan darah secara akut. Terminologi yang
paling sering dipakai adalah:
1. Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan
tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastoik > 120
mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ terget.
Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin
dalam satu jam dengan memberikan obat – obatan anti
hipertensi intravena.
2. Hipertensi urgensi (mendesak), yaitu peningkatan
tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun
tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini
tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat – obatan anti hipertensi oral.
3. Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan hipertensi
krisis antara lain:
1. Hipertensi refrakter: respon pengobatan yang
tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif
(triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi: peningkatan tekanan darah
diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut
ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna: penderita hipertensi akselerasi
dengan tekanan darah diastolik > 120 – 130 mmHg dan
kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat
dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian
bila penderita tidak mendapatkan pengobatan.
Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan
riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan
jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai
tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati: kenaikan tekanan darah
dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala
yang hebat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat
menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut
diturunkan.

Tabel 01. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7.

Klasifikasi Sistolik Diastolik


Tekanan (mmHg) (mmHg)
1. Normal
Darah ≤120 ≤ 80
2. Pre-hipertensi 120 – 139 80 – 89
3. Hipertensi Stage 1 140 – 159 90 – 99
4. Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100

B. Etiologi dan Patofisiologi


Faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi masih belum dipahami. Peningkatan tekanan darah
secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular

dipercaya menjadi penyebab.[6,7] Peningkatan tekanan darah


yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan
nekrosis fibrinoid arteriol kemudian berdampak pada
kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan
fungsi autoregulasi.

Tabel 02. Causes of Hypertensive Emergency.[6]


Arif Heru, Ridho Nugraha. Hipertensi Krisis: Urgensi dan
Emergensi. 2013
KKS Ilmu Penyakit Dalam RSUD DR. RM. Djoelham - Binjai
Gambar 01. Patofisiologi hipertensi emergensi.

C. Mekanisme Autoregulasi
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ
tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan
perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontraksi/dilatasi pembuluh
darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi
vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah
orak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure

(MAP) 60 – 70 mmHg.[8] Bila MAP turun di bawah batas


autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi
iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual,

menguap, pingsan dan sinkop.[5]


Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskuar dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini
akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah

yang lebih inggi (lihat gambar 02).[5]

Gambar 02. Kurva autoregulasi pada tekanan


[7,9]
darah.
Straagaard pada penelitiaanya mendapatkan MAP rata-
rata 113 mmHg pada 13 penderita hipertensi tanpa
pengobatan dibandingkan 73 mmHg pada orang normotensi.
Penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara group normotensi dan hipetensi tanpa
pengobatan. Orang dengan hipertensi terkontrol cenderung

menggeser autoregulasi ke arah normal.[5]


Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang
yang normotensi maupun hipertensi, diperkirakan bahwa
batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira –
kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam
pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20 – 25% dalam beberapa menit atau
jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi.
Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta
akut ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri
dilakukan dalam tempo 15 – 30 menit dan bisa lebih
cepat lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainya.
Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan
darah 25% dalam 2 – 3 jam. Untuk pasien dengan infak
serebri akut ataupun perdarahn intrakranial, penurunan
tekanan darah dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan
harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah

dari 170 – 180/100 mmHg.[5]


D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipertensi krisis berhubunga dengan
kerusakan organ target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi
krisis berbeda – beda setiap pasien. Sakit kepala, perubahan
tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa
terjadi pada pasien dengan hipertensi ensefalopati. Pada
pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati
dengan perubahan arteriola, perdarahan dan eksudasi
maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain
manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan
seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung
kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut

dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi.[7]


Gambar 03. Papiledema. Perhatikan adanya pembengkakan
[10]
dari optik disc dengan margin kabur.
Tabel 03. Hipertensi emergensi (darurat).[5]
Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg
disertai dengan satu atau lebih kondisi akut berikut:
1. Perdarah intra kranial atau perdarahan subaraknoid
2. Hipertensi ensefalopati
3. Diseksi aorta akut
4. Oedema paru akut
5. Eklamsi
6. Feokhromositoma
7. Funduskopi KW III atau IV
8. Insufisiensi ginjal akut
9. Infark miokard akut
10. Sindrom kelebihan katekolamin yang lain: sindrom
withdrawal obat anti hipertensi.

Tabel 04. Hipertensi Urgensi (mendesak).[5]


Hipertensi berat dengan tekanan darah > 180/120 mmHg, tetapi
dengan minimal atau tanpa kerusakan organ sasaran dan tidak
dijumpai keadaan pada tabel 03.
1. Funduskopi KW I atau KW II
2. Hipertensi post operasi
3. Hipertensi tak terkontrol/tanpa diobati pada
perioperatif.

E. Pendekatan Diagnosis
Kemampuan membedaan antara hipertensi emergensi dan
urgensi harus dapat dilakukan dengan cepat dan segera
agar dalam penatalaksaan tidak terlambat yang berakibat
[1]
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien.
Catatan riwayat penyakit harus dilaporan untuk
mengetahui kegawatan hipertensi, obat – obatan yang diminum
terakhir baik yang diresepkan oleh dokter maupun tidak
terutama obat – obatan monoamine oxidase inhibitors, kokain,
amfetamin dan phencyclidine. Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal penting
dievaluasi. Tanda – tanda neurologik harus diperiksa seperti

sakit kepala dan kejang.[1]


Pemeriksaan laboratorium seperti hitung jenis,
elektrolit, kreatinin dan urinalisa harus disertakan pada
pasien hipertensi krisis. Foto thorax, EKG dan CT- scan
kepala sangat penting diperiksa untuk pasien-pasien dengan
sesak nafas, nyeri dada atau perubahan neurologis.
Pada keadaan gagal jantung dan hipertrofi ventrikel
[1]
kiri pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan.
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien
hipertensi:
Gambar 04. Alur pendekatan diagnostik pada pasien

hipertensi.[1,6]
F. Penatalaksanaan
1. Hipertensi Urgensi
a. Penatalaksanaan Umum
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien
dengan hipertensi urgensi tidak membutukan obat-obatan
parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24
jam awal (Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan
tidak lebih dari 25%). Pada fase awal goal standar
penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai

160/110 mmHg.[1,6]
Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral
mauun oral bukan tanpa resiko dalam menurunkan tekanan
darah. Pemberian loading dose obat oral anti-
hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan
pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke
rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral
merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi

urgensi.[1,6]
b. Obat – obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
 Captopril adalah golongan angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset
mulai 15 – 30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg
sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50–
100 mg setelah 90 – 120 menit kemudian. Efek yang
sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia,
angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien

dengan stenosis pada arteri renal bilateral).[6]


 Nicardipine adalah golongan calcium channel
blocker yang sering digunakan pada psien dengan
hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan
pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi
secara random terhadap penggunaan nicardipin atau
plasebo. Nicardipin memiliki efektifitas yang
mencapai 65% dibandingkan plasebo yang mencapai 22%
(P=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan
dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan
darah yang diinginkan. Efek samping yang sering
terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit
[6]
kepala.
 Labetolol adalah gabungan antara α1 dan β-
adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja mulai
antara 1 – 2 jam. Dalam penelitian labetolol
memiliki dose range yang sangat lebar sehingga
menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian
secara random pada 36 pasien, setiap group ada
yang diberikan dosis 100, 200 dan 300 mg secara oral
dan menghasilkan penurunan tekan darah sistolik dan
diastolik secara signifikan. Secara umum labetolol
dapat diberikan mulai dari dosi 200 mg secara oral
dan dapat diulangi setiap 3 – 4 jam kemudian. Efek
samping yang sering muncul adalah mual dan sakit
kepala.
 Clonidin adalah obat-obatan golongan simpatolitik
sentral (α2-adrenergic receptor agonist) yang
memiliki onset kerja antara 15 – 30 menit dan
puncaknya antara 2 – 4 jam. Doasi awal bisa
diberikan 0,1 – 0,2 mg kemudian berikan 0,05 – 0,1
setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang
diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. efek
samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut
kering dan hipotensi ortostatik.
 Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker
yang memiliki pucak kerja antara 10 – 20 menit.
Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA
untuk terapi hipertensi urgensi kerana dapat
menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak
dapat diperidisikan sehingga berhungan dengan
kejadian strok. Pada tahun 1995 National Heart,
Lung, and Blood Institute meninjau kembali bukti
keamanan tentang penggunaan obat golongan Ca channel
blocker terutama nifedipine kerja cepat harus
digunakan secara hati-hati terutama pada penggunaan

dosis besar unstuck terapi hipertensi.[6]


2. Hipertensi Emergensi
a. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan
setiap individu tergantung pada kerusakan organ
target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien
harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring
tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang
tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih
belum jelas, tetapi Penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3
jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara
cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung

dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi.[6]


b. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi
 Neurologic emergency. Kegawat daruratan neurologi
sering terjadi pada hipertensi emergensi seperti
hypertensive encephalopathy, perdarahan
intrakranial dan strok iskemik akut. American
Heart Association merekomendasikan penurunan
tekanan darah > 180/105 mmHg pada hepertensi
dengan perdarahan intrakranial dan MAP harus
dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien
dengan strok iskemik tekanan darah harus dipantau
secara hati-hati 1 – 2 jam awal untuk menentukan
apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan.
Secara terus-menerus MAPdipertahakan > 130

mmHg.[6]
 Cardiac emergency. Kegawat daruratan yang utama
pada jantung seperti iskemik akut pada otot
jantung, edema paru dan diseksi aorta.
Pasien dengan hipertensi emergensi yang
melibatkan iskemik pada otot jantung dapat
diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi
yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti
dapat meningkatkan aliran darah pada arteri
koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut
pemberian obat- obatan β-blocker (labetalol dan
esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi
awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan obat-
obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-
obatan tersebut dapat menurunkan tekanan darah
sampai target tekan darah yang diinginkan
(TD sistolik > 120 mmHg) dalam waktu 20

menit.[6]
 Kidney failure. Acute kidney injury bisa
disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury
ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria
dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih
kontroversi, namun nitroprusside IV telah
digunakan secara luas namun nitroprusside
sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida
atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara
parenteral dapat menghindari petensi keracunan
sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam

terapi gagal ginjal.[6]


 Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi
dapat disebabkan karena pengaruh obat – obatan
seperti katekolamin, klonidin dan penghambat
monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat
katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau
amphetamine dapat menyebabkan over dosis.
Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan
timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat
menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang –
orang dengan kelebihan zat seperti
pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol
dengan pemberian sodium nitroprussid (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking
agent). Golongan β-blockers dapat diberikan
sebagai tambahan sampai tekanan darah yang
diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan
oleh klonidin terapi yang terbaik adalah dengan
memberikan kembali klonidin sebagai dosis inisial
dan dengan penambahan obat-obatan anti-

hipertensi yang telah dijelaskan di atas.[6]


Tabel 02. Obat – obatan parenteral yang digunakan

untuk terapi hipertensi emergensi.[6]


Tabel 03. Obat – obatan spesifik untuk komplikasi hipertensi

emergensi.[6,7]
c. Prognosis
Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi
yang efektif harapan hidup penderita hipertensi
maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab
kematian tersering adalah strok, gagal ginjal dan
[11]
gagal jantung. Kematian disebabkan oleh uremia
(19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro
vascular accident (20%), gagal jantung kongestif
disertai uremia (48%), infark miokard (1%) dan diseksi
aorta (1%). Prognosis menjadi lebih baik berkat
ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan yang
tepat pada dekade terakhir.
G. Konsep asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas.
Pasien, meliputi : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat,
Pendidikan, Agama, Bangsa.
Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat,
Pendidikan, Agama, Bangsa dan hubungan dengan pasien.
2. Pengkajian Primer.
a) Airway
 Bersihan jalan nafas.
 Adanya/ tidaknya jalan nafas.
 Distres pernafasan.
 Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas,
muntahan, edema laring.
b) Breathing
 Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding
dada.
 Suara nafas melalui hidung atau mulut.
 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas.
c) Circulation
 Denyut nadi karotis.
 Tekanan darah.
 Warna kulit, kelembapan kulit.
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal.
d) Disability
 Tingkat kesadaran.
 Gerakan ekstremitas.
 GCS ( Glasgow Coma Scale ).
 Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
e) Eksposure
 Tanda-tanda trauma yang ada. ( Muslicha : 45-46
).
3. Dasar Data Pengkajian.
a. Aktivitas/istirahat.
Gejala : kelemahan, letih, napas pendek, gaya
hidup monoton Tanda : frekuensi jantung meningkat,
perubahan irama jantung, Takipnea.
b. Sirkulasi.
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis,
penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler.
Tanda : Kenaikan TD, hipotensi postural,
takhikardi, perubahan warna kulit, suhu dingin.
c. Integritas Ego.
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas,
depresi, euphoria, Factor stress multiple.
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan
kontinue perhatian, tangisan yang meledak, otot
muka tegang, pernapasan menghela, peningkatan pola
bicara.
d. Eliminasi.
Gejala : gangguan ginjal saat ini atau yang lalu.
e. Makanan/Cairan.
Gejala : makanan yang disukai yang dapat mencakup
makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol.
Tanda : BB normal atau obesitas, adanya edema.
f. Neurosensori.
Gejala : keluhan pusing/pening, sakit kepala,
berdenyut sakit kepala, berdenyut, gangguan
penglihatan, episode epistaksis.
Tanda : perubahan orientasi, penurunan kekuatan
genggaman, perubahan retinal optic.
g. Nyeri/ketidaknyamanan.
Gejala : Angina, nyeri hilang timbul pada tungkai,
sakit kepala oksipital berat, nyeri abdomen.
h. Pernapasan.
Gejala : dispnea yang berkaitan dengan aktivitas,
takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal proksimal,
batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok.
Tanda : distress respirasi/ penggunaan otot
aksesoris pernapasan, bunyi napas tambahan,
sianosis.

i. Keamanan.
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan.
Tanda : episode parestesia unilateral transien,
hipotensi postura.
j. Pembelajaran/Penyuluhan.
Gejala : factor resiko keluarga ; hipertensi,
aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit
ginjal Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau
hormone.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri bd adanya emboli dalam aliran darah
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan bd penuruna
konsentrasi hemoglobin dalam darah
3. Hambatan mobilitas fisik bd kelemahan otot
4. Gangguan pertukaran gas bd ketidakseimbangan perfusi-
ventilasi
c. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri bd adanya emboli dalam aliran darah
Tujuan : pasien menunjukan tingkat nyeri terkontrol
Kriteria hasil :
- Pasien menunjukan tingkat nyeri berkurang
- Pasien menunjukan kesejahteraan fisik dan
psikologis
- Adanya perubahan dalam tekanan darah
Intervensi :
- Kaji lokasi ,karakteristik, awitan / durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
nyeri, dan faktor presipitasinya
- Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum menjadi
berat
- pastikan pemberian analgesa
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan bd penuruna
konsentrasi hemoglobin dalam darah
Tujuan : status sirkulasi oksigen di otak terpenuhi
Kriteria hasil :
- Pasien menunjukan fungsi sensorimotor kranial yang
utuh
- Tidak mengalami sakit kepala
- Pasien menunjukan status sirkulasi yang baik
Intervensi :
o Pantau TTV
o Pantau sakit kepala
o Pantau tingkat kesadaran
o Berikan obat yang menyebabkan hipertensi untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral sesuai
dengan permintaan
o Tinggikan bagian kepala 0 sampai 45 derajat
bergantung pada kondisi pasien dan permintaan
medis
o Pantau TIK

3. Hambatan mobilitas fisik bd kelemahan otot


Tujuan : tingkat mobilitas terpenuhi
Kriteria hasil :
o Pasien menunjukan pergerakan kekuatan pada otot
o Pasien mampu melakukan perpindahan secara mandiri
Intervensi :
o Ajarkan dan bantu pasien dalam prses perpindahan
yang aman
o Berikan penguatan positif selama aktivitas
o Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya
o Berikan analgesik sebelum aktivitas
o Letakan pasien pada posisi terapeutik
o Dukungan latihan ROM aktif

4. Gangguan pertukaran gas bd ketidakseimbangan perfusi-


ventilasi
Tujuan : status pertukaran gas efektif
Kriteria hasil :
o Pasien menunjukan gangguan pertukaran gas
terkurangi
o Pasien tidak mengalami gangguan pernapasan
o Pasien menunjukan tidak menggunakan pernapasan
mulut
Intervensi :
o kaji frekuensi nafas, kedalaman, dan bunyu paru
o pantau saturasi oksigen
o pantau tingkat kesadaran
o berikan oksigen
o memantau komplikasi
o atur posisi untuk memaksimalkan potensial
ventilasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan


Hipertensi
2. Urgensi. BIK Biomed. [database on the internet] 2007. [cited
February
3. 2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8.
Available
from:http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3408163168.pdf.
4. Saguner AM, Dür S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE,
et al. Risk Factors Promoting Hypertensive Crises: Evidence
From a Longitudinal Study. Am J Hypertens [database of
Nature Publishing Group] 2010. [cited February 2013, 21].
23:775-780. Available from: http://ajh.oxfordjournals.
org/content /23/7/775. full.pdf.
5. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. [database on the
internet] 2012. [cited February 2013, 21]. Vol.3, No.4 :163-8.
Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/241381overview?pa=g
9YPJFBPkO
n%2FxeT6PfGOhnN48mGJ4tbjfnC6TtgPW0i5S6p0rRh8mklVRUL%2B1
hDX56MI7dGTgNawPfsOtJla9Q%3D%3D#showall.
6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser
SL, et al.
7. Harrison's Principles of Internal Medicine. Seventeenth
Edition. [text books of internal medicine] 2008. United
States of America: The McGraw-Hill Companies.
8. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU
Digital Library [database on the internet] 2004. [cited
February 2013, 21]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1999/1/
fisiologi-abdul % 20 majid.pdf.
9. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency.
Hospital Physician Article [article on the internet] 2007.
[cited February 22, 2013]. pp. 43 – 50. Available from:
http://www.turner-white.com/memberfile.
php?PubCode=hp_mar07_hypertensive.pdf.
10. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of
Hypertensive crises. Critical Care Journals [data base on the
internet] 2003. [cited on February 21, 2003]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
articles/PMC270718/pdf/cc2351.pdf.
11. Immink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM,
et al. Impaired Cerebral Autoregulation in Pasient with
Malignant Hypertension. Journal of the American Heart
Association [database on the internet] 2004. [cited February
24, 2013]. 110:2241-2245. Available from:
http://circ.ahajournals.org/content/110/15/2241.full.pdf.
12. Thomas L. Managing Hypertensive Emergency in the ED.
Can Fam Physician [article on the internet] 2011.
[cited February 2013, 22]. 57:1137-41.
Available
from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3192077/pdf/0
571137.pdf.
13. Hopkins C. Hypertensive Emergencies in Emergency Medicine.
Medscape Article [data base on the internet] 2011. [cited on
February 22, 2003]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1952052overview?
pa=3QEKRWRb083C64sgKB3xlATWV3tEcYgMKwy9Z49iwNgDq%2F
iI01G9ar41BQtDWBtiLCEJNCrbkqLWYvqLrhntWA%3D%3D#showall.
14. Bisognano JD. Malignant Hypertension. Medscape Article [data
base on the internet] 2013. [cited February 22, 2013]. pp. 43
– 50. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/241640-overview#showall.

Anda mungkin juga menyukai