Anda di halaman 1dari 4

Muhammad (pun) Bukan Pribumi

Faqih Addien Al Haq1

“Lindungi Pribumi atau Revolusi”. Apa maksudnya ?

Awalnya, saya tidak menaruh perhatian secara berlebihan pada jargon tersebut. Sampai
kemudian beberapa kolega dan dosen mulai mengajukan pertanyaan yang diarahkan kepada
saya, yang notabene mereka ketahui sebagai kader KAMMI.

Mereka menganggap jargon tersebut rasis. Rasis karena bernada menuduh dan menyudutkan
sebagian golongan, terutama Tionghoa. Jargon tersebut mereka rasa berlebihan dan mereka nilai
tidak tepat mengangkat tema kepribumian dalam unjuk rasa mengkritik kebijakan pemerintah
Jokowi-JK yang bahkan belum berjalan selama satu tahun penuh.

Pada akhirnya saya terdorong untuk menelusuri lebih lanjut. Bagaimana konsepsi berfikir dari
jargon tersebut dan bagaimana munculnya kata ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ dalam jargon
tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘pribumi’ ditafsirkan sebagai penduduk asli yang
lahir, tumbuh dan besar di sebuah wilayah. Namun kita tidak akan menemukan dikotomi
penduduk dengan kata ‘pribumi’ atau ‘non-pribumi’ dalam konstitusi penyelenggaran negara
kita.

Undang –Undang Dasar 1945 dalam pasal 26 tentang kewarganegaraan dan penduduk pun tidak
menyebut keberadaan pribumi dan non-pribumi. Undang-undang No.12 tahun 2006, yang
menandai berakhirnya era diskriminasi terhadap golongan keturunan Tionghoa, Arab dan
beberapa etnis lainnya, pun dilandasi semangat mengakhiri dikotomi pribumi dan non-pribumi di
antara penduduk dan warga negara Indonesia.

K.H. Muhammad Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Situbondo, mengatakan bahwa
keberhasilan perjuangan kemerdekaan dan penyelenggaraan negara Indonesia yang independen
adalah hasil dari semangat kesatuan dan eliminasi perbedaan. Kita harus menerima telah
dijadikan berbeda dalam suku bangsa, karena itu adalah qadarullah. Namun Islam diturunkan
sebagai petunjuk dan penjelas, bahwa perbedaan itu hanyalah ujian yang menunjukkan sebaik
apa seorang manusia memanajemen perbedaan tersebut.

Oleh sebab itu jika di hari ini kita masih menemukan konsepsi pemikiran yang mendikotomikan
antara pribumi dan non-pribumi di antara warga negara Indonesia, kita patut khawatir. Jangan-

1
Anggota Biasa KAMMI Surabaya. Staf Kebijakan Publik Pengurus Daerah KAMMI Surabaya.
jangan cara pandang imperialisme secara tidak sadar telah diterima sebagai bagian dari
pemikiran hidup berbangsa.

‘Pribumi’ Sebelum Kita

Dalam menelusuri lembaran sejarah, sebenarnya keberadaan entitas yang disebut pribumi hanya
akan ditemukan di masa kekuasaan sebuah rezim yang otoriter. Ketika konsepsi kelas sosial
mekanis yang tidak berkeadilan dan zalim berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai contoh, orang-orang keturunan Israil disebut sebagai pribumi Mesir di bawah kekuasaan
dzalim Ramses II2. Padahal mereka bukan penduduk asli Mesir pada awalnya. Mereka
dikategorikan sebagai pribumi sebab kelas sosial yang diciptakan, menghendaki demikian.
Sehingga, kesan yang tercipta adalah pribumi sebagai kelas rendah yang dieksploitasi oleh
sebuah rezim, baik imperial maupun lokal.

Akan lebih abstrak lagi membahas masalah pribumi & non-pribumi ini jika kita menelisik
sejarah Spanyol. Bagaimana kita dapat mengkategorikan bangsa Katalan dan bangsa Basque,
yang hidup sebagai minoritas di antara kewarganegaraan Spanyol yang didominasi oleh bangsa
Mediterania? Padahal mereka yang mayoritas di bawah kepemimpinan Raja Franco menikmati
dominasinya di atas minoritas. Mana yang pribumi dan mana yang non-pribumi ?

Sekali lagi kita menemukan bahwa keberadaan istilah pribumi adalah hasil konsepsi pemikiran
imperialis yang mengkooptasi semangat perjuangan melawan kezaliman, ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan, menjadi berbelok melawan kaum sendiri hanya karena beberapa
perbedaan yang tidak bisa dihindari.

Muhammad dan Pribumi Yatsrib

Kisah hijrah Muhammad alaihisalatu wa salam, dari Mekah ke Madinah pun sebenarnya
mampu menggambarkan secara sederhana bagaimana Islam mengajarkan pemeluknya dalam
masalah warga negara dan kependudukan.

Seandainya kita mengikuti cara berfikir ‘pribumi & non-pribumi’, maka Muhammad dan para
sahabatnya dari Mekah (Muhajirin), mereka termasuk orang-orang yang non-pribumi. Mereka
adalah orang-orang yang terusir dari tanah kelahirannya, kemudian berpindah tempat ke tanah
subur Yatsrib dan menetap di sana, kemudian berkeluarga dan berkehidupan sampai akhir hayat
mereka.

Uniknya bahkan, kita mengetahui kemudian Muhammad sebagai pendatang, non-pribumi,


menjadi pemimpin yang disepakati dan diangkat oleh penduduk Yatsrib.

2
Al Maghluts, Ali Abdullah. 2011. Atlas Sejarah Para Nabi. Pustaka Al Mahira
Menjadi catatan yang sangat menarik untuk dijadikan pelajaran, bahwa hal pertama yang
dilakukan oleh Muhammad ketika dirinya telah sampai di Yatsrib sebagai pendatang dan
kemudian menjadi pemimpin yang diakui oleh mayoritas masyarakatnya adalah
mempersaudarakan para pendatang (Muhajirin) dan para penduduk asli (Anshar). Artinya, hal
pertama yang menjadi prioritas bagi orang Islam dalam memanajemen perbedaan adalah
mengeliminasi sumber-sumber perbedaan itu sendiri dengan menciptakan identitas baru
komunitas plural tersebut.

Karena sejak awal sebelum Muhammad terusir dari Mekah, Allah memberikan keterangan dalam
surat Rum : 22 yang merupakan golongan surat Makiyah (diturunkan sebelum Hijrah), tentang
asal dan hakikat perbedaan :

…di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

Maka kemudian Muhammad menggunakan pendekatan penciptaan identitas baru yang


dibawanya dengan corak yang khusus yang dilandasi semangat revolusioner.

Semangat penciptaan identitas baru itu, pun diturunkan sebelum Muhammad pergi ke Yatsrib
untuk memulai kehidupan baru dalam surat An-Nahl 90:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil, berbuat kebaikan dan
membantu kaum kerabat. Dan Allah melarang kamu berbuat keji, melakukan
kemungkaran dan menciptakan permusuhan…

Tiga perintah Allah: yaitu semangat berkeadilan, senantiasa berbuat baik dan membantu kaum
kerabat inilah yang menjadi identitas baru kaum Muslim yang bersifat plural di Madinah sejak
kedatangan kaum pendatang, yaitu Muhammad dan para sahabatnya. Sehingga identifikasi
mereka terhadap diri sendiri dan komunitas tidak lagi terarah pada tanah tempat kelahiran, nasab
atau keturunan dan penampilan fisik.

Sedangkan tiga larangan Allah, yaitu: berbuat keji, melakukan kemungkaran dan menciptakan
permusuhan, dijadikan pengingatan dan kontra-indikasi terhadap keberlangsungan identitas baru
tersebut.

Dalam konteks pribumi & non-pribumi, yang menjadi menarik adalah larangan Allah terhadap
Al Baghyu. Dalam Tafsir Ibnu Katsir jilid II, Al Baghyu diterjemahkan sebagai sifat menciptakan
permusuhan dan keresahan dalam masyarakat, sehingga ketentraman dan kedamaian susah
didapatkan. Tentunya hal ini perlu menjadi evaluasi bagi KAMMI, apakah dalam melempar isu
dan jargon yang sudah terlanjur viral di dalam masyarakat tersebut, termasuk kategori Al Baghyu
atau tidak?

Orang – orang Munafik


Identitas baru Muhammad dan kaum Islam di Yatsrib itulah yang kemudian melahirkan sebuah
komunitas baru dalam simbol Madinatun Nabi (Kota Nabi) sebagai nama baru kota Yatsrib.
Kepemimpinan Muhammad (sebagai non-pribumi) diterima oleh semua masyarakat dan warga
negara Madinah. Keadilan ditegakkan, kebaikan disebarluaskan, kekerabatan dipereratkan dan
kesejahteraan diusahakan bersama-sama.

Namun, di tengah-tengah penerimaan dan suasana kesadaran baru dalam bermasyarakat tersebut.
Masih saja ada beberapa orang yang tinggi hati dan tidak bisa menerima eliminasi ciri khas dan
perbedaan karena hadirnya identitas baru tersebut. Mereka yang kemudian disebut Allah sebagai
orang-orang munafik.

Di depan nabi dan orang-orang Islam mereka mendeklarasikan diri menjadi bagian dari kota
Madinah. Namun, dalam beberapa perisitiwa penting yang menentukan masa depan komunitas
bersama tersebut, mereka berlepas tangan. Peristiwa Uhud, peristiwa Khandaq dan lain
sebagainya. Mereka mengkhianati cita-cita bersama, hidup dalam kemerdekaan di atas identitas
baru kota Madinah.

Kita semua sebagai komunitas baru yang lahir 70 tahun yang lalu, hari ini menggunakan
identitas baru kita sebagai Indonesia. Keberagaman suku, bahasa dan budaya baik secara fisik
maupun non-fisik, telah dirangkum dengan baik dan dibingkai dalam semangat Pancasila dan
UUD 1945. Identitas itu melekat dalam diri kita. Sebagai bagian utama dalam mengidentifikasi
diri sendiri di dalam peradaban dunia hari ini.

Jangan sampai KAMMI, yang juga mengusung jargon “Mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan
Indonesia”, kemudian menduplikasi sifat dan sikap orang-orang munafik yang hipokrit dengan
cara memasung kepentingan lain yang tidak sesuai dengan kepentingan diri sendiri dengan
mengatasnamakan ‘pribumi’.

Karena cara pandang ‘pribumi & non-pribumi’ itu sebenarnya disebabkan terjadi amnesia
intelekutal dan kehilangan kesadaran berbangsa dan bernegara sebagai identitas utama kita.
Sekian.

Anda mungkin juga menyukai