Anda di halaman 1dari 12

BAB X

Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

X.1 Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Suhadi dkk, 2014 Corporate Social Responsibility yang


selanjutnya disingkat CSR, secara umum diartikan sebagai upaya dari
perusahaan untuk menaikkan citra perusahaan di mata publik dengan membuat
program-program amal, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Program
eksternal dengan menjalankan kemitraan (patnership) dengan melibatkan
seluruh pemangku kepentingan untuk menunjukkan kepedulian perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan secara internal
mampu berproduksi dengan baik, mencapai profit yang maksimal dan
mensejahterakan karyawan. CSR merupakan sebuah kewajiban perusahaan
bukan sekedar tuntutan moral. Berdasarkan UU No. 4o Tahun 2007 Pasal 74
tentang Perseroan Terbatas, bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib
melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Apabila sebuah industri
pertambangan tidak melaksanakan CSR maka harus dikenakan sanksi sesuai
ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian, CSR hakikatnya merupakan
komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan, dan
masyarakat setempat dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Salah satu bentuk pelaksanaan CSR adalah pemberdayaan masyarakat
(community development) di sekitar tambang. Pemberdayaan adalah sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan
untuk memperkuat kekuasaan atau memberdayakan kelompok lemah dalam
masyarakat, antara lain individu-individu yang mengalami masalah-masalah
dalam kehidupannya. Sedangkan pemberdayaan sebagai tujuan merujuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan
kemampuan memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi,
maupun sosial.

X-1
Pada umumnya program pemberdayaan masyarakat terbagi menjadi enam
bidang utama, yaitu pendidikan, kesehatan, pembangunan saranan atau
prasarana umum seperti tempat ibadah, bantuan bencana alam, upaya
pelestarian alam dan kebudayaan (Parahita, 2012). Berikut model dalam bentuk
kerangka pikir pemberdayaan masyarakat sekitar tambang yang dapat
dilaksanakan industri tambang.

Industri
/perusahaan
Pertambangan

Departemen Hubungan
masyarakat

musyawarah

Tokoh-tokoh Aparat : Tokoh-tokoh

Umpan balik
masyarakat  Kecamatan agama & kepala
 Desa adat
 Dusun

Saranan & Kesehatan: Pendidikan:


Ekonomi : prasarana : Pelayanan
Perbaikan kesehatan Pendirian
Bantuan sekolah,
jalan, gratis,
modal UKM tempat pendirian beasiswa
ibadah puskesmas

X-2
SELURUH MASYARAKAT DI
SEKITAR KAWASAN
PERTAMBANGAN

Industri atau perusahaan pertambangan melalui departemen atau divisi


hubungan masyarakat memiliki kewajiban untuk melakukan serangkaian kegiatan
musyawarah bersama tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh termasuk LPM
(Lembaga Pemberdayaan masyarakat), aparatur pemerintah lingkup kecamatan,
desan dan dusun yang langsung bersentuhan dan dekat dengan masyarakat, dan
tokoh-tokoh agama dan adat yang dihormati dan dihargai masyarakat. Ke tiga
tokoh tersebut dapat menjadi penghubung antara perusahaan dan masyarakat.
Selain itu, mereka lebih mengerti dan memahami kebutuhan masyrakat.

Pada dasarnya kebutuhan dan permasalahan masyarakat sekitar tambang


terkait atas 4 bidang utama, yaitu ekonomi, sarana dan prasarana, pendidikan dan
kesehatan. Bidang ekonomi, perusahaan dapat memberi bantuan modal usaha
kecil menengah untuk masyarakat agar dapat berwirausaha dan mandiri. Bantuan
moda ini dapat digunakan untuk membuat warung makan, bengkel, berjualan
sayur atau bahkan memperluas usahataninya. Apabila masyarakat sekitar kawasan
pertambangan lebih banyak yang bekerja sebagai usahatani maka pinjaman modal
dapat diberikan untuk meningkatkan dan memperluas usahataninya, modal dapat
digunakan petani untuk membeli pupuk, pestisida, benih dan lain-lain.
Bidang sarana dan prasarana seperti pembangunan jembatan, perbaikan jalan
raya, pendirian tempat peribadatan misalnya masjid dan gereja. Pada umumnya
desa yang belum tersentuh program pembangunan dari pemerintah pusat
diperhadapkan masalah jalan rusak sehingga mempersulit akses ke luar dari desa
untuk berbagai keperluan misalnya menjual hasil panen. Dengan demikian,

X-3
perbaikan jalan dan jembatan dapat mempermudah akses masyarakat sekitar
kawasan tambang dengan daerah luar.
Bidang kesehatan, pendirian puskesmas sangat membantu masyarakat
memperoleh pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya terlebih lagi
di kawasan pertambangan sangat sering dijumpai berbagai penyakit akibat polusi
dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam. Berbagai penyakit yang mungkin saja
menyerang masyarakat sekitar tambang, yaitu penyakit asma dan gangguan
pernafasan lainnya, kusta dan diare akibat pencemaran air dan udara. Oleh karena
itu, masyarakat perlu penanganan segera terlebih lagi jika terjadi kecelakaan kerja
oleh buruh tambang sehingga ketersediaan puskesmas dan perawat atau petugas
kesehatan menjadi suatu keharusan untuk menjamin kenyamanan masyarakat dan
karyawan atau buruh perusahaan.
Bidang pendidikan, pendirian sekolah di sekitar kawasan pertambangan akan
mempermudah generasi muda untuk melanjutkan sekolah tanpa perlu menempuh
perjalanan jauh untuk bersekolah. Sekolah tersebut diperuntukan bagi anak-anak
dari masyarakat sekitar dan anak-anak karyawan perusahaan. Selain itu,
perusahaan hendaknya mengeluarkan beasiswa misalnya beasiswa S1 untuk
mahasiswa yang berprestasi.
Yang terakhir adalah evaluasi untuk melihat keberhasilan program
pemberdayaan dalam menyentuh dan menyelesaikan permasalahan masyarakat.
Sehingga diperlukan feedback atau umpan balik dari masyarakat ke perusahaan.
Evaluasi tersebut juga sangat dibutuhkan perusahaan untuk membuat laporan
pertanggungjawaban perusahaan kepada pemerintah daerah dan pusat. Melalui
evaluasi diharapkan program pemberdayaan masyarakat dapat lebih ditingkatkan
dan diperbaiki kekuarangannya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera
sesuai tujuan CSR.

Bentuk CSR

Berdasarkan Pasal 1 PP 93 Tahun 2010, bentuk pengeluaran Corporate


Social Responsibility (CSR) yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari
penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib
pajak terdiri atas:

X-4
a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang
merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;

b.Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan


sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
sekitar tambang yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan.

c. Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa


fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan.

d. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan


sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu
atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan
melalui lembaga pembinaan olah raga; dan

e.Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan


untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan bersifat nirlaba.

X.2 Biaya Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Alyson Warhust, CSR didefinisikan sebagai upaya


sungguh-sungguh entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negative dan
memaksimalkan dampak positif operasi perusahaan seluruh pemangku
kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan. Definisi ini sesuai dengan konsep triple bottom
line atau piramida CSR Archie Carrol yang sangat terkenal.

Di dalam piramida tersebut dijelaskan bahwa tanggung jawab untuk


menjalankan bisnis sesuai dengan norma-norma positif yang didukung oleh
masyarakat luas dimana bisnis itu beroperasi ditaruh di tingkat tiga. Tingkat
pertama adalah tanggung jawab ekonomi (mencari keuntungan), kedua adalah

X-5
tanggung jawab untuk patuh terhadap hukum yang berlaku dan di puncak
piramida adalah tanggung jawab tambahan atau fiduciary.

Di Indonesia, Corporate Social Responsibility (CSR) diatur ketat dalam


regulasi melalui Pasal 74UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan
Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. CSR
tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajiban yang dilekati sanksi. Meskipun
hal tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena dianggap tidak
sesuai dengan konsep asli CSR yang sifatnya sukarela dan tidak diatur oleh
regulasi ataubeyond regulation. Meskipun demikian, CSR telah ditegaskan
sebagai kewajiban melalui PutusanMahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-VI/2008 yang sifatnya final dan binding. Pertanyaan yang muncul adalah,
bagaimana implementasi CSR sebagai kewajiban tersebut setelah dikeluarkannya
Putusan MK tersebut? Dampak apa sajakah yang timbul?

Masalah lain yang muncul adalah masalah penyediaan dana CSR terkait erat
dengan kondisi perpajakan, apabila dilihat dari perspektif perusahaan. Dari
sudut Pajak Penghasilan (PPh), perusahaan biasanya harus memilih strategi
sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang dipilih dapat
dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena pajak. Sementara dari
sudut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan biasanya memilih
strategitertentu sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak penerima
tidak terhutang PPN atau kalaupun terhutang diupayakan seminimal mungkin.

CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus
mereka bayarkan. Sederhananya, membayar pajak sekaligus mengeluarkan
anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan.
Perhitungan ekonomis akan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.

Oleh karena itu, para pengusaha mendorong Pemerintah untuk segera


mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atas implementasi Undang-Undang
(UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang pembebasan pajak dari tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Pasalnya, saat ini
perseroan terpaksa harus rela dipotong anggaran CSR-nya hanya untuk pajak
CSR sebesar 30-35%. Padahal, di Amerika Serikat misalnya, dengan
pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat sipil, maka perusahaan

X-6
yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam kategori 501 (c) 3, akan
mendapatkan pemotongan pajak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa negara
Eropa.

Oleh karena itu, kabar mengenai akan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP)
tentang pengurangan pajak yang drafnya selesai dibahas pada 30 November
mendatang mendapat banyak masukan dari para pengusaha. RPP ini merupakan
turunan dari UU No 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat atas UU No 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Di dalam RPP tersebut, donasi
untuk kegiatan sosial atau filantropi akan menjadi pengurang pembayaran pajak
penghasilan (PPh) pribadi maupun perusahaan. Para pengusaha berharap RPP
tersebut juga mengatur mengenai pengurangan pajak untuk program tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR).

Meskipun pemotongan pajak (tax deduction) merupakan bentuk yang popular


di luar negeri dan menjadi wacana yang hangat di negeri ini, namun
keberlakuannya di Indonesia tetap memerlukan pertimbangan
masak-masak. Pertama dan merupakan hal yang penting adalah pemotongan
pajak dapat menjadi isu yang sensitif dan berpotensi membuat jarak yang lebih
besar di antara perusahaan dan pemangku kepentingan saat ini yang sebenarnya
berada dalam kondisi yang dapat dikatakan low trust. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, bagaimanakah solusi atas permasalahan tersebut?

Kedua, pemotongan pajak yang merupakan salah satu bentuk insentif pajak
harus mempertimbangkan kinerja. Sistem insentif bagi yang berkinerja tinggi
haruslah diimbangi dengan sistem insentif bagi yang kinerjanya rendah demi
terciptanya keadilan

Perlakuan PPh Terhadap Biaya CSR Perusahaan


Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan terakhir
dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, telah mengatur tentang perlakuan
Pajak Penghasilan atas pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan dalam
rangka Corporate Social Responsibility (CSR). Ketentuan tentang hal ini diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, j, k, l, dan m, di mana ditegaskan bahwa besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
BUT), ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk

X-7
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk di antaranya
adalah :

 sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang


ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
 sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
 biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
 sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
 sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Bentuk CSR

Berdasarkan Pasal 1 PP 93 Tahun 2010, bentuk pengeluaran Corporate


Social Responsibility (CSR) yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari
penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib
pajak terdiri atas:

a.Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang


merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan
secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan
secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana
penanggulangan bencana;

Pengertian “bencana nasional” adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa


yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sedangkan yang dimaksud dengan “badan penanggulangan


bencana“ adalah badan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menampung,

X-8
menyalurkan, dan/atau mengelola sumbangan yang berkaitan dengan bencana
nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana.

b.Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan


sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah
Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan
pengembangan;

Yang dimaksud dengan “penelitian” adalah kegiatan yang dilakukan menurut


kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi,
data dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian
kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi
keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk penelitian di
bidang Seni dan Budaya.

Yang dimaksud dengan “pengembangan” adalah kegiatan ilmu pengetahuan


dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu
pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi,
manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau
menghasilkan teknologi.

Yang dimaksud dengan “lembaga penelitian dan pengembangan” adalah


lembaga yang didirikan dengan tujuan melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan di Indonesia termasuk perguruan tinggi terakreditasi.

c.Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa


fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;

Yang dimaksud dengan “fasilitas pendidikan” adalah prasarana dan sarana


yang dipergunakan untuk kegiatan pendidikan termasuk pendidikan
kepramukaan, olahraga, dan program pendidikan di bidang seni dan budaya
nasional.

Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan” adalah lembaga yang bergerak


di bidang pendidikan, termasuk pendidikan olah raga, seni dan/atau budaya,

X-9
baik pendidikan dasar dan menengah yang terdaftar pada dinas pendidikan
maupun perguruan tinggi terakreditasi.

d.Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan


sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu
atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan
melalui lembaga pembinaan olah raga; dan

Yang dimaksud dengan “lembaga pembinaan olahraga” adalah organisasi


olahraga yang membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau
gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi.

Yang dimaksud dengan “olahraga prestasi” adalah olahraga yang membina dan
mengembangkan atlit secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui
kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologi keolahragaan.

e.Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan


untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum
dan bersifat nirlaba.

Persyaratan Agar Dapat Dikurangkan

Pengeluaran CSR berupa sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk


sebagaimana disebutkan di atas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dengan syarat:

1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan


Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
2. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun
Pajak sumbangan diberikan;
3. didukung oleh bukti yang sah;
4. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali
badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
5. Penerima sumbangan dan/atau biaya CSR bukan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan dengan Wajib Pajak pemberi.

X-10
Nah, berdasarkan ketentuan tersebut, lima bentuk CSR yang pengeluarannya
dapat dibiayakan dalam rangka menghitung PPh terutang akan diatur oleh
Peratura Pemerintah. Walaupun Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 telah
berlaku sejak 1 Januari 2009, namun ternyata Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang perlakuan biaya CSR ini baru terbit tanggal 30 Desember 2010,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan
Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan
Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan
Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat
Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Penulis mencoba menyajikan kembali
ketentuan PP Nomor 93 Tahun 2010 ini dalam bentuk tulisan singkat di bawah
ini.

Penerapan terkait dengan point 2 ini PT Bauksit Jaya Sentosa per tahun
mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar Rp1.000.000.000,00. Setiap tahun
Wajib Pajak memberikan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga melalui
lembaga pembinaan olahraga sebesar Rp.40.000.000,00.

Batasan Biaya CSR Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan

Khusus untuk biayas CSR dalam bentuk infrastruktur social, besarnya nilai
sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1
(satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal
Tahun Pajak sebelumnya.

Penghasilan neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00 maka jumlah


sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5%
atau sebesar Rp3.000.000.000,00

Apabila Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00


maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar
Rp3.000.000.000,00.

X-11
Bentuk Sumbangan atau Biaya

Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional , penelitian dan


pengembangan , fasilitas pendidikan , dan dalam rangka pembinaan olahraga
dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. Yang dimaksud “barang” di
sini dapat berupa barang yang diproduksi atau diperoleh oleh Wajib Pajak
pemberi sumbangan.

Jika diberikan dalam bentuk barang, maka nilai sumbangan ditentukan


berdasarkan:

 nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;


 nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
 harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang
produksi sendiri.

Sementara itu, biaya pembangunan infrastruktur sosial diberikan hanya dalam


bentuk sarana dan/atau prasarana yang nilainya ditentukan berdasarkan jumlah
yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.

Kewajiban Pelaporan Penerima Sumbangan

Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima


sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional harus menyampaikan
laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk setiap triwulan.

Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya CSR selain dalam rangka


penanggulangan bencana nasional wajib menyampaikan laporan penerimaan
sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak
diterimanya sumbangan dan/atau biaya.

Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai NPWP


melaporkan sumbangan dan/atau biaya di atas sebagai lampiran laporan keuangan
pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.

X-12

Anda mungkin juga menyukai