NIM : 1807045005
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
c. Hipertensi Sistemik atau Pulmonal
Meningkatnya beban kerja jantung dan pada akhirnya
mengakibatkan hipertrophi serabut otot jantung. Efek tersebut
(hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme
kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung.
Tetapi untuk alasan yang tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi
tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhirnya akan terjadi
CHF.
d. Peradangan dan Penyakit Miokardium Degeneratif
Sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini
secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.
e. Penyakit Jantung Lain.
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran
darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
pericardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis katup AV),
peningkatan mendadak afterload akibat meningkatnya tekanan
darah sistemik (hipertensi‖malignan‖) dapat menyebabkan CHF
meskupun tidak ada hipertrofi miokardial.
f. Faktor Sistemik
Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya CHF meningkatnya laju metabolisme, (demam,
tirotoksikosis), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan
curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia atau anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis (respiratorik atau metabolik) dan abnormalitas
3
elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Disritmia
jantung juga dapat terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder
akibat CHF menurunkan efisiensi keseluruhan fungsi jantung.
3. Patofisiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2013), patofisiologi CHF yaitu:
Mekanisme yang mendasari Heart Failure (HF) meliputi gangguan
kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung
lebih dari curah jantung normal. Konsep curah jantung yang baik
dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO
: Cardiac Output) dalah fungsi frekuensi jantung (HR : Heart Rate) X volume
sekuncup (SV : Stroke Volume). Frekuensi jantung adalah fungsi
sistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, sistem saraf simpatis
akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan
perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Tetapi pada CHF dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut
otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup jumlah darah yang
dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor; preload;
kontraktilitas dan afterload. Preload adalah sinonim dengan hukum
Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang
mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan
oleh panjangnya regangan serabut jantung. Kontraktilitas mengacu pada
perubahan kekuatan kontraktilitas yang terjadi pada tingkat sel dan
berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium. Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriole. (Brunner and Suddarth, 2013).
4
5
4. Tatalaksana
6
7
B. DIABETES MELITUS (DM)
1. Definisi
Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang ditandai dengan
hiperglikemia kronis sebagai akibat dari terganggunya sekresi insulin,
kerja insulin, atau keduanya dan mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Simptom yang dapat
muncul berupa polidipsi, poliuri, polifagi, penglihatan yang kabur,
dan hilangnya berat badan. Pada beberapa kasus yang berat dapat
menyebabkan pingsan, koma, dan kematian apabila tidak di terapi
dengan efektif (WHO, 1998).
2. Etiologi
Kelainan, gangguan, atau proses ditentukan oleh jenis etiologi yang
nantinya mengakibatkan diabetes melitus.
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan karena proses destruksi sel
beta dimana insulin dibutuhkan untuk bertahan hidup dalam
mencegah perkembangan ketoasidosis, koma, dan kematian. Tipe
1 atau tipe idiopati ditandai dengan adanya anti-GAD, sel pulau Langerhans, atau
antibodi insulin yang berperan pada proses
autoimun yang mengakibatkan kerusakan pada sel beta.
b. Diabetes melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 adalah tipe yang paling sering ditemukan
pada penderita diabetes dan ditandai dengan kelainan kerja dan
sekresi insulin.
c. Diabetes melitus tipe lain
- Kelainan genetik pada kerja insulin
- Kelainan genetik pada fungsi sel beta
- Penyakit pankreas eksokrin
- Endokrinopati
8
- Diabetes karena obat atau bahan kimia
- Infeksi
- Imun
- Sindrom genetik (WHO, 1998)
d. Diabetes melitus gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes pada wanita saat kehamilan.
Wanita dengan diabetes tipe 1 saat kehamilan dan wanita dengan
diabetes tipe 2 asimptomatik tidak terdiagnosis namun ditemukan
pada saat kehamilan diklasifikasikan sebagai diabetes melitus
gestasional (Baynest, 2015).
3. Patofisiologi
a. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes tipe 1 ditandai dengan destruksi sel yang menghasilkan
insulin oleh sel T CD4+ dan CD8+ dan makrofag. Diabetes
melitus tipe 1 diklasifikasikan sebagai penyakit autoimun. Sekitar
85% penderita memiliki antibodi sel Langerhans dan antibodi antiinsulin
sebelum menerima terapi insulin. Pada tipe 1, antibodi sel
Langerhans bertentangan dengan glutamic acid decarboxylase
(GAD) dalam sel beta pankreas.
Defisiensi insulin yang disebabkan oleh destruksi sel beta
pankreas menyebabkan gangguan metabolik. Akibat dari
kehilangan insulin, fungsi dari sel alfa pankreas juga terganggu
dan terjadi kelebihan sekresi glukagon pada penderita. Normalnya,
hiperglikemia dapat menekan sekresi glukagon, namun hal ini
tidak terjadi pada pasien diabetes tipe 1, melainkan tingginya level
glukagon dapat memperburuk terganggunya metabolik. Selain
defisiensi insulin, juga terdapat gangguan pada administrasi
insulin. Defisiensi insulin mengakibatkan tidak terkontrolnya
lipolisis dan peningkatan dari asam lemak bebas di plasma, yang
9
menekan metabolisme glukosa pada jaringan perifer, seperti otot
skeletal. Kelainan-kelainan ini mengakibatkan penurunan ekspresi
gen terhadap jaringan target untuk merespon insulin, seperti glukokinase di
hati dan GLUT 4 pada jaringan adiposa sehingga
terbentuk gangguan metabolik.
b. Diabetes mellitus tipe 2
Pada diabetes tipe 2 terdapat gangguan sekresi insulin karena
disfungsi sel beta pankreas dan kerja insulin akibat adanya
resisten. Pada keadaan resistensi insulin, sel beta dapat
meningkatkan suplai insulin dan mengkompensasi kelebihan
kebutuhan. Konsentrasi insulin dalam plasma, baik puasa atau
setelah makan, tidak cukup untuk menjaga homeostasis glukosa
normal. Gangguan toleransi glukosa disebabkan oleh resistensi insulin dan
hiperinsulinemia.
Defisiensi insulin berhubungan dengan resisten insulin perifer.
Resisten pada insulin mengakibatkan gangguan penyerapan
glukosa di perifer (otot dan lemak), ketidaksempurnaan penekanan
glukosa hepatik, dan gangguan penyerapan trigliserida, sehingga
sel pulau Langerhans meningkatkan sekresi insulin (Baynest,
2015).
10
4. Tatalaksana
11
12
13
C. ULKUS DM
1. Definisi
Ulkus diabetikum adalah abnormalitas saraf dan terganggunya
pembuluh darah arteri perifer yang dapat mengakibatkan infeksi,
tukak, dan destruksi jaringan kulit pada kaki pasien diabetes melitus
(Roza, Afriant, & Edward, 2015).
Ulkus diabetikum dikenal sebagai beban baik pada aspek ekonomi,
sosial, maupun medis, dan telah menjadi alasan utama penderita
diabetes untuk berobat ke rumah sakit. Penderitaan dan penurunan
kualitas hidup merupakan penyebab utama morbiditas yang dirasakan
pada penderita ulkus diabetikum. Diperkirakan dari semua penderita
diabetes, terdapat 15% kemungkinan terjadinya ulkus diabetikum
(Brenyah, Ephraim, Eghan et al., 2014).
2. Klasifikasi
14
3. Patogenensis
Ulkus diabetikum muncul dari beberapa penyebab. Neuropati perifer
dan iskemia akibat penyakit vaskular perifer merupakan penyebab
utama yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetikum.
a. Neuropati
Neuropati adalah penyebab yang mendasari ulkus diabetikum
dengan presentase lebih dari 60%. Jalur poliol adalah
mekanisme yang sering di jelaskan dalam hal ini. Dalam
perkembangan neuropati, terjadi peningkatan kerja enzim aldose
reduktase dan sorbitol dehidrogenase yang dapat mengkonversi
glukosa intraselular menjadi sorbitol dan fruktosa akibat
keadaan hiperglikemia. Produksi gula yang terakumulasi
menyebabkan penurunan sintesis sel saraf myoinositol, yang
dibutuhkan untuk konduksi neuron normal. Peningkatan stres
oksidatif pada sel saraf dan vasokonstriksi akan berkembang
menjadi iskemik akibat penipisan nikotinamida adenin
dinukleotida fosfat yang disebabkan oleh konversi kimia dari
glukosa. Hiperglikemia dan stres oksidatif ikut berkontribusi
dalam mengakibatkan disfungsi saraf dan iskemik. Terdapat
gejala neuropati motoris, autonom, dan sensoris pada penderita
dengan diabetes (Clayton & Elasy, 2009).
- Neuropati sensorik
Hilangnya sensasi suhu, propriosepsi, dan trauma yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya ulkus kaki
- Neuropati motorik
Terbentuk deformitas pada tulang sehingga terganggunya
mobilitas dan dapat meningkatkan risiko terjadinya ulkus
akibat tekanan pada plantar kaki.
15
- Neuropati autonom
Kulit kering dan meningkatnya pengisian kapiler sekunder
merupakan tanda dari neuropati autonom sehingga
terbentuknya fisura dan kerak kulit mengakibatkan kaki rentan
terhadap trauma. Hilangnya akson, penurunan kecepatan
induksi, parestesia, penurunan refleks otot, dan atrofi otot yang
disebabkan penimbunan sorbitol dan fruktosa juga dapat
menjadi pencetus (Kartika, 2017).
b. Penyakit Vaskular
Faktor yang berkontribusi dalam perkembangan ulkus
diabetikum adalah Peripheral Arterial Disease (PAD). Akibat
keadaan hiperglikemia yang persisten, sel endotel dan otot polos
menjadi tidak berfungsi. Pada hiperglikemia, terjadi
peningkatan tromboksan A2, vasokonstriktor, dan agregasi
platelet yang dapat meningkatkan risiko hiperkoagulasi.
Merokok, hipertensi, dan hiperlipidemia merupakan faktor
risiko pada penderita diabetes dan berkontribusi dalam
perkembangan PAD sehingga dapat menyebabkan iskemia pada
ekstremitas inferior dan meningkatkan risiko ulserasi pada
penderita diabetes (Clayton & Elasy, 2009).
4. Tatalaksana
Dalam pengelolaan ulkus diabetikum, ada berbagai faktor yang
harus ditangani dengan baik.
a. Wound control
Debridement yang adekuat dilakukan untuk mengurangi jaringan nekrotik,
sehingga berkurangnya produksi pus/cairan dari ulkus diabetikum. Tindakan
debridement dapat mencegah tumbuhnya bakteri pada jaringan nekrotik
yang menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan luka.
16
Metode yang dapat digunakkan adalah mekanikal, surgikal, enzimatik,
autolisis, dan biokemis. Metode autolysis debridement adalah metode yang
paling efektif yang dilakukan dengan cara meluruhkan jaringan nekrotik dalam
keadaan lembab, sehingga enzim proteolitik dapat melepas jaringan nekrosis
secara selektif. Dressing dilakukan sesuai keadaan dan lokasi luka. Luka
produktif dan terinfeksi dapat menggunakan hydrophilic fiber dressing
atau silver impregnated dressing. Untuk mengurangi mikroba, dapat diberikan
terapi topikal dan cairan normal saline untuk membersihkan luka. Pemberian
preparat enzim digunakkan untuk pembersihan jaringan nekrotik dengan cepat.
b. Microbiological-infection control
Perlu dilakukan pendataan mengenai pola bakteri sehingga dapat disesuaikan
dengan pemberian antibiotik. Menurut ACSAP 2013.
c. Mechanical control-pressure control
Saat berjalan, luka yang mendapat tekanan akan susah
sembuh. Dalam mengurangi tekanan, terdapat berbagai cara
surgikal yang dapat dilakukan, seperti melakukan insisi
abses sebagai dekompresi ulkus/gangren dan koreksi bedah (Kartika, 2017).
17
18
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO RM
INSTALASI FARMASI
Tekanan Darah (mm Hg) 172/80 140/90 160/110 140/100 160/90 160/90 214/123
Nadi (kali per menit) 117 90 100 100 80 82 130
Suhu Badan (oC) 37 37 37 36.5 36.5 36 36
Respirasi (kali per menit) 26 20 20 20 20 20 24
Nyeri kaki kiri √ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
KELUHAN
Susah tidur
Mual √ ↓ ↓ ↓ ↓ ↓
Kesadaran Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup buruk
Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai Normal 16/7/19 18/7/19 19/7/19 20/7/19 22/7/19
Laboratorium Rutin
Miniaspi 80 mg 1 x 80 mh √ √ √ √ √ √
Metformin 500 mg 2 x 500 mg √ √ √ √ √ √
Alprazolam 0,5 mg 1 x 0.5 mg √ √ √ √ √ stop
Concor 2.5 mg 1 x 2.5 mg √ √ √ √ √
Valsartan 80 mg 2 x 80 mg √ √ √ √
Digoxin 1 x 0,5 mg √
Spironolacton 1 x 25 mg √ √
19
Citicolin 2 x 1 gram √
NaCl 0,9 % 20 tpm √ √ √ √ √ √ √
02 3 lpm √ √ √ √ √ √ √
BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
20
- Metronidazole, valsartan, bisoprolol dan nifedipin - Pemantauam terapi
meningkatkan kadar digoxin > toksisitas digoxin obat
meningkat - Edukasi terapi
- Aspirin menurukan efektivitas bisoprolol dan valsartan >
tekanan darah ↑
21
BAB II
PEMBAHASAN
Ny. Ombah (69 tahun) dengan riwayat DMdan hipertemsi tidak terkontrol
MRS pada tanggal 16 juli 2019 dengan keluhan nyeri kaki kiri terdapat ulkus DM,
kesadaran menurun, tidak nyambung diajak komunikasi, dan gangguan irama jantung.
pasien merupakan rujukan dari RSUD banjar. Di RSUD banjar mendapatkan terapi
infus NaCl , metronidazole 3 x 500 mg, ceftriaxone 2 x 1 gram, ketorolak 3 x 30 mg,
heparin 15.000 IU, ISDN 1 x 5 mg.
22
sulfonylurea maupun meglitinid. pemberian ADO metformin sudah dapat mengontrol
gula darah sewaktu pasien dilihat dari hasil pemriksaan pada awal masuk sampai
tanggal 20 juli GDS pasien dibawah 200 mg∕dL. Namun kadar glukosa puasa pasien
tinggi 275 mg∕dL diatas normal sehingga terdapat DRP pemberian obat yang tidak
adequate bila hanya menggunakan ADO oral untuk mengatasi hiperglikemik. Maka
perlu penambahan obat untuk mengontrol glukosa pasien yaitu preparat insulin basal
6-10 unit untuk manula kurus melihat konsidisi pasien GDP masih belum terkontrol.
23
Metronidazole merupakan antibiotik golongan nitroimidazole yang memilikili tiga
sifat yaitu bakterisid, amebisid, trikomonosid. Obat ini dalam mikroorganisme akan
mengalami reduksi menjadi bentuk polar (bentuk aktif) yang dapat menghambat
sintesis asam nukleat sehingga bakteri tidak dapat berkembang biak. Untuk terapi ulkus
DM obat ini diberikan bertujuan untuk melawan bakteri anaerob dilihat dari bakteri
penyebab ulkus terdapat juga bakteri anaerob. Penggunaan antibiotik empirik pada
kasus ulkus DM yaitu selama 5-7 hari jika tidak ada perbaikan dan tanda tanda infeksi
masih terjadi maka perlu dilakukan kultur dan sensitivitas antibiotik. Untuk terapi
pemilihan antibiotic sudah sesuai dengan guideline yang ada dan tidak terdapat DRP.
Problem medik CHF disertai AF dan tekanan darah tinggi diterapi dengan
furosemide, nifedipine, bisoprolol, valsartan, spironolakton dan digoxin. Pasien
dikategorikan dalam kelas 4 menurut NHYA dengan tanda sesak napas masih
walaupun saat bedrest. CHF atau dikenal juga dengan sebutan decomcordis dimana
jantung gagal memenuhi kebutuhan perfusi darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan
karena berbagai faktor diantaranya karena adanya riwayat penyakit hipertensi yang
tidak terkontrol, DM yang menambah beban kerja jantung karena viskositas darah
meningkat sehingga jantung bekerja lebih keras untuk memompakan ke seluruh tubuh.
Karena tubuh berusaha melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan afterload
dan preload agar volume darah meningkat untuk meningkatkan suplai ke seluruh tubuh
melalui aktivasi RAAS dengan stimulasi pelepasan angiotensin oleh hati diubah
menjadi angiotensin 1 oleh renin yang dilepaskan dari ginjal. Paru paru melepaskan
enzim ACE yang mengubah angiostensin(AT) 1 menjadi 2. AT 2 menstimulasi
pelepasan aldosteron di ginjal dan vasopressin menyebabkan retensi Natrium dan air >
preload meningkat sehingga tekanan arteri ikut meningkat, aldosteron yang distimulasi
dari adrenal korteks akan meningkatkan reabsorbsi cairan dan elektrolit diginjal.
Menurunnya cardiac output akan meningkatkan aktivitas adrenergic simpatik yang
dengan merangsang pengeluaran katekolamin dan saraf saraf adrenergik jantung dan
medula adrenal. Katekolamin berefek langsung pada jantung merangsang kontraktilitas
24
denyut jantung. Pada awalnya respon kompensasi sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan, namun pada akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan
gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Resistensi
jantung yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas dini menyebabkan
terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokonstriksi arteri dan
redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskuler yang
terkena, serta menimbulkan gejala dan tanda (kekurangan jumlah keluaran urine dan
kelemahan tubuh). Vasokonstriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel, beban akhir juga meningkat karena
dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan miokard akan oksigen
(MVO2) juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut
akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan ini tidak dapat
dipenuhi dengan meningkatkan suplai oksigen miokardium maka akan terjadi iskemia
miokard. Akhirnya dapat timbul beban miokard yang tinggi dan serangan gagal jantung
yang berulang. Hipertropi yang terjadi biasanya pada jantung bagian left ventrikel
hipertropi (LVH). Pasien diterapi untuk CHF nya menggunakan furosemide,
nifedipine, bisoprolol, valsartan, spironolakton dan digoxin. Furosemid berfungsi
untuk menurunkan preload sehingga menurunkan beban jantung dan juga mengurangi
retensi cairan dan sesak napas karena oedem pulmo dengan mekanisme menghambat
reabsorbsi Na , Cl dan H2O pada lengkung henle yang merupakan tempat terjadinya
reabsorbsi cairan dan elektrolit. Furosemid termasuk dalam golongan diuretic kuat
sehingga semua elektrolit tidak terabsorbsi kembali termasuk kalium. Spironolakton
merupakan golongan yang sama dengan furosemid (diuretic agent) namun dengan
mekanisme yang berbeda lokasi penghambatan absorbsi yaitu ditubulus distal.
Ditubulus distal hanya terjadi absorbs natrium saja tidak dengan elektrolit lainya.
Sehingga dikatakan sebagai diuretic hemat kalium. Spironolacton memblokade
reseptor yang berikatan dengan aldosterone dan kortikosteroid yang lainya sehingga
sering juga disebut sebagai golongan Mineralcorticosteroids Receptor Antagonist
(MRA). Bisoprolol golongan beta bloker cardio selektif pada CHF berfungsi
25
Menurunkan oksigen demand, namun tidak meningkatkan oxygen supply dan Reflek
takikardi dari nitrat dapat dihilangkan oleh beta bloker sehingga sering
dikombinasikan. Mekanisme kerja bisoprolol Pada reseptor beta 1 di jantung melalui
penghambatan kompetitif terhadap efek katekolamin endogen pada myocardium:
menurunkan frekuensi denyut jantung, menurunkan kontraktilitas, menurunkan
tekanan darah +mempunyai efek penghambatan terhadap platelet. Nifidipine
digunakan untuk mengatasi kegagalan diastolik, meningkatkan relaksasi dan pengisian
ventrikel tetapi tidak dianjurkan untuk CHF kronik, tekanan darah pasien yang belum
mencapai target atau goals terapi <150∕90 mmHg walaupun sudah diberikan furosemid,
bisoprolol, valsartan. Nidedipine merupakan golongan CCB dihidropiridin bekerja
dengan cara menghambat kanal kalsium sehingga calcium tidak dapat masuk ke dalam
sel jantung> menurunkan kontraktilitas ventrikel jantung. Valsartan merupakan lini
kedua setelah diuretic untuk kondisi CHF dengan mekanisme kerja pada RAAS
berkompetesi dengan angiotensin II yang telah terbentuk untuk berikatan dengan
reseptor angiostensin yang dapat memicu pelepasan aldosteron, vasopressin dan
kontraksi arteriol. IDN digunakan untuk vasodilatasi pembuluh darah sehingga darah
dapat mengalir dengan baik dan tekana perifer berkurang. Digoxin digunakan untuk
terapi atrial fibrilasi pada pasien CHF kategori apapun bertujuan untuk mengontrol
respon ventrikel . Digoxin termasuk dalam golongan obat intropic yang memiliki
indeks terapi sempit sehingga perlu monitoring ketat tanda tanda toksistas digoxin
seperti takikardi, hiperkalemia dan mual muntah dan pandangan kabur. Bekerja dengan
beberapa mekanisem : meningkatkan kontraktilitas miosit jantung melalui peningkatan
kadar kalsium intraseluler dengan cara menghambat enzim Na-K-ATPase sehingga
meningkatkan jumlah natrium didalam sel. Na calcium Exchanger kemudian mencoba
untuk mengeluarkan natrium dan membawa masuk kalsium ke dalam sel sehingga
konsentrasi kalsium meningkat yang dapat mengaktivasi protein contractile seperti
aktin dan myosin(otot jantung), mengurangi reuptake katekolamin diujung terminal
saraf. Satu ion kalsium yang masuk ke dalam sel maka 3 ion Natrium keluar dari dalam
sel Terapi tambahan yang diberikan yaitu pemberian antipaltelet aspirin dengan CHF
26
disertai AF dan pasien memiliki faktor resiko tinggi cardioembolic stroke (DM,
hipertensi) rekomendasi AHA merekomendasikan untuk menggunakan antikoagulan
seperti warfarin, dabigatran, apixaban, or rivaroxaban atau antikogulan yang lain.
Pemberian terapi CHF kelas 4 sudah sesuai dengan guideline, DRP yang ditemukan
potensial interaksi obat > aspirin+valsartan+bisoprolol yang menggangu
keseimbangan elektrolit kalium sehingga perlu monitoring kadar elektrolit.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur and Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
27
Sibuea, Herdin dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Ed. 2. Jakarta : Rineka Cipta.
28