Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN PUSTAKA

Batu Saluran Kencing


a. Definisi
Penyakit batu saluran kemih merupakan penyakit yang menyerang seluruh
penduduk dunia. Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 sampai 750.000
penduduknya menderita BSK setiap tahun, di seluruh dunia rata-rata terdapat 1
sampai 12%. Kejadian pada pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali
untuk batu amonium magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di wanita.
Usia rata-rata BSK terjadi pada usia 30 sampai 60 tahun (Ratu & Hardjoeno, 2006).
Batu saluran kemih merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya batu pada
saluran kemih (ginjal, ureter, vesika urinaria, dan uretra). Komposisi dari batu
saluran kemih terdiri atas satu atau campuran dari asam urat, kalsium oksalat
(80%), kalsium fosfat, sistin, struvit, atau xantin (Mochtar dan Gaol, 2004).
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya batu ureter adalah jenis kelamin : pria empat kali lebih
tinggi dibanding wanita, usia rata-rata 30 sampai 60 tahun, riwayat keluarga,
konsumsi sumber protein, konsumsi sumber kalsium phospor (minuman bersoda),
konsumsi sumber asam urat, konsumsi sumber oksalat (Vitamin C dosis tinggi),
dan konsumsi sumber asam sitrat merupakan faktor risiko penyakit batu ginjal.
Selain itu kurang konsumsi air dan pekerjaan yang statis, hidup di tempat yang
memiliki kadar kapur tinggi (CaCO3) juga termasuk faktor resiko batu ureter
(Krisna, 2011).
c. Patofisiologi
Batu saluran terjadi karena supersaturasi urin dengan garam. Batu saluran
kemih juga dapat disebabkan oleh adanya infeksi berulang oleh bakteri yang
memproduksi urease. Batu saluran kemih dapat terbentuk bila dijumpai satu atau
beberapa faktor pembentuk kristal kalsium berupa bahan dasar dan ditambah
dengan faktor resiko. Hal ini akan menimbulkan agregasi dan pembentukan batu.
Jika agregasi semakin parah maka akan tertinggal pada saluran kemih dan lama-
lama akan mengendap dan menempel. Pengendapan ini dimulai pada bagian dari
saluran yang memiliki lesi. Lesi ini kemungkinan terjadi setelah adanya faktor-
faktor pembentuk kristal yang banyak. Pembentukan ini tergantung tempatnya
yaitu bisa di ginjal (nefrolitiasis), di ureter (ureterolitiasis), di vesika
(vesikolitiasis), dan di uretra (uretrolitiasis) (Setiati, 2014).
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi terjadi sesuai dengan letak dari batu tersebut. Manifestasi pada
nefrolitiais umumnya berupa nyeri pinggang, pegal dan nyeri kolik yang hebat
(Sjamsuhidajat, 2004). Pada ureterolitiasis terjadi nyeri kolik maupun non kolik.
Nyeri kolik adalah nyeri akibat peristaltik dari ureter yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminar dan menimbulkan hipoksia pada jaringan ureter.
Nyeri ini bersifat tajam, hilang timbul, melilit, tidak mengurang jika perubahan
posisi, pasien bisa mengguling-guling dan mual muntah. Nyeri non kolik akibat
peregangan kapsula ginjal. Batu uretra proksimal (ureteropelvic juntion) dapat
menimbulkan nyeri pinggang sedangkan batu ureter distal (ureterovesico juntion
dapat menimbulkan nyeri saat berkemih) (Hadiansyah & Rodjani, 2013).
Manifestasi batu pada vesika adalah nyeri supra pubik. Gejala pada batu uretra
adalah pancaran urin intermiten, hematuria terminal, dispareunia, dan infeksi. Jika
terjadi obstruksi maka gejala berupa nyeri perut bawah, pelvis, atau perineal, urin
menetes, dan retensi akut. Pada perempuan, batu uretra dapat menyebabkan nyeri
pelvis kronis. Pada laki-laki nyeri dapat dirasakan menjalar hingga ke ujung penis
(Kusumajaya, 2018).
e. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Hal yang bisa diemukan pada pemeriksaan fisik abdomen
adalah nyeri suprapubik dan nyeri ketok ginjal. Pemeriksaan penunjang berupa foto
polos abdomen dengan dua proyeksi, BNO-IVP, CT scan urografi tanpa kontras
(sensitivitas dan spesifitas terbaik), USG (untuk melihat semua jenis batu dan
melihat ruang lumen saluran kemih), serta pemeriksaan urinalisis, darah rutin, dan
darah lengkap (Mochtar dan Gaol, 2014).
f. Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm,
karena diharapkan baru dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum,
dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
Pilihan obat berupa alfa bloker (Tamulosin 0,4 mg), CCB, dan NSAID. Batas terapi
ini adalah 6 minggu dan jika sudah ada gangguan fungsi ginjal, obtruksi, dan
infeksi maka harus segara dilakukan evakuasi batu. Selain itu obat mekamentosa
juga diberikan sesuai keluhan. Jika diduga ada infeksi maka diberikan antibiotik
seperti ceftriakson. Antibiotik juga dapat digunakan sebagai profilaksis terjadinya
infeksi.
Terapi selanjutnya adalah ESWL (Extrocorporeal Shockwave Lithotripsy). Alat
ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau buli buli tanpa melalui
tindakan invasif atau tanpa ada pembiusan. Metode merupakan pilihan terbaik untuk
batu berukuran <2 cm karena sifat invasifnya yang tergolong minimal. Selain itu, ESWL
menjadi modalitas utama untuk pasien dengan batu pada lokasi renocaliceal. ESWL
adalah pemecah batu menggunakan gelombang kejut Batu dipecah menjadi
fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
Namun ada beberapa kekurangan dari ESWL yaitu bila batu keras seperti batu
kalsium oksalat monohidrat maka sulit dipecahkan. Pada orang gemuk juga sulit
dipecahkan. Selain itu radiasi dari gelombang kejut ini dapat mempengaruhi
ovarium.
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke
dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui urethra atau melalui insisi kecil
pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik,
dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi
laser. Beberapa tindakan endourologi itu adalah PNL (Percutaneus Nephro
Litholapaxy), Litotripsi, Ureteroskopi atau uretero-renoskopi, Ekstrasi Dormia.
Ureteroskopi dilakukan dengan cara memasukkan sebuah alat uretereskop
melalui ureter dan batu dipecah dengan menggunakan energi tertentu
(eletrohidrolik, ultrasonik, laser, atau pneumatik). Ureteroskopi dapat dilakukan
jika batu berada di tengah atau distal dari ureter. Setelah ureteroskopi biansanya
dipasang stent sebagai stabilisasi dan sebagai terapi bila ada stenosis ureter.
Percutaneous nephrolithotomy (PCNL), dilakukan dengan cara memasukkan
alat melalui insisi kulit menuju lokas batu dengan bantuan tuntunan fluroskopi,
ultrasonografi atau keduanya. Batu dapat dikeluarkan langsung atau dipecah
terlebih dahulu menjadi ukuran-ukuran kecil. PCNL menjadi pilihan utama untuk
batu yang berukuran >2 cm. Selain itu, PCNL sangat cocok untuk batu yang keras
(seperti sistein dan kalsium oksalat monohidrat), prosedur ESWL yang gagal, dan
adanya obstruksi pada ginjal. Selain itu juga ada terapi pembedahan berupa bedah
laparoskopi dan bedah terbuka (Ricardo, 2009).
Anastesi yang diberikan selama prosedur ureteroskop menggunakan anastesi
regional jenis subarachnoid blok (SAB). Anestesi merupakan tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Trias anastesi adalah terjadinya
keadaan hipnosis, analgesik dan relaksasi pada pasien. Jenis anastesi adalah
anastesi general, regional dan lokal. Anestesi general akan menyebabkan
kehilangan seluruh sensasi dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah
manipulasi anggota tubuh. Indikasi anastesi general adalah pembedahan dengan
prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas, operasi yang
melibatkan organ bagian atas dan anak-anak yang masih belum kooperatif. Induksi
anastesi general menggunakan propofol (hipnosis), fentanil 75 mcg (analgetik),
dan rolulorium/noperan (relaksan). Untuk pengawasan selama operasi
menggunakan folati agen seperti isoflurane atau sefofluran (hipnosis), N2O
(analgetik), dan rokulorium (relaksasan). Untuk recoveri menggunakan
antirelaksan neostigmin.
Kentungan dari general anastesi adalah operasi segera dilaksanakan karena obat
anastesi langsung cepat dan efek blok simpatis tidak sekuat spinal (hipotensi dan
bradikardi). Kerugiannya adalah obat-obat yang digunakan untuk anastesi general
menyebabkan apneu sehingga harus segera dilakukan bantuan napas. Selain itu
obat tersebut dapat masuk ke janin dan sebabkan depresi pernapasan. Sehingga
pada operasi sesar biasanya digunakan spinal anastesi.
Anestesi Regional adalah anastesi yang menyebabkan hilangnya sensasi pada
daerah tubuh tertentu. Anestesi regional terdiri dari anastesi spinal (SAB) dan
anastesi epidural. Induksi ini akan mempengaruhi bagian saraf sensorik yang diberi
anestesi. Indikasi dilakukan anastesi regional adala teknik pembedaaan pada organ
ynag dibawa umbilika.
Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam subarachnoid (SAB)
ruang cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2 dimana
medulla spinalis berakhir. Obat yang digunakan untuk anastesi spinal adalah
lidokain, buvivakain, dan tetrakain. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivakain
serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam. Buvifakain adalah obat yan paling
banyak digunakan karena efeknya yang optimal. Spinal anastesi memiliki efek blok
saraf simpatis yang sangat kuat sehingga menimbulkan vasodilatasi yang luas
sehingga dapat mengalami penurunan tekanan darah yang tiba – tiba (hipotensi).
Hipotensi terjadi diakibatkan oleh dilatasi vena dan arteri. Blokade spinal
yang terjadi dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh
penurunan isi sekuncup, curah jantung, tekanan arteri, dan resistensi perifer
sistemik. Tonus vasomotor terutama diinervasi oleh serabut-serabut saraf simpatis
dari T5–L1 yang mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade serabut saraf
tersebut menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah vena, terkumpulnya darah pada
bagian bawah (splanik dan juga ekstremitas bawah) dan penurunan aliran darah
balik ke jantung. Vasodilatasi arteri mengakibatkan penurunan resistensi vaskular
sistemik. Vasodilatasi arteri dikurangi dengan kompensasi vasokonstriksi di atas
blokade tersebut. Oleh karena itu pada awal anastesi infus RL harus lancar dan jika
terjadi hipotensi segera diberi vasopresor seperti efedrin, fenilefrin, atau
mefenteramin. Paling sering digunakan adala efedrin 5-10 mg.
Anestesi Lokal Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat
yang diinginkan. Obat anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat
terdifusi ke dalam sirkulasi. Anestesi lokal umumnya digunakan dalam
prosedur minor pada tempat bedah sehari (Flora et al., 2014).
g. Komplikasi
Batu pada saluran kemih dapat menimbulkan hidronefrosis. Hidronefrosis dapat
dibagi menjadi 4 derajat.
- Derajat 1 : dilatasi pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks berbentuk tumpul.
- Derajat 2 : dilatasi pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks berbentuk mendatar.
- Derajat 3 : dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor, dan kaliks minor tanpa adanya
penipisan korteks. Kaliks berbentuk menonjol.
- Derajat 4 : dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor, kaliks minor, serta adanya
penipisan korteks. Kaliks berbentuk menggembung (Setiati, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Fola, L., (2014) Efek Anastesi Spinal dengan Anastesi Umum Terhadap Kejadian Hipotensi
dan Nilai APGAR Bayi pada Secso Sesaria, Bandung : JAP
Hadiansyah, H., Rodjani, (2013) Nyeri Kolik & Hubungannya dengan Lokasi Batu Ureter
pada Penderita Batu Ureter Unilateral, Jakarta : FK UI
Krisna, D., (2011) Faktor Risiko Penyakit Batu Ginjal, Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Semarang : ISSN
Kusumajaya, A., (2018) Diagnosis & Tatalaksana Batu Uretra, Jakarta : CDK 261 vol. 45
Mochtar, C.A., Gaol, H.L., (2014) Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculapius,
Ratu, G., Harjoeno, dkk., (2006) Profil Analisis Batu Saluran Kemih di Laboratorium
Patologi Klinik, Indonesian Journal of Clinical Pathology an Medical Laboratory,
Makassar : FK UNHAS vol. 12, No.3
Ricardo, A., (2009) Gambran Klinis dan Tata Kelola Batu Salauran Kemih pada Bayi dan
Anak, Lampung
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, K. M., Setiyohasi, B., Syam, A.F., 2014, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Interna Publishing.
Sjamsuhidajat, R.W., (2004) Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 756-763.

Anda mungkin juga menyukai