Anda di halaman 1dari 25

Konsep Dasar Penyakit

A. Definisi
Demam dengue/DHF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemoragic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diastesis
haemoragic (Nursalam, 2012).
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan
oleh arbovirus (arthropodbom virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes (Aedes albopictus dan Aedes aegypti) (Suddart, 2013).
Demam berdarah dengue adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oleh 4 tipe serotipe virus dengue dan ditandai dengan 4 gejala klinis utama yaitu
demam yang tinggi, manisfestasi perdarahan, hepatomegali dan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai timbulnya rejatan (sindrom rejatan dengue) sebagai
akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan kematian (Mansjoer,
2007).

B. Etiologi
1. Virus dengue
Deman dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 mm terdiri dari asam
aribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106. Terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue dan demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotip terbanyak
(Nursalam, 2012).
Virus Dengue merupakan keluarga flaviviridae dengan empat serotip
(DEN 1, 2, 3, 4). Terdiri dari genom RNA stranded yang dikelilingi oleh
nukleokapsid. Virus Dengue memerlukan asam nukleat untuk bereplikasi,
sehingga mengganggu sintesis protein sel pejamu. Kapasitas virus untuk
mengakibatkan penyakit pada pejamu disebut virulensi. Virulensi virus
berperan melalui kemampuan virus untuk menginfeksi lebih banyak sel,
membentuk virus progenik, menyebabkan reaksi inflamasi hebat, menghindari
respon imun mekanisme efektor.

2. Vector
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor
yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis
dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan
berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe jenis yang lainnya (Nursalam, 2012).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui
gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada
genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam
rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang –
lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air
bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai
menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari
dan senja hari (Nursalam, 2012).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka
ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga
ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun
virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika
seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu
mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula
terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya
jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta
(Mansjoer, 2007).

C. Klasifikasi
WHO mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4
golongan, yaitu :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari,
Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
2. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan
seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
3. Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (
>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah menurun,
4. Derajat IV
Nadi tidak teaba, tekanan darah tidak teatur ( denyut jantung ³ 140x/mnt )
anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru (Mansjoer,
2007).
D. Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan
viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat pengatur suhu di
hipotalamus sehingga menyebabkan ( pelepasan zat bradikinin, serotinin,
trombin, Histamin) terjadinya: peningkatan suhu. Selain itu viremia menyebabkan
pelebaran pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan perpindahan cairan
dan plasma dari intravascular ke intersisiel yang menyebabkan hipovolemia.
Trombositopenia dapat terjadi akibat dari, penurunan produksi trombosit sebagai
reaksi dari antibodi melawan virus (Murwani, 2012).
Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan baik kulit
seperti petekia atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini mengakibatkan adanya
kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme hemostatis secara
normal. Hal tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan jika tidak tertangani
maka akan menimbulkan syok. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-
8 hari (Murwani, 2012).
Menurut Nursalam (2012) virus akan masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk aedes aeygypty. Pertama tama yang terjadi adalah viremia yang
mengakibatkan penderita menalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot pegal
pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik bintik merah pada kulit, hiperemia
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati (hepatomegali). Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan
terbentuklah kompleks virus antibodi. Dalam sirkulasi dan akan mengativasi
sistem komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan akan di lepas C3a dan C5a
dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator
kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah
yang mengakibtkan terjadinya pembesaran plasma ke ruang ekstraseluler.
Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler mengakibatkan kekurangan volume
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan
renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningatan hematokrit >20%) menunjukan atau
menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga nilai hematokrit
menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena (Noersalam, 2005).
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler di buktikan dengan
ditemukan cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium,
pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan
melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit
menunjukan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena
harus di kurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru
dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita
akan mengalami kekurangan cairan yang akan mengakibatkan kondisi yang buruk
bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lam
akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak
segera diatasi dengan baik (Corwin, 2014).
Infeksi virus Antibodi Pengeluaran ↑ permeabilitas dinding pembuluh
dengue bereaksi histamin darah dan ↓ faktor koagulasi

Dengue hemoragik fever Trombosit ↓

Simtomatik Asimtomatik

Reaksi antigen-antibodi Kehilangan cairan


berlebih

Reaksi inflamasi
virus dengue Kurang vol. cairan Resiko syok
hipovolemik

Demam

Ganggaun Perdarahan di bawah


termoregulasi kulit (petekie)
Muntah

Hipertermi Petekie, Ekimosis,


a melena, hematemesis
Nafsu makan
menurun
Perdarahan

Perub. Nutrisi
kurang dari Gangguan integritas
kebutuhan kulit

Sumber : Corwin, J. E. (2014). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


E. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara


head to toe. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF, keadaan fisik anak adalah :
a. Keadaan umum
 Grade I : kesadaran komposmentis, keadaan umum lemah, tanda-tanda
vital lemah
 Grade II : kesadaran komposmentis, keadaan umum lemah, nadi lemah
dan kecil serta tidak teratur
 Grade III : kesadaran apatis, keadaan umum lemah, nadi lemah dan
kecil serta tidak teratur, tensi menurun
 Grade IV : kesadaran koma, nadi tidak teraba, tensi tidak teratur
b. Kepala dan leher
Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam, mata
anemis, hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis)  pada grade
II, III, IV. Pada mulut didapatkan mukosa kering, terjadi perdarahan guzi,
dan nyeri saat menelan grade I, II, III, IV. Sementara tenggorokan
mengalami hiperemia pharing dan terjadi perdarahan telinga  pada
grade II, III, IV.
c. Kuku
adanya sianosis/ tidak
d. Dada
Bentuk dada (simetris/tidak), pada fotothorax terdapat cairan yang
tertimbun pada paru (efusi pleura), Rales +, Ronchi +  pada grade III,
IV.
e. Abdomen
Adanya nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali) dan asites
f. Ekstremitas
akral dingin, serta terjadinya nyeri sendi, otot, tulang.
F. Manifestasi Klinis
1. Demam : demam tinggi timbul mendadak, terus menerus, berlangsung dua
sampai tujuh hari turun secara cepat menuju suhu normal atau lebih rendah.
Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala-gejala klinik yang tidak
spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung, nyeri tulang dan persediaan,
nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya.
2. Perdarahan: perdarahan disini terjadi akibat berkurangnya trombosit
(trombositopeni) serta gangguan fungsi dari trombosit sendiri akibat
metamorfosis trombosit. Perdarahan dapat terjadi di semua organ yang
berupa:
a. Uji torniquet positif
Tes tourniquet (Rumpel-Lende)/ tes kerapuhan kapiler merupakan metode
diagnostik klinis untuk menentukan kecenderungan perdarahan pada
pasien. Penilaian kerapuhan dinding kapiler digunakan untuk
mengidentifikasi trombositopinia. Metode ini merupakan syarat diagnosis
DBD menurut WHO. Langkah tes torniquet (Mansjoer, 2007):
 Pra Analitik
1) Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapan khusus
2) Prinsip : Membuat kapiler anoksia dengan membendung daerah
vena. Dengan terjadinya anoksia dan penambahan tekanan internal
akan terlihat kemampuan kapiler bertahan. Jika ketahanan kapiler
turun akan timbul petechie dikulit
3) Alat bahan : tensimeter, stetoskop, timer, spidol
 Analitik
1) Pasang manset tensimeter pada lengan atas. Tentukan tekanan
sistolik (TS) dan tekanan diastolik (TD)
2) Buat lingkaran pada volar lengan bawah dengan radius 3cm,
3) Pasang lagi tensimeter dan buatlah tekanan sebesar ½ x (TS+TD),
pertahankan tekanan ini selama 5 menit.
4) Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya petechie dalam
lingkaran yang dibuat
 Post Analitik
1) < 10 : normal/negatif
2) 10-20 : dubia (ragu-ragu)
3) >20 : abnormal (positif)

b. Ptekie, purpura, echymosis dan perdarahan konjungtiva


c. Epistaksis dan perdarahan gusi
d. Hematemesis, melena
e. Hematuri
3. Hepatomegali :
a. Biasanya dijumpai pada awal penyakit
b. Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
c. Nyeri tekan pada daerah ulu hati
d. Tanpa diikuti dengan ikterus
e. Pembesaran ini diduga berkaitan dengan strain serotipe virus dengue
4. Syok : Yang dikenal dengan DSS , disebabkan oleh karena : Perdarahan dan
kebocoran plasma didaerah intravaskuler melalui kapiler yang rusak.
Sedangkan tanda-tanda syok adalah:
a. Kulit dingin, lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki
b. Gelisah dan Sianosis disekitar mulut
c. Nadi cepat, lemah , kecil sampai tidak teraba
d. Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau
kurang dari 80 mmHg)
e. Tekanan nadi menurun (sampai 20mmHg atau kurang)
5. Trombositopeni: Jumlah trombosit dibawah 150.000 /mm3 yang biasanya
terjadi pada hari ke tiga sampai ke tujuh.
6. Hemokonsentrasi : Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator
kemungkinan terjadinya syok.
7. Gejala-gejala lain :
a. Anoreksi , mual muntah, sakit perut, diare atau konstipasi serta kejang.
b. Penurunan kesadaran (Murwani, 2012)

G. Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang
tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia,
atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat
ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus
dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan pula bahwa keadaan
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut (Mansjoer, 2007).
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila
syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung
HC03- dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer
dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3.
Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap
8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid
tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K
intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg.
Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa.
Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat.
Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan
asam amino rantai pendek (Murwani, 2012).
2. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom
uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka
setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam.
Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan
telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering
kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai penurunan jumlah urin dan
peningkatan kadar ureum dan kreatinin (Mansjoer, 2007).
3. Edema paru
Edem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan udem paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto rontgen dada (Mansjoer,
2007).
Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin
beratnya bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock
syndrome. Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah sebagai
berikut: dehidrasi, pendarahan, jumlah platelet yang rendah, hipotensi,
bradikardi, kerusakan hati.

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Labolatorium
a. Hb dan PCV meningkat ( ³ 20% )
b. Leukopeni ( mungkin normal atau lekositosis )
c. Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
d. Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam
atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal
hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.
e. Hemokonsentrasi yaitu terjadi peningkatan nilai hematokrit > 20 %.
Meningginya hematokrit sangat berhubungan dengan beratnya renjatan.
Hemokonsentrasi selalu mendahului perubahan tekanan darah dan nadi,
oleh kerena itu pemeriksan hematokrit secara berkala dapat menentukan
sat yang tepat penghentian pemberian cairan atau darah.
f. Trombositopenia, akan terjadi penurunan trombosit sampai dibawah
100.000 mm3
g. Sediaan hapusan darah tepi, terdapat fragmentosit, yang menandakan
terjadinya hemolisis
h. Sumsum tulang, terdapatnya hipoplasi sistem eritropoetik disertai
hiperplasi sistem RE dan terdapatnya makrofag dengan fagositosis dari
bermacam jenis sel
i. Elektrolit, : hiponatremi (135 mEq/l). terjadi hiponatremi karena adanya
kebocoran plasma,anoreksia, keluarnya keringat, muntah dan intake yang
kurang
j. Hiperkalemi , asidosis metabolic
k. Tekanan onkotik koloid menurun, protein plasma menurun, Serum
transaminasi meningkat.

I. Penatalaksanaan
1. Indikasi rawat tinggal
a. Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang
) atau kejang-kejang.
b. Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif /
negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
c. Panas disertai perdarahan
d. Panas disertai renjatan (Mansjoer, 2007).
2. Fase Demam
Hiperpireksia dapat diberikan kompres es dikepala, ketiak, inguinal. Bila
cairan oral tidak dapat diberikan karena tidak mau minum, muntah atau nyeri
perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, namun antipiretik tidak dapat
mengurangi lama demam pada DBD (Murwani, 2012).
3. Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Cairan
intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau
minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila
terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena
bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume
dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare
ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%)
(Murwani, 2012).
4. Syok Sindrom Dengue
a. Penggantian volume segera
1) Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB.
Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak
dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur
10 mm/kg BB/jam.
2) Bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan
koloid. Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan
kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam.
3) Bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan.
4) Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih
menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi
perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar.
5) Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/
24 jam.
6) Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap
sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.
7) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume
Plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam
(Murwani, 2012).
b. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada
DBD berat.
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

1. Pengkajian
a. Identitas
Pasien : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, status
perkawinan, alamat, dll.
Penanggung : nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, pendidikan,
status perkawinan, dll.
b. Keluhan Utama
Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri hulu hati, mual dan
nafsu makan menurun.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal
seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu
makan menurun
d. Riwayat penyakit terdahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada keluarga yang lain sangat
menentukan karena DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegepty.
f. Riwayat kesehatan lingkungan
Biasanya lingkungan yang kurang bersih, banyak genangan air bersih
seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung, dll.
g. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi secara
head to toe.
h. Pemeriksaan yang lain (per sistem)
a) Sistem pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernafasan dangkal, epistaksis,
pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar
ronchi/ krakels.
b) Sistem kardiovaskuler
Pada grade I padat terjadi hemokonsentrasi, uji torniquet +,
trombositopeni pada grade III, dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi
cepat-lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari,
pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
c) Sistem persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran.
d) Nutrisi
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, penurunan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri saat menelan.
e) Sistem pencernaan
Nyeri tekan pada epigastrik, pembesaran limpa, pembesaran hati,
abdomen teregang, dapat hematemesis/ melena.
f) Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/ jam, nyeri saat
kencing, kencing berwarna merah.
g) Sistem integumen
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering pada grade I, terdapat
hasil + pada uji torniquet, terjadi ptekie, pada grade III dapat terjadi
perdarahan spontan pada kulit
h) Aktivitas
Kelelahan, kelemahan, ketidakmampuan melaksanakan aktivitas.
i) Sirkulasi
Terjadi gangguan sirkulasi : membran mukosa pucat
j) Integritas ego
Adanya perasaan tidak berdaya, menangis, ansietas.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi b.d dehidrasi, penyakit, peningkatan laju metabolism d.d gelisah,
kulit kemerahan, takikardia, takipnea, kulit terasa hangat.
2. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme
regulasi d.d haus, kelemahan, kulit kering, membrane mukosa kering,
peningkatan frekuensi nadi, peningkatan hematocrit, peningkatan suhu tubuh,
penurunan tekanan darah, penurunan turgor kulit, perubahan status mental.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor biologis,
kurang asupan makanan d.d bising usus hiperaktif, cepat kenyang setelah
makan, membrane mukosa pucat, nyeri abdomen, sariawan rogga mulut.
4. Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi, keletihan d.d bradipnea,
dyspnea, fase ekspansi memanjang, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan cuping hidung, pola nafas abnormal.
5. Resiko syok b.d hypovolemia, infeksi, sepsis (NANDA, 2015-2017).

C. Rencana Keperawatan

No Diagnose Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan


1 Hipertermi b.d dehidrasi, Setelah dilakukan asuhan NIC :Fever treatment
penyakit, peningkatan laju keperawatan selama x jam a. Monitor suhu sesering mungkin
metabolism d.d gelisah, diharapkan suhu tubuh kembali b. Monitor IWL
kulit kemerahan, normal dengan kriteria hasil: c. Monitor warna dan suhu kulit
takikardia, takipnea, kulit NOC : Thermoregulation d. Monitor tekanan darah, nadi dan
terasa hangat. Kriteria Hasil : RR
a. Suhu tubuh dalam rentang e. Monitor penurunan tingkat
normal kesadaran
b. Nadi dan RR dalam rentang f. Monitor WBC, Hb, dan Hct
normal g. Monitor intake dan output
c. Tidak ada perubahan warna h. Berikan anti piretik
kulit dan tidak ada pusing i. Berikan pengobatan untuk
mengatasi penyebab demam
j. Kompres pasien pada lipat paha
dan aksila
Temperature regulation
a. Monitor tanda-tanda hipertermi
dan hipotermi
b. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi
c. Selimuti pasien untuk mencegah
hilangnya kehangatan tubuh
Vital sign Monitoring
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b. Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
c. Monitor pola pernapasan
abnormal
d. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
2. Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan asuhan NIC : Fluid management
b.d kehilangan cairan aktif, keperawatan selama x jam a. Pertahankan catatan intake dan
kegagalan mekanisme diharapkan caian tubuh kembali output yang akurat
regulasi d.d haus, normal dengan kriteria hasil: b. Monitor status hidrasi (
kelemahan, kulit kering, NOC: kelembaban membran mukosa,
membrane mukosa kering, a. Fluid balance nadi adekuat, tekanan darah
peningkatan frekuensi nadi, b. Hydration ortostatik ), jika diperlukan
peningkatan hematocrit, c. Nutritional Status : Food and c. Monitor hasil lab yang sesuai
peningkatan suhu tubuh, Fluid Intake dengan retensi cairan (BUN ,
penurunan tekanan darah, Kriteria Hasil : Hmt , osmolalitas urin )
penurunan turgor kulit, a. Mempertahankan urine output d. Monitor vital sign
perubahan status mental. sesuai dengan usia dan BB, BJ e. Monitor masukan makanan /
urine normal, HT normal cairan dan hitung intake kalori
b. Tekanan darah, nadi, suhu harian
tubuh dalam batas normal f. Monitor status nutrisi
c. Tidak ada tanda tanda g. Berikan cairan
dehidrasi, Elastisitas turgor h. Berikan cairan IV pada suhu
kulit baik, membran mukosa ruangan
lembab, tidak ada rasa haus i. Dorong masukan oral
yang berlebihan j. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
3. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan asuhan NIC :
kurang dari kebutuhan keperawatan selama x jam Nutrition Management
tubuh b.d factor biologis, diharapkan nutrisi tubuh dapat a. Kaji adanya alergi makanan
kurang asupan makanan terpenuhi dengan kriteria hasil: b. Monitor jumlah nutrisi dan
d.d bising usus hiperaktif, NOC : kandungan kalori
cepat kenyang setelah a. Nutritional Status : food and c. Anjurkan pasien untuk
makan, membrane mukosa Fluid Intake meningkatkan intake Fe
pucat, nyeri abdomen, b. Nutritional Status : nutrient d. Anjurkan pasien untuk
sariawan rogga mulut. Intake meningkatkan protein dan
c. Weight control vitamin C
Kriteria Hasil : e. Berikan makanan yang terpilih (
a. Adanya peningkatan berat sudah dikonsultasikan dengan
badan sesuai dengan tujuan ahli gizi)
b. Berat badan ideal sesuai f. Ajarkan pasien bagaimana
dengan tinggi badan membuat catatan makanan
c. Mampumengidentifikasi harian.
kebutuhan nutrisi g. Kolaborasi dengan ahli gizi
d. Tidak ada tanda tanda untuk menentukan jumlah kalori
malnutrisi dan nutrisi yang dibutuhkan
e. Menunjukkan peningkatan pasien.
fungsi pengecapan dari Nutrition Monitoring
menelan a. BB pasien dalam batas normal
f. Tidak terjadi penurunan berat b. Monitor adanya penurunan berat
badan yang berarti badan
c. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa dilakukan
d. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
e. Monitor turgor kulit
f. Monitor kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
g. Monitor mual dan muntah
h. Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
i. Monitor makanan kesukaan
j. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
k. Monitor kalori dan intake
nuntrisi

4. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan asuhan a. Posisikan pasien untuk


b.d hiperventilasi, keperawatan selama x jam memaksimalkan ventilasi
keletihan d.d bradipnea, diharapkan pola nafas kemali b. Identifikasi pasien perlunya
dyspnea, fase ekspansi normal dengan kriteria hasil: pemasangan alat jalan nafas
memanjang, penggunaan NOC: buatan
otot bantu pernafasan, a. Respiratory status: ventilation c. Lakukan fisioterapi dada jika
pernafasan cuping hidung, b. Respiratory status: airway perlu
pola nafas abnormal. patency d. Keluarkan sekret dengan batuk
c. Vital sign status atau suction
Kriteria hasil: e. Auskultasi suara nafas, catat
a. Mendemonstrasikan batuk adanya suara tambahan
efektif dan suara nafas yang f. Atur intake untuk cairan
bersih mengoptimalkan keseimbangan.
b. Menunjukkan jalan nafas yang g. Monitor respirasi dan status O2
paten h. Bersihkan mulut, hidung dan
c. Vital sign dalam batas normal secret trakea
i. Pertahankan jalan nafas yang
paten
j. Onservasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
k. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
5. Resiko syok b.d Setelah dilakukan asuhan a. Monitor tanda dan gejala adanya
hypovolemia, infeksi, keperawatan selama x jam perdarahan yang persisten
sepsis diharapkan syok tidak terjadi b. Catat nilai Hb dan HT sebelum
dengan kriteria hasil: dan sesudah kehilangan darah
Kriteria hasil: c. Berikan produk darah sesuai
a. Vital sign dalam batas normal. instruksi (platelet or fresh frozen
b. Natrium seum, kalium serum, plasma)
kalsium serum, magnesium d. Cegah kehilangan darah dengan
serum dalam batas normal. menekan sisi perdarahan
c. Hematocrit dalam batas e. Monitor TTV, tekanan darah
normal. ortostatik, status mental dan
urine output
f. Berikan cairan IV kristaloid
sesuai dengan kebutuhan (NaCl
0,9%; RL; D5%W)
g. Monitor frekuensi jantung fetal
(bradikardia bila HR <110
kali/menit) atau (takikardia bila
HR >160 kali per menit)
berlangsung lebih lama dari 10
menit
h. Monitor tanda dan gejala gagal
nafas (rendahnya PaO2,
peningkatan PCO2, kelumpuhan
otot pernafasan)
i. Monitor kadar glukosa darah dan
tangani bila ada abnormalitas
j. Monitor fungsi ginjal (nilai BUN
dan creatinin)
k. Lakukan pemasangan kateter
urinaria
(Gloria M. Bulechek, 2013 ; Soe M. Marion J. Meridean, 2013)

D. Implementasi
Tindakan keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang
diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Intervensi dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang
diharapkan. Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas.
Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya
memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat
dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan kolaboratif
yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.
E. Evaluasi
1. Diagnose 1:
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing
2. Diagnose 2:
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal
b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
3. Diagnose 3:
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Mampumengidentifikasi kebutuhan nutrisi
d. Tidak ada tanda tanda malnutrisi
e. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
f. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
4. Diagnosa 4:
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten
c. Vital sign dalam batas normal
5. Diagnosa 5:
a. Vital sign dalam batas normal.
b. Natrium seum, kalium serum, kalsium serum, magnesium serum dalam
batas normal.
c. Hematocrit dalam batas normal.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, J. E. (2014). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Gloria M. Bulechek, H. K. (2013). Nursing Interventions Clasification (NIC).


Philadelphia: Elsevier Global Rights.

Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media


Aesculapius.

Murwani, A. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Imunitas. Jakarta: Salemba


Medika.

NANDA. (2015-2017). Diagnosis Keperawatan : Definisi & Klasifikasi. Jakarta:


EGC.

Nursalam, D. N. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan


Sistem Imunhematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Soe M. Marion J. Meridean, M. E. (2013). Nursing Outcomes Clasification (NOC).


Phildelphia: Elsevier Global Rights.

Suddart, B. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y.


Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai