Anggota kelompok:
• dr. Wiharjo Hadisuwarno • dr. Muhamad Aufa Ni’Ami
• dr. Nadya Idfenti Putri • dr. Galih Surya Rizkinanto
• dr. Prima Hari Nastiti • dr. Priskila Christy
• dr. Rizza Maulana Azmi • dr. Rr. Shinta Ananda Dwiyanti
• dr. Beata Meidini Rahmat • dr. Iin Muslihah
• dr. Indra Mahardika Iridika H. • dr. Catur Kusumo
• dr. Amira Suryani Rahmatika • dr. Atiya Nurrahmah
• dr. Lia jessica • dr. Nafdzu Makhmudatul Muna
• dr. Tony Santoso Putra
Penalaran
• Adalah hal mengembangkan atau
mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan
dengan perasaan atau pengalaman.
Penalaran ilmiah
• penalaran (dari kata dasar nalar) memiliki arti yaitu
suatu proses mental dalam mengembangkan
pemikiran yang logis dari beberapa fakta atau prinsip
untuk mencapai sebuah kesimpulan (KBBI, 2019)
• kata ilmiah memiliki arti bersifat ilmu atau memiliki
syarat-syarat kaidah ilmu pengetahuan (KBBI, 2019)
Penalaran ilmiah adalah suatu proses mental
dalam mengembangkan pemikiran yang logis
berdasarkan fakta atau prinsip sesuai kaidah ilmu
pengetahuan untuk mencapai sebuah kesimpulan
Ciri-ciri Penalaran Ilmiah
• Penalaran Deduktif
• Penalaran Induktif
Penalaran Deduktif
• Merupakan penalaran tidak langsung dengan cara mengambil
kesimpulan khusus dari pernyataan- pernyataan yang bersifat
umum
• Bentuk penalaran deduktif umum disebut dengan silogisme
• Proposisi universal terdapat pada premis mayor dan proposisi
khusus terdapat pada premis minor
• Kebenaran dalam penalaran deduktif dianggap mutlak apabila
premis mayor bernilai dan langkah pengambilan kesimpulan
benar
• Premis mayor dalam penalaran deduktif merupakan premis
teoretis sehingga kebenaran yang didapatkan dari metode
penalaran ini merupakan kebenaran teoretis atau rasional
Contoh proses penarikan kesimpulan pada metode
penalaran deduktif:
1. Premis mayor: Semua makhluk hidup perlu
udara.
Premis minor: Budi adalah makhluk hidup.
Kesimpulan: jadi Budi perlu udara
Contoh:
• Kucing berkumis.
• Ali berkumis.
• Jadi, Ali Kucing.
3. Fenomena Sesat Pikir
Contoh:
• Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-
militer
• Premis 2: Tentara bayaran tidak memperhatikan
fungsi sipil
• Konklusi: Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama
dengan tentara bayaran
b. Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen
ternyata memuat premis-premis yang tidak
berhubungan deengan konklusi yang akan dicari. Di
sini logika berperanan penting. Sebuah argumentasi
yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan
kesimpulannya merupakan argumen yang “sesat”
sekalipun semua premisnya itu mungkin benar. Di
dalam jenis kegagalan yang kedua inilah terdapat apa
yang disebut sesat pikir.
• Contoh:
Premis 1: Sifat Tuhan adalah kekal abadi
Premis 2: Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal
abadi
Konklusi: Tuhan dan Pancasila adalah identik
4. Sumber-sumber Kesesatan
Kelompok 4
Penulis:
dr. Wiharjo Hadisuwarno 011928026311 dr. M. Aufa Ni’Ami 011928176303
dr. Nadya Idfenti Putri 011928026321 dr. Galih Surya Rizkinanto 011928066308
dr. Prima Hari Nastiti 011928116306 dr. Priskila Christy 011928156306
dr. Rizza Maulana Azmi 011928086302 dr. Rr. Shinta Ananda D. 011928146303
dr. Beatta Meidini R. 011928076302 dr. Iin Muslihah 011928166306
dr. M. Indra M. I. H. 011928016311 dr. Catur Kusumo 011928206302
dr. Amira Suryani R. 011928046301 dr. Atiya Nurrahmah 011928236306
dr. Lia Jessica 011928186301 dr. Nafdzu M. M. 011928226304
dr. Tony Santoso Putra 011928136304
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Aplikasi penalaran dalam proses inkuiri ilmiah dikenal sebagai penalaran ilmiah
(scientific reasoning) (Bao et al, 2009). Penalaran ilmiah ini mencakup kegiatan pengembangan,
pengujian dan proses revisi suatu hipotesis (Zimmerman, 2000). Dalam penalaran ilmiah,
dikenal ada dua metode, yaitu metode penalaran deduktif dan induktif. Penalaran deduktif
merupakan cara berpikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum
untuk menarik kesimpulan dengan makna yang lebih khusus, sebaliknya penalaran induktif
adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus yang kemudian
digunakan untuk menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum (Mustofa, 2016).
Karena kami menyadari pentingnya bernalar secara ilmiah dan masih banyak yang
belum kami ketahui secara benar mengenai penalaran ilmiah ini, maka di dalam makalah ini,
kami mencoba membahas lebih dalam tentang penalaran ilmiah. Hal tersebut mencakup definisi,
ciri-ciri penalaran ilmiah, jenis penalaran ilmiah, berbagai macam metode yang digunakan untuk
dapat menarik sebuah kesimpulan dengan contoh-contohnya, manfaat penalaran ilmiah serta
kesalahan apa saja yang sering terjadi dalam proses penalaran ilmiah.
1. Rumusan Masalah
7. Kesalahan apa sajakah yang dapat terjadi pada proses penalaran ilmiah?
2. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penalaran (dari kata dasar nalar) memiliki arti
yaitu suatu proses mental dalam mengembangkan pemikiran yang logis dari beberapa fakta atau
prinsip untuk mencapai sebuah kesimpulan (KBBI, 2019). Sedangkan kata ilmiah memiliki arti
bersifat ilmu atau memiliki syarat-syarat kaidah ilmu pengetahuan (KBBI, 2019). Sehingga yang
dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah suatu proses mental dalam mengembangkan
pemikiran yang logis berdasarkan fakta atau prinsip sesuai kaidah ilmu pengetahuan untuk
mencapai sebuah kesimpulan. Bahan pengambilan kesimpulan itu dapat berupa fakta, informasi,
pengalaman atau pendapat ahli (otoritas).
1. Logis : suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya pemikiran yang ditimbang
secara objektif dan didasarkan pada data yang shahih.
2. Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya imajinatif seseorang
3. Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu fakta atau kenyataan
yang memang dapat dipikirkan secara mendalam.
2.3. Jenis Penalaran Menurut Langkah
Menurut alur langkahnya terdapat dua jenis pola berpikir penalaran yaitu
penalaran langsung dan penalaran tidak langsung.
Pada penalaran tidak langsung premisnya terdiri lebih dari satu proposisi kemudian baru
ditarik pernyataan kesimpulan. Terdapat tiga bentuk silogisme standar yaitu kategorik, hipotetik
dan disjungtif.
a) Silogisme kategorik
Silogisme kategorik adalah penyimpulan berdasarkan perbandingan dua proposisi di
mana di dalam kedua proporsinya terdapat term pembanding yang dapat digunakan
membantuk proposisi lain sebagai kesimpulan.
• Entinema adalah atau silogisme kategorik yang diringkas yaitu dapat berupa
hanya kesimpulan saja atau premis saja tanpa kesimpulan karena dianggap apa
yang tidak disebut sudah diketahui.
• Epikirema adalah suatu silogisme di mana salah satu atau kedua premisnya
disertai penjelasan.
• Sorites adalah suatu bentuk silogisme di mana premisnya berkait-kaitan lebih dari
dua proposisi sedangkan kesimpulannya merupakan bentuk hubungan antara term
proposisi pertama dan terakhir dan keduanya bukan term pembanding.
• Polisilogisme adalah suatu silogisme berganda di mana kesimpulan silogisme
sebelumnya menjadi premis silogisme berikutnya.
b) Silogisme hipotetik
Silogisme hipotetik adalah suatu cara penarikan kesimpulan dengan cara membandingkan
dua proposisi yang mempunyai hubungan ketergantungan antara dua bagiannya.
c) Silogisme disjungtif
Silogisme disjungtif adalah suatu cara penyimpulan berdasarkan perbandingan anatara
dua proposisi yang mempunyai hubungan peng-atau-an antara dua bagian.
• Silogisme disjungtif eksklusif
Contoh:
Semua mahasiswa adalah berasal dari Jawa atau luar Jawa.
Sebagian mahasiswa ternyata berasal dari luar Jawa.
Jadi sebagian mahasiswa bukan berasal dari Jawa.
• Silogisme disjungtif inklusif
Contoh:
Mahasiswa Fakultas Kedokteran berasal dari jalur SPMB dan PMDK
Dua puluh persen mahasiswa bukan berasal dari jalur PMDK
Jadi 80 mahasiswa berasal dari jalur SPMB
• Silogisme alternatif
Mantan dokter PTT dapat menjadi pegawai negeri atau melakukan praktek swasta
penuh
Si D mantan dokter PTT tidak menjadi pegawai negeri
Jadi si D dapat melakukan praktek swasta penuh
BAB III
Penalaran deduktif adalah penalaran tidak langsung dengan cara mengambil kesimpulan
khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Bentuk penalaran deduktif umum
disebut dengan silogisme. Pada penalaran deduktif, proposisi universal terdapat pada premis
mayor dan proposisi khusus terdapat pada premis minor. Kebenaran dalam penalaran deduktif
dianggap mutlak apabila premis mayor bernilai dan langkah pengambilan kesimpulan benar.
Premis mayor dalam penalaran deduktif merupakan premis teoretis sehingga kebenaran yang
didapatkan dari metode penalaran ini merupakan kebenaran teoretis atau rasional. Alur berpikir
yang runut dalam pengambilan kesimpulan pada metode ini membuat kebenaran yang
didapatkan dari penalaran deduktif disebut sebagai kebenaran koherensi.
Pada penalaran deduktif, jenis dan derajat kebenaran dari kesimpulan tergantung dari
derajat kebenaran premis dan langkah pengambilan kesimpulan. Premis dapat berasal tidak
hanya dari fakta tetapi juga dari teori ilmiah, mitos, maupun tradisi. Contoh proses penarikan
kesimpulan pada metode penalaran deduktif:
Penalaran Induktif merupakan cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus. Aristoteles menyatakan bahwa proses
peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal, disebut sebagai
pola penalaran induksi. Metode induksi adalah metode dominan yang digunakan dalam ilmu-
ilmu empiris yang berobjekkan alam yang berubah-ubah. Sudah diketahui bahwa hukum alam
berkembang dari hipotesis yang mendasarkan diri pada realitas atau fakta yang riil. Dalam
metode ini kita bertolak dari sejumlah proporsi particular menuju kesimpulan yang lebih umum
atau berlaku umum.
Generalisasi adalah penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari
premis-premis yang berupa proporsi empirik.
Macam-macam generalisasi
• Analogi
Analogi adalah proses penalaran yang berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang
satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain,
dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan
atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan
Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan persamaan di antara dua hal yang berbeda, akan
tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Tiga unsur utama dalam penyimpulan
analogi:
• Hubungan kausal
Sejak zaman kuno orang tahu bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa sebab (nihil fit sine
causa), demikian ungkap Leucippus. Di sini lebih dimaksudkan dengan sebab efisien, yakni
ada-tidaknya sebab ini akan menentukan ada dan tidaknnya akibat. Induksi yang mendasarkan
diri pada aksioma sebab dapat dirumuskan sebagai berikut : tak ada sesuatu disebut sebab bagi
suatu akibat, bila ia tidak ditemukan pada saat akibat terjadi. Dan tidak ada sesuatu yang disebut
sebab bagi suatu akibat, bila ia dijumpai pada saat tidak terjadi akibat.
BAB IV
Dalam penalaran ilmiah dikenal sebagai konsep berpikir mengenai keilmuan dan juga
sebagai rangkaian proses-proses penalaran yang menjiwai bidang-bidang ilmu. Proses berpikir
tersebut antara lain berupai induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab akibat/kausal,
pembentukan konsep dan uji hipotesis. Pada bab ini akan dibahas beberapa konsep umum yang sering
dipakai dalam penalaran ilmiah di bidang penelitian yang dapat menjadi pedoman kolaborasi pada
penalaran klinisuntuk diajarkan, diterapkan, dan dikritisi lebih lanjut mengenai implementasinya
untuk penalaran ilmiah dalam penelitian yang lebih efektif.
Sebagai suatu metode, pola pikir ilmiah mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan
pola berpikir ilmiah adalah antara lain:
2. Karena sistematikanya jelas dan terstruktur, maka lebih mudah disebarkan dan
dikaji ulang
1. Karena ilmu makin terspesialisasi, maka sudut pandangnya menjadi semakin sempitdan
sektoral,
2. Kesimpulan ditarik dari kondisi eksperimental yang bersifat artifisial atau buatan
sehingga situasinya tidak mewakili situasi kehidupan nyata dan bisa timbul bias pada
tahap aplikasi
3. Sedalam-dalamnya kajian ilmu, kajiannya masih pada tataran gejala atau fakta sehingga
secara sendirian tidak akan pernah secara tuntas memecahkan masalah kehidupan. (Putra
S T, 2010)
Sumaryono (1999:9) memberikan pengertian sesat pikir adalah proses penalaran atau
argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berpikir
yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan
relevansinya.
Surajiyo (2009:105) mengatakan kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja, bukan karena
kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang sesat karena tidak
dari premis-premis yang menjadi acuannya. Sesat pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan
sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Contoh:
Silogisme di atas, merupakan sesat pikir dalam menyimpulkan, karena Ali dikatakan
kucing. Konklusi ini menyesatkan dan bisa marah yang bersangkutan kepada yang
mengatakannya. Ali yang bersangkutan dikatakan kucing yang bukan kucing melainkan orang
atau manusia yang memiliki martabat, bisa emosi dan memukul kepada yang menyampaikannya
karena merasa diturunkan martabatnya.
Bentuk sesat pikir berdasar pembagian, yaitu: musim menurut kegiatannya dapat dibagi
menjadi: musim tanam, musim kemarau, musim menyiangi, musim hujan, dan musim panen.
Dalam pembagian ini ada yang sesat pikir, yaitu musim kemarau dan musim hujan karena kedua
musim itu bukan kegiatan. Sesat pikir dalam bentuk lain, misalnya Natsir mengatakan Bambang
sangat mencintai istrinya, lalu disambung oleh Dahri dengan kata “dan saya juga”. Ucapan Dahri
mengatakan “dan saya juga” merupakan sesat pikir, yaitu dapat diartikan bahwa Dahri juga
mencintai istrinya Said. Pada hal yang ia maksudkan adalah Dahri juga mencintai istrinya
sendiri. Dari pengertian dengan tiga contoh sesat pikir yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan sesat pikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang tidak ketemu, atau salah
arah pada sasaran yang dimaksudkan. Walaupun proses berpikir semacam ini menyesatkan,
tetap juga hal ini sering dilakukan. Atas dasar inilah maka dipandang perlu untuk mengetahui
lebih lanjut, sumber, jenis-jenis dan latar belakang terjadinya proses sesat pikir tersebut.
5.3 Fenomena Sesat Pikir
Contoh:
Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer Premis 2: Tentara bayaran tidak
memperhatikan fungsi sipil
Konklusi: Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama dengan tentara bayaran
Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang
tidak berhubungan deengan konklusi yang akan dicari. Di sini logika berperanan penting.
Sebuah argumentasi yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya
merupakan argumen yang “sesat” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar. Di dalam jenis
kegagalan yang kedua inilah terdapat apa yang disebut sesat pikir.
Contoh:
Premis 2: Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal abadi Konklusi: Tuhan dan Pancasila adalah
identik
Selanjutnya dalam sumber yang sama, Sumaryono mengemukakan ada banyak jenis
kekeliruan yang dilakukan orang dalam melaksanakan penalaran atau dalam berargumen. Setiap
kekeliruan dalam menalar itu merupakan argumen yang salah.
5.4 Sumber-sumber Kesesatan
Rapart (1996:92) mengemukakan pada umumnya sesat pikir di bagi ke dalam tiga jenis, yaitu
sesat pikir karena semantik (bahasa), sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan semantik (bahasa), sebagai berikut:
a. Menggunakan term ekuivokal
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat berarti
ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti pohon yang sering ditanam
sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan
term ekuivokal disebut sesat pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).
Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan dalam arti yang
sebenarnya. Misalnya: Pemuda adalah tulang punggung negara. Sesat pikir yang disebabkan
oleh penggunaan term metaforis disebut sesat pikir metaforisasi (fallacy of metaphorization)
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda. Misalnya:
apel: jika tekanan tgerletak pada huruf “a” artinya ialah pohon/buah apel, tetapi jika tekanan
terletak pada suku kata “pel”, artinya ialah apel bendera, dan sebagainya. Sesat pikir yang terjadi
karena aksen disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent).
Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphyboly). Amfiboli terjadi apabila
sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda. Contoh: Ali mencintai kekasihnya dan demikian pula saya! Kalimat itu bisa
berarti: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih ali. Atau bisa juga berarti: Ali
mencintai kekasihnya dan saya mencintai kekasih saya
Sesat pikir formal terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bentuk
(form) penalaran yang sahih. Jenis-jenis sesat pikir formal adalah sebagai berikut.
Bentuk silogisme yang sahih ialah silogisme yang hanya memiliki tiga term yang
masing-masing disebut dua kali. Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat term, benntuk
silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar ketentuan pertama mengenai term-term silogisme
(lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)
Sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term konklusi
berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan keempat mengenai term-term silogisme (lihat
ketentuan mengenai term-term silogisme)
Sesat pikir yang terjadi karena term tengah tiedak berdistribusi, padahal untuk
memeperoleh konklusi yang benar term tengah sekurang-kurang satu kali berdistribusi. Hal ini
melanggar ketentuan ketiga mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term
silogisme)
Sesat pikir ini terjadi karena menarik konklusi dari dua buah premis negatif pada hal dari
dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar. Hal itu melanggar ketentuan kedua
dari ketentuan-ketentuan menganai premis-premis (lihat ketentuan premis)
Sesat pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk penalaran
yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi penalaran itu sendiri. Surajiyo
(2009:111) menyebutnya sebagai kesesatan relevansi. Sesat pikir macam ini sering kali
disengaja guna membangkitkan emosi atau mengalihkan perhatian seseorang ataupun
sekelompok orang dari masalah yang dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk
memperdayakan lawan bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tetapi faktanya
justru sangat kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Jadi, kesesatan relevansi timbul kalau
orang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya, artinya secara logis
kesimpulan tidak terkandung atau tidak merupakan implikasi dari premisnya. Jenis-jenis sesat
pikir material adalah sebagai berikut:
a) Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang
sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara.
Sesat pikir ini terjadi karena agumentasi yang diberikan memang sengaja tidak terarah
kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan
perasaan malu si lawan bicara. Contoh: “Jika Anda benar-benar seorang pembela kebenaran,
Anda pasti akan membenarkan saya karena apa yang saya katakan selalu benar!” Hal itu sering
pula dilakukan oleh pemasang iklan Misalnya: “Orang yang benar-benar bijaksana adalah orang
yang selalu menggunakan produk kami!”
Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “Saya yakin apa yang
dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang beliau,
seorang tokoh yang sangat dihormati dan seorang doktor yang jenius!” Jelas terlihat bahwa
argumen yang dikemukakan oleh orang tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana
mestinya, tetapi didasarkan pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir seperti itu
yang perlu dihindari.
Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan
bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.
Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas kasihan si lawan bicara
dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan.
Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk membakar emosi
mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi suatu usul atau program adalah
demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh
dukungan aatau membenarkan tindakan si pembicara.
Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahu apa pun
juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir. Belum tentu bahwa apa yang tidak
diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat pikir yang demikian disebut argumentum ad
ignorantiam.
Salah satu strategi menghindari sesat pikir, yaitu dengan menghindari sumber
penyebabnya. Sumaryono (1999:21) dan Surajiyo (2009:115) mendeskripsikan sesat pikir pada
hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu
lintas dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan
kecelakaan, maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar kita jeli dan cermat
terhadap kesalahan-kesalahan dalam menalar, juga agar kita mampu mengidentifikasi dan
menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran
palsu.
Oleh karena itu, untuk menghindari kesesatan penalaran dengan berhati-hati terhadap
sumber-sumber sesat pikir misalnya dengan menghindari kesalahan semantik atau bahasa,
senantiasa melakukan penyimpulan sesuai ketentuan silogisme yang benar, dan bersikap kritis
terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, peneliti terhadap peranan bahasa dan penggunaannya
merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman
penggunaan bahasa dapat dimanfaatkan untuk memperoleh konklusi yang benar dari sebuah
argumen.
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat “halus”. Banyak kata
yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna
yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus mengupayakan
agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat
mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
BAB VI
PENUTUP
Adib, Muhammad. 2009. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Bao L, Cai T, Koenig K, et al. 2009. Learning and scientific reasoning. Science 323: 586-7.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. https://kbbi.web.id/nalar-2 diakses pada tanggal 20
Juli 2019.
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta. PT. Prestasi Pustakarya Musofa I.
2016. Jendela logika dalam berfikir: deduksi dan induksi sebaga dasar penalaran ilmiah. El-
Banat 6(2): 122-42.
Putra ST, 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Rapar HJ, 1996. Pengantar Logika : asas-asas penalaran sistematis. Yogyakarta : Kanisius
Suhartono T. P., Harjanto, 2010, Filsafat Ilmu Kedokteran, Surabaya: Airlangga University
Press.
20: 99-149.