Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

KEJANG DEMAM

Disusun oleh:
Kelompok 5
Emania Rizkiana (14.401.17.029)
Era Fazzira W A (14.401.17.030)
Erdiana Pratiwi (14.401.17.031)
Eva Oktaviani (14.401.17.032)
Ira Luvita Sari (14.401.17.042)

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-nya, kami telah
berhasil menyusun makalah tentang “Asuhan Keperawatan Anak dengan Kejang
Demam”. Makalah ini di buat untuk menunjang proses pembelajaran keperawatan.
Sesuai dengan kurikulum terbaru program D-III keperawatan, yaitu pembelajaran
berbasis kompetensi. Maka makalah ini diharapkan mampu menjadikan mahasiswa
untuk belajar dengan kurikulum terbaru sehingga lebih memudahkan mahasiswa untuk
mempelajari makalah ini.
Pada penulisan makalah ini kami menggunakan bahasa sederhana dan mudah
dimengerti sehingga dapat dengan mudah dicerna dan di ambil intisari dari materi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Makalah ini juga di harapkan dapat
digunakan oleh mahasiswa D-III keperawatan karena kami telah berusaha melengkapi
materi makalah sesuai dengan kebutuhan materi pembelajaran yang telah di
sempurnakan.
Demikian kami sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi
tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi tugas mata kuliah keperawatan anak.

Glenmore,17 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Tujuan .......................................................................................................................... 2
C. Manfaat ........................................................................................................................ 3
BAB II KONSEP PENYAKIT ............................................................................................... 4
A. Definisi ......................................................................................................................... 4
B. Etiologi ......................................................................................................................... 4
C. Manifestasi klinik ........................................................................................................ 5
D. Klasifikasi .................................................................................................................... 6
E. Patofisiologi ................................................................................................................. 7
F. Komplikasi ................................................................................................................. 10
G. Pemeriksaan penunjang ........................................................................................... 10
H. Penatalaksanaan medis/terapi ................................................................................. 12
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................. 16
A. Pengkajian ................................................................................................................. 16
B. Diagnosa keperawatan.............................................................................................. 21
C. Intervensi keperawatan ............................................................................................ 26
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 42
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 42
B. Saran .......................................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 43

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu tubuh mencapai > 38 ºC). Kejang demam merupakan tipe kejang yang paing
sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Kejang demam biasanya menyerang anak
usia dibawah 5 tahun, dengan insiden puncak yang terjadi pada anak usia antar 14
bulan dan 18 bulan. Bila kejang didahului oleh demam kurang dari 6 bulan dan
lebih dari 5 tahun, pikirkan kemunginan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disertai
penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati, kejang pada keadaan
ini memiliki prognosis yang berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai susunan saraf pusat (Kyle, 2014).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak yang berumur 6 bulan hingga 5 tahun.
80% kejang demam adalah kejang demam sederhana. Data kejadian kejang demam
Menurut WHO (World Health Organization), pada tahun 2012 kejang demam yang
berakibat epilepsi terdapat 80% di negara-negara miskin dan 3,5-10,7 tiap 1000
penduduk di negara maju. Sedangkan di Indonesia, kejang demam yang berakibat
epilepsi terdapat 900.000 sampai 1.800.000 penderita dan penanganannya pun
belum diprioritaskan dalam sistem kesehatan nasional (Kyle, 2014). Data kejang
demam di Indonesia masih terbatas, insiden dan factor predileksi kejang demam di
Indonesia sama dengan negara lain. kira-kira 1-3 anak dengan kejang demam
pernah mempunyai riwayat kejang demam sebelumnya, dengan sekitar 75% terjadi
pada tahun yang sama dengan kejang demam pertama dan sekitar 90% terjadi pada
tahun berikutnya dengan kejang demam pertama. Angka kejadian kejang demma
di Jawa Timur mengalami peningkatan sejak tahun 2016 hingga 2018. Pada tahun
2016 terdapat 100 jiwa, tahun 2017 terdapat 104 jiwa, dan pada tahun 2018 terdapat
144 jiwa penderita kejang demam (Kakalang, 2016).

1
Kejang demam diawali dengan peningkatan suhu tubuh (> 38 ºC) serta
didukung oleh proses ekstrakranial maupun intrakranial. Pada kondisi demam,
kenaikan suhu 1º C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 hingga
15% serta kebutuhan oksigen meningkat 20%. Kenaikan suhu tubuh dapat
mengubah keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu yang relative
singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium yang mengakibatkan
lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini sangat besar sehingga dapat
menyebar keseluruh sel maupun ke membrane sel sekitarnya dengan bantuan
neurotransmitter sehingga timbul respon kejang. Kejang demam yang berlangsung
lama (kejang demam kompleks) dapat disertai apnea, peningkatan kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang dapat menyebabkan
hipoksemia serta hiperkapnia yang mengakibatkan klien sulit bernafas sehingga
terjadi gangguan pertukaran gas (Putri, 2019).
Prinsip penatalaksanaan pada anak dengan kejang demam terdiri dari 3 bagian
yang tergolong dalam penatalaksanaan medis yaitu saat kejang (diazepam dengan
dosis yang disesuaikan), setelah kejang (antikonvulsan intermitten (diazepam rektal
atau oral), antipiretik (paracetamol atau ibuprofen) dan antibiotik) dan bila terjadi
kejang berulang (asam valproate dan fenobarbital). Sedangkan untuk
penatalaksanaan non-medis diantaranya bersikap tenang saat anak mengalami
kejang, menjaga anak dari lingkungan yang dapat membahayakan saat kejang dan
edukasi kepada orang tua (Ismael, dkk, 2016).
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami tentang asuhan
keperawatan pada anak dengan kejang demam
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep asuhan keperawatan anak
dengan kejang demam

2
C. Manfaat
1. Bagi institusi pendidikan
Makalah ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan serta dapat
dijadikan sebagai bahan referensi, rujukan atau perbandingan bagi tenaga
kesehatan terutama perawat, khususnya mengenai asuhan keperawatan pada
anak dengan kejang demam
2. Bagi masyarakat
Makalah ini diharapkan mampu menjadikan masyarakat agar lebih mendukung
serta mengaplikasikan penanganan kejang demam pada anak dengan tepat
3. Bagi mahasiswa
Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan dan informasi serta agar
mahasiswa dapat menerapkan kemudian mendokumentasikan asuhan
keperawatan yang komprehensif pada anak dengan kejang demam secara baik
dan benar

3
BAB II

KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu ± 38 ºC
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, biasanya terjadi pada usia 3
bulan sampai 5 tahun. Sedangkan untuk usia < 4 minggu dan pernah kejang tanpa
demam, tidak termasuk dalam kategori ini (Ridha, 2014). Kejang demam dapat
terjadi karena proses intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam dapat
terjadi pada 2-4% populasi anak umur 6 bulan hingga 5 tahun, namun paling sering
pada usia 17-23 bulan (Nurarif & Kusuma, 2016).
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat demam yang sering
disebabkan oleh proses ekstrakranial misalnya infeksi saluran pernafasan, telinga
ataupun saluran pencernaan (Lusia, 2015). Kejang demam (febrile convultion) atau
stuip atau step, adalah suatu kondisi ketika anak tidak dapat menahan serangan
demam pada suhu tertentu sehingga dapat merangsang kerja syaraf jaringan otak
secara berlebihan, sehingga jaringan otak kesulitan untuk mengkoordinasikan
persyarafan pada ekstremitas tubuh, khususnya lengan dan kaki, maka dari itu
timbul awitan kejang-kejang (Djamaludin, 2010).
Berdasarkan definisi di atas, kejang demam merupakan kejang yang
diakibatkan oleh peningkatan suhu tubuh melebihi 38º C yang disebabkan proses
ekstrakranial sehingga mengakibatkan otak mengalami gangguan untuk mengatur
koordinasi anggota gerak tubuh
B. Etiologi
Penyebab kejang demam sampai saai ini belum diketahui. Namun, kondisi ini
sering disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernafasan atas
(pharyngitis, tonsillitis), infeksi telinga (otitis media), infeksi saluran pencernaan
dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu muncul ketika suhu tubuh tinggi,

4
suhu yang tidak begitu tinggi juga dapat mengakibatkan kejang (Febri &
Marendra, 2010).
Sedangkan factor-faktor diduga lainnya yang dapat menyebabkan kejang
demam adalah :
1. Factor genetic
Factor genetic turut berperan dalam penyebab timbulnya kejang demam. 25-
50% anak dengan kejang pernah memiliki anggota keluarga yang pernah
mengalami kejang demam minimal sekali. Belum dapat dijelaskan secara pasti
bagaimana sifat pewarisan dari kejang demam (Deliana, 2015).
2. Gangguan metabolisme
Disebabkan oleh beberapa kondisi seperti hipoglikemia, gangguan elektrolit
(Na dan K) serta pasien dengan riwayat diare sebelumnya (Nurarif & Kusuma,
2016).
3. Trauma
Trauma dapat berupa perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler
(Nurarif & Kusuma, 2016).
4. Neoplasma, toksin
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapapun, hal ini
merupakan penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia pertengahan
dan ketika insiden neoplastic meningkat (Ridha, 2014).
5. Factor perinatal
Riwayat perinatal seperti asfiksia, usia kehamilan dan bayi dengan berat badan
lahir rendah diduga mempengaruhi munculnya kejang demam (Ridha, 2014).
6. Malformasi otak kongenital
Malformasi otak adalah perkembangan abnormal pada otak, misanya
disgenesis ataupun kelainan serebri yang diduga berperan terhadap kejadian
kejang demam (Nurarif & Kusuma, 2016).
C. Manifestasi klinik
Tanda-tanda kejang demam diantaranya adalah
1. Demam diatas 38º C

5
2. Sifat kejang menyentak atau kaku pada otot
3. Gerakan mata abnormal, yaitu berputar-putar atau mengarah ke atas
4. Warna kulit berubah menjadi pucat bahkan membiru serta akral menjadi dingin
5. Terjadi penurunan kesadaran sejenak saat kejang
6. Penurunan kontrol kandung kemih dan usus
7. Gigi terkatup, lidah dapat tergigit maupun berbalik arah dan muntah
8. Mengantung atau bingung setelah kejang dalam waktu yang singkat (Ridha,
2014).
D. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Ciri dari kejang ini adalah :
a. Kejang berlangsung singkat
b. Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
c. Tanpa gerakan fokal
d. Kejang tidak bersifat tonik klonik
e. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam (Ridha, 2014).
Selain itu terdapat manifestasi lain yang dapat dijadikan pedoman untuk kejang
demam, diantaranya adalah
a. Usia anak saat kejang antara 6 bulan hingga 4 tahun
b. Kejang hanya berlangsung tidak melebihi 15 menit
c. Kejang bersifat umum (tidak berpacu pada satu bagian tubuh saja)
d. Kejang muncul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum kejang maupun setelah kejang
tidak mengalami kelainan
f. Frekuensi kejang dalam kurun waktu setahun tidak melebihi 4 kali
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberikan reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit, anak
akan sadar tanpa kelainan saraf (Ismael, dkk, 2016).

6
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
a. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung > 15 menit atau kejang
berulang > 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam
b. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului
kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam, dan diantara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang
mengalami kejang demam
d. Ada kelainan neurologis sebelum maupun sesudah kejang (Ismael, dkk,
2016).
E. Patofisiologi
Dalam kondisi normal, membrane sel neuron dapat dilewati dengan mudah oleh
ion kalium dan sangat sulit untuk dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida. Oleh karena itu, ion kalium dalam sel neuron tinggi dan ion
natrium konsentrasinya rendah, sedang di luar sel neuron merupakan kebalikan
dari situasi tersebut. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam maupun
luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membrane. Untuk menjaga stabilisasi
keseimbangan potensial membrane, maka diperlukan energi serta bantuan enzim
dari NA-K ATP-ase yang ada pada permukaan sel
Keseimbangan potensial ini dapat berubah karena perubahan konsentrasi di ion
di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme,
kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membrane
penyakit sendiri diakibatkan penyakit atau keturunan. Pada kondisi demam,
kenaikan suhu 1º C akan mengakibatkan kenaikan metabolism basal 10 hingga
15% serta kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh daripada orang dewasa yang hanya mencapai
15%. Maka dari itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membrane sel neuron dan dalam waktu yang relative singkat terjadi difusi dari ion
kaium maupun ion natrium yang mengakibatkan lepasnya muatan listrik.

7
Lepasnya muatan listrik ini sangat besar sehingga dapat menyebar keseluruh sel
maupun ke membrane sel sekitarnya dengan bantuan neurotransmitter sehingga
timbul respon kejang. Kejang demam yang berlangsung lama umumnya disertai
apnea, peningkatan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
berakhir dengan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh
metabolism anaerob, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur
serta suhu tubuh meningkat yang dipengaruhi oleh semakin meningkatnya
aktivitas otot dan berakhir dengan peningkatan metabolism otak
Berbagai infeksi ekstrakranial seperti tonsillitis, otitits media akut, bronkitis
merupakan penyebab terbanyak terjadi kejang demam. Toksik yang dihasilkan
dari mikroorganisme dari infeksi tersebut mampu menyebar ke seluruh tubub
melalui hematogen dan limfogen. Penyebaran toksik tersebut akan direspon oleh
hipotalamus dengan meningkatkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda
bahwa tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Kenaikan pengaturan suhu tubuh
di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti
otot, kulit sehingga menimbulkan kontraksi otot. Akibat kenaikan suhu tersebut,
akan merangsang pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.
Peningkatan potensial inilah yang menstimulus perpindahan ion natrium dan
kalium secara cepat dari luar sel ke dalam sel. Peristiwa tersbeut yang diduga dapat
meningkatkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang
demam. Serangan cepat itulah yang menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas atau spasme otot pada bronkus sehingga anak rentan
mengalami cedera atau injuri, selain itu juga kelangsungan jalan nafas akan
terganggu akibat penutupan lidah dan spasme bronkus (Putri, 2019).

8
PATHWAY Infeksi intracranial maupun ekstrakranial
(Putri, 2019).
Proses inflamasi

Metabolism basal
10-20%
Aktivitas otot Disertai apnea
Perubahan difusi Na+
Suhu tubuh dan K+
Hipoksia
Hipertermi Pelepasan muatan listrik yg
meluas ke seluruh sel
Perfusi perifer
Kejang demam tidak efektif

KDS (penurunan kesadaran


KDK
saat kejang saja)

Suplai ke otak Keb. O2 dan energi untuk.


kontraksi otot skelet

Reflek menelan kesadaran Inkoordinasi otot lidah hipoksemia Keb oksigen

Res. Kerusakan sel Resiko cedera


Penumpukan sekret hiperkapnia
neuron otak RR meningkat

Resiko aspirasi Resiko perfusi serebral tdk Sesak nafas Pola nafas tdk efektif
efektif

9 Gx pertukaran
gas
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari kejang demam di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan (Putri, 2019).
2. Kerusakan jaringan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu
kejang menghasilkan glutamate yang mengikat reseptor M Metyl D Asparate
(MMDA) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang dapat
merusak sel neuron secara irreversible. Terjadi bila kejang demam
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) (Nurarif & Kusuma, 2016).
3. Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel ataupun membran sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron
(Putri, 2019).
4. Aspirasi
Hal ini diakibatkan oleh lidah yang jatuh ke belakang sehingga menyebabkan
obstruksi jalan nafas. Aspirasi pada jalan nafas menyebabkan kegawatan
pernafas yang berujung kematian, namun kejadian ini sangat kecil sekitar 0,63-
0,75% (Putri, 2019).
G. Pemeriksaan penunjang
Diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan
laboratorium, fungsi lumbal, elektroensefalografi dan pencitraan neurologis.
Pemelihan jenis pemeriksaan ini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan (Putri,
2019).

10
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan pada anak ini berguna untuk mencari etiologi dan
komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung
pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan
kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap dan
masa protombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin
pada kejang demam. Jika dicurigai adanya meningitis bacterial perlu dilakukan
pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal.
2. Fungsi lumbal
Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai
penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku
kuduk, gejala infeksi, peningkatan sel darah putih, paresis atau pada kasus
yang tidak didapatkan factor pencetus yang jelas. Fungsi lumbal dapat
dilakukan secara berulang dalam 48 jam atau 72 jam setelah fungsi lumbal
yang pertama yang memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Apabia
ditemukan kelainan neurologis, fokal dan peningkatan intracranial, maka
dilanjutkan pemeriksaan ct-scan kepala dahulu untuk resiko terjadinya herniasi
The American Academy of Pediatric merekomendasikan bahwa
pemeriksaan fungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan kejang pertama
disertai demam pada anak usia dibawah 12 bulan karena manifestasi klinis
meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada pada anak usia 12-18 bulan,
sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan, fungsi lumbal dilakukan bila terdapat
kecurigaan adanya infeksi intracranial (meningitis)
3. Elektroensephalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang
epileptiform. Pemeriksan ini mempunyai keterbatasan. Beberapa anak tanpa
kejang secara klinis ternyata memperlihatkan EEG epileptiform, sedangkan
anak lain dengan epilepsi berat mempunyai gambar intetiktral EEG yang
normal. Senistivitas EEG interiktal bervariasi. Hanya sindrom epilepsi saja
yang menunjukkan kelainan EEG yang khas, abnormalitas EEG berhubungan

11
dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gelombang paku tajam dengan
atau gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat umum, multifocal atau fokal
pada daerah temporal maupun frontal
Pemeriksaan EEG segera atau dalam 24-48 jam setelah kejang atau
sleep derivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran
EEG yang normal menunjukkan kemungkinan klien bebas dari kejang setelah
obat anti epilepsi dihentikan
4. Neuroimaging
Yang termasuk pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-Scan,
dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang
baru terjadi untuk pertama kalinya. Foto polos kepala memiliki nilai diagnostic
kecil meskipun dapat menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan
ct-scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang demam dengan riwayat
trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang
berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat kejang fokal ataupun
riwayat keganasan
Magnestic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan Ct-
Scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenic atau tumor kecil daerah temporal
atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah serebrum. MRI
dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus
temporalis, perkembangan terhambat tanpa adanya kelainan pada Ct-Scan
H. Penatalaksanaan medis/terapi
1. Terapi medis atau farmakologi
a. Saat kejang
1) Antikonvulsan
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (± 4 menit). Apabila
saat pasien datang ke rumah sakit masih dalam keadaan kejang
(hospital), obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam adalah 0,2-0,5 mg/kgBB

12
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5
menit, dengan dosis maksimal 10 mg (Ismael, dkk, 2016).
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua di rumah (pre hospital)
adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk
berat badan > 12 kg (Ismet, 2017).
Apabila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian masih tetap kejang,
anjurkan untuk dibawa ke rumah sakit . di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritma
tatalaksanan status epilepticus. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan
profilaksis (Ismet, 2017).
b. Setelah kejang berhenti
1. Antikonvulsan intermitten (Ismael, dkk, 2016).
Adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu
factor resiko dibawah ini yaitu :
a) Kelainan neurologis berat, misalnya cerebral palsy
b) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c) Usia < 6 bulan
d) Bila kejang terjadi ada suhu tubuh < 39º C
e) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali per
oral atau rektal 0,5 mg/kgBB/kali (5 mg untuk berat badan < 12 kg dan
10 mg untuk berat badan > 12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis
maksimum diazepam, 7,5 mg/kali. Diazepam intermitten diberikan
selama 48 jam pertama demam

13
2. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali
atau 4-6 jam. berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping
berupa hiperdrosis. Selain itu, ibuprofen juga dapat diberikan dengan
dosis 10 mg/kgBB/kali dengan frekuensi 3 kali (Nurarif & Kusuma,
2016).
3. Antibiotic
Digunakan untuk mencari dan mengobati penyebab kejang demam
(terapi kausial) yang diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi
respiratorius bagian atas dan otitis media akut, diantaranya adalah:
ampicillin, cefotaxime, oxacillin, dan ceftriaxone. Pemberian antibiotic
yang adekuat perlu untuk mengobati penyakit tersebut. Secara
akademis, pasien kejang demam yang datang untuk pertama kali
sebaiknya dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya factor infeksi didalam otak (misal meningitis)
(Ismael, dkk, 2016).
c. Bila kejang berulang (Putri, 2019).
Berdasarkan bukti ilmiah, penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumatan (antikonvulsan
rumatan) hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
Indikasi pengobatan rumat adalah
1. Kejang fokal
2. Kejang lama > 15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum satau sesudah kejang
(cerebral palsy, hidrosefalus, hemiparesis)
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberi edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermitten terlebih dahulu, jika tidak berhasil
atau orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproate setiap hari efektif
dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Pemakainan fenobarbital

14
setiap hari dapat menimbulka gangguan perilaku dan kesulitan belajar
pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproate. Dosis
asam valproate adalah 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat
diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang
demam tidak membutuhkan tapering off , namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam
2. Terapi non-farmakologi (Deliana, 2015).
a. Tetap tenang dan tidak panic
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntah atau lender dimulut atau hidung
d. Jauhkan benda berbahaya yang dapat melukai anak
e. Jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
f. Menjaga agar lidah tidak tergigit
g. Tidak menahan anak untuk menghentikan gerakan kejang
h. Ukur suhu, observasi dan catat bentuk serta lama kejang
i. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang
j. Edukasi pada orangtua
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam memiliki prognosis yang
baik
2. Memberitahu penanganan kejang
3. Memberi informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat

15
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Kejang demam dapat menyerang bayi ataupun anak, tetapi biasanya
menyerang anak diantara usia 6 bulan hingga 5 tahun (Nurarif & Kusuma,
2016).
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut dikarenakan pada wanita didapatkan
maturase serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Kakalang, 2016).
2. Status kesehatan saat ini
a. Keluhan utama
Biasanya anak mengalami peningkatan suhu tubuh ≥ 38º C, pasien
mengalami kejang bahkan pada pasien kejang demam kompleks (complex
febrile seizure) biasanya mengalami penurunan kesadaran (Putri, 2019).
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya orangtua pasien akan mengatakan badan anaknya terasa panas
disertai kejang, menjelaskan durasi atau lama terjadinya kejang yang
biasanya tergantung pada jenis kejang yang dialami oleh anak, tingkat
karakteristik atau kualitas kejang (tonik-klonik, fokal ataupun kinetik) serta
upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut (Putri,
2019).
3. Riwayat kesehatan dahulu
a. Riwayat penyakit sebelumnya
Terdapat riwayat penyakit yang mendukung terjadinya kejang demam
seperti penyakit ekstrakranium, diantaranya adalah tonsilitis, pharyngitis,
otitis media, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan, gangguan
metabolic ataupun factor perinatal (Ngastiyah, 2014).

16
b. Riwayat kesehatan keluarga
Dilihat dari genogram atau silsilah keluarga, adanya riwayat keluarga
dengan kejang demam akan meningkatkan resiko terjadinya kejang pada
anak. Dilaporkan 25% anak dengan kejang demam mempunyai riwayat
keluarga dengan kejang demam, namun belum dapat dijelaskan mekanisme
sifat pewarisan dari kejang demam (Deliana, 2015).
c. Imunisasi
Biasanya anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap rentan tertular
penyakit infeksi (pharyngitis, tonsillitis dll) atau virus yang diduga
berpengaruh terhadap munculnya kejang demam (Putri, 2019).
d. Riwayat perkembangan anak
Biasanya pada pasien dengan kejang demam kompleks mengalami
gangguan keterlambatan perkembangan dan intelegensi pada anak serta
mengalami kelemahan pada anggota gerak (hemifarise) (Putri, 2019).
4. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
1. Kesadaran
Umumnya kesadaran anak composmentis, tetapi bisa mengalami
penurunan kesadaran jika terjadi pada anak dengan kejang demam
kompleks (Putri, 2019).
2. Tanda-tanda vital
Pada pemeriksaan suhu ditemukan > 38º C, nadi takikardia, frekuensi
sering mencapai diatas 150-200, tekanan darah meningkat dan
respiration rate pada usia 2 hingga < 12 bulan melebihi 49 kali/menit
dan pada usia 12 bulan hingga < 5 tahun biasanya melebihi 40
kali/menit (Putri, 2019).
3. BB
Biasanya pada anak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti (Putri, 2019).

17
b) Head to Toe
1. Kepala dan leher
a. Kepala
Inspeksi: Biasanya pada klien tampak simetris dan tidak ditemukan
kelainan (Putri, 2019).
Palpasi: tidak ditemukan kelainan atau benjolan, fontanel sudah
menutup pada anak yang sudah besar (Ridha, 2014).
b. Mata
Inspeksi: biasanya ditemukan gerakan mata abnormal, yaitu
berputar-putar atau mengarah ke atas, bentuk mata simetris antara
kiri dan kanan, sklera tidak ikterik, dan konjungtiva anemis (Ridha,
2014).
Palpasi: umumnya tidak ditemukan kelainan berupa nyeri tekan
(Ridha, 2014).
c. Hidung
Inspeksi: biasanya fungsi penciuman baik, terdapat pernafasan
cuping hidung karena nafas yang tidak beraturan, bentuk simetris,
dan mukosa hidung berwarna merah muda
Palpasi: umumnya tidak ditemukan kelainan seperti krepitasi
(Putri, 2019).
d. Mulut dan tenggorokan
Biasanya mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, dan lidah
tampak kotor serta ditemukan gigi terkatup, lidah dapat tergigit
maupun berbalik arah dan muntah (Ridha, 2014).
e. Telinga
Umumnya bentuknya simetris antara kiri dan kanan, normanya pili
sejajar dengan katus mata, keluar cairan, terjadi gangguan
pendengaran yang bersifat sementara, dan terdapat nyeri tekan
mastoid (Putri, 2019).

18
f. Leher
Biasanya terjadi pembesaran kelenjar getah bening (Putri, 2019).
2. Dada
a. Paru-paru
Inspeksi : biasanya gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan
otot bantu pernafasan, kecuali jika kejang terjadi > 15 menit,
Palpasi : biasanya vocal fremitus pada dada teraba sama antara kiri
dan kanan
Perkusi : pada dada bunyi mulai redup apabila terdapat secret yang
sulit dikeluarkan saat anak mengalami penurunan kesadaran akibat
kejang
Auskultasi : pada klien dengan kejang demam yang diawali oleh
bronchitis, biasanya ditemukan bunyi nafas tambahan seperti
ronchi (Putri, 2019).
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : batas kiri jantung : ICS II kiri di linea parasternalis kiri,
batas bawah kanan jantung di sekitar ruang intercostalis III-IV
kanan dilinea parasternalis kanan, batas atasnya di ruang intercostal
II kanan linea parasternalis kanan
Auskultasi : BJ II lebih rendah dari BJ I (Putri, 2019).
3. Abdomen
Inspeksi : perut lemas dan kembung ataupun datar
Auskultasi : bising usus dapat menurun ataupun menghilang karena
hilang kontrol pada usus
Palpasi : tidak terdapat kelainan berupa nyeri tekan
Perkusi : bising usus menurun menunjukkan adanya konstipasi,
sedangkan bising usus menghilang mengindikasikan diare yang
menimbulkan hipertimpani (Kyle, 2014).

19
4. Genetalia
Terjadi penurunan kontrol kandung kemih (Ridha, 2014).
5. Ekstremitas
Pada ekstremitas atas dan bawah biasanya mengalami kelemahan tonus
otot (Putri, 2019).
6. Kulit dan kuku
Inspeksi : Warna kulit berubah menjadi pucat bahkan membiru
Palpasi : CRT > 2 detik, akral dingin baik pada ekstremitas atas maupun
bawah (Ridha, 2014).
7. Status neurologi (Iskandar, 2014).
a. Nervus I (olfaktorius): penciuman
Dapat menerima rangsangan dari hidung dan menghantarkannya ke
otak untuk diproses sebagai sensasi bau
b. Nervus II (optikus): penglihatan
Dapat menerima rangsangan dari mata lalu kemudian diproses
sebagai persepsi visual
c. Nervus III, IV, VI (okulomotorius, trochlear, abducens)
Dapat menggerakkan sebagian otot mata sebagai perintah
d. Nervus V (trigeminus)
Dapat menerima rangsangan dari wajah lalu diproses sebagai
rangsang sentuhan dan fungsi motoric untuk menggerakkan rahang
e. Nervus VII (facialis)
Dapat menerima rangsang untuk mengendalikan otot wajah dan
dapat menciptakan ekspresi wajah
f. Nervus VIII (Acusticus)
Dapat menerima rangsang dari telinga untuk diproses sebagai suara
kemudian diulang dalam bentuk kata
g. Nervus IX dan X (glosopharingeus dan vagus)
Dapat menerima rangsang dari bagian posterior lidah
h. Nervus XI (assesorius)

20
Dapat mengendalikan pergerakan kepala sesuai perintah
i. Nervus XII (Hipoglossus)
Dapat mengendalikan pergerakan lidah sesuai perintah
B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
a. Definisi : kelebihan atau kekurangan oksigenasi atau eleminasi
karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler.
b. Penyebab : ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, dan perubahan membran
alveolus-kapiler.
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Dispnea
Objektif :
1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. PH arteri meningkat/menurun
5. bunyi nafas tambahan.
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif : pusing dn penglihatan kabur
Objektif :
1. Sianosis
2. Diaporesis,
3. Gelisah
4. Nafas cuping hidung,
5. Pola nafas abnormal
6. Warna kulit abnormal
7. Kesadaran menurun.
e. Kondisi klinis terkait :asma, asfiksia, persistent pulmonary hypertension of
newborn (PPHN), prematuritas, infeksi saluran nafas (PPNI, 2016, p. 22).

21
2. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis atau kejang
a. Definisi :
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat
b. Penyebab :
1) Depresi pusat pernafasan
2) Hambatan upaya nafas
3) Gangguan neuromuscular
4) Gangguan neurologis
5) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : dispnea
Objektif :penggunaan otot bantu pernafasan, fase ekspirasi memanjang dan
pola nafas abnormal
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif :ortopnea
Objektif :
1. Pernafasan cuping hidung
2. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat,
3. Ventilasi semenit menurun, kapasitas vital menurun
4. Tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun
5. Ekskursi dada berubah.
e. Kondisi klinis terkait : depresi system saraf pusat, cedera kepala,
intoksikasi alcohol (PPNI, 2016, p. 26).
3. Resiko aspirasi b.d penurunan derajat kesadaran
a. Definisi
Beresiko mengalami masuknya sekresi gastrointestinal, orofaring, benda
padat atau cair yang masuk ke dalam saluran trakeobronkhial akibat
disfungsi mekanisme proteksi pada saluran nafas
b. Factor resiko
1. Penurunan derajat kesadaran

22
2. Penurunan refleks saat muntah ataupun batuk
3. Gangguan dalam menelan
4. Disfagia
5. Peningkatan residu cairan lambung
6. Penurunan motilitas pada gastrointestinal
c. Kondisi klinis terkait
1. Cedera pada kepala
2. Laringomalasia
3. Prematuritas (PPNI, 2016, p. 28).
4. Perfusi jaringan perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri atau vena
a. Definisi :
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu
metabolisme tubuh.
b. Penyebab:
1. Penurunan konsentrasi hemoglobin
2. Peningkatan tekanan darah
3. Penurunan aliran arteri atau vena
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : pengisian kapiler > 3 detik, nadi perifer menurun atau teraba,
akral dingin, kulit pucat, turgor kulit menurun.
d. Gejala dan tanda minor :
Subjektif : parastesia, dan nyeri ektremitas
Objektif : edema,penyembuhan luka lambat, indeks ankle-brachial <0,90
dan bruit femoral.
e. Kondisi klinis terkait : tromboflebitis, diabetes militus, anemia, kelainan
jantung kongenital, trombosis arteri, thrombosis vena dalam (PPNI, 2016,
p. 37).

23
5. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d reduksi aliran darah ke otak
a. Definisi :
Beresiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak
b. Faktor resiko :
1. Penurunan kerja ventrikel kiri
2. Diseksi arteri
3. Miksoma atrium
4. Cedera kepala
5. Hipertensi
6. Endokarditis infeksi
7. Stenosis mitral
8. Neoplasma otak
c. Kondisi klinis terkait
1. Cedera kepala
2. Diseksi arteri
3. Embolisme
4. Endokarditis infektif
5. Hipertensi
6. Miksoma atrium
7. Neoplasma otak
8. Infeksi otak (PPNI, 2016, p. 51).
6. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme
a. Definisi : suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh
b. Penyebab
1. Proses penyakit (mis.infeksi,kanker)
2. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkunga
3. Peningkatan laju metabolisme
4. Aktivitas berlebihan
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif: (tidak tersedia)

24
Objektif: Suhu tubuh diatas nilai normal
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
1. Kulit merah
2. Kejang
3. Takikardi
4. Takipnea
5. Kulit hangat
e. Kondisi klinis terkait
1. Proses infeksi
2. Dehidrasi
3. Prematuritas
4. Trauma (PPNI, 2016, p. 284).
7. Resiko cedera b.d hipoksia jaringan
a. Definisi
Beresiko mengalami kerusakan fisik atau bahaya yang mengakibatkan
seseorang tidak ingin lagi sehat secara total atau dalam kondisi baik
b. Factor resiko
Eksternal
1. Terpapar pathogen
2. Terpapar zat-zat kimia toksik
Internal
1. Orientasi afektif yang berubah
2. Sensasi yang berubah
3. Disfungsi autoimun
4. Disfungsi biokmia
5. Hipoksia pada jaringan
6. Gagalnya mekanisme pertahanan tubuh
7. Perubahan fungsi pada psikomotor

25
8. Perubahan pada fungsi kognitif
c. Kondisi klinis terkait
1. Synkop
a. Kejang
b. Gangguan pada pendengaran
c. Gangguan pada penglihatan
d. Hipotensi atau penurunan tekanan darah (PPNI, 2016, p. 294).
C. Intervensi keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas
a. Tujuan
1) Gangguan pertukaran gas akan berkurang, yang dibuktikan oleh tidak
terganggunya respon alergi : sistemik, keseimbangan elektrolit dan
asam-basa, respon ventilasi mekanis: orang dewasa, status pernapasan
: pertukaran gas, status pernapasan: ventilasi, perfusi jaringan paru dan
tanda-tanda vital
2) Status pernapasan : pertukaran gas tidak akan terganggu yang
dibuktikan oleh indikator gangguan sebagai berikut (sebutkan 1-5:
gangguan ekstrem berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan) :
status kognitif, PaO₂, PaCO₂, Ph, arteri dan saturasi O₂ tidal akhir CO₂
b. Kriteria hasil
1) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
2) Memiliki ekspansi paru yang simetris
3) Menjelaskan rencana keperawatan di rumah
4) Tidak menggunakan pernapasan bibir mencucu
5) Tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea
6) Tidak menggunakan otot aksesoris untuk bernapas
c. Intervensi NIC
1. Pengkajian

26
a. Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas, dan
produksi sputum sebagai indikator keefektifan penggunaan alat
penunjang
b. Pantau saturasi O₂ dengan oksimeter nadi
c. Pantau hasil gas darah (mis., kadar PaO₂ yang rendah, dan PaCO₂
yang tinggi menunjukkan perburukan pernapasan)
d. Pantau kadar elektrolit
e. Pantau status mental (mis., tingkat kesadaran, gelisah dan konfusi)
f. Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak
somnolen
g. Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa mulut
h. Manajemen jalan napas (NIC) : Identifikasi kebutuhan pasien
terhadap pemasangan jalan napas aktual dan potensial, auskultasi
suara napas, dan tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan, pantau status pernapasan dan oksigenasi
sesuai dengan kebutuhan
i. Pengaturan hemodinamik (NIC) : auskultasi bunyi jantung, pantau
dan dokumentasikan frekuensi, irama, dan denyut jantung, pantau
adanya edema perifer, distensi vena jugularism dan bunyi jantung
S3 dan S4, pantau fungsi alat pacu jantung, jika sesuai
2. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a. Jelaskan penggunaan alat bantu yang di perlukan (oksigen,
pengisap, spirometer, dan IPPB)
b. Ajarkan kepada pasien teknik bernapas dan relaksasi
c. Jelaskan kepada pasien dan keluarga alasan pemberian oksigen dan
tindakan lainnya
d. Berikan informasi kepada pasien atau keluarga bahwa merokok
dilarang

27
e. Manajemen jalan napas (NIC) : ajarkan pasien tentang batuk
efektif, ajarkan kepada pasien bagaimana menggunakan inhaler
yang di anjurkan sesuai dengan kebutuhan
3. Aktivitas kolaboratif
a. Konsultasikan kepada dokter tentang pentingnya pemeriksaan gas
darah arteri (GDA) dan pengunaan alat bantu yang dianjurkan
sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
b. Laporkan perubahan pada data pengkajian terkait (mis., sensorium
pasien, suara napas, pola napas, analisi gas dara arteri, sputum, efek
obat)
c. Berikan obat yang diresepkan (mis., natrium bikarbonat) untuk
mempertahankan keseimbangan asam-basa
d. Persiapkan pasien untuk ventilasi mekanis, bila perlu
e. Manajemen jalan napas (NIC) : berikan udara yang di lembabkan
atau oksigen jika perlu, berikan bronkodilator jika perlu, berikan
terapi aerosol bila perlu, berikan terapi nebulasi ultrasonik jika
perlu
f. Pengaturan hemodinamik (NIC) : berikan obat anti-aritmia jika
perlu
4. Aktivitas lain
a. Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan prosedur,
agar ansietas menurun dan rasa kendali meningkat
b. Beri penenangan kepada pasien selama periode gangguan atau
kecemasan
c. Lakukan higiene oral secara teratur
d. Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen 9mis.,
pengendalian demam dan nyeri, mengurangi ansietas)
e. Apabila oksigen diprogramkan bagi pasien yang memiliki masalah
pernapasan kronis, pantau aliran oksigen dan pernapasan secara
hati-hati karena adanya resiko depresi pernapasan akibat oksigen

28
f. Buat rencana keperawatan untuk pasienmenggunakan ventilator
yang meliputi :
1. Menyakinkan keefktifan pola pernapasan dengan mengkaji
sinkronisasi dan kemungkinan kebutuhan sedasi
2. Mempertahankan kepatenan jalan napas dengan melakukan
pengisapan dan mempertahankan slang endotrakea atau
penggantian slang endotrakea di tempat tidur
3. Memantau komplikasi (mis., pneumotoraks, aerasi unilateral)
4. Memastikan Ketepatan penempatan selang ET
5. Manajemen jalan napas (NIC) : atur posisi untuk
memaksimalkan potensial ventilasi, atur posisi untuk
mengurangi dispnea, pasang jalan napas melalui mulut atau
nasofaring sesuai dengan kebutuhan, bersihkan sekret dengan
menganjurkan batuk atau melalui pengisapan, sukung untuk
bernapas pelan, dalam, berbalik dan batuk, bantu dengan
spirometer intensif jika perlu, lakukan fisioterapi dada jika
perlu Pengaturan hemodinamik (NIC) : tinggikan bagian kepala
tempat tidur jika perlu, atur posisi klien ke posisi trendelernburg
jika perlu (Wilkinson, 2016, pp. 185-188).
2. Ketidakefektifan pola nafas
a. Tujuan
1) Menunjukkan pola pernapasan efektif, yang dibuktikan oleh Status
Pernapasan yang tidak terganggu : ventilasi dan status pernapasan :
kepatenan jalan nafas; dan tidak ada penyimpangan tanda-tanda vital
dari rentang normal.
2) Menunjukkan tidak adanya gangguan status pernapasan: ventilasi,
yang dibuktikan oleh indicator berikut: (sebutkan 1-5: gangguan
ekstrem, berat, sedang, ringan, tidak ada gangguan)

29
b. Kriteria hasil
1) Menunjukkan pernapasan optimal pada saat terpasang ventilator
mekanis
2) Mempunyai kecepatan dan irama dan pernafasan dalam batas normal.
3) Mempunyai fungsi paru dalam batas normal untuk pasien.
4) Meminta bantuan pernapasan sat dibutuhkan
5) Mampu menjelaskan rencana untuk perawatan dirumah
6) Mengidentifikasi factor yang memicu ketidakefektifan pola nafas, dan
tindakan yang dapat dilakukan utuk menghindarinya.
c. Aktivitas keperawatan
1. Pengkajian
a. Pantau adanya pucat dan sianosis
b. Pantau efek obat pada status pernapasan
c. Kaji kebutuhan insersi jalan napas
d. Pemantauan pernapasan (NIC) : Pantau kecepatan, irama,
kedalaman dan upaya perapasan, Perhatikan pergerakan dada,
amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot aksesoris, serta retraksi
otot supraklavikular dan interkosa, Pantau pernapasan yang
berbunyi, seprti melengking atau mendengkur, Pantau pola
pernapasan: bradipnea; takipnea; hiperventilasi; pernapasan
kussmual; pernapasan Cheyne-stokes; dan pernapasan apneastik,
penapasan biot, dan pola ataksik.
2. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi
untuk memperbaiki pola pernapasan
b. Diskusikan perencanaan untuk perawatan di rumah, meliputi
pengobatan, peralatan pendukung, tanda dan gejala komplikasi,
yang dapat dilaporkan sumber-sumber komunitas.

30
c. Diskusikan cara menghindari allergen, contoh: memeriksa rumah
adanya jamur di dinding rumah, tidak menggunakan karpet di
lantai, menggunakan filter elektronik pada alat perapian dan AC.
d. Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tidak boleh
merorok dalam ruangan.
e. Intruksikan kepada pasien dan keluarga bahwa mereka harus
memberi tahu perawat pada saat kejadian ketidakefektifan pola
pernapasan.
3. Aktivitas kolaboratif
a. Konsultasikan dengan ahli terapi pernapasan untuk memastikan
keadekuatan ventilator mekanis
b. Laporkan perubahan sensori, bunyi napas, pola pernapasan, nilai
GDA, sputum, jika perlu sesuai protoko.
c. Berikan obat sesuai dengan progam atau protokol.
d. Berikan terapi nebulizer ultrasonic dan udara atau oksigen yang
dilembabkan sesuai progam atau protokol intisusi
e. Berikan obat nyeri agar pola pernapasan optimal.
4. Aktivitas lain
a. Hubungkan dan dokumentasikan semua data hasil pengkajian
(missal, sensori, suara napas, pola pernapaan, nilai GDA, sputum,
dan efek obat pada pasien)
b. Bantu pasien untuk menggunakan spirometer instensif, jika perlu
c. Tenangkan pasien selama periode gawat napas
d. Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode gawat napas
e. Untuk membantu memperlambat frekuensi pernapasan, bimbing
pasien menggunakan teknik pernapasan bibir mencucu dan
pernapsan terkontrol
f. Lakukan pengisapan sesuai dengan kebutuhan untuk membersihkan
secret

31
g. Minta pasien untuk mengubah posisi, kemudian batuk dan napas
dalam
h. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur, untuk
menurukan ansietas dan meningkatkan perasaan kendali
i. Pertahankan oksigen aliran rendah dengan kanul nasal, masker atau
sungkup.
j. Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan, uraikan posisi
(Wilkinson, 2016, pp. 60-63).
3. Resiko Aspirasi
a. Tujuan
Menunjukkan pencegahan aspirasi, yang di buktikan oleh indicator berikut
(sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu):
Menghindari factor resiko
Memilih makanan sesuai dengan kemampuan menelan
Menoleransi asupan oral dan secret tanpa aspirasi
b. Kriteria hasil
Pasien akan
1. Menunjukkan peningkatan kemampuan menelan
2. Menoleransi asupan oral dan secret tanpa aspirasi
3. Mempertahankan kekuatan dan tonus otot yang adekuat
c. Intervensi
1. Pengkajian
a. Auskultasi suara paru sebelum dan setelah pemberian makan;
b. Pantau tanda-tanda aspirasi selama proses pemberian makan batuk,
tersedak, meneteskan air liur
c. Pantau tingkat kesadaran, reflek batuk, reflek muntah, dan
kemampuan menelan
2. Penyuluhan untuk pasien atau keluarga
a. Instruksikan kepada keluarga tentang teknik pemberian makan dan
menelan

32
b. Tinjau bersama pasien dan keluarga tentang tanda serta gejala
aspirasi dan tindakan pencegahan
c. Bantu keluarga untuk membuat rencana kedaruratan bila pasien
mengalami aspirasi dirumah
3. Aktivitas kolaboratif
a. Lakukan perujukan ke agen perawatan dirumah untuk mendapat
bantuan perawatan dirumah
b. Laporkan segala perubahan pada warna secret paru yang
menyerupai makanan atau asupan makanan
4. Aktivitas lain
a. Sediakan kateter pengisap di samping tempat tidur dan lakukan
pengisapan selama makan, jika perlu
b. Libatkan keluarga selama pasien makan
c. Berikan dukungan dan penerangan
d. Potong makanan kecil-kecil
e. Beri makanan dalam jumlah sedikit
f. Patahkan atau haluskan tablet obat sebelum diberikan (Wilkinson,
2016, pp. 35-37).
4. Perfusi Perifer tidak efektif
a. Tujuan
1) Menunjukkan Status Sirkulasi, yang dibutuhkan oleh indikator
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau tidak ada
penyimpangan dari rentang normal) : PaO₂ dan PaCO₂ atau tekanan
parsail oksigen dan karbon dioksida pada darah arteri, Nadi karotis, kiri
dan kanan, brakhial, radial, femoral, dan pedal, Tekanan darah sistolik
dan diastolik, tekanan nadi, tekanan darah rerata, CVP, dan tekanan
baju pulmonal
2) Menunjukkan Status Sirkulasi, yang dibutuhkan oleh indikator
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau tidak ada
penyimpangan dari rentang normal): suara napas tambahan, distensi

33
vena leher, (pulmonal) edema, atau bising pembuluh besar kelelahan,
edema perifer dan asites
3) Menunjukkan Integritas Jaringan : Kulit dan Membran Mukosa, yang
dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem,
berat, sedang, ringan atau tidak ada penyimpangan dari rentang normal)
: suhu, sensasi, elastisitas, hidrasi, keutuhan dan ketebalan kulit, perfusi
jaringan
4) Menunjukkan Perfusi Jaringan : Perifer, yang dibuktikan oleh indikator
berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan atau
tidak ada penyimpangan dari rentang normal): pengisian ulang kapiler
(jari tangan dan jari kaki), warna kulit, sensasi, integritas kulit
b. Kriteria hasil
1) Menunjukkan fungsi otonom yang utuh
2) Melaporkan kecukupan energi
3) Berjalan 6 menit dengan tidak merasakan nyeri ekstremitas bawah
c. Intervensi NIC
Aktivitas Keperawatan
1. Pengkajian
a. Kaji ulkus statis dan gejala selulitis (yaitu nyeri, kemerahan dan
pembengkakan ekstremitas)
b. Perawatan sirkulasi (insufisiensi Arteri dan Vena) NIC : lakukan
penilaian komprehensif sirkulasi perifel (mis., memeriksa nadi
perifer, edema, pengisian kapiler, warna, dan suhu (ekstremitas)),
pantau derajat ketidaknyamanan atau nyeri dengan latihan di malam
hari, atau ketika istirahat(arteri) pantau status cairan, termasuk
asupan dan haluaran
c. Manajemen Sensasi Perifer (NIC) : pantau diskriminasi tajam atau
tumpul atau panas atau dingin (perifer), pantau parestirisa ( baal,
kesemutan heperestesia, dan hipoetesia), pantau trombloflebitis dan

34
trombosis vena dalam pantau tingkat kecocokan alat bebat,
prostesis, sepatu dan pakaian
d. Pantau pemeriksaan koagulasi (mis., waktu protombin (PT), waktu
tromblopastin parsial (PTT), dan hitung trombosit)
e. Pantau nilai elektrolit yang berkaitan dengan diritmia (mis., kadar
kalium dan magnesium serum)
f. Lakukan pengkajian komprehensif sirkulasi perifer (mis., nadi
perifer, edema, pengisian kapiler, warna kulit, suhu kulit)
g. Kaji integritas kulit perifer
h. Kaji tonus otot, pergerakan motorik, gaya berjalan dan propriosepsi
i. Pantau asupan dan haluaran
j. Pantau status hidrasi (mis., membran mukosa lembab, keadekuatan
nadi dan tekanan darahortostatik)
k. Pantau hasil lab yang berkaitan dengan retensi cairan (mis.,
peningkatan berat jenis, peningkatan BUN, penurunan hematokrit,
dan peningkatan kadar osmolalitas urine)
l. Pantau indikasi kelebihan beban atau retensi cairan (mis., crackle,
peningkatan CVP atau tekanan baji kapiler pulmonal, edema,
distensi vena leher dan asites )
2. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a. Ajarkan manfaat latihan fisik pada sirkulasi perifer
b. Ajarkan pentingnya latihan fisik secara bergantian dengan istirahat,
etrutama pada pasien yang mengalami insufisiensi arteri
c. Ajarkan efek merokok pada sirkulasi perifer
d. Hindari suhu ekstrem ke ekstremitas
e. Pentingnya mematuhi program diet dan medikasi
f. Melaporkan tanda dan gejala yang mungkin perlu dilaporkan
kepada dokter
g. Pentingnya pencegahan statis vena (mis., tidak menyilangkan
tungkai, meninggikan kaki tanpa menekuk lutut, dan latihan fisik )

35
h. Perawatan sirkulasi (inufisiensi arteri dan vena ) (NIC) : ajarkan
pasien mengenai perawatan kaki yang tepat
i. Manajemen sensasi perifer (NIC) : ajarkan pasien atau kelurga
untuk memantau bagian tubuh ketika mandi, duduk, berbaring atau
mengubah posisi, ajarkan pasien untuk memeriksa kulit setiap hari
untuk perubahan integritas kulit
3. Aktivitas kolaboratif
a. Berikan medikasi berdasarkan intruksi atau protokol (mis.,
medikasi analgesik, antikougulan, nitrogliserin, vasodilator,
diuretik, dan inotropik positif dan kontraktilitas)
b. Beri tahu dokter jika nyeri tidak mereda
c. Perawatan sirkulasi (infusiensi arteri dan vena) (NIC) : berikan
medikasi antitrombosit atau antikoagulan, jika perlu
4. Aktivitas lain
a. Distribusikan asupan cairan yang di programkan secara tepat selam
periode 24 jam
b. Pertahankan pembatasan cairan dan diet (mis., rendah natrium,
rendah garam), sesuai intruksi
c. Hindari trauma kimia, mekanis, atau panas yang melibatkan
ektremitas
d. Kurangi rokok dan penggunaan stimulan
e. Perawatan sirkulasi (insufisiensi arteri dan vena) (NIC) : letakkan
ekstremitas pada posisi menggantung jika perlu
f. Perawatan sirkulasi (insufisiensi arteri dan vena) (NIC) : lakukan
modalitas terapi kompresi(short-strecth atau long-strecth bandage)
jika perlu, elevasi ektremitas yang terkena 20 derajat atau lebih di
atas jantung jika perli, dorong latihan rentang pergerakkan sendi
pasif, terutama pada ekstremitas bawah, saat tirah baring
g. Penatalaksanaan sensasi perifer (NIC) : hindari atau dengan
seksama pantau penggunaan alat yang panas atau dingin, seperti

36
bantalan panas, botol berisi air panas, dan kantung es, letakkan
ayunan di atas bagian tubuh yang terkena agar tidak menyentuh
linen tempat tidur
h. Mengidentifikasi penyebab sensasi tidak normal (Wilkinson, 2016,
pp. 445-448).
5. Perfusi serebral tidak efektif
a. Tujuan
Menunjukkan perfusi jaringan serebral yang ditunjukkan dengan indicator
(gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan)
b. Kriterial hasil:
Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan:
1) Memiliki sistem saraf pusat dan perifer yang utuh
2) Mendemonstrasikan fungsi sensori motorik cranial yang utuh
3) Mendemonstrasikan tingkat kesedaran normal
4) Menunjukkan fungsi otonom utuh
5) Memiliki pupil yang sama dan reaktif
6) Terbebas dari aktivitas kejang
7) Tidak mengalami sakit kepala
c. Intervensi
1. Pengkajian:
a. Pantau hal-hal berikut:
1) Tanda-tanda vital: suhu tubuh, tekanan darah, nadi dan
pernapasan
2) Hitung sel darah putih
PO2, PCO2, pH dan kadar bikarbonat
PaCO2, SaO2, dan kadar hemoglobin untuk menentukan
pengiriman oksigen ke jaringan
3) Ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan reaktivitas pupil
4) Diplopia, nistagmus, penglihatan kabur, ketajaman penglihatan
5) Sakit kepala

37
6) Tingkat kesadaran dan orientasi
7) Memori, alam perasaan, dan afek
8) Curah jantung
9) Reflex corneal, batuk, dan muntah
10) Tonus otot, pergerakan motorik, gaya berjalan, dan kesesuaian
b. Pemantauan Tekanan Intrakranial (TIK) (NIC)
1. Pantau TIK dan respons neurologis pasien terhadap aktivitas
keperawatan
2. Pantau tekanan perfusi serebral
3. Periksa klien terkait ada tidaknya gejala kaku kuduk
4. Monitor jumlah, nilai dan karakteristik pengeluaran CSF
(cairan serebrospinal)
5. Perhatikan perubahan pasien dengan respons terhadap stimulus
2. Aktivitas Kolaboratif:
a. Pertahankan parameter hemodinamika (misalnya, tekanan arteri
sistemik) dalam rentang yang dianjurkan
b. Berikan obat-obatan untuk meningkatkan volume intravascular,
sesuai program
c. Berikan loop diuretic dan osmotic, sesuai program
d. Tinggikan bagian kepala tempat tidur 30 sampai 45 derajat,
bergantung pada kondisi pasien dan program dokter
3. Aktivitas lain:
a. Minimalkan stimulus lingkungan
b. Pemantauan Tekanan Intrakranial (TIK):
1. Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
2. Beri interval setiap asuhan keperawatan untuk meminimalkan
peningkatan TIK (Wilkinson, 2016, pp. 443-445).

38
6. Hipertermi
a. Tujuan :selama waktu 1 x 24 jam terjadi penurunan suhu tubuh.
b. Kriteria hasil: suhu tubuh normal 36-37,5˚C dengan tubuh tidak teraba
panas, dan haus berkurang.
c. Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan :
1. Pengkajian
a. Pantau aktivitas kejang (catat lama kejang dan tetap disisi pasien
selama kejang)
b. Pantau dehidrasi (turgor kulit, kelembapan membrane mukosa)
c. Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan
d. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu
lingkungan (longgarkan pakaian)
2. Penyuluhan untuk pasien dan keluarga :
a. Memberitahu pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk
mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (sangat panas, dan
keletihan akibat panas)
Regulasi suhu (NIC)
a. Pantau suhu minimal 2 jam sesuai dengan kebutuhan.
b. Pasang alat pantau suhu inti tubuh kontinu, jika perlu pantau warna
kulit dan suhu
c. Tutup pasien dengan selimut atau pakaian ringan
3. Aktivitas kolaboratif
a. Regulasi suhu (NIC)
1. Berikan obat antipiretik
2. Pakai matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi
gangguan suhu tubuh, jika perlu (Wilkinson, 2016, p. 390).

39
7. Resiko cidera
a. Tujuan: pengendalian resiko akan diperlihatkan, yang dibuktikan oleh
indicator sebagai berikut (1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering
atau selalu)
b. Kriteria hasil
1) Orang tua akan mengenali resiko dan memantau penganiayaan
2) Pasien dan keluarga akan menghindari cidera fisik
3) Pasien dan keluarga akan mempersiapkan lingkungan yang aman
(misal, merapikan kondisi yang berantakan, memasang pagar tangga)
c. Intervensi
1. Pengkajian
a. Identifikasi factor yang memengaruhi kebutuhan keamanan,
misalnya perubahan status mental, keletihan, usia kematangan,
pengobatan
b. Identifikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjatuh
(misal, karpet sobek, anak tangga tanpa pagar pengaman, lantai
licin)
c. Periksa apakah klien memakai pakaian yang terlalu ketat
2. Penyuluhan untuk pasien atau keluarga
a. Beri materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan tindakan
untuk mencegah cidera
b. Menganjurkan keluarga untuk menemani klien
2. Aktivitas kolaboratif
Rujuk ke kelas pendidikan dalam komunitas
3. Aktivitas lain
a. Jauhi bahaya lingkungan (misalnya memindahkan perabotan atau
benda tajam disekitar klien)
b. Jangan lakukan perubahan yang tidak diperlukan di lingkungan
fisik (misal penataan furnitur)
c. Gunakan restrain fisik untuk mencegah kecelakaan atau terjatuh

40
d. Hindari bahaya lingkungan, seperti : pencahayaan yang berlebihan
(Wilkinson, 2016, pp. 237-239).

41
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat demam yang sering
disebabkan oleh proses ekstrakranial misalnya infeksi saluran pernafasan, telinga
ataupun saluran pencernaan. Kejang demam tersebut paling sering menyerang
anak dengan usia 6 bulan hingga 5 tahun.
Kejang demam terdiri dari 2 jenis yaitu kejang demam sederhana (kasus
terbanyak) dan kejang demam kompleks yang dapat berakibat fatal daripada
kejang demam sederhana. Penatalaksanaan kejang demam pada anak dengan
pemberian obat antikonvulsan, antipiretik, antibiotic serta penanganan yang tepat
dan tidak panic dari pihak orang tua.
B. Saran
Kejang demam pada masih menjadi masalah yang mengkhawatirkan bagi tumbuh
kembang anak meskipun prognosisnya baik. Oleh karena itu tenaga kesehatan
khususnya perawat diharapkan mampu memahami pentingnya penatalaksanaan
kejang demam dengan baik serta mengedukasi para orang tua dalam pencegahan
kejang demam serta tidak kalut dalam menangani anak dengan kejang demam

42
DAFTAR PUSTAKA

Deliana. (2015). Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, 4(2), 59-62.
Djamaludin, N. (2010). Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta: PT
Wahyu Media.
Febri, A. B., & Marendra, Z. (2010). Smart Parents Pandai Mengatur saat Anak
Sakit. Jakarta: Gagas Media.
Iskandar, W. (2014). Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Sagung
Seto.
Ismael, dkk. (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ismet. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 43.
Kakalang, J. (2016). Profil Kejang Demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jurnal e-
Clinic, 4, 1.
Kyle, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2. Jakarta: EGC.
Lusia. (2015). Mengenal Demam dan Perawatannya pada Anak. Surabaya:
University Press.
Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC . Jogjakarta: Mediaction.
PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Putri, D. R. (2019, September). Asuhan Keperawatan Anak dengan Kejang Demam.
Retrieved Juni 2017, from Keperawatan Anak:
http://www.digilib.stikeskusumahusada.ac.id
Ridha, N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wilkinson. (2016). Diagnosa Keperawatan Intervensi Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC.

43

Anda mungkin juga menyukai