Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Disusun oleh:
Karina Helsa
01073180181

Pembimbing:
dr. Margaret Merlyn Tjiang, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO KARAWACI
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2019
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Nn. CD
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Tangerang
No. Rekam Medis : 00-81-74-**
Status Pembayaran : BPJS 2

1.2. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 2 Agustus 2019.

1.2.1. Keluhan Utama


BAB berdarah sejak 3 hari SMRS.

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan BAB berdarah sejak 3 hari SMRS.
Darah pada berwarna merah segar, tidak menetes, bercampur dengan BAB.
Konsistensi BAB lembek, sedikit berlendir, warna cokelat bercampur dengan
darah segar, dengan frekuensi ± 3 kali sehari, sebanyak ± ¼ gelas Aqua/BAB.
Pasien mengeluhkan lemas, demam, dan nyeri perut setiap sebelum BAB.
Demam dirasakan sejak 3 hari SMRS. Suhu perlahan naik tetapi pasien tidak
mengukur suhu tubuhnya. Pasien mengatakan suhu tubuh menurun setelah
pasien mengonsumsi parasetamol, dan kemudian akan meningkat kembali
setelah ± 4 jam. Nyeri perut dirasakan seperti melilit pada seluruh bagian perut.
Saat keluhan muncul, nafsu makan pasien menurun, mual, nyeri ulu hati, dan
perut kembung sehingga pasien lebih sering sendawa dengan rasa asam yang
terasa saat sendawa. Pasien mengaku keluhan selalu timbul saat pasien tidak
mengonsumsi obat Salofalk, dan keluhan akan terasa membaik jika pasien
mengonsumsi Salofalk kembali.
Pasien menyangkal adanya konstipasi, pencetus dari makanan tertentu,
alergi, nyeri pada dubur saat BAB, benjolan yang menyembul keluar sebelum,
saat, atau setelah BAB. Pasien juga menyangkal adanya penurunan berat
badan dan benjolan yang teraba ataupun terasa pada bagian perut.
Pasien dirujuk ke poliklinik penyakit dalam dari poliklinik bedah
onkologi untuk konsultasi BAB berdarah yang merupakan kontraindikasi
operasi pengangkatan benjolan pada payudaranya.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku pernah memiliki keluhan serupa pada 2 tahun yang
lalu. Keluhan pertama kali terjadi bersamaan dengan mual dan muntah
berwarna hitam pekat hingga pasien dirawat di rumah sakit. Pasien pernah
menjalani pemeriksaan endoskopi dengan biopsi pada dinding lambung dan
didapati hasil infeksi H. pylori. Kolonoskopi juga pernah dilakukan dengan
diagnosa akhir inflammatory bowel disease (IBD) dengan kadar fecal
calprotectin 261.8 mcg/g. Pasien diresepkan Salofalk yang seharusnya
dikonsumsi rutin.
Pasien pernah di diagnosa fibroadenoma mammae (FAM) bilateral
sejak 1 tahun yang lalu. Benjolan dikatakan tidak semakin membesar dan tidak
dipengaruhi oleh siklus menstruasi. Pasien telah disarankan untuk dilakukan
operasi pengangkatan benjolan tersebut tetapi belum dilakukan.

1.2.4. Riwayat Pengobatan


Pasien mengonsumsi Salofalk setiap BAB berdarah muncul dan
kemudian berhenti mengonsumsi jika keluhan sudah tidak ada. Pasien telah
berhenti mengonsumsi Salofalk sejak 4 bulan SMRS. Pasien juga
mengonsumsi Parasetamol jika demam.

1.2.5. Riwayat Kebiasaan


Merokok (-) Alkohol (-) NAPZA (-)
1.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berasal dari kalangan menengah. Saat ini pasien merupakan
mahasiswi fakultas keperawatan UPH.

1.2.7. Riwayat Diet


Pola makan pasien teratur yaitu 3 kali sehari. Makanan yang biasa
dikonsumsi yaitu nasi dengan lauk pauk sederhana. Sejak 3 hari yang lalu,
nafsu makan pasien berkurang sehingga makan pasien hanya menghabiskan ½
porsi dari biasanya.

1.2.8. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa, riwayat kanker (-).

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (E4 M6 V5)

Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Laju Napas : 17 x/menit
Laju Nadi : 76 x/menit, kuat angkat, reguler
Suhu : 36,6oC
Skala Nyeri VAS : 4/10

Status Gizi
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 55 kg
IMT : 22,6 kg/m2 (normal)

Status Generalis
Normosefali, Deformitas (-), Rambut Hitam, Rata dan Tidak mudah
Kepala
dicabut.
Wajah Normofasies
 Inspeksi : Kelenjar Tiroid tidak teraba, JVP 5-1 cmH2O, tidak
terdapat retraksi M.Sternocleidomastoideus
Leher
 Palpasi : Kaku Kuduk (-), Massa Tiroid (-), KGB (-)
 Auskultasi : Carotid Bruit (-)
Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), pupil bulat isokor
Mata 2mm/2mm, Reflek Cahaya Langsung +/+, Refleks Cahaya Tak
Langsung +/+.
 Telinga : Sekret (-), Serumen (-)
 Hidung : Darah dan sekret dari lubang hidung (-), Polip (-),
Deviasi septum (-), Deformitas (-) Pernafasan cuping hidung
THT tidak ditemukan.
 Lidah dan Tenggorok : faring hiperemis (-), deviasi lidah (-)
atrofi papil lidah (-), coated tongue (-), oral trush (-), tonsil
T1/T1.
● Inspeksi: Bentuk dada normal, ginekomastia (-) pergerakan
dada simetris, bekas luka operasi (-), retraksi (-), memar (-).
● Palpasi : Pengembangan dada simetris anterior posterior,
Paru-paru taktil vocal fremitus simetris kiri dan kanan.
● Perkusi: Sonor pada lapang paru kiri sisi apeks. Pekak pada
lapang paru kanan dan kedua sisi basal paru.
● Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+, Bunyi Nafas Tambahan :
ronki -/-, wheezing -/-
● Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, tidak teraba adanya thrill
atau heave.
Jantung ● Perkusi : Batas jantung kanan ICS IV Linea parasternalis
Dekstra, Batas jantung kiri ICS IV Linea Medio-clavicularis
Sinistra. Batas pinggang jantung ICS II linea parasternalis
sinistra.
● Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Ad regio mammae dextra:
● Teraba 2 benjolan dengan konsistensi padat, mobile, pada arah
jam 11 dengan ukuran ± 2 x 1.5 x 1 cm, dan arah jam 8 dengan
ukuran 1 x 1 x 1 cm.
● Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-) sekret dari nipple (-)
kemerahan (-)
Mammae
Ad regio mammae sinistra:
● Teraba benjolan dengan konsistensi padat, mobile, pada arah
jam 1 dengan ukuran ± 0.5 x 0.5 x 0.5 cm
● Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-) sekret dari nipple (-)
kemerahan (-)
● Inspeksi: datar, bekas luka (-), massa (-), spider naevi (-), caput
medusa (-), striae (-), grey turner sign (-)
● Auskultasi: Bising usus (+) meningkat, metallic sound (-),
Abdomen bouborgymic (-), bruit (-)
● Perkusi: Timpani di seluruh regio abdomen
● Palpasi: Supel, Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
pada light palpation, Hepato-splenomegali (-), Ballotemen (-)
● Look: Deformitas (-), sianosis (-), ruam (-), jaundice (-), needle
track (-)
● Feel: Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-), nadi teraba
Ekstremitas
kuat simetris, pitting edema (-)
● Move: Tidak ditemukan gangguan dalam pergerakan aktif
maupun pasif.

1.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (31/7/2019)
HEMATOLOGI DARAH
Test Result Unit Reference Range
Hemoglobin 12.50 g/dL 11.70 – 15.50
Hematokrit 37.70 % 35.00 – 47.00
RBC 4.59 106/uL 3.80 – 5.20
WBC 5.65 103/uL 3.80 – 11.00
Platelet Count 287.00 103/uL 150.00 – 440.00
MCV 82.10 fL 80.00 – 100.00
MCH 27.20 Pg 26.00 – 34.00
MCHC 33.20 g/dL 32.00 – 36.00
Bleeding time 2.0 min 1.00-3.00
Clotting time 13.00 min 8.00-15.00
Creatinine 0.54 mg/dL 0.5-1.1
eGFR 137.8 mg/dL >60
Na 138 mg/dL 137-145
K 3.6 mmol/L 3.6-5.0
Cl 102 mmol/L 98-107

Kesan: Hasil laboratorium dalam batas normal.

Pemeriksaan Kolonoskopi (2/8/2019)

Hasil :
Caecum, colon ascendens, flexura hepatica, colon transversum, flexura lienalis, colon
descendens, sigmoid, rectum: mukosa hiperemis, hipervaskularis, terutama pada colon
bagian distal.
Kesimpulan :
Pankolitis

1.5. Resume
Pasien perempuan, 18 tahun, datang dengan keluhan hematokhezia sejak 3
hari SMRS. Darah pada berwarna merah segar, tidak menetes, bercampur dengan
BAB. Konsistensi BAB lembek, sedikit berlendir, warna cokelat bercampur dengan
darah segar, dengan frekuensi ± 3 kali sehari, sebanyak ± ¼ gelas Aqua/BAB. Lemas
(+). Demam dirasakan sejak 3 hari SMRS. Suhu dirasakan perlahan naik tetapi pasien
tidak mengukur suhu tubuhnya. Pasien mengatakan suhu tubuh menurun setelah
pasien mengonsumsi parasetamol, dan kemudian akan meningkat kembali setelah ± 4
jam. Nyeri perut dirasakan seperti melilit pada seluruh bagian perut. Nafsu makan
menurun (+), mual (+), nyeri ulu hati (+), dan perut kembung (+) dengan rasa asam
yang terasa saat sendawa. Pasien memiliki riwayat di diagnosa inflammatory bowel
disease (IBD) dan diberikan Salofalk untuk dikonsumsi rutin. Keluhan selalu timbul
saat pasien tidak mengonsumsi obat Salofalk, dan keluhan akan terasa membaik jika
pasien mengonsumsi Salofalk kembali.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dan hemodinamika pasien cenderung
stabil dengan tekanan darah 110/70 mmHg, laju napas 17 kali/menit, laju nadi 76
kali/menit, kuat angkat, regular, dan suhu 36,6oC. Pada pemeriksaan fisik abdomen,
ditemukan bising usus yang meningkat (+). Pada regio mammae dextra, teraba 2
massa pada arah jam 11 dengan ukuran ± 2 x 1.5 x 1 cm, dan arah jam 8 dengan
ukuran ± 1 x 1 x 1 cm. Pada regio mammae sinistra, teraba massa pada arah jam 1
dengan ukuran ± 0,5 x 0,5 x 0,5 cm.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, ditemukan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan endoskopi-kolonoskopi ditemukan pada caecum, colon ascendens,
flexura hepatica, colon transversum, flexura lienalis, colon descendens, sigmoid,
rectum mukosa hiperemis, hipervaskularis, terutama pada colon bagian distal.

1.6. Daftar Masalah


1. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
2. Fibroadenoma Mammae (FAM) Bilateral
1.7. Follow-Up
Hari/Tanggal Hasil
Sabtu, 3 S: nyeri perut minimal. BAB berdarah (-). Mual (+)
Agustus 2019
O: KU: tampak sakit sedang, Kesadaran: compos mentis
TD: 120/70 mmHg, N: 85 x/menit, RR: 18 x/menit, Suhu: 36.2oC

Abdomen:
Inspeksi: datar, kemerahan (-)
Auskultasi: bising usus dalam batas normal (+)
Perkusi: timpani 9 regio
Palpasi: nyeri tekan di 9 regio (+) minimal pada light palpation

A: IBD – Kolitis Ulseratif – Pankolitis

P: RL 500 mL/8 jam IV


R/ pulang, kontrol poli IPD (9/8/2019)

1.8. Pengkajian Masalah

Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Atas dasar: Anamnesis:


 BAB berdarah sejak 3 hari SMRS
 Darah warna merah segar
bercampur feses, lendir (+),
frekuensi ± 3 kali sehari, volume ±
¼ gelas Aqua/BAB.
 Demam (+)
 Lemas (+)
 Nafsu makan menurun (+)
 Nyeri perut; melilit (+)
 Riwayat di diagnosa IBD 2 tahun
lalu

Pemeriksaan Fisik:
 Tampak sakit sedang
 TD: 110/70 mmHg, Nadi: 76
x/menit, Napas: 17 x/menit, Suhu:
36,6oC
 Bising usus meningkat (+)
 Nyeri tekan pada seluruh regio
abdomen pada light palpation (+)
Pemeriksaan Penunjang:
 Kolonoskopi: caecum, colon
ascendens, flexura hepatica, colon
transversum, flexura lienalis, colon
descendens, sigmoid, rectum:
hiperemis dan hipervaskular,
terutama pada kolon bagian distal;
menggambarkan pankolitis
 Tidak ditemukan skip area
 Hanya pada bagian kolon
distal.

Yang dipikirkan: Inflammatory Bowel Disease (IBD) –


Ulcerative Colitis

Rencana diagnostik:  Pemeriksaan laboratorium: laju


endap darah (LED) atau C-reactive
protein (CRP).
 Pemeriksaan fecal calprotectin
 Pemeriksaan histopatologi dari
spesimen biopsi kolon.
 Pemeriksaan serologi: pANCA
(perinuclear antineutrophil
cytoplasmic antibody) dan anti-
saccharomyces cerevisiae antibody
(ASCA)
Rencana pengobatan:  Asam amino salisilat
(mesalamine/5-asam
aminosalisilat/mesalazine) dengan
dosis awal 2-4 gram/hari, hingga
remisi tercapai dalam 16-24
minggu, kemudian diikuti dengan
dosis maintenance 1.5-3 gram/hari
 Kortikosteroid (prednisone,
metilprednisolon, budesonid)
dengan dosis awal 40-60 mg/hari
selama 8-12 minggu (remisi)
kemudian tapering off 10
mg/minggu hingga tercapai dosis
40 mg/hari, atau 5 mg/minggu
hingga tercapai 20 mg/hari.
Kemudian di tapering off 2.5
mg/minggu.

Fibroadenoma Mammae (FAM) Bilateral


Atas dasar: Anamnesis:
 Riwayat di diagnosa FAM 1 tahun
yang lalu
Pemeriksaan Fisik:
 Tampak sakit sedang
 TD: 110/70 mmHg, Nadi: 76
x/menit, Napas: 17 x/menit,
Suhu: 36,6oC
Ad regio mammae dextra:
 Teraba 2 benjolan dengan
konsistensi padat, mobile, pada
arah jam 11 dengan ukuran ± 2 x
1.5 x 1 cm, dan arah jam 8 dengan
ukuran 1 x 1 x 1 cm.
 Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-)
sekret dari nipple (-) kemerahan (-)

Ad regio mammae sinistra:


 Teraba benjolan dengan konsistensi
padat, mobile, pada arah jam 1
dengan ukuran ± 0.5 x 0.5 x 0.5 cm
 Nyeri tekan (-) peau d’ orange (-)
sekret dari nipple (-) kemerahan (-)

Yang dipikirkan: Tumor mammae bilateral susp.


keganasan
Rencana diagnostik:  USG mammae bilateral
 Konsultasi Sp. B.Onk
Rencana pengobatan: Sesuai terapi dari Sp. B. Onk
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inflammatory Bowel Disease


2.1.1. Definisi
Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan kondisi peradangan
intestinal kronik atau remitting/relapsing, dan idiopatik yang dimediasi oleh
sel imun tubuh.1,2 Secara umum, IBD dibagi menjadi kolitis ulseratif (KU) dan
penyakit Crohn (PC).1-3
Kolitis ulseratis adalah penyakit inflamatori difus non-spesifik yang
tidak diketahui penyebabnya yang secara kontinu (continuously) mengenai
mukosa kolon proksimal dari bagian rektum dan seringkali membentuk suatu
erosi dan/atau ulkus. Seringkali siklus kambuh-remisi akan terus terjadi
selama periodenya dan dapat disertai komplikasi ekstraintestinal.4
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamatori kronik yang tidak
diketahui penyebabnya, yang dikarakteristikan oleh diskontinuitas area yang
terkena dengan inflamasi granulomatosa transmural dan/atau fistula. Penyakit
ini dapat mengenai bagian manapun pada saluran pencernaan dari mulut
hingga anus, namun lebih sering mengenai small dan large interstines
(terutama ileosekum), dan bagian perianal.4
Secara umum, KU dan PC dianggap sebagai IBD karena kedua
penyakit tersebut memiliki gambaran klinis yang mirip, tetapi lokasi penyakit,
morfologi, dan patofisiologi kedua penyakit tersebut sangatlah berbeda, dan
harus dilihat sebagai dua penyakit yang berbeda. Terlebih lagi, sangat
diperlukan untuk mengklasifikasikan IBD tersebut karena prosedur diagnostik,
intervensi terapeutik, dan observasi follow-up yang akan dilakukan berbeda.
Jika setelah mendapatkan diagnosis IBD, sulit untuk membedakan KU atau
PC, maka untuk sementara dapat dimasukkan ke dalam kategori indeterminate
colitis (IC) atau IBD tidak terklasifikasi.3,4
2.1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Insiden tertinggi dari KU dan PC dilaporkan terjadi di Amerika Utara,
Britania Raya (United Kingdom), dan Eropa Utara (northern Europe). Negara-
negara yang berada di Pasifik, termasuk New Zealand dan Australia yang
memiliki kemungkinan faktor resiko dan latar belakang genetik yang mirip
dengan Eropa Barat Laut (northwest Europe) dan Amerika Utara, juga
memiliki tingkat insiden yang tinggi terjadinya IBD.1
Tabel 1. Epidemiologi IBD1

Puncak tingkat insiden terjadinya KU dan PC ada pada dekade kedua


dan keempat, dengan 78% dari studi mengenai PC dan 51% dari studi KU
melaporkan bahwa insiden tertinggi terjadi pada rentang usia 20-29 tahun.
Rentang rasio wanita-dengan-pria adalah 0.51 hingga 1.58 pada studi KU dan
0.34 hingga 1.65 pada studi PC, yang menunjukkan bahwa diagnosis IBD
tidak spesifik untuk jenis kelamin tertentu.1
Insiden terbesar dari IBD terdapat pada populasi kulit putih dan
Yahudi, tetapi IBD pada populasi Hispanic dan Asia juga meningkat.
Kawasan perkotaan (urban) memiliki prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan kawasan perdesaan (rural), dan kelas sosio-ekonomi keatas lebih
memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan kelas sosio-ekonomi
rendah.1
Di Indonesia sendiri, belum ada studi epidemiologi mengenai IBD.
Data IBD di Indonesia masih menggunakan laporan berdasarkan rumah sakit
(hospital based). Data di Unit Endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta
dan sekitarnya (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleneagles, RS Jakarta)
didapatkan kesan bahwa kasus IBD terdapat pada 12.2% dari kasus yang
dikirim dengan diare kronik, 3.9% dari kasus dengan hematochezia, dan 25.9%
dari kasus dengan diare kronik-berdarah yang disertai nyeri perut. Sedangkan
pada kasus dengan nyeri perut didapatkan 2.8%.3 Data pada tabel di bawah ini
juga memperlihatkan bahwa kasus KU cenderung lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan kasus PC.2,3
Tabel 2. Data IBD dari Total Kolonoskopi di Beberapa Rumah Sakit
Nasional

Studi epidemiologi global juga mengidentifikasikan beberapa faktor


lingkungan yang berpotensi memiliki hubungan dengan resiko terjadinya
penyakit (Tabel 1.) Pada populasi Kaukasian, merokok merupakan faktor
resiko penting pada IBD yang memiliki efek terbalik pada PC, sedangkan pada
populasi etnis lainnya dengan kemungkinan perbedaan genetik, merokok tidak
memiliki peran penting. Terdapat efek protektif dari riwayat apendektomi
dengan apendisitis yang terkonfirmasi, terutama pada populasi usia muda,
pada perkembangan terjadinya KU. Penggunaan kontrasepsi oral juga
memiliki hubungan dengan resiko terjadinya PC (hazard ratio 2.82 pada
pengguna saat ini, dan 1.39 pada populasi riwayat penggunaan kontrasepsi
oral). Hubungan penggunaan kontrasepsi oral dengan KU terbatas pada
perempuan dengan riwayat merokok. Penggunaan antibiotik juga memiliki
hubungan dengan terjadinya IBD pada anak-anak yang mendapatkan satu atau
lebih antibiotik selama tahun pertama kehidupannya (2.9 kali meningkatkan
resiko terjadinya IBD). Pemberian ASI juga dilaporkan dapat menjadi faktor
pelindung terjadinya IBD pada masa anak-anak. Pola diet tinggi protein
hewani, gula, pemanis buatan, minyak, ikan, kerang, dan lemak nabati
dilaporkan dapat meningkatkan resiko terjadinya IBD, sedangkan konsumsi
vitamin D dilaporkan dapat memproteksi dari resiko terjadinya PC.1

2.1.3. Etiopatogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya di mengerti.
Banyak teori dan hipotesa diajukan namun belum ada yang diketahui sebagai
penyebab utama IBD.1-3 Kedua konsensus baik mengenai KU maupun PC,
mengarahkan bahwa penyakit tersebut merupakan respon terhadap pemicu
dari faktor lingkungan (infeksi, antibiotik, obat-obatan, dan lain-lain) pada
individu dengan genetik yang susceptible.4 Komponen genetik ini lebih kuat
berpengaruh pada terjadinya PC dibandingkan KU.1-4
Pada kondisi fisiologik, terjadi homeostasis antara mikrobiota
komensal, sel-sel epitel yang melapisi bagian interior dari intestinal (IEC) dan
sel-sel imun di dalam jaringan (Gambar 1.). Hipotesis dari suatu konsensus
mengatakan bahwa salah satu dari ketiga kompartemen utama host yang
seharusnya berfungsi secara bersamaan sebagai suatu “supraorganisme”
terintergrasi (mikrobiota, IEC, dan sel imun) terganggu atau terpengaruh oleh
faktor lingkungan spesifik (contoh: merokok, antibiotik, enteropathogens) dan
genetik, pada susceptible host, secara akumulatif dan interaktif, akan
mengganggu homeostasis individu tersebut selama periode tertentu, yang
nantinya akan mencapai puncaknya pada tahap disregulasi inflamasi kronis;
yaitu IBD.1
Gambar 1. Patogenesis IBD1

Pada keadaan normal, intestinal yang tidak terinflamasi memiliki sel-


sel imun dalam jumlah yang besar dan dalam keadaan teraktivasi yang unik,
yang memungkinkan usus mempertahankan keadaannya dari respon
imunologis terhadap mikrobiota komensal dan antigen-antigen yang berasal
dari makanan dengan mekanisme regulatori yang sangat kuat yang berfungsi
di dalam sistem imun tubuh (T-regulatory cells yang mengekpresikan faktor
transkripsi FoxP3 dan menekan proses inflamasi). Sehingga, pada saat terjadi
infeksi atau adanya stimulus dari luar yang mengganggu keadaan normal,
maka aktivasi jaringan limfoid di dalam intestinal akan terjadi secara cepat
dengan cara melumasi intestinal dengan respon imun dan perbaikan jaringan.
Namun, pada IBD, proses tersebut tidak teregulasi sempurna atau normal. IBD
dikatakan sebagai respon imun yang tidak sesuai terhadap mikrobiota
komensal endogen (normal) dengan atau tanpa komponen dari autoimun.1
Kondisi diatas juga didukung dengan adanya temuan antibodi terhadap
antigen microbial dan di identifikasinya gen CARD15 sebagai gen penyebab
kerentanan terjadinya IBD.5 Secara genetik, terjadi mutasi pada gen NOD 2
(gen IBD1) atau CARD16 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan
dengan terjadinya IBD terutama PC, namun gen-gen tersebut bukanlah
penyebab utama terjadinya IBD.6 Berbagai pendekatan genetik termasuk
candidate gene studies, linkage analysis, dan genome-wide association studies
(GWAS) yang berfokus pada identifikasi disease-associated, single-nucleotide
polymorphisms (SNPs) di dalam genom manusia, dan whole-genome
sequencing telah menyeleksi faktor genetik yang dapat mempengaruhi resiko
terjadinya IBD. GWAS mengidentifikasi ~200 gen loci yang berhubungan
dengan fenotip dari KU dan PC (Tabel 3.).1
Tabel 3. Gen Loci Yang Berhubungan Dengan Kolitis Ulseratif dan
Penyakit Crohn1

Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan peranan


penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya
keterlibatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus,
terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies (ANCA), peran nitric
oxide (NO) dan riwayat infeksi (terutama M. paratuberkulosis) banyak
dikemukakan, namun hingga saat ini belum dapat di identifikasi faktor kausal
yang menyebabkan keadaan tersebut.3
Secara umum, patogenesisi IBD dikatakan dimulai dari adanya infeksi,
toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetik, defek imun, dan lingkungan, sehingga terjadi
proses inflamasi pada dinding usus. Mediator inflamasi berupa sitokin juga
berperan penting dalam perkembangan IBD.1-3 Sitokin ini akan mengubah
limfosit menjadi sel T dimana sel T-helper-1 (Th-1) berperan dalam proses
terjadinya PC sedangkan sel T-helper-2 (Th-2) berperan pada KU.2 Respon
imun ini yang akan merusak mukosa intestinal dan memicu terjadinya proses
inflamasi kronik.

Gambar 2. Konsep dasar patogenesis IBD2,3

Studi terakhir juga mengatakan bahwa adanya heparan sulfate


proteoglycans (HSPGs) juga meregulasi aktivasi dari berbagai faktor
inflamasi.7 Sydecan-1 (Sdc-1) merupakan salah satu contoh penting dari
HSPGs yang menutupi permukaan sel epitel intestinal.8 Sdc-1 yang memiliki
berbagai peranan seperti penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan
inflamasi, akan meregulasi sinyal sitokin pro-inflamasi, terutama tumor
necrosis factor-α (TNF-α) sehingga apabila terjadi penurunan atau
terganggunya ekspresi gen tersebut, maka proses yang dihasilkan juga
terganggu seperti gangguan penyembuhan ulkus pada kolon (KU).9
Pada KU, proses inflamasi dimulai pada rektum dan kemudian meluas
kea rah proksimal secara kontinu sehingga secara umum KU dapat melibatkan
seluruh bagian kolon (pankolitis). Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan
mukosa dan submucosa usus. Inflamasi yang terjadi hampir tidak pernah
terjadi di daerah small intestines atau usus halus kecuali jika terjadi inflamasi
di ileum terminalis. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU. Tidak
ditemukannya skip area merupakan ciri khas dari KU sehingga dapat
dibedakan dengan PC.1-4
Pada PC, inflamasi terjadi pada seluruh mukosa saluran cerna dimulai
dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni
adanya peradangan, striktur, dan/atau fistula.3,4 Berbeda dengan KU, lesi pada
PC tidak hanya melibatkan mukosa dan submucosa, namun juga pada
transmural.1-4 Selain itu, lesi pada PC bersifat diskontinu sehingga akan
ditemukan skip area.3,4

2.1.4. Gambaran Patologis


Kolitis Ulseratif: Makroskopik
Kolitis ulseratif merupakan penyakit mukosa yang biasanya
melibatkan bagian rektum dan meluas secara proksimal dan melibatkan
seluruh atau bagian dari kolon. Meskipun variasi makroskopik dapat
memberikan gambaran adanya skip area, biopsi dari mukosa yang tampak
normal biasanya memberikan hasil yang abnormal. Oleh sebab itu, sangat
penting untuk mengambil beberapa sample biopsi dari mukosa yang belum
terkena, baik proksimal maupun distal, saat dilakukan endoskopi.1
Pada inflamasi ringan, mukosa tampak eritematos dan memiliki
permukaan granular yang baik menyerupai sandpaper. Pada kasus yang lebih
berat, mukosa usus akan berdarah, edematous, dan terdapat ulkus (Gambar 3.).
Pada pasien yang sudah remisi, mukosa dapat tampak normal, tetapi pada
pasien dengan KU dalam beberapa tahun, mukosa akan tampak atrofi dan
featureless, dan seluruh kolon akan menyempit dan memendek. Pasien dengan
KU fulminant, dapat terjadi kolitis toksik atau megakolon sehingga dinding
usus akan menipis dan mukosa akan terulserasi parah yang dapat
menyebabkan terjadinya perforasi.1

Gambar 3. Makroskopik: Kolitis Ulseratif1


Kolitis Ulseratif: Mikroskopik
Penemuan histologis sangat berkorelasi dengan gambaran endoskopi
dan gambaran klinis pasien dengan KU. Pada KU, terdapat 2 gambaran
histologis utama yang dapat mengacu pada kronisitas dan membantu untuk
membedakan KU dari infeksi atau kolitis akut yang dapat sembuh sendiri
(ASLC). Pertama, bentuk bangunan kripta pada kolon akan terdistorsi; kripta
akan tampak membelah menjadi dua dan menurun dalam jumlah, biasanya
ditemukan gap antara dasar kripta dengan mukosa muskularis. Kedua,
beberapa asien dengan agregat sel basal plasma dan basal multipel. Kongesti
vascular mukosa dengan edema dan perdarahan fokal, dan infiltrat sel
inflamatori seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag dapat
ditemukan. Neutrofil menembus epitelium, biasanya pada kripta,
menyebabkan terjadi criptitis dan dapat menjadi abses kripta (Gambar 4).1

Gambar 4. Mikroskopik: Kolitis Ulseratif

Penyakit Crohn: Makroskopik


Penyakit Crohn dapat mengenai bagian manapun pada saluran
pencernaan dari mulut hingga anus. Berbeda dengan KU, yang selalu
melibatkan bagian rektum, pada PC bagian rektum biasanya tersisa dalam
keadaan normal. Pada PC terdapat skip area pada bagian tengah dari usus
yang terkena. Fistula perirectal, fisura, abses, dan stenosis anal dapat
ditemukan pada pasien dengan PC, terutama pada mereka dengan keterlibatan
kolon. Pada kasus yang jarang, PC juga dapat melibatkan liver dan pankreas.1
Berbeda dengan KU, PC merupakan proses transmural. Pada
endoskopi, ditemukannya ulserasi superfisial kecil atau aphthous memberikan
karakteristik dari PC ringan; pada kasus yang lebih aktif, ulserasi stelata yang
tersebar secara longitudinal dan transversal pada demarcate islands biasanya
akan tampak normal secara histologis. Gambaran “cobblestone” merupakan
karakteristik dari PC, baik pada endoskopi dan pada radiografi dengan
barium.1 PC yang aktif dikarakteristikan oleh inflamasi fokal dan
pembentukan traktus fistula yang akan diperbaiki dengan fibrosis dan striktur
dari usus tersebut. Dinding usus akan menebal dan menjadi sempit dan fibrotic,
yang menyebabkan obstruksi usus yang kronik dan rekuren. Proyeksi dari
mesenteric yang menebal (creeping fat), dan inflamasi serosal dan mesenteric
akan menyebabkan perlengketan dan pembentukan fistula.1

Gambar 5. Makroskopik: Penyakit Crohn1

Penyakit Crohn: Mikroskopik


Lesi awal PC adalah ulserasi aphthoid dan abses kripta fokal dengan
agregasi makrofag, yang membentuk granuloma non-perkejuan (noncaseating)
pada seluruh lapisan dinding usus (Gambar 6). Granuloma yang merupakan
gambaran khas pada PC, dapat ditemukan pada limfe, mesenteri, peritoneum,
liver, dan pankreas. Gambaran histologis lainnya adalah agregat limfoid
submukosal atau subserosal, dan letaknya menjauh dari area ulserasi, gross
dan terdapat skip area mikroskopik, dan peradangan transmural yang disertai
dengan fisura yang menembus dalam hingga dinding usus dan h dapat
membentuk traktus fistula atau abses lokal.1
Gambar 6. Mikroskopik: Penyakit Crohn1

Tabel 4. Gambaran Patologis IBD

2.1.5. Gambaran Klinis


Manifestasi klinis IBD yang paling umum ditemukan adalah diare
kronik yang disertai atau tanpa darah, dan nyeri perut. Manifestasi tambahan
ekstra intestinal juga dapat ditemukan seperti artritis, uveitis, pioderma
gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis.3
Perjalanan klinis IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi
dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi secara
spontan. Perjalanan klinis IBD yaitu kronik-eksaserbasi-remisi. Secara umum,
terdapat kriteria klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan
pedoman keberhasilan pengobatan ataupun penetapan fase remisi yaitu
Disease Activity Index (DAI)2,3, namun PB PGI belum menetapkan DAI di
Indonesia.3

Kolitis Ulseratif
Gejala utama pada KU adalah diarea, perdarahan rektum, tenesmus,
terdapat lendir (mukus) pada BAB, dan nyeri abdomen (crampy). Derajat
keparahan dari gejala berhubungan dengan perluasan dari penyakit. Meskipun
KU dapat bersifat akut, namun gejala dapat dirasakan selama minggu hingga
bulan. Pada kasus tertentu, diare dan perdarahan bersifat intermiten dan ringan
sehingga pasien tidak mencari bantuan medis.1,4
Pasien dengan proctitis biasanya akan mengeluarkan darah merah
segar atau mukus yang bercampur darah, baik bercampur dengan feses atau
terdapat pada feses dengan konsistensi normal atau padat-keras. Tenesmus,
atau urgency dengan rasa tidak tuntas setelah BAB, dan juga nyeri perut dapat
ditemukan. Pada proctitis atau proctosigmoiditis, konstipasi lebih sering
ditemukan pada pasien yang terkena bagian distal. Apabila penyakit telah
meluas melewati rektum, darah biasanya bercampur dengan feses atau diare
berdarah gross. Diare biasanya nocturnal dan/atau postprandial. Kram perut
minimal atau nyeri perut bagian bawah dapat ditemukan pada pasien dengan
penyakit yang aktif. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah anoreksia, mual,
muntah, demam, dan penurunan berat badan.
Tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yang mengarah
ke proctitis adalah nyeri pada kanalis anal dan darah pada saat pemeriksaan
colok dubur. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada saat palpasi di bagian kolon.
Pembagian aktivitas penyakit dapat dilihat pada tabel Tabel 5.
Tabel 5. Kolitis Ulseratif

Penyakit yang sedang aktif dapat berhubungan dengan peningkatan


reaktan fase akut seperti CRP, hitung platelet, dan laju endapan darah (LED),
dan menurunnya kadar hemoglobin. Kadar fekal lactoferrin – glikoprotein
pada neutrofil aktif, sangat sensitif dan merupakan marker spesifik untuk
mendeteksi inflamasi usus. Fekal calprotectin juga terdapat pada neutrofil dan
monosit dan kadarnya berhubungan baik dengan inflamasi histologis, prediksi
kambuh, dan mendeteksi pouchitis. Pada pasien dengan kasus berat, kadar
serum albumin dapat menurun drastis dan cepat.1 Pada proctitis atau
proctosigmoiditis jarang sekali menyebabkan peningkatan CRP.
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, gejala klinis, hasil
pemeriksaan feses negative untuk toksin bakteri C. difficile, telur, dan parasit,
dan juga gambaran sigmoidoskopi, dan hasil pemeriksaan histologi dari
spesimen biopsi rektum atau kolon.1
Sigmoidoskopi digunakan untuk menilai aktivitas penyakit dan
biasanya dilakukan sebelum diberikan terapi. Jika pasien tidak pada fase akut,
kolonoskopi dapat digunakan untuk menilai perluasan dan aktivitas penyakit.
Pada kasus KU yang ringan, hasil endoskopi akan memberikan warna
kemerahan, menurunnya corak pembuluh darah, dan friability ringan. Pada
moderate, tampak eritema, tidak ada corak pembuluh darah, friability, dan
erosi. Pada kasus yang berat (severe), perdarahan spontan dan ulkus dapat
ditemukan.1,4
Hanya sebesar 15% pasien dengan KU datang dengan keluhan yang
sangat parah. Perdarahan massif terjadi pada 1% pasien, dan setelah diterapi
biasanya keadaan membaik. Namun jika pasien memerlukan 6-8-unit darah
dalam 24-48 jam, maka tindakan pembedahan kolektomi di indikasikan. Toxic
megacolon adalah keadaan saat kolon transversum atau kanan dengan
diameter > 6 cm, dengan hautra yang hilang pada pasien dengan serangan KU
yang berat.Perforasi yang merupakan komplikasi lokal dan paling berbahaya,
dan tanda peritonitis dapat tidak memberikan gejala yang khas terutama pada
pasien yang menerima glukokortikoid. Striktur yang terjadi pada 5-10% pasien
merupakan kekhawatiran terbesar pada KU karena dapat menjadi cikalbakal
terjadinya neoplasia. Pasien dengan KU kadang ditemukan memiliki fisura
anal, abses perianal, dan hemoroid, tetapi jika terdapat lesi perianal yang
ekstensif maka dapat dipikirkan lebih ke arah PC.1

Penyakit Crohn
Meskipun PC biasanya dipresentasikan sebagai inflamasi usus akut
ataupun kronik, namun proses inflamasi yang terjadi biasanya berkembang
menjadi 1 atau 2 pola dari penyakit ini: fibrostenotic obstructing atau
penetrating fistulous, yang masing-masing memiliki terapi dan prognosis
berbeda. Lokasi terjadinya penyakit ini juga mempengaruhi manifestasi
klinis.1
Ileokolitis – Oleh karena lokasi yang paling sering mengalami
peradangan adalah terminal ileum, maka biasanya pada pasien dengan
ileokolitis akan memiliki riwayat episode rekuren nyeri abdomen kuadran
kanan bawah yang bersifat kronis dan diare. Pada beberapa pasien, keluhan
yang disebutkan dapat menyerupai keluhan seperti apendisitis akut dengan
adanya nyeri perut kanan bawah, perabaan massa, demam, dan leukositosis.
Nyeri yang dirasakan bersifat kolik; yang diperberat dan diperringan dengan
defekasi. Demam dengan suhu rendah juga biasanya ditemukan, namun jika
terdapat demam yang langsung tinggi biasanya cenderung menunjukkan
adanya pembentukan abses intraabdominal. Penurunan berat badan juga dapat
ditemukan akibat diare, anoreksia, dan rasa takut untuk makan yang dirasakan
oleh pasien.1 Massa dapat teraba pada bagian perut kanan bawah yang
merupakan bagian usus yang mengalami inflames, indurasi dari mesenteri, dan
membesarnya kelenjar getah bening abdominal. Jika terdapat ekstensi atau
perluasan dari massa tersebut, biasanya gejala yang timbul akan sesuai ke arah
bagian organ mana perluasan massa tersebut. Inflamasi pada regio ileosekal
juga dapat menyebabkan penipisan dinding usus lokal, dengan perforasi mikro
dan fistula ke bagian usus terdekat, kulit, atau vesika urinaria, atau adanya
abses di mesenterika.1
Jejunoileitis – inflamasi yang terus menerus dan meluas akan
berhubungan dengan kemampuan dalam mencerna dan mengabsorpsi usus,
sehingga terjadi malabosrpsi dan steatorrhea. Defisiensi nutrisi yang terjadi
juga dapat disebabkan oleh poor intake dan protein dan nutrient penting
lainnya yang hilang dari penyerapan usus. Malabosrpsi ini dapat menyebabkan
terjadinya anemia, hypoalbuminemia, hipokalsemia, hypomagnesemia,
koagulopati, dan hiperoksaluria dengan nefrolitiasis. Kebanyakan pasien harus
mengonsumsi multivitamin, kalsium, dan suplemen vitamin D. Diare
merupakan ciri khas penyakit yang sedang aktif, hal ini dapat disebabkan oleh
(1) bacterial overgrowth pada obstruktif stasis atau fistulisasi, (2) malabsorpsi
bile-acid akibat penyakit atau terminal ileum yang reseksi, dan (3) inflamasi
intestinal dengan menurunnya absorpsi air dan meningkatnya sekresi
elektrolit.1
Kolitis dan Penyakit Perianal – pasien dengan olitis biasanya datang
dengan demam suhu rendah, lemas, diare, nyeri/kram perut, dan kadang
hematochezia. Gross bleeding jarang ditemukan dibandingkan dengan KU.
Striktur kolon juga dapat terjadi dan menimbulkan gejala obstruktif. Jika pada
saat dilakukan endoskopi, tenaga medis tidak dapat melakukan transversi
striktur tersebut, maka reseksi perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien
dengan gejala obstruksi kronik. Penyakit kolo ini dapat menyebabkan adanya
fistula dari kolon hingga perut atau duodenum, sehingga pasien dapat
mengeluhkan muntah fekulen atau berwarna keruh. Penyakit perianal dapat
terjadi pada pasien PC meskipun hanya 1/3 dari populasi. Pasien dapat
mengeluhkan inkontinensia, hemorrhoidal tag yang besar, striktur ani, fistula
anorektal, dan abses perirektal.1
Penyakit Gastroduodenal – tanda dan gejala dari saluran cerna atas
meliputi mual, muntah, dan nyeri epigastric. Pasien biasanya memiliki gastritis
non-H. pylori. Fistula yang terbentuk melibatkan gaster atau duodenum yang
berasal dari usus halus atau besar.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya peningkatan LED
dan CRP. Pada kasus yang lebih berat, hypoalbuminemia, anemia, dan
leukositosis juga ditemukan. Kadar fecal calprotectin dan lactoferrin dapat
digunakan untuk membedakan IBD dengan irritable bowel syndrome (IBS).
Pada pemeriksaan endoskopi, pada PC ditemukan adanya rectal
sparing, ulser aphthous, fistula, dan skip lesion. Endoskopi saluran cerna atas
juga digunakan untuk melihat apakah ada keterlibatan gastroduodenal pada
pasien dengan gejala saluran cerna atas. Jika terdapat striktur pada bagian
ileum atau kolon dengan ukuran ≤ 4 cm, dapat dilakukan dilatasi dengan
menggunakan balon dengan bantuan kolonoskop.
Pada PC, penemuan radiografik awal pada usus halus adalah lipatan
yang menebal dan ulserasi aphthous. Gambaran “cobblestone” yang dibentuk
oleh ulserasi longitudinal dan transverse biasanya melibatkan usus halus. Pada
kasus yang lebih berat, striktur, fistula, massa inflamasi, dan abses dapat
ditemukan.1 Inflamasi transmural pada PC menyebabkan penurunan diameter
luminal dan distensibilitas terbatas.1
Tabel 6. Gambaran Klinis IBD3
Karena PC merupakan proses transmural, adhesi serosa akan terjadi
dan memicu pembentukan fistula dan menurunkan insiden terjadinya perforasi
bebas. Perforasi yang terjadi biasanya hanya di ileum dan terkadang di
yeyunum sebagai komplikasi dari megatoksik kolon. Komplikasi lainnya yang
disebabkan oleh PC adalah obstruksi intestinal, perdarahan massif,
malabsorpsi, dan penyakit perianal yang berat.1
Tabel 7. Perbedaan KU dan PC Berdasarkan Penemuan Radiografik

2.1.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yaitu rencana
diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional.3
Rencana Diagnostik
Secara praktis, alur proses diagnosis IBD didasarkan kepada: (1)
anamnesis yang akurat, adanya perjalanan penyakit yang akut diserai
eksaserbasi kronik-remisi, diare, kadang berdarah, nyeri perut, serta adanya
riwayat dalam keluarga; (2) gambaran klinis yang sesuai; (3) data
laboratorium yang menyingkirkan penyebab inflamasi lain, terutama di
Indonesia adanya infeksi gastrointestinal. Ekslusi penyakit TB sanga penting
meningat gambaran klinisnya mirip dengan PC. (4) Temuan endoskopik yang
karakteristik dan didukung konfirmasi histopatologik; (5) temuan gambaran
radiologic yang khas; (6) pemantauan perjalanan klinik pasien yang bersifat
akut-remisi-eksaserbasi kronik.2,3

Gambar 7. Alur Proses Diagnosis IBD

Pada pemeriksaan laboratorium, tidak terdapat parameter yang spesifik


untuk menegakkan diagnosa IBD. Umumnya, parameter yang digunakan
hanyalah parameter penanda inflamasi seperti laju endap darah (LED) atau C-
reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP berkorelasi positif dengan
aktivitas penyakit dan dengan penanda inflamasi lainnya sesuai dengan indeks
aktivitas PC. Peningkatan kadar CRP > 45 mg/L pada pasien IBD dapat
membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlu atau tidaknya dilakukan
kolektomi. Pemeriksaan kultur tinja dapat juga dilakukan unutk menilai
peradangan tersebut disebabkan oleh infeksi atau tidak terutama C. difficile.1,3
Sesuai dengan patogenesisnya yang juga melibatkan genetik individu
tersebut, pemeriksaan serologi untuk menegakkan diagnosa IBD juga dapat
membantu dan juga membedakan antara KU dan PC. Pemeriksaan serologi
tersebut adalah dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil
cytoplasmic antibody) untuk pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae
antibody (ASCA) untuk pasien PC. Kadar p-ANCA ditemukan pada 50-67%
kasus KU meski juga ditemukan 6-15% kasus PC. ASCA lebih sering
dijumpai pada PC, yaitu 40-60%, dan hanya 4-14% ditemukan pada pasien
KU. Namun, pemeriksaan serologi ini tidak terlalu sensitif dalam menegakkan
diagnosa IBD sehingga tidak dapat dijadikan modalitas diagnostik tunggal.
Meskipun begitu, kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA dapat
membantu meningkatkan spesifisitas hingga lebih dari 90%. Untuk KU, pola
kombinasi yang seharusnya ditemukan adalah ASCA (-) / p-ANCA (+),
sedangkan untuk PC, pola kombinasinya adalah ASCA (+) / p-ANCA (-).
Untuk pemantauan terapi, kedua pemeriksaan ini tidak dianjurkan karena
kadarnya akan tetap tinggi setelah terapi.3,5
Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting dalam penegakkan
diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik 89%. Pemeriksaan
endoskopi yang disarankan juga dsertai pemeriksaan histopatologi sediaan
biopsi. Pemeriksaan lain dapat menggunakan CT-Scan dan MRI untuk melihat
perluasan penyakit tersebut.

Rencana Terapeutik
Fokus utama rencana terapeutik adalah menghambat proses inflamasi.
Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD
dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang
dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta
mencegah komplikasi.3,4
Pada fasilitas pelayanan lini kesehatan primer perlu memperhatikan
tujuan umum rencana terapeutik jika mendapatkan pasien dengan gejala yang
mengarah ke IBD (Gambar 8, 9).3
Gambar 8. Rencana Terapeutik KU di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama3

Gambar 9. Rencana Terapeutik PC di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama3

Pengobatan Umum
Oleh karena IBD diduga memiliki faktor/agen proinflamasi dalam bentuk
bakteri intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat
mencetuskan proses inflamasi kronik pada individu yang rentan, maka
beberapa tindakan perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Tindakan tersebut
antara lain:
1. Pemberian antibiotik/kemoterapeutik. Metronidazole dengan dosis 1500 –
3000 mg/hari dikatakan bermanfaat pada PC dalam menurunkan derajat
aktivitas penyakitnya. Pada KU jarang diberikan antibiotik sebagai agen
anti inflamasi.
2. Lavase usus, dapat dengan cairan fisiologis maupun eksperimen dengan
sukralfat cair.
3. Mengingat produksi bakteri, dikatakan berbagi jenis probiotik memiliki
peran dalam terapi IBD.
4. Mengistirahatkan kerja usus, dan/atau dengan perubahan pola diet.
Makanan yang harus dihindari adalah makanan yang sulit dicerna seperti
gandum, sereal, yeast, dan produk peternakan. Konstituen yang bersifat
antioksidan juga dikatakan memiliki manfaat pada kasus IBD seperti
glutamin dan asam lemak rantai pendek.

Pengobatan Peradangan Aktif


Terapi pada IBD sangat berkembang dengan pesat. Terdapat dua golongan
obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD yang bertujuan
menginduksi remisi secepat mungkin, yaitu kortikosteroid dan asam amino
salisilat. Berikut merupakan pembahasan masing-masing golongan:
 Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat
pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif.
Pemilihan obat steroid konvesional seperti prednisone, metilprednisolon,
ataupun steroid enema masih menjadi pilihan karena harga yang murah
dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah setara 40-60 mg
prednisone. Pada umumnya, preparat yang digunakan sekarang ini
adalah budesonide. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8-12 minggu
yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis (tapering off) 10
mg/minggu hingga tercapai 40 mg atau 5 mg/minggu hingga tercapai 20
mg, kemudian di tapering off 2.5 mg/minggu.2,10
 Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih
digunakan daripada preparat sulfasalazine karena efek sampingnya yang
lebih kecil dengan efektivitas obat relatif sama. Di Indonesia, sediaan 5-
ASA adalah tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis untuk mencapai remisi
adalah 2-4 gram/hari, meski beberapa literatur menuliskan minimal dosis
adalah 3 gram/hari. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 16-24 minggu
yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan atau maintenance.
Dosis maintenance adalah 1.5-3 gram/hari. Untuk kasus-kasus usus
bagian kiri atau distal, dapat diberikan secara supositoria atau enema,
sedangkan pada kasus berat biasanya tidak cukup hanya diberikan
preparat 5-ASA.2,10

Pengobatan Pencegahan Peradangan Berulang


Untuk encegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan masa
remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat
individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan
obat-obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan
probiotik.

 Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat
merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial
azatrioprin adalah 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu
dinaikkan bertahap 2.5 mg/kgBB. Umumnya, efek terapeutik dapat
tercapai dalam 2-3 bulan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
mual, dyspepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga pankreatitis.
Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus
akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50-80%. Efek
samping yang sering dilapotkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi
oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang
efektif untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk
mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg yang diberikan
secara intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering
off steroid.2,10

 Agen Baru
Obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen biologic banyak
digunakan pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki anti-tumor
necrosing factor (anti-TNF). Biasanya diberikan pada kasus PC
fistulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi ACCENT I dan II
yang meneliti dosis infliksimab sebagai pemeliharaan pada PC
mengatakan bahwa dosis infliksimab efektif pada 5-10 mg/kgBB selama
8 minggu.2
Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6)
sebagai salah satu sitokin proinflamasi. Penggunaan tocolizumab,
menunjukkan adanya respons klinis sebesar 70% setelah 6 minggu.
Beberapa agen aru lainnya seperti G-CSF (filgrastim) dan GM-CSF
(sargramostim) masih diteliti karena meski menjanjikan, namun
mekanisme kerja kedua obat tersebut masih belum jelas.2
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory bowel disease. Dalam: Harrison’s principles


of internal medicine; edisi ke-20. McGraw Hill Education: 2018; h. 2258-69.
2. Firmansyah MA. Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan inflammatory
bowel disease. CDK; 40: h.247-51.
3. Kelompok Studi Infl ammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan infl ammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2011.
4. Matsuoka K, Kobayashi T, Ueno F, dkk. Evidence-based clinical practice guidelines
for inflammatory bowel disease. J Gastroenterol. 2018; 53: p. 305-53.
5. Bossuyt X. Serologic markers in infl ammatory bowel disease. Clinical Chem
2006;52(2):171-81.
6. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships
between infl ammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and
paternal disease are related to preterm birth off spring. Infl amm Bowel Dis 2010;
16(5): 847-55.
7. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of
syndecans in tissue injury and infl ammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.
8. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium
sufate-induced colitis in syndecan-1-defi cient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57.
9. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in infl
ammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci.
1999;44:2508-15.
10. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SPL, dkk. Guidelines for the management of
inflammatory bowel disease in adults. Gut. 2004; 53: p. v1-6.

Anda mungkin juga menyukai