Anda di halaman 1dari 9

Di dalam hukum positif, mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666
KUHPerdata, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu
barang secara cuma-cuma,tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang
menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan
antara orang-orang yang masih hidup.

Berikut kami uraikan syarat dan tata cara hibah berdasarkan KUHPerdata:
1. Pemberi hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali dalam hak yang
ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu KUH Perdata (Pasal 1677 KUHPerdata)
2. Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris (Pasal
1682 KUHPerdata)
3. Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari penghibahan dengan
kata-kata yang tegas yang diterima oleh si penerima hibah (Pasal 1683 KUHPerdata)
4. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua
harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 KUHPerdata)

Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP
24/1997”), bagi mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, akta hibah harus dibuat dalam bentuk
tertulis dari Notaris sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Namun, setelah lahirnya PP 24/1997,
setiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta
Tanah (“PPAT”).

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Kemudian, berdasarkan Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997, pembuatan akta dihadiri oleh para pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa hibah tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta
yang dibuat oleh PPAT, yakni berupa akta hibah. Jadi, bila seorang kakak ingin menghibahkan tanah
serta bangunannya kepada adik kandungnya seperti dalam cerita Anda, hibah itu wajib dibuatkan
akta hibah oleh PPAT. Selain itu, perbuatan penghibahan itu dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua
saksi.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 PP 24/1997, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak


tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya
berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT
wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor
Pertanahan kepada para pihak yang bersangkutan.

Mengenai bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT (termasuk akta hibah) terdapat
dalamPeraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan Anda dapat simak pula penjelasan terakit ini dalam
artikel Perubahan Blangko Akta-akta PPAT (AJB, Akta Hibah, APHT dll.).

Kemudian, kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai bagaimana penghitungan pajak
bagi tanah dan bangunan yang dihibahkan. Hibah atas Tanah dan/atau Bangunan, bukan merupakan
objek Pajak Penghasilan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-
Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang menyatakan:
“Yang tidak termasuk Objek Pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikian, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.”

Mengacu ketentuan di atas, hibah tanah dan bangunan yang dilakukan oleh kakak kepada adik
kandungnya (keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat) dalam cerita Anda bukan
merupakan objek pajak penghasilan. Akan tetapi, hibah atas tanah dan/atau bangunan ini
merupakanobjek pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 200
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan (“UU BPHTB”), BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas sebuah peristiwa
hukum berupa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimaksud meliputi pemindahan hak atas tanah
dan atau bangunan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah (lihat Pasal 2
ayat [2] huruf a UU BPHTB).

Berdasarkan Pasal 5 UU BPHTB dikatakan bahwa tarif BHPTB ditetapkan sebesar 5% (lima
persen).Menurut UU BPHTB, dasar pengenaan BPHTB ini adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak (“NPOP”). Untuk hibah, NPOP ditetapkan sebesar nilai pasar. Apabila NPOP tidak
diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU
BPHTB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.

Berdasarkan Pasal 8 UU BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah NPOP dikurangi
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”). NPOPTKP tersebut sebesar
Rp60 juta, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB. Besarnya pajak yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak(“NPOPKP”).

Untuk mengetahui apakah sebuah yayasan keagamaan berhak memiliki sebidang tanah dengan
status kepemilikan hak milik atau tidak, terlebih dahulu kita perlu mengetahui status kedudukan
yayasan keagamaan itu sendiri.

Yayasan merupakan badan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”). Di dalam Pasal 1 angka
1Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) disebutkan:

“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”

Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa yayasan keagamaan merupakan badan hukum
yang kekayaannya dipisahkan dan diperuntukkan untuk tujuan keagamaan. Kita ambil contoh
gereja, M. Yasin, S.H., M.H. dalam tulisannya yang berjudul Gereja sebagai Pemohon Informasi
Publikmengatakan bahwa dilihat dari sifatnya, badan hukum dapat dibagi dua, yaitu badan hukum
publik dan badan hukum privat. Dalam lingkup badan hukum privat inilah gereja
(kerkgenootschappen) dapat dikategorikan sebagai badan hukum.

Masih bersumber dari tulisannya, Yasin mengatakan bahwa menurut Victorius MH Randa
Puang(2012), kedudukan gereja atau perkumpulan gereja sebagai badan hukum sering tidak
diketahui atau dipahami, termasuk kalangan Kristen dan Katholik. Status gereja sebagai badan
hukum sudah melekat sejak zaman Belanda, yakni Pasal 1 Staatblad Tahun 1927 No.
156. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum
yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah (“PP 38/1963”) menetapkan antara lain badan-
badan keagamaan sebagai pihak yang berhak mendapat hak milik atas tanah. Berangkat dari pijakan
hukum itu, Randa Puang menyimpulkan bahwa gereja mempunyai hak milik atas tanah. Hak gereja
itu diperkuat pula dengan Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi No. 1/Dd-AT/Agr/67 untuk
badan-badan gereja Katholik, dan Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi No.
22/HK/1969 untuk badan-badan gereja Protestan.

Berikut adalah badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dimaksud
dalamPasal 1 PP 38/1963:

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);


b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-
Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 139);
c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Agama;
d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar
Menteri Kesejahteraan Sosial

Dari pengaturan pasal tersebut, jelas kiranya bahwa yayasan keagamaan seperti yang Anda
tanyakan adalah badan hukum yang berhak memiliki sebidang tanah dengan status kepemilikan hak
milik. Lebih lanjut, Pasal 4 PP 38/1963 menyatakan:
“Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah
yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan
dengan usaha keagamaan dan sosial.”

Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai proses penerbitan sertipikat hak milik atas
nama yayasan keagamaan, kami berasumsi bahwa tanah yang mau dimiliki oleh yayasan
keagamaan tersebut sebelumnya belum bersertipikat sehingga untuk memperoleh hak miliknya
adalah melalui permohonan hak dengan melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali.

Sepanjang penelusuran kami, kami tidak menemukan prosedur khusus penerbitan sertipikat hak milik
atas tanah bagi yayasan keagamaan. Akan tetapi, pada umumnya pensertipikatan tanah
(pendaftaran tanah untuk pertama kali) itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran tanah”).Mengenai hal ini Anda dapat simak
artikelPengurusan Sertifikat Tanah dan Bagan/Proses/Prosedur Pembuatan Sertipikat Tanah.

syarat-syarat untuk menghibahkan tanah? Simak ya …

1. Surat Permohonan yang ditanda tangani oleh pemohon atau kuasa yang ditunjuk
pemohon.
2. Sertipikat asli dilampiri fotokopi permohonan pengecekan
3. Surat pernyataan hibah tidak melebihi 1/3 (sepertiga) bagian dari harta kekayaan yang
dimiliki, diketahui pejabat berwenang.
4. Fotokopi KTP dan KK (Kartu Keluarga) pemilik tanah, penerima hibah dan yang
merelakan yang telah dicocokan dengan aslinya oleh petugas loket atau dilegalisir oleh
pejabat berwenang.
5. Fotokopi SPPT PBB tahun terakhir
6. Bukti SSB BPHTB/SPPD yang telah divalidasi
7. Akta hibah beserta pengantar dari PPAT
8. Melampirkan bukti SSP PPH dalam hal pajak terutang.

Siapkan syarat-syarat di atas dan sampaikan ke petugas loket di Kantor BPN dimana
sertipikat Anda diterbitkan. Meski syarat di atas sudah lengkap, bisa jadi pada saat di
depan loket pendaftaran, akan ada syarat tambahan yang muncul dan dibutuhkan untuk
kasus-kasus yang spesifik.

Pendafataran Tanah Hibah Bangunan Gereja Menurut UUPA


Categories: Hukum Pertanahan

notarisdanppat.com – Pasal 1 angka 20 PP No.24 Tahun 1997 menyatakan bahwa : “


Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaiamana dimaksud dalam 19 ayat (2) huruf c
UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan. Permasalah kemudian muncul ketika tanah tersebut berupa hibah. Dalam
pembahasan ini bagaimana pendafataran Tanah Hibah Gereja menurut UUPA ?
Pasal 49 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 menyatakan bahwa:

1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin
pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14
dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah yang dapat menjadi objek pendaftaran tanah meliputi:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai hak milik, hak guna usah, hak pakai dan hak guna
bangunan.
2. Tanah hak pengelolaan.
3. Tanah wakaf.
4. Hak milik atas satuan rumah susun.
5. Hak tanggungan.
6. Tanah negara.
Jika dicermati lebih lanjut, tidak ada klausula “tanah hibah” dalam ketentuan PP tersebut.
Yang ada hanya tanah wakaf, sedangkan untuk wakaf biasanya berupa Masjid. Lalu
bagaimana ketika itu sebuah Gereja ?

Dalam pasal 34 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa: “Peralihan hak atas tanah
dan hak milik atas satuan rumah susun dapat melalui jual-beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainya, kecuali
pemindahan tersebut melalui lelang hanya dapat didafaftarkan jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Perbuatan hukum tersebut menurut ketentuan Pasal 38 ayat (1) sekurang-
kurangnya harus disaksikan oleh 2 orang saksi.
Jika kemudian dikaitkan dengan permasalahan hibah Gereja di atas, maka dalam proses
peng-hibahannya antara pemililk Tanah dan Pengurus Gereja harus medatangkan pejabar
PPAT. Pejabat tersebut nantinya bertugas dan berwenang membuatkan “akta hibah”.
Pendafataran Tanah Hibah Bangunan Gereja Menurut UUPA Proses pendaftaran Tanah
sekurang-kurang 7 haru kerja setelah ditantanganinya akta hibah. PPAT wajib
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada
Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT Wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis
mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan kepada pihak yang
bersangkutan.
Berbeda dengan ketentuan di atas, dimana peralihan sekaligus proses hibah tanah yang
harus dilakukan melalui pejabat PPAT, sebuah studi kasus yang dilaksanakan oleh
Raymond dan Haris Retno Susmiyati bahwa di Samarinda, pendaftaran tanah dilakukan di
Kantor Pertanahan kota Samarinda untuk Gereja Protestan dilakukan dengan cara yang
sama dengan wakaf, alasannya adalah karena asas persamaan antar umat bergama,
adapun prosedurnya adalah sebagai berikut[1]:

1. Kepala KUA Kecamatan setempat atas nama Nadzir Wakaf mendaftarkan wakaf ke BPN
dengan mengisi blanko w.7 dengan melampirkan bukti:
2. Sertifikat Hak Atas Tanah bagi yang sudah bersertifikat, atau surat keterangan kepemilikan
tanah bagi tanah milik yang belum bersertifikat.
3. Surat keterangan dari lurah setempat yang diketahui Camat bahwa tanah tidak dalam
sengketa.
4. 5 dan W.5.a
5. Akta Ikrar Wakaf atau Akta Pengganti Ikrar Wakaf
6. Foto Copy KTP Wakif apabila masih hidup
7. Foto Copy KTP Nadzir
8. Materai 6.000
9. Proses serttifikasi tanah wakaf
10. Pihak Kantor Pertanahan di Wilayah Kabupaten/Kota menerima berkas persyaratan untuk
proses sertifikasi tanah wakaf, kemudian meneliti kelengkapan persyaratan Administrasi;
11. Pihak Kantor Pertanahan di Wilayah kabupaten/Kota melakukan pengukuran tanah wakaf
untuk dibuatkan gambar situasi tanah wakaf;
12. Pihak Badan Pertanahan Nasional mencatat wakaf dalam Buku Tanah;
13. Selanjutnya pihak Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat tanah.
Kemudian, perihal status tanah hibahnya sebelum berlanjut ke ranah pendaftaran tanah
wakaf terlebih dahulu harus dilalui beberapa prosedur berikut:

1. Membuat surat permohonan pendaftaran tanah hibah;


2. Pihak Badan Pertanahan Nasional mengecek dan mengukur lokasi tanah;
3. Dalam waktu 30 sampai 60 hari Badan Pertanahan akan mengumumkan perihal data fisik
dan yuridis tanah yang bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang keberatan;
4. Setelah dipastikan tidak terdapat keberatan, maka proses pengukuran tanah dilakukan.
Namun sebelumnya ada beberapa prosedur yang harus ditempuh oleh pemohon, yaitu:
5. Surat pernyataan penguasaan fisik tanah;
6. Surat keterangan pendafataran tanah (SKPT) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional;
7. Menandatangi surat permohonan untuk melaksanakan peralihan tanah;
8. Menandatangi akta hibah yang dilakukan oleh kedua belah pihak;
9. Foto Copy KTP para pihak.
Baca Juga

1. Hak Atas Ruang Angkasa Indonesia


2. Tanggungan Ahli Waris atas Hutang Pewaris Menurut KUHPerdata
3. Daftar Notaris Bandung dan Kabupaten Bandung
Dengan demikian, terdapat dua model pendafataran tanah hibah bangunan
gereja. Pertama, sebelum proses hibah dilakukan terlebih dahulu para pihak memanggil
PPAT dan membuat akta hibah dihadapan PPAT selanjutnya PPAT akan mendafatarkan
tanah tersebut ke BPN. Kedua, dengan mendafaftarkan tanah sebagai tanah wakaf, melalui
prosedur ini para pihak dapat membuat akta hibah dihadapan PPAT meskipun hibah telah
berlangsung sebelumnya.Pendafataran Tanah Hibah Bangunan Gereja Menurut UUPA

Perolehan dan Peralihan Hak Atas Tanah Yayasan

Perolehan Hak atas Tanah Yayasan

Pada pinsipnya hanya warganegara Indonesia yang memiliki hubungan sepenuhnya


dengan tanah. Warga negara dan badan hukum Indonesia mempunyai hak untuk
mengerjakan dan mengusahakan tanah atau dalam arti tidakobadan hukum dapat
memiliki hak atas tanah di Indonesia. Hanya orang Indonesia yang dapat memiliki
tanah dan badan hukum tidak dapat memiliki tanah akan tetapi mempunyai hak
untuk mengerjakan dan mengusahakan tanah (Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria)

Menurut Undang–undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Yayasan berhubungan


dengan Undang Nomor 28 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang–undang Nomor
16 Tahun 2011 tentang Yayasan,Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di
bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Kekayaan Yayasan dapat berupa uang dan/atau barang dan/atau kekayaan lain.
Barang yang dimaksud ini dapat berupa barang bergerak maupun tidak bergerak
dalam hal ini tanah.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-


badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, Yayasan sebagai
suatu badan hukum keagamaan dan sosial adalah suatu pengecualian dari Undang-
undang Pokok Agraria yang diberikan oleh pemerintah.

Untuk mendapatkan hak milik atas tanah, Yayasan terlebih dahulu harus mempunyai
surat keputusan penunjukan sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah. Keputusan penunjukan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan
ini dapat diperoleh dengan mengajukan surat permohonan untuk menjadi badan
hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah dengan melampirkan Akta
Anggaran Dasar Yayasan, Surat Pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Surat Rekomendasi dari Departemen Agama dan Surat Rekomendasi dari
Menteri Sosial. Setelah didapatkanya surat penunjukkan maka Yayasan baru dapat
memiliki hak milik atas tanah.

Perolehan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan yayasan melalui lembaga hibah,
hibah wasiat dan lembaga peralihan lainnya yang tidak bertentangan dengan
undang-undang dan anggaran dasar yayasan. Peralihan lainnya termasuk juga
lembaga jual beli.
Selain dapat memiliki kekayaan berupa hak milik atas tanah melalui lembaga
tersebut, yayasan juga dapat memiliki tanah melalui lembaga wakaf. Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang–undang tentang
Yayasan berhubungan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang –undang tentang Yayasan, menyatakan bahwa Yayasan dapat menerima
kekayaan berupa wakaf atau bertindak sebagai nazhir (penerima wakaf dari wakif).
Oleh karena itu perbuatan perolehannya harus tunduk pada Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Peralihan Hak Atas Tanah Yayasan

Kekayaan Yayasan pada prinsipnya tidak dapat dialihkan kepada pihak manapun
oleh pengurus yayasan. Untuk mengalihkan kekayaan yayasan dalam hal ini tanah
milik yayasan maka pengurus yayasan harus mendapat persetujuan dari pembina
yayasan. Pengalihan harta kekayaan yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan
Pengawas dilarang bahkan diancam pidana paling lama 5 (lima) tahun berikut
kewajiban mengembalikan harta kekayaan yang dialihkan dan diperolehnya kepada
yayasan. Akan tetapi terhadap pengalihan harta kekayaan yayasan kepada
pengurus dikecualikan apabila pengurus bukanlah pendiri dan tidak ada hubungan
atau terafliasi dengan pendiri, pembina dan pengawas. Pengcualian ini harus
dinyatakan dalam anggaran dasar yayasan. Jadi pengalihan harta kekayaan kepada
pihak III diperkenankan dengan persetujuan Pembina sedangkan pengalihan kepada
Pengurus diperkenankan dengan syarat dan ketentuan sebagaimana ditentukan
oleh undang-undang

Saya adalah 3 bersaudara. Bapak saya memberikan sepetak lahan tanah untuk di bagi 3 bagian.
Sertifikat tanah tersebut masih atas nama bapak saya.
Untuk mengurus sertifikat tersebut prosedurnya bagaimana? Syaratnya apa saja? Terima kasih
Dari: +6287739260xxx
Pemecahan / pemisahan bidang tanah perorangan, persyaratannya diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 tahun 2010.
Dan untuk biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2010. Persyaratan
Pemecahan / pemisahan bidang tanah perorangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 tahun 2010 antara lain :
1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas
materai cukup
2. Surat kuasa apabila dikuasakan
3. Fotokopi identitas pemohon (KTP,KK) dan surat kuasa bila dikuasakan, yang telah dicocokkan
dengan aslinya oleh petugas loket
4. Sertifikat asli
5. Izin perubahan penggunaan tanah apabila terjadi perubahan penggunaan tanah
6. Tapak kavling dari Kantor Pertanahan
Langkah berikutnya yang harus disiapkan untuk memproses hibah tanah yang bersertifikat yakni
:
A. Pemberi hibah dan penerima hibah bersama-sama datang ke PPAT untuk membuat Akta
Hibah
B. Selanjutnya Akta tersebut beserta persyaratan lain didaftarkan ke Kantor Pertanahan
Kabupaten / Kota letak tanah
C. Adapun persyaratannya diatur dalam Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN nomor 3 tahun 1997, antara lain :
- Surat permohonan
- Akta PPAT
- Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak
- Bukti identitas penerima hak
- Sertifikat yang akan dialihkan
- Bukti pelunasan pembayaran BPHTB

Bisakah Orangtua Menarik Kembali Hibah untuk Anaknya?


Seorang bapak telah memberikan hibah kepada salah seorang anaknya (laki-laki) berupa tanah dan rumah.
Seiring berjalannya waktu, tanah tersebut sudah dikelola menjadi kebun produktif. Anak tersebut sudah menikah
dengan seorang istri dan telah dikaruniai keturunan. Beberapa waktu yang lalu, anak penerima hibah tersebut
meninggal dunia dengan meninggalkan istri, anak dan ayah (pemberi hibah). Dengan berbagai alasan, saat ini
ayah pemberi hibah mengajukan gugatan pembatalan hibah kepada istri dari anak penerima hibah yang sudah
meninggal itu Pertanyaannya: Bisakah pembatalan atau pencabutan hibah dari orang tua terhadap anaknya
yang sudah meninggal dunia? Apakah gugatan tersebut menjadi kurang pihak karena tidak melibatkan ahli waris
lain (anak kandung penerima hibah dan tergugat)?
Jawaban :
Anda tidak menyebutkan agama apa yang dianut oleh bapak tersebut dan anak-anaknya. Untuk itu kami akan
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) untuk menjawab pertanyaan Anda.

Sebelumnya, Anda tidak menjelaskan apakah hibah rumah tersebut dilakukan sesuai prosedur yang berlaku atau
tidak. Sebagai informasi, hibah atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta yang dibuat Pejabat
Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”

Karena Anda tidak menjelaskan secara rinci mengenai hibahnya, kami berasumsi bahwa hibah tersebut
dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

Mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 KUHPer. Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666
KUHPer, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-
cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Untuk itu, hibah tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan oleh orang tua tersebut, kecuali dalam hal-hal
berikut sebagaimana terdapat dalam Pasal 1688 KUHPer:
1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan
atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.

Akan tetapi, orang tua tersebut sebelumnya dapat memperjanjikan bahwa ia tetap berhak mengambil benda-
benda yang telah dihibahkannya, dalam hal penerima hibah maupun penerima hibah beserta keturunannya
meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pemberi hibah, demi kepentingan si pemberi hibah (Pasal 1672
KUHPer).

Jadi, pada dasarnya hibah tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan, akan tetapi orang tua tersebut (si
pemberi hibah) dapat mengambil kembali tanah sebagai benda yang dihibahkan apabila sebelumnya memang
telah diperjanjikan bahwa apabila anaknya (sebagai penerima hibah) meninggal dunia sebelum dirinya, benda
hibah akan kembali kepadanya (akan diambil kembali oleh pemberi hibah).

Mengenai gugatan, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Apakah Penggugat Boleh
Memilih Siapa yang Hendak Digugatnya?, mengutip yang disampaikan Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan
Iskandar Oeripkartawinata, SH dalam bukunya “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek” (hal. 3),
dalam hukum acara perdata, penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan
menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim.
Perkataan “merasa” dan “dirasa” dalam tanda petik, sengaja dipakai di sini, oleh karena belum tentu yang
bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat.

Jadi sebagai penggugat, bapak tersebut berhak untuk menggugat siapa saja yang dirasa melanggar haknya.
Mengenai apakah gugatan tersebut menjadi kurang pihak atau tidak, majelis hakim lah yang berwenang
memutuskan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akta hibah yang dituangkan dalam akta notaris dapat
ditarik kembali oleh pemberi hibah sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1688 KUHPerdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pada prinsipnya
akta hibah tidak bisa ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Ini artinya
ketidakbisaan akta hibah dibatalkan tidak bersifat mutlak.Upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh pemberi hibah adalah : Apabila kedua belah pihak (pemberi dan penerima
hibah) sepakat dan akta hibah tersebut belum didaftarkan (belum balik nama sertipikat),
maka penarikan kembali akta hibah tersebut cukup dengan akta notariel berupa Akta
Pembatalan Hibah yang dibuat oleh notaris setempat. Apabila kedua belah pihak (pemberi
dan penerima hibah) sepakat dan akta hibah tersebut sudah didaftarkan ke Kantor
Pertanahan setempat (sudah balik nama sertipikat), maka penarikan kembali akta hibah
tersebut harus dengan meminta Penetapan Pembatalan Akta Hibah dari Pengadilan Negeri
setempat (bagi yang tunduk dengan Hukum Perdata) atau Pengadilan Agama setempat
(bagi yang tunduk dengan Hukum Islam), sebagi dasar peralihan hak kembali sertipikat
tersebut. Apabila Penarikan kembali akta hibah tersebut tidak dipenuhi secara sukarela,
maka penuntutan pembatalan hibah tersebut harus dengan gugatan yang diajukan oleh si
pemberi hibah ke Pengadilan Negeri setempat atau Pengadilan Agama setempat sampai
keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht) sehingga dapat
menjadi dasar pembatalan akta hibah yang sudah dibuat terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai