Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI DI PROVINSI JAWA BARAT

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA


TAHUN 2015-2016

Analysis of Food Consumption and Nutritional Status In West Java Province and The
Impact on Human Development Index 2015-2016

*Nathasa Khalida Dalimunthe, Yayuk Farida Baliwati


Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
(*nathasadalimunthe@gmail.com)

ABSTRAK
Konsumsi pangan dan status gizi suatu wilayah dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya dan
pembangunan manusia dimasa yang akan datang. Salah satu pilar dari program Sustainable
Development Goals (SDGs) yaitu pembangunan manusia dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
sebagai alat ukurnya. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis konsumsi pangan dan status gizi Provinsi
Jawa Barat serta pengaruhnya terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Desain studi penelitian
ini yaitu studi ekologi dengan unit analisis kab/kota Provinsi Jawa Barat tahun 2015-2016. Data yang
digunakan yaitu data sekunder bersumber dari Kemenkes RI (status gizi balita) dan BPS (tingkat
kemiskinan, jumlah penduduk, konsumsi pangan, skor IPM). Analisis yang digunakan yaitu analisis
deskriptif dan inferensia (uji regresi linier berganda). Hasil uji regresi menghasilkan bahwa variabel
bebas yang digunakan memiliki hubungan yang kuat (r=0.902) dan dapat menjelaskan variabel terikat
sebesar 81.4% dan 18.6% dipengaruhi oleh faktor lain. Variabel yang berpengaruh terhadap IPM di
Provinsi Jawa Barat tahun 2015-2016 yaitu tingkat kemiskinan, tingkat kecukupan energi, tingkat
kecukupan protein, dan skor PPH. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mengetahui bahwa
pembangunan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kemiskinan dan ekonomi saja, melainkan
terdapat faktor konsumsi pangan sehingga ketahanan pangan tercapai.
Kata kunci: Konsumsi pangan, status gizi, IPM, Jawa Barat

ABSTRAK
Food consumption and nutritional status can impact on human resources quality and human
development on the future. Human development is one of the pillar of SDGs goals measured by the
Human Development Index (HDI). Therefore, the study of food consumption and nutritional status in
West Java and the impact to Human Development Index (HDI). Design study was conducted in 27
districts / cities of West Java Province 2015-2016 (54 district / city). The data were secondary data
sourced from the Indonesian Ministry of Health (nutritional status of children <5 years) and BPS
(demography, food consumption, HDI score). Descriptive and differential analysis (multiple linear
regression test) were used for this research. The Multiple Liniear Regresssion test showed that eight
variables had a strong correlation (r = 0.902) and explaining the dependent variables were about 81.4%
and 18.6% explained by the other factors. The variables that effected HDI in West Java Province 2015-
2016 were poverty level, energy adequacy level, protein adequacy level, and DDP score. Therefore, the
government should know that HDI is only effective by poverty and economic factors, consumption food
can impact HDI too, so food security can be achieved.
Keywords: Food consumption, nutritional status, HDI, West Java Province
PENDAHULUAN 644 miliar (Renyoet et al. 2016)6. Jumlah
Salah satu pilar dari program kerugian ini dapat berkurang apabila masalah
Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu tersebut dapat ditangani dengan baik, sehingga
pembangunan manusia dengan Indeks prevalensi stunting dapat berkurang.
Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat Oleh karena itu, tujuan dari penelitian
ukurnya. Indeks pembangunan manusia terdiri ini yaitu menganalisis konsumsi pangan dan
dari beberapa komponen dimensi pembangun status gizi Provinsi Jawa Barat serta
yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, dan pengaruhnya terhadap Indeks Pembangunan
ekonomi yang berkaitan dan terintegrasi dengan Manusia (IPM) agar pembangunan manusia
tujuan-tujuan yang terdapat di SDGs yaitu dapat tercapai sehingga secara tidak langsung
tujuan ke-3 (kesehatan yang baik dan mendukung pencapaian program Sustainable
kesejahteraan), tujuan ke-4 (pendidikan Development Goals dan menjadi bahan
berkualitas), dan tujuan ke-8 (pertumbuhan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.
ekonomi dan pekerjaan yang layak). Tahun
2013 IPM di Indonesia termasuk peringkat METODE
106/187 di dunia, sedangkan di ASEAN berada Penelitian ini menggunakan desain studi
pada peringkat 5/10 yang termasuk dalam ekologi. Data yang digunakan merupakan data
kategori menengah (BPS 2015a)1. sekunder pada 27 kabupaten/kota di Provinsi
Tujuan dari pembangunan manusia Jawa Barat tahun 2015 dan 2016 (54 kab/kota).
yaitu untuk menghasilkan sumber daya manusia Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai
yang berkualitas, aktif, dan produktif dilihat dengan Juli 2018. Penentuan tempat penelitian
dari berbagai aspek, salah satunya dilihat dari dilakukan secara purposive dengan
situasi konsumsi pangan masyarakat. pertimbangan Provinsi Jawa Barat memiliki
Berdasarkan Susenas dalam publikasi BPS jumlah penduduk terbesar yaitu 18.31 % dari
(2014a), sebesar 50.1% dari total penduduk penduduk total Indonesia sehingga diduga akan
Indonesia memiliki rata-rata konsumsi energi menimbulkan masalah sosial, pangan dan gizi
<90%, artinya setengah dari penduduk total di wilayah tersebut.
Indonesia masih tergolong rawan pangan2. Data yang digunakan dalam penelitian
Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata ini yaitu data sekunder bersumber dari
konsumsi energi dan protein sebesar 2011 kkal Kementerian Kesehatan RI berupa buku saku
dan 58.5 g pada tahun 2014. Angka tersebut pemantauan status gizi untuk data status gizi
sudah melebihi angka kecukupan gizi anjuran balita underweight, stunting, dan wasting. Data
dari WNPG 2004. Berdasarkan laporan dari konsumsi pangan (energi, protein, skor PPH)
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan bersumber dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi
(DKPP) Jawa Barat (2018), kualitas konsumsi Nasional), data skor IPM bersumber dari
dilihat dari skor PPH di Jawa Barat sebesar 78.3 publikasi Indeks Pembangunan Manusia
dan masih jauh untuk mencapai angka ideal Metode Baru BPS. Adapun data pendukung
yaitu 100 pada tahun 20143. Jika konsumsi yaitu tingkat kemiskinan dan kependudukan
pangan belum dapat memenuhi kebutuhan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
masyarakat, maka wilayah tersebut rentan Pengolahan dan analisis data pada
terhadap rawan pangan, sehingga berpotensi penelitian ini menggunakan program Microsoft
memengaruhi kualitas hidup manusia4. Excel 2010, SPSS Ver.16, dan aplikasi
Berdasarakan publikasi Tim Nasional Harmonisasi Justifikasi Pola Pangan Harapan
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan atau berdasarkan data Susenas Badan Ketahanan
TNP2K (2017), sekitar 50% atau 13 kabupaten Pangan Kementerian Pertanian. Analisis
Provinsi Jawa Barat termasuk ke dalam 100 deskriptif menggunakan program Microsoft
kab/kota di Indonesia yang mendapat prioritas Excel 2010 untuk data status gizi dan aplikasi
penanganan stunting pada tahun 20185. Provinsi Harmonisasi Justifikasi Pola Pangan Harapan
Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki berdasarkan data Susenas Badan Ketahanan
jumlah balita stunting dalam kategori tinggi. Pangan Kementerian Pertanian untuk data
Besarnya potensi ekonomi yang hilang akibat konsumsi pangan. Analisis inferensia yang
balita stunting jika saat dewasa mengalami digunakan yaitu berupa uji regresi linier
penurunan produktivitas sebesar 2%-9% di berganda dalam program SPSS ver 16. Uji
wilayah Jawa Barat yaitu Rp 365 miliar - Rp 1 regresi linier berganda digunakan untuk
mengukur pengaruh variabel terikat (IPM) normal. Sebanyak 66.7% atau 18
dengan variabel bebas yaitu variabel tingkat kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki TKP
kemiskinan, kependudukan, status gizi balita, tergolong kategori normal dan 33.3% atau 9
dan konsumsi pangan. kabupaten/kota dalam kategori lebih. Sebanyak
48.1% atau 13 kabupaten/kota di Provinsi Jawa
HASIL Barat mencapai kategori normal dan sisanya
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat yaitu 51.9% tergolong kategori lebih pada tahun
selama tahun 2015-2016 mengalami 2016.
peningkatan sebesar 1.43% dari 46 709 568 jiwa Skor Pola Pangan Harapan (PPH)
menjadi 47 379 389 jiwa. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan
terbesar dan terendah berada di Kabupaten sebesar 4.07% dari 81 poin pada tahun 2015
Bogor dan Kota Banjar dua tahun berturut-turut. menjadi 84.3 poin pada tahun 2016. Skor PPH
Sedangkan, laju pertumbuhan penduduk di tertinggi pada tahun 2015 dan 2016 terdapat
Jawa Barat pada tahun 2015-2016 mengalami pada Kabupaten Pangandaran dan Kabupaten
penurunan sebesar 1.38%. Tingkat kemiskinan Indramayu. Kabupaten Tasikmalaya menjadi
Provinsi Jawa Barat tahun 2015-2016 kabupaten yang memiliki skor PPH terendah
mengalami penurunan sebesar 5.26%. dua tahun berturut-turut tahun 2015 dan 2016.
Kabupaten/kota di Jawa Barat yang memiliki Berdasarkan skor PPH yang dihasilkan,
tingkat kemiskinan tertinggi dan terendah dua kelompok bahan pangan sayur dan buah
tahun berturut-turut yaitu Kota Tasikmalaya termasuk penyumbang skor PPH ketiga
dan Kota Depok. Kota Depok memiliki laju tertinggi sebesar 21.4-21.9 poin, setelah
pertumbuhan penduduk tertinggi kedua setelah kelompok padi-padian dan pangan hewani.
Kabupaten Bekasi, namun memiliki tingkat Konsumsi buah dan sayur di Jawa Barat selama
kemiskinan yang terendah. tahun 2015-2016 mengalami penurunan
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) konsumsi dari 203.8 menjadi 188.3 g/kap/hari.
masyarakat Provinsi Jawa Barat tahun 2015- Umbi-umbian termasuk kelompok bahan
2016 mengalami peningkatan sebesar 4.33% pangan yang menjadi pangan sumber
dari 108.3% (2165 kkal) menjadi 113% (2260 karbohidrat sebagai zat tenaga dan
kkal) dan termasuk kategori normal. Tingkat menyumbang skor PPH sebesar 0.8 dan 0.9 poin
kecukupan energi tertinggi pada tahun 2015 dan pada kedua tahun.
2016 terdapat pada Kabupaten Purwakarta dan Prevalensi anak balita underweight di
Kabupaten Majalengka. Kota Tasikmalaya dan Provinsi Jawa Barat selama tahun 2015-2016
Kota Bogor menjadi kota yang memiliki TKE mengalami penurunan sebesar 2.4%. Prevalensi
terendah pada tahun 2015 dan 2016. Menurut anak balita underweight pada kedua tahun di
pengkategorian angka kecukupan gizi dari Provinsi Jawa Barat tergolong masalah sedang
Depkes 1996, sebanyak 92.6% atau 25 menurut WHO. Prevalensi tertinggi pada anak
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada balita underweight terjadi pada Kabupaten
tahun 2015 sudah tergolong TKE kategori Karawang dua tahun berturut-turut. Kota Bogor
normal, sedangkan sebesar 7.4% masih pada menjadi kota yang memiliki prevalensi anak
kategori lebih. Tahun 2016 sebesar 96.3% atau balita underweight terendah pada tahun 2015
26 kabupaten/kota di Jawa Barat tergolong TKE dan Kota Depok pada tahun 2016. Prevalensi
kategori normal. stunting pada anak balita di Provinsi Jawa Barat
Tingkat Kecukupan Protein (TKP) mengalami penurunan sebesar 0.5%. Prevalensi
Provinsi Jawa Barat mengalami kenaikan anak balita stunting pada kedua tahun di
selama tahun 2015-2016 sebesar 5.58% dari Provinsi Jawa Barat tergolong masalah sedang
116.4% AKP (60.5 g) termasuk kategori normal menurut WHO. Kota Depok menjadi kota yang
menjadi 122.9% AKP (63.9 g) temasuk kategori memiliki prevalensi anak balita stunting
lebih. Kabupaten Subang dan Kabupaten terendah dua tahun berturut-turut pada tahun
Majalengka menjadi kabupaten yang memiliki 2015 dan 2016. Prevalensi anak balita stunting
TKP tertinggi pada tahun 2015 dan 2016. Kedua tertinggi terjadi pada Kabupaten Cianjur pada
kabupaten memiliki TKP yang tergolong tahun 2015 dan Kabupaten Kuningan pada
kategori lebih (TKP≥120%). Kabupaten yang tahun 2016. Prevalensi anak balita wasting di
memiliki TKP terendah pada tahun 2015 dan Jawa Barat tidak mengalami penurunan atau
2016 yaitu Kabupaten Garut dengan kategori peningkatan. Prevalensi anak balita wasting
kurang dan Kabupaten Ciamis dalam kategori pada kedua tahun masih tergolong kategori
masalah buruk sebesar 7.5%. Wilayah yang Pembangunan Manusia (IPM) di 27 kab/kota
memiliki prevalensi anak balita wasting Provinsi Jawa Barat pada tahun 2015 tersebar
tertinggi yaitu Kota Cirebon pada tahun 2015 pada kategori sedang dan tinggi. Sebanyak 67%
dan Kabupaten Indramayu pada tahun 2016. atau 18 kabupaten/kota yang termasuk ke dalam
Prevalensi anak balita wasting terendah yaitu kategori sedang. Sebanyak 33% atau 9
terjadi pada Kota Bandung pada tahun 2015 dan kabupaten/kota yang memiliki IPM tergolong
Kabupaten Sumedang pada tahun 2016. kategori tinggi dan 7 diantaranya merupakan
Skor Indeks Pembangunan Manusia wilayah kota. Terdapat 59% atau 16
(IPM) di Jawa Barat mengalami peningkatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun
sebesar 0.78% dan termasuk kategori sedang. 2016 memiliki skor IPM tergolong kategori
Kota Bandung menjadi kota yang memiliki skor sedang, 33% atau 9 kabupaten/kota tergolong
IPM tertinggi, sedangkan Kabupaten Cianjur kategori tinggi, dan hanya 1 kota yang tergolong
memiliki IPM terendah pada tahun 2015 dan kategori sangat tinggi yaitu Kota Bandung.
2016 di Provinsi Jawa Barat. Indeks

Tabel 1 Hasil uji regresi linier berganda pada variabel terikat IPM Jawa Barat tahun 2015-2016
Unstandardized Coefficients
Variabel Sig.
B Std. Error
(Constant) 94.620 6.728 0.000
Laju Pertumbuhan Penduduk (X1) 0.521 0.610 0.397
Tingkat Kemiskinan (X2) -0.710 0.155 *0.000
Prevalensi Anak Balita Underweight (X3) -0.011 0.129 0.932
Prevalensi Anak Balita Stunting (X4) 0.045 0.085 0.600
Prevalensi Anak Balita Wasting (X5) -0.154 0.173 0.376
Tingkat Kecukupan Energi (TKE) (X6) -0.728 0.110 *0.000
Tingkat Kecukupan Protein (TKP) (X7) 0.362 0.092 *0.000
Skor PPH (X8) 0.230 0.095 *0.020
*signifikan (P<0.05)

Hasil uji regresi pada Tabel 1 Penyebab pertambahan jumlah penduduk juga
menghasilkan bahwa variabel bebas yang dapat disebabkan perpindahan status perdesaan
diteliti memiliki hubungan yang kuat (r=0.902) ke perkotaan (BPS Jawa Barat (2016b)8.
dan dapat menjelaskan variabel terikat sebesar Perpindahan tersebut diduga peningkatan
81.4% dan 18.6% dipengaruhi oleh faktor lain. kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.
Asumsinya yaitu pada saat kondisi cateris Kemiskinan merupakan isu sentral bagi
paribus maka, peningkatan 1% tingkat setiap negara didunia, khususnya bagi negara
kemiskinan akan menurunkan skor IPM di Jawa berkembang, pengentasan kemiskinan dan
Barat sebesar 0.71 poin. Peningkatan 1% menciptakan kesejahteraaan bagi rakyat
tingkat kecukupan energi akan meningkatkan merupakan tujuan akhir suatu negara (Pratama
skor IPM di Jawa Barat sebesar 0.73 poin. 2014)9. Berdasakan laporan akhir Millenium
Peningkatan 1% tingkat kecukupan protein Development Goals (MDGs)10, dari tahun 2010
akan meningkatkan skor IPM di Jawa Barat sampai 2015, Indonesia telah mengalami
sebesar 0.36 poin. Peningkatan 1 skor PPH akan penurunan tingkat kemiskinan. Tingkat
meningkatkan skor IPM di Jawa Barat sebesar kemiskinan Provinsi Jawa Barat pada tahun
0.23 poin. 2015 dan 2016 mengalami penurunan namun
angka tersebut masih dibawah angka nasional
PEMBAHASAN Indonesia. Provinsi Jawa Barat termasuk
Kondisi kependudukan Provinsi Jawa provinsi ke-3 yang memiliki tingkat kemiskinan
Barat tahun 2015-2016 mengalami peningkatan terendah dari 6 provinsi di Pulau Jawa dengan
jumlah penduduk namun dengan pertambahan urutan yaitu Jawa Tengah (13.32%), DI
penduduk yang semakin menurun atau dapat Yogyakarta (13.16%), Jawa Timur (12.28%),
dikatakan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Banten (5.75%), DKI Jakarta (3.61%) pada
menurun setiap tahunnya. Laju pertumbuhan tahun 2015 (BPS 2016a)11. Menurut Jundi
penduduk salah satunya dipengaruhi oleh faktor (2014)12 apabila tingkat pengangguran tinggi
seperti tingkat migrasi (Maulida 2013)7. maka tingkat kemiskinan akan tinggi begitupun
sebaliknya. Kemiskinan menyebabkan disimpulkan pola konsumsi masyarakat
seseorang memiliki keterbatasan terhadap akses Provinsi Jawa Barat dari tahun 2013-2016
ekonomi untuk konsumsi pangan yang belum berubah dan cenderung ke pola pangan
merupakan salah satu indikator dari tidak tunggal yaitu beras.
tercapainya ketahanan pangan (Zakiah 2016)13. Protein merupakan salah satu zat gizi
Apabila faktor yang menyebabkan kemiskinan yang berperan dalam proses metabolisme dalam
terjadi dalam kondisi yang tidak normal dengan tubuh. Zat gizi ini berperan sangat penting
jangka waktu yang panjang, maka akan dalam pertumbuhan dan perkembangan
menimbulkan dampak negatif terhadap terutama pada masa kanak-kanak..
perekonomian Indonesia. Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun
Konsumsi pangan dapat dilihat secara 2015-2016 secara keseluruhan sudah memiliki
kualitatif dan kuantitatif dan mempunyai fungsi TKP dalam kategori normal, bahkan terdapat
mendasar dari pangan yaitu sebagai zat tenaga, kabupaten/kota yang sudah melebihi
pengatur, dan pembangun (Saputri et al. batas %AKG. Sumber protein dari pangan
2016)14.. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat nabati salah satunya berupa kacang-kacangan
sebanyak 18.31% dari penduduk total di seperti kacang kedelai, kacang tanah, kacang
Indonesia berpotensi menimbulkan masalah hijau, dan kacang lainnya. Kacang-kacangan
pangan berupa produksi, distribusi, dan sebagai pangan penyumbang protein terbesar
konsumsi. Menurut Apriani dan Baliwati ketiga untuk memenuhi kecukupan protein
(2011)15, faktor yang dapat memengaruhi penduduk Jawa Barat, sedangkan pangan
konsumsi pangan sumber energi dari hewani merupakan sumbangan terbanyak kedua
karbohidrat yaitu ketersediaan, PDRB per setelah padi-padian untuk dapat memenuhi
kapita dan tingkat pendidikan. Berdasarkan kecukupan protein harian penduduk Jawa Barat
penelitian lain dari Miranti et al. (2016)16, pada tahun 2015 dan 2016 yaitu sebesar 36.2 %
proporsi pengeluaran untuk pangan juga dan 40.8% dari AKP.
menjadi faktor penentuan konsumsi pangan Sumbangan protein terbanyak pada
baik jenis jumlah, dan keragamannya. Sumber tahun 2015 dan 2016 yaitu ikan sebesar 8.2 dan
energi dari masyakarat Provinsi Jawa Barat 8.7 g/kap/hari. Ikan merupakan salah satu
masih bertumpu pada pangan pokok tunggal pangan hewani yang murah dan tidak sulit
yaitu padi-padian terutama beras. Beras pun untuk didapatkan sehingga ikan menjadi
masih menjadi pangan yang paling sumber protein yang cukup baik dikonsumsi
berkontribusi terhadap sumber energi dilihat dari sisi aksesibilitas dan kandungan
masyarakat Provinsi Jawa Barat (Nisa’ gizinya. Sumber asam lemak esensial Omega 3
(2017)17. Konsumsi beras pada kedua tahun (DHA dan EPA) dapat diperoleh dari ikan,
yaitu sebesar 281.4 dan 281.7 g/hari. Hal ini minyak ikan, dan ASI. Zat gizi tersebut yang
belum sesuai dengan sasaran target dari rencana berperan dalam tumbuh kembang anak dan
strategis BKP dengan menurunkan jumlah dapat mencegah terjadinya malnutrisi (Diana
konsumsi beras dari tahun 2015-2019 menjadi 2012)21. Konsumsi ikan di Indonesia tahun
263.8-259.6 g/kap/hari (BKP 2015b)18. 2005-2011 mengalami fluktuasi dengan rata-
Sumbangan padi-padian (beras, jagung, rata konsumsi ikan yaitu 26.04 kg/kapita/tahun
terigu) terhadap kecukupan energi yaitu sebesar atau 71.3 g/kap/hari (Baliwati dan Putri 2012)22.
70% dan angka tersebut tidak jauh berbeda pada Tahun 2015 dan 2016, konsumsi ikan di
tahun 2012 dengan presentase 77.5% pada Provinsi Jawa Barat hanya mencapai 36.1 dan
penelitian Sari (2014)19. Terigu merupakan 39.6 g/kap/hari. Jumlah tersebut hanya
jenis pangan yang dikonsumsi terbanyak kedua memenuhi sepertiga dari target yang ditetapkan
setelah beras pada kelompok padi-padian. Jenis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
pangan tersebut mudah diolah menjadi berbagai Skor PPH atau skor pola pangan
jenis makanan seperti mie, gorengan, kue, roti, harapan adalah susunan pangan yang beragam
dan makanan lainnya, sehingga kontribusi didasarkan dari sumbangan energi setiap
terigu cukup tinggi di Provinsi Jawa Barat. kelompok pangan dari suatu ketersediaan dan
Menurut BPS Jawa Barat (2015)20, sumber konsumsi pangan untuk menilai tingkat
energi dan protein Provinsi Jawa Barat pada keragaman pangan. Terdapat gerakan yang
tahun 2013 dan 2014 masih didominasi pada dinamakan Percepatan Penganekaragaman
kelompok pangan padi-padian dan Konsumsi Pangan (P2KP) dan merupakan
makanan/minuman jadi, sehingga dapat implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 22
Tahun 2009 tentang gerakan percepatan g/kap/hari. Apabila dibandingkan dengan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis konsumsi aktual masyarakat Provinsi Jawa
sumber daya lokal. Salah satu tujuan dari upaya Barat tahun 2015 dan 2016 sebesar 11.9 dan
tersebut agar konsumsi pangan pokok 14.6 g/kap/hari, sudah memenuhi 39.6 dan
masyakarat tidak hanya bertumpu pada 49.6% dari anjuran. Berdasarkan Permenkes no
konsumsi beras sehingga konsumsi pangan 41 tahun 2014 mengenai Pedoman Gizi
pokok lain seperti umbi-umbian dapat Seimbang (PGS) dalam salah satu poin
meningkat dan meningkatkan keberagaman menyebutkan untuk membatasi konsumsi gula,
pangan dilihat dari pendekatan skor Pola garam, lemak dalam sehari. Apabila hal tersebut
Pangan Harapan (PPH). Sama halnya dengan dilakukan sesuai dengan anjuran, dapat
kondisi di wilayah Provinsi Jawa Barat yang mengurangi resiko terjadinya penyakit
masih bertumpu pada sumber padi-padian, degeneratif atau penyakit tidak menular.
sehingga keragaman jenis pangannya rendah Determinan yang dapat memengaruhi
diukur dengan Skor PPH yang masih belum status gizi yaitu faktor internal (umur, jenis
mencapai target. Faktor yang diduga menjadi kelamin, status kesehatan, riwayat ASI
penyebab lamanya perkembangan Eksklusif, nilai cerna makanan, dan keadaan
penganekaragaman di Indonesia adalah masih infeksi) dan eksternal (tingkat pendidikan
belum terintegrasi dan belum bersinerginya orangtua, ketersediaan pangan, dan pola
berbagai program/kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan (Adriani dan Wirjatmadi
pangan (Rachman dan Ariani 2008)23. 2014). Berdasarkan hasil publikasi dari Tim
Penurunan skor PPH juga dapat disebabkan Nasional Percepatan Penanggulangan
oleh faktor ekonomi seperti pendapatan yang Kemiskinan (TNP2K) tahun 2017, sebanyak 13
terbatas, sehingga tidak mampu membeli kabupaten dari 27 kabupaten/kota di Provinsi
pangan yang cukup, baik kuantitas maupun Jawa Barat menjadi prioritas intervensi
kualitas (Hardhono 2014)24. penanganan stunting untuk tahun 2018.
Secara kuantitas, konsumsi pangan Intervensi tersebut berupa intervensi gizi
masyarakat Jawa Barat sudah cukup baik, spesifik dan sensitif. Intervensi gizi spesifik
namun apabila dilihat secara kualitas belum ditujukan untuk 1000 Hari Pertama Kehidupan
cukup baik. Hal ini ditandai dengan skor PPH di (HPK) dengan sasaran ibu dan anak yang
27 kabupaten/kota di Jawa Barat dalam rentang berkontibusi sebesar 30% dalam penurunan
skor 66-92.1 dan penyebarannya tidak merata. stunting. Biaya penanggulangan balita gizi
Konsumsi buah dan sayur pada wilayah buruk berupa Pemberian Makanan Tambahan
Provinsi Jawa Barat tahun 2015-2016 (PMT) di Jawa Barat sebesar 6.25 miliar pada
dibandingkan dengan anjuran menggunakan tahun 2006. Kerugian ekonomi yang terjadi
pendekatan PPH yaitu konsumsi buah dan sayur akibat balita stunting di Provinsi Jawa Barat
sebesar 250 g/kap/hari, Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar Rp 365 miliar - Rp 1 644 miliar
memenuhi 81.2% dan 75.2% dari anjuran PPH pada tahun 2013 dan hasilnya tidak jauh
untuk konsumsi buah dan sayur. Konsumsi berbeda pada perhitungan kerugian ekonomi
umbi-umbian di Provinsi Jawa Barat tahun tahun 2003 (Renyoet et al. 2016)6. Hal ini
2015 dan 2016 masih sangat rendah yaitu 28.1 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi yang
dan 32.5 g/kap/hari. Apabila konsumsi Provinsi didapat tidak sebanding dengan biaya
Jawa Barat dibandingkan dengan anjuran dari penanggulangan balita gizi buruk yang
PPH, angka tersebut masih sangat jauh dan digunakan.
hanya mencapai target sekitar 23-33%. Ketimpangan skor IPM yang terjadi
Konsumsi minyak dan lemak pada pada 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
kedua tahun di Provinsi Jawa Barat yaitu 24.5 dikarenakan luas wilayah dan tidak meratanya
dan 26.6 g/kap/hari. Kontribusi terbanyak pembangunan antara daerah perkotaan maupun
terdapat pada minyak lainnya atau minyak kabupaten, dan antarporvinsi (BPS 2015a).
goreng yang biasa digunakan untuk memasak. Skor IPM di Jawa Barat tahun 2015-2016
Anjuran dari PPH mengenai konsumi minyak termasuk kategori sedang (60≤IPM<70).
dan lemak yaitu sebesar 20 g/kap/hari, apabila Apabila IPM di Jawa Barat tersebut
dibandingkan dengan konsumsi aktual Provinsi dibandingkan dengan IPM di Indonesia, IPM di
Jawa Barat sebesar 24.5 dan 26.6 g/kap/hari Jawa Barat masih dibawah rata-rata IPM
sudah melebihi anjuran dari PPH. Anjuran Indonesia pada tahun 2015 dan 2016, namun
konsumsi gula dari PPH yaitu sebesar 30 perbedaan tersebut tidak begitu jauh.Menurut
Sari (2014), IPM di Provinsi Jawa Barat pada ditandai dengan status gizi masyarakat yang
tahun 2012 dipengaruhi oleh LPP, konsumsi baik (Suryana 2008)32. Menurut Widodo et al.
energi, dan skor PPH. (2017)33, skor PPH berhubungan negatif dengan
Uji regresi liniear berganda resiko terjadinya balita stunting dan
menunjukkan, variabel tingkat kemiskinan underweight pada anak berusia 0.5-12 tahun di
memengaruhi IPM secara negatif di Provinsi Indonesia. Secara tidak langsung variabel-
Jawa Barat tahun 2015-2016. Tingkat variabel yang diteliti pada penelitian ini
kemiskinan yang tinggi akan memengaruhi memiliki hubungan dan saling berterkaitan.
kualitas dari pembangunan nasional yang salah Skor PPH yang ideal yaitu mendekati angka
satunya diukur dengan Indeks Pembangunan 100. Penurunan skor PPH mengindikasikan
Manusia (IPM). Menurut Chalid dan Yusuf bahwa program penganekaragaman pangan di
(2014)26, tingkat kemiskinan memengaruhi IPM Indonesia perlu ditingkatkan melalui suatu
di Provinsi Riau secara negatif, kenaikan upaya percepatan.
tingkat kemiskinan 1% akan menurukan skor
IPM sebesar 0.163 poin. Variabel status gizi KESIMPULAN
tersebut tidak mempengaruhi Indeks Hasil dari penelitian menghasilkan,
Pembangunan Manusia (IPM) secara signifikan bahwa variabel bebas (tingkat kemiskinan,
di Provinsi Jawa Barat tahun 2015-2016. Hal ini penduduk, konsumsi pangan, statis gizi)
didukung dengan penelitian Sari (2014)19, anak memiliki hubungan yang kuat (r=0.902) dan
balita yang menderita gizi buruk di Jawa Barat dapat menjelaskan variabel terikat sebesar
tahun 2011-2012 tidak memengaruhi Indeks 81.4% dan 18.6% dipengaruhi oleh faktor lain.
Pembangunan Manusia (IPM). Asumsinya, setiap peningkatan 1% tingkat
Ketiga variabel konsumsi pangan kemiskinan akan menurunkan skor IPM
mempegaruhi Indeks Pembangunan Manusia sebesar 0.71 poin. Peningkatan 1% tingkat
(IPM) secara signifikan. Hal ini didukung kecukupan energi akan meningkatkan skor IPM
dengan penelitian Sari (2014), adanya pengaruh sebesar 0.73 poin. Peningkatan 1% tingkat
yang negatif antara konsumsi energi terhadap kecukupan protein akan meningkatkan skor
IPM di Jawa Barat tahun 2011-2012. Pengaruh IPM sebesar 0.36 poin. Peningkatan 1 skor PPH
konsumsi energi terhadap IPM bertanda negatif akan meningkatkan skor IPM sebesar 0.23 poin.
agar kedepannya tidak terjadi kelebihan Hasil penelitian ini diharapkan
konsumsi energi. Saat kondisi kelebihan pemerintah mengetahui bahwa pembangunan
konsumsi energi dari sumber karbohidrat, manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
lemak, dan protein dalam jangka waktu panjang kemiskinan dan ekonomi saja, melainkan
yang artinya glukosa dalam tubuh meningkat, terdapat faktor konsumsi pangan sehingga
glukosa tersebut tidak semua dijadikan energi ketahanan pangan tercapai. Kebijakan terkait
namun dapat disimpan sebagai cadangan energi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup
berupa lemak dalam tubuh (Siregar 2014)27. manusia harus saling terintegrasi dengan
Kelebihan energi tersebut dapat menyebabkan kebijakan dari sektor lainnya sehingga
masalah-masalah kesehatan dan penurunan tantangan kedepannya dapat teratasi dan saling
produktifitas masyarakat yang berdampak pada bersinergi.
kualitas hidup manusia (Sukotjo 2009)28.
Menurut Rahim (2014)30, konsumsi protein DAFTAR PUSTAKA
yang rendah menjadi faktor resiko terjadinya 1. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015a. Indeks
malnutrisi pada anak balita. Namun, kosumsi Pembangunan Manusia Metode Baru
protein yang berlebih dalam jangka waktu Tahun 2014. Jakarta (ID): BPS.
panjang akan menimbulkan dampak yang 2. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014a.
berkemungkinan terjadi peningkatan zat sisa Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk
metabolisme protein (ureum dan kreatinin), Indonesia dan Provinsi Berdasarkan Hasil
sehinga kerja ginjal semakin berat (Ma’shumah Susenas Maret. 2014. Jakarta (ID): BPS.
et al. 2014)31. 3. [DKPP Jawa Barat] Dinas Ketahanan
Percepatan Penganekaragaman Pangan dan Peternakan Jawa Barat. 2018.
Konsumsi Pangan (P2KP) dengan alat ukur Buku Direktori Pola Pangan Harapan
skor PPH merupakan salah satu upaya yang Provinsi Jawa Barat Tahun 2018. [diunduh
menjadi faktor pendukung terbentuknya 25 Agustus 2018]. Tersedia pada:
pembangunan manusia yang berkualitas http://dkpp.jabarprov.go.id
4. [TNP2K] Tim Nasional Percepatan 17. Nisa’ A. 2017. Faktor-faktor yang
Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 berhubungan dengan konsumsi pangan di
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi 17 Kabupaten Provinsi Jawa Barat Tahun
Anak Kerdil (Stunting). Jakarta (ID): 2011-2014. [skripsi] Bogor(ID): Institut
Wakil Presiden RI. Pertanian Bogor.
5. Aries M dan Martianto D. 2006. Estimasi 18. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2015b.
kerugian ekonomi akibat status gizi buruk Rencana Strategis Badan Ketahanan
dan biaya penanggulangannya pada balita Pangan Tahun 2015-2019.. Jakarta (ID):
di berbagai provinsi di Indonesia. Jurnal Kementerian Pertanian.
Gizi dan Pangan. 1(2): 26-33. 19. Sari DO. 2014. Analisis konsumsi pangan
6. Renyoet BS, Martianto D, dan Sukandar S. dan status gizi Provinsi Jawa Barat tahun
2016. Potensi kerugian ekonomi karena 2011-2012 dalam rangka pencapaian
stunting pada balita di Indonesia tahun millennium development goals [skripsi].
2013. Jurnal Gizi dan Pangan. 11 (3): 247- Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
254. 20. [BPS Jawa Barat] Badan Pusat Statistik
7. Maulida Y. 2013. Pengaruh tingkat upah Jawa Barat. 2015. Pola Konsumsi
terhadap migrasi masuk di Kota Penduduk Jawa Barat 2014. Bandung
Pekanbaru. Jurnal Ekonomi. 21(2): 1-12. (ID): BPS Jawa Barat.
8. [WHO] World Health Organization. 21. Diana FM. 2012. Omega 3. Jurnal Kesmas.
2010. Country Profile Indicators: 6 (2): 113-117.
Interpretation Guide. Swiss (CH): 22. Baliwati1 YF dan Putri YDO. 2012.
WHO Library. Keragaan konsumsi ikan di Indonesia
9. [BPS]. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. tahun 2005-2011. Jurnal Gizi dan Pangan.
2016b. Profil Penduduk Provinsi Jawa 7(3): 181-188.
Barat SUPAS 2015. Bandung (ID): BPS 23. Rachman HPS dan Ariani M. 2008.
Jawa Barat. Penganekaragaman konsumsi pangan di
10. Pratama CY. 2014. Analisis faktor faktor Indonesia: permasalahan dan implikasi
yang memengaruhi kemiskinan di untuk kebijakan dan program. Analisis
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Kebijakan Pertanian. 6(2): 140 – 154.
4(2): 210–223. 24. Hardhono GS. 2014. Strategi
11. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016a. pengembangan diversifikasi pangan lokal.
Statistik Indonesia. Jakarta(ID): BPS. Analisis Kebijakan Pertanian. 12(1): 1-17.
12. Jundi MA. 2014. Analisis faktor yang 25. Chalid H dan Yusuf Y. 2014. Pengaruh
memengaruhi tingkat kemiskinan tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran,
provinsi-provinsi di Indonesia [skripsi]. upah minimum kabupaten/kota dan laju
Semarang (ID): Universitas Dipenogoro. pertumbuhan ekonomi terhadap indeks
13. Zakiah. 2016. Ketahanan pangan dan pembangunan manusia di Provinsi Riau.
kemiskinan di Provinsi Aceh. Analisis Jurnal Ekonomi. 22(2): 1-12.
Kebijakan Pertanian. 14(2): 113-124. 26. Siregar NS. 2014. Karbohidrat. Jurnal
14. Saputri R , Lestari LA , dan Susilo J. 2016. Ilmu Keolahragaan. 13 (2): 38-44.
Pola konsumsi pangan dan tingkat 27. Sukotjo. 2009. Produktifitas suatu faktor
ketahanan pangan rumah tangga di penentu bagi pembangunan sosial dan
Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal ekonomi. Makalah Ilmiah Ekonomika.
Gizi Klinik Indonesia. 12(3): 123-130. 12(3): 109-179.
15. Apriani S dan Baliwati YF. 2011. Faktor- 28. Ismanti K. 2017. Pengaruh faktor
faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan, konsumsi protein, konsumsi
konsumsi pangan sumber karbohidrat di kalori, dan upah terhadap indeks
perdesaan dan perkotaan. Jurnal Gizi dan pembangunan manusia Bangsa Indonesia.
Pangan. 6(3): 200-207. Sosio-E-Kons. 9 (1): 25-35.
16. Miranti A, Syaukat Y, Harianto. 2016. Pola 29. Rahim FK. 2014. Faktor resiko
konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi underweight balita umur 7-59 bulan.
Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 34 Jurnal Kemas. 9(2): 115-121.
(1):67-80. 30. Ma’shumah N, Bintanah S, Handarsari E.
2014. Hubungan asupan protein dengan
kadar ureum, kreatinin, dan kadar
hemoglobin darah pada penderita gagal 32. Widodo Y, Sandjaja, dan Ernawati F.
ginjal kronik hemodialisa rawat jalan di 2017. Skor pola pangan harapan dan
RS Tugurejo Semarang. Jurnal Gizi hubungannya dengan status gizi anak usia
Universitas Muhammadiyah Semarang. 3 0.5 – 12 tahun di indonesia (score of
(1): 22-32. desirable dietary pattern and association
31. Suryana A. 2008. Penganekaragaman with nutritional status of 0.5-12 years old
konsumsi pangan dan gizi faktor Indonesian children). Penelitian Gizi dan
pendukung peningkatan kualitas sumber Makanan. 40 (2): 63-75.
daya manusia [artikel]. Pangan. Edisi No.
52/XVIL. [diunduh 8 Juli 2018].

Anda mungkin juga menyukai