Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS PROSES PEMBUATAN TEMPE

PENDAHULUAN

Tempe merupakan bahan makanan tradisional sebagian masyarakat Indonesia. Pada


mulanya tempe dianggap sebagai bahan makanan masyarakat menengah ke bawah. Namun
setelah mengetahui manfaatnya untuk kesehatan, orang beralih menjadikan tempe sebagai
alternatif pengganti daging yang cukup mahal harganya. Konon kabarnya, tempe sudah mulai
dikenal dan digemari di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, jenis tempe yang sangat terkenal
adalah tempe dari bahan dasar kedelai. Namun menurut Dr. Dudik Harnowo dari Balai Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, rata-rata kebutuhan kedelai setiap tahun mencapai 2,2 juta.
Sayangnya, produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan secara baik.
“Produksi kedelai dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan sekitar 30% dan setidaknya
70% harus impor,” papar Dudik pada Seminar Nasional Agribisnis Kedelai: Antara Swasembada
dan Kesejahteraan Petani di Fakultas Pertanian UGM, Kamis (7/5).
Jika ditinjau dari proses pembuatan, dapat diketahui bahwa tempe merupakan salah satu
produk bioteknologi berbasis konvensional. Hal ini karena tempe dibuat dari fermentasi terhadap
biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus,
seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan
fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe". Kapang yang tumbuh pada kedelai
menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna
oleh manusia. Menurut Widianarko (2002), bahwa secara kuantitatif, nilai gizi tempe sedikit
lebih rendah dari pada nilai gizi kedelai. Namun, secara kualitatif nilai gizi tempe lebih tinggi
karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini disebabkan kadar protein yang
larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim Proteolitik.
Untuk mengetahui perkembangan produksi tempe di daerah Sidoarjo, kami melakukan
sebuah penelitian terkait proses pembuatan tempe di Sidoarjo. Dalam penelitian ini kami
menganalisis terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tempe yang ada di daerah
Sidoarjo. Berdasarkan jurnal yang telah kami kaji, kami membuat beberapa pertanyaan terkait
proses pembuatan tempe, dintaranya adalah : 1) suhu mempengarui proses fermentasi dalam
pembuatan tempe 2) merk ragi dapat mempengarui proses fermentasi dalam pembuatan tempe 3)
jenis kedelai mempengaruhi kualitas tempe.

Proses Pembuatan Tempe


Tempe adalah sumber protein yang penting bagi pola makanan di Indonesia, terbuat dari
kedelai. Proses fermentasi pada pembuatan tempe dipengaruhi oleh beberapa faktor: suhu,
kelembaban dan waktu pemeraman. Suhu pemeraman tempe yang baik digunakan untuk proses
fermentasi adalah pada suhu kamar 20-37˚ C dengan kondisi tempat agak gelap, dan suhu
maksimal 40˚ C karena apabila suhu terlalu tinggi pertumbuhan kapang tempe tidak akan
sempurna. Selain suhu pemeraman dipengaruhi pula kelembaban, untuk mengkondisikan tempe.
kelembaban dipengaruhi pula oleh lama pemeraman. lama pemeraman bervariasi dari 18-36 jam.
Suhu pemeraman tempe yang sering digunakan para perajin tempe adalah pada suhu 3˚ C
yang menghasilkan tempe yang putih, kompak dan rasa serta aroma yang khas dan kuat. Tempe
yang umum yang ada di Indonesia umumnya difermentasi pada suhu ruang yaitu sekitar 25˚C
selama 44-52 jam. Menurut Suprihatin (2010) kapang tempe dapat digolongkan kedalam
mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu dapat tumbuh baik pada suhu pemeraman (25-27˚ C).
Waktu pemeraman, suhu tempat pemeraman perlu diperhatikan, karena kedelai akan mengalami
perubahan fisik maupun kimianya. Kapang protein kedelai akan diuraikan menjadi asam-asam
amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan dan tempe menjadi lebih
mudah dicerna. Kecepatan fermentasi ditentukan oleh temperatur inkubasi, inkubasi temperatur
di bawah 40˚ C dan di atas 25˚ C tidak menghasilkan tempe yang baik. Suhu 37-38˚ C butuh
waktu 22 jam untuk menghasilkan tempe yang baik, suhu 28-30˚ C perlu waktu 48 jam untuk
menghasilkan tempe yang baik (Hedger,1982)
Fermentasi dapat diartikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri,
khamir dan jamur. Selama proses fermentasi pada pembutan tempe, kedelai akan mengalami
perubahan fisik terutama tekstur, yang menjadi semakin lunak karena terjadi penurunan selulosa
menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang juga mampu menembus permukaan kedelai
sehingga dapat menggunakan nutrisi yang ada pada biji kedelai sehingga nilai gizi tempe lebih
baik dari kacang kedelai. Perubahan fisik lainnya adalah peningkatan jumlah hifa kapang yang
menyelubungi kedelai yang satu dengan yang lainnya menjadi satu kesatuan (Hidayat, et al.,
2006).
Kemudian faktor lain yang mempengaruhi fermentasi ialah merk ragi yang digunakan
Ragi tempe yang biasa digunakan pada pembuatan tempe adalah jenis kapang Rhizopus Sp. Ragi
yang biasa digunakan pada pembuatan tempe adalah jenis Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae
tetapi masyarakat pada umum nya pada pembuatan tempe mengunakan ragi yang dibuat atau yang
telah disediakan oleh LIPI dengan nama dagang RAPRIMA.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Soegijapranata, menyatakan bahwa merk ragi yang digunakan dalam
pembuatan tempe mempengaruhi tekstur dan kualitas tempe. Hasil analisa tekstur dapa dilihat
pada table dibawah ini :
Berdasarkan table diatas, didapatkan hasil bahwa hardness tempe tertinggi adalah tempe
yang menggunakan ragi tempe RAPRIMA yang lebih cepat dalam menghasilkan kapang.
Sedangkan tempe yang menggunakan ragi tempe kombinasi anatara jenis Rhizopus oligosporus
dan Rhizopus oryzae dengan perbandingan 2:1 pada tingkat kepercayaan 95% tidak berbeda jauh
dengan tempe yang menggunakan ragi tempe (dedak).
Hal tersebut juga terlihat pada hasil penelitian komposisi gizi tempe, yang terpapar pada table
dibawah ini :

Selain jenis ragi, jenis kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe mempengaruhi
kualitas tempe. Kedelai yang bagus digunakan untuk pembuatan tempe adalah yang berumur
cukup tua, warna kuning kecoklatan, bentuk bulat dan licin, padat. Pada umumnya masyarakat
masih menggunakan kedelai impor karena hasilnya lebih bagus dibandingkan kedelai lokal.
Memang ironis sekali, disaat kedelai masih dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, namun
produk kedelai lokal dari petani kita mutunya kurang memuaskan. Dari bahan baku, pengolahan
lahan dan masa tanam yang tidak tepat turut mempengaruhi produksi kedelai kita. Padahal
pangsa pasar kedelai masih sangat luas. Yang terpaksa dipenuhi dari hasil impor.
Kedelai yang warnanya kuning kecoklatan yang paling tepat untuk dijadikan bahan baku
tempe, sedangkan kedelai hitam lebih sesuai untuk bahan baku pembuatan kecap. Kedelai juga
harus cukup tua, jika tidak maka produk tempe akan mempunyai rasa yang pahit, tempe juga
tidak merata tertutupi kapang yang warnanya putih.
METODE PENELITIAN

Pada Penelitian kali ini kami menggunakan metode kualitatif, “metode kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati” ( Lexy Moleong, 2004:4 ) sekaligus kami
melakukan kajian pustaka untuk menganalisis data yang telah kami peroleh. Penelitian dilakukan
untuk menggambarkan bagaimana proses produksi tempe yang melibatkan proses fermentasi,
serta hal apa saja yang dapat berpengaruh di dalamnya.
Kami menggunakan tiga narasumber dengan teknik pembuatan tempe yang ternyata
cenderung sama, pertama ada ibu Siti Fatimah, kemudia Umi Farida, dan Bapak Rois. Penelitian
ini dilakukan dengan cara berkunjung ke home industry narasumber dan kami melakukan
wawancara.
Adapun setelah mendapati data yang kami rasa cukup, kami melakukan analisa dari
setiap jawaban narasumber dengan teknik menyusun dan mengklarifikasi data Kemudian
mengintepretasikannya, adapun data yang akan diteliti meliputi : 1) penggunaan wawancara lisan
untuk mengetahui informasi pengaruh suhu dalam proses fermentasi tempe 2) penggunaan
wawancara lisan untuk mendapatkan informasi tentang pengaruh merk ragi dalam proses
fermentasi tempe 3) penggunaan wawancara lisan untuk mengetahui pengaruh kualitas kedelai
dalam proses fermentasi tempe. Hal ini kemudian kami sinkronsasisan dengan cara menganalisis
data yang telah diperoleh dengan jurnal-jurnal penelitian melalui kajian pustaka.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Pengaruh merk ragi terhadap proses fermentasi tempe
Dari ketiga narasumber kami yakni :Ibu Fatimah, Ibu Rosyidah, dan Bapak Rois
ketiganya menggunaka dua jenis ragi, yakni ragi dedak dan ragi Raprima. Dari hasil
wawancara kami, diperoleh informasi bahwa ragi raprima bersifat lebih keras dibanding ragi
dedak. Hal ini juga yang mendasari ibu fatimah dan ibu rosyidah menggunakan ragi hanya 1
atau dua sendok makan saja untuk takaran 1 kwintal kacang kedelai. Berbeda dengan bapak
Rois, untuk takaran per 1 kwintal kacang kedelai menggunakan ragi raprimha 3-5 sendok
makan. Tentunya hal ini juga berpengaruh dengan hasil fermentasinya, diperoleh informasi
dari wawancara kami, tempe bapak rois lebih cepat “asam”. Jika pagi tempe matang,
malamnya atau pagi harinya lagi tempe bisa berubah warna menjadi kecoklatan dan berasa
masam, berbeda dengan tempe ibu fatimah dan rosyidah yang lebih tahan lama. Dan di sini
kami juga mendapatkan informasi bahwa ragi raprima lebih cepat mematangkan tempe dari
pada ragi dedak, jika menggunakan ragi dedak butuh waktu dua hari satu malam untuk tempe
menjadi matang, sedangkan jika menggunakan ragi raprimha hanya membutuhkan kiranya
12 jam.
Berdasarkan jurnal yang telah kami kami, ragi raprima lebih bagus dibandingkan dengan
ragi tempe, ragi dedak, dan ragi lainnya. Hal tersebut tealh dibuktikan dari hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan di laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas
Soegijapranata, menyatakan bahwa merk ragi yang digunakan dalam pembuatan tempe
mempengaruhi tekstur dan kualitas tempe.pada hasil penelitiannya membuktikan bahwa ragi
raprima lebih cepat membiakan jamur (kapang) pada tempe, tanpa menubuhkan kapas hitam.
Tempe yang menggunakan ragi raprima mempunyai tekstur yang lebih padat dibandingkan
dengan ragi tempe, atau ragi campuran. Selain itu ragi raprima dengan takaran yang lebih
banyak akan membuat kadar air di dalam tempe meningkat dibandingkan dengan ragi-ragi
yang lainnya. Maka dari itu tempe dari Bapak Rois lebih cepat masam dibandingkan dengan
tempe ibu Fatimah dan ibu Rosyidah. Karena takaran ragi yang diberikan oleh bapak Rois
lebih banyak.

2. Pengaruh suhu terhadap fermentasi tempe


Dari ketiga narasumber kami, suhu sangat berpengaruh untuk proses pembuatan tempe.
Jika cuaca sedang dingin, maka ragi yang digunakan harus ditambahkan, karena jika tidak
ragi tidak bisa berfermentasi dengan baik bahkan tidak bisa berfermentasi. Jika terlalu panas
sekalipun, tempe juga susah jadi. Jadi dapat disimpulkan tempe membutuhkan suhu yang
tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, seperti suhu ruangan antara 27-370C.
Berdasarkan jurnal SMK Kesehatan Yaleka Merauke yang telah kami kaji menyatakan
bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tempe adalah suhu, kelembaban dan waktu
pemeraman. Suhu pemeraman tempe yang baik digunakan untuk proses fermentasi adalah
pada suhu kamar 20-37˚ C dengan kondisi tempat agak gelap, dan suhu maksimal 40˚ C
karena apabila suhu terlalu tinggi pertumbuhan kapang tempe tidak akan sempurna.
Kecepatan fermentasi ditentukan oleh temperatur inkubasi, inkubasi temperatur di bawah 40˚
C dan di atas 25˚ C tidak menghasilkan tempe yang baik. Suhu 37-38˚ C butuh waktu 22 jam
untuk menghasilkan tempe yang baik, suhu 28-30˚ C perlu waktu 48 jam untuk menghasilkan
tempe yang baik

3. Pengaruh kualitas kedelai terhadap pembuatan tempe


Dari ketiga narasumber, kami mendapatkan informasi bahwa untuk pembuatan tempe
mereka cenderung menggunakan kedelai import (Amerika) dikarenakan kedelai import
ukurannya lebih besar dari pada kedelai lokal, dengan ukurannya yang lebih besar, proses
pengolahan juga lebih muda. Namun, kedelai lokal lebih gurih dibanding dengan kedelai
import, hal ini juga kami kaji karena di daerah Jabodetabek cenderung menggunakan kedelai
lokal karena rasanya yang lebih gurih dari pada kedelai lokal, dan sedangkan di Sidoarjo
cenderung menggunakan kedelai import karena proses pengolahan yang lebih mudah.
Berdasarkan artikel-artikel yang telah kami kaji, kedelai lokal lebih gurih dibandingkan
dengan kedelai import. Namun seperti yang kita ketahui menurut Dr. Dudik Harnowo dari
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, rata-rata kebutuhan kedelai setiap tahun
mencapai 2,2 juta. Sayangnya, produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi
permintaan secara baik. “Produksi kedelai dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan
sekitar 30% dan setidaknya 70% harus impor,” papar Dudik pada Seminar Nasional
Agribisnis Kedelai: Antara Swasembada dan Kesejahteraan Petani di Fakultas Pertanian
UGM, Kamis (7/5).

KESIMPULAN
Dari analisis yang telah kami lakukan, dengan berdasarkan data observasi melalui
wawancara lisan terhadap para pembuat tempe di Sidoarjo dan kajian pustaka beberapa jurnal.
Dapat disimpulkan bahwa :
1. Suhu berpengaruh terhadap proses fermentasi tempe
2. Merk ragi berpengaruh terhadap proses fermentasi tempe
3. Jenis kedelai menentukan kualitas tempe

SARAN
Untuk para pembuat tempe sebaiknya mencoba mengembangkan pembuatan tempe
dengan kedelai lokal dan menggunakan ragi raprima serta memperhatikan takaran ragi untuk
proses fermentasi, karena dengan kajian pustaka yang kami lakukan, kami menemukan bahwa di
daerah Jakarta dapat membuat tempe berkualitas baik dengan menggunakan kedelai lokal,
diharapkan juga kepada para pembuat tempe di Sidoarjo untuk benar-benar memperhatikan
keadaan cuaca jika sedang memproduksi tempe, dikarenakan suhu adalah salah satu faktor
penting untuk proses fermentasi tempe.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.biotek.lipi.go.id/index.php/7-news/biotek/406-kedelai-lokal-lebih-baik-dibanding-kedelai-
impor
https://m.detik.com/food/info-kuliner/d-3212636/gara-gara-ragi-rhyzopus-tempe-jadi-empuk-enak
Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai. Fakultas Pertanian Universitas Wdyagama,Malang.
sutikno. 2009. http://sutikno.blog.uns.ac.id/2009/04/28/fermentasi-tempe/

Anda mungkin juga menyukai