Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Pemanfaatan bahan alam terutama tumbuhan sebagai obat tradisional telah

lama dilakukan masyarakat dan sampai saat ini tetap merupakan salah satu pilihan

dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit. Dewasa ini, para ahli kesehatan

mulai banyak menggunakan ekstrak maupun simplisia dari tumbuhan sebagai alternatif

untuk berbagai macam pengobatan disamping penggunaan obat paten maupun generik.

Hal ini telah mendorong para ahli untuk mempelajari kandungan senyawa kimia yang

terdapat dalam tumbuhan tersebut, khususnya senyawa metabolit sekunder yang

diduga memiliki aktivitas bilogis tertentu.

Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh tumbuhan, mikrobia

atau hewan melewati proses biosintesis yang digunakan untuk menunjang kehidupan

namun tidak vital sebagaimana gula, asam amino dan asam lemak. Metabolit ini

memiliki aktivitas farmakologi dan biologis. Di bidang farmasi secara khusus,

metabolit sekunder digunakan dan dipelajari sebagai kandidat obat atau senyawa

penuntun (lead compound) untuk melakukan optimasi agar diperoleh senyawa yang

lebih poten dengan toksisitas minimal (Saifudin, 2014).

Newman dan Cragg (2016) menyatakan bahwa pada rentang tahun 1981-2010,

4.4% dari 1355 obat-obatan yang beredar berasal dari pemurnian bahan alam dan 0.4%

ekstrak dan 43% merupakan senyawa alami yang dimodifikasi. Terkhusus pada area

obat kanker, 74% obat yang digunakan secara klinik berasal dari ekstrak senyawa alami

atau modifikasi senyawa alami. Jika digabungkan dengan senyawa tiruan (mimick),
vaksin dan ekstrak, maka kontribusi bahan alam dalam penyediaan bahan obat lebih

dari 50%. Dengan demikian tampak sekali peran metabolit sekunder di dalam

penyediaan obat.

Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai sumber bahan obat-obatan oleh

masyarakat adalah Merremia peltata (L.) Merr., atau di Minangkabau dikenal dengan

nama Aka Lambuang famili Convolvulaceae. Secara tradisional, daun Merremia

peltata (L.) Merr., digunakan oleh masyarakat Maluku Utara dengan meminum air

perasan daunnya untuk wanita pasca bersalin. Batang dari tumbuhan ini juga digunakan

sebagai obat batuk dengan meminum air rebusannya dan juga digunakan untuk

memperbanyak ASI bagi wanita menyusui dengan meminum air tumbukan batang

tumbuhan tersebut (Susiarti, 2015). Selain itu, kulit batangnya juga bermanfaat untuk

mengobati luka dengan cara menempelkan kulit batang tersebut ke bagian tubuh yang

luka (Nurraini, 2015). Selanjutnya di Maluku Utara tumbuhan ini juga digunakan

sebagai antikanker khususnya kanker payudara dengan cara meminum air rebusannya.

Daun ini juga digunakan untuk pengobatan luka dan bengkak, terutama pada nodus

limfatis dengan cara menempelkan daun yang sudah dihaluskan pada permukaan kulit

yang sakit. Di Sumatera Barat daun ini juga digunakan sebagai obat diare, sakit perut,

batuk, sakit mata, luka, radang, dan pengompres luka (Alen et al, 2012).

Di Kalimantan Timur, tumbuhan ini digunakan masyarakat untuk mengobati

bagian tubuh yang bengkak akibat gigitan serangga (Rahayu, 2007). Tumbuhan

Merremia peltata (L.) Merr., juga bermanfaat untuk mengobati kaki gajah, demam,

rhinitis dan inflamasi pada mata oleh masyarakat Papua New Guinea (Waruruai, 2011).
Di kepulauan Vanuatu, sebuah negara kepulauan yang terletak di Selatan

Lautan Pasifik menggunakan daun dari tumbuhan ini untuk membantu proses kelahiran

dengan cara mencampurkan daun Merremia peltata dan Merremia odorata, yang

kemudian diperas dan diminum air perasannya (Bourdy and Walter, 1992). Lebih lanjut

(Ruslin dan Sahidin, 2008) melalui kajian etnobotaninya, bahwa Suku Tolaki di

Sulawesi Tenggara memanfaatkan tumbuhan ini untuk mengobati ketombe dan

penyakit kulit sedangkan khusus bagian akarnya digunakan untuk pengobatan kencing

nanah, raja singa, pembersih darah dan keputihan. Selain itu daunnya untuk mengobati

bisul, anti-emetik, bengkak dan rematik.

Hasil uji skrining fitokimia daun segar diketahui bahwa tumbuhan ini memiliki

kandungan metabolit sekunder berupa terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik

(Honesty, 2012). Pada penelitian sebelumnya, pengujian aktivitas antibakteri juga telah

dilakukan dengan menggunakan fraksi heksan, fraksi etil asetat dan fraksi sisa terhadap

bakteri Staphylococcus aureus yang menunjukkan aktivitas pada Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) masing-masing 500 ppm sedangkan dengan menggunakan fraksi

yang sama terhadap bakteri Eschericia coli menunjukkan aktivitas pada Konsentrasi

Hambat Minimum (KHM) masing-masing 1000 ppm (Alen et al, 2012). Pengujian

aktivitas antibakteri ekstrak etanol Merremia peltata (L.) Merr., juga dilakukan (Perez

et al., 2015) terhadap bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis

) dan bakteri Gram negatif (Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa)

menunjukkan hasil yang signifikan dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut.

Selain itu, juga telah dilakukan uji sitotoksik menggunakan Brine Shrimp Lethality
Method menunjukkan nilai LC50 ekstrak daun Aka Lambuang 19,678 ppm, fraksi n-

heksan 22,029 ppm, fraksi etil asetat 130,918 ppm (Alen et al., 2016).

Dengan adanya potensial aktivitas antibakteri dari fraksi etil asetat daun

tumbuhan Merremia peltata (L.) Merr., maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian lanjutan dengan melakukan isolasi dan karakterisasi senyawa metabolit

sekunder serta uji aktivitas antibakteri dari fraksi etil asetat daun tumbuhan Merremia

peltata (L.) Merr., sebagai agen aktif antibakteri, sehingga senyawa aktif yang

didapatkan nantinya dapat digunakan sebagai lead compound dalam upaya pencarian

sumber antibakteri baru.

Anda mungkin juga menyukai