Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pengertian Fermentasi dan Prosesnya


Pengertian proses fermentasi secara umum pada dasarnya telah dikenal
cukup lama sejak umat manusia mampu memanfaatkan jasa ragi (yeast) dalam
pengawetan buah-buahan, pembuatan malt dari bahan biji-bijian, atau pembuatan
minuman bir. Proses fermentasi telah berkembang dari zaman dahulu hingga zaman
sekarang. Melalui proses fermentasi manusia mampu mengubah suatu bahan atau
senyawa kimia menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan
memanfaatkan jasa mikroorganisme. Proses pembuatan bir telah dikembangkan
dari zaman kuno, sedangkan proses fermentasi yang berkembang saat ini adalah
prose fermentasi yang bertujuan untuk memproduksi obat-obatan atau fermentasi
untuk menghasilkan single cell protein yang bermanfaat (Bachruddin, 2014).
Fermentasi secara umum diartikan sebagai suatu proses konversi gula
menjadi asam organik atau alkohol. Istilah fermentasi digunakan pada proses yang
melibatkan mikroorganisme seperti bakteri, yeast, dan fungi untuk menghasilkan
produk yang berguna bagi manusia. Pengertian proses fermentasi dalam biokimia
merupakan perombakan senyawa organik pengahasil energi. Industri mikrobiologi
memiliki pengertian yang lebih mengacu pada proses pertumbuhan sel dengan
kuantitas yang besar, baik pada kondisi aerobik maupun anaerobik. Fermentasi
dalam dunia industri mikrobiologi digunakan sebagai proses penghasil energi.
Senyawa-senyawa organik bertindak sebagai donor dan sebagai aseptor elektron.
Produk fermentasi dari mikroorganisme dapat berupa matabolit primer dan
metabolit sekunder. Produk fermentasi juga dapat berupa produk rekombinan dan
produk biotransformasi di dalam skala industri besar (Nurhadianty dkk, 2018).
Cuka buah merupakan salah satu produk pangan fermentasi yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengawet, karena kandungan asam asetat bersifat
sebagai anti mikroorganisme yang berbahaya. Cuka fermentasi berasal dari cairan
fermentasi yang dihasilkan oleh aktifitas mikroorganisme pada jaringan-jaringan
karbohidrat. Cuka dapat terbuat dari jenis buah-buahan seperti anggur, pisang, apel,
dan buah-buahan lainnya yang mengandung gula ataupun alkohol (Orey, 2008).
Pembuatan cuka dari sari cuka apel merupakan salah satu contoh fermentasi buah-
buahan yang diproses secara organik. Apel cider vinegar berasal dari gula pada apel
yang dipecah oleh mikroorganisme bakteri dan jamur. Proses bermula dengan
tahapan perubahan gula menjadi alkohol. Alkohol yang terfementasi menjadi cuka
apel bermanfaat sebagai zat antibakteri dan antiseptik untuk keperluan kebersihan.
Proses pengolahan cuka terjadi dua kali proses fermentasi yaitu fermentasi
pembentukan alkohol dengan yeast Saccharomyces cerevisiae. Fermentasi pertama
terjadi perombakan senyawa glukosa menjadi alkohol dan gas CO2 dengan reaksi
yang terjadi adalah secara anaerob. Etanol adalah hasil fermentasi yang utama,
selain asam laktat, asetaldehid, gliserol dan asam asetat. Etanol yang diperoleh
maksimal sekitar 15%, untuk menginginkan etanol 95% dilakukan proses distilasi.
Etanol digunakan untuk minuman, zat untuk pembunuh kuman, bahan bakar dan
pelarut. Fermentasi yang kedua adalah proses perubahan alkohol menjadi asam
asetat dan air dengan bakteri Acetobacter aceti. Reaksi yang terjadi adalah reaksi
aerob, tidak seperti tahap fermentasi yang pertama. Pembentukan asam asetat pada
proses fermentasi terjadi dengan perubahan senyawa etanol menjadi asam asetat
melalui pembentukan senyawa asetaldehid (Kwartiningsih dan Mulyati, 2005).

2.2. Fermentasi Metode Cepat dan Metode Lambat


Pembuatan cuka dibagi menjadi dua metode, yaitu metode lambat (Orleans
atau French method) dan metode cepat (German method). Metode-metode tersebut
masing-masing punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode Orleans
biasanya digunakan untuk buah-buahan seperti apel, nanas, pisang, dan anggur.
Metode German digunakan untuk senyawa berbentuk alkohol cair misalnya etanol.
2.2.1. Fermentasi Metode Lambat
Cuka buah didapatkan dengan metode lambat. Proses fermentasi lambat
adalah salah satu teknik pembuatan cuka tertua, sebuah prinsip yang dikenal sejak
zaman dahulu kala. Jus atau sari apel yang awalnya difermentasi ditempatkan dalam
wadah dengan rasio diameter dan tinggi yang berbeda. Sari apel didiamkan selama
tujuh hari. Tujuh hari berlalu dan selama proses fermentasi asetat dipicu, cairan
selanjutnya dialirkan ke bejana lain yang berbeda (Dabija dan Hatnean, 2014).
Gambar 2.1. Bejana pada Fermentasi Metode Lambat
(Sumber: Bekatorou, 2019)

Menurut Istianah dkk (2018), metode lambat adalah metode dimana proses
fermentasi berlangsung spontan dengan membiarkan media terbuka pada suatu
wadah kayu. Bakteri yang berperan adalah bakteri asetat yang berasal dari udara.
Rendahnya pH pada media menjadikan bakteri yang tidak tahan terhadap pH rendah
tidak dapat tumbuh pada media sehingga bakteri yang dapat tumbuh adalah bakteri
asetat. Media yang ditambahkan pada wadah tidak melebihi dua per tiga kapasitas
wadah sehingga terdapat udara yang cukup untuk pertumbuhan bakteri asetat.
Pengisian bejana dilakukan sampai cairan menempati 50-70% dari total
volume bejana. Fermentasi asetat metode lambat berpengaruh pada permukaan
cairan, di mana konsentrasi oksigen terlarut cukup untuk memastikan konversi
alkohol menjadi bakteri asetat. Fermentation veil selanjutnya terbentuk, di mana
jumlah bakteri acetic aktifnya tinggi. Fermentasi berlangsung antara 8 hingga 14
minggu, tergantung pada komposisi awal larutan alkohol, suhu fermentasi, sifat
mikroorganisme, dan kontak cairan dengan udara (Dabija dan Hatnean, 2014).
Hasil dari proses fermentasi apel menghasilkan cuka sebesar 60-70% dari
volume awal, yang kemudian dapat diganti dengan bahan baku baru dan proses
fermentasi asetat dapat diulangi. Proses fermentasi lambat menghasilkan cuka
bernilai 4-7 derajat asetat. Kualitas cuka yang dihasilkan melalui metode lambat
lebih memiliki keunggulan daripada yang diperoleh dengan menggunakan metode
cepat. Fermentasi lambat lebih disukai untuk mendapatkan cuka apel dan jenis cuka
lain yang berasal dari buah-buahan. Kelebihan metode lambat adalah prosesnya
sangat sederhana walaupun kualitas asam asetat yang dihasilkan berkualitas bagus.
Kelemahan metode lambat adalah prosesnya bisa berlangsung sangat lama bisa
berminggu-minggu bahkan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Metode lambat
menghasilkan nilai rendemen tinggi sebesar 75-85% (Dabija dan Hatnean, 2014).
2.2.2. Fermentasi Metode Cepat
German method atau fermentasi metode cepat adalah metode improvisasi
dari produksi cuka yang menyangkut tentang laju reaksi dan yield asam asetat.
Metodenya hampir mirip dengan metode lama, dengan perbedaan utama yaitu
sistem aerasi paksa yang diterapkan pada lubang-lubang pada bagian bejana. Cairan
alkohol di semprotkan pada bagian atas bejana dengan menggunakan mekanisme
penyemprotan untuk meningkatkan kontak permukaan dengan bakteri asam asetat,
dan cairan turun karena gravitasi. Panas yang ditimbulkan oleh reaksi oksidasi akan
diambil dengan pendingin. Pendingin dipasang pada aliran recycle cairan campuran
yang mengandung cuka dari bagian bawah bejana. Bakteri asetat biasanya akan
berhenti memproduksi asam asetat jika kadar asam asetat telah mencapai 12-14%.
Aliran udara pada bejana dialirkan secara countercurrent (Bekatorou, 2019).

Gambar 2.2. Bejana pada Fermentasi Metode Cepat


(Sumber: Bekatorou, 2019)

Waktu yang dibutuhkan untuk proses fermentasi adalah 3-7 hari dengan
termperatur 27-30°C. Temperatur reaksi pada bejana harus di kontrol karena proses
oksidasi dapat melepas panas yang bisa membahayakan bakteri dan menghentikan
proses fermentasi. Metode cepat menghasilkan konsentrasi asam asetat yang lebih
tinggi dan bisa mencapai hingga 14% pada tingkat yang lebih tinggi. Hasil produk
akhir umumnya dianggap berkualitas baik diproduksi dengan cara pengenceran
yang sesuai dengan air. Keuntungan utama metode cepat dibandingkan dengan
metode yang lambat adalah ruang instalasi yang lebih kecil dan biaya modal dan
operasi yang lebih rendah. Kekurangan metode cepat adalah sejumlah besar hasil
produk fermentasi dapat menghilang karena proses penguapan (Bekatorou, 2019).

2.3. Fermentor pada Cuka Apel


Fermentor atau yang bisa disebut dengan bioreaktor adalah suatu alat yang
digunakan untuk menjalankan proses fermentasi. Fermentor dilengkapi dengan
peralatan mekanik dan elektrik. Fermentor beberapa diantaranya dilengkapi dengan
system controlling yang berguna untuk mengontrol faktor-faktor atau variabel yang
berpengaruh terhadap tujuan akhir proses fermentasi. System controlling juga
berhubungan erat dengan pengaruh pertumbuhan mikroba. Variabel yang dimaksud
adalah pH, suhu, oksigen yang terlarut, kekeruhan media, dan buih yang terbentuk.
Media yang dapat digunakan pada fermentor adalah media cair, atau untuk proses
fermentasi yang tergolong pada jenis submerged fermentation. Jenis fermentor
tergantung pada media dan kultur yang digunakan. Fermentor dapat dimanfaatkan
untuk memproduksi aneka macam produk industri seperti ragi roti, enzim, asam-
asam organik, antibiotika, dan asam-asam amino (Nurhadianty dkk, 2018).
Desain fermentor yang baik harus mengatasi peningkatan produktivitas,
validasi parameter yang diinginkan untuk mendapatkan produk yang konsisten dan
berkualitas tinggi dengan biaya yang efektif. Desain dan mode operasi fermentor
tergantung pada produksi mikroorganisme, kondisi optimal yang diperlukan untuk
pembentukan produk yang diinginkan, nilai produk, dan faktor skala produksinya.
Fermentor efektif adalah yang dapat mengendalikan proses reaksi dan secara positif
mempengaruhi reaksi biologis dan harus mencegah kontaminasi asing. Investasi
modal dan biaya operasi juga merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan
dalam desain fermentor. Kondisi monoseptik, pencampuran optimal dengan shear
rate yang rendah harus dipertahankan sepanjang proses (Singh dkk, 2014).
Fermentor dapat dibedakan berdasarkan tipe proses fermentasinya yaitu
batch fermentation, fed batch fermentation, dan continuous fermentation. Batch
fermentation, nutrisi mikroba yang steril di inokulasi dengan mikroorganisme dan
dibudidayakan pada fermentor tertutup dengan waktu dan kondisi tertentu. Tidak
ada yang ditambahkan selama proses berlangsung. Fed batch fermentation, mula-
mula konsentrasi kecil dari substrat ditambahkan dan substrat ditambahkan dengan
kuantitas sedikit terjadi secara terus-menerus selama proses berlangsung. Continous
fermentation, nutrient steril yang sama ditambahkan pada fermentor terbuka dan
secara serentak produk didapat dengan jumlah sama dan masuk purifikasi. Jenis
bioreaktor dapat dibedakan menjadi external recycle airlift bioreactor, internal
recycle, dan airlift bioreactor. Tubular tower bioreactor, Nathan bioreactor, dan
stirred bioreactor juga merupakan jenis bioreaktor (Khuila dan Sharma, 2018).
Bagian dasar dari fermentor meliputi volume headspace, sistem agitasi,
sistem pengiriman oksigen, kontrol busa, sistem kontrol suhu dan pH, sampling
port, sistem pembersihan dan sistem sterilisasi. Fermentor dilengkapi aliran untuk
mengisi dan mengosongkan reaktor. Volume kerja fermentor adalah fraksi dari total
volume yang diambil oleh medium, mikroba, dan gelembung gas. Volume yang
tersisa disebut dengan headspace. Volume kerja berkisar 70-80% dari total volume
reaktor dan tergantung pada laju pembentukan busa selama reaksi. Sistem agitasi
terdiri dari penggerak daya eksternal, baling-baling, dan baffle untuk pencampuran
dan peningkatan kecepatan transfer massa melalui lapisan batas cair dan batas
gelembung. Sistem agitasi terdiri dari penggerak daya eksternal, baling-baling, dan
baffle untuk proses pencampuran dan peningkatan kecepatan transfer massa melalui
lapisan batas cair dan batas gelembung. Sistem agitasi memberikan shear condition
yang diperlukan untuk memecah gelembung yang terbentuk (Singh dkk, 2014).
Sistem pembersihan dan sterilisasi fermentor penting untuk menghindari
kontaminasi. Sterilisasi termal dengan menggunakan uap panas lebih disukai untuk
proses sterilisasi yang bersifat ekonomis dan berskala besar. Sterilisasi oleh bahan
kimia umumnya lebih disukai untuk peralatan yang peka terhadap panas. Saluran
pengisian dan pengosongan digunakan untuk input reaktan dan untuk pengambilan
produk dalam bioreaktor. Kekurangan alat fermentor pada umumnya adalah sistem
sterilisasinya yang tidak dapat dilakukan secara langsung. Bejana fermentor harus
dilepaskan dan disterilkan dengan dimasukkan kedalam retort setelah diisi dengan
media yang berhubungan dengan proses. Proses sterilisasi merupakan bagian yang
penting dan tidak boleh dihilangkan karena selama proses (Nurhadiyati dkk, 2018).
Sistem aliran udara terdiri dari kompresor, udara masuk, sistem sterilisasi,
sparger udara dan sistem sterilisasi udara keluar untuk menghindari kontaminasi.
Sistem kontrol busa adalah elemen penting dari fermentor karena pembentukan
busa yang berlebihan menyebabkan filter keluar udara tersumbat dan memberikan
tekanan dalam reaktor. Sistem kontrol suhu melibatkan probe suhu, sistem transfer
panas seperti jaket dan koil. Pemanasan disediakan oleh pemanas listrik dan uap
yang dihasilkan dalam boiler dan pendinginan disediakan oleh air pendingin yang
dihasilkan oleh menara pendingin atau pendingin seperti amonia. Sistem kontrol
pH menggunakan agen penetral untuk mengendalikan pH. Sistem harus bersifat
tidak korosif, dan tidak beracun bagi sel ketika diencerkan dalam medium. Sodium
karbonat umumnya digunakan sebagai agen penetral dalam fermentor skala kecil.
Sampling ports digunakan sebagai media penyuntikkan nutrisi, air, dan garam ke
dalam fermentor dan juga untuk mengumpulkan sampel proses (Singh dkk, 2014).
Fermentor dalam skala laboratorium memiliki kapasitas volume 50-2000
ml. Fermentor pada skala laboratorium dapat mengukur komposisi larutan nutrisi
yang dibutuhkan mikroorganisme, suhu, dan suplementasi substrat. Fermentor yang
banyak digunakan adalah berbentuk botol atau labu kerucut yang bisa dikocok
untuk menyediakan udara yang dibutuhkan. Fermentor dalam skala laboratorium
umumnya ditutup kapas atau sterofoam dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi
mikroorganisme. Kelebihan fermentor skala laboratorium adalah sederhana, tapi
karena tutupnya yang terbuat dari kapas atau sterofoam dapat menyebabkan
hilangnya uao dan pertukaran gas terbatas. Ph dan konsentrasi oksigen tidak dapat
terukur. Fermentor pada skala industri adalah fermentor yang memiliki kapasitas
lebih dari 100.000 liter. Fermentor didesain secara spesifik pada kondisi optimal
yang berdasarkan nilai produk serta skala produksi (Nurhadiyanti dkk, 2018).

2.4. Pengaruh Jenis Substrat Fermentasi


Gorie (2009), mengatakan bahwa substrat merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi proses fermentasi. Buah-buahan, madu, molase,
sereal, dan umbi-umbian adalah beberapa contoh substrat untuk proses fermentasi
cuka. Perbedaan substrat fermentasi yang digunakan dapat mempengaruhi
komposisi cuka sehingga menghasilkan cuka yang berbeda dan spesifikasinya juga
berbeda. Kualitas cuka sangat tergantung pula pada kualitas substratnya. Substansi
yang digunakan pada dasarnya harus mengandung paling sedikit 8% kadar gula atau
bahkan lebih, air, serta nutrient dalam memicu pertumbuhan bakteri asam asetat.
Substrat yang biasa digunakan produksi cuka tidak memerlukan nutrient tambahan.
Soelarso (dalam Caturryanti, 2008) mengatakan bahwa negara Indonesia
memiliki enam varietas apel, dua varietas yang paling banyak dibudidayakan dan
memiliki nilai ekonomis tinggi bila dipasarkan adalah Rome Beauty dan Manalagi.
Apel Rome Beauty memiliki ciri-ciri bentuk buahnya bulat lonjong, berwarna hijau
kemerahan dan rasa manis agak asam. Apel Managi bentuk buahnya kecil, bulat,
dan berwana kuning kehijauan dan memiliki rasa yang manis. Kandungan fruktosa
pada apel Manalagi adalah sebanyak 45 mg/g, glukosa 37,2 mg/g dan sukrosa 45,4
mg/g. Kadar asam apel Rome Beauty lebih tinggi dibanding apel Manalagi. Kadar
gula sederhana pada apel Manalagi lebih besar dibandingkan apel Rome Beauty.
Komponen gula dan asam merupakan media yang diperlukan untuk pertumbuhan
bakteri pada pembuatan asam asetat terutama pada fermentasi buah apel.

2.5. Pengaruh Oksigen pada Fermentasi


Proses fermentasi asam asetat dari substrat cair umumnya dilakukan dalam
dua tahap proses fermentasi yaitu fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat.
Fermentasi alkohol dilakukan jika bahan yang digunakan kaya akan gula namun
tidak mengandung alkohol. Bahan yang kandungan gulanya kurang maka untuk
penambahan senyawa alkohol secara langsung dianggap baik dan efektif daripada
menambahkan gula untuk berubah menjadi alkohol (Nurika dan Hidayat, 2001).
Kandungan alkohol pada substrat sangat mempengaruhi fermentasi cuka.
Konsentrasi alkohol yang paling baik berkisar antara 11-13%. Konsentrasi alkohol
mencapai nilai 14% atau lebih, maka produksi asam asetat tidak berlangsung secara
sempurna. Konsentrasi alkohol yang terlalu rendah akan menghasilkan cuka yang
bernilai mutu kurang baik. Konsentrasi alkohol sebesar 1-2% akan menyebabkan
teroksidasinya ester-ester dan asam asetat sehingga menghilangkan aroma khas dari
cuka. Proses fermentasi cuka yang berlangsung dengan kondisi baik dan sesuai
dengan mikroba yang digunakan, maka konsentrasi etanol yang dioksidasi menjadi
asam asetat adalah sekitar 95-98% dan sisanya akan hilang dalam gas (Gorie, 2009).
Alkohol dalam konsentrasi tinggi akan memperlemah aktivitas mikroba,
bahkan bisa menjadi racun bagi bakteri Acetobacter aceti pada proses fermentasi
cuka asam asetat. Hardoyo dkk (2007), melakukan penelitian tentang pengaruh
variasi konsentrasi alkohol terhadap proses fermentasi. Konsentrasi alkohol awal
sebesar 6% masih memberikan hasil asam asetat 6% atau yield sekitar 100%, untuk
waktu fermentasi 10 hari. Acetobacter aceti masih toleran terhadap konsentrasi
alkohol awal 6% atau aktivitas Acetobacter aceti dapat bekerja dengan optimal.
Konsentrasi alkohol awal lebih tinggi dari 6%, maka aktivitas mikroba Acetobacter
aceti akan menurun atau sebagian bakteri dapat mati, sampai konsentrasi alkohol
awal 12%, seluruh bakteri Acetobacter aceti B 166 mati. Konsentrasi alkohol awal
lebih besar dari 6%, alkohol menjadi racun berbahaya bagi Acetobacter aceti B166.
Konsentrasi awal dari suatu substrat sukrosa berpengaruh terhadap jumlah
alkohol yang dihasilkan. Kadar alkohol maksimum yang dapat diperoleh dari 180
g/l sukrosa bernilai sekitar 12,26% v/v. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan lebih
besar dari 12%, alkohol dapat menghambat mekanisme pertumbuhan atau bahkan
mematikan kehidupan mikroorganisme. Lama waktu fermentasi optimum dalam
pembuatan alkohol berbahan dasar biomassa adalah 3 hari. Lebih dari 3 hari, kadar
alkohol berkurang dan tidak di rekomendasikan karena hasilnya akan kurang
maksimal. Jenis substrat harus dipilih dengan benar (Sabahannur dan Ralle, 2018).

2.6. Pengaruh Oksigen pada Proses Fermentasi


Fermentasi beberapanya bisa beroperasi secara anaerob, tapi kebanyakan
fermentasi secara aerobik yang memerlukan penyediaan jumlah besar udara steril
dengan oksigen tersebar diseluruh fermentor. Fermentasi asam asetat dalam kondisi
optimal diperlukan untuk mencapai kadar kelarutan oksigen tertentu. Cara oksigen
disuplai ke bakteri asetat mempengaruhi kecepatan proses fermentasi (Dabija dan
Hatnean, 2014). Fermentasi aerobik adalah jenis fermentasi yang dibantu oleh zat
oksigen dalam perombakan substrat, baik oksidasi dengan menggunakan katalisator
mikroorganisme maupun dengan katalisator kimia. Oksigen dilarutkan pada proses,
diperoleh kelarutan oksigen yang tinggi pada proses fermentasi aerobik dan didapat
kondisi bakteri yang baik untuk berproduksi secara optimal pada fermentasi. Udara
atau oksigen selama fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak
atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Mikroba membutuhkan oksigen
yang berbeda jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru dan
dalam proses fermentasi, dan sesuai dengan spesifikasi kebutuhan masing-masing.
Mikroorganisme aerobik adalah organisme yang membantu melakukan
aktivitas metabolisme pada proses fermentasi aerob. Produksi asam asetat harus
dilakukan melalui proses biologis, salah satunya adalah proses fermentasi dari
bahan baku berupa alkohol. Bakteri dari genus Acetobacter bekerja dalam kondisi
aerobik. Spesies yang banyak digunakan untuk proses fermentasi asam asetat
adalah mikroba Acetobacter aceti (Hardoyo dkk, 2007). Oksigen digunakan untuk
mengoksidasi substrat menjadi senyawa lain untuk memperoleh energi. Suasana
aerob dibuat dengan memasukkan oksigen ke dalam wadah yang digunakan untuk
fermentasi atau disebut dengan fermentor. Fermentasi aerob juga dapat terjadi di
dalam tabung erlenmeyer atau botol. Suasana aerob juga dibuat dengan cara aerasi
dan dibantu dengan agitator. Aerasi dan agitasi dalam skala laboratorium dilakukan
dengan menggoyang-goyangkan labu berisi larutan. Skala yang lebih besar, aerasi
dapat dilakukan dengan menghembuskan udara bertekanan kedalam cairan media
dan dilakukan pengadukan secara mekanik (Wignyanto dan Hidayat, 2017).
Fermentasi aerob membutuhkan oksigen yang terlarut karena bakteri aerob
obligat membutuhkan oksigen terlarut untuk bisa melakukan pertumbuhan. Jumlah
oksigen yang terlarut pada fermentor kurang, maka akan berakibat pertumbuhan
mikroorganisme tidak optimal. Transfer nutrisi dari fase cair sampai menjadi sel-
sel mikroorganisme selama proses fermentasi relatif langsung sebagai nutrisi yang
biasanya disediakan berlebih. Transfer oksigen dalam fermentasi aerobik terjadi
secara lebih kompleks. Molekul oksigen harus dijaga pada konsentrasi optimal
untuk memastikan produtivitas yang maksimum. Proses yang berhubungan dengan
neraca massa oksigen yaitu tingkat dimana oksigen dapat dikirim ke dalam sistem
biologi atau disebut dengan Oxygen Transfer Rate dan tingkat dimana digunakan
mikroorganisme. Oxygen Transfer Rate dapat ditingkatkan dengan meninggikan
nilai tekanan, memperbanyak udara masuk dengan oksigen, dan meningkatkan
agitasi dan tingkat aliran udara. Oxygen transfer rate ditentukan oleh besarnya
driving force yang terjadi pada selama proses fermentasi (Nurhadianty dkk, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Bachruddin, Z. 2014. Teknologi Fermentasi pada Industri Peternakan. Gadjah


Mada University Press: Yogyakarta.
Bekatorou, A. 2019. Advances in Vinegar Production. CRC Press: Florida.
Buckle, K. A., dkk. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Caturryanti, D., Luwihana, S., dan Tamaroh, S. 2008. Pengaruh Varietas Apel dan
Campuran Bakteri Asam Asetat terhadap Proses Fermentasi Cider. Jurnal
Agritech. 28(2): 70-75.
Dabija, A., dan Hatnean, C. A. 2014. Study Concerning the Quality of Apple
Vinegar Obtained Through Classical Method. Journal of Agroalimentary
Processes and Technologies. 20(4): 304-310.
Gorie, M. B. D. 2009. Pembuatan Cuka Apel Fuji (Malus Fuji) Menggunakan
Saccharomyces cerevisiae dan Acetobacter aceti [SKRIPSI]. Depok
Hardoyo dkk. 2017. Kondisi Optimum Fermentasi Asam Asetat Menggunakan
Acetobacter aceti B166. Jurnal Sains MIPA Universitas Lampung.
13(1):17-20.
Istianah, N., Wardani, A, K., dan Sriherfyna, F. H. 2018. Teknologi Bioproses. Ub
Press: Malang.
Kuila, A., dan Sharma, V. Principles and Applications of Fermentation
Technology. Scrivener Publishing:
Kwartiningsih, E., dan Mulyati, L, N, S. 2005. Fermentasi Sari Buah Nanas
Menjadi Vinegar. Jurnal EKUILIBRIUM. (4)1: 8-12.
Nendissa, S. J., Breemer, R., dan Melamas, N. 2015. Pengaruh Konsentrasi Ragi
Saccharomyces cerevisiae dan Lama Fermentasi terhadap Kualitas Cuka
Tomi-Tomi (Flacourtia inermis). Agritekno Jurnal Teknologi Pertanian.
4(2): 50-55.
Nurhadiyanti, V. dkk. 2018. Pengantar Teknologi Fermentasi Skala Industri. Ub
Press: Malang.
Nurika, I., dan Hidayat, N. 2001. Pembuatan Asam Asetat dari Air Kelapa secara
Fermentasi Kontinyu Menggunakan Kolom Bio-oksidasi (Kajian dari
Tinggi Partikel dalam Kolom dan Kecepatan Aerasi). Jurnal Teknologi
Pertanian. 2(1): 51-57.
Orey, C. 2008. Khasiat Cuka: Cairan Ajaib Penyembuh Alami. Penerbit Hikmah:
Jakarta.
Sabahannur, S., dan Ralle, A. 2018. Peningkatan Kadar Alkohol, Asam dan
Polifenol Limbah Cairan Pulp Biji Kakao dengan Penambahan Sukrosa dan
Ragi. Jurnal Industri Hasil Perkebunan. Vol 13(1): 53-61.
Singh, J., Kaushik, N., dan Biswas, S. 2014. Bioreactors Technology and Design
Analysis. The Scitech Journal. 1(6): 28-36.
Wignyanto dan Hidayat, N. 2017. Bioindustri. UB Press: Malang.
Zakaria, Y., Novita, C. I., dan Samadi. Efektivitas Fermentasi dengan Sumber
Substrat yang Berbeda Terhadap Kualitas Jerami Padi. Jurnal Agripet.
13(1): 22-25.

Anda mungkin juga menyukai