PENDAHULUAN
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu kegaduhan politik.
2. Untuk mengetahui apa saja Undang-Undang yang membahas tentang
3. Untuk mengetahui kewajiban setiap warga negara untuk patuh pada
pemerintah.
4. Untuk mengetahui konsekuensi terhadap tindakan kekerasan yang
dilakukan di lingkungan bernegara.
5. Untuk mengetahui pencideraan demokrasi di dalam negara.
6. Untuk mengetahui penurunan indeks demokrasi di dalam negara.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Jika perbuatan yang dilakukan itu dapat membuat nama kita tercemar,
maka pelaku pencemaran dapat dipidana berdasarkan Pasal 317 KUHP:
4
kendaraan tetapi buktinya masih banyak saja yang belum patuh untuk
membayar pajak tersebut. Semua itu akan terealisasi jika kita sebagai
warga negara memiliki kesadaran masing-masing yang dengan di dukung
oleh infrastruktur jalan yang baik tentunya agar warga negara bisa
mengerti tujuan dari membayar pajak yang pada dasarnya dari kita oleh
kita untuk kita.
D. Konsekuensi Tindak Kekerasan
Kekerasan dan kejahatan adalah sebuah dampak atau akibat
semata, yang perlu digaris bawahi adalah latar belakang, apa yang berada
di balik terjadinya konflik dan kekerasan tersebut. Kekerasan bisa saja
terjadi disebabkan keadaan masyarakat yang berada di titik jenuh atas
pemerintahan yang berjalan saat ini. Permasalahan terjadi bersamaan di
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari
kemiskinan dan keadaan serba kekurangan sedang di sisi lain korupsi yang
dilakukan pejabat pemerintahan daerah hingga ke pusat, pendidikan yang
dikriminatif sehingga menimbulkan tindak kekerasan. Ketidakpekaan
pemerintah memperbaiki infrastruktur daerah, sebab tak jarang dijumpai
sekolah, jembatan dan jalur transportasi yang rusak karena tak terjamah
perbaikan meski telah lama dikeluhkan masyarakat. Dan banyak peristiwa
lain yang menjadikan masyarakat kehilangan orientasi hingga melakukan
hal yang tak seharusnya dilakukan, yakni komunikasi lewat bahasa
kekerasan.
Kekerasan dan kebrutalan saat ini telah menjadi isyarat untuk
berkomunikasi, kondisi ini ditunjang ketidak jelasan arah Negara, aparat
Negara yang korup, figur publik sering berbohong, sedangkan penguasa
(pemerintah) lebih mengagungkan citra. Selain itu, kemiskinan adalah
alasan yang paling kerap benar dan mendasar yang melatarbelakangi
terjadinya kekerasan di Indonesia itu sendiri. Bahkan disebutkan bahwa
budaya kemiskinan tersebutlah yang secara perlahan membentuk budaya
kekerasan. Penyebab kekerasan atau agresifitas yang terjasi di masyarakat
antara lain :
5
1. Sosial: frustasi serta terhambatnya upaya untuk mencapai
tujuan.
2. Situasi: ketidaknyamanan keadaan di masyarakat seperti
contohnya daerah yang kumuh, panas, gersang, dan serba
kekurangan serta keadaan dimana pemerintah kurang
memberikan respon yang baik terhadap aspirasi rakyat.
Terjadinya kekerasan menurut Prof. Franz Magnis Suseno
adalah akibat dari pengaruh globalisasi dan modernisasi serta
akumulasi kebencian dalam diri masyarakat, karena pemerintah
yang dianggap aparatur mengalami disfungsi.
3. Rendahnya kesadaran diri dan kesadaran kolektif serta
dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia) dalam setiap diri
masyarakat serta pemerintah sendiri.
4. Sumber daya: manusia dimanapun ia berada memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, jika sumber daya
yang ada memadai, maka ia akan merasa tercukupi, namun jika
tidak maka ia akan mencari dan mengambilnya dengan paksa,
sehingga terjadilah kekerasan tersebut.
5. Media massa: dalan hal ini televisi, radio ataupun koran.
Penelitian menunjukkan bahwa tayangan kekerasan yang
terjadi di masyarakat (anak-anak dsb) khususnya melalui
televisi memberikan inspirasi/contoh yang tidak baik bagi
masyarakat lainnya.
6. Kebudayaan: adanya tindak kekerasan yang kerap terjadi
menjadi tak lagi aneh dan telah familiar di telinga dan
kehidupan, sehingga jika terjadi maka telah dianggap biasa
sebab telah membudaya.
7. Kekerasan individu dan kelompok yang terjadi di masyarakat
merupakan imbas dari ekspresi kultural yang tersumbat.
6
makin semrawut dengan budaya kekerasan, hidup seluruh elemen
masyarakat tak ubahnya masyarakat primitif yang jauh dari civil society,
sehingga berlakulah hukum rimba yakni yang kuatlah (fisiknya) yang akan
bertahan. Pengaruh budaya kekerasan terhadap warga negara yaitu:
7
yang teramat jauh dari etika kemanusiaan. Ketiga, mereka memakai segala
upaya yang culas dan cenderung memakai kekerasan. Keempat, mereka
menunjukan sebuah indikasi untuk mengurangi partisipasi sipil untuk
mendapatkan kebebasan berpendapat dan berserikat.
Politikus yang sekurangnya memiliki salah satu ciri tersebut patut
diwaspadai, apalagi keempat ciri tadi melekat dalam satu sosok sentral.
Tentu ini merupakan ancaman yang nyata, politikus semacam itu perlu
dieliminasi dari sebuah percaturan kekuasaan. Apabila tanda muncul nyata
dalam manifestasi tindakan pada satu penguasa, besar kemungkinan
mereka akan memperalat pemilihan untuk menduduki sebuah kekuasaan
dalam durasi yang relatif lama.
Tentu kita harus memiliki kiat untuk menjauhkan dari politikus
diktator yang merusak dan merisak demokrasi. Strategi pengambil jarak
sebagaimana dilontarkan Nancy Bermeo. Sebuah partai politik secara
sadar menegasikan kader partai yang memiiki karakter otoriter. Basis
pendukung di lapisan masyarakat bawah perlu menjadi prioritas ditumpas
dengan penyetopan suplai finansial untuk membatasi gerakannya.
Menghindarkan diri dari sebuah koalisi dengan tokoh yang terkesan
diktator menjadi langkah yang perlu dilakukan.
Berbagai lapisan masyakat yang mendukung pemerintahan yang
demokratis tentu harus bahu membahu di setiap kesempatan. Ego diri dan
kelompok perlu disingkarkan di pojok ruang hati. Segala potensi dan daya
perlu digunakan untuk melawan figur otoriter dalam proses pemilihan
pemimpin. Segala kontribusi sekecil apapun perlu diapresiasi supaya
sistem politik jauh dari rongrongan kehancuran dari dalam diri bangsa.
(Fauzi, 2019)
F. Penurunan Indeks Demokrasi
Agaknya pertanyaan paling serius atas Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) yang selama ini dianggap menjadi ukuran kemajuan atau
kemunduran demokrasi di Indonesia ialah “di manakah gejala demokrasi
Indonesia itu ditemukan? Di pusatkah atau di daerah? Atau tersebar
dengan persentase tertentu?” Ini bukan sekadar pertanyaan metodologis.
8
Sebab ambiguitas dalam fokus itulah yang menyebabkan selama ini kita
seolah beroleh gambaran utuh tentang demokrasi Indonesia melalui IDI,
namun jika ditilik dari pendekatan metodologinya terdapat keterbatasan
yang menjelaskan aspek representasi data yang tidak terpenuhi.
Metodologi dikembangkan berdasarkan sebuah filosofi atau
paradigma. Saya setuju saja Aspek (kebebasan sipil, hak-hak politik dan
kelembagaan demokrasi) yang ditetapkan menjadi fokus yang kemudian
dikembangkan menjadi 11 variabel dan 28 indikator, meski saya ingin
sedikit penambahan selain pertanyaan-pertanyaan yang tertuang dalam
kerangka konsep penyusunan IDI. Misalnya ketika mempertanyakan
kelembagaan demokrasi khususnya birokrat dan legislatif daerah dalam
memroduksi perda, mestinya juga harus dilihat basisnya apa, yang
sekaligus akan menunjukkan kualitas perda itu sendiri. Misalnya, jika
sebuah perda dibuat untuk memenuhi kehendak UU yang sudah berusia
hampir satu dasawarsa, itu nilai skornya mestinya rendah dibanding
dengan perda yang dibuat tak lama setelah payung hukumnya (UU)
ditetapkan oleh DPR-RI.
Perda berkualitas yang mestinya juga berbobot nilai tinggi dalam
kerangka IDI ialah perda yang dilahirkan dengan sebuah pertimbangan
tuntutan organik lokal, demi kemaslahatan masyarakat, meski mungkin
masih belum ada payung hukumnya dalam bentuk UU. Itu harusnya
beroleh apresiasi yang tinggi. Jika fokus IDI hanya menyoroti daerah, dan
kemudian mengakumulasikannya secara nasional untuk mengklaim
fenomena demokrasi nasional, tanpa sedikit pun memasukkan fakta-fakta
demokrasi pada tingkat lembaga tinggi Negara dan segenap kementerian,
itu jelas menjadi sangat aneh.
Padahal kita tahu demokrasi Indonesia dibangun atas dasar obsesi
para elit untuk menjadi penguasa di balik sistem oligarki. Kita tahu
Indonesia ini berotonomi daerah namun tahun demi tahun belakangan
menjadi semakin sentralistik karena pemerintah pusat menganggap
otonomi itu adalah hadiahnya kepada daerah. Itu salah kaprah, karena
9
otonomi daerah itu adalah jaminan konstitusi, tidak begitu tergantung
kepada rezim mana pun yang berkuasa.
Dalam implementasinya tidak ada wajah demokrasi dalam otonomi
daerah dalam kaitan hubungan pusat dan daerah termasuk soal pembagian
keuangan. Padahal kenyataannya berbeda. Untuk hal-hal buruk selalu
daerah yang dianggap sebagai biang. Misalnya terminologi politik “raja-
raja kecil di daerah” yang berkembang selama otonomi daerah
mencerminkan ketidak-jujuran. Opini Jakarta dibangun untuk
memperburuk image terhadap daerah. Tidak berhenti di situ, karena dalam
kebijakan penegakan hukum terhadap koruptor pun pada gilirannya pakem
baru pun dikembangkan, yakni daerah lebih korup daripada pusat. Ini
pemikiran sesat. Akhirnya demokrasi dalam persepsi yang digunakan oleh
IDI itu sejatinya harus dianggap hanya urusan daerah dan hanya fenomena
daerah. Tidak dapat dijadikan sebagai kerangka konsep dan konstruksi
yang menjelaskan Indonesia secara keseluruhan. Ambiguitas ini perlu
segera diakhiri.
Hal lain yang cukup serius ialah penghindaran IDI atas fenomena
ekonomi. Pertanyaannya, adakah demokrasi politik itu sesuatu yang lain,
tidak bersinggungan, dengan ekonomi? Jika demokrasi tak memiliki
kaitan, apalagi pengaruh, terhadap ekonomi, itu artinya masalahan dan
kesejahteraan rakyat banyak benar-benar diabaikan dalam penyusunan
IDI. Sebetulnya untuk apa demokratisasi ini jika rakyat tak beroleh alokasi
perhatian dan kebijakan untuk kesejahteraan dan keseriusan memerangi
kesenjangan yang mengakibatkan kemiskikan struktural diabadikan?
Karena itu diperlukan sebuah perumusan kembali agar IDI tidak sia-sia
dengan pembelanjaan yang besar. Orang-orang pintar Indonesia harus tahu
kebutuhannya, tak usah mengcopy paste keinginan dan dikte orang-orang
luar lagi. (Siregar, 2014)
G. Saran
Penulis berharap kedepannya kehidupan politik di negara kita
akan lebih baik, tanpa adanya konflik yang saling melumpuhkan satu sama
lain serta kehidupan negara nantinya akan berjalan dengan aman, damai,
10
dan adil serta mampu untuk menggambarkan apa itu nilai-nilai demokrasi.
Jangan dikarenakan berbeda pilihan lalu kita dapat kehilangan keluarga
atau teman, tapi jelilah terhadap berita atau asumsi yang kita dapat
sebelum membagikannya keberbagai media berdasarkan fakta atau data
yang komprehensif. Sesungguhnya perbedaan pilihan itulah bagian dari
demokrasi.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
90, L. (2012, Desember 18). Kompasiana. Diakses pada Oktober 13, 2019, dari
https://www.kompasiana.com/luwies90/551b1741a33311a621b65c63/budaya-
kekerasan-dan-pengaruhnya-terhadap-kehidupan-warga-negara
Fauzi. H. (2019, Mei 20). Kompasiana. Diakses pada Oktober 13, 2019, dari
https://www.kompasiana.com/harislana/5ce226d46b07c527ec4e3d35/merisak-
dan-merusak-demokrasi
13