Preskas Final
Preskas Final
Disusun oleh:
Karina Helsa
01073180181
Pembimbing:
dr. Margaret Merlyn Tjiang, Sp.PD
1.2. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 2 Agustus 2019.
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Laju Napas : 17 x/menit
Laju Nadi : 76 x/menit, kuat angkat, reguler
Suhu : 36,6oC
Skala Nyeri VAS : 4/10
Status Gizi
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 55 kg
IMT : 22,6 kg/m2 (normal)
Status Generalis
Normosefali, Deformitas (-), Rambut Hitam, Rata dan Tidak mudah
Kepala
dicabut.
Wajah Normofasies
Inspeksi : Kelenjar Tiroid tidak teraba, JVP 5-1 cmH2O, tidak
terdapat retraksi M.Sternocleidomastoideus
Leher
Palpasi : Kaku Kuduk (-), Massa Tiroid (-), KGB (-)
Auskultasi : Carotid Bruit (-)
Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bulat isokor
Mata 2mm/2mm, Reflek Cahaya Langsung +/+, Refleks Cahaya Tak
Langsung +/+.
Telinga : Sekret (-), Serumen (-)
Hidung : Darah dan sekret dari lubang hidung (-), Polip (-),
Deviasi septum (-), Deformitas (-) Pernafasan cuping hidung
THT tidak ditemukan.
Lidah dan Tenggorok : faring hiperemis (-), deviasi lidah (-)
atrofi papil lidah (-), coated tongue (-), oral trush (-), tonsil
T1/T1.
● Inspeksi: Bentuk dada normal, ginekomastia (-) pergerakan
dada simetris, bekas luka operasi (-), retraksi (-), memar (-).
● Palpasi : Pengembangan dada simetris anterior posterior,
Paru-paru taktil vocal fremitus simetris kiri dan kanan.
● Perkusi: Sonor pada lapang paru kiri sisi apeks. Pekak pada
lapang paru kanan dan kedua sisi basal paru.
● Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+, Bunyi Nafas Tambahan :
ronki -/-, wheezing -/-
● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba adanya thrill
atau heave.
Jantung ● Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV Linea parasternalis
Dekstra, Batas jantung kiri ICS IV Linea Medio-clavicularis
Sinistra. Batas pinggang jantung ICS II linea parasternalis
sinistra.
● Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Ad regio mammae dextra:
● Teraba 2 benjolan dengan konsistensi padat, mobile, pada arah
jam 11 dengan ukuran ± 2 x 1.5 x 1 cm, dan arah jam 8 dengan
ukuran 1 x 1 x 1 cm.
● Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-) sekret dari nipple (-)
kemerahan (-)
Mammae
Ad regio mammae sinistra:
● Teraba benjolan dengan konsistensi padat, mobile, pada arah
jam 1 dengan ukuran ± 0.5 x 0.5 x 0.5 cm
● Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-) sekret dari nipple (-)
kemerahan (-)
● Inspeksi: datar, bekas luka (-), massa (-), spider naevi (-), caput
medusa (-), striae (-), grey turner sign (-)
● Auskultasi: Bising usus (+) meningkat, metallic sound (-),
Abdomen bouborgymic (-), bruit (-)
● Perkusi: Timpani di seluruh regio abdomen
● Palpasi: Supel, Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
pada light palpation, Hepato-splenomegali (-), Ballotemen (-)
● Look: Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), jaundice (-), needle
track (-)
● Feel: Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi teraba
Ekstremitas
kuat simetris, pitting edema (-)
● Move: Tidak ditemukan gangguan dalam pergerakan aktif
maupun pasif.
Hasil :
Caecum, colon ascendens, flexura hepatica, colon transversum, flexura lienalis, colon
descendens, sigmoid, rectum: mukosa hiperemis, hipervaskularis, terutama pada colon
bagian distal.
Kesimpulan :
Pankolitis
1.5. Resume
Pasien perempuan, 18 tahun, datang dengan keluhan hematokhezia sejak 3
hari SMRS. Darah pada berwarna merah segar, tidak menetes, bercampur dengan
BAB. Konsistensi BAB lembek, sedikit berlendir, warna cokelat bercampur dengan
darah segar, dengan frekuensi ± 3 kali sehari, sebanyak ± ¼ gelas Aqua/BAB. Lemas
(+). Demam dirasakan sejak 3 hari SMRS. Suhu dirasakan perlahan naik tetapi pasien
tidak mengukur suhu tubuhnya. Pasien mengatakan suhu tubuh menurun setelah
pasien mengonsumsi parasetamol, dan kemudian akan meningkat kembali setelah ± 4
jam. Nyeri perut dirasakan seperti melilit pada seluruh bagian perut. Nafsu makan
menurun (+), mual (+), nyeri ulu hati (+), dan perut kembung (+) dengan rasa asam
yang terasa saat sendawa. Pasien memiliki riwayat di diagnosa inflammatory bowel
disease (IBD) dan diberikan Salofalk untuk dikonsumsi rutin. Keluhan selalu timbul
saat pasien tidak mengonsumsi obat Salofalk, dan keluhan akan terasa membaik jika
pasien mengonsumsi Salofalk kembali.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dan hemodinamika pasien cenderung
stabil dengan tekanan darah 110/70 mmHg, laju napas 17 kali/menit, laju nadi 76
kali/menit, kuat angkat, regular, dan suhu 36,6oC. Pada pemeriksaan fisik abdomen,
ditemukan bising usus yang meningkat (+). Pada regio mammae dextra, teraba 2
massa pada arah jam 11 dengan ukuran ± 2 x 1.5 x 1 cm, dan arah jam 8 dengan
ukuran ± 1 x 1 x 1 cm. Pada regio mammae sinistra, teraba massa pada arah jam 1
dengan ukuran ± 0,5 x 0,5 x 0,5 cm.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, ditemukan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan endoskopi-kolonoskopi ditemukan pada caecum, colon ascendens,
flexura hepatica, colon transversum, flexura lienalis, colon descendens, sigmoid,
rectum mukosa hiperemis, hipervaskularis, terutama pada colon bagian distal.
Abdomen:
Inspeksi: datar, kemerahan (-)
Auskultasi: bising usus dalam batas normal (+)
Perkusi: timpani 9 regio
Palpasi: nyeri tekan di 9 regio (+) minimal pada light palpation
Pemeriksaan Fisik:
Tampak sakit sedang
TD: 110/70 mmHg, Nadi: 76
x/menit, Napas: 17 x/menit, Suhu:
36,6oC
Bising usus meningkat (+)
Nyeri tekan pada seluruh regio
abdomen pada light palpation (+)
Pemeriksaan Penunjang:
Kolonoskopi: caecum, colon
ascendens, flexura hepatica, colon
transversum, flexura lienalis, colon
descendens, sigmoid, rectum:
hiperemis dan hipervaskular,
terutama pada kolon bagian distal;
menggambarkan pankolitis
Tidak ditemukan skip area
Hanya pada bagian kolon
distal.
2.1.3. Etiopatogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya di mengerti.
Banyak teori dan hipotesa diajukan namun belum ada yang diketahui sebagai
penyebab utama IBD.1-3 Kedua konsensus baik mengenai KU maupun PC,
mengarahkan bahwa penyakit tersebut merupakan respon terhadap pemicu
dari faktor lingkungan (infeksi, antibiotik, obat-obatan, dan lain-lain) pada
individu dengan genetik yang susceptible.4 Komponen genetik ini lebih kuat
berpengaruh pada terjadinya PC dibandingkan KU.1-4
Pada kondisi fisiologik, terjadi homeostasis antara mikrobiota
komensal, sel-sel epitel yang melapisi bagian interior dari intestinal (IEC) dan
sel-sel imun di dalam jaringan (Gambar 1.). Hipotesis dari suatu konsensus
mengatakan bahwa salah satu dari ketiga kompartemen utama host yang
seharusnya berfungsi secara bersamaan sebagai suatu “supraorganisme”
terintergrasi (mikrobiota, IEC, dan sel imun) terganggu atau terpengaruh oleh
faktor lingkungan spesifik (contoh: merokok, antibiotik, enteropathogens) dan
genetik, pada susceptible host, secara akumulatif dan interaktif, akan
mengganggu homeostasis individu tersebut selama periode tertentu, yang
nantinya akan mencapai puncaknya pada tahap disregulasi inflamasi kronis;
yaitu IBD.1
Gambar 1. Patogenesis IBD1
Kolitis Ulseratif
Gejala utama pada KU adalah diarea, perdarahan rektum, tenesmus,
terdapat lendir (mukus) pada BAB, dan nyeri abdomen (crampy). Derajat
keparahan dari gejala berhubungan dengan perluasan dari penyakit. Meskipun
KU dapat bersifat akut, namun gejala dapat dirasakan selama minggu hingga
bulan. Pada kasus tertentu, diare dan perdarahan bersifat intermiten dan ringan
sehingga pasien tidak mencari bantuan medis.1,4
Pasien dengan proctitis biasanya akan mengeluarkan darah merah
segar atau mukus yang bercampur darah, baik bercampur dengan feses atau
terdapat pada feses dengan konsistensi normal atau padat-keras. Tenesmus,
atau urgency dengan rasa tidak tuntas setelah BAB, dan juga nyeri perut dapat
ditemukan. Pada proctitis atau proctosigmoiditis, konstipasi lebih sering
ditemukan pada pasien yang terkena bagian distal. Apabila penyakit telah
meluas melewati rektum, darah biasanya bercampur dengan feses atau diare
berdarah gross. Diare biasanya nocturnal dan/atau postprandial. Kram perut
minimal atau nyeri perut bagian bawah dapat ditemukan pada pasien dengan
penyakit yang aktif. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah anoreksia, mual,
muntah, demam, dan penurunan berat badan.
Tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yang mengarah
ke proctitis adalah nyeri pada kanalis anal dan darah pada saat pemeriksaan
colok dubur. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada saat palpasi di bagian kolon.
Pembagian aktivitas penyakit dapat dilihat pada tabel Tabel 5.
Tabel 5. Kolitis Ulseratif
Penyakit Crohn
Meskipun PC biasanya dipresentasikan sebagai inflamasi usus akut
ataupun kronik, namun proses inflamasi yang terjadi biasanya berkembang
menjadi 1 atau 2 pola dari penyakit ini: fibrostenotic obstructing atau
penetrating fistulous, yang masing-masing memiliki terapi dan prognosis
berbeda. Lokasi terjadinya penyakit ini juga mempengaruhi manifestasi
klinis.1
Ileokolitis – Oleh karena lokasi yang paling sering mengalami
peradangan adalah terminal ileum, maka biasanya pada pasien dengan
ileokolitis akan memiliki riwayat episode rekuren nyeri abdomen kuadran
kanan bawah yang bersifat kronis dan diare. Pada beberapa pasien, keluhan
yang disebutkan dapat menyerupai keluhan seperti apendisitis akut dengan
adanya nyeri perut kanan bawah, perabaan massa, demam, dan leukositosis.
Nyeri yang dirasakan bersifat kolik; yang diperberat dan diperringan dengan
defekasi. Demam dengan suhu rendah juga biasanya ditemukan, namun jika
terdapat demam yang langsung tinggi biasanya cenderung menunjukkan
adanya pembentukan abses intraabdominal. Penurunan berat badan juga dapat
ditemukan akibat diare, anoreksia, dan rasa takut untuk makan yang dirasakan
oleh pasien.1 Massa dapat teraba pada bagian perut kanan bawah yang
merupakan bagian usus yang mengalami inflames, indurasi dari mesenteri, dan
membesarnya kelenjar getah bening abdominal. Jika terdapat ekstensi atau
perluasan dari massa tersebut, biasanya gejala yang timbul akan sesuai ke arah
bagian organ mana perluasan massa tersebut. Inflamasi pada regio ileosekal
juga dapat menyebabkan penipisan dinding usus lokal, dengan perforasi mikro
dan fistula ke bagian usus terdekat, kulit, atau vesika urinaria, atau adanya
abses di mesenterika.1
Jejunoileitis – inflamasi yang terus menerus dan meluas akan
berhubungan dengan kemampuan dalam mencerna dan mengabsorpsi usus,
sehingga terjadi malabosrpsi dan steatorrhea. Defisiensi nutrisi yang terjadi
juga dapat disebabkan oleh poor intake dan protein dan nutrient penting
lainnya yang hilang dari penyerapan usus. Malabosrpsi ini dapat menyebabkan
terjadinya anemia, hypoalbuminemia, hipokalsemia, hypomagnesemia,
koagulopati, dan hiperoksaluria dengan nefrolitiasis. Kebanyakan pasien harus
mengonsumsi multivitamin, kalsium, dan suplemen vitamin D. Diare
merupakan ciri khas penyakit yang sedang aktif, hal ini dapat disebabkan oleh
(1) bacterial overgrowth pada obstruktif stasis atau fistulisasi, (2) malabsorpsi
bile-acid akibat penyakit atau terminal ileum yang reseksi, dan (3) inflamasi
intestinal dengan menurunnya absorpsi air dan meningkatnya sekresi
elektrolit.1
Kolitis dan Penyakit Perianal – pasien dengan olitis biasanya datang
dengan demam suhu rendah, lemas, diare, nyeri/kram perut, dan kadang
hematochezia. Gross bleeding jarang ditemukan dibandingkan dengan KU.
Striktur kolon juga dapat terjadi dan menimbulkan gejala obstruktif. Jika pada
saat dilakukan endoskopi, tenaga medis tidak dapat melakukan transversi
striktur tersebut, maka reseksi perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien
dengan gejala obstruksi kronik. Penyakit kolo ini dapat menyebabkan adanya
fistula dari kolon hingga perut atau duodenum, sehingga pasien dapat
mengeluhkan muntah fekulen atau berwarna keruh. Penyakit perianal dapat
terjadi pada pasien PC meskipun hanya 1/3 dari populasi. Pasien dapat
mengeluhkan inkontinensia, hemorrhoidal tag yang besar, striktur ani, fistula
anorektal, dan abses perirektal.1
Penyakit Gastroduodenal – tanda dan gejala dari saluran cerna atas
meliputi mual, muntah, dan nyeri epigastric. Pasien biasanya memiliki gastritis
non-H. pylori. Fistula yang terbentuk melibatkan gaster atau duodenum yang
berasal dari usus halus atau besar.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya peningkatan LED
dan CRP. Pada kasus yang lebih berat, hypoalbuminemia, anemia, dan
leukositosis juga ditemukan. Kadar fecal calprotectin dan lactoferrin dapat
digunakan untuk membedakan IBD dengan irritable bowel syndrome (IBS).
Pada pemeriksaan endoskopi, pada PC ditemukan adanya rectal
sparing, ulser aphthous, fistula, dan skip lesion. Endoskopi saluran cerna atas
juga digunakan untuk melihat apakah ada keterlibatan gastroduodenal pada
pasien dengan gejala saluran cerna atas. Jika terdapat striktur pada bagian
ileum atau kolon dengan ukuran ≤ 4 cm, dapat dilakukan dilatasi dengan
menggunakan balon dengan bantuan kolonoskop.
Pada PC, penemuan radiografik awal pada usus halus adalah lipatan
yang menebal dan ulserasi aphthous. Gambaran “cobblestone” yang dibentuk
oleh ulserasi longitudinal dan transverse biasanya melibatkan usus halus. Pada
kasus yang lebih berat, striktur, fistula, massa inflamasi, dan abses dapat
ditemukan.1 Inflamasi transmural pada PC menyebabkan penurunan diameter
luminal dan distensibilitas terbatas.1
Tabel 6. Gambaran Klinis IBD3
Karena PC merupakan proses transmural, adhesi serosa akan terjadi
dan memicu pembentukan fistula dan menurunkan insiden terjadinya perforasi
bebas. Perforasi yang terjadi biasanya hanya di ileum dan terkadang di
yeyunum sebagai komplikasi dari megatoksik kolon. Komplikasi lainnya yang
disebabkan oleh PC adalah obstruksi intestinal, perdarahan massif,
malabsorpsi, dan penyakit perianal yang berat.1
Tabel 7. Perbedaan KU dan PC Berdasarkan Penemuan Radiografik
2.1.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yaitu rencana
diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional.3
Rencana Diagnostik
Secara praktis, alur proses diagnosis IBD didasarkan kepada: (1)
anamnesis yang akurat, adanya perjalanan penyakit yang akut diserai
eksaserbasi kronik-remisi, diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta adanya
riwayat dalam keluarga; (2) gambaran klinis yang sesuai; (3) data
laboratorium yang menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama di
Indonesia adanya infeksi gastrointestinal. Ekslusi penyakit TB sanga penting
meningat gambaran klinisnya mirip dengan PC. (4) Temuan endoskopik yang
karakteristik dan didukung konfirmasi histopatologik; (5) temuan gambaran
radiologic yang khas; (6) pemantauan perjalanan klinik pasien yang bersifat
akut-remisi-eksaserbasi kronik.2,3
Rencana Terapeutik
Fokus utama rencana terapeutik adalah menghambat proses inflamasi.
Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD
dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang
dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta
mencegah komplikasi.3,4
Pada fasilitas pelayanan lini kesehatan primer perlu memperhatikan
tujuan umum rencana terapeutik jika mendapatkan pasien dengan gejala yang
mengarah ke IBD (Gambar 8, 9).3
Gambar 8. Rencana Terapeutik KU di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama3
Pengobatan Umum
Oleh karena IBD diduga memiliki faktor/agen proinflamasi dalam bentuk
bakteri intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat
mencetuskan proses inflamasi kronik pada individu yang rentan, maka
beberapa tindakan perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Tindakan tersebut
antara lain:
1. Pemberian antibiotik/kemoterapeutik. Metronidazole dengan dosis 1500 –
3000 mg/hari dikatakan bermanfaat pada PC dalam menurunkan derajat
aktivitas penyakitnya. Pada KU jarang diberikan antibiotik sebagai agen
anti inflamasi.
2. Lavase usus, dapat dengan cairan fisiologis maupun eksperimen dengan
sukralfat cair.
3. Mengingat produksi bakteri, dikatakan berbagi jenis probiotik memiliki
peran dalam terapi IBD.
4. Mengistirahatkan kerja usus, dan/atau dengan perubahan pola diet.
Makanan yang harus dihindari adalah makanan yang sulit dicerna seperti
gandum, sereal, yeast, dan produk peternakan. Konstituen yang bersifat
antioksidan juga dikatakan memiliki manfaat pada kasus IBD seperti
glutamin dan asam lemak rantai pendek.
Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat
merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial
azatrioprin adalah 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu
dinaikkan bertahap 2.5 mg/kgBB. Umumnya, efek terapeutik dapat
tercapai dalam 2-3 bulan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
mual, dyspepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga pankreatitis.
Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus
akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50-80%. Efek
samping yang sering dilapotkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi
oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang
efektif untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk
mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg yang diberikan
secara intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering
off steroid.2,10
Agen Baru
Obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen biologic banyak
digunakan pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki anti-tumor
necrosing factor (anti-TNF). Biasanya diberikan pada kasus PC
fistulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi ACCENT I dan II
yang meneliti dosis infliksimab sebagai pemeliharaan pada PC
mengatakan bahwa dosis infliksimab efektif pada 5-10 mg/kgBB selama
8 minggu.2
Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6)
sebagai salah satu sitokin proinflamasi. Penggunaan tocolizumab,
menunjukkan adanya respons klinis sebesar 70% setelah 6 minggu.
Beberapa agen aru lainnya seperti G-CSF (filgrastim) dan GM-CSF
(sargramostim) masih diteliti karena meski menjanjikan, namun
mekanisme kerja kedua obat tersebut masih belum jelas.2
BAB III
DAFTAR PUSTAKA