Anda di halaman 1dari 6

Kasus

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) hari ini mengadili secara etik hakim tindak pidana
korupsi Pengadilan Negeri Bandung Ramlan Comel di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu,
12 Maret 2014. Majelis yang diketuai hakim agung Artidjo Alkostar sepakat memberikan sanksi
berat kepada Ramlan. "Kami rekomendasikan dia diberhentikan dengan tidak hormat," Menurut
pertimbangan Artidjo, Ramlan Comel terbukti menerima suap dan janji saat menyidangkan
perkara korupsi dana bantuan sosial di Bandung, Jawa Barat. Menurut majelis, Ramlan telah
melanggar Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial tahun 2012 tentang etika hakim.Dalam SKB tersebut, kata anggota MKH Jaja Ahmad
Jayus,

seorang hakim dilarang keras menerima janji, hadiah, hibah, warisan, penghargaan, atau
pinjaman dan fasilitas dari orang yang berkepentingan dalam perkara yang ditangani. Terlebih
hal tersebut merupakan upaya untuk mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara. Menurut
anggota Komisi Yudisial itu, sanksi pelanggaran etik yang dilakukan Ramlan Comel masuk
dalam kategori sanksi sedang. Namun, Majelis punya pertimbangan lain untuk menjatuhkan
sanksi berat. "Dia adalah hakim adhoc tindak pidana korupsi. Perbuatannya telah mencoreng
kepercayaan dan keadilan masyarakat," Walhasil, Ketua MKH Aridjo Alkostar meminta MA
membuat surat pemberhentian sementara terhadap Ramlan Comel sembari menunggu surat
pemecatan resmi. "Menunggu surat pemecatan resmi dari Presiden," Dalam sidang hari ini
Ramlan Comel tak hadir.

Menurut pengacara Ramlan, Diah Sulastri dan Disiplin M. Manao, kliennya sudah
menerima undangan sejak 6 Maret lalu. Namun, Ramlan tak datang dengan alasan sudah
mengajukan surat pengunduran diri. "Ketua Pengadilan Negeri Bandung bilang yang
bersangkutan (Ramlan Comel) sejak 5 Maret 2014 tidak masuk kantor,". MA dan Komisi
Yudisial menyeret Ramlan ke sidang etik dengan dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku
hakim dalam penanganan kasus korupsi Dana Bantuan Sosial Pemerintah Kota Bandung 2009-
2010.
Analisis kasus

Hakim adalah salah satu profesi yang paling penting dalam proses peradilan karena tugas
hakim adalah untuk mengadili dan memutus perkara. Dalam menjalankan tugasnya hakim harus
berpegang teguh pada kode etik profesi hakim. Kode Etik Profesi Hakim ialah aturan tertulis
yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai
Hakim. Tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak,memberi
kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Sedangkan hal-hal yang bersifat sosial hanyalah
akibat dari putusan hakim terhadap pihak yang bersangkutan. Hakim dituntut tidak boleh
legalistik, tidak boleh sekedar sebagai mulut undang-undang, tidak boleh hanya “legal justice”
tetapi harus “social justice”, dan lain-lain. Hakim dituntut untuk menemukan hukum, bahkan bila
perlu menciptakan hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat.

Berkaca dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak hukum,
yang seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi, adanya tuntutan
ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai dengan ketidak patuhan
terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya terutama untuk para hakim. Saat ini banyak
kasus suap hakum yang terjadi di berbagai pengadilan di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itu
kode etik profesi sangatlah penting karena kode etik memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai sarana
kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalah
pahaman dan konflik. Berdasarkan pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik
profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral
dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan
masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum terutama profesi
hakim. ,

Dasar kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan
tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan
pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat
Indonesia.

Adapun pokok-pokok dari etika profesi Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yaitu bebas dari
segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. (Terdapat dalam pasal 1)
2. Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”. (Terdapat dalam Pasal 4 ayat (1))
3. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. (Terdapat dalam Pasal 4
ayat (2))
4. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. (Terdapat
dalam pasal 5)

Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan
kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif
atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan.
Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah
suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com,
kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Sejatinya, ada begitu
banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli. Huntington (1968) memberikan
pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang
diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan
kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku
tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya
adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya,
permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran (Agus Suradika,
2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya
akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)

Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi
sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang
dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan,
kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2). Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul
“Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe.
Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di
mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi
atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan
pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok,
yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan
setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya
agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut
Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik
(nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak,
keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu
para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat,
korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara
yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan
kekuasaannya.
Pelanggaran kode etik hakim tersebut tentu sangat mempengaruhi putusan hakim dalam
sebuah pengadilan. Kita tentu sering mendengar bahwa putusan hakim sangat sering tidak adil
sehingga dirasa sangat mengecewakan. Misalnya saja kasus-kasus ringan seperti pencurian
kakao dan pencurian piring diputus oleh hakim dengan hukuman yang sama dengan atau bahkan
lebih berat daripada kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sampai bermilyar-milyar.
Hal tersebut jelas terlihat bahwa putusan hakim-hakim di Indonesia sangat tidak adil. Sampai-
sampai terdapat opini publik bahwa hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul
ke atas. Posisi hakim yang sangat sentral dan memiliki kekuasaan membuat putusan itulah yang
membuat hakim sering dilirik untuk dijadikan seorang ‘mafia’. Belum lagi adanya modus ‘balik
modal’ yang dilakukan oleh para hakim-hakim kita karena dulunya ia diterima menjadi hakim
dengan memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit sehingga hal tersebut jelas mendorong
hakim untuk gampang untuk menerima suap.Ramlan diduga menerima suap dan gratifikasi
seksual dari pihak berperkara, yaitu mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada. Nama Ramlan
menguat setelah tersangka kasus tersebut, Setyabudi Tejocahyono, melaporkan kepada KY nama
enam hakim yang terlibat. Ramlan pernah terjerat kasus korupsi PT Bumi Siak Pusako. Dia
mendapat vonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta pada Juni 2005. Akan tetapi, setahun
kemudian dia dinyatakan bebas berdasarkan putusan banding di Pengadilan Tinggi Riau. Sejak
menjadi hakim ad hoc Tipikor Jawa Barat pada 2010, Ramlan kerap mengeluarkan vonis
kontroversial. Ramlan pernah memberikan vonis bebas kepada Wali Kota Bekasi Mocthar
Mohammad atas empat kasus korupsi yang didakwakan. Dia juga membebaskan Bupati Subang,
Eep Hidayat. Kedua pejabat ini akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung. Dan baru saja
kita dengar bahwa hakim-hakim Indonesia melakukan aksi demo menuntut kenaikan gaji hakim.
Minimnya gaji hakim juga dapat dijadikan suatu alasan untuk hakim mudah menerima suap dari
sana-sini. Sistem perekrutan hakim di Indonesia pun juga belum didasarkan pada norma-norma
profesionalisme kemampuan pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga hal tersebut akan
mempengaruhi kualitas seorang hakim. Kesemua faktor itulah yang sangat mempengaruhi hakim
melakukan pelanggaran kode etiknya sehingga berdampak pada ketidakadilan sebuah putusan
yang dikeluarkannya. Orang besar yang mempunyai harta melimpah akan menyuap sang hakim
dengan uang banyak sehingga sang hakim tersebut memutus hukuman yang ringan kepadanya,
namun sebaliknya orang kecil atau rakyat jelata yang tidak mempunyai banyak uang untuk
menyuap sang hakim tentu akan dijatuhi putusan dengan hukuman yang berat.
TUGAS ETIKA Dan TANGGUNG JAWAB PROFESI

Di susun oleh :

NAMA : Heru Irawan

NIM : E 0009158

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

Anda mungkin juga menyukai