Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

Nama Peserta: dr. Camila Anis

Nama Wahana: RS Darmayu. Ponorogo

Topik: sepsis e.c pneumonia


Tanggal kasus: 26 Juli 2019

Tanggal Presentasi: - Pendamping: dr. Ahmad Thohir

Tempat Presentasi: -

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Bumil
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia

Deskripsi: laki-laki, 16 tahun, santri pondok pesantren. Datang dengan keluhan batuk
berdahak 2 minggu. 3 hari terakhir batuk memberat disertai sesak nafas. Pasien juga
mengeluhkan demam disertai menggigil. Sudah minum obat tetapi tidak membaik. Pasien
merasa lemas.
Tujuan: follow up kondisi klinis dan penatalaksanaan lebih lanjut

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas: Diskusi Presentasi & diskusi Email Pos

Data pasien:
Sdr M.B , 16 tahun

Nama RS: RSU Darmayu Ponorogo No RM:1426xxx


Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/ gambaran klinis:


Anamnesis
Keluhan utama: batuk
Riwayat penyakit sekarang:
 Pasien mengeluhkan batuk 2 minggu disertai dahak kental warna kekuningan.
 3 hari terakhir batuk memberat disertai demam menggigil dan sesak nafas
 pasien merasa lemas dan nafsu makan menurun
 pasien tinggal di pondok pesantren

Riwayat Penyakit Dahulu:


Batuk lama (-)
Pengobatan 6 bulan (-)

Riwayat Pengobatan:
Minum obat batuk dan penurun panas tapi tidak membaik

Riwayat keluarga:
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

Riwayat pekerjaan:
Belum bekerja

Riwayat sosial:
Pasien tinggal di salah satu pondok pesantren di ponorogo. pasien tinggal satu kamar bersama 30
temannya. Setiap harinya pasien biasa tidur dengan kasur lipat. Teman satu kamar pasien ada yang
pernah mengalami keluhan serupa. Teman satu kamar pasien tidak ada yang pernah pengobatan
TBC selama 6 bulan.

Riwayat alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi

2
3. Lain-lain:
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
TD :100/60 mmHg
N :98 kali/menit
T :39,2 °C
RR :22 kali/menit
SpO2 :97%

Status Generalis :

 Kulit : ikterik (-), sianosis (-), turgor normal, kelembaban normal


 Kepala/Leher : anemis (-), ikterus(-), cianosis(-), dyspneu(+), pKGB (-/-)
 Thorax : simetris, retraksi (-/-)
P : ves/ves, rh (+/-), wh (-/-)
C : S1S2 tgl, M(-) G(-)
 Abdomen : datar, BU normal, timpani, soepel
 Ekstremitas : Edema (-/-) pada keempat ekstrimitas
akral hangat kering merah, CRT<2’’

Pemeriksaan Laboratorium:

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 14,0 14 -17 gr/dl

Leukosit 20,8 4.5-10,5 x 103/ul

Trombosit 204 150 – 450 x 103/ul

Hematokrit 49,6 45.0 - 55.0 %

SGOT 30 10-35 U/L

SGPT 23 9-43 U/L

GDA 76 <200

BTA MTB not Detected

3
Daftar Pustaka:

1. Department of Health An Roinn Slainte. National Clinical Guideline No. 6: Sepsis Management.
2014. Washington: National Clinical Effectiveness Committee.
2. Mayr, F., Yende, S., Angus, D. Epidemiology of Severe Sepsis. Virulence 5:1, 4-11 January 1,
2014.
3. Remick DG. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol 2007;170:1435-44
4. Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock: 2012. Society of Critical Care Medicine and the European Society of Intensive Care
Medicine.
5. Wibisono, M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. 2010. Surabaya: Airlangga Press.

Hasil Pembelajaran:

1. Penegakan diagnosa sepsis e.c pneumonia


2. Penatalaksanaan sepsis e.c pneumonia

Rangkuman hasil

SUBYEKTIF
Pasien mengeluhkan batuk 2 minggu. Batuk disertai dahak kental warna kekuningan. Dahak sulit keluar
dan dirasakan menempel pada tenggorokan. Batuk memberat 3 hari ini disertai sesak nafas terutama pada
malam hari. Demam dirasakan 3 hari ini disertai menggigil. Batuk darah (-), keringat dingin malam hari
(-), penurunan berat badan (-), mimisan (-), pilek (-), pusing (+), mual (-), muntah (-). Teman satu kamar
ada yang memiliki keluhan serupa. Di lingkungan pasien ada yang menderita TBC paru. Sejak 1 minggu
terakhir pasien merasa serinh lelah dan lemas. Pasien sudah minum obat batuk dan penurun demam
(paracetamol) tetapi keluhan tidak membaik.

4
OBYEKTIF:
Status generalis
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : 456
 TD :100/60 mmHg
 N :98 kali/menit
 T :39,2 °C
 RR :22 kali/menit
 SpO2 :97%
 Thorax : simetris, retraksi (-/-)
P : ves/ves, rh (+/-), wh (-/-)
C : S1S2 tgl, M(-) G(-)
 Abdomen : datar, BU normal, timpani, soepel
 Ekstremitas : Edema (-/-) pada keempat ekstrimitas
akral hangat kering merah, CRT<2’’

Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 14,0 14 -17 gr/dl

Leukosit 20,8 4.5-10,5 x 103/ul

Trombosit 204 150 – 450 x 103/ul

Hematokrit 49,6 45.0 - 55.0 %

SGOT 30 10-35 U/L

SGPT 23 9-43 U/L

GDA 76 <200

BTA MTB not Detected

5
PLANNING:
Diagnosis
foto thorax

Terapi
 Pro MRS
 Konsul DPJP (Sp.P) :
 Inf. D5 drip aminophilin 18tpm

6
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Studi oleh Martin et al memperkirakan insidens sepsis di Amerika
Serikat (AS) sebanyak 240 kasus per 100.000 orang, dan Angus et al
melaporkan 300 kasus sepsis berat per 100.000 orang. Insidens diproyeksikan
meningkat sebanyak 1,5% per tahun. Laju mortalitas yang dilaporkan pada
studi-studi ini juga dilaporkan serupa, mulai dari 17,9% untuk sepsis sampai
28,6% untuk sepsis berat. Angka-angka ini diterjemahkan menjadi kurang lebih
750.000 episode baru untuk sepsis berat, dengan mortalitas tahunan berkisar
220.000 (29%) di AS.
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah
positif. Kriteria SIRS dilampirkan pada table 1. Sepsis sendiri mewakili SIRS
yang diinduksi oleh infeksi, sepsis berat adalah sepsis dengan disfungsi salah
satu organ atau system organ dan syok sepsis adalah sepsis berat dengan
hipotensi.
Terminologi Definisi

Sindrom respon Respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau


inflamasi sistemik lebih keadaan berikut:
(SIRS)
• Suhu > 38 atau <36
• HR > 90x/m
• RR > 20x/m atau PaCO2 < 32 mmHg
• Leukosit > 12.000 atau < 4.000, atau batang > 10%
Sepsis Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi
SIRS

Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi,


atau hipotensi (termasuk asidosis laktat, oliguria,

7
penurunan kesadaran)

Sepsis dengan Sepsis dgn TDS < 90 atau penurunan TDS > 40 dan tidak
hipotensi ditemukan penyebab hipotensi lainnya

Renjatan sepsis Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi


cairan secara adekuat atau memerlukan vasopressor utk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ

Pneumonia adalah peradangan alat parenkim paru, distal dari bronkiolus


terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri.virus,jamur,protozoa). Penyakit ini dikelompokan
berdasarkan tempat terjadinya penularan, karena hal ini mempengaruhi
kemnungkinan mikroorganisme patogen penyebab sehingga bisa menentukan
terapi empiris yang paling tepat
Menurut PDPI, suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Peradangan paru yang disebabkan
oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis.

EPIDEMIOLOGI
Insidensi sepsis berat di Amerika Serikat mencapai 300 kasus per 100.000
populasi. Empat dari 10 pasien dengan sepsis berat akan mengalami kematian
selama perawatannya di rumah sakit. Syok sepsis berhubungan dengan angka
mortalitas yang tinggi, mencapai 50%. Menurut studi epidemiologi oleh Mayr, et
al. (2014), etiologi fokus infeksi tertinggi yang dapat memicu sepsis berasal dari
infeksi traktus respiratorius, frekuensinya sebesar 41,8% pada laki-laki dan 35,8%
pada perempuan. Infeksi traktus respiratorius, terutama pneumonia, merupakan
penyebab sepsis berat yang menyumbang angka mortalitas tertinggi, sebesar 22%.
(Mayr,et al.,2014).
Pneumonia merupakan keradangan parenkim paru. Pneumonia merupakan
penyakit menular yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang utama di

8
Indonesia. Insidensi dan prevalensi pneumonia di Indonesia sesuai Riset
Kesehatan Dasar 2013 adalah 1,8% dan 4,5%. dengan period prevalence penyakit
ini meningkat, dari 2,1% pada 2007 menjadi 2,7% pada 2013 (Riset Kesehatan
Dasar, 2013).

ETIOLOGI
Sepsis berat muncul pada pneumonia komunitas (community-acquired
pneumonia) dan pneumonia berhubungan dengan perawatan di rumah sakit
(health care-associated pneumonia). Pneumonia merupakan penyebab sepsis
terbanyak dimana hampir setengah dari seluruh kasus disertai dengan infeksi
intraabdominal dan traktus urinarius. Pada kultur darah hanya 1 dari 3 kasus
diketahui positif ditemukan bakteri dan sisanya diketahui memiliki kultur
bakteri negatif. Sepsis disebabkan berbagai mikroorganisme seperti jamur,
bakteri, protozoa atau parasit, tetapi infeksi banyak terjadi diakibatkan oleh
21
infeksi bakteri gram negatif . Pada pasien lanjut usia dari 40-50% kasus
bakteremia 40-60% bakteri gram negatif ikut berperan terhadap terjadinya
sepsis. Bakteri gram positif lebih jarang menyebabkan sepsis jika dibanding
dengan gram negatif. Angka kejadian berkisar 20-40%.
Bakteri gram negatif yang paling sering ditemukan pada sepsis
diantaranya adalah Escherria coli pada pielonefritis dan infeksi abdominal,
Klebsiella pneumonia menyebabkan infeksi saluran kemih dan infeksi saluran
pernafasan akut, Enterobacter, Haemophilus influenza dapat menyebabkan
sepsis pada neonatus, Pseudomonas aureginosa pada infeksi nosokomial pasien

penyakit berat, neutropenia dan luka bakar21. Bakteri gram positif yang dapat
menyebabkan sepsis adalah Staphylococcus aureus, Enterococcua,
Streptococcuss viridan, Streptococcus pneumonia, Corynebacteri dan Listeria
monositogenesis.

9
PATOGENESIS
Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang timbul pada
saat respons awal pejamu yang sesuai terhadap infeksi menjadi teramplifikasi
dan kemudian mengalami disregulasi. Penentuan komponen struktural bakteria
yang bertanggung jawab menginisiasi proses sepsis menjadi penting, tidak
hanya untuk memahami mekanisme mendasar, namun juga untuk
mengidentifikasi target terapi potensial. Pola-pola bakterial ini, yang dikenali
oleh sistem imun tubuh, telah dikenal sebagai pathogen associated molecular
patterns (PAMPs), meskipun mungkin lebih akurat untuk disebut sebagai
microorganism associated molecular patterns oleh karena belum jelas
bagaimana pejamu membedakan antara sinyal patogen dengan komensal.
Pada bakteria gram negatif, lipopolisakarida (LPS, juga disebut sebagai
endotoksin) memainkan peranan penting. LPS tertanam pada membran luar, dan

10
bagian molekul yang disebut sebagai lipid A terkait pada dinding sel bakterial.
Pada bakteri gram positif tidak terdapat endotoksin, namun fitur penting pada
bakteri golongan ini adalah kemampuannya untuk memproduksi eksotoksin
poten. Eksotoksin gram positif menarik perhatian besar, oleh karena mereka
memperlihatkan sifat-sifat sebagai superantigen, yang dapat berikatan secara
aktif terhadap kompleks histokompatibilitas mayor kelas II dan juga domain-
domain Vb reseptor limfosit T. Sifat-sifat ini membuat mereka dapat
menyebabkan aktivasi sel T secara masif dan melepaskan limfokin-limfokin pro-
inflamasi. Sindrom paling dikenal adalah sindrom renjatan toksik yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus penghasil toksin sindrom renjatan
toksik 1 (TSST-1; toxic shock syndrom toxin-1) dan eksotoksin pirogenik dari
Streptococcus pyogenes. Peptidoglikan dan asam lipoteikoat dari dinding sel
gram positif dapat berikatan kepada reseptor permukaan sel dan bersifat pro-
inflamatorik, meskipun demikian mereka lebih kurang aktif dibandingkan
dengan LPS. Hubungan mereka dengan patogenesis sepsis klinis masih
belum pasti.

Pengenalan pejamu terhadap komponen mikrobial


Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sebuah reseptor LPS selama ini
menjadi penghalang untuk memahami bagaimana bakteria gram negatif dapat
menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu tergantung pada adanya
protein pengikat LPS (LPB, LPS binding protein) dan reseptor opsonik
CD14. Meskipun CD14 awalnya diidentifikasi sebagai ko-reseptor esensial
yang memerantarai aktivasi monosit oleh LPS, perkembangan terbaru
menunjukkan bahwa sel
ini juga berperanan dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram
positif, seperti peptidoglikan, memerantarai apoptosis makrofag dan penting
dalam transfer LPS antara protein-protein serum yang mempunyai kemampuan
mengikat LPS seperti LBP dan lipoprotein serum.
Meskipun penemuan CD14 mewakili suatu langkah ke depan signifikan
dalam memahami respons pejamu terhadap LPS, fakta bahwa mCD14 tidak

11
mempunyai ekor intraselular berarti bahwa masih belum jelas bagaimana ligasi
kompleks LPS-LBP dapat menyebabkan aktivasi selular. Ketidakpastian ini
dipecahkan dengan penemuan sekelompok reseptor serupa-Toll (Toll-like
Receptors, TLR). TLR mempunyai domain intraselular yang homolog terhadap
reseptor IL-1 dan IL-18. Protein adapter memfasilitasi pengikatan terhadap
kinase terkait reseptor, yang kemudian menginduksi faktor 6 terkait reseptor
TNF, menyebabkan translokasi nuklear dari faktor nuklear κB dan akhirnya
menyebabkan aktivasi promotor gen sitokin. Saat ini telah diidentidikasi 10
TLR yang mempunyai spesifisitas ligan luas, termasuk protein bakterial, fungal
dan khamir, dengan TLR 4 merupakan resptor LPS, TLR2 terutama untuk
mengenali struktur dinding sel gram positif, TLR5 merupakan reseptor flagelin
dan TLR9 mengenali elemen CpG pada DNA bakteri.

Gambar 1. Lipopolisakarida, komponen dinding sel bakteri gram negatif dikenali


oleh TLR4 dan CD14 pada permukaan sel imun. Hal ini akan mengaktvasi kaskade
intraselular, yang menghasilkan aktivasi gen-gen dependen NFκB.

12
Amplifikasi Sinyal
Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi
respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons pertahanan, baik
komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear melepaskan sitokin-
sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun juga beberapa
sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekul-
molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik
yang memerantarai banyak fitur imunopatologis dari renjatan karena LPS.
Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS,
mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator
lipid dan spesies oksigen reaktif serta juga meningkatkan produksi
molekul-molekul adhesi sel, yang kemudian menginisiasi migrasi sel
inflamatorik ke dalam jaringan.
Salah satu konsep paling menarik mengenai pengenalan pejamu dan
amplifikasi sinyal setelah rangsangan dengan mikroba adalah toleransi. Paparan
makrofag terhadap LPS atau stimulus proinflamatorik lainnya, seperti sitokin
TNF-α, dapat menginduksi keadaan toleransi yang akan menyebabkan
penurunan aktivasi setelah paparan dengan LPS atau mediator inflamasi
berikutnya. Diantara mekanisme-mekanisme yang ada, penurunan ekspresi TLR
telah diduga sebagai penyebabnya. Bruniati et al telah mendemonstrasikan
secara elegan bahwa ekspresi TLR 2 dan 4 di dalam monosit pasien septik
tetap terjaga, meskipun mereka menemukan produksi sitokin-sitokin yang
lebih rendah setelah stimulus inflamatorik. Temuan-temuan ini menunjukkan
bahwa regulasi menurun yang ditemukan pada pasien dengan sepsis berat dan
syok sepsis nampaknya terkait dengan jalur intraselular dan bukan oleh karena
ekspresi TLR. Bukti-bukti tak langsung dari beberapa peneliti telah
mendemonstrasikan hal ini, dengan menggunakan LPS terbiotinilasi dan flow
cytometry untuk mempelajari interaksi LPS-monosit dan aktivasi selular
terinduksi LPS pada darah pasien sepsis. Lebih jauh lagi, kelompok yang
sama telah mendemonstrasikan bahwa netrofil dari pasien sepsis

13
mempertahankan kapasitasnya untuk fagositosis dan menghasilkan pula
spesies oksigen reaktif. Apabila disatukan, temuan-temuan ini
menunjukkan bahwa toleransi merupakan suatu fenomena
terkait respons makrofag dan tidak terkait dengan
ekspresi TLR.

Migrasi Netrofil
Netrofil mempunyai peran ganda di dalam sepsis. Pada satu sisi,
sel-sel ini penting untuk kontrol lokal pertumbuhan bakteri dan oleh karenanya
juga untuk mencegah diseminasi bakterial. Pada sisi lain, netrofil memainkan
peranan penting dalam aktivasi endotel dan timbulnya kegagalan organ.
Kelompok Cunha telah menyarankan bahwa migrasi netrofil ke fokus infeksi
yang terganggu dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan peningkatan jumlah
bakteri pada eksudat peritoneal dan darah pada suatu model ligasi caecal dan
CLP pungsi pada tikus. Sebaliknya, pada sepsis subletal, migrasi netrofil tidak
tertekan dan infeksi bakterial terbatasi pada kavitas peritoneal, sehingga tidak
terdapat mortalitas signifikan. Mereka telah mendemonstrasikan bahwa jalur
oksida nitrat dan sinyal TLR terlibat dalam proses ini.

Kaskade Koagulasi
Sitokin juga penting dalam menginduksi efek prokoagulan pada sepsis.
Gangguan koagulasi sering terjadi pada sepsis, dan 30-50% pasien mempunyai
bentuk klinis yang lebih berat yakni koagulasi intravaskular diseminata. Jalur
koagulasi awalnya diinisiasi oleh LPS dan komponen- komponen mikrobial
lainnya, menginduksi faktor jaringan dalam sel-sel mononuklear dan endotelial.
Faktor jaringan mengaktivasi beberapa kaskade proteolitik serial yang
menyebabkan konversi protrombin menjadi trombin yang kemudian
menghasilkan fibrin dari fibrinogen (gambar 3). Secara bersamaan, mekanisme
regulasi fibrinolitik (pemecahan fibrin oleh plasmin) terganggu oleh karena
kadar plasminogen-activator inhibitor type-1 (PAI-1) yang tinggi sehingga
mencegah pembentukan plasmin dari plasminogen. Hasil akhirnya adalah

14
peningkatan produksi dan penurunan pembuangan fibrin, sehingga menyebabkan
sumbatan-sumbatan fibrin pada pembuluh darah kecil, mengganggu perfusi
jaringan dan fungsi organ. Sitokin-sitokin proinflamasi, secara khusus IL-1 dan
IL-6 merupakan penginduksi kuat koagulasi, sebaliknya IL-10 mengatur
koagulasi dengan menghambat ekspresi faktor jaringan dalam monosit.
Penyebab tambahan keadaan prokoagulan pada sepsis adalah penekanan
protein-protein antikoagulan alamiah, yakni protein C, antitrombin dan
inhibitor jalur faktor jaringan. Antikoagulan-antikoagulan alamiah ini penting
oleh karena mereka memiliki sifat anti-inflamasi sebagai tambahan dari efek
mereka terhadap produksi trombin. Efek-efek ini termasuk pelepasan TNF-α
monosit dengan menghambat aktivasi faktor-faktor transkripsi NFκB dan
protein aktivator (AP-1). Perhatian khusus diberikan terhadap protein C, yang
dikonversi kedalam bentuk aktif pada saat trombin berikatan dengan
trombomodulin, suatu glikoprotein transmembran. Setelah aPC terbentuk,
terjadi disosiasi dari reseptor protein C endotelial (EPCR) sebelum berikatan
dengan protein S, menghasilkan inaktivasi faktor-faktor Va dan VIIIa dan
kemudian menghambat kaskade koagulasi. Pada pasien sepsis, kadar aPC
menurun dan ekspresi trombomodulin dan EPCR endotelial terganggu,
sehingga memberikan dukungan terhadap pendapat bahwa penggantian aPC
dapat memberikan nilai terapetik.

15
Gambar 2. Model untuk disregulasi rekrutmen netrofil terhadap infeksi bakterial dalam
jarungan non-pulmonar pada keadaan normal (kiri) dan pada sepsis (kanan). Faktor-
faktor stmulasi koloni (granulocyte colony stmulating factor G-CSF dan granulocyte
macrophage colony stmulating factor GM-CSF) menginduksi pelepasan netrofil dari
sumsum tulang. Pada keadaan normal, sejumlah besar netrofil darah tepi memasuki
daerah infeksi bakterial dengan pertama menempel pada sel endotel dan kemudian
bermigrasi seiring dengan gradien faktor-faktor kemotaktik. Faktor-faktor kemotaktik
ini dihasilkan pada lokasi patogen. Netrofil menggunakan TLR 2 atau 4 untuk
berinteraksi dengan pola molekular terkait patogen pada bakteria untuk memfagosit
dan mengeliminasi patogen. Sebaliknya, netrofil pada pasien sepsis mempunyai
peningkatan ekspresi integrin permukaan, yang menyebabkan pengikatan kuat pada sel
endotel. Sebagai akibatnya, netrofil tetap terikat pada sel endotel dan gagal untuk
bermigrasi secara adekuat ke dalam lokasi infeksi bakterial.

Respon umpan balik inflamatorik

16
Respons pro-inflamasi nyata yang timbul pada sepsis diseimbangkan oleh
sekumpulan molekul regulator-umpan balik yang berusaha untuk
mengembalikan keseimbangan imunologikal. Sitokin-sitokin umpan balik
inflamatorik termasuk antagonis-antagonis seperti reseptor TNF solubel dan
antagonis reseptor IL-1, reseptor umpan seperti reseptor IL-1 tipe II, inaktivator
kaskade komplemen dan sitokin-sitokin anti-inflamasi di mana IL-10 merupakan
prototipe. Seiring dengan reaksi ini, respons pejamu terhadap trauma termasuk
perubahan nyata pada aktivitas metabolik (peningkatan produksi kortisol dan
pelepasan katekolamin), induksi protein fase akut dan aktivasi endotelial dengan
regulasi meningkat molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta
faktor aktivasi trombosit (PAF-platelet activating factors).

Gambar 3. Imbalans koagulasi pada saat sepsis. Imbalans antara aktvasi koagulasi dan
fibrinolisis serta penurunan mekanisme antkoagulan dapat dilihat pada gambar di atas.

Sisi lain dari regulasi menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis
adalah timbulnya apoptosis limfosit; beberapa analisis otopsi jaringan telah
menunjukkan adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4+. Proses ini dan akibat
fungsionalnya dipandang sebagai bagian dari keadaan imunosupresi yang lebih

17
luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi, yang timbul pada
sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai respons keseimbangan
(dan terkadang respons berlebihan) terhadap keadaan proinflamasi awal. Oleh
karena respons berlebihan ini beberapa peneliti memandang respons inflamasi
umpan balik sebagai penyebab perhatahan pejamu yang inadekuat terhadap
infeksi dan merupakan sebagai mediator potensial sepsis serta kegagalan
organ progresif. Beberapa peneliti telah berusaha membuktikan pendapat
bahwa pembalikan keadaan imunosupresif ini mungkin mempunyai peranan
terapeutik.

Gambar 4. Kendali koagulasi pada vaskulator normal dan inflamasi. Panel atas, fungsi
normal. Trauma vaskular, pada bagian bawah dinding pembuluh darah,
menginisiasi aktvasi protrombin (pro), kemudian menginduksi pembentukan
trombin (T). Aktivasi protrombin melibatkan pembentukan kompleks antara faktor
Va dan Xa. Trombin kemudian berikatan dengan trombomodulin (TM) pada sisi
luminal dinding sel endotelial, dan kompleks trombin-TM merubah protein C menjadi
aPC. APC kemudian berikatan dengan protein S (S) pada permukaan sel endotelial.
Kompleks yang terdiri atas protein S dan aPC kemudian merubah faktor Va menjadi

18
kompleks inaktf (Vi). Protein S dan aPC juga berinteraksi dengan EPCR. Panel bawah,
setelah inflamasi. Selama inflamasi mediator- mediator spesifik menyebabkan
hilangnya trombomodulin dari permukaan sel endotelial. Molekul-molekul adesi
leukosit sel endotelial berikatan dengan faktor VIIa. Kompleks TF-VIIa merubah
faktor X menjadi Xa, yang kemudian berikatan dengan faktor Va untuk
menghasilkan trombin dari protrombin. Hanya sedikit protein C yang terbentuk dan
kekurangan jumlah protein S juga menyebabkan ketdakefektifan protein C yang telah
terbentuk. Akibatnya Va tdak teraktivasi dan kompleks aktivasi protrombin
terstabilisasi.

Mekanisme kegagalan organ


Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ
multipel. Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ
terhadap perawatan intensif dan kemungkinan kesintasan serta antara jumlah
organ yang gagal dengan risiko kematian. Mekanisme ini melibatkan deposisi
fibrin luas yang menyebabkan oklusi mikrovaskular, timbulnya eksudat jaringan
yang kemudian menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan hemostasis
mikrovaskular yang timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin
dan prostanoid. Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara
langsung dengan melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas turunan
superoksida. TNF-α dan sitokin- sitokin lainnya meningkatkan ekspresi sintase
oksida nitrat terinduksi dan peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut
akan menyebabkan instabilitas vaskular dan juga berkontribusi terhadap
depresi miokardial yang timbul pada sepsis.
Hipoksia jaringan yang timbul pada sepsis digambarkan dengan hutang oksigen,
misalnya perbedaan antara hantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen.
Beratnya hutang oksigen terkait dengan hasil akhir sepsis, dan strategi yang
dirancang untuk mengoptimalkan hantaran oksigen ke jaringan dapat
memperbaiki kesintasan. Sebagai tambahan terhadap hipoksia, sel dapat
menjadi disoksik semisal tidak mampu untuk mengutilisasi oksigen yang
tersedia. Data- data terbaru menunjukan bahwa hal ini mungkin merupakan
akibat dari kelebihan produksi oksida nitrat, oleh karena biopsi otot skeletal

19
dari pasien sepsis menunjukkan bukti-bukti adanya gangguan respirasi
mitokondrial, yang dihambat oleh oksida nitrat.

Komunikasi silang antara sitokin dan neurohormon merupakan pangkal


pemulihan homeostasis selama stres. Produksi dan pelepasan vasopresin serta
hormon pelepas kortikotropin ditingkatkan oleh TNF dan interleukin-1, 6 dan 2
yang beredar, dengan ekspresi lokal interleukin-1 dan NO serta oleh serabut-
serabut vagal aferen. Terlebih lagi, sintesis kortisol dimodulasi oleh ekspresi
lokal interleukin-6 dan TNFα. Hormon-hormon yang diregulasi meningkat
membantu untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskular dan
metabolisme selular serta melokalisasi fokus inflamasi.

Gangguan respons endokrin sampai sepsis dapat terjadi sebagai akibat dari
sitokin, apoptosis neuronal, gangguan metabolik dan juga iskemik pada
kelenjar-kelenjar hipotalamik-hipofisis dan adrenal serta oleh pemberian
obat-obatan. Gangguang fungsi kelenjar adrenal dan produksi vasopresin
timbul pada setengah dan sepertiga kasus syok sepsis, dan berkontribusi pada
hipotensi dan kematian. Gangguan endokrin lainnya pada saat sepsis tidak
mempunyai mekanisme dan akibat yang jelas.
Imunomodulasi merupakan suatu jaringan interaksi yang kompleks dan
saling tumpang tindih antara zat-zat yang bekerja sama untuk
mengendalikan serangan berat terhadap tubuh. Namun, jaringan ini juga
dapat menyebabkan gangguan terhadap tubuh dan menimbulkan keadaan
yang disebut sebagai SIRS dan MODS. Saat ini terdapat suatu hipotesis yang
diajukan untuk menjelaskan keadaan paradoksikal ini yang diamati pada pasien-
pasien sakit kritis. Lima stadium (gambar 5) yang terdapat pada perkembangan
disfungsi organ multipel adalah sebagai berikut:
1. Reaksi lokal pada lokasi trauma atau infeksi
2. Respons sistemik awal
3. Inflamasi sistemik masif
4. Imunosupresi berlebihan

20
5. Disonansi imunologik

Gambar 5. Konsep untuk sekuel klinis sepsis, SIRS, CARS dan MARS.

21
Kegagalan fungsi hati pada sepsis
Hati diduga mempengaruhi mekanisme metabolik dan pertahanan pejamu
selama sepsis. Organ ini secara aktif mengatur proses-proses inflamatorik
dengan menyaring, menginaktivasi dan membersihkan bakteri, produk-produk
bakteri (misal endotoksin), zat-zat vasoaktif dan mediator-mediator inflamasi.
Sebagai tambahan, hati yang testimulasi sendiri memproduksi dan
melepaskan berbagai macam sitokin, lipid bioaktif dan protein-protein fase akut
dalam jumlah besar. Disfungsi hepatik awal timbul pada beberapa jam pertama
sepsis dan terkait dengan hipoperfusi hepatosplanknik. Gangguan ini dapat
menyebabkan peningkatan akut penanda-penanda biologis kerusakan hati
(transaminase, dehidrogenase laktat, bilirubin). Meskipun demikian, biasanya
dapat dipulihkan secara cepat dengan terapi suportif adekuat. Sebaliknya,
disfungsi hati lanjut merupakan proses yang berjalan secara lebih perlahan dan
berat. Proses ini dikarakteristikkan dengan kerusakan struktural dan fungsional

22
serta dapat bertanggungjawab terhadap meluapnya bakteri, endotoksin dan
molekul-molekul inflamatorik yang dapat memicu atau mempertahankan
terjadinya kerusakan organ multipel.

Disfungsi hepatik awal dan lanjut terkait dengan perubahan global dan
mikrosirkulasi perfusi hati. Sepsis dapat menyebabkan perubahan besar pada
peredaran darah mikrosirkulasi pada semua organ splanknik yang tidak dapat
diprediksikan dari perubahan aliran darah regional atau sistemik.
Redistribusi peredaran darah intrahepatik mengalirkan darah menjauhi
pembuluh darah yang terkontraksi menuju ke pembuluh darah yang terdilatasi,
menyebabkan terjadinya penurunan daerah total sinusoidal yang terperfusi. Sel
endotel sinusoidal (SES) dan sel Kupffer (SK) membentuk garis kontak utama
untuk bakteri, produk bakterial dan debris mikrobial yang dihantarkan oleh
darah portal dan arteri hepatika. Respons mikrovaskular hepar terhadap zat-zat
ini berkorelasi dengan keadaan aktivasi, jumlah dan distribusi SK di dalam
lobulus hepar. Setelah terstimulasi, SK melepaskan berbagai macam mediator-
mediator inflamatorik, toksik dan vasoaktif yang semuanya dapat menyebabkan
kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sel endotel sinusoidal memproduksi zat-zat vasoaktif, seperti


prostasiklin dan oksida nitrat, yang memodulasi tonus vaskular baik pada
makro dan mikrosirkulasi hepar. Pada sisi lain, SES mengalami perubahan
struktural dan fungsional signifikan. Pembengkakan, distensi dan
gangguan SES menyebabkan kebocoran albumin, plasma dan sel inflamatorik
ke dalam interstitium, menyebabkan kerusakan jaringan secara langsung. Sel
endotel sinusoidal mengalami kehilangan sifat antikoagulan dan
mengekspresikan molekul-molekul adhesi permukaan sehingga menarik
sejumlah besar trombosit dan leukosit. Pada akhirnya, sinusodi menjadi
tersumbat dengan bekuan fibrin dan kelompok-kelompok sel darah merah
(gambar 6). Hasilnya penurunan aliran darah ini akan memperberat keadaan
hipoperfusi sinusoidal. Pada keadaan inflamasi tidak terkendali dan koagulopati

23
terus menerus, proses di atas akan menyebabkan iskemia dan disfungsi
mikrovaskular yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan
kegagalan hepatoselular.

Gambar 6. Sinusoid hepatik setelah 3 jam syok endotoksin pada hewan coba anjing
dengan resusitasi cairan. Sinusoid (S) mengalami dilatasi dan dipenuhi oleh eritrosit
dan leukosit. Banyak sel Kupfer (KC) edematous, yang dipenuhi oleh material
terfagositosis. Lapisan sel endotelial nampak terganggu atau terputus dari area Disse
(panah). Ekstravasasi eritrosit dan granulosit PMN ke dalam daerah Disse terjadi
ditengah sel-sel parenkimal yang terdistorsi (h).

Disfungsi miokardial pada sepsis


Dengan menggunakan pemeriksaan sineangiograf radionuklida, Calvin et al
mendemonstrasikan disfungsi miokardial pada pasien sepsis yang telah
diresusitasi cairan secara adekuat dengan adanya penurunan fraksi ejeksi dan
peningkatan indeks volume akhir diastolik. Dengan menambahkan keteter arteri
pulmonar terhadap sineangiografi radionuklida, Parker et al memperluas
temuan di atas dengan dua temuan utama yang menunjukkan bahwa (1) pasien
yang hidup setelah sepsis syok dikarakteristikkan dengan peningkatan indeks
volume akhir diastolik dan penurunan fraksi ejeksi, sedangkan pasien yang
meninggal biasanya mempertahankan volume jantung normal, serta (2)
perubahan akut pada indeks akhir diastolik dan fraksi ejeksi, walaupun
dipertahankan selama beberapa hari, dapat dipulihkan.

24
Baru-baru ini, penelitian dengan menggunakan ekokardiografi telah
mendemonstrasikan adanya gangguan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri
pada pasien sepsis. Penelitian- penelitian pada manusia, sesuai dengan
penelitian eksperimental mulai dari level selular sampai ke penelitian
menggunakan jantung terisolasi dan juga pada model hewan in vivo, telah
memperlihatkan secara jelas adanya penurunan kontraktilitas dan gangguan
komplians miokardial sebagai faktor utama yang menyebabkan disfungsi
miokardium pada sepsis. Tanpa melihat perbedaan struktural dan fungsional
antara ventrikel kiri dan kanan, perubahan fungsional yang sama dengan
didiskusikan di atas juga dapat ditemukan pada ventrikel kanan, yang
menimbulkan dugaan bahwa disfungsi ventrikel kanan pada sepsis mirip
dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun demikian, kontribusi relatif ventrikel
kanan terhadap kardiomiopati sepsis belum diketahui. Beberapa mekanisme
penyebab disfungsi miokardial pada sepsis dapat Diamati pada gambar 7.

Gambar 7. Sinopsis mekanisme mendasar pada disfungsi miokardial pada


sepsis. MDS mengindikasikan MyocardialDepressant Substances.
Kerusakan paru pada sepsis
Kerusakan endoteldan epitelial
Dua pembatas terpisah membentuk pembatas alveolar-kapiler, endotel
mikrovaskular dan epitel alveolar (gambar 8). Fase akut dari kerusakan paru
akut (acute lung injury – ALI) dan sindrom distres pernapasan akut (acute
respiratory distress syndrome – ARDS) dikarakteristikkan dengan aliran
masuk cairan edema kaya protein ke dalam ruang udara sebagai akibat dari
peningkatan permeabilitas pembatas alveolar-kapiler. Kepentingan kerusakan
endotel dan peningkatan permeabilitas vaskular terhadap pembentukan edema
paru pada kelainan ini telah dijelaskan secara mapan. Kepentingan kritis
kerusakan epitelial baik kepada terbentuknya maupun pemulihan dari kelainan di
atas kini telah lebih dikenali. Derajat kerusakan epitel alveolar merupakan
prediktor penting dari hasil akhir.
Epitelium alveolar normal terdiri atas dua tipe sel (gambar 8). Sel tipe I
meliputi 90 persen area permukaan alveolar dan mudah cedera. Sel kuboidal tipe
II meliputi 10 persen sisanya dan lebih tahan terhadap cedera; fungsi mereka
termasuk menghasilkan surfaktan, transpor ion dan proliferasi serta
diferensiasi menjadi sel tipe I setelah kerusakan terjadi. Kehilangan integritas
epiteal pada ALI dan ARDS mempunyai beberapa akibat. Pertama, pada keadaan
normal, pembatas epitelial lebih kurang permeabel dibandingkan dengan
pembatas endotel. Oleh karenanya, kerusakan epitel dapat berkontribusi terhadap
kebanjiran alveolar. Kedua, kehilangan integritas epitel dan kerusakan sel tipe II
mengganggu transpor cairan epitel normal, mengganggu pengeluaran cairan
edema dari ruang alveolar. Ketiga, kerusakan sel tipe II menurunkan produksi
dan perputaran surfaktan. Keempat, kehilangan pembatas epitel dapat
menyebabkan syok sepsis pada pasien dengan pneumonia bakterial. Pada
akhirnya bila kerusakan terhadap epitel alveolar berat, perbaikan epitel yang
tidak teratur ataupun tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya fibrosis.
Penelitian klinis dan eksperimental telah memberikan bukti
adanya kerusakan yang diperantarai neutrofil pada ALI dan ARDS. Penelitian
histologik dari spesimen paru yang diperoleh pada awal kelainan menunjukkan
akumulasi nyata netrofil. Netrofil mendominasi komponen selular cairan
edema pulmonar dan lavase bronkoalveolar yang diperoleh pada pasien serta
banyak model hewan ALI sangat tergantung netrofil. Beberapa mekanisme
sekuestrasi dan aktibasi netrofil dan kerusakan paru terkait netrofil dapat dilihat
pada gambar 8.
Gambar 8. Alveolus normal (sisi kiri) dan alveolus cedera pada fase akut ALI dan ARDS
(sisi kanan). Pada fase akut sindrom (sisi kanan) terdapat peluruhan sel epitel bronkial
dan alveolar, dengan disertai pembentukan mebran hialin kaya protein pada mebran
basalis terdenudasi. Netrofil ditunjukkan menempel pada endotel kapiler yang cedera
dan bergerak melalui intestisium ke rongga udara, yang dipenuhi oleh cairan edema
kaya protein. Pada rongga udara, makrofag alveolar mengeluarkan sitokin, interleukin-
1,6, 8 dan 10 (IL-1,6,8,10) dan faktor nekrosis tumor alfa (TNFα), yang bekerja lokal
untuk merangsang kemotaksis dan mengaktivasi netrofil. Makrofag juga mensekresi
sitokin lainnya, termasuk interleukin 1,6 dan 10. Interleukin-1 juga dapat menstimulasi
produksi matriks ekstraselular melalui fibroblast. Netrofil dapat melepaskan oksidan,
protease, leukotriens dan molekul proinflamatorik lainnya, seperti faktor aktivasi
trombosit (PAF). Beberapa mediator anti-inflamatorik juga tedapat pada milieu
alveolar, termasuk antagonis reseptor interleukin-1, reseptor faktor nekrosis tumor
solubel, autoantibodi terhadap interleukin-8 dan sitokin-sitokin seperti interleukin-10
dan 11. Masuknya cairan edema kaya protein ke dalam alveolus telah menyebabkan
terjadinya inaktivasi surfaktan. MIF menunjukkan macrophage inhibitory factor.

Koagulopati intravaskular diseminata pada sepsis


Cukup banyak studi telah menunjukkan adanya aktivasi koagulasi pada
sepsis. Bukti-bukti menunjuk kepada jalur faktor jaringan (tissue factor –
TF) – faktor VII sebagai rute utama aktivasi di dalam sepsis. Penelitian-
penelitian selama dekade-dekade lalu pada hewan coba telah meningkatkan
harapan akan adanya inhibitor koagulasi yang menghambat antara pembentukan
atau aktivitas trombin, serta pada saat yang sama, dapat membantu
menghambat inflamasi yang dapat dipakai sebagai terapi sepsis efisien
pada manusia. Meskipun demikian, hasil studi-studi multicenter yang
mengevaluasi efek dari tiga dari golongan penghambat ini telah
mengecewakan: kecuali untuk penelitian terhadap protein C teraktivasi
(activated protein C – APC) yakni PROWESS, yang menunjukkan penurunan
risiko absolut sebesar 6% untuk mortalitas, sedangkan untuk TFPI (tissue
factor pathway inhibitor) dan AT (antithrombin) tidak terdapat keuntungan
terhadap mortalitas sepsis berat yang dapat ditunjukkan.
Meskipun konsep patofisiologis AT, TFPI dan APC menjanjukan, hanya
yang terakhir yang telah terbukti bermanfaat untuk sepsis pada manusia. APC
juga direkomendasikan dalam “Surviving Sepsis Campaign guidelines for
management of severe sepsis and septic shock” (protokol Delphi). Untuk
mendapatkan keuntungan optimal dan menghindari komplikasi perdarahan,
rAPC harus diberikan hanya kepada pasien dengan skor APACHE II ≥25 dengan
disfungsi organ terinduksi sepsis dan dengan syok sepsis serta ARDS terinduksi
sepsis. Untuk menghindari efek perdarahan pada terapi rAPC, pemberiannya
harus dibatasi pada pasien dengan kadar trombosit ≥30.000 sel/μL dan tidak
mempunyai kondisi-kondisi peningkatan risiko perdarahan. Meskipun demikian,
posisi pasti APC dalam terapi sepsis harus diklarifikasi oleh studi-studi
mendatang.
Kerusakan ginjal akut pada sepsis
Kerusakan ginjal akut (acute kidney injury - AKI) pada sepsis diduga
memiliki patogenesis multifaktorial, yang dapat diringkas pada gambar 9.
Meskipun hipoperfusi global ataupun regional berkelanjutan, dengan iskemia
dan reperfusi yang mengikutinya diduga sebagai pemicu utama yang
menyebabkan terjadinya AKI, saat ini mulai dikenali pentingnya peranan
apoptosis pada AKI septik. Meskipun tidak tersedia baku emas untuk
menilai perfusi ginjal global dan regional pada situasi klinis, pemeriksaan
pencitraan terbaru seperti MRI menjanjikan untuk mengidentifikasi perubahan
fungsi serta lokasi terjadinya inflamasi dan apoptosis pada manusia, sedangkan
pemeriksaan seperti mikroskopi multifoton intravital memungkinkan peneliti
untuk lebih baik memahami mengenai hubungan temporal dan kausal antara
hipoperfusi, inflamasi dan apoptosis pada model AKI hewan coba.
Molitoris menggambarkan fase-fase gagal ginjal akut iskemik, membagi
mereka menjadi inisiasi, ekstensi, pemeliharaan dan penyembuhan, paradigma
ini dapat dikembangkan untuk saling tumpang tindih dengan proses pada AKI
septik. Sebagai contoh, Wu et al telah mengidentifikasi kerusakan tubular pada
model sepsis menggunakan tikus, namun disfungsi endotel dengan kehilangan
tonus vaskular, perfusi, permeabilitas, inflamasi dan adhesi akan menyebabkan
perluasan kerusakan sebagaimana diajukan oleh Molitoris. Sebagai tambahan,
penemuan- penemuan baru telah menunjukkan bahwa patogenesis AKI septik
lebih mengarah kepada peningkatan dan ketidakimbangan antara mediator pro
dan anti-inflamasi yang disertai dengan disfungsi endotel dan gangguan kaskade
koagulasi, yang secara sinergistik menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal
akut. Model-model hewan coba terbaru lebih menekankan kerusakan ginjal
terkait sepsis lebih disebabkan oleh ketidakimbangan faktor-faktor di atas,
31-33
dibandingkan dengan kerusakan hipoksik/iskemik sederhana.
DIAGNOSIS
KEADAAN UMUM
 Demam > 380 C
 Hipotermia < 360 C
 Heart rate > 90 x/m
 Takipneu
 Penurunan status mental
 Edema atau gangguan keseimbangan cairan (> 20 ml/kgBB lebih dari 24
jam)
TANDA-TANDA INFLAMASI
 Leukositosis ( > 12.000 µ/L)
 Leukopnia (< 4.000 µ/L)
 White Blood Cell normal, >10% immature form
 Peningkatan C-reactive protein
 Peningkatan plasma procalcitonin
GANGGUAN HEMODINAMIK
 Hipotensi ( TDS < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg atau
 TDS menurun > 40% pada dewasa)
DISFUNGSI ORGAN
 PaO2/FIO2 < 300
 Oliguria (< 0,5 cc/kgBB)
 Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl
 INR (International Normalized Ratio) 1,5 atau aPTT > 60 detik
 Bising usus menurun (ileus)
 Trombositopenia
 Hiperbilirubinemia (> 4 mg/dl)
 Capillary reffil menurun
 Kadar laktat meningkat (>1 mmol/L)

TATALAKSANA
Penatalaksanaan Awal meliputi :
• Penilaian dan manajemen jalan nafas dan pernafasan
• Saturasi oksigen lebih dari 93% harus dipertahankan untuk hantaran
oksigen yang adekuat pada jaringan
• Riwayat penyakit
• Pemeriksaan dan evaluasi harus dilakukan secara bersamaan dengan usaha
resusitasi
• Pemeriksaan darah rutin dan kultur harus dikirim dengan cepat dan tepat
• Antibiotik dosis awal harus diberikan secepatnya

Pemilihan antibiotik
• Penisilin sensitive Streptococcus Pneumoniae (PSSP):
o Golongan Penisilin
o TMT-SMZ
o Makrolid
• Penisilin resisten Streptococcus Pneumoniae (PRSP)
o Betalaktam oral dosis tinggi
o Cefotaxime, ceftriaxone dosis tinggi
o Makrolid baru dosis tinggi
o Fluorokuinolon respirasi
• Pseudomonas aeruginosa
o Aminoglikosida
o Ceftazidime, Cefoperazone, Cefepime
o Tiraksilin, Piperasilin
o Karbapenem: Meropenem, imipenem
o Ciprofloxacin, Levofloxacin
• Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
o Vankomisin
o Teikoplanin
o Linezolid
• Haemophilus influenza
o TMT-SMZ
o Azitromisin
o Cephalosporin generasi 2 atau 3
o Fluorokuinolon respirasi
• Legionella
o Makrolid
o Fluorokuinolon
o Rifampisin
• Mycoplasma pneumoniae
o Doksisiklin
o Makrolid
o Fluorokuinolon
• Chlamydia pneumoniae
o Doksisiklin
o Makrolid
o Fluorokuinolon

Surviving Sepsis Campaign Bundle

Inisiasi resusitasi dan infeksi


A. Inisiasi Resusitasi Target 6 jam pertama resusitasi:
(hipotensi persisten setelah initial
a. CVP 8-12 mmHg
fluid challenge / konsentrasi
b. MAP > 65 mmHg
laktat dlm darah > 4 mmol/L)
c. UP > 0,5 ml/kgBB/jam
d. SpCO2 atau saturasi oksigen vena
campuran 70% atau 65%

B. Screening Sepsis

C. Diagnosis Kultur darah

D. Terapi antimikrobial a. Beri antibiotik iv dalam waktu 1 jam


setelah mengenali tanda dan gejala sepsis
berat dan syok septik
b. Mulai terapi empiris dengan 1 atau lebih
antibiotik yg adekuat melakukan
penetrasi ke sumber infeksi
c. Gunakan dosis rendah procalcitonin atau
biomarker yang sejenis untuk memulai
terapi antibiotik pada pasien dengan
gejala sepsis, meskipun tidak ada bukti
infeksi
d. Gunakan kombinasi terapi empiris untuk
kasus sepsis berat
e. Terapi kombinasi empiris tidak boleh
diberikan lebih dari 3-5 hari. Terapi
tunggal harus segera diberikan
secepatnya setelah penyebab diketahui
f. Durasi terapi 7-10 hari; perpanjangan
terapi dapat disebabkan oleh pasien
dengan slow clinical response, fokus
infeksi yang tidak terjangkau, bakteremia
dgn S. aureus, infeksi fungal atau virus
atau imunodepresi
g. Terapi antiviral harus secepatnya
diberikan
h. Terapi antibiotik seharusnya tidak
diberikan pada pasien dengan status
inflamatori berat yang disebabkan bukan
oleh penyakit infeksi.

E. Kontrol Sumber 1. Membuat diagnosis anatomis yang


spesifik secepat mungkin
2. Iv akses harus sering diganti setelah iv
akses yang lain dapat ditemukan
F. Pencegahan infeksi 1.Dekontaminasi oral selektif dan
dekontaminasi digestif selektif dilakukan
untuk mengurangi ventilator-associated
pneumonia
2.Chlorhexidine gluconate oral sbg
dekontaminasi orofaring untuk mengurangi
risiko VAP pada pasien yang menggunakan
ventilator di ICU

Terapi Hemodinamik dan adjunctive


G. Terapi cairan 1. Pilihan utama: Kristaloid
pada sepsis berat 2. Albumin diberikan bila pasien membutuhkan kristaloid
dalam jumlah besar
3. Inisial fluid challenge: 30 ml/kg kristaloid
4. Fluid challenge diberikan saat pemberian cairan
memberikan peningkatan hemodinamik
H. Vasopressor 1. Vasopresor diinisiasi untuk mencapai MAP > 65 mmHg
2. Pilihan utama: Norepinefrin
3. Epinefrin digunakan sebagai agen tambahan utk mengatur
TD secara adekuat
4. Vasopressin 0,03 U/menit + NE  utk meningkatkan
MAP atau menurunkan dosis NE
5. Dosis rendah vasopresin tidak dianjurkan
6. Dopamin merupakan alternatif vasopresor agen
7. Phenylephrine tidak direkomendasikan
I. Terapi inotropik Trial dobutamine infus hingga 20 mcg/kg/min atau
tambahkan pada vasopresor

J. Kortiko 1. Jangan gunakan iv hidrokortisone pd septik syok jika


resusitasi cairan yg adekuat dan vasopresor dapat
steroid
mengembalikan hemodinamik. Bila tidak tercapai  iv
hidrokortisone 200 mg/hari
2. Jangan gunakan ACTH stimulating test pada pasien yg
menerima hidrokortisone
3. Bila mengobati pasien dengan hidrokortisone, turunkan
dosis vasopresor saat tidak digunakan lagi
4. Kortikosteroid tidak digunakan pada pasien tanpa gejala
syok
Terapi Suportif yang lain untuk sepsis berat
K. Pemberian Darah 1. Setelah hipoperfusi jaringan teratasi dan tidak ada
keadaan khusus (iskemik miokard, hipoksemia berat,
perdarahan akut)  transfusi PRC hanya bila Hb < 7
gr/dl (target Hb 7-9 gr/dl)
2. Tidak menggunakan eritropoietin sebagai terapi
spesifik pada anemia yang berhubungan sepsis berat
3. FFP tidak digunakan untuk koreksi kelainan faktor
pembekuan darah bila tidak ada perdarahan atau
rencana dilakukan tindakan invasif
4. Tidak menggunakan antitrombin
5. Pada pasien dengan sepsis berat, TC saat trombosit <
10.000 tanpa tanda perdarahan. TC saat trombosit <
20.000 dengan manifestasi perdarahan. Trombosit >
50.000 disarankan untuk kasus perdarahan aktif,
bedah, dan prosedur invasif
L. Immunoglobulins Imunoglobulin iv tidak digunakan

M. Selenium Selenium iv tidak digunakan

O. Ventilasi mekanik 1. Target volume tidal: 6 ml/kg


untuk sepsis-induced 2. Plateau pressure diukur pada pasien dengan ARDS
ARDS (goal: < 30 cmH2O)
3. PEEP digunakan untuk menghindari atelectotrauma
4. Strategi berdasarkan tinggi daripada rendahnya
PEEP digunakan untuk pasien dengan sepsis-
induced ARDS sedang atau berat
5. Recruitments manuver digunakan pada sepsis
dengan hipoksemia refraktori
6. Prone positioning digunakan pada sepsis induced
ARDS
7. Posisi: head to bed dielevasi 30-45 derajat untuk
mengurangi aspirasi dan berkembangnya VAP
8. Non invasive mask ventilation
9. Kriteria pelepasan ventilasi mekanik: a) peningkatan
kesadaran; b) hemodinamik stabil (tanpa
vasopresor); c) tidak berpotensial muncul kondisi
serius; d) tekanan ventilator dan akhir ekspirasi yang
rendah; e) Fio2 rendah yang dapat dipenuhi  ganti
masker wajah atau nasal kanul. Trial Pernapasan
spontan berhasil  ekstubasi
10. Hindari penggunaan rutin kateter arteri pulmonal
pada pasien sepsis-induced ARDS
11. Strategi konservatif terapi cairan pada pasien
sepsis-induced ARDS
12. Bila tidak ada indikasi spesifik seperti brokospasme,
hindari pemakaian B2-agonis
P. Sedasi, analgesik, 1. Sedasi berkelanjutan atau intermiten diminimalkan
dan neuromuskular pada pasien dgn ventilator mekanik dgn target dosis
blokade minimal titrasi
2. NMBAs dihindari pada pasien sepsis tanpa ARDS
karena risiko blok neuromuskular yang
berkepanjangan saat agen sudah dilepas. Jika NMBAs
memang dibutuhkan, bolus intermiten sesuai
kebutuhan atau infus berkelanjutan dengan train-of-
four monitoring dari kedalaman blokade.
3. NMBAs kerja singkat tidak lebih dari 48 jam untuk
pasien awitan sepsis-induced ARDS dan PaO2 / Fio2
<150 mm Hg
Q. Kontrolglukosa 1. Butuh insulin: pengukuran GDA 2x > 180. Glukosa
target < 180 (daripada glukosa < 110)
2. Pantau GDA 1-2 jam sampai target tercapai dan
kecepatan infus insulin stabil, lalu pantau tiap 4 jam
3. Kadar glukosa yang diperoleh dari darah kapiler
harus diinterpretasikan dengan hati2, krn mungkin
tidak sama dengan glukosa darah arteri atau plasma
R. Renal replacement 1. Terapi pengganti ginjal berkelanjutan dan
therapy hemodialisis intermitten pada pasien sepsis dengan
AKI
2. Gunakan terapi berkelanjutan untuk memfasilitasi
managemen keseimbangan cairan pada pasien sepsis
dengan hemodinamik tidak stabil
S. Terapi bikarbonat Na-Bic tidak digunakan dengan tujuan memperbaiki
hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor
pada pasien dengan hipoperfusi-induced asidosis
laktat dengan pH > 7,15

T. Profilaksis DVT 1. Pasien dengan sepsis berat menerima


farmakoprofilaksis harian untuk mencegah
tromboemboli vena  low molecule weight heparin
(LMWH). Jika klirens kreatinin <30 ml/min 
deltaparin atau LMWH yang dimetabolisme rendah di
ginjal
2. Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi
farmakologi dan alat kompresi pneumatik intermitten
bila tersedia
3. Pasien sepsis dengan KI heparin (trombositopenia,
koagulopati berat, perdarahan aktif, riwayat ICH)
tidak menerima farmakoprofilaksis, tapi menerima
terapi profilaksis mekanik (graduated compression
stocking/ intermitten compresion device). Risiko KI
berkurang  mulai farmakoprofilaksis
U. Profilaksis Stress 1. H2-blocker atau PPI yang mempunyai risiko
ulcers perdarahan
2. PPI lebih sering digunakan daripada H2RA
3. Pasien tanpa risiko tidak menerima profilaksis
V. Nutrisi 1. Berikan oral atau enteral daripada puasa total atau
persediaan glukosa iv hanya 48 jam setelah diagnosis
sepsis berat atau syok sepsis
2. Hindari pemberian full caloric feeding pada minggu
pertama namun berikan pada dosis yang rendah (500
kalori/hari), ditingkatkan bila bisa ditoleransi
3. Gunakan nutrisi glukosa atau enteral nutrisi daripada
TPN
4. Gunakan nutrisi tanpa imunomodulating spesifik

PROGNOSIS
Sepsis Survival Campaign menyarankan agar tujuan dari terapi serta prognosis
segera diinformasikan dan didiskusikan bersama keluarga. Tujuan dari terapi
disatukan dengan terapi dan rencana perawatan end-of-life, dengan perawatan
paliatif bila tersedia. Selain itu, tujuan perawatan ditujukan secepat mungkin,
tidak lebih dari 72 jam setelah pasien masuk ICU.

DAFTAR PUSTAKA
1. Department of Health An Roinn Slainte. National Clinical Guideline No.
6: Sepsis Management. 2014. Washington: National Clinical Effectiveness
Committee.
2. Mayr, F., Yende, S., Angus, D. Epidemiology of Severe Sepsis. Virulence
5:1, 4-11 January 1, 2014.
3. Remick DG. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol 2007;170:1435-44
4. Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Society of Critical Care Medicine
and the European Society of Intensive Care Medicine.
5. Wibisono, M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. 2010. Surabaya: Airlangga
Press.

Anda mungkin juga menyukai