Anda di halaman 1dari 15

1 ASUHAN KEPERAWATAN SEXUAL ABUSE Di Susun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Keperawatan Anak 2 Dosen Pengampu : Remilda A.V.,S.Kep.,Ns., M.Kep Oleh : Andri Gunawan
0520014611 Semester 6 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pelecehan yang
berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual di komunitas dan terdapat
pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an
dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di
Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual
yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang mendapat perlakuan
kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus
pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus
kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing
pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi
sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban,
kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004), bahwa
modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak.
Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611
kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006). 3 B.
TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse. 2. Untuk mengetahui
tentang etiologi dari seksual abuse. 3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse. 4.
Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse. 5. Untuk mengetahui tentang pathway
dari seksual abuse. 6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse. 7. Untuk
mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse. 8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan
penunjang dari seksual abuse. 9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse. 10.
Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse. 11. Untuk mengetahui tentang
intervensi dan rasional dari seksual abuse. 12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari
seksual abuse. C. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I : PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH
TUJUAN PENULISAN SISTEMATIKA PENULISAN BAB II : KONSEP DASAR PENGERTIAN ETIOLOGI/
PREDISPOSISI KLASIFIKASI PATOFISIOLOGI PATHWAYS KEPERAWATAN MANIFESTASI KLINIK
PENATALAKSANAAN 4 PENGKAJIAN FOKUS PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSA KEPERAWATAN
FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL DISCHARGE PLANNING BAB III : PENUTUP KESIMPULAN DAN
SARAN DAFTAR PUSTAKA 5 BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Penyiksaan seksual (sexual abuse)
terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah
orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini
ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang
meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009). Kemudian
klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam
Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi.
Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya
antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik
oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda,
2006). Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik
maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan
untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami
perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa
bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006). Kekerasan seksual (sexual
abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara
lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi
vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak
perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang
bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa, 6 eksploitasi anak dalam pornografi
(gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi
(voyeurism). (Suda, 2006). B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis
Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah : Faktor-
fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah
sebagai berikut: a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan
tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.. b.
Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat
bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. c. Faktor
ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan
memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. (Jurnal Terlampir)
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak”,
dampak sexual abuse adalah : Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya
perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima
kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
(termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit
kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa,
Reinholtz., Angelini, 1999). Selain 7 itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma
stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan
identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik
kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri
Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)
(Jurnal Terlampir) Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain: 1. Teori biologis a. Pengaruh neurofisiologis.
Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan
menghambat impulsimpuls agresif c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan
herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik
langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan. d. Kelainan otak. Berbagai
kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan
epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif. 2. Teori psikologis a. Teori
psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan
adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-
kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi. b. Teori pembelajaran.
Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa
dan berpengaruh. 8 Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya
mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.
3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial) Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif
terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruh- pengaruh social
dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak
dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan
dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan. Menurut Freewebs (2006) kekerasan
seksual (sexual abuse) pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial. 1.
Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan
dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang
yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan
keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini. 2.
Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh
orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman,
orangtua dari teman sekolah. 3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang
dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya. 4. Institutional
abuse 9 Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat
penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya. 5. Kekerasan
seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di
tempat-tempat umum. Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang
menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena
kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan, serta tingkat
pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena
himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan
pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak
kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006). Koran Tokoh
(Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan terhadap
anak, khususnya oleh orangtua. 1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri
karena alasan kesehatan atau telah lama menduda. 2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu
kebatinan yang sedang ditekuninya. 3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak
perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena
terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006). C. KLASIFIKASI Klasifikasi dari sexual
abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah : 1. Perkosaan. 10 Perkosaan adalah jenis kekerasan
yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi
korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6
perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal
korban alias orang dekat korban. 2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak. Suatu tinjauan baru-baru
ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai
dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada
masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang
memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. 3. Kekerasan seksual
terhadap pasangan. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan
seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan.
Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s
Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan
bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka
selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini
adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender: 4. Kekerasan fisik :
Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll. 5. Kekerasan emosional/ verbal:
Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina,
dll. 11 6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat
pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll 7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan
dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam
pergaulan, dll 8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll. 9.
Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila
kekerasan terjadi, dll. 10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan
benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll. D. PATOFISIOLOGI Menurut Tower (2002) dalam
Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode
berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak
terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain : 1. Tahap awal, pelaku
membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah"
secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian,
penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan
imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat mengintimidasi secara halus ataupun bersikap
memaksa secara kasar. 2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja
hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk
melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar
merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain. 3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana
korban mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai
kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi
sedikit, mulai dari : 12 a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri b. Pelaku meraba-raba bagian
tubuhnya sendiri c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya d. Pelaku mencium korban dengan
pakaian lengkap e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian
lainnya. f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi. g.
Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban h. Sodomi i. Petting j. Penetrasi alat kelamin
pelaku Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang
biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama
ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan
faktor yang penting (Maria, 2008). Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak
adalah sebagai berikut : 1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder) 2. Agresif,
menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri 3. Rasa takut, cemas 4. Perilaku seksual yang tidak
wajar untuk anak seusianya Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan
dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada
kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang
menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat
dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang 13
menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak lain (Maria, 2008). Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,
hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban,
yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada
anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya
adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan
yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian
yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan
adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong
anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).
Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di masyarakat, selalu
diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan
lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan
masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di
sisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal,
bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam
keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan
istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini,
kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan
kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006). Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan
pelakunya (Tower, 2002 dalam Maria, 2008) : 1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. 14
Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula
dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan korban. 2.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan seksual dapat
dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial
ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang
cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami
kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan
pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain.
salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya,
atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada
genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan
hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara
lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan
perubahan perilaku baik menjadi buruk 15 E. PATHWAYS KEPERAWATAN Berdasarkan jurnal
“Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah
: 16 F. MANIFESTASI KLINIK Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah
Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah : Dampak psikologis yang dialami oleh
subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan
emosional. a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari. b.
Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar,
sering melamun dan termenung sendiri. c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan
mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri. (Jurnal Terlampir) Patricia A Moran dalam
buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007), mengatakan, menurut riset, korban
pelecehan seksual adalah anak lakilaki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun.
Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala seorang anak yang
mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan
seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat
perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika
tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka waktu
panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan
seksual (minangsari, 2007) Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama: 1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit
kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral. 17 b.
Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat
tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi
buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat. 2. Anak usia
prasekolah Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut: a. Tanda fisik: antara lain perilaku
regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-
menerus, sakit perut, sembelit. b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual. c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi
berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-
terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin
tahu berlebihan tentang masalah seksual. 3. Anak usia sekolah Memperlihatkan tanda-tanda di atas
serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos,
hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri,
sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka
pakaian. 4. Remaja Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran
bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang
atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.
Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan/kekerasan seksual pada
anak (sexual abuse) antara lain : 1. Infeksi saluran kemih yang sering 2. Kesulitan atau nyeri saat
berjalan atau duduk 18 3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut
secara sering atau gelisah saat duduk 4. Sering muntah 5. Perilaku menggairahkan, dorongan
masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya 6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya
kepada orang lain 7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain G. PENATALAKSANAAN Berdasarkan
jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse
adalah : Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau
menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social, sensori dan komunikasi dan
mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan
seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak
korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi
pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.
(Jurnal Terlampir) Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu : a. The dynamics of sexual abuse.
Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan dan
tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun
telah terjadi kontak seksual. b. Protective behaviors counseling. 19 Artinya, anak-anak dilatih
menguasai keterampilan mengurangi kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah
dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh
secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang
dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah. c. Survivor/self-esteem
counseling. Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya
bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah
sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan
anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong
untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami
sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat
memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua,
polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka. d. Cognitif terapy.
Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang mengenai beragam jenis
dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-
lingkar. H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang
dilakukan pada anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji
skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi yang
menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian berlebihan atau di
bawah pengendalian, agresif dan antisosial. 20 I. PENGKAJIAN Menurut Doenges et.al (2007)
pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain : 1. Aktivitas atau
istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan
saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan. 2. Integritas ego a. Pencapaian diri negatif,
menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena tindakannya terhadap orang tua. b. Harga diri
rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.) c. Perasaan bersalah, marah, takut dan
malu, putus asa dan atau tidak berdaya d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku
(mekanisme pertahanan yang paling dominan/menonjol) e. Penghindaran atau takut pada orang,
tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut (terutama jika ada pelaku) f. Melaporkan faktor stres
(misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan) g.
Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain 3. Eliminasi a. Enuresisi, enkopresis. b.
Infeksi saluran kemih yang berulang c. Perubahan tonus sfingter. 4. Makan dan minum : Muntah
sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan
memperoleh berat badan yang sesuai . 5. Higiene a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan
kondisi cuaca (penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan. 21 b. Mandi
berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak terpelihara. 6. Neurosensori a.
Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas dan menarik
diri, perilaku tidak sesuai dengan usia b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia,
lap[oran adanya pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat
keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi. c. Perubahan alam
perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang dalam setelah penganiayaan
seksual terjadi. d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain. e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku
kebiasaan lain : gelisah (korban selamat). f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif
meliputi kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses
dewasa) g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal 7. Nyeri
atau ketidaknyamanan a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual b. Berbagai keluhan
somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon, sakit kepala) 8. Keamanan a.
Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada bagian botak di
kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit,
hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter. b. Cedera berulang, riwayat bermacam
kecelakaan, fraktur/ cedera internal. 22 c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan
dalam aktivitas dengan risiko tinggi d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang
dapat menghindari bahaya di dalam rumah 9. Seksualitas a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas
seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan
mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks,
secara seksual menganiaya anak lain. b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa
berlendir. c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak). 10. Interaksi
sosial Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsif,
peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau
pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah
menurun. J. DIAGNOSA KEPERAWATAN Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007)
diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :
1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan
pribadi seseorang 2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah 3. Perubahan
pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan
penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya,
biasanya terjadi dalam waktu lama. 23 4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan
ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara
orang tua dan anak yang tidak memuaskan 5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan
koping individu tidak efektif 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif 7.
Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik
negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri 8. Koping keluarga tidak efektif
berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara
anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan
gangguan dalam jengka waktu lama 9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan
diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah
tentang informasi K. INTERVENSI DAN RASIONAL Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan
Doenges et.al (2007) intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan diatas antara lain : 1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban
perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan
keinginan dan persetujuan pribadi seseorang Tujuan : a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan
sembuh tanpa komplikasi b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang
sehat, memulai proses penyembuhan psikologis. 24 Intervensi: a. Smith (1987) menghubungkan
pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan : saya prihatin hal
ini terjadi padamu, anda aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah
korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan
adalah hak seseorang karena anda hidup. Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara
seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga
sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-pernyataan ini
membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak b. Jelaskan setiap
prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan
data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi Rasional : Untuk menurunkan ketakutan
atau ansietas dan untuk meningkaytkan rasa percaya c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang
adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang
memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti segera
Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan
perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs
erangan kekerasan seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki Rasional : Mendengarkan dengan
tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan.
Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai
pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti 25 e. Diskusikan
dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan
informasi tentang rujukan setelah perawatan Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak
mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan
informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa,
kelompok pembela masyarakat) 2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah Tujuan
: a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihan-pilihan yang
tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan (dimensi waktu
ditentukan secara individu) b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi
kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup
bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara individual) Intervensi : a.
Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera fisik, fraktur, luka bakar
mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik
Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat digunakan sebagai bukti
jika tuntutan dilakukan b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan
wawancara Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan seksual pada anak,
kemungkinan besar ia tidak jujur sepenuhnya tentang cederanya atau pengalaman seksualnya 26 c.
Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya, pastikan tentang
keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan.
Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual
minum obat bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah ia berminat
dalam tuntutan yang mendesak Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan
rahasia tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk melindungi
orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa orang tuanya atau saudaranya akan
membunuh mereka jika menceritakan hal tersebut d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan
tidak diusahakan oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus dibuat
oleh anak Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi
kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik e. Tekankan
pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu pernyataan seperti, ya itu telah terjadi.
Sekarang ke mana anda ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat
sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup hotline krisis,
kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara seksual,
tempat perlindungan, berbagai tempat konseling. Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan
yang tersedia dapat membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan
yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan pengetahuan itu bagi
keuntungannya sendiri. 3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera 27
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama. Tujuan : a. Tujuan
jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya dengan perawat dan
melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi waktu ditentukan secara individu) b. Tujuan
jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang konsisten dengan usia tumbuh dan
kembangnya. Intervensi : a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatab
yang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan keluhan anak
tentang area nyeri pada derah yang spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau
melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif,
rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik diri, perilaku yang tidaks esuai
dengan usianya Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan agar
perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang
tua atau orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera dilaporkan sebagai suatu
kecelakaan, apakah penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan penjelasan
yang diberikan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan kemampuan perkembangan anak ?
Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan memelihara anak
mungkin menempatkan orang tua penyiksa pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai
dalam deskripsi kejadian, dan adanya usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu
pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam suatu wawancara yang dalam. 28 c.
Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-
teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari cerita anak tersebut Rasional :
Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka
mungkin tidak ingin untuk disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu
lingkungan yang tidak mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang menyakitkan ini d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk
dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam
keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan seksual anak. Rasional :
Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk mencurigai bahwa seseorang anak telah
dicederai sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada
tandatanda ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera pada anak.
Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut melaporkan kasus dari anak yang
dicurigai dianiaya seksual : semua pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru,
pengasuh- pengasuh anak, pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan anggota
penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau
Badan penyelenggara Hukum. 4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi
dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan pengabaian
anak Tujuan : a. Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang sesuai dengan
umur dan dapat diterima sosial dengan kriteria hasil : 29 b. Anak mampu menundakan pemuasan
terhadap keinginannya, tanpa terpaksa untuk menipulasi orang lain c. Anak mampu
mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial d. Anak mampu
mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai
dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa
frustasi Intervensi: a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis Rasional : penting bagi
anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk
sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga diri b. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada
anak Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai makhluk hidup yang
berguna dapat meningkatkan harga diri c. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke
satu basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak
bahwa anda merasa bahwa dia berharga bagi waktu anda d. Menemani anak dalam mengidentifikasi
aspek-aspek positif dari dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik
yang lihatnya sebagai negatif Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu
mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping individu yang efektif e. Bantu anak
mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu mekanisme sikap defensif. Memberikan
bantuan yang positif bagi identifikasi masalah dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang
lebih adaptif 30 Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan meningkatkan
penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh anak f. Memberi dorongan dan dukungan
kepada anak dalam menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas
terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan
penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan Rasional : Pengakuan dan penguatan positif
meningkatkan harga diri 5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep
diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan
anak yang tidak memuaskan Tujuan : Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat
sedang, sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak perilaku yang
tidak mampu dalam memberi respons terhadap stres . Intervensi : a. Bentuk hubungan kepercayaan
dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat
yang positif dan tulus Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan
pada hubungan anak dengan staf atau perawat b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada
penurunan tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan
dengan musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan
ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik c.
Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang sebenarnya dan untuk mengenali
sensiri perasaan-perasaan tersebut padanya 31 Rasional : Anak-anak vemas sering menolak
hubungan antara masalah- masalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-
mekanisme pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan d. Perawat harus
mempertahankan suasana tentang Rasional : Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain
e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan kembali akan
keselamatan fisik dan fisiologis Rasional : Keamanan anak adalah prioritas keperawatan f.
Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun juga anak harus berhati-
hati terhadap penggunaannya Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu mengembangkan
kecurigaan pada beberapa individu yang dapat salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi g.
Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwa- peristiwa tertentu yang
mendahului serangannya. Berhasil pada responsrespons alternatif pada kejadian selanjutnyta
Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman untuk penanganan yang lebih
berhasil terhadap kondisi yang sulit jika terjadi lagi h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang
sesuai dengan yang diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjukkepada anak
mengenai kemungkinan efek-efek samping yang memberi penharuh berlawanan Rasional : Obat-
obatan terhadap ansietas (misalnya diazepam, klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan
lega terhadap efek- efek yang tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak
dengan terapi 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif Tujuan : 32 a.
Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7 jamn setiap malam dengan
kriteria hasil: b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur c. Tidak
ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30
menit dan tidur selama 6 sampai 7 jam tanpa terbangun Intervensi : a. Amati pola tidur anak, catat
keadaan-keadaan yang menganggu tidur Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan
dapat diberikan b. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan dengan rasa
takut dan ansietas-ansietas tertentu Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu
pola tidur anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya c. Duduk dengan anak sampai dia tertidur
Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman d. Pastikan bahwa makanan
dan minuman yang mengandung kafein dihilangkan dari diet anak Rasional : Kafein adalah stimulan
SSP yang dapat mengganggu tidur e. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya :
gosok punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu hangat dan mandi air hangat)
Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa tidur f. Buat jam-jam tidur
yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari jadwal ini Rasional : Tubuh memberikan reaksi
menyesuaikan kepada suatu siklus rutin dari istirahat dan aktivitas g. Beri jaminan ketersediaan
kepada anak jika dia terbangun pada malam hari dan dalam keadaan ketakutan Rasional : Kehadiran
seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman 33 7. Koping defensif berhubungan dengan harga
diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan
penurunan makna diri Tujuan : a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk berinteraksi
dengan orang lain tanpa menjadi defensif, perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran
waham kebesaran dengan kriteria hasil : b. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab
terhadap perilakunya sendiri c. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan
ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan
d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain e. Anak berinteraksi dengan orang lain
dengan situasi-situasi kelompok tanpa bersikap defensif Intervensi : a. Kenali dan dukung kekuatan-
kekuatan ego dasar Rasional : memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat
membantu untuk memperbaiki konsep diri b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan
mengungkapkan dan bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti menyalahkan
oprang lain karena prilakunya sendiri Rasional : Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada
proses perubahan ke arah resolusi c. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam
untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima Rasional : Anak mungkin kurang pengetahuan
tentang bagaiamna dia diterima oleh orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak 34
mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan d. Bantu anak
untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran
dengan respons-respons yang lebih sesuai Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk
menghadapi situasi-situasi yang sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi e. Berikan dengans
egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang dapat diterima Rasional : Umpan balik positif
meningkatkan harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan
f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis, konkret dan memerlukan
tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaran- sasaran ini Rasional : Keberhasilan akan
meningkatkan harga diri g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan
diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan Rasional : Karena keterbatasan kemampuan untuk
memecahkan masalah, bantuan mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan
mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-metode koping baru tertentu
terbukti tidak efektif 8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang
berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak,
kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama Tujuan :
a. Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih konsisten dan efektif dalam
berespons perilaku anak dengan kriteria hasil : b. Mengungkatkan dan mengatasi perilaku negatif
pada anak 35 c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang diperlukan Intervensi :
a. Berikan informasi dan material yang berhubungan dengan gangguan anak dan teknik menjadi
orang tua yang efektif Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang tepat dapat meningkatkan
keefektifan peran orang tua b. Dorong individu untuk mengungkapkan perasaan secara verbal dan
menggali alternatif cara berhubungan dengan anak Rasional : Konseling suportif dapat membantu
keluarga dalam mengembangkan strategi koping c. Beri umpan balik positif dan dorong metode
menjadi orang tua yang efektif Rasional : Penguatan positif dapat meningkatkan harga diri dan
mendorong kontinuitas upaya d. Libatkan saudara kandung dalam diskusi keluarga dan perencanaan
interaksi keluarga yang lebih efektif Rasional : Masalah keluarga mempengaruhi semua anggota
keluarga dan tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat dalam terapi tersebut e. Libatkan dalam
konseling keluarga Rasional : terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah global yang
mempengaruhi seluruh struktur keluarga. Gangguan pada salah satu anggota keluarga akan
mempengaruhi seluruh anggota keluarga f. Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi, termasuk
kelompok pendukung orang tua, kelas menjadi orang tua Rasional : mengembangkan sistem
pendukung dapat meningkatkan kepercayaan diri dan keefektifan orang tua. Pemberian model
peran atau harapan untuk masa depan 36 9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis,
perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi
yang salah tentang informasi Tujuan : a. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang
penyebab masalah perilaku, perlunya terapi dalam kemampuan perkembangan dengan kriteria hasil
: b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan mencari informasi secara mandiri c.
Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat temperamen Intervensi : a. Berikan
lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi dirinya sendiri, aktivitas kelompok kecil. Hindari tempat
yang terlalu banyak stimulasi, seperti bus sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai Rasional :
Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat menurunkan distraktibilitas. Kelompok kecil dapat
meningkatkan kemampuan untuk tepat pada tugas dan membantu klien mempelajari interaksi yang
tepat dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi b. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan
dengan penjelasan langkah demi langkah Rasional : Keterampilan belajar yang terurut akan
meningkat. Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah, mempraktikkan contoh
situasional. Keterampilan efektif dapat meningkatkan tingkat prestasi c. Ajarkan anak dan keluarga
tentang penggunaan psikostimulan dan antisipasi respons perilaku Rasional : penggunaan
psikostimulan mungkin tidak mengakibatkan perbaikan kenaikan kelas tanpa perubahan pada
ketrampilan studi anak 37 d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat,
anak, dan keluarga Rasional : keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi tidak
terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan karena kurangnya komunikasi
interdisiplin. L. DISCHARGE PLANNING Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan
pada anak dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain : 1. Anak tidak mengalami
ansietas panik lagi 2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer 3. Anak
menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya 4. Anak memulai perilaku yang
konsisten terhadap respons berduka 5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya
jika ada 6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera 7. Anak
mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer 8. Anak mampu menyatakan secara
verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan 9. Anak
mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui mendiskusikan perlakuan
penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain 10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan
dalam perilaku agresif 38 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Kasus kekerasan seksual yang dialami
oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu
merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena
gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya
pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya
tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh
dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak
untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada
seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang
dipercaya dalam keluarga (Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat
mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain.
Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin
tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari
media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan
mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali
menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan
anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada
vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain:
kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan
perubahan perilaku baik menjadi buruk 39 B. SARAN Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada
retardasi mental maka disarankan : 1. Perawat Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pada anak dengan seksual abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan
perhatian anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual. 2. Sekolah Sekolah
dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak korban aniaya seksual
di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci
keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah. 3. Keluarga/Orang tua Keluarga atau orang
tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse harus memberikan perawatan anak
dengan metode yang berbeda dengan anak yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau
keluarga menyusun kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur
kegiatan harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan
secara konsisten dan berimbang. 40 DAFTAR PUSTAKA Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse,
M.F. (2007). Rencana asuhan keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!.
http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015
FKUI.(2006). Pendahuluan Sebuah Tinjauan .http://www.freewebs.com/ childabusea1/.htm. Diakses
tanggal 28 Februari 2015 Freewebs, (2006).Pola Child Sexual Abuse. http://www.freewebs.com/
forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015 Jeanne Wess, and Videbeck (2008)
Metode Penelitian Pengetahuan Sosial. Alih bahasa: Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan
Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang Press. Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak
Hendaknya Tetap Mempertimbangkan Faktor Psikologis
http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task =view&id=1656&Itemid=62.
Diakses 28 Februari 2015 Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan
Seksual!. http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28 Februari 2015 Pramono, B.
(2009). Penyiksaan Anak. http://groups.yahoo.com/group/ urantiaindonesia/message/1516. Diakses
tanggal 28 Februari 2015 41 Smith, M.S. (1998). Sexual harassment in the Workplace: Perspectives,
Frontiers and Response Strategies. Vol 5 Women & Work, Sage Publications, New Delhi. Suda, I.K,
(2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak"Penyebab
Kekerasan Seksual terhadap Anak http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 28
Februari 2015 Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri
pedoman Untuk Pembuatan rencana Perawatan (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai