Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

DENGUE SHOCK SYNDROME

Oleh
Nur Rahmat Wibowo, S.Ked
I11106029

Pembimbing
dr. James Alvin Sinaga, Sp.A

SMF ANAK RUMAH SAKIT UMUM DOKTER SOEDARSO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2011
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan dipresentasikan Laporan Kasus dengan judul :

“Dengue Shock Syndrome”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Kesehatan Anak di SMF Anak
Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak

Pontianak, 17 Oktober 2011


Pembimbing Laporan Kasus, Disusun oleh :

dr. James Alvin Sinaga, Sp.A Nur Rahmat Wibowo,S.Ked


NIM: I11106029

Mengetahui,
Ketua SMF Anak
Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso

dr. Dina Frida, Sp. A

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i


LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. iii
BAB I. Ilustrasi Kasus...... …………………………………………. 1
A. Identitas………...…………..…….…………………………. 2
B. Anamnesis................................................................................ 2
C. Pemeriksaan Fisik.…….…………….…………………….. 4
D. Pemeriksaan Penunjang..…..……………………………… 6
E. Resume..........………………………………..……….…….. 7
F. Diagnosis........……………………………………………. 8
G. Tatalaksana............................................................................. 8
H. Prognosis................................................................................. 9
I. Catatan Kemajuan.................................................................... 9
BAB II Pembahasan…………..……….………………........……… 13
BAB III Tinjauan Pustaka
3.1 Batasan dan Uraian Umum..………………………………. 18
3.2 Etiologi...........................…………………………….…….. 18
3.3 Epidemiologi.......................................................................... 18
3.4 Penularan................................................................................ 20
3.5 Patogenesis.............................................................................. 21
3.6 Diagnosis................................................................................. 24
3.7 Penatalaksanaan...................................................................... 29
BAB IV Kesimpulan............................................................................ 34
Daftar Pustaka..................................................................................... 35

3
BAB I
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Anak RZ
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Sungai Raya Dalam, Pontianak
Umur : 11 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Melayu
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Tanggal Rawat : 9 September 2011

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis dengan Ibu pasien dan
pasien sendiri pada tanggal 11 September 2011.

Keluhan Utama
Demam

Riwayat Perjalanan Penyakit


Empat hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien mengalami demam. Demam
dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Demam terkadang disertai menggigil.
Pasien berkeringat ketika demam dan setelah demam namun tidak sampai membasahi
baju. Menurut Ibu pasien demam yang dialami pasien cukup tinggi, namun suhunya
tidak diukur. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-pegal pada tungkai dan sakit
kepala. Riwayat batuk dan pilek disangkal. Sudah minum obat penurun panas
sebelumnya dan demam turun namun kemudian demam timbul lagi.
Karena keluhan demamnya pasien kemudian di bawa ke Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso (IGD RSDS) oleh keluarganya dan oleh dokter

4
jaga IGD pasien disarankan untuk dirawat inap akan tetapi keluarga pasien menolak
dan memilih untuk dirawat jalan dengan alasan jarak tempat tinggal dan rumah sakit
yang relatif dekat. Oleh dokter jaga di IGD diberi obat penurun panas dan antibiotik
dan diberikan saran agar segera kembali ke rumah sakit apabila keadaan pasien
semakin memburuk.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa kembali ke IGD RSDS
dikarenakan di rumah pasien muntah-muntah sebanyak 3x, jumlah ± 3 sendok makan
s/d ¼ gelas per kali, berisi apa yang dimakan, muntah tidak menyemprot.
Pasien juga mengeluh nyeri perut sejak 12 jam sebelum masuk RS terutama di ulu
hati dan perut bagian kanan atas, kaki dan tangan teraba dingin sejak 3 jam sebelum
masuk RS. Riwayat perdarahan dari hidung, gusi, saluran cerna, dan tempat lain
disangkal. Buang air kecil jumlah dan warna biasa, terakhir 2 jam sebelum masuk RS
sekitar ½ botol aqua ukuran sedang. Selama empat hari pasien belum buang air besar.
Pasien tidak memiliki riwayat ke luar kota sebelumnya.
Satu hari setelah masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri perut yang dirasakan
semakin bertambah terutama di bagian perut kanan atas. Demam sudah turun dan
kedua kaki dan tangan masih terasa dingin. BAK menjadi semakin sedikit dan jarang.

Riwayat Penyakit Sebelumnya yang Berhubungan dengan Penyakit Sekarang

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat DBD
sebelumnya.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga/ Lingkungan Sekitarnya yang Ada


Hubungan dengan Penyakit Sekarang
Pada keluarga maupun tetangga sekitar rumah tidak ada yang mengalami penyakit
yang serupa seperti pada pasien. Namun, di lingkungan sekolah, terdapat beberapa
teman pasien yang menderita DBD dan sempat dirawat di rumah sakit.

5
Riwayat Kehamilan Ibu
Pasien dikandung cukup bulan dan ibunya sering memeriksakan diri ke bidan selama
masa kehamilan. Ibunya tidak pernah mengalami kelainan selama masa kehamilan.

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru
maupun kuning saat lahir. Berat badan lahir sekitar 3400 gram dengan panjang badan
Ibu tidak ingat.

Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien makan tiga kali
sehari. Pasien makan nasi dengan berbagai lauk setiap harinya, namun pasien tidak
suka makan sayur-sayuran. Pasien terkadang minum susu instan tetapi tidak rutin.

Riwayat tumbuh Kembang


Pasien tumbuh seperti anak seusianya, termasuk aktif bermain. Saat ini pasien berusia
11 tahun dan telah masuk kelas 5 SD, dan mendapat peringkat 4 di kelasnya.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib pasien lengkap

Riwayat Penyakit Keluarga, sosial dan ekonomi


Pasien tinggal serumah dengan orang tua. Pasien berobat menggunakan layanan
ASKES.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pada tanggal 11 September 2011:

Tanda Vital :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, gelisah
Kesadaran : Compos mentis

6
Tekanan darah : 96/78 mmHg
Frekuensi nadi : 120x/menit, regular, isi kurang, teraba lemah
Frekuensi nafas : 28x/menit, kedalaman cukup, napas cuping hidung (-),
retraksi (-)
Suhu tubuh : 36,9 C

Status Antropometri :
Berat badan : 42 kg
Tinggi badan : 148 cm
BB Persentil 50-75

PB Persentil 75
BB/U = 42/36 x100% = 116,7% (gizi baik)
TB/U = 148/143 x100% = 103,5% (gizi baik/normal)
BB/TB = 42/40 x 100% = 105% (normal)
Kesan : gizi baik
IMT: 42/(1,48)2 = 19,17 (menurut kurva NCHS berdasarkan IMT/umur
didapatkan hasil diantara persentil 75 dan 85 = gizi normal)

Status Generals dan Lokalis


Kulit : Petekie (-), turgor baik
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tak mudah dicabut.
Wajah : Ekspresi baik, bentuk simetris
Mata : Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+,
conjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, mucosa hiperemis -/-, secret -/-
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil dan faring tidak hiperemis, mukosa bibir
kering, sianosis perioral (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar thyroid tak teraba membesar.
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran jantung

7
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis, tidak ada
bagian paru yang tertinggal, penggunaan otot bantu
napas (-), retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax
Perkusi : Sonor di kedua hemithorax
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih tinggi dari dinding
dada
Palpasi : lemas, hepar teraba 3 cm bawah arcus costae dan 5 cm
bawah processuss xiphoideus, tepi tajam, permukaan
rata, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+), nyeri tekan
epigastrium (+),lien tidak teraba,
Perkusi : Timpani, regio kuadran kanan atas pekak, shifting dullness
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Extremitas : Akral dingin, petechiae (-), perfusi perifer kurang, CRT 3”, oedema (-
), pulsasi arteri perifer (A.Dorsalis pedis dekstra et sinistra) teraba
lemah.
Rumple leede test (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 10 September 2011
o 10/09/2011 05:41 (IGD)
 Leukosit 11.300 / µL
 Eritrosit 5.200 / µL
 Trombosit 143.000 / µL
 Hb 14,1 g/dL
 Ht 41,7 %

8
o 10/09/2011 18:32
 Leukosit 8.500 / µL
 Eritrosit 6.400 K/ µL
 Trombosit 60.000 / µL
 Hb 16,6 g/dL
 Ht 49,8 %
Kesan: terjadi penurunan trombosit (trombositopenia), peningkatan Hb
dan Ht

Hasil Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 11 September 2011


o 11/09/2011 pukul 06:17 wib
 Leukosit 11.700 /µL
 Eritrosit 5.600 /µL
 Trombosit 30.000 /µL
 Hb 15,7 g/dL
 Ht 45,7 %
o 11/09/2011 pukul 18:40 wib
 Leukosit 13.600 /µL
 Eritrosit 5.800 /µL
 Trombosit 23.000 /µL
 Hb 15,9 g/dL
 Ht 46,8 %
Kesan: terjadi penurunan trombosit (trombositopenia), peningkatan Hb
dan Ht

E. RESUME
Anak RZ usia 11 tahun dengan berat badan 42 kg datang dengan keluhan utama
demam tinggi sejak empat hari SMRS. Demam dirasakan timbul mendadak dan terus
menerus. Menggigil (+), Kejang (-). Batuk (-). Mencret, (-) sesak (-), Mual (+),
muntah (+). Sakit kepala (+), sakit perut (+), pegal (+). Riwayat perdarahan dari

9
hidung, gusi, saluran cerna, dan tempat lain disangkal. Kaki dan tangan dingin (+),
Buang air kecil pasien masih seperti biasanya kemudian menjadi semakin sedikit.
Selama empat hari pasien belum buang air besar. Riwayat ke luar kota sebelumnya (-
). Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, tanda vital
didapatkan Tekanan darah 98/76 mmHg, Frekuensi nadi 120x/menit, regular, isi
kurang, teraba lemah, Frekuensi nafas 24x/menit,Suhu tubuh 36,9 C, hepatomegali,
nyeri tekan epigastrium (+), pulsasi arteri perifer teraba lemah dan hasil uji rumple
leed (+). Status gizi baik. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan Hb,
Ht dan terdapat trombositopenia.

F. DIAGNOSIS
 Diagnosis kerja : Demam Berdarah Dengue derajat III
 Diagnosis banding : Malaria

Rencana diagnostik
Pemeriksaan darah perifer lengkap setiap 6-8 jam.
Monitor tanda vital setiap 15-30 menit
Pemeriksaan Malaria Kuantitatif (Hapus darah tebal dan tipis)

G. Tatalaksana
o Medikamentosa
 O2 2L/menit, nasal
 IVFD RL 20 cc/kgBB/30 mnt  840 cc/30 mnt  560 tetes/menit (makro)
kemudian bila syok teratasi dilanjutkan IVFD RL 10 cc/KgBB/jam  420
cc/jam atau 140 tetes/menit makro, bila tidak teratasi maka lanjutkan IVFD RL
840 cc/jam atau 280 tetes/menit makro. Jika kondisi tetap stabil dan membaik
maka cairan diturunkan menjadi 210 cc/jam atau 70 tetes/menit makro. Jika
dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi
126 cc/jam atau 42 tetes/menit makro.
 Paracetamol 3 x 500 mg PO bila suhu > 38oC
 Ranitidine 2 x 50 mg IV

10
 Inj Cefotaxime 3 x 500 mg iv.
 Pasang Douer Catheter

o Non medikamentosa
 Bedrest (tirah baring)
 Minum air yang banyak
 Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD
dengan 3M, yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat
menampung air. Menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk
mencegah gigitan nyamuk
 Menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.

H. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Ad bonam
Quo Ad functionam : Ad bonam
Quo Ad sanactionam : Ad bonam

CATATAN KEMAJUAN

Senin, 12/09/11
S : Perut terasa sakit, demam (+), nafsu makan kurang, Belum BAB (-),
kaki dan tangan masih terasa dingin
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 119/76 mmHg, FN : 101x/menit, FP : 38x/menit, suhu 36,4 C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari
BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam,
NT (+), NT epigastrium (+)

11
Ekstrimitas : akral dingin, perfusi baik, CRT 2 detik, Petekie (-).
Urine output 4840 cc
Balance + 540 cc
Pemeriksaaan laboratorium pukul 10:09
Leukosit 11.700 /µL, Eritrosit 4.950 /µL, Trombosit 34.000 /µL, Hb
14,0 g/dL, Ht 39,5 %
Pemeriksaaan laboratorium pukul 13:06
Leukosit 13.300 /µL, Eritrosit 5.980 /µL, Trombosit 64.000 /µL, Hb
16,5 g/dl, Ht 47,5 %
Pemeriksaaan laboratorium pukul 18:39
Leukosit 13.100 /µL, Eritrosit 5,600 /µL, Trombosit 61.000 /µL, Hb
15,2 g/dl, Ht 43,8 %
GDS: 121 mg/dl
Kesan : Peningkatan Hb,Ht, trombositopenia, leukositosis ringan
A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III)
P : - IVFD RL 42 tetes/menit makro
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Inj Cefotaxime 3x500 mg iv
- Drip Cernovit 3 x 15 cc
- Monitor tanda vital tiap 15-30 menit
- Rencana pemeriksaan serial tiap 6-8 jam

Selasa, 13/09/11
S : Perut sakit berkurang, demam (-), kaki dan tangan tidak terasa
dingin, kencing banyak
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/70 mmHg, FN : 88 x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,4 C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)

12
Paru : vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari
BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam,
NT (+), NT epigastrium (+)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-).
Pemeriksaaan laboratorium pukul 06:53
Leukosit 13.300 /µL, Eritrosit 5.510 /µL, Trombosit 97.000 /µL, Hb
14,9 g/dl, Ht 42,3 %
Kesan : Penurunan Ht,Hb dan trombositopenia
A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) Teratasi
P : - RL 27 tpm (maintenance)
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Inj Cefotaxime 3x500 mg iv
- Rencana pemeriksaan Foto Thoraks AP dan Right Lateral
Decubitus (RLD)

Rabu, 14/09/11
S : Sakit perut (-) , demam (-), nafsu makan (+), BAB (+), kaki dan
tangan terasa hangat, muntah (-), BAK lancar dan banyak,
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/70 mmHg, FN : 92x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36 ,1 C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 3 jari
BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam,
NT (+), NT epigastrium (-)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, Petekie (-).
A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) Teratasi

13
P : - IVFD RL 27 tpm (maintenance)
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg

Kamis, 15/09/11
S : Sakit perut (-), demam (-), nafsu makan (+) baik, BAB (+), kaki dan
tangan terasa hangat, BAK banyak
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 120/70 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 22x/menit, suhu 36,3 C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 2 jari
BACD dan 3 jari BPx, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam,
NT (+), NT epigastrium (-)
Ekstrimitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik, Petekie (-).
A : Dengue Shock Syndrome (DBD grade III) teratasi dan dalam
perbaikan
P : - Boleh pulang

Jumat, 16/09/11
Pasien pulang

14
BAB II
PEMBAHASAN

Diagnosis demam berdarah dengue derajat III ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini.
Penegakan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria,
yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab
yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hati, terdapat
manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari pemeriksaan fisik
didapatkan pasien dalam keadaan syok (terdapat kegagalan sirkulasi), yaitu keadaan
umum yang buruk, gelisah, dengan tekanan darah 98/76 mmHg, nadi yang cepat dan
halus, frekuensi nafas 28 x/menit, akral dingin dan perfusi jelek.
Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
leukosit yang berada dalam batas normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang
cenderung meningkat serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 60.000/mm3
(pemeriksaan pada tanggal 10/09/2011), 30.000/mm3 dan 23.000/mm3 (pemeriksaan
pada tanggal 11/09/2011). Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratories
DBD. Hemoglobin dan hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya
hemokonsentrasi. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran
plasma. Hal ini memperkuat diagnosis demam berdarah dengue. Selain itu pada
pasien ini juga didapatkan tanda-tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah,
perfusi perifer yang menurun dan akral yang dingin dan lembab. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien ini mengalami DBD derajat III.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok
dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien
dapat tiba-tiba memburuk, yang biasannya terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, yakni antara hari sakit ke 3 – 7. Pada sebagian besar kasus ditemukan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi menjadi
cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya
hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia

15
(trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti
terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai
dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD.
Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari
Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.

Gambar 1. Pola demam pada DBD yang menyerupai Pelana kuda

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong adalah sebagai berikut.
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

16
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma
dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya
perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya
syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase
febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga
sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan
kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan
pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit.
Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci
keberhasilan pengobatan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter
untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simtomatik.
Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal kanul 2 liter
permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada semua pasien syok.
Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk
pemantauan diperlukan pemasangan pulse oximetry untuk mengetahui saturasi
oksigen dalam darah.
Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat (RL)
840 mL dalam 30 menit pertama .Ringer laktat adalah salah satu larutan kristaloid
yang direkomendasikan WHO pada terapi DBD. Pengobatan awal cairan intravena
pada keadaan syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan dalam 30
menit. Pada pasien ini berat badannya adalah 42 kg sehingga didapatkan jumlah
cairan yang diberikan adalah 840 ml dalam 30 menit dengan tetesan infus sebesar 560
tetes per menit makro {(840/30) x 20}. Apabila syok belum teratasi dan atau keadaan

17
klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan diganti dengan
koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30
ml/kgBB/jam. Segera setelah terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan
kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien kondisi membaik setelah
dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan yang diberikan dikurangi
menjadi 420 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi tetap stabil dan
membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5 ml/kgBB/jam) atau Jika
dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan diturunkan lagi menjadi 126
ml/jam (3 ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam 48 jam setelah syok teratasi
pemberian terapi cairan dapat dihentikan.
Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi
lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan
dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan
kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali
ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema paru dan distres pernafasan
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk
mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila suhu > 38 C).
Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga
diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali
sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan terhadap pasien
seperti pemasangan jalur infus untuk pemberian cairan, pemasangan Douwer
Catheter dan pengambilan sampel darah yang secara rutin dilakukan. Kesemuanya itu
mempunyai resiko untuk terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 11 September 2011 didapatkan
kecenderungan terjadinya peningkatan leukosit meskipun hanya meningkat sedikit
(dari 11.700 /µL menjadi 13.600/µL).

18
Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa, yaitu
minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan
pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang yang
dapat menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah
gigitan nyamuk, khususnya saat berada di lingkungan sekolah; dan menjaga asupan
nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.
Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil,
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada
pasien saat ini tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena
organ-organ vital pasien masih berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya
manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad sanactionam bonam karena kekambuhan pada
DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi oleh virus dengue. Dengan edukasi
yang tepat, maka dapat dilakukan tindakan pencegahan terjadinya infeksi virus
dengue.

19
BAB III
SINDROM SYOK DENGUE

Spektrum klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari faktor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi
virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang
bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak
spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih
berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD). (1,2,3)

2.1 Batasan dan Uraian Umum


Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal. (1,2,3)
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh
dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock
syndrome (DSS).

2.2 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4; dengan serotipe DEN-3 yang dominan di Indonesia dan paling banyak berkaitan
dengan kasus berat. Terdapat reaksi silang antara serotipe Dengue dengan Flavivirus
lainnya. Infeksi oleh salah satu serotipe Dengue akan memberikan imunitas seumur
hidup, namun tidak ada imunitas silang dengan jenis serotipe lain.

2.3 Epidemiologi
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh
dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta kasus dan angka

20
kematian berkisar 24.000 jiwa. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh
propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.
Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi
berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk (1989-1995). Mortalitas DBD cenderung
menurun hingga 2% tahun 1999. (1,2,3,4,5)

Gambar 2. Distribusi Virus Dengue, Infeksi dan Daerah Epidemis

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban
udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu
udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya
penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus
dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun. (2)

21
Gambar 3. Infeksi Dengue di Indonesia

2.4 Penularan
Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya sudah menggigit orang yang terinfeksi dengue. Kedua
jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, terutama di tempat-
tempat dengan ketinggian kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Populasi nyamuk ini akan meningkat pesat saat musim hujan, tetapi nyamuk Aedes
aegypti juga dapat hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air
sepanjang tahun. Satu gigitan nyamuk yang telah terinfeksi sudah mampu untuk
menimbulkan penyakit dengue pada orang yang sehat.
Setelah seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi Dengue, virus akan
mengalami masa inkubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari). Setelah itu, pasien
akan mengalami gejala demam akut disertai berbagai gejala dan tanda nonspesifik.
Selama masa demam akut yang dapat berlangsung 2-10 hari, virus Dengue dapat
bersirkulasi di peredaran darah perifer. Jika nyamuk A. aegypti lain menggigit pasien
pada masa viremia ini, nyamuk tersebut akan terinfeksi dan dapat mentransmisikan
virus pada orang lain, setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-12 hari.

22
2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. (1,2,3)
Halstead (1973) menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous
infection. Pasien yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi kemudian berikatan dengan
Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi
heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas
melakukan replikasi dalam sel makrofag (respon antibodi anamnestik)(1,2,3)
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi mengaktifkan sistem komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga
plasma merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok. (1,2,3)

Gambar 4. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue

23
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan perembesan plasma kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan
plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar
natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus
dengue dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. (1,2)

Gambar 3. Patogenesis Syok pada DBD

24
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi
stimulasi trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.(2,3)

Gambar 6. Patogenesis Perdarahan pada DBD

25
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga
terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler
yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD
diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),
kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.(2,3)
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1) Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag dan
sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2) Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik pada
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fogosit mononukleus.
3) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus yang
telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS ialah jumlah
sel yang terinfeksi.
4) Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya mediator-
mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu. Mediator tersebut
berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan aktivasi komplemen
dengan efek peninggian permeabilitas dinding pembuluh darah, serta
tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO yang terdiri
dari kriteria klinis dan laboratoris, yaitu sebagai berikut:

26
Kriteria klinis :
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas seperti anoreksia, lemah,
nyeri pada punggung, tulang, persendian , dan kepala, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2) Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji tourniquet positif*, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena.
3) Hepatomegali
4) Syok, nadi kecil dan cepat dengan tekanan nadi ≤ 20 mmHg, atau hipotensi
disertai gelisah dan akral dingin.
* Uji bendung dilakukan dengan membendung lengan atas menggunakan manset pada
tekanan sistolik ditambah diastolik dibagi dua selama 5 menit. Hasil uji positif bila
ditemukan 10 atau lebih petekie per 2.5 cm2 (1 inci).

Kriteria laboratoris :
1) Trombositopenia (≤ 100.000/µl)
2) Hemokonsentrasi (kadar Ht ≥ 20% dari orang normal)

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap cukup untuk
menegakkan diagnogsis kerja DBD.

Sindrom Syok Dengue


Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin-lembab.

Penentuan Derajat Penyakit


Karena spektrum klinis infeksi virus dengue yang bervariasi, derajat klinis
perlu ditentukan sehubungan dengan tatalaksana yang akan dilakukan.(2,4)

27
Gambar 7. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

Perbedaan gejala dan tanda klinis pada setiap derajat terbagi dalam tabel berikut :

DERAJAT GEJALA & TANDA LABORATORIUM


Demam 2-7 hari Leukopenia
DD Disertai > 2 tanda : sakit kepala, Trombositopeni
nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia Kebocoran Plasma (-)

Gejala di atas (+)


DBD I
Disertai uji bendung positif Trombositopeni
(<100.000/ul)
Serologi
Gejala di atas (+) Dengue
DBD II Kebocoran Plasma (+)
Disertai perdarahan spontan Positif
:
Peningkatan Ht > 20
DBD Gejala di atas (+) %
III
DSS Disertai tanda kegagalan sirkulasi Penurunan Ht > 20 %
setelah pemberian
DBD Syok berat disertai dengan tekanan cairan yang adekuat.
IV
DSS darah dan nadi yang tidak terukur

Kasus tipikal dari DBD ditandai oleh 4 manifestasi klinik mayor : demam
tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi.
Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai dengan hemokonsentrasi adalah
temuan laboratorium yang khusus untuk DBD. Patofisiologi yang menunjukkan
derajat keparahan DBD dan membedakannya dari Demam Dengue adalah keluarnya

28
plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi), efusi
serosa, atau hipoproteinemia.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong:
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.

Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:


1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda syok
disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan nadi
menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya tekanan
sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak terukur/nol,tetapi
belum ada sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak terukur
lagi disertai sianosis dan asidosis.

Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium meliputi :
1. Isolasi virus
Dapat dilakukan dengan menanam spesimen pada :
 Biakan jaringan nyamuk atau biakan jaringan mamalia.

29
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen yang
ditunjukkan dengan immunoflouresen, atau adanya CPE (cytopathic
effect) pada biakan jaringan manusia.
 Inokulasi/ penyuntikan pada nyamuk
Pertumbuhan virus ditunjukan dengan adanya antigen dengue pada
kepala nyamuk yang dilihat dengan uji immunoflouresen.
2. Pemeriksaan Serologi
 Uji HI (Hemaglutination Inhibition Test)
 Uji Pengikatan komplemen (Complement Fixation Test)
 Uji Netralisasi (Neutralization Test)
 Uji Mac.Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay)
 Uji IgG Elisa indirek

Pemeriksaan Radiologi
Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa kerlainan yang
dapat dideteksi yaitu :
1. Dilatasi pembuluh darah paru
2. Efusi pleura
3. Kardiomegali dan efusi perikard
4. Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
5. Caran dalam rongga peritoneum

Diagnosis Banding
1. Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi bakteri
maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria, dan sebagainya.
2. Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
3. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis.
4. Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae, leukemia
pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
5. Syok endotoksin.
6. Demam Chikunguya.

30
PENATALAKSANAAN
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20
ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2
lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak
terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid. Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa
elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid diberikan pada
jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada
syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai
cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan peningkatan tekanan nadi
lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi
10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24
jam atau sampai klinis stabildan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya
cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit
stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan
seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi, tekanan darah, jumlah urin
dikerjakan tiap jam (usahakan urin >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum
baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB. Apabila
tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-

31
8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan
cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP
normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.

32
Bagan 1. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV
(Sindrom Syok Dengue/SSD) [2]

DBD derajat III & IV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi


Kesadaran membaik Kesadaran menurun
Nadi teraba kuat Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan


10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital 2. Tambahkan koloid/plasma
Tanda perdarahan Dekstran/FFP
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam

Stabil dalam 24 jam


Tetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasi
Ht stabil dalam 2x Syok teratasi
Pemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik

Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar


10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBB
dapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhan
setelah syok teratasi

33
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)(2)
1. Kristaloid
Larutan ringer laktat (RL)
Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
1. Koloid
Dekstran 40, Plasma, Albumin

Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD


Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai
keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy ethyl
starch (HES).(2)
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena
akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan
selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3-5
jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan
cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor
VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak
boleh diberikan pada pasien dengan KID.(2)
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang
mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar
2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah. (2)
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES
450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah
larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam

34
4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-
12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang
dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung
trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin
parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.(2)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD
seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk
kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium
untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama
24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang
diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatat jumlahnya.(2)

Kriteria Memulangkan Pasien(2)


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
6. Tiga hari setelah syok teratasi
7. Nafsu makan membaik

35
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dirawat pasien an. RZ, 11 tahun masuk dengan keluhan utama demam 4
hari SMRS dan didiagnosis sebagai dengue shock syndrome berdasarkan kriteria
klinis dan laboratories dari WHO.
Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa
pemberian terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan pemberian terapi cairan pada
DSS (sesuai dengan literatur). Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan
parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 500 mg PO (apabila
suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati
maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 50 mg untuk sekali pemberian yang
diberikan 2 kali sehari. Diberikan antibiotik dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder yang mungkin terjadi akibat manipulasi yang dilakukan
terhadap pasien.
Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian
penegakan diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan
tinjauan literature mengenai penanganan pada dengue shock syndrome.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengedukasi keluarga
pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras,
mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien
memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006
2. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005
3. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Edition II. Geneva : World Health Organization. 2002. Available from
htttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication
Accessed December 1, 2009.
4. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of
Vector Borne and Infectious Diseases. Atlanta : 2009
5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T, editor. Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
6. Anonymous. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue haemorrhagic
fever in small hospital. World Health Organization Regional Office for South-
East Asia. New Delhi: WHO; 1999.

37

Anda mungkin juga menyukai