Anda di halaman 1dari 3

OTONAN "Peringatan Hari Kelahiran Umat

Hindu Bali
Oleh : I Wayan Ritiaksa, M.Ag, Denpasar.

Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga
Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang "Bali". Salah satu keunikan yang
sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal;
Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun
wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama
persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir
pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis
seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga
Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang "Bali". Salah satu keunikan yang
sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal;
Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun
wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama
persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir
pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis
seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal
dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya
seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap
tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil
biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh
pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah;
biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.

Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering
mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali
yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap
yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-
simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh :

Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar


doa : "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" (Ini kamu
memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).

Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah
pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya
benang dapat dilihat sebagai berikut :
1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering
dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan
yang lurus/benar.

2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang
otonan dan tidak mudah patah semangat.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat
seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat
tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan
kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha
menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali
cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang
dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum
jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: "Ne cening ngilehang sampan, ngilehang
perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu "bencah" (Ini
kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai
menemui kapal terdampar).

Dari doa tersebut dapat dilihat makna:

1. "Ngilehang sampan ngilehang perahu" bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap
hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar
ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang
menghidupi kita.

2. "Batu makocok" adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa
yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini
bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.

3. "Tungked bungbungan" (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni
sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena
bambu bila masih utuh memang selalu terapung. "Perahu hidup ini" jangan mudah tenggelam
oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai
mempergunakan tongkat (usia tua).

4. "Teked dipasisi napetang perahu bencah" (sampai di pantai menemui perahu / kapal
terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di
Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat
dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut.
Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa
mendapatkan rejeki yang banyak.

Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi
masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik
maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga
mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.
Warta Hindu Dharma No. 488 Agustus 2007.

Anda mungkin juga menyukai