Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM

Disusun Oleh :

Dian Sella Rahmasari

201820401011108

Pembimbing

Dr. dr. Arti Lukitasari, Sp.M

RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus stase Mata dengan topik “Pterigium”.

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik Mata di


Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, terutama
kepada Dr. dr. Arti Lukitasari, Sp.M selaku dokter pembimbing yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan dan penyempurnaan
referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran
khususnya Mata.

Kediri, Desember 2019

Penyusun

1
BAB I

RESPONSI KASUS

Identitas :

- Nama : Ny. SK

- Usia : 53 tahun

- Jenis kelamin : Perempuan

- Suku : Jawa

- Agama : Islam

- Alamat : Mojoroto

- Pekerjaan : Wiraswasta

- Datang ke Poli Mata tanggal 8 Juli 2019

Keluhan Utama:

Mata kanan dan kiri terasa mengganjal.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Mata kanan dan kiri terasa mengganjal ketika menutup mata. Keluhan

dirasakan sejak 5 tahun yang lalu. Pandangan kabur (-), gatal (-), mata merah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat memakai kacamata : Kacamata baca (add +1,75)

- Riwayat trauma : (-)

- Riwayat alergi : obat (-), makanan (-)

- Riwayat diabetes melitus : (-)

- Riwayat hipertensi : (-)

- Riwayat operasi : (-)

Riwayat Penyakit Keluarga : (-)

2
Riwayat Sosial : (-)

Riwayat Pengobatan : (-)

PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

- Keadaan Umum : baik

- Kesadaran : compos mentis

- Status gizi : baik

- Vital Sign

o TD : 120/90 mmHg

o T: 37OC

o Nadi : 88x/menit

o RR : 22x/menit

STATUS OFTALMOLOGIS

No. Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri

Visus

 Visus 0.8 0.9


1.
 Koreksi (PH) - -

 Distansia pupil -

 Eksoftalmus (-)  Eksoftalmus (-)

2. Kedudukan bola mata  Endoftalmus (-)  Endoftalmus (-)

 Deviasi (-)  Deviasi (-)

3
 Gerakan bola mata  Gerakan bola

(bebas ke segala arah) mata (bebas ke

segala arah)

 Warna hitam  Warna hitam


3. Suprasilia
 Letak simetris  Letak simetris

Palpebra Superior

 Edema - -

 Hiperemi - -

 Enteropion - -

4.  Ektropion - -

 Pseudoptosis/ptosis - -

 Benjolan - -

 Nyeri tekan - -

 Trikiasis - -
Palpebra Inferior

 Edema - -

 Hiperemi - -

 Enteropion - -

5.  Ektropion - -

 Pseudoptosis - -

 Benjolan - -

 Trikiasis - -

6. Konjungtiva Palpebra

4
 Sekret (-)  Sekret (-)

 Hiperemi (-)  Hiperemi (-)

 Folikel (-)  Folikel (-)


 Superior
 Papil (-)  Papil (-)

 Sikatriks (-)  Sikatriks (-)

 Benjolan (-) Benjolan (-)

 Sekret (-)  Sekret (-)

 Hiperemi (-)  Hiperemi (-)

 Folikel (-)  Folikel (-)


 Inferior
 Papil (-)  Papil (-)

 Sikatriks (-)  Sikatriks (-)

 Benjolan (-) Benjolan (-)

Konjungtiva Bulbi

 CVI - -

 PCVI - -

 Subconjunctival
- -
7. bleeding

Jaringan
Jaringan fibrovaskular
 Pterigium fibrovaskular
mencapai limbus
mencapai limbus

 Pingueculae - -

Sistem Lakrimalis
8.
 Punctum lakrimalis  Terbuka  Terbuka

5
Sklera
9.
Warna putih/Keruh Putih Putih

Kornea

 Kejernihan  Jernih  Jernih

 Permukaan  Cembung  Cembung

 Infiltrate  (-)  (-)

 Ulkus  (-)  (-)


10.
 Sikatrik  (-)  (-)

 Arkus senilis  (-)  (-)

 Edema  (-)  (-)

 Tes  Tidak dilakukan  Tidak

Placido dilakukan

Bilik Mata Depan

 Jernih
 Jernih  Jernih
11.  Dalam
 Kedalaman normal  Dalam
 Tidak
 Hifema/hipopion(-)  Tidak didapatkan
didapatkan

Iris

12.  Warna  Coklat  Coklat

 Regular  (+)  (+)

6
Pupil

 Bulat  (+)  (+)

 Diameter  3 mm  3 mm

 Reflek cahaya  Terdapat reflek cahaya  Terdapat

langsung dan tidak langsung dan tidak reflek cahaya


13.
langsung (+) langsung langsung dan

tidak langsung

Lensa

14.  Keruh  (-)  (-)

 Shadow test  (-)  (-)

Diagnosis dan differential diagnosis

Diagnosis: Okuli Dextra et Sinistra Pterygium Stage 1

7
Differential Diagnose: Pseudopterygium, pinguecula

TERAPI

Non-medikamentosa : Menggunakan kacamata pelindung.

Pembedahan : Eksisi Pterygium (Bare sclera, simple conjunctival closure,

conjunctival limbal graft, conjunctival flap).

EDUKASI

Menginformasikan pada pasien bahwa penyebab utama pterygium adalah

paparan sinar UV. Maka dari itu, pasien perlu menghindari paparan sinar UV atau

menggunakan kacamata pelindung untuk mencegah rekurensi pterygium.

Diskusi

• Pasien ini didiagnosis dengan Okuli Dextra Pterygium Stage 1 berdasarkan dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik.

• Pada anamnesis dikatakan bahwa pasien mengeluhkan Mata kanan dan kiri

terasa mengganjal ketika menutup mata. Keluhan dirasakan sejak 4 hari yang

lalu. Pandangan kabur (-), gatal (-), mata merah (-).

• Terapi yang bisa diberikan yaitu :

1. Non-medikamentosa : Menggunakan kacamata pelindung

2. Pembedahan :

 Bare sclera : teknik eksisi sederhana pada pterigium serta membiarkan

dasar sklera (scleral bed) terbuka.

8
 Simple conjunctival closure : pada prosedur ini dilakukan penutupan

sklera dengan cara dijahit.

 Conjunctival limbal graft : Prosedur menggunakan free graft yang

biasanya diambil dari konjungtiva dan limbus bulbi bagian superior,

dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

difiksasi dengan fibrin glue atau jahitan.

 Conjunctival flap : teknik ini tidak mengangkat konjungtiva yang akan

direkatkan, tapi melakukan flap pada konjungtiva tersebut.

9
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva dan Kornea

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea di limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak

mata. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada

forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi

konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat pada sklera di bawahnya,

kecuali di limbus (Riordan-Eva, 2017).

Gambar 2.1 Anatomi konjungtiva


Kornea adalah selaput bening pada bagian depan mata yang tembus

pandang yang menutupi iris dan pupil (Sridhar, 2018). Kornea mempunyai 5 lapisan

yang berbeda yaitu lapisan epitel, lapisan bowman, stroma, membran descement,

10
dan lapisan endotel. Lapisan epitel memiliki 5 atau 6 lapis sel. Lapisan bowman

merupakan lapisan jernih yang merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma

menyusun hampir 90% ketebalan kornea. Membran descement merupakan lamina

basalis endotel kornea. Endotel hanya memiliki satu lapis sel. Endotel kornea cukup

rentan terhadap trauma dan kehilangan sel-selnya seiring dengan penuaan (Riordan-

Eva, 2017).

Gambar 2.2 Lapisan kornea


Limbus adalah zona perbatasan antara kornea transparan dan buram 'white

of the eye'. Berbagai penelitian terkait dengan limbal lingkungan mikro

menunjukkan bahwa wilayah khusus ini ikut berpartisipasi mempertahankan

“kebulatan.” Secara histologi, epitel limbal adalah unik; terdiri lebih dari 10 lapisan

sel dan paling tebal di antara ketiganya dibandingkan dengan 1-2 lapisan sel untuk

epitel konjungtiva dan 4-6 lapisan sel untuk epitel kornea

Limbal stem cell (LSC) adalah stem cell yang terletak di basal limbus kornea

yang merupakan area batas antara konjungtiva dan kornea. Sel stem pada limbus

11
kornea tidak tersebar diseluruh permukaan kornea tetapi populasi sel ini hanya

terbatas pada bagian perifer kornea. Sel ini memiliki sifat siklus hidup yang

panjang, memiliki sifat membelah menjadi berbagai sel, memiliki potensi

meningkat dalam hal proliferasi bebas dengan diferensiasi rendah. Selain itu sel

stem juga mampu menjaga keseimbangan antara produksi dan kematian sel. Sel

stem mempunyai karakteristik unik, meliputi sel berumur panjang, kapasitas self-

renewal yang tinggi dan s-phase yang singkat. Pada permukaan bola mata terdapat

dua jenis sel epitel yang berbeda, yaitu epitel konjungtiva dan epitel kornea. Sumber

sel kormea mata berada di korneoskleral limbus. Limbal palisades of Vogt dan

interpalisade dipercaya sebagai tempat penyimpanan sel stem. Limbal sel stem juga

bertindak sebagai penghalang sel epitel konjungtiva bermigrasi ke atas permukaan

kornea.

Gambar 2.3 Limbal Stem Cell

Vaskularisasi konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini bersama vena pada konjungtiva yang umumnya

12
mengikuti pola arterinya membentuk jaringan vaskuler konjungtiva. Sumber nutrisi

untuk kornea adalah pembuluh darah limbus dan humor aqueous. Persarafan kornea

dan konjungtiva berasal dari cabang pertama N. V (Riordan-Eva, 2017).

Gambar 2.3 Vaskularisasi konjungtiva

2.2 Definisi Pterigium

Pterigium merupakan sebutan untuk kelainan klinis berupa jaringan

fibrovaskular berbentuk segitiga pada limbus kornea. Asal kata pterigium adalah

dari bahasa yunani yaitu pterygos yang artinya “sayap“, sesuai dengan gambaran

pterigium yang berbentuk atau menyerupai sayap (Widyawati, 2017).

pertumbuhan fibrovaskuler non-maligna konjungtiva yang biasanya mencapai

kornea dan berbentuk segitiga terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan

dominasi proliferasi fibrotik. (Aminlari, 2010)Penyakit ini digambarkan seperti

berbentuk sayap, terdapat lesi fibrovaskular yang melintasi bagian nasal atau

temporal limbus (Marcella, 2019).

2.3 Epidemiologi Pterigium

13
Tabel 1. Prevalensi Pterigium Menurut Provinsi
di Indonesia (Riskesdas, 2007)

Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%. Di Indonesia,

prevalensi pterigium adalah sebesar 10% pada tahun 2002 (Marcella, 2019).

Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangkan

pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium pada kedua mata

tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di Provinsi DKI Jakarta

(0,4%). Prevalensi pterigium pada salah salah satu mata tertinggi di Provinsi Nusa

Tenggara barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%). Adanya faktor

resiko pajanan terhadap sinar matahari menyebabkan pterigium banyak ditemukan

di daerah beriklim panas, kering dan berdebu. “Pterigium Belt” merupakan istilah

yang menggambarkan daerah-daerah pada letak longitudinal di sekitar khatulistiwa

yang merupakan daerah dengan kasus pterigium lebih banyak (Widyawati, 2017).

14
2.4 Faktor Resiko Pterigium

Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar

ultraviolet, pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata.

Kekeringan pada mata ditemukan pada sebagian besar pasien pterigium (Marcella,

2019). Aktivitas yang cukup lama di luar ruangan telah menyebabkan peningkatan

risiko pterigium. Hal ini dikaitkan dengan paparan ultraviolet (UV) kumulatif

(Ardianty dan Maulina, 2016).

Kejadian pterigium terkait faktor risiko usia dalam penelitian yang

dilakukan oleh Ardianty dan Maulina pada tahun 2016, didapatkan kelompok usia

remaja-dewasa pada kelompok kasus sebanyak 33,3% dan 66,7% didapatkan pada

kelompok usia lansia-manula. Hal tersebut menyimpulkan bahwa kejadian

pterigium semakin meningkat dengan adanya peningkatan usia. Selain itu, terdapat

peningkatan prevalensi pterigium pada kelompok usia yang lebih tua, 11% pada

usia 40-49 tahun, 15,6% pada usia 50-59 tahun dan 20,1% pada usia 60-69 tahun

sedangkan pada usia >70 tahun didapatkan prevalensi sebesar 20,2% (Ardianty dan

Maulina, 2016).

2.5 Klasifikasi Pterigium

Klasifikasi klinis yang sering dipakai di Indonesia adalah klasifikasi

menurut Youngson, yang secara klinis membagi pterigium menjadi 4 derajat.

1. Derajat pertama jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat kedua jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak

lebih dari 2 mm melewati kornea.

15
3. Derajat ketiga jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak

melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter

pupil sekitar 3-4mm).

4. Derajat keempat jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2.4 Derajat pterigium

2.6 Patofisiologi Pterigium

Gambar 2.5 Patofisiologi pterigium

16
Mekanisme patologi pterigium belum diketahui; telah terdapat banyak teori

patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth

factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV

mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan

sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim

metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi interleukin, yaitu

IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα (Marcella, 2019). Limbal stem cell adalah sumber

regenerasi epitel kornea. Paparan sinar UV menyebabkan terjadinya apoptosis

limbal stem cell. Defisiensi limbal stem cell menyebabkan invasi konsekuen dari

epitel konjungtiva ke kornea. Hal tersebut yang menginisiasi terjadinya pterigium

(Notara et al, 2016).

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar

ultraviolet, angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya

sitokin pro-inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan

stem cell yang juga akan memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin

dan berbagai growth factor akan mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi

perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang akhirnya akan menimbulkan

pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena air mata yang

kurang baik.

Limbal stem cell yang telah berubah karena paparan sinar UV disebut

pterigium cell. Pterigium cell menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa

sitokin seperti IL-1, IL-6 dan IL-8. Peningkatan sitokin tersebut yang

mengakibatkan terjadinya inflamasi pada pterigium. IL-6 menyebabkan terjadinya

akumulasi neutrofil pada jaringan kornea yang mengalami inflamasi melalui

17
peningkatan kemokin. Selain itu, IL-6 juga menginduksi VEGF sehingga terjadi

angiogenesis pada jaringan pterigium. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

IL-8 menyebabkan akumulasi dan aktivasi neutrofil. Selain itu, IL-8 juga

menginduksi terjadinya angiogenesis.

Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi

mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang

keluarnya berbagai growth factor, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), HB-

EGF (Heparin-binding Epidermal Growth Factor) dan VEGF (Vascular Endothelial

Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi epitel dan fibrovaskular. HB-

EGF menyebabkan hiperplasi epitel dan proliferasi fibroblas pada pterigium. VEGF

menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, angiogenesis dan

lymphangiogenesis. Hal tersebut yang menjadi penyebab neovaskularisasi pada

pterigium.

Radiasi sinar UV juga mengakibatkan aktivasi dari limbal fibroblas. Limbal

fibroblas yang teraktivasi menyebabkan meningkatnya kadar MMP (matrix

metalloproteinase). Peningkatan MMP dapat menyebabkan beberapa hal yaitu

invasi pterigium, destruksi lapisan bowman dan degenerasi elastoid pada pterigium

(Zhou et al, 2016).

2.7 Manifestasi Klinis

Penderita pterigium biasanya datang dengan mata merah yang disertai rasa

iritasi pada permukaan mata seperti rasa mengganjal dan perih. Penglihatan

biasanya tidak menurun, kecuali pada pterigium yang sudah menutupi sebagian

besar pupil (Widyawati, 2017). Morfologi pterigium terdiri atas kapsul atau puncak

yang merupakan zona mendatar pada kornea terdiri dari fibroblas yang menginvasi

18
membran Bowman, area pembuluh darah di bawah puncak, badan atau ekor

merupakan bagian pterigium yang mudah bergerak di konjungtiva bulbar. Invasi

jaringan ini terlokalisasi di temporal atau nasal, lebih sering di nasal (Marcella,

2019). Pterigium dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

a) Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan

merusak lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron

line/Stocker’s line) yang merupakan endapan besi di lapisan basal epitel

kornea anterior pada bagian cap, menunjukkan bahwa pterigium sudah

kronis. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.

Gambar 2.6 Stocker’s Line

Pada pemeriksaan oftamologik dapat ditemukan jaringan berwarna

merah muda segitiga yang tumbuh dengan dasar di limbus dan puncak

segitiga di kornea. Iritasi kronik menimbulkan tanda klinis berupa garis

berwarna kecoklatan, yang merupakan deposit zat besi yang sering

ditemui di apeks pterigium yang dikenal sebagai stocker’s line

(Widyawati, 2017).

19
b) Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah

lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea sehingga melekat erat

pada kornea, sama seperti kepala.

c) Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat

bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan

merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling

penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

Gambar 2.7 Bagian-bagian pterygium

2.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan tanpa harus dilakukan pemeriksaan lanjut.

Diagnosis terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

1. Anamnesis

Penegakan diagnosis pada pterigium umumnya pada anamnnesis

didapatkan adanya keluhan utama berupa munculnya daging atau selaput

berwarna putih di konjungtiva hingga ke kornea, selain itu pasien juga

mengeluhkan mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan.

Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat

20
banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang

tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada Pemeriksaan fisik mata, inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan

fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan

gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan

flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi

ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme

ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

Dari hasil anamnesis didapatkan faktor risiko dan paparan yang

mendukung terjadinya pterigium serta pemeriksaan fisik didapatkan gambaran

selaput putih pada kornea, maka sudah dapat didiagnosis sebagai pterigium.

2.8 Diagnosis Bandimg

Diagnosis banding uvetis anterior menurut antara lain :

1. Pinguekula : Pinguekula merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva

bulbar di daerah nasal atau temporal limbus.

21
Gambar 2.8 Pinguekula

2. Pseudopterigium : Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar yang

melekat pada kornea; terbentuk karena adhesi konjungtiva bulbar dengan

ulkus kornea marginal, biasanya akibat trauma kimia pada mata.

Gambar 2.9 Pseudopterigium

2.9 Penatalaksanaan

Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar

ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah

pajanan sinar ultraviolet (Marcella, 2019). Terapi definitif pterigium adalah

bedah eksisi jaringan pterigium. Indikasi terapi pembedahan antara lain: tajam

penglihatan berkurang akibat astigmatisma, ancaman aksis visual terganggu,

22
gejala iritasi berat, dan indikasi kosmetik (Widyawati, 2017). Teknik eksisi

pterigium antara lain :

 Bare sclera: teknik eksisi sederhana pada pterigium serta


membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-

epitelisasi. Teknik eksisi ini sudah jarang digunakan karena tingkat

rekurensinya yang tinggi.

Gambar 2.10 Bare sclera

 Simple conjunctival closure : pada prosedur ini dilakukan penutupan


sklera dengan cara dijahit. Tingkat rekurensi pterigium dengan

prosedur ini antara 45% sampai 70%. Maka dari itu, teknik eksisi ini

juga tidak direkomendasikan.

Gambar 2.11 Simple conjunctival closure

 Conjunctival limbal graft : Prosedur menggunakan free graft yang


biasanya diambil dari konjungtiva dan limbus bulbi bagian superior,

23
dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

difiksasi dengan fibrin glue atau jahitan. Tingkat rekurensi

pterigium dengan prosedur ini cukup rendah.

Gambar 2.12 Conjunctival limbal graft

 Terapi adjuvan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus

menjadi masalah, dan terapi medis adjunctive telah dimasukkan ke

dalam manajemen pterigium. Penelitian telah menunjukkan bahwa

tingkat kekambuhan telah menurun drastis dengan penambahan terapi

ini; Namun, tetap akan terdapat komplikasi dari terapi ini.

1) Mitomycin-C (MMC)

MMC telah digunakan sebagai pengobatan ajuvan karena

kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip

dengan beta iradiasi. Namun, tingkat keamanan dan efektivitas

belum ditentukan. Dua bentuk MMC yang saat ini digunakan yaitu,

aplikasi MMC intraoperatif langsung pada scleral yang terbuka

24
setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi dengan tetes

mata MMC topikal. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan

penggunaan MMC hanya pada intraoperatif untuk mengurangi

toksisitas.

2) Beta iradiasi

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan, karena menghambat mitosis sel pterigium yang sangat

cepat membelah, meskipun tidak ditemukan data untuk tingkat

kekambuhan yang jelas. Namun, efek negatif dari iradiasi, yaitu

nekrosis sklera dan sklera yang meleleh, endophthalmitis dan

pembentukan katarak sektoral, sehingga para dokter tidak

merekomendasikan terapi ini.

3) Kortikosteroid

Karena peradangan dianggap sebagai salah satu faktor risiko

untuk pterigium primer dan berulang, kortikosteroid memiliki peran

yang penting. Penggunaan pasca-operasi subconjunctival

triamcinolone tampaknya bermanfaat bagi pasien yang memiliki

faktor risiko seperti peradangan konjungtiva, perdarahan, granuloma

dan proliferasi fibrovascular dengan mencegah rekurensi.

Kortikosteroid topikal pasca operasi mata juga menurunkan

kejadian rekurensi dengan mengurangi peradangan.

 Edukasi
Karena radiasi UV diyakini merupakan faktor risiko penting, dokter
harus mengedukasi pasien dengan pterigium stadium awal untuk
menggunakan kacamata pelindung yang tepat.

25
2.10 Prognosis

Umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan,

namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah

pembedahan. Rekurensi setelah operasi juga sering terjadi pada terutama pada

usia muda. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi serta terapi

adjuvant. Pada umumnya setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai

aktivitasnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Aminlari, Ardalan, MD, Ravi Singh, MD, And David Liang, MD, 2010,
Management of Pterygium, Ophtalmic Pearls – Cornea, pp. 37-38

Ardianty D, Maulina N. 2016. Hubungan Faktor Risiko Dengan Kejadian

Pterigium Di Poliklinik Mata Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit

Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015. Jurnal Kedokteran

dan Kesehatan Malikussaleh. Viewed 21 November 2019

Anuj Bahuva, Srinivas K Rao, 2014, Current Concepts in Management of


Pterygium, Delhi Journal of Ophthalmology, 25(2), pp.78-84

Erry, Ully Adhie Mulyani dan Dwi susilowati. 2011. Distribusi dan Karakteristik

Pterigium di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1

Januari 2011: 84–89

Eva PR, Whitcher JP. 2009. Vaughan & Asbury oftalmologi umum: Konjungtiva.
17th Ed. Jakarta: EGC; 2009 .p.67-72

Janson B, Sikder S. 2014. Surgical Management of Pterigium. The Ocular Surface

Vol 12 No. 2. Viewed 09 Desember 2019.

Lestari, Dwi Jayanti Tri, Dian Revita Sari, Paulus Dwi Mahdi, Rani Himayani,
2017, Pterigium Derajat IV pada Pasien Geriatri, Jurnal Majority, 7(1), pp. 20-25

Lima FVI, Manuputty GA. 2014. Hubungan paparan sinar matahari dengan
angka kejadian pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun
2013. Moluca Medica. 2014; 4(2);101-9

Marcella M. 2019. Manajemen Pterigium. CDK Vol 46. Viewed 09 Desember

2019.

Mr Parwez Hossain PhD FRCOphth FRCS (Ed), 2011, Pterygium Surgery, Focus

- The Royal College of Ophthalmologists

27
Notara, Refaian, Braun, et al. 2016. Short-Term Uvb-Irradiation Leads To Putative

Limbal Stem Cell Damage And Niche Cell-Mediated Upregulation Of

Macrophage Recruiting Cytokines. Stem Cell Research 15 643-654. Viewed

09 Desember 2019.

Rifada M, Prawirakoesoema L, Dalimoenthe N, et al. Perbandingan Derajat

Hiperemis Pascabedah Pterigium Inflamasi antara Teknik Lem Fibrin

Otologus dan Teknik Jahitan. MKB, Volume 45 No. 3. Viewed 09 Desember

2019.

Riordan-Eva, Paul. Dan Witcher, John. 2010. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi

Umum:edisi 17. Jakarta : EGC.

Sridhar M. 2018. Anatomy of Cornea and Ocular Surface. Indian J Ophthalmol Vol

66. Viewed 09 Desember 2019.

Widyawati S. 2017. Buku Ajar Oftalmologi FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Zhou, Zhu, Zhang, et al. 2016. The Role of Ultraviolet Radiation in the

Pathogenesis of Pterygia (Review). Molecular Medicine Reports 14: 3-15.

Viewed 09 Desember 2019.

28

Anda mungkin juga menyukai