GAKI
GAKI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maasalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro,
terutama untuk kurang vitamin A, kurang ioudium, dan kurang zat besi. Meskipun
berdasarkan hasil survey nasional tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas
dari xerophthalmia, masih 50 persen dari balita mempunyai serum retinol
<20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki resiko tinggi untuk munculnya kembali
kasusu xeropthalmia. Sementara prevalensi gangguan akibat kurang yodium
(GAKY) pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 30 persen pada tahun 1980
dan menurun menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan
yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat,
karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi antar
wilayah, dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30
persen.
1
mempunyai masalah GAKI sedang, sedangkan propinsi-propinsi yang lain
mempunyai masalah GAKI ringan atau tidak mempunyai masalah GAKI
(Direktorat Gizi Mayarakat, 2003).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar timbulnya masalah gizi pada difisiensi iodium?
2. Bagaimana masalah gizi difisiensi iodium dalam kaitannya sebagai host,
agent, dan environment?
3. Bagaimana determinan masalah gizi difisiensi iodium?
4. Apa saja tahap-tahap pencegahan penyakit masalah gizi difisiensi iodium?
5. Bagaimana metode deteksi dini masalah gizi difisiensi iodium?
6. Bagaimana penilaian status dari iodium?
C. Tujuan
1. Untuk memahami konsep dasar timbulnya masalah gizi pada difisiensi
iodium
2. Untuk memahami masalah gizi difisiensi iodium dalam kaitannya sebagai
host, agent, environment
3. Untuk memahami determinan masalah gizi difisiensi iodium
4. Untuk memahami tahap-tahap pencegahan penyakit masalah gizi difisiensi
iodium
5. Untuk memahami metode deteksi dini masalah gizi difisiensi iodium
6. Untuk memahami penilaian status dari iodium
2
BAB II
METODE
GAKI adalah rangkaian efek yang dapat ditimbulkan karena tubuh mengalami
kekurangan iodium secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama.
Kekurangan iodium terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana tanah,
air serta tanaman/tumbuhan yang tumbuh di atasnya miskin atau tidak
mengandung unsur iodium yang akibatnya penduduk yang bertempat tinggal di
daerah tersebut akan berisiko mengalami kekurangan iodium.
3
(environment). Hal ini disebut juga dengan istilah penyebab majemuk (multiple
causation of diseases) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation)
(Supariasa, 2001). Segitiga epidemiologi merupakan konsep dasar epidemiologi
yang memberi gambaran tentang hubungan antara tiga faktor yg berperan dalam
terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Segitiga epidemiologi
menggambarkan interaksi antara sumber penyakit (agens), pejamu (host), dan
lingkungan (environtment).
4
2008, p 438). Anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang
merupakan kelompok rentan terhadap kekurangan iodium dan perlu
mendapat perlindungan (dee Pee et al, 2010, p 138S). Kegagalan
melindungi mereka, akan meningkatkan kejadian kurang gizi,
kematian pada neonatus, bayi dan anak di bawah usia lima tahun
(Semba et al, 2008, p 438).
b) Status Gizi
Pengaruh status gizi terhadap kejadian GAKY masih belum
banyak diteliti, namun secara teoritis cadangan lemak merupakan
tempat penyimpanan yodium. Jumlah simpanan yodium di dalam
tubuh setiap individu akan berbeda sesuai dengan kondisi status
gizinya (Oenzil, 1996). Kadar yodium urin anak dengan status gizi
baik lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan status gizi kurang
setelah diberikan kapsul yodium selama 3 hari berturut-turut
(Prihartini, 2004).
Status gizi kurang atau buruk akan berisiko pada biosintesis
hormon tiroid karena kurangnya TBP (Thyroxin binding Protein),
sehingga sintesis hormon tiroid akan berkurang (Djokomoejanto,
1987).
c) Genetik
Faktor genetik dalam hal ini merupakan variasi individual
terhadap kejadian GAKY dan mempunyai kecenderungan untuk
mengalami gangguan kelenjar tiroid. Faktor genetik banyak
disebabkan karena keabnormalan fungsi faal kelenjar tiroid.
Terdapatnya prevalensi yang tinggi kejadian gondok pada
beberapa anggota keluarga disebabkan rendahnya efisiensi biologi
tiroid. Ditemukannya antibodi imunoglubolin (IgG) dalam serum
penderita, antibodi ini mungkin diakibatkan karena suatu kelainan
imunitas yang bersifat herediter yang memungkinkan
kelompoklimfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan
mengekskresi imunoglobulin stimulator, sebagai respon terhadap
5
beberapa faktor perangsang (David dan Djokomoeljanto dalam
Ritanto, 2003)
Penyebab genetik lain adalah sejumlah cacat metabolik yang
diturunkan, yang melukiskan kepentingan berbagai tahapan dalam
biosintesis hormon tiroid. Cacat ini adalah cacat pada pengangkutan
yodium, cacat pada iodinasi, cacat perangkaian, defisiensi deiodinasi,
dan produksi protein teriodinasi yang abnormal.
3. Lingkungan (Environtment)
Faktor lokasi dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini
disebabkan kandungan yodium yang berbeda di setiap daerah. Penderita
GAKY secara umum banyak ditemukan di daerah perbukitan atau dataran
tinggi, karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh
banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di
wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan tidak ada (Kodyat, 1996).
Menurut data Departemen Kesehatan Tahun 1990 daerah pantai atau
dataran rendah bebas dari penderita GAKY. Daerah pantai atau dataran
rendah secara teoritis mengandung cukup yodium, dengan demikian maka
tanaman sumber air minum dan hewan mengandung yodium lebih banyak
(Adriani dkk, 2002).
Konsumsi pangan kaya akan yodium dipengaruhi oleh ketersediaan
bahan pangan tersebut dan lokasi tempat tinggal. Penelitian Fatimah
Tahun 1999 menemukan rata-rata frekuensi konsumsi pangan kaya
yodium pada penduduk di desa-desa lereng gunung daerah endemis
GAKY di Pati dan Jepara 1-2 kali dalam seminggu, sedangkan frekuensi
konsumsi pangan kaya yodium di dataran rendah konsumsi ikan laut 2-4
kali dalam seminggu.
Macam dan jumlah makanan yang dikonsumsi secara individu
maupun kelompok masyarakat tertentu setiap hari dapat disebut “Pola
Konsumsi Makanan”. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan
pola konsumsi di suatu daerah atau masyarat adalah:
6
a) Faktor yang berhubungan dengan ketersediaan atau pengadaan pangan
yang juga dapat dipengaruhi oleh letak geografis, iklim, kesuburan
tanah, transportasi atau distribusi, teknologi.
b) Faktor kebiasaan atau sosial budaya, sosial ekonomi masyarakat
setempat cukup berperan dalam memberikan gambaran pola
konsumsinya (Kardjati, dkk, 1985).
b) Faktor lingkungan
7
Permasalahan utama yang timbul biasanya adalah lingkungan yang kumuh
dan miskin akan yodium baik karena lahannya atau gangguan lain
mengenai zat goitrogenik.
c) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya yang berkaitan dengan GAKY diantaranya adalah
pengetahuan mengenai penyakit gondok dan manfaat dari garam
beryodium dalam keluarga, adanya presepsi individu yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, wawasan, pemikiran dan
pengetahuan serta adanya pantangan terhadap makanan yang dipengaruhi
pola konsumsi pangan yang berhubungan dengan adat istiadat, tradisional
atau kepercayaan. (Balai Penelitian dan Pengembangan, Kemenkes RI,
2012)
d) Faktor genetik
Studi terhadap kembar monosigot menunjukkan bahwa pembesaran
kelenjar gondok pada mereka yang terkena kekurangan iodium
mempunyai hubungan dengan faktor-faktor genetik. Studi tersebut
melaporkan bahwa seseorang yang didalam sebuah keluarga memeliki satu
penderita gondok mempunyai resiko mendapat keturunan gondok 2x lebih
besar daripada mereka yang berasal dari keluarga non gondok. Resiko ini
meningkat menjadi 4x pada mereka yang memiliki dua atau lebih anggota
keluarga yang menderita gondok. (Dachroni, 2007)
e) Asupan energy dan protein
Gangguan akibat kekurangan yodium secara tidak langsung dapat
disebabkan oleh asupan energi yang rendah, karena kebutuhan energy
akan diambil dari asupan protein. Protein (albumin, globulin, prealbumin)
merupakan alat transport hormon tiroid. Protein transport berfungsi
mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan sebagai cadangan
hormon.
f) Status gizi
Pengaruh status gizi terhadap kejadian GAKY masih belum banyak
diteliti, namun secara teoritis cadangan lemak merupakan tempat
penyimpanan yodium. Jumlah simpanan yodium di dalam tubuh setiap
8
individu akan berbeda sesuai dengan kondisi status gizinya (Oenzil, 1996).
Kadar yodium urin anak dengan status gizi baik lebih tinggi dibandingkan
dengan anak dengan status gizi kurang setelah diberikan kapsul yodium
selama 3 hari berturut-turut (Prihartini, 2004). Status gizi kurang atau
buruk akan berisiko pada biosintesis hormon tiroid karena kurangnya TBP
(Thyroxin binding Protein), sehingga sintesis hormon tiroid akan
berkurang (Djokomoejanto, 1987).
g) Faktor lokasi
Faktor lokasi dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini
disebabkan kandungan yodium yang berbeda di setiap daerah. Penderita
GAKY secara umum banyak ditemukan di daerah perbukitan atau dataran
tinggi, karena yodium yang berada dilapisan tanah paling atas terkikis oleh
banjir atau hujan dan berakibat tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di
wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan tidak ada (Kodyat, 1996)
Menurut data Departemen Kesehatan Tahun 1990 daerah pantai atau
dataran rendah bebas dari penderita GAKY. Daerah pantai atau dataran
rendah secara teoritis mengandung cukup yodium, dengan demikian maka
tanaman sumber air minum dan hewan mengandung yodium lebih banyak
(Adriani dkk, 2002).
Ukuran kerlenjar tiroid dapat dipilahkan menjadi salah satu dari beberapa
derajat berikut ini :
9
Tabel. 3 Klasifikasi GAKY
Grade Keterangan
Derajat 0 Kelenjar tiroid tidak teraba atau tidak terlihat.
Derajat 1 Ada masa pada bagian leher yang konsisten dengan
kelenjar tiroid yang membesar dan massa tersebut dapat
dipalpasi kendati tidakdapat dilihat ketika leher dalam
posisi normal serta bergerak ketika orang yang diperiksa
melakukan gerakan menelan, perubahan noduler dapat
terjadi sekalipun kelenjar tiroid tidak terlihat membesar.
Derajat 2 Pembesaran pada bagian leher ysng terlihat ketika leher
berada dalam posisi normal dan konsisten dengsn
kelenjar tiroid yang membesar ketika dipalpasi.
Derajat 3 Kelenjar gondok cukup besar yang terlihat pada jarak >
6cm.
Sumber: WHO/UNICEF/ICCDD, 2001
Kekurangan yodium dapat berdampak buruk pada setiap tahap dalam siklus
kehidupan. Mengingat fungsi yodium adalah berperan dalam seluruh metabolisme
zat gizi yang yang diperlukian oleh tubuh dan yang paling penting yodium
berfungsi untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan tubuh terutama pada
usia–usia dimana manusia dalam proses pertumbuhan. (Hadi, 2010).
Jika yodium tidak diperoleh dari konsumsi,maka tubuh akan mengaktifkan
mekanisme stimulasi melaluirangsangan hormon lain yang diproduksi oleh
kelenjar di daerah otakdikenal sebagai Thyroid Stimulating Hormon (TSH).
Akibat mekanismetersebut akan terjadi gangguan keseimbangan metabolisme
yang dapat menimbulkan berbagai kelainan fisiologis. Kondisi inilah yang disebut
sebagai Gangguan Akibat Kekurangan Yodium dengan kelainan yang timbul
dapat berupa :
a) Pembesaran kelenjar gondok pada leher.
b) Gangguan perkembangan fisik.
c) Gangguan fungsi mental, yang dapatberpengaruh terhadap kehilangan
Intelligence Quotient (IQ) point yangidentik dengan kecerdasan dan
produktivitas.
10
kembang manusia. Makin dini terjadinya defisiensi yodium akan semakin berat
dan ireversibel akibatnya. Makin lama menderita gondok endemik akan makin
sering ditemukan gondok noduler dan hipotiroidi, terutama setelah pemberian
suplementasiyodium.(Asih, 2006)
11
beriodium diperuntukkan pada kelompok yang spesifik seperti anak-anak dan
ibu nifas (Mus Joko R dalam rusnelly, 2006).
12
Wanita usia reproduktif dan anak sekolah merupakan kelompok sasaran
suntikan lipidol. Pemberian suntikan lipidol sebenarnya sudah memberikan
hasil yang cukup baik dan terbukti sangat efektif untuk penanggulangan
kekurangan iodium. Hal ini terlihat dari menurunnya angka prevalensi gondok
dan tercegahnya kretin endemic (Djokomoeljanto dalam gatic, 2006)
Tabel 1
Klasifikasi Pembesaran Kelenjar Tiroid
Grade Keterangan
0 Tidak teraba/tidak terlihat
1 Teraba dan tidak terlihat pada posisi kepala biasa
2 Terlihat pada posisi kepala biasa
13
Sumber : Joint WHO/UNICEF/ICCIDD, 1992
14
GAKI dan karenanya program pencegahan yang mahal bisa dihindarkan,
untrasonografi dengan cepat menggantikan palpasi. Pemeriksaan USG
juga merupakan suatu pengukuran yang tepat untuk melihat pembesaran
volume tiroid dibandingkan dengan palpasi. Volume tiroid yang dihitung
berdasarkan panjang, jarak dan ketebalan dari kedua cuping, volume
yang dihitung dibandingkan dengan standar dari suatu populasi dengan
masukan iodium yang cukup. Pengukuran volume tiroid dengan
menggunakan USG untuk saat ini hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli
yang sudah terlatih dalam teknik ini. Hasil pemeriksaan volume tiroid
pada sampel merupakan penjumlahan dari volume tiroid kanan dan kiri
(Untoro Y dan Gutekunts dalam Gatie, 2006).
15
Kelemahan dari ultrasonografi diantaranya harus ada pelatihan,
biaya instrument yang mahal dan masalah transportasi dari pusat ke
wilayah survei.
3. Kadar Iodium dalam urine (UIE/Urinary Iodine Excretion)
Kecukupan iodium tubuh dinilai dari iodium yang masuk lewat
makanan dna minuman, sebab tubuh manusia tidak dapat mensintesis
iodium. Iodium dengan mudah diabsorpsi dalam bentuk iodide. Ekskresi
dilakukan melalui ginjal dan jumlahnya berkaitan dengan konsumsi.
Penilaian jumlah asupan iodium dalam makanan sulit dilakukan karena
kandungan iodium dalam makanan mempunyai variasi yang sangat luas,
dan sangat tergantung dari kandungan iodium dalam tanah tempat
mereka tumbuh, oleh karena iodium yang kita butuhkan sangat sedikit
(dalam ukuran mikro) dan kandungan iodium dalam makanan sukar
diperiksa, maka sebagai gantinya penilaian asupan iodium dapat
diperiksa dengan cara yang lebih praktis atau mudah dilaksanakan yaitu
berdasarkan pengukuran ekskresi iodium dalam urin sedangkan ekskresi
iodium di dalam feses dapat diabaikan (Syahhbuddin dalam Gatie,
2006).
Pengukuran iodium yang paling dapat dipercaya atau diandalkan
adalah media kadar iodium dalam urin sampel yang mewakili, karena
sebagian besar (lebih dari 90%) iodium yang diabsorpsi dalam tubuh
akhirnya akan diekskresi lewat urin (Stanbury, 1996). Dengan demikian
UIE jelas dapat menggambarkan intake iodium seseorang. Kadar UIE
dianggap sebagai tanda biokimia yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya defisiensi iodium dalam suati wilayah (Dunn dan
Stanbury dalam Gatie, 2006).
Sampel terbaik untuk pemeriksaan UIE adalah urin selama 24 jam
karena dapat menggambarkan fluktuasi iodium dari hari ke hari. Tetapi,
pengambilan sampel urin 24 jam ini tidak mudah dilakukan dilapangan.
Beberapa peneliti kemudian menggunakan sampel urin sewaktu dan
mengukur kadar kreatinin dalam serum, lalu dihitung sebagai rasio UIE
per gram kreatinin. Hal ini dilakukan dengan asumsi ekskresi kreatinin
16
relative stabil. Tetapi ternyata cara ini mempunyai kelemahan karena
kadar kreatinin serum sangat tergantung pada massa otot, jenis kelamin
dan berat badan seseorang (Rachmawati dalam Gatie, 2006).
Oleh WHO, UNICEF dan ICCIDD pada tahun 1994 akhirnya
disepakati bahwa metoda yang direkomendasikan untuk dipakai di
seluruh dunia adalah metoda Acid Digestion. Pertimbangan pemilihan
metoda ini adalah mudah, cepat dan tidak memerlukan alat yang terlalu
mahal. Metoda ini menggunakan spektrofotometer dengan prinsip
kolorimetri. Metode ini dapat mendeteksi kadar iodium dalam urin
sampai 5mikrogram perliter (Raachmawati, 1997). Klasifikasi tingkat
kelebihan dan kekurangan iodium dalam suatu wilayah, berdasarkan
median kadar iodium dalam urin pada Tabel 3.
17
BAB III
PEMBAHASAN
18
1997). Klasifikasi kecukupan yodium berdasarkan Median UEI (Stanbury,
1996) adalah :
1. Defisiensi Berat, median UEI < 20 μg/L
2. Defisiensi Sedang, median UEI 20-49 μg/L
3. Defisiensi Ringan, median UEI 50-99 μg/L
4. Optimal, median UEI 100-200 μg/L μg/L
5. Lebih dari cukup, median UEI 201-300 μg/L
6. Kelebihan (excess), median UEI > 300 μg/L
c. Penentuan defisiensi yodium dengan menggunakan uji laboratorium, untuk
mengukur kadar hormon (Elmer, 2005) diantaranya adalah :
1. Thyroid Stimulating Hormone (TSH): TSH menstimulasi kelenjar
tiroid untuk memproduksi lebih banyak hormontiroid untuk tubuh.
Rendahnya kadar hormon tiroid yangbersirkulasi menyebabkan
pelepasan TRH, yang menstimulasikan produksi TSH, dan akhirnya
meningkatkan produksi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid.Pengukuran
TSH menentukan hipotiroid primer (kelenjartiroid) dan sekunder
(kelenjar pituitari).
2. Total T4 Immunoassay (Total T4, T4 RIA, thyroxine/T4): Tes ini
digunakan untuk menentukan jumlah total T4 didalam darah, yang
menunjukkan porsi T4 yang terikat (keprotein) maupun tidak terikat.
Sebagian besar T4 di dalam darah terikat ke protein. sehingga
beraktivitas. Jumlah T4bebas dan terikat bisa diukur dengan tes yang
terpisah.
3. Free Thyroxine (FT4): Uji ini digunakan untuk menentukan jumlah
T4 bebas (tidak terikat) di dalam darah. Pentinguntuk melihat jumlah
T4 bebas karena merupakan porsidari hormon tiroid untuk menjadi
aktif di dalam tubuh.
4. Total T3 Immunoassay (Total T3, T3RIA, Ltriiodothyronine, atau
T3): Uji ini untuk menentukanjumlah total T3 yaitu bentuk yang lebih
potensial dan aktif dari kedua hormon tiroid dalam darah. Jika hormon
initerikat ke protein, maka dianggap tidak aktif. Uji ini palingsering
digunakan di dalam diagnosis jenis-jenis hipertiroid yang berbeda,
19
misalnya penyakit graves. Di dalam hipotiroid, kadar ini mungkin
tetap dalam rentang normal.
5. Free T3: Jumlah T3 yang tidak terikat oleh protein di dalamsirkulasi,
menjadi jumlah aktivitas biologi hormon-hormontiroid pada tingkatan
sel. Pengukuran nilai Free T3 meliputimetode indeks dua uji, metode-
metode pemisahan fisikyang mengisolasikan hormon bebas dari
hormon yang terikat protein, atau metode-metode immunoassay.
20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) adalah rangkaian efek yang
dapat ditimbulkan karena tubuh mengalami kekurangan iodium secara
terus menerus dalam kurun waktu yang lama.
2. Suatu penyakit timbul karena terdapat ketidakseimbangan antara berbagai
faktor, baik dari sumber penyakit (agens), pejamu (host), maupun
lingkungan (environment).
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya GAKY antara lain : asupan
iodium dalam tubuh, faktor lingkungan, faktor sosial budaya, faktor
genetik, asupan energy dan protein, status gizi, dan faktor lokasi.
4. Upaya pencegahan terhadap defisiensi iodium atau GAKI dapat meliputi 4
tingkat upaya yaitu : pencegahan primordial, pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
5. Program Intensifikasi Penanggulangan GAKI (IP-GAKI) yang telah
dilaksanakan dengan bantuan Bank Dunia yaitu : pemantauan status
iodium masyarakat, peningkatan konsumsi garam beriodium, peningkatan
pasokan garam beriodium, dan distribusi kapsul minyak beriodium pada
sasaran tepat.
6. Beberapa metode yang diterapkan dalam mengklasifikasi tingkat dan
keparahan GAKI dapat diketahui sebagai berikut : pengukuran tiroid
dengan palpasi, pengukuran volume tiroid dengan Ultrasonografi (USG)
Tiroid, dan kadar iodium dalam urine (UIE/Urinary Iodine Excretion).
7. Metode yang dianjurkan untuk penilaian status yodium didasarkan pada :
penilaian Total Goiter Rate (TGR) dengan cara palpasi; pengukuran
Iodium Urine; dan penentuan defisiensi yodium dengan menggunakan uji
laboratorium, untuk mengukur kadar hormon diantaranya adalah :
Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Total T4 Immunoassay (Total T4, T4 RIA, thyroxine/T4): Free
Thyroxine (FT4)
21
Total T3 Immunoassay (Total T3, T3RIA, Ltriiodothyronine, atau T3)
Free T3
B. Saran
Perlu adanya upaya pencegahan di masyarakat untuk menanggulangi masalah
GAKI. Masyarakat harus memiliki informasi mengenai penyakit GAKI yang
bisa didapat dari berbagai sumber sebagai acuan untuk mengetahui hal-hal apa
saja yang harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi masalah
GAKI. Selain itu masyarakat harus mengaplikasikan upaya tersebut di
kehidupan sehari-hari agar terhindar dari masalah GAKI.
22
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, H., Budiman, H., dan Faiza, Y. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Gangguan Akibat Kekurangan Yodium di Kecamatan Koto
Tangah, Padang. Jurnal Kesehatan Komunitas. 6(2): 262-269.
Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. (2001). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC
23