Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Nama Peserta: dr. Camila Anis

Nama Wahana: RSU Darmayu Ponorogo

Topik: Epistaksis Anterior


Tanggal kasus: 28 Agustus 2019

Tanggal Presentasi: - Pendamping: dr. Ahmad Thohir

Tempat Presentasi: -

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Bumil
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia

Deskripsi: anak Z, 8tahun dikeluhkan keluar darah dari hidung kanan. Darah keluar setelah
pasien mengorek hidung. Sempat berhenti kemudian darah keluar lagi. Batuk (-), pilek (+).
Oleh ibu pasien dipasang kasa untuk menghentikan perdarahan.

Tujuan: follow up kondisi klinis dan penatalaksanaan lebih lanjut

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data pasien:
An. Z, 8 tahun

Nama RS: RSU Darmayu Ponorogo No RM: 1428xxx


Data utama untuk bahan diskusi:

Diagnosis/ gambaran klinis:


Anamnesis
Keluhan utama: Keluar darah dari hidung kanan
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSU Darmayu diantar ibunya dengan keluhan keluar darah dari
hidung kanan sejak jam 07.00 pagi setelah pasien mengorek hidungnya . Darah sempat
berhenti mengalir kemudian berulang lagi, kemudian ibu pasien memasangkan kasa pada
hidungnya untuk menghentikan perdarahan

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien sering batuk pilek

Riwayat Pengobatan:
Belum pernah berobat sebelumnya

Riwayat keluarga:
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa
Riwayat pekerjaan:
Belum bekerja
Riwayat sosial:
Tidak berhubungan dengan keluhan yang dialami pasien saat ini

Riwayat alergi:
Ibu pasien sering biduren bila makan ikan

3. Lain-lain:
Pemeriksaan Fisik
TB / BB : 120 cm / 25 kg
Kesadaran : Compos mentis
N : 86 kali/menit
T :37,9 °C
RR :20 kali/menit
SpO2 :98%
Status generalis
 Kulit : ikterik (-), sianosis (-), turgor normal, kelembaban normal
 Kepala/Leher : anemis (-), ikterus(-), cianosis(-), dyspneu(-), pKGB (-/-)
 Thorax : simetris, retraksi (-/-)
P : ves/ves, rh (-/-), wh (-/-)
C : S1S2 tgl, M(-) G(-)
 Abdomen : datar, BU normal, hipertimpani, soepel, nyeri tekan epigastrik (+)
 Ekstremitas : Edema (-/-) pada keempat ekstrimitas
akral hangat kering merah, CRT<2’’
4. Pemeriksaan khusus
Hidung Tenggorok
Deformitas - Cav. Oris dbn
Hematoma - Palatum Mole dbn
Krepitasi - Uvula dbn
Nyeri - Tonsil T2/T2
Rinoskopi
Hiperemi -/-
Anterior
Vestibulum N Detritus -/-
Cav. Nasi N Kripte Melebar -/-
Luas Cukup Arc. Anterior dbn
Mukosa N Arc. Posterior dbn
Massa N Faring
Sekret +/+ Edema -/-
Oedem/
Konka Hiperemi -/-
oedem
Septum N Granula -/-
Rinoskopi
Tdl Sub Glottis N/A
Posterior
Lain2:
Darah kering
pada nostri (D)
Daftar Pustaka:

1. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review. British Journal of
Hospital Medicine Vol 69 No 7.
2. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American Family
Physician Vol 71 No 2.
3. Bailey BJ et al. 2001. Head and Neck Surgery – Otolangology 3rd Edition Lippincott Williams
& Wilkins Publishers.
4. Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Prof. Dr.
Jenny Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 November 28
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
Hasil Pembelajaran:

1. Penegakan diagnosa epistaksis


2. Penatalaksanaan epistaksis

Rangkuman hasil
SUBYEKTIF
Dikeluhkan pasien keluar darah dari hidung sebelah kanan sejak jam 07.00 WIB. Darah keluar mengalir
setelah pasien mengorek hidung karena merasa terganggu dengan kotoran dalam hidungnya.Jam 08.00
pasien mengalami keluar darah dari hidung kanan kembali dengan jumlah darah lebih sedikit dari
sebelumnya. Untuk menghentikan mimisannya, ibu pasien memasukkan kasa pada lubang hidung
kanan.Pasien juga dikeluhkan panas sejak 3 hari terakhir. Panas badan diawali batuk pilek sejak 5 hari
yang lalu, dahak (-), hidung tersumbat (+/+), pilek (+/+) kental warna kekuningan, bersin sejak 5 hari
sebelumnya, Riwayat korek hidung (+/+) nafsu makan menurun. Nyeri telan (-) Sesak (-), Pendengaran
turun (-/-), nyeri telinga (-/-).BAK (+) kuning jernih, BAB (+) dbn.
OBYEKTIF:
Status generalis
 TB / BB : 120 cm / 25 kg
 Kesadaran : Compos mentis
 TD : 100/70 mmHg
 N : 86 kali/menit
 T :37,9 °C
 RR :20 kali/menit
 SpO2 : 98%
 Kulit : ikterik (-), sianosis (-), turgor normal, kelembaban normal
 Kepala/Leher : anemis (-), ikterus(-), cianosis(-), dyspneu(-), pKGB (-/-)
 Thorax : simetris, retraksi (-/-)
P : ves/ves, rh (-/-), wh (-/-)
C : S1S2 tgl, M(-) G(-)
 Abdomen : datar, BU normal, hipertimpani, soepel, nyeri tekan epigastrik (+)
 Ekstremitas : Edema (-/-) pada keempat ekstrimitas
akral hangat kering merah, CRT<2’’
Pemeriksaan khusus
Hidung Tenggorok
Deformitas - Cav. Oris dbn
Hematoma - Palatum Mole dbn
Krepitasi - Uvula dbn
Nyeri - Tonsil T2/T2
Rinoskopi
Hiperemi -/-
Anterior
Vestibulum N Detritus -/-
Cav. Nasi N Kripte Melebar -/-
Luas Cukup Arc. Anterior dbn
Mukosa N Arc. Posterior dbn
Massa N Faring
Sekret +/+ Edema -/-
Konka Oedem/ oedem Hiperemi -/-
Septum N Granula -/-
Rinoskopi
Tdl Sub Glottis N/A
Posterior
Lain2:
Darah kering
pada nostri (D)
PLANNING:
Diagnosis
Epistaksis anterior + rhinitis

Terapi
 Tampon anterior nostril dextra
 Paracetamol syr 3 x CI
 Cefat 2x1/2 tab
 (Tremenza ½ tab + vit C ½ tab + GG ½ tab) 3x1
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Epistaksis atau mimisan adalah perdarahan yang keluar dari satu atau
kedua lubang hidung yang penyebabnya dapat local maupun sistemik.Epistaksis
bukanlah suatu penyakit sehingga dalam penanganannya perlu dicari
penyebabnya.

EPIDEMIOLOGI
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya
sembuh dengan perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan.Tetapi,
ketika beberapa sumber ditinjau, angka kejadian epistaksis dalam populasi umum
sekitar 60%, dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis.
Distribusi umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-10
tahun) dan individu usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang
tanpa penyakit koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma).
Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi hingga nanti pada usia balita. Anak
yang lebih tua dan remaja juga memiliki angka kejadian yang rendah.Harus
dipikirkan penggunaan kokain pada anak remaja.
Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada
wanita (42%).

ETIOLOGI
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara
lingkungan), kelainan sistemik (kelainan darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan
kongenital, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal),
dan idiopatik.Penyebab tersering adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial,
benda asing, infeksi nasal atau sinus, dan inhalasi udara kering yang
berkepanjangan.Anak kecil biasanya mengalami epistaksis karena iritasi lokal
atau infeksi saluran nafas atas.

Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam


selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum
nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh
darah yang kaya anastomosis.Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal
dan umum atau kelainan sistemik.
1) Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas.Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior.Selain itu epistaksis juga bisa terjadi
akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang
tajam.Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.Bagian anterior
septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara
pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta
yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital.Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa
septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma
pada mukosa hidung.Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan
epistaksis.Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa
biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak.
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis.Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak
mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.Karena pada
tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah
yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.

Gambar-5: Epistaksis pada neoplasma


d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease).Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease.Telengiectasis
hemorrhagic hereditary adalahkelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi
pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya
perdarahan.
Gambar-6: Osler’s Disease
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah.
Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong.Atau dapat rusak di
bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam.
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
mukosa.Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin
yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan
oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan
mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat
menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta.
Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti
mengosok-gosok hidung.
2) Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang.Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila
terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan
serotonin dan tromboksan A₂(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos
dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah
yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel
pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak danmembentuk plug
trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi
trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat
plug. Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
150.000/ µl. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh
tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif.Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan
VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).Darah pada penderita hemofilia tidak
dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah
berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah
putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow).Sumsum tulang atau
bone marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah
diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi),
sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit
(bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia
terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan
atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk
trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan
perdarahan mudah terjadi.

Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat


pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet
yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan
mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh
karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis.Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan
tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg.Epistaksis sering terjadi pada tekanan
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah.Jika terjadi keadaan
tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan
vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX,
X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin
yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya
perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati.Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial
pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan
basal membran semakin menebal dan lemah.Dinding pembuluh darah menjadi
lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan.Sehingga epistaksis
dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.
c) Infeksi akut
Penyebab tersering epistaksis pada infksi akut adalah demam berdarah
kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran
ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan
pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif
(KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.
d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di
hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya
epistaksis.
e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.Hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah
sehingga dapat terjadi epistaksis.

PATOFISIOLOGI
Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah
menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah
anterior dan berasal dari area Little dimana terbentuk pleksus Kiesselbach di
septum. Pleksus Kiesselbach adalah dimana pembuluh dari Arteri karotis interna
(Arteri etmoidalis anterior dan posterior) dan eksterna (cabang Arteri maksilaris
interna) berkumpul.Pendarahan kapiler atau vena tersebut mengalir secara
perlahan walaupun pemompaan darah yang besar pada arteri asalnya. Pendarahan
anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian depan.
Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung,
biasanya terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang Arteri
sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sumber posterior
mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan jalan nafas,
aspirasi darah, dan kesulitan mengendalikan pendarahan.

DIAGNOSIS
- Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa pendarahan berasal dari bagian depan
dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinya pendarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan
darah.Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
pendarahan, frekuensi, lamanya pendarahan, dan riwayat pendarahan hidung
sebelumnya.Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung.Kebanyakan kasus
epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung
menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan.Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Bila perlu,
ditanyakan juga mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan
dengan pendarahan, misalnya : riwayat darah tinggi, arteriosklerosis, koagulopati,
riwayat pendarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat
penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin,
ticlopidin, serta kebiasaan merokok, dan minum minuman keras.
- Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja, dan harus cukup sesuai
untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.Dengan spekulum,
hidung dibuka lalu dengan alat penghisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung, baik cairan, sekret, maupun darah yang sudah membeku.Sesudah
dibersihkan semua lapangan dalam hidung, diobservasi untuk mencari tempat, dan
faktor-faktor penyebab pendarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan
kapas yang dibasahi dengan larutan anastesi lokal seperti pantokain 2% atau
larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit, kapas dalam
hidung dikeluarkan, dan evaluasi dapat dilakukan.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
a. Rhinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung, dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rhinoskopi posterior.
Pemeriksaan nasofaring dengan rhinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang.

TATALAKSANA
Ketika epistaksis memerlukan pengobatan, biasanya dikarenakan
epistaksis yang berulang atau berat. Pada sebagian besar pasien, pendarahan yang
ringan akan berhenti setelah kauterisasi atau pemasangan tampon anterior, namun
pada pasien dengan epistaksis berulang dan atau berat dimana pengobatan gagal
termasuk pemasangan tampon posterior, dapat dilakukan ligasi arteri atau
embolisasi. Pendekatan medis untuk pengobatan epistaksis adalah:
- Obat penghilang nyeri yang cukup pada pasien dengan tampon, terutama
tampon posterior
- Antibiotik oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis dan toxic shock
syndrome
- Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya
- Pengobatan untuk mengontrol penyakit penyebabnya (hipertensi,
defisiensi vitamin K) disertai konsultasi dengan dokter spesialis lainnya.
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan pendarahan.
Hal-hal yang penting diketahui adalah:
- Riwayat pendarahan sebelumnya.
- Lokasi pendarahan.
- Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
- Lamanya pendarahan dan frekuensinya
- Riwayat gangguan pendarahan dalam keluarga
- Hipertensi
- Diabetes melitus
- Penyakit hati
- Gangguan koagulasi
- Trauma hidung yang belum lama
- Obat-obatan, misalnya aspirin

Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu: memperbaiki


keadaan umum disertai tekanan darah, denyut nadi, dan pernafasan, mencari
sumber pendarahan, menghentikan pendarahan, mencari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya pendarahan, dan mencegah komplikasi. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain:
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, pendarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 10-15 menit (metode Trotter).

Gambar 1. Metode Trotter

c. Tentukan sumber pendarahan dengan memasang tampon anterior yang


telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantokain/lidokain
2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
d. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan krim
antibiotik.
e. Bila dengan kaustik pendarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa
sebanyak 2-4 buah yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotika.
Pemakaian pelumas diperlukan agar tampon mudah dimasukkan dan tidak
menimbulkan pendarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari,
harus diambil untuk mencegah infeksi hidung. Bila pendarahan masih
belum berhenti, dipasang tampon baru.
f. Pendarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm
dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada
sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar dari hidung. Benang yang
telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang
lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
pendarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat
pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon
posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi.
Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Apabila usaha pengobatan di atas gagal menghentikan pendarahan, dapat
dilakukan ligasi arteri.Pemilihan pembuluh darah yang diligasi tergantung dari
lokasi epistaksis.Secara umum, semakin dekat ligasi terhadap lokasi pendarahan,
semakin efektif prosedur yang dilakukan.Ligasi biasanya dilakukan pada arteri
karotis eksternal, atau maksilaris interna, atau etmoidalis.Ligasi arteri karotiks
eksternal dilakukan melalui insisi horizontal yang dilakukan di antara tulang
hyoid dan batas superior kartilago tiroid.Ligasi arteri maksilaris interna memiliki
angka kesuksesan yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis eksterna karena
letak intervensinya yang lebih jauh, biasanya diakses secara transantral melalui
pendekatan Caldwell-Luc.Bila pendarahan terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap
nasal, lebih baik dilakukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan atau posterior
melalui insisi etmoidektomi eksternal.
Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol dengan
embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang baik untuk
dibedah ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan operasi yang
gagal.Sebelum embolisasi, dilakukan dulu angiografi untuk memeriksa kehadiran
hubungan yang tidak aman antara sistem arteri karotis interna dan
eksterna.Embolisasi selektif pada arteri maksilaris interna dan kadang-kadang
pada arteri fasialis.Angiografi pasca embolisasi dilakukan untuk menilai derajat
oklusi.
Pengobatan untuk Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) bersifat
paliatif karena kelainannya tidak dapat disembuhkan. Pilihan pengobatannya
adalah koagulasi dengan laser titanyl-phosphate (KTP) atau neodymium:yttrium-
aluminum-garnet (Nd:YAG), septodermoplasti, embolisasi, dan terapi estrogen.

- Pengobatan Farmakologi
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam
menangani pasien dengan epistaksis.
1. Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal
yang menyebabkan vasokonstriksi.Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan
langsung pada membran mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa
adrenergik dan menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan
drastis pada tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi
jantung.Oxymetazoline dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan
efek anestesi dan vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan
per kavum nasi sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis
anjuran per 24 jam dan durasi maksimum adalah 3-5 hari.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor,
maka efek anestesinya akan diperpanjang dan ambang nyeri meningkat.Lidokain
4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di membran neuronal,
sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat transmisi impuls saraf. Dosis
1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3 mg/kg, tidak boleh diberikan dengan
interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan memberikan
kelembapan lokal.Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat
pertumbuhan bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein.dioleskan pada
area yang terkena tiga kali sehari.
4. Agen kauterisasi
Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi
pendarahan. Silver nitrat menggumpalkan protein dan membuang jaringan
granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah dililitkan pada
aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area yang terkena 2-3
kali per minggu selama 2-3 minggu.

PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti
sendiri.Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan
hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.


British Journal of Hospital Medicine Vol 69 No 7.
2. Kucik CJ dan Timothy Clenney. 2005. Management of Epistaksis. American
Family Physician Vol 71 No 2.
3. Bailey BJ et al. 2001. Head and Neck Surgery – Otolangology 3 rd Edition
Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
4. Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar,
Sp.THT, Prof. Dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti,
Sp.THT. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007.
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007
November 28 Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-
treatment

Anda mungkin juga menyukai