Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Filsafat Pendidikan Materialisme dan Pragmatisme


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. Irwanto, S.Pd,T.,MT.,MM.,M.Pd.,MA

Disusun Oleh :

Ahmad Bahri NIM : 2283180024


Koko Yusuf Ardiansyah NIM : 2283180007

JURUSAN PENDIDIKAN VOKASIONAL TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SEPTEMBER 2019

1
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, terima kasih Saya ucapkan atas bantuan Tuhan yang telah
mempermudah dalam pembuatan tesis ini, hingga akhirnya terselesaikan tepat waktu.
Tanpa bantuan dari Tuhan, Saya bukanlah siapa-siapa. Selain itu, Saya juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, serta pasangan yang sudah
mendukung hingga titik terakhir ini.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Pendidikan
dengan judul “Filsafat Pendidikan Materialisme dan Pragmatisme”.
Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti
menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca
lain. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang
salah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Tuhan.

Demikian Saya ucapkan terima kasih atas waktu Anda telah membaca hasil
karya ilmiah Saya.

Serang, 9 September 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Filsafat Pendidikan Materialisme 3
B. Pandangan Aliran Materialisme Terhadap Suatu Pendidikan 5
C. Permasalah yang Terjadi Jika Menerapkan Aliran Filsafat Materialime 6
D. Pengaruh Aliran Materialisme Terhadap Pendidikan Saat Ini 8
E. Pandangan Masyarakat Modern Tentang Filsafat Materialisme 8
F. Pandangan Aliran Pragmatisme Terhadap Suatu Pendidikan 10
G. Aliran Pragmatisme Dalam Hakikat Realitas 11
H. Aliran Pragmatisme Dalam Hakikat Pengetahuan 12
I. Nilai-Nilai Pragmatisme 14
J. Pragmatisme Dalam Pendidikan 15
BAB III PENUTUP 16
A. Kesimpulan 16
B. Penutup 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bilamana dikatakan bahwa manusia mempunyai roh, jiwa atau kesadaran
dan seorang materalis pun tidak segan mengatakan demikian, maka hal itu tidak
berarti bahwa mereka juga menerima suatu unsur non-materil dalam dunia atau
dalam diri manusia. Apa yang mereka sebut kesadaran, jiwa atau roh, pada
akhirnya tidak lain dari pada sejumlah fungsi serta kegiatan otak. Juga
kemungkinan kombinasi-kombinasi atom dan karena itu tidak pernah melampaui
potensi-potensi jasmani. Materialisme memang masih berbicara tentang refleksi
diri, keinsafan social dan etis, tentang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, tapi
serentak berusaha mereduksikan semuanya itu kepada kemungkinan-
kemungkinan dan daya-daya materi. Tapi, suatu penjelasan semata-mata
materialistis tentang fenomena-fenomena manusiawi tersebut tidak memuaskan.
Aliran pragmatisme hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang
dialami oleh manusia. Kelompok kami berpendapat bahwa inti dari realitas
adalah pengalaman yang dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab
bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga
berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan
kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan
tidak melihat faktor-faktor misal dosa atau tidak. Apa fokus pendidikan kita
sekarang. Secara umum, alam menjadi titik sentral pendidikan: alam menjadi
tujuan. Manusia menjadi "budak" dari alam; ilmu, teknologi dan dan hal-hal
yang bersifat pragmatis mengambil tempat paling penting. Pendidikan yang
berpusat pada manusia semakin tersingkir.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Pendidikan aliran Materialisme?

4
2. Apa kendala yang ditemukan jika kita menerapkan filsafat pendidikan aliran
materialisme?
3. Bagiamana pandangan pendidikan aliran pragmatisme?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah tentang Filsafat Pendidikan Materialisme
dan Pragmatisme adalah:
1. Untuk memahami lebih dalam filsafat pendidikan materialisme dan
pragmatisme.
2. Dapat mengaplikasikan teori aliran filsafat pendidikan materialisme dan
pragmatisme di dalam dunia pendidikan.
3. Dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang aliran materialism
dan pragmatism.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Filsafat Pendidikan Materialisme


Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai
satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain
materi. Sistem berfikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme
dialektika Karl Marx. Dalam kritik yang dilontarkan pada Hegel tentang manusia
sebagai esensi dari jiwa. Marx menyanggah bahwa manusia adalah makhluk
alamiah dalam obyek alamiah. Dasar pemikiran materialisme sejarah Marx
berasal dari karya Ludwig Feuerbach (1804-1872). Menurut Marx, Feuerbach
telah berhasil membangun materialisme sejati dan ilmu pengetahuan yang positif
dengan menggunakan hubungan sosial antarmanusia sebagai prinsip dasar
teorinya.
Michel Curtis dalam Watloly24 menjelaskan bahwa materialisme sejarah
Marx adalah materialisme dalam arti filosofis, bukan materialisme praktis yang
mengartikan materi sebagai kebenaran, dan tidak bermakna. Materialisme
sejarah Marx akan menunjukkan, bahwa di balik materi ada kesadaran yang
menggerakkan arah sejarah sehingga materialisme sejarah harus difahami
sebagai gerak materi yang menyejarah. Materi di sini dalam arti metode
pemikiran. Materi memiliki daya transformatif yang menyejarah. Marx
memandang bahwa hanya dalam kerja ekonomi itulah, manusia mengubah dunia.
Pandangan Marx yang menjadikan materi sebagai primer di atas, dikenal dengan
konsep materialisme historis. Materialisme historis berpendapat bahwa perilaku
manusia ditentukan oleh kedudukan materi, bukan pada ide karena ide adalah
bagian dari materi.
Marx memetakan materialisme ke dalam materialisme historis dan
materialisme dialektis. Materialisme historis merupakan pandangan ekonomi
terhadap sejarah. Kata historis ditempatkan Marx dengan maksud untuk

6
menjelaskan berbagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi
sepanjang zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud Marx adalah mengacu
pada pengertian benda sebagai kenyataan yang pokok. Marx tetap konsekuen
memakai kata historical materialisme untuk menunjukkan sikapnya yang
bertentangan dengan filsafat idealism. Filsafat materialisme beranggapan bahwa
kenyataan berada di luar persepsi manusia, demikian juga diakui adanya
kenyataan objektif sebagai penentu terakhir dari ide. Sedangkan filsafat idealism
menegaskan bahwa segenap kesadaran didasarkan pada ide-ide dan mengingkari
adanya realitas di belakang ideide manusia. (Irzum. 2015; 440-441) Materialisme
berpandangan bahwa realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau
berpandangan bahwa hakikat supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach. (Noorhayati. 2012; 191).
Materialisme mekanik menyatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan
menurut hukum yang mengatur materi dan gerak. Materialisme ini berpendapat
bahwa semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang lazim dari kejadian-
kejadian dan kondisi sebelumnya. Benda-benda organik atau bentuk-bentuk yang
lebih tinggi dalam alam hanya merupakan bentuk yang lebih kompleks dari pada
bentuk in-organik atau bentuk yang lebih rendah. Prinsip sains berlaku yakni
cukup menerangkan segala yang terjadi atau yang ada. Semua proses alam, baik
in-organik atau organik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika segala fakta
tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui.
Pada abad dua puluh terdapat banyak ahli fisiologi, biologi, dan psikologi
yang menggunakan penafsiran fisik dan mekanik dalam penjelasan-penjelasan
mereka tentang makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia. Segala gerak,
dari gerak bintang-bintang yang jauh sampai kepada pikiran manusia (pikiran
dianggap mereka sebagai gerak) dapat dijelaskan tanpa menggunakan prinsip-
prinsip non-fisik. Menurut materialisme mekanik, akal dan aktivitas-aktivitasnya
merupakan bentuk-bentuk behavior belaka. Bagi seorang pengikut aliran
materialisme mekanik, semua perubahan di dunia, baik perubahan yang

7
menyangkut atom atau perubahan yang menyangkut manusia, semuanya bersifat
kepastian semata-mata. Terdapat suatu rangkaian sebab-musabab yang sempurna
dan tertutup. Rangkaian sebab-musabab ini hanya dapat dijelaskan dengan
prinsip-prinsip sains semata-mata, dan tidak perlu memakai ide seperti ”maksud”
(purpose). Bahkan materialisme mekanik mengklaim bahwa hukum-hukum alam
dapat dituangkan dalam bentuk pasti matematika jika data-datanya telah
terkumpul. (Agus. 2016; 118)
Aliran materialisme merupakan aliran filsafat yang berisikan tentang
ajaran kebendaan. Aliran ini berfikir sangat sederhana, bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini dapat dilihat atau diobservasi, baik wujudnya, gerakannya
maupun peristiwa-peristiwanya. Menurut aliran ini, gerakan manusia adalah
bagian dari gerakan alam sehingga manusia tunduk dan terlibat dengan peristiwa
hukum alam, hukum sebab-akibat (kausalitas), hukum obyektif. Reaksi manusia
tersebut merupakan stimulus response. Thomas Hobbes sebagai salah satu tokoh
aliran ini, menyatakan bahwa akal merupakan hasil perkembangan yang
disebabkan adanya usaha manusia yang bukan pembawaan, melainkan ada oleh
karena berinteraksi dengan alamnya. (Sulaiman. 2019; 93)

B. Pandangan Aliran Materialisme Terhadap Suatu Pendidikan


Filsafat pendidikan materialisme memandang tujuan pendidikan lebih
pada upaya untuk perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan
kapasitasnya, membentuk tanggungjawab hidup sosial dan pribadi yang
kompleks. Dalam konteks itu, peran pendidik adalah merancang dan mengontrol
proses pendidikan. Dari kubu yang lain lagi, filsafat pendidikan pragmatisme,
memandang tujuan pendidikan sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan hidup
manusia, sarana untuk pertumbuhan hidup, dan cara yang ditempuh untuk
membimbing anak yang belum dewasa kepribadiannya berdasarkan struktur atau
nilai-nilai sosialnya.

8
Tentu masih banyak aliran-aliran filsafat pendidikan lainnya yang
memiliki konsep spesifik tentang pendidikan, yang tidak mungkin disinggung
secara serentak di sini, misalnya filsafat pendidikan eksistensialisme,
progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme. Tetapi cukup
beralasan bila kita meyakini bahwa aliran-aliran filsafat pendidikan pada
umumnya berupaya menelisik aspek tertentu dari kegiatan pendidikan dan
manusia adalah titik sentuh utamanya. (Bartolomeus. 2014; 287-289)

C. Permasalah yang Terjadi Jika Menerapkan Aliran Filsafat Materialime


Sistem kehidupan sekuler yang ada di tengah-tengah kita ikut andil
menjadi salah satu penyebab potensi manusia yang selalu cenderung dalam
kebaikan menjadi keburukan. Di sisi lain, sistem pendidikan materialisme yang
diterapkan di negeri ini tentunya ikut andil juga menyebabkan tingginya tingkat
kenakalan di kalangan kaum pelajar, karena sistem pendidikan materialisme
menyebabkan orientasi penyelenggaraan pendidikan hanya menghasilkan lulusan
yang kesuksesannya selalu diukur dari aspek materi. Sementara itu, dalam
konteks pelaksanaan pembelajaran di sekolah dipengaruhi juga oleh perencanaan
pembelajaran yang belum bisa maksimal sebagaimana tujuan diharapkan serta
belum hemat biaya, tenaga, dan waktu untuk mendapatkan hasil yang maksimal
sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri, yakni dalam membina manusia yang
mulia. Jika problematika ini tidak bisa diselesaikan, maka akan menjadi
problematika dalam pelaksanaan pembelajaran khususnya di lembaga formal.
Lembaga pendidikan adalah tempat yang akan melahirkan para calon pemimpin
bangsa di masa depan, apa jadinya jika para calon pemimpin bangsa ini sakit dari
segi akademik dan sakit dari segi moral. (Makhmud. 2018; 190).
Dalam pandangan masyarakat modern bahwa filsafat materialism banyak
menimbulkan dampak negatif sehingga munculnya persoalan besar dalam
kehidupan ruhani manusia. Persoalan besar yang muncul di tengahtengah umat
manusia sekarang ini adalah krisis keruhanian. Kemajuan ilmu pengetahuan dan

9
teknologi, dominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme, ternyata
membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi
mentalitas zaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu tema bagi
kehidupan modern. (Kurnia. 2018; 191).
Materialisme, yaitu bahwa hidup pun menjadi keinginan yang tak habis-
habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Aturan main utama
ialah survival of the fittest, atau dalam skala yang lebih besar: persaingan dalam
pasar bebas. Dengan demikian, pendidikan menghadapi tantangan serius seiring
dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pendidikan harus mampu mempersiapkan
peserta didik agar memiliki kemampuan yang kompetetif dengan bangsa-bangsa
lain. Tantangan pendidikan, termasuk pendidikan pesantren, lainnya adalah
bahwa struktur masyarakat tradisionalagraris akan bergeser menjadi masyarakat
modern-industri.
Ini ditandai dengan semakin cepatnya perubahan dan dinamika
masyarakat. Masyarakat modern lebih diferensiasi dan mobil (mudah bergerak
dan berpindah-pindah), karena semakin banyaknya tugas dan ditunjang oleh
kemajuan teknologi transportasi. Di banyak negara, perubahan sosial bergerak
cepat melampui pergantian generasi. Menghadapi perubahan yang begitu cepat
tersebut, pendidikan harus memberikan latihan dan pembiasan agar peserta didik
gemar membaca secara mandiri, selalu mencari dan menggali sumber informasi
untuk menjawab kebutuhan hidupnya. (Muchlis. 2012; 70)

D. Pengaruh Filsafat Aliran Materialisme Terhadap Pendidikan Saat Ini


Pengaruh materialisme pada pendidikan saat ini begitu kental, padahal
sistem pendidikan materialisme terbukti telah gagal membina manusia yang
memiliki karakter kepribadian Islami, menguasai ṡaqafah Islam, ilmu
pengetahuan dan teknologi berikut keterampilan yang memadai . Menemukan
dalam sistem pendidikan materialisme, pembinaan karakter siswa yang
terpenting dalam proses pendidikan kurang diperhatikan. Karena pengaruh

10
materialisme, motivasi belajar hari ini bukan lagi motivasi mencari ilmu, tetapi
motivasi belajar hari ini bagaimana untuk mencari pekerjaan, supaya dari
pekerjaan tersebut kita mendapatkan materi. (Toto. 2018; 82)

E. Pandangan Masyarakat Modern tentang Filsafat Materialisme


Istilah materialisme memiliki berbagai definisi, di antaranya: Pertama,
materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada
sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa
akal dan kesadaran (conciousness) termasuk di dalamnya segala proses fisikal
merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur
fisik. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan dengan sains fisik.
Kedua definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun cenderung
untuk menyajikan bentuk materialisme yang lebih tradisional. Akhir-akhir ini,
doktrin tersebut dijelaskan sebagai energy yang mengembalikan segala sesuatu
pada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari" positivisme" yang memberi
tekanan untuk sains dan mengikari hal-hal seperti ultimate, nature of reality
(realitas yang paling tinggi - baca: Tuhan)
Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) itu merupakan
kesatuan material yang tak terbatas; alam termasuk di dalamnya segala materi
dan energy (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam
(world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, objektif, yang dapat
diketahui oleh manusia. Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada
sebelum jiwa (mind), dan dunia material adalah yang pertama, sedangkan
pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. (Kurnia. 2018; 191).
Indonesia memang bukan negara Islam yang memandang ulama sebagai
pemilik tingkat tertinggi dalam struktur sosial. Namun, mayoritas bangsa ini
adalah muslim. Paham materialism ini masih diterapkan oleh pendidikan
nasional kita. Adanya paham materialisme tentu efek dari sekularisasi
pendidikan. Didalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan sudah

11
tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dijauhi dengan nilai-nilai baru.
Kemudian nilai-nilai baru itu di perbaharui lagi dan di ganti dengan nilai-nilai
lebih baru. Nilai tradisional diganti dengan nilai modern, nilai modern diganti
dan diperbaharui dengan nilai yang lebih baru lagi yaitu nilai post-modern atau
pasca modern. Dampak paham materialisme dapat terjadi pada ranah kehidupan
sosial maupun individu, seperti: Dampaknya terhadap agama, bangsa dan Negara
:
1. Sikap materialistis, terlebih yang berdasarkan ideology materialisme selalu
bertolak belakang dengan agama.
2. Sikap materialisme bisa membawa orang kepada atheisme, paham
materialisme hanya menilai segala sesuatu dengan nilai suatu benda. Karena
Tuhan tidak berwujud maka, dampak terhadap anak didik yaitu jika terjadi
di kemudian hari.
3. Sikap materialistis dapat membahayakan ideologi negara Pancasila sila ke-1
(Ke-Tuhanan Yang Maha Esa), Sikap materialistis bisa membawa
pertentangan kelas, pertentangan sosial, dan ras. Sikap materialistis bisa
melahirkan banyak tindakan kejahatan, seperti korupsi, pemerasan terhadap
orang yang tidak berdaya. Dan Dampaknya terhadap tiap pribadi, Sikap
materialistis bisa menjauhkan manusia dari Tuhan dan sesama sebab materi
menjadi yang paling utama bagi orang tersebut. Sesama bisa diperalat dan
diperas, Sikap materialistis bisa membuat orang tidak hidup bahagia karena
ambisi yang semakin menigkat untuk materi. (Aqil. 2014; 237).

F. Pandangan Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme Terhadap Suatu


Pendidikan
Pragmatisme yang merupakan salah satu aliran yang berpangkal pada
empirisme, meskipun terdapat pengaruh idealisme jerman (hegel). John Dewey
salah seorang tokoh pragmatism lain yang dianggap pemikir paling berpengaruh
pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh pragmatism lainnya adalah Charles

12
Pierce dan William James. Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma
yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme disini sama artinya
dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan
demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
menurut tindakan. Pragmatism memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran
adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
pragmatism benar apabila membawa suatu hasil. (Rum. 2010; 57).
Pragmatisme, sebagai diskursus pemikiran kritis adalah pemikiran
filsafati yang pada mulanya berkembang di Barat, tepatnya di Amerika. Sesuai
dengan namanya, filsafat pendidikan pragmatisme adalah aliran pemikiran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan filsafat pragmatisme. Pragmatisme juga
sering disejajarkan dengan progresivisme, instrumentalisme, eksperimentalisme
dan environmentalisme (Noor Syam, 1983; 228). Sesuai dengan corak filsafat
yang mendasarinya, aliran pragmatisme pendidikan memiliki ciri dan karakter
yang berbeda dengan beberapa aliran pemikiran tradisional seperti idealisme,
realisme, perennialisme dan esensialisme. Perbedaan ini muncul karena aliran
pragmatisme memang mendasarkan pada landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis yang sangat berbeda.
Pemikiran pragmatisme pendidikan memiliki kata-kata kunci dalam hal
pemikiran atau landasan ontologis yaitu: proses, perubahan, interaksi dan
pengalaman. Dalam pandangan pragmatisme, kenyataan atau realitas dipahami
memiliki dua entitas yaitu individual dan lingkungan. Entitas individual,
maksudnya adalah manusia secara personal, sedangkan entitas lingkungan berarti
lingkungan social sekaligus lingkungan alam. Inti dari landasan ontologis aliran
pragmatisme adalah bahwa realitas pada dasarnya merupakan suatu interaksi
antara individu dengan lingkungan atau pengalamannya. Oleh karena interaksi
ini berlangsung secara terus menerus dan pengalaman juga berkembang seiring
dengan semakin lamanya hidup yang dijalani manusia, maka realitas dalam
pemahaman pragmatism dipahami sebagai sesuatu yang selalu berubah. Itulah

13
pandangan pragmatisme mengenai realitas yang kemudian dijadikan sebagai
landasan ontologis dari sistem pendidikan yang dikembangkan. (Sumasno. 2014;
284).

G. Aliran Pragmatisme Dalam Hakikat Realitas


Menurut aliran pragmatisme hakikat dari realitas adalah segala sesuatu
yang dialami oleh manusia. aliran pragmatis realitas yang benar tidaklah eksis
“di luar sana”, di dunia yang riil. ReaIitas tersebut sebenar-nya “tercipta secara
aktif saat kita bertindak dalam dan menuju dunia”. realitas sejati tidak pernah ada
didunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap
dunia. Prinsipnya bahwa “diri” merefleksikan masyarakat, memerlukan suatu
pandangan atas ‘diri” sesuai dengan realitas. Dalam pandangan pragmatisme,
kenyataan atau realitas dipahami memiliki dua entitas yaitu individual dan
lingkungan.
Entitas individual, maksudnya adalah manusia secara personal,
sedangkan entitas lingkungan berarti lingkungan sosial sekaligus lingkungan
alam. Inti dari landasan ontologis aliran pragmatisme adalah bahwa realitas pada
dasarnya merupakan suatu interaksi antara individu dengan lingkungan atau
pengalamannya. Oleh karena interaksi ini berlangsung secara terus menerus dan
pengalaman juga berkembang seiring dengan semakin lamanya hidup yang
dijalani manusia, maka realitas dalam pemahaman pragmatism dipahami sebagai
sesuatu yang selalu berubah. (Dadi. 2008; 304-307).

H. Pragmatisme Dalam Hakikat Pengetahuan


4 hal mendasar yang dipertanyakan tentang pengetahuan agar dapat
dikategorikan menjadi ilmu pengetahuan ilmiah yaitu:
1. Sumber Pengetahuan; wilayah filsafat yang mempertanyakan tentang
bagaimana cara pengetahuan diperoleh yakni (a) sumber rasio dan (b) religi
yang dalam perkembangannya telah menyebabkan keberpihakan tentang sumber

14
pengetahuan ini, dan membagi faham Filsafat menjadi 3, yaitu 1. Faham
Rasionalisme, dipelopori oleh Rene Descartes sebagai Bapak Filsafat
Rasionalisme/Bapak Filsafat Modern, diikuti oleh Spinoza dan Reibnis. Faham
ini berkembang di Eropa dan dikenal sebagai Filsafat Anglosaxon, mengakui
rasio/akal/pikiran sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang pasti
benar, selanjutnya dikenal sebagai cara berpikir deduktif. Pengetahuan yang
dihasilkan adalah pengetahuan apriori yang mengandalkan pengetahuan akal
budi atau pengetahuan sebelum tahu atau mendahului pengalaman. 2. Faham
Empirisme; dipelopori oleh David Hume diikuti oleh Berkeley dan John Lock,
yang berkembang di Inggris dan dikenal sebagai Filsafat continental, faham ini
mengakui indera dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan fakta-fakta dari
pengalaman empiris sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang pasti
benar karena akal budi hanya dapat berfungsi kalau ada acuannya realitas atau
pengalaman, selanjutnya dikenal sebagai cara berpikir induktif. Pengetahuan
yang dihasilkan adalah pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan berdasarkan
pengalaman panca indera yang sudah dibuktikan kebenaran faktanya. 3. Faham
Sintesis; yang dipelopori oleh Immanuel Kant merupakan upaya sintesis atau
penggabungan kedua faham Rasionalisme dan Empirisme, faham ini yang
percaya bahwa pengetahuan harus didukung oleh kedua sumber yang ada, baik
sumber pengetahuan berdasarkan pertimbangan rasio maupun pengetahuan
empiris yang tertangkap dalam ruang dan waktu. Pengalaman (empirisme) yang
diperoleh melalui indera penting sebagai dasar membentuk pengetahuan, akal
budi (rasionalisme) juga penting untuk mengolah pengalaman tersebut.
2. Nomenon: sesuatu yang tidak diketahui dan berada di luar jangkauan indera
kita, tetapi sangat nyata dan sangat mempengaruhi dan sangat berarti dalam
menata hidup agar kita menjadi orang yang bermoral dan beragama, misalnya
Tuhan, jagat raya, nasib manusia, jiwa, ide, dan lain lain.
3. Struktur Pengetahuan: dibedakan menjadi dua yaitu Subyek dan Obyek
dengan batas-batas tertentu. Rene Descartes membedakan batas-batas subyek

15
dan obyek menjadi 2 substansi kesadaran, yaitu (a) Res Cogitans: kesadaran
subyek tentang kehadiran dan keberadaannya. Dengan moto: Saya berpikir
maka saya ada (cogito ergosum), Aku merupakan kesadaran, dan (b) Res
extensa: keluasan obyek yang dihadapi kesadaran (substansi resextensa).
4. Keabsahan Pengetahuan: dibedakan berdasarkan 3 teori kebenaran
pengetahuan, yaitu: (a) Kebenaran Koherensi: jika tidak ada kontradiksi antara
gagasan yang satu dengan gagasan yang lain, maka kedua gagasan bersifat
koheren atau konsisten karena kedua gagasan tersebut sama. Sebagai contoh,
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu (misalnya pada proposisi
tentatif/hipotesis) bersifat koheren atau konsisten dengan hasil penelitian/teori/
pernyataan sebelumnya (b) Kebenaran Korespondensi: (veritas est adaequatio
reiet intellectus); jika ada persesuaian atau hubungan antara ide (gagasan pada
proposisi tentatif/hipotesis) dengan deskripsi realitas obyek dari ide atau fakta
empiris hasil penelitian/ observasi/ eksperimen. Sebagai contoh, ide atau
gagasan baru dianggap benar jika hasil survei memang benar, misalnya ide
bahwa semua peserta didik S3 mempunyai mobil mewah. Untuk menyatakan
bahwa ide ini benar maka harus dilakukan survei dahulu. Jadi suatu pernyataan
adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung dalam pernyataan
tersebut, berkorespondensi (ada persesuaian/hubungan) dengan obyek (deskripsi
realitas obyek/hasil penelitian) yang dituju oleh pernyataan tersebut; dan (c)
Kebenaran Pragmatis: jika ada kebenaran yang bersifat konstruktif dan asas
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat diukur dengan kriteria lain selain nilai
benar. Sebagai contoh, kriteria fungsional dalam kehidupan praktis, nilai
mantap, mahal, ekonomis untuk konstruksi jembatan, atau nilai aman dan etis
untuk (bedah jantung dan lain-lain. Contoh kebenaran pragmatis ilmu adalah
jika ilmu itu bermanfaat, aman dan etis walau tidak koheren atau tidak
korenpondensi, misalnya pada Ilmu Bedah Jantung. (Dravinne. 2014; 34).

16
I. Nilai-Nilai Pragmatisme
Nilai-nilai pragmatis dalam tradisi lisan akan menjelaskan kebermaknaan tradisi
lisan bagi masyarakat. Ada 4 aspek yang menjadi objek kajian yaitu:
1. Nilai Pragmatis yang terdapat pada proses penciptaan
2. Nilai pragmatis dalam pesan yang disampaikan
3. Nilai pragmatis pada unsur-unsur pembentukannya
4. Nilai pragmatis saat penyajian dan pergelaran (Haryadi. 2004; 212-213).
Pada dasarnya pendidikan Islam bertumpu pada nilai-nilai pragmatis maka
kemungkinan melahirkan insan kamil yang kritis dan berbudi luhur menjadi tipis,
sebab nilai-nilai pragmatis akan melahirkan rasionalitas teknokratik/ instrumental
yang lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi. Jika nilai-nilai pragmatis
yang menjadi basis pendidikan maka proses pedagogis akan lebih banyak
diarahkan untuk membantu peserta didik memperoleh tingkat keterampilan
kognitif yang tinggi agar dapat menguasai keterampilan-keterampilan teknis
yang diperlukan dalam dunia kerja. Orientasi utama pendidikan, dengan
demikian, adalah bagaimana peserta didik dapat sukses di tengah kompetisi
dunia kerja yang keras. Jadi sukses akademik diukur sejauh mana peserta didik
sukses di dunia kerja dan menjadi pekerja yang produktif. (Tabrani. 2014; 259)

J. Pragmatisme Dalam Pendidikan


Bila dipandang dari progresivisme maka pandangan Ki Hadjar Dewantara
tentang pengetahuan hanya sebagian yang memiliki kesesuaian, karena
progresivisme lebih menekankan pada pandangan pragmatisme yang bersifat
empirik. Menurut pragmatisme, proses mengetahui adalah fakta yang ditangkap
oleh pengalaman yaitu pancaindera. Menurut penulis, pandangan Ki Hadjar
Dewantara tentang pengetahuan lebih lengkap karena pengetahuan itu adalah
hasil cipta, rasa dan karsa. (Herincus. 2015; 62).
Sesuai dengan pandangan pragmatisme Dewey, (Knight. 2007; 119), seorang
pelajar dalam belajar sebagaimana ia bertindak terhadap lingkungannya, dan

17
pada gilirannya dirangsang bertindak oleh lingkungannya setelah ia mengalami
berbagai konsekuensi dan tindakan-tindakannya. Pengalaman sekolah adalah
sebuah bagian dari hidup daripada sekedar sebuah persiapn untuk hidup. Secara
rinci, beberapa komponen dasar filsafat pendidikan sebagai berikut:
1. Pelajar adalah organisme hidup, fenomena biologis dan sosiologis, yang
memiliki dorongan yang dirancang untuk mempertahankan hidup.
2. Pelajar hidup dalam sebuah lingkungan alam dan sosial yang baik.
3. Pelajar, tergerak oleh dorongan, adalah aktif dan terus-menerus
berinteraksi dengan
4. Interaksi lingkungan menghasilkan serangkaian masalah yang terjadi
dalam usaha individu untuk memuaskan kebutuhan; dan
5. Belajar adalah proses pemecahan masalah yang timbul di lingkungan.
(Setya. 2008; 13-14)

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang dapat kami simpulkan dari makalah ini tentang filsafat pendidikan
materialisme dan pragmatism adalah:
1. Pada dasarnya materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap
bahwa di dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik
adalah satu.
2. Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil-dalil yang
muluk-muluk dan abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan-
kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti.
3. Filsafat pragmatisme adalah menganggap bahwa dalam hidup itu tidak dikenal
tujuan akhir, melainkan hanya tujuan sementara yang merupakan alat untuk
mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan
akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat
dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Karena filsafat ini
menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam
menentukan kebenarannya.

B. Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan pada makalah ini adalah sebaiknya dalam
penulisan tentang filsafat pendidikan materialisme dan pragmatisme perlu di adakan
sebuah observasi lapangan mengenai hal tersebut supaya data yang kami dapatkan
menjadi lebih akurat.

19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Dadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator
Volume 9, No. 2. Halaman: 304-307.
Azizy, Muhammad Aqil. 2014. Liberalisasi Kurikulum Pendidikan (Studi Kritis
Buku-Buku Pelajaran Sekolah). Jurnal At-Ta’dib Volume: 9, No.
2. Halaman: 237.
Farihah, Irzum. 2015. Filsafat Materialisme Karl Max (Epistimologi Dialectical
and Historical Materialism). Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan Volume 3 No 2. Halaman: 440-441.
Hadi, Sumasno. 2014. Ujian Nasional Dalam Tinjauan Kritis Filsafat
Pendidikan Pragmatisme. Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah Volume 4, No. 1. Halaman: 284.
Haryadi. 2004. Nilai-Nilai Pragmatis Dalam Tradisi Lisan. Jurnal Diksi Volume
11, No. 2. Halaman: 212-213.
Knight, G.R. (2007). Filsafat Pendidikan (Penerjemah: Mahmud Arif).
Yogyakarta: Gama Media.
Muhajarah, Kurnia. 2018. Krisis Manusia Modern dan Pendidikan Isam. Jurnal
Al Ta’dib, Volume 7 No. 2. Halaman: 191.
Noor Syam, Mohammad. (1983) Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Sambo, Bartolomeus. 2014. Pendidikan Karakter Dalam Kultur Globalisasi:
Inspirasi Ki Hadjar Dewantara. Jurnal Pendidikan Dalam Kultur
Globalisasi Volume 30 No.3. Halaman: 286-287.
Setiawan, Agus. 2016. Relevansi Pendidikan Akhlak di Masa Modern Perspektif
Bediuzzaman Said Nursi. Jurnal Syamil Volume 4, No. 2.
Halaman: 118.
Solichin, Mohammad Muchlis. 2012. Rekonstruksi Pendidikan Pesantren
Sebagai Character Building Menghadapi Tantangan Kehidupan
Modern. Jurnal KARSA, Vol. 20 No. 1. Halaman: 70.

20
Sulaiman. 2019. Hakikat Manusia Sebagai Pendidik Dalam Perspektif Filsafat
Pendidikan Islam. Jurnal Auladuna. Halaman: 93.
Suparlan, Herincus. 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan
Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat
Pendidikan Volume 25, No. 1. Halaman: 62.
Sutrisno, Aliet Noorhayati. 2012. Telaah Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: CV
Budi Utama.
Raharja, Setya. 2008. Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche
School (INS) Kayu Tanam Dalam Perspektif Pendidikan
Humanis-Religius. Jurnal Manajemen Pendidikan. Halaman: 13-
14.
Rosyid, Rum. 2010. Epistemologi Pragmatisme: Dalam Pendidikan Kita. Jurnal
Pendidikan Sosiologi Humaniora Volume 1, No. 1. Halaman: 57.
Tabrani. 2014. Isu-Isu Kritis Dalam Pendidikan Islam Menurut Perspektif
Pedagogik Kritis. Jurnal Ilmiah Islam Futura Volume 13, No. 2.
Halaman: 259.
Tatang dan Makhmud. 2018. Filsafat Perencanaan dan Implikasinya Dalam
Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Sekolah. Jurnal Lentera Pendidikan Volume 21 No. 2. Halaman:
190.
Tatang dan Toto. 2018. Menggagas Pendidikan Islami:Meluruskan Paradigma
Pendidikan Indonesia. Jurnal JPII Volume 3 No. 1. Halaman: 82.
Winata, Tjen Dravinne. 2014. Manfaat Kajian Filsafat, Nilai Etika dan
Pragmatik Ilmu Pengetahuan Untuk Melakukan Ilmiah. Jurnal
Ilmiah Widya Volume 2, No. 2. Halaman: 34.
Raharja, Setya. 2008. Penyelenggaraan Pendidikan Indonesia Nederlandche
School (INS) Kayu Tanam Dalam Perspektif Pendidikan
Humanis-Religius. Jurnal Manajemen Pendidikan. Halaman: 13-
14.

21

Anda mungkin juga menyukai