Anda di halaman 1dari 3

MARIA; BUNDA PARA PENDIDIK

(Sebuah permenungan meneladan Bunda Maria bagi para insan pendidik katolik)
RD. Antonius Garbito Pamboaji

Bulan Mei adalah bulan yang istimewa bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan
Gereja Katolik pada khususnya. Pertama, sebagaimana kita ketahui bahwa tanggal
2 Mei – yang merupakan tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara – ditetapkan sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Siapa Ki Hajar Dewantara? Pepatah mengatakan
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Ki
Hajar Dewantara adalah tokoh yang yang sangat berjasa dalam dunia pendidikan di
Indonesia, dengan mewariskan filosofi yang terkenal yaitu “Ing ngarso sung tulodo,
Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani” yang artinya “Di depan memberi
teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”.
Kedua, bagi Gereja Katolik, bulan Mei dirayakan sebagai bulan Maria. Mengapa?
Pada tahun 1809, Paus Pius VII dipenjarakan oleh pasukan Napoleon. Di dalam
penjara, Paus memohon dukungan doa dari Bunda Maria agar dapat dibebaskan
dari penjara. Paus juga berjanji, apabila ia dibebaskan, ia akan mendedikasikan
perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Pada tanggal 24 Mei 1814, Paus Pius
VII dibebaskan dari penjara. Dan pada tahun berikutnya, ia mengumumkan hari
perayaan kepada Bunda Maria sebagai penolong umat Kristen. Pada 30 April 1965,
Paus Paulus VI, melalui ensiklik Mense Maio (In the Month of May; dalam bulan
Mei), menyatakan bahwa Bulan Mei dipersembahkan sebagai bulan peringatan
Bunda Allah, juga menegaskan bahwa penghormatan kepada Bunda Maria pada
bulan Mei merupakan kebiasaan yang amat bernilai.
Lalu, apa hubungannya antara Maria dengan pendidikan? Apakah Maria pernah
menjadi guru? Bukankah Maria hanya seorang ibu (rumah tangga)? Mungkin selama
ini kita telah mengetahui berbagai gelar bagi Maria, tetapi apakah kita mengetahui
gelar Maria sebagai Bunda para pendidik? Memang Maria bukanlah seorang guru.
Maria hanyalah seorang ibu rumahtangga. Sesungguhnya berbagai perbuatan dan
perkataan Maria dapat menjadi teladan dan inspirasi bagi kita, terlebih bagi mereka
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
Diawali dengan saat Maria mengunjungi Elisabeth, saudaranya (Bdk. Luk. 1:39-
45.56). Kunjungan dan salam dari Maria ini membuat janin dalam kandungan
Elisabeth melonjak. Seorang guru merupakan orangtua kedua bagi setiap anak saat
mereka berada di sekolah. Oleh sebab itu, guru tidak hanya mengajar tapi juga
memperhatikan tiap anak dengan baik dan penuh kasih. Apabila seorang guru
mendapati anak didiknya yang tidak bersikap seperti biasanya; murung atau
menyendiri, maka hendaknya sang guru menyapa dan menanyakan keadaan anak
tersebut. Apakah ia sedang sakit atau ada masalah lain yang sedang dihadapinya.
Pengalaman perjumpaan sekaligus menyapa inilah yang kiranya harus selalu dimiliki
oleh insan pendidik.

1
Kedua, Saat Kaisar Agustus mengeluarkan dekrit untuk melakukan sensus, yang
mewajibkan seluruh rakyat mendaftar di kota kelahiran mereka (Bdk. Luk. 2:1-7).
Lalu, Yusuf membawa Maria, yang sedang hamil sembilan bulan, untuk melakukan
perjalanan, kemungkinan besar dengan menunggang keledai. Saat itu, Betlehem
sangat padat dan Maria membutuhkan tempat untuk bersalin, namun satu-satunya
tempat yang tersedia hanyalah sebuah kandang. Bersalin di sebuah kandang
tentunya sangat sulit bagi Maria. Peristiwa ini hendak mengajarkan kita, khususnya
para guru, untuk tetap bertahan dan berjalan dalam situasi dan kondisi yang sulit.
Menjadi guru di sekolah yang besar dengan berbagai fasilitas yang memadai, tentu
tidak sulit. Namun, bagaimana dengan guru yang ditempatkan di daerah-daerah
pelosok yang terpencil? Para guru yang ditempatkan di daerah pelosok harus
berjuang untuk menjangkau sekolah, tempatnya mengajar. Tidak sedikit dari mereka
yang harus melalui perjalanan yang sulit dan berbahaya.
Ketiga, Maria bukanlah seorang ibu rumah tangga yang kaya raya dan hidup mapan.
Tidak lama setelah kelahiran Yesus, kehidupan Maria sekali lagi terguncang dengan
mengungsi ke Mesir. Seorang malaikat menyuruh Yusuf membawa keluarganya dan
lari ke Mesir. (Matius 2:13-15). Peristiwa ini hendak mengajarkan kita, khususnya
para guru, untuk siap ditugaskan dalam tenda-tenda pengungsian saat bencana
alam atau perang terjadi. Saat bencana alam atau perang terjadi, tentu banyak anak
yang tidak dapat bersekolah karena gedung sekolah mereka mengalami kerusakan.
Padahal mereka harus tetap mendapatkan pendidikan, maka dalam situasi seperti
inilah peran guru sangat dibutuhkan bagi mereka.
Keempat, sewaktu Maria dan Yusuf sedang berjalan pulang dari perayaan di
Yerusalem, mereka menyadari bahwa Yesus yang berusia 12 tahun tidak ada
bersama mereka (Bdk. Luk. 2:41-52). Dapatkah Anda membayangkan betapa
gundah atau tidak tenangnya Maria ketika ia kalang kabut mencari putranya selama
tiga hari? Akhirnya ia dan Yusuf menemukannya di bait Allah, Yesus mengatakan,
”Tidakkah kamu tahu bahwa aku harus berada di rumah Bapa-Ku?” – catatan Injil
mengatakan bahwa Maria ”ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.”
(Luk. 2:51). Tiap anak memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda. Tidak ada
anak yang memiliki kemampuan dan potensi yang sama, bahkan anak kembar
sekalipun. Guru harus dapat melihat potensi dan kemampuan dari masing-masing
anak didiknya. Bagi anak didik yang memiliki potensi dan kemampuan yang
terbatas, tentu guru harus sabar dalam memberi pengajaran. Tidak baik jika guru
membandingkan antara anak didik yang satu dengan yang lain, karena dapat
menyakiti hati mereka. Guru cukup menyimpan semua itu bagi dirinya. “Muridku
tidak bodoh, hanya saja dia belum bisa”, demikian seharusnya guru bersikap dalam
menghadapi anak didik dengan potensi dan kemampuan yang terbatas.
Kelima, Pada perkawinan di Kana (Yoh. 2:1-11), Maria mendatangi Yesus dan
memberitahu Dia bahwa tuan rumah kehabisan anggur. Memang tugas guru adalah
memberi ilmu yang akan berguna bagi anak didiknya. Namun, hendaknya guru tidak
hanya mengajar dan memberi ilmu bagi para muridnya. Guru juga harus mampu
mendorong para muridnya untuk berpikir kreatif dalam berbagai situasi yang sedang
2
dihadapinya. Ya, karena para murid harus menghadapi kehidupan nyata di luar
sekolah. Dengan mampu berpikir kreatif, diharapkan para murid tidak hanya unggul
di sekolah tapi juga berhasil mengatasi berbagai tantangan di luar sekolah.
Keenam, pada waktu Yesus wafat di salib, Dia berkata pada murid yang diasihi-Nya
“Inilah Ibumu” dan sejak saat itu Maria tinggal bersama murid-Nya. (Yoh 19:27) Tidak
hanya itu, Maria juga mendidik para murid-Nya. Seperti halnya Maria menerima dan
mendidik para murid-Nya, maka guru pun harus menerima dan mendidik para murid
yang telah dipercayakan padanya tanpa memandang status dari para muridnya itu.
Apakah muridnya berasal dari keluarga berada atau hanyalah keluarga yang kurang
mampu.
Akhirnya, Maria tidak hanya berkumpul dan mendidik para murid, namun mereka
semua bertekun dengan sehati dalam doa (Kis. 1:14). Para guru – di mana pun ia
mengajar, tidak hanya membekali para murid dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga
menanamkan nilai-nilai kekatolikan, sebagai bentuk kesaksian, selama ia
menjalankan panggilannya sebagai guru.
Apapun yang melatarbelakangi panggilan dan keputusan kita menjadi guru,
hendaknya kita menjalaninya dengan baik dan penuh kasih. Mungkin, menjadi guru
tidak mendatangkan banyak materi. Tapi sadarilah bahwa dengan menjadi guru
akan dapat membawa perubahan dan melahirkan banyak orang hebat. Guru ibarat
lilin yang menghabiskan dirinya untuk mencerahkan kehidupan banyak orang.
Selamat berdevosi kepada Bunda Maria, teladan bagi para guru dan Selamat Hari
Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai