TEKNIK FERMENTASI
Disusun Oleh :
Kelompok I (Satu)
Hendryanto Sinaga
(1507167334)
Ryan Tito
(1507165761)
(1507165728)
ABSTRAK
Fermentasi adalah suatu proses yang memanfaatkan mikroba untuk menghasilkan
produk yang diinginkan dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Percobaan
ini bertujuan agar mampu memahami teknik pelaksanaan fermentasi dalam
produksi biomassa. Tahapan proses yang dilakukan pada saat fermentasi adalah
penyiapan medium/substrat, penyiapan inokulum, proses fermentasi dan analisa
produk. Pada tahap penyiapan medium, digunakan glukosa sebanyak 100 gram
yang kemudian masing-masing ditambahkan dengan 0,4 gr urea dan 0,5 gr NPK,
lalu dilarutkan dengan aquadest dalam labu erlenmeyer 1000 ml, ditutup dan
dimasukkan kedalam autoclave selama 15 menit. Pada tahapan inokulum,
ditambahkan ragi sebanyak 4 gram kedalam erlemeyer 1000 ml yang telah berisi
campuran glukosa, urea dan NPK yang sudah disterilkan dan didinginkan, lalu
di-shaker selama 1 jam. Proses fermentasi dilakukan dengan mencampurkan
larutan nutrisi dengan larutan inokulum kedalam vessel fermentor dan diaduk.
Kemudian setiap 1 jam selama 6 jam, produk sampel diambil sebanyak 12 ml.
Sampel yang telah diambil, dianalisa konsentrasi glukosa dan berat biomassa
selnya. Berdasarkan hasil percobaan, konsentrasi glukosa yang diperoleh
berfluktuasi terhadap waktu fermentasi, sedangkan pertumbuhan sel akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Pertumbuhan
sel akan menurun ketika telah mencapai fase pertumbuhan diperlambat.
Pertumbuhan sel tertinggi dicapai pada saat fermentasi 5 jam yaitu sebesar 0,26
gram, dimana laju pertumbuhan sel maksimum ( maks) didapat sebesar 0,12 g/L
jam dengan yield sel sebesar 0,18.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Tujuan Percobaan
Dengan melaksanakan praktikum modul Teknik Fermentasi, praktikan akan
1.2
Dasar Teori
1.2.1 Fermentasi
Fermentasi berasal dari bahasa latin yaitu fevere artinya mendidih.
Peristiwa mendidih sebenarnya timbul dari gelembung-gelembung CO2 yang
dihasilkan dari proses katabolisme karbohidrat. Kemudian pengertian fermentasi
berkembang dan didefenisikan sebagai proses penguraian yang dilakukan oleh
mikroorganisme. Proses penguraian tidak hanya terhadap karbohidrat tetapi juga
terhadap protein, lemak, asam, dan juga zat-zat lain karena adanya aktivitas
enzim.
Sampai sekarang defenisi fermentasi semakin berkembang bahkan kadangkadang sudah berbeda sama sekali baik ditinjau dari segi biokimia maupun dari
segi mikrobiologi industri. Akan tetapi pengertian dasar dari pengertian
fermentasi yang dapat diterima, baik dari segi biokimia maupun dari segi
mikrobiologi yaitu sebagai proses penguraian/perubahan dari karbohidrat, protein,
dan lemak oleh enzim-enzim yang diikuti oleh pembentukan gas. Wadah tempat
melakukan proses fermentasi disebut sebagai fermentor.
Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi
senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme.
Mikroorganisme
Klasik: Urai senyawa-senyawa organik komplek
senyawa sederhana
Anaerob
Mikroorganisme
Bahan lebih berguna
Terkontrol
cukup. Jika fermentasi dilakukan secara batch, dimana umpan nutrisi dimasukkan
hanya pada awal proses fermentasi, pada waktu tertentu saat jumlah mikroba yang
mengkonsumsi nutrisi tersebut melebihi daya dukung nutrisi akan terjadi
kekurangan nutrisi. Hal lain yang memperlambat pertumbuhan mikroba adalah
terjadinya inhibisi ataupun represi yang terjadi karena terakumulasinya produk
metabolit sekunder hasil aktifitas fermentasi mikroorganisme.
5. Fasa kematian terjadi apabila nutrisi sudah benar-benar tidak dapat lagi
mencukupi kebutuhan mikroorganisme. Keadaan ini diperparah oleh akumulasi
produk metabolit primer dan sekunder yang tidak dipanen sehingga terus
menginhibisi ataupun merepresi pertumbuhan sel mikroorganisme. Selain itu
umur sel juga sudah tua, sehingga pertahanan sel terhadap lingkungan yang
berbeda dari kondisi biasanya juga berkurang.
Plot ln [Cell] terhadap waktu akan menghasilkan hubungan garis lurus yang
[Cells]
ln [Cells]
slope
Waktu
Waktu
konsentrasi
sel.
Sel
adalah
katalis
yang
self-reproducing
Sehingga, jika kondisi lainnya tetap konstan maka laju peningkatan jumlah sel
(biomass) akan tergantung dari konsentrasi sel yang ada dalam reaktor yang
dituliskan sebagai berikut:
dX
X .................................................................(1.1)
dt
yang mana adalah laju pertumbuhan specific growth rate. Model pertumbuhan
mikroba seperti ini disebut theexponential growth model. Specific growth rate ()
mengambarkan berapa cepat sel bereproduksi. Semakin tinggi nilainya maka
semakin cepat sel melakukan pertumbuhan. Saat sel tidak tumbuh, maka nilai
specific growth ratenya adalah nol/zero. Selama exponential phase, specific
growth rate relatif konstan.
Untuk estimasi specific growth rate, maka persamaan 2 harus diintegralkan
untuk menghasilkan hubungan antara konsentrasi biomass (X) dan waktu (t) pada
interval waktu dari 10 sampai l. Dengan memindahkan variabel pada persamaan 2
maka diperoleh:
X 1 X 0e ( t1t 0) ....................................................(1.3)
Plot ln X vs t akan menghasilkan persamaan garis lurus. Slope garis ini ekuivalen
dengan specific growth rate ().
Biomass biasanya diukur/dinyatakan dalam dry weight yaitu berat sel
setelah air dikeluarkan (setelah pengeringan). Untuk menentukan dry weight, sel
pertama kali harus dipisahkan dari medium fermentasi ini dapat dilakukan dengan
filtrasi membran atau sentrifugasi. Teknik filtrasi membran yaitu liquid fermentasi
difilter melalui predried, pre-weighed membran. Filter kemudian dicuci untuk
menghilangkan broth yang masih larut. Lalu filter dikeringkan dan ditimbang.
Doubling time (tD) adalah ekspresi yang biasa dipakai mikrobiologis untuk
menyatakan laju pertumbuhan sel yaitu waktu yang dibutuhkan oleh populasi sel
untuk melipat gandakan dirinya. Selama exponensial phase tD akan selalu
konstan. Hubungan antara doubling time dan specific growth rate dapat dituliskan
sebagai berikut:
ln
2X
t D ........................................................(1.4)
X
ln 2 t D .............................................................(1.5)
Sehingga hubungan antara doubling time dan specific growth rate diperoleh:
t D
ln2
...................................................................(1.6)
X X0
X
..........................(1.7)
S0 S
S
dimana:
X0 dan S0 adalah konsentrasi awal biomass dan substrat.
X1 dan S1 adalah konsentrasi biomass dan substrat pada waktu tertentu
(biasanya pada akhir fermentasi).
Escherichia coli masih merupakan salah satu mikroorganisme yang penting
dan banyak diekploitasi untuk menghasilkan produk-produk dalam bioproses,
eukariot mampu tumbuh pada rentang pH 6,5 hingga 7,5. Pengaturan pH dalam
proses fermentasi dewasa ini telah berkembang sehingga pengaturan pH dapat
dilakukan secara otomatis.
Prinsip dasar pengaturan pH adalah dengan penambahan asam atau basa.
Bila pH proses turun dari pH yang diharapkan atau pH proses menjadi asam maka
untuk meningkatkan pH cairan dilakukan dengan penambahan basa sehingga pH
cairan sesuai dengan pH yang ditetapkan. Senyawa basa yang biasa ditambahkan
dalam proses fermentasi biasanya dengan larutan NaOH dengan konsentrasi
tertentu seperti NaOH 4 N. Dan jika pH proses naik dari pH yang ditetapkan
dalam suatu proses fermentasi atau dengan kata lain pH cairan basa maka untuk
penurunan pH sesuai dengan pH yang ditetapkan ke dalam cairan ditambahkan
larutan asam. Larutan asam yang digunakan pada umumnya adalah larutan H2SO4
atau larutan HCl dengan konsentrasi sekitar 4 N.
2. Suhu
Suhu mempengaruhi laju reaksi, namun bila suhu terlalu tinggi untuk
pertumbuhan mikroorganisme maka dapat menyebabkan kerusakan pada enzim.
Akibatnya akan mempengaruhi aktivitas enzim terhambat. Oleh karena itu, untuk
mengoptimalisasi
pertumbuhan
mikroorganisme
harus
dilakukan
proses
Fermentor
Mikroorganisme
Psikhrofilik
< 20
Mesofilik
30 35
Thermofilik
> 50
merupakan
wadah
tempat
berlangsungnya
pertumbuhan
isi botol atau tempat medium akan meluap dan hanya boleh dibuka ketika
manometer menunjukkan angka 0.
sebuah kotak kaca udara yang lewat dalam kotak tersebut dilewatkan saringan
melalui suatu jalan agar tekena sinar ultraviolet.
2. Pemindahan dengan dengan pipet
Cara ini dilakukan dalam penyelidikan air minum atau pada penyelidikan
untuk diambil 1 ml contoh yang akan diencerkan oleh air sebanyak 99 ml murni.
3. Pemindahan dengan kawat inokulasi.
Ujung kawat inokulasi sebaliknya dari platina atau nikel .ujungnya boleh
lurus juga boleh berupa kolongan yang diametrnya 1-3mm. Dalam melakukuan
penanaman bakteri kawat ini terlebih dahulu dipijarkan sedangkan sisanya tungkai
cukup dilewatkan nyala api saja setelah dingin kembali kawat itu disentuhkan lagi
dalam nyala.
1.2.7 Teknik Inokulasi
Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengisolasi biakan murni
mikroorganisme yaitu (Winarni, 1997):
a. Metode gores
Teknik ini lebih menguntungkan jika ditinjau dari sudut ekonomi dan
waktu, tetapi memerlukan ketrampilan-ketrampilan yang diperoleh dengan
latihan. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah.
Inokulum digoreskan di permukaan media agar nutrien dalam cawaan petri
dengan jarum pindah (lup inokulasi). Di antara garis-garis goresan akan terdapat
sel-sel yang cukup terpisah sehingga dapat tumbuh menjadi koloni. Cara
penggarisan dilakukan pada medium pembiakan padat bentuk lempeng. Bila
dilakukan dengan baik teknik inilah yang paling praktis. Dalam pengerjaannya
terkadang berbeda pada masing-masing laboratorium tapi tujuannya sama yaiitu
untuk membuat goresan sebanyak mungkin pada lempeng medium pembiakan.
b. Metode tebar
Setetes inokolum diletakan dalam sebuah medium agar nutrien dalam cawan
petridish dan dengan menggunakan batang kaca yang bengkok dan steril.
Inokulasi itu disebarkan dalam medium batang yang sama dapat digunakan dapat
menginokulasikan pinggan kedua untuk dapat menjamin penyebaran bakteri yang
merata dengan baik. Pada beberapa pinggan akan muncul koloni koloni yang
terpisah-pisah.
c. Metode tuang
Isolasi menggunakan media cair dengan cara pengenceran. Dasar
melakukan pengenceran adalah penurunan jumlah mikroorganisme sehingga pada
suatu saat hanya ditemukan satu sel di dalam tabung.
d. Metode tusuk
Metode tusuk yaitu dengan dengan cara meneteskan atau menusukan ujung
jarum ose yang didalamnya terdapat inokolum, kemudian dimasukkan ke dalam
media.
1.2.8 Macam-Macam Media
Ada beberapa macam media yang digunakan untuk inokulasi yaitu
(Winarni, 1997):
1. Mixed culture : berisi dua atau lebih spesies mikroorganisme.
2. Plate culture: media padat dalam petridish.
3. Slant culture : media padat dalam tabung reaksi.
4. Stap culture : media padat dalam tabung reaksi, tetapi penanamannya
dengan cara penusukan.
5. Liquid culture : media cair dalam tabung reaksi.
6. Shake culture: media cair dalam tabung reaksi yang penanamannya dikocok.
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1
2.1.1
Tujuan
Dengan melaksanakan praktikum teknik fermentasi, praktikan akan
Bahan
1. Glukosa
2. Urea
3. NPK
4. Ragi / yeast extract
5. Aquadest steril
2.1.3
Alat
1. Erlenmeyer 1L
2. Timbangan Analitik
3. Autoclave
4. Kapas dan kain kasa
5. Shaker
2.1.4
Prosedur Praktikum
7. Setelah dingin, ragi yang telah ditimbang dicampurkan, dan tutup kembali
erlenmeyer dengan kapas dan aluminium foil.
8. Erlenmeyer diletakkan diatas shaker selama 1 jam.
2.2
Persiapan Medium/Substrat
2.2.1
Tujuan
Dengan melaksanakan praktikum teknik fermentasi, praktikan akan
Bahan
1. Glukosa
2. Ragi / yeast extract
3. Aquadest steril
2.2.3
Alat
1. Erlenmeyer 2L
2. Timbangan Analitik
2.2.4
Prosedur Praktikum
2.3
Proses Fermentasi
2.3.1
Tujuan
Dengan melaksanakan praktikum teknik fermentasi, praktikan akan
Bahan
Larutan substrat yang telah dicampur Inokulum
2.3.3
Alat
1. Agitator
2. Aerator
3. Pipet Volume Berskala
4. Tabung reaksi
2.3.4
Prosedur Praktikum
Analisa Produk
2.4.1
Kadar Glukosa
2.4.1.1 Tujuan
Dengan melaksanakan praktikum teknik fermentasi, praktikan akan
mengenal teknik analisa kadar glukosa dalam produksi biomassa.
2.4.1.2 Bahan
1. Sampel produk fermentasi
2. Reagen Antron 0,02%
3. Aquadest
2.4.1.3 Alat
1. Gelas Ukur 100 ml
2. Tabung Reaksi
3. Sentrifuse
2.4.2
2.4.2.1 Tujuan
Dengan melaksanakan praktikum teknik fermentasi, praktikan akan
mengenal teknik analisa produk fermentasi (biomassa sel).
2.4.2.2 Bahan
1. Sampel produk fermentasi
2. NaCl 0,1 M
3. Aquadest
2.4.2.3 Alat
1. Gelas ukur 100 ml
2. Timbangan Analitik
3. Oven
4. Kertas Saring
5. Gelas Kimia 100 ml
6. Corong
2.4.2.4 Prosedur Praktikum
1. Sisa sampel produk fermentasi yang telah disentrifuse disaring dengan
menggunakan kertas saring yang sudah ditimbang sebelumnya.
2. Kertas saring dicuci dengan aquadest, kemudian dengan NaCl 0,1 M, dan
dengan aquadest lagi.
3. Kertas saring dikeringkan di dalam oven pada suhu 110oC sampai beratnya
konstan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
0.25
0.26
0.2
0.21
0.22
0.22
0.23
0.235
0.24
0.15
0.1
0.05
0
0
Absorbansi (oA)
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
20
40
60
80
100
120
0.06
0.05
0.051
0.04
0.03
0.054
0.055
0.047
0.037
0.039
0.044
0.02
0.01
0
0
Kumalaningsih & Hidayat (1995), semakin lama waktu fermentasi maka semakin
kecil konsentrasi glukosa yang tertinggal dalam medium, hal ini disebabkan
glukosa dikonversi menjadi alkohol oleh mikroba. Kesalahan ini disebabkan oleh
kontaminan
yang
dapat
menghambat
proses
metabolisme
sehingga
produk
metabolit
sekunder
hasil
aktifitas
fermentasi
BAB IV
KESIMPULAN
menghambat proses
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN A
DATA PENGAMATAN
1.
2.
No.
Variabel
Data
1000
Suhu (C)
121
Waktu (menit)
15
Warna cairan
Putih kekuningan
Persiapan Inokulum
Tabel A.2 Data Penyiapan Inokulum
3.
No.
Variabel
Data
1000
Suhu (C)
121
Waktu (menit)
Warna inokulum
15
60 (shaker)
Putih kekuningan
Pelaksanaan Fermentasi
Tabel A.3 Data Analisa Konsentrasi Sel
t (jam)
Volume (ml)
Massa (gr)
[Sel] (g/L)
12
0,21
17,5
12
0,22
18,33
12
0,22
18,33
12
0,23
19,17
12
0,235
19,58
12
0,26
21,67
12
0,24
20,00
4.
Waktu
Absorbansi
Konsentrasi
(jam)
(A)
(g/L)
0,321
0,051
0,234
0,037
0,245
0,039
0,355
0,054
0,344
0,055
0,292
0,047
0,273
0,044
Larutan Standar
Tabel A.5 Data Absorbansi Larutan Standar
Sampel
Konsentrasi (mg/L)
Absorbansi (A)
Blanko
Standar 1
20
0,122
Standar 2
40
0,286
Standar 3
`60
0,331
Standar 4
80
0,513
Standar 5
100
0,625
LAMPIRAN B
DATA PERHITUNGAN
1.
persamaan yang diperoleh pada kurva standar yaitu y = 0,0062x + 0,0026. Untuk t
= 1 jam Absorbansi = 0,234 oA, maka konsentrasi glukosa :
=
,
,
,
x = 37,32 mg/L
x = 0,03732 g/L
Konsentrasi glukosa pada waktu fermentasi 1 jam sebesar 0,03732 g/L.
Perhitungan yang sama juga digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa
pada t = 2 jam hingga t = 6 jam.
2.
gra
iter
= 2 g/L
3.
In NtIn N
8,
4.
Menghitung maks
Laju pertumbuhan mikroorganisme maksimum terjadi pada t = 1 jam sebesar
2,215 g/L.jam
maks =
maks =
8,
5.
Yxs =
=
= 0,18
g/L
g/L
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI
LAMPIRAN D
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
: Teknik Fermentasi
Hari/Tanggal Praktikum
Asisten Laboratorium
: Nuruzzaman Shiqhi, ST
Nama Kelompok I
Hasil Percobaan
Konsentrasi
(mg/L)
Absorbansi
(A)
Blanko
Standar 1
20
0,122
Standar 2
40
0,286
Standar 3
`60
0,331
Standar 4
80
0,513
Standar 5
100
0,625
Absorbansi
(jam)
(A)
0,321
0,234
0,245
0,355
0,344
0,292
0,273
Volume (ml)
Massa (gr)
12
0,21
12
0,22
12
0,22
12
0,23
12
0,235
12
0,26
12
0,24
Nuruzzaman Shiqhi, ST
Laporan Praktikum
Dosen Pembimbing
PERPINDAHAN PANAS
Kelompok
: I (Satu)
Nama Kelompok
Tanggal Praktikum
: 31 Juli 2016
: 6 Agustus 2016
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN
energi itu berpindah dari suatu benda ke benda lain, sedangkan pada ilmu
perpindahan panas selain menjelaskan bagaimana cara energi panas tersebut
berpindah juga dapat memprediksi laju alir perpindahan panas yang terjadi pada
kondisi-kondisi tertentu (Yusnimar, 2007).
1.1.2 Konduksi
Konduksi dapat didefenisikan sebagai perpindahan kalor dari suatu daerah
yang memiliki temperatur lebih tinggi ke daerah yang memiliki temperature lebih
rendah di dalam suatu medium (padat, cair, atau gas) atau antara medium yang
berlainan kontak fisik secara langsung. Pada aliran kalor secara konduksi,
molekul-molekul pada daerah bertemperatur tinggi akan memindahkan bagian
dari energi yang dimilikinya kepada molekul-molekul bertemperatur rendah.
Perpindahan energi tersebut dapat berlangsung dengan tumbukan elastis (elastic
impact), misalnya dalam fluida atau dengan difusi dari elektron-elektron yang
bergerak lebih cepat dari daerah yang bertemperatur tinggi ke daerah yang
bertemperatur lebih
= k
.....(1.1)
dimana A = luas permukaan isothermal yang tegak lurus terhadap arah aliran
kalor
n = jarak, diukur tegak lurus terhadap permukaan itu
q = laju aliran kalor melintasi permukaan itu pada arah normal terhadap
permukaan
T = suhu
k = konstanta proporsionalitas (tetapan kesebandingan)
Konduksi pada kondisi distribusi suhu konstan disebut konduksi keadaan
stedi (steady-state conduction). Pada keadaan stedi, T hanya merupakan fungsi
posisi saja dan laju aliran kalor pada setiap titik pada dinding itu konstan. Untuk
aliran stedi satu-dimensi, persamaan (1.1) dapat dituliskan sebagai :
A
= k
..(1.2)
Konstanta proporsionalitas k di atas adalah suatu sifat fisika bahan yang disebut
konduktivitas termal (Mc.Cabe, 1999).
T1
T2
x1
x2
= k
....(1.3)
Oleh karena hanya x dan T yang merupakan variabel dalam Pers. (1.3),
integrasi langsung akan menghasilkan :
A
=k
x x
(1.4)
aritmetik dari k pada kedua suhu permukaan, T1 dan T2, atau dengan menghitung
rata-rata aritmetik suhu dan menggunakan nilai k pada suhu itu. Persamaan (1.4)
dapat dituliskan dalam bentuk :
q=
..(1.5)
dimana R adalah tahanan termal zat padat antara titik 1 dan titik 2.
Karena dalam aliran kalor stedi semua kalor yang melalui tahanan pertama
harus seluruhnya melalui tahanan kedua pula, dan lalu tahanan ketiga, maka qa, qb
dan qc tentulah sama, dan ketiganya dapat ditandai dengan q.
A
Selanjutnya,
T T
atau :
dimana :
..(1.6)
= T + T + T = A
.(1.7)
.....(1.8)
=U T T
=
= R .........(1.9)
bahan itu dapat menghantarkan panas konduksi. Pada umumnya nilai k dianggap
tetap, namun sebenarnya nilai k dipengaruhi oleh suhu (T) (Gerald, 2005).
Berdasarkan daya hantar kalor, benda dibedakan menjadi dua, yaitu:
Tabel 1.1 Konduktivitas termal, densitas, dan kapasitas panas beberapa logam
(Geankoplis, 1997).
T
( C)
(kg/m3)
Cp
(kJ/kg.K)
Aluminium
20
2707
0,896
Brass (70-30)
20
8522
0,385
Cast iron
20
7953
0,465
Cooper
20
8954
0,383
Lead
20
11370
0,130
Steel 1% C
20
7801
0,473
304 stainless
steel
7817
0,461
Material
k (W/m.K)
202
(0 0C)
97
(0 0C)
55
(0 0C)
388
(0 0C)
35
(0 0C)
45,3
(0 0C)
13,8
(0 0C)
206
(100 0C)
104
(100 0C)
52
(100 0C)
377
(100 0C)
33
(100 0C)
45
(100 0C)
16,3
(100 0C)
215
(200 0C)
109
(200 0C)
48
(200 0C)
372
(200 0C)
31
(200 0C)
45
(200 0C)
18,9
(300 0C)
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1
Prosedur Percobaan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
pada masing-masing modul (brass 13mm, brass 25mm, aluminium 25mm dan
stainless steel 25mm) dengan memvariasikan tegangan (3V, 4V dan 5V). Pada
modul brass 25mm, didapatkan data temperatur di setiap posisi thermocouple T1,
T2, T3, T4, T5, T6, T7 dan T8, sedangkan pada modul brass 13mm, aluminium
25mm serta stainless steel 25mm didapatkan data temperatur disetiap posisi
thermocouple T1, T2, T3, T6, T7 dan T8. Data hasil percobaan konduksi panas pada
aliran linier dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data hasil percobaan konduksi panas pada aliran linier.
Temperatur (oC)
Modul
Brass
13mm
Brass
25mm
Aluminium
25mm
Stainless
Steel 25mm
Tegangan
Listrik
(Volt)
Arus
Listrik
(mA)
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
0,09
32,4
32,5
32,1
30,47
29,66
28,1
27,9
27,6
0,19
33,2
33,05
32,9
30,98
30,06
28,2
28,0
27,8
0,29
36,6
36,2
35,8
32,93
31,46
28,4
28,2
28,0
0,08
29,1
28,7
28,3
27,9
27,31
26,6
26,3
26,1
0,19
29,7
29,4
29,1
28,3
28,07
27,5
27,1
26,8
0,29
30,4
30
29,6
28,9
28,56
27,9
27,6
27,3
0,09
34,9
34,75
34,6
32,14
30,97
28,6
28,4
28,1
0,19
35,9
35,5
35,1
32,62
31,31
28,7
28,4
28,2
0,29
37,3
36,7
36,1
33,37
31,86
28,7
28,6
28,3
0,09
31,4
30,85
30,3
29,57
28,97
27,8
27,7
27,6
0,19
31,5
31,1
30,7
29,79
29,18
28,0
27,9
27,7
0,30
33,3
32,95
32,6
31,07
30,21
28,6
28,3
28,1
3.1.1
Brass 13mm
Percobaan dilakukan dengan mengukur temperatur yang mengalir
disepanjang modul brass 13mm, yaitu pada thermocouple T1, T2, T3, T6, T7, dan
T8. Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple disajikan pada Gambar 3.1.
40
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
35
3V
T4
T5
4V
5V
30
T6
T8
T7
25
0
0,03
0,06
0,09
0,12
Gambar 3.1 Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple pada aliran linier
untuk modul brass 13mm
Berdasarkan Gambar 3.1, untuk setiap variasi tegangan, temperatur pada
thermocouple cenderung mengalami penurunan dari T1 hingga T8. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan jarak dengan temperatur yang
mengalir di dalam modul adalah berbanding terbalik.
=
...(3.1)
Temperatur paling tinggi terdapat pada T1 dengan tegangan panas 5V yaitu 36,6
C sedangkan temperatur paling rendah terdapat pada T8 dengan tegangan 3V
yaitu 27,6 C.
Berdasarkan Gambar 3.1 juga dapat dilihat semakin tinggi tegangan panas
maka temperatur yang mengalir di dalam modul juga semakin tinggi. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan pemanas, laju
perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.
= = =
.(3.2)
Tegangan Panas
3V
4V
5V
Percobaan
0,1085
0,3396
0,4165
Literatur (Geankoplis,1997)
99,1042
99,1364
99,254
3.1.2
Brass 25mm
Percobaan dilakukan dengan mengukur temperatur yang mengalir
disepanjang modul brass 25mm, yaitu pada thermocouple T1, T2, T3, T4, T5, T6,
T7, dan T8. Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple disajikan pada
Gambar 3.2.
Berdasarkan Gambar 3.2, untuk setiap variasi tegangan, temperatur pada
thermocouple cenderung mengalami penurunan dari T1 hingga T8. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan jarak dengan temperatur yang
Temperatur (oC)
30
T2
T3
T4
T5
29
3V
T6
4V
T7
28
T8
5V
27
26
25
0
0,03
0,06
0,09
0,12
Gambar 3.2 Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple pada aliran linier
untuk modul brass 25mm
Berdasarkan Gambar 3.1 juga dapat dilihat semakin tinggi tegangan panas
maka temperatur yang mengalir di dalam modul juga semakin tinggi. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan pemanas, laju
perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.
Data hasil pengukuran temperatur digunakan untuk menentukan
konduktivitas panas modul. Konduktivitas panas modul brass 25mm dengan
variasi tegangan panas 3V, 4V dan 5V disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Konduktivitas panas modul brass 25mm hasil percobaan dan literatur
pada berbagai variasi tegangan.
Konduktivitas (W/moC)
Tegangan Panas
3V
4V
5V
Percobaan
0,0197
0,0794
0,1249
Literatur (Geankoplis,1997)
98,9278
98,9775
99,0146
3.1.3
Aluminium 25mm
Percobaan dilakukan dengan mengukur temperatur yang mengalir
disepanjang modul aluminium 25mm, yaitu pada thermocouple T1, T2, T3, T6, T7,
dan T8. Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple disajikan pada Gambar
3.3.
40
Temperatur (oC)
T1
T2
T3
35
T4
T5
3V
T6
30
4V
T7
T8
5V
25
0
0,03
0,06
0,09
0,12
Gambar 3.3 Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple pada aliran linier
untuk modul aluminium 25mm
Berdasarkan Gambar 3.3, untuk setiap variasi tegangan, temperatur pada
thermocouple cenderung mengalami penurunan dari T1 hingga T8. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan jarak dengan temperatur yang
mengalir di dalam modul adalah berbanding terbalik. Temperatur paling tinggi
Konduktivitas (W/moC)
Percobaan
Literatur (Geankoplis,1997)
3V
4V
5V
0,0293
0,0507
0,0987
203,2624
203,2788
203,3048
panas
modul
aluminium
25mm
hasil
percobaan
dengan
3.1.4
disepanjang modul stainless steel 25mm, yaitu pada thermocouple T1, T2, T3, T6,
T7, dan T8. Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple disajikan pada
Gambar 3.4.
35
T1
T2
T3
Temperatur (oC)
32,5
T4
T5
30
T6
3V
T7
4V
T8
27,5
5V
25
0
0,03
0,06
0,09
0,12
Gambar 3.4 Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple pada aliran linier
untuk modul stainless steel 25mm
Berdasarkan Gambar 3.4, untuk setiap variasi tegangan, temperatur pada
thermocouple cenderung mengalami penurunan dari T1 hingga T8. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan jarak dengan temperatur yang
mengalir di dalam modul adalah berbanding terbalik. Temperatur paling tinggi
terdapat pada T1 dengan tegangan panas 5V yaitu 33,3 C sedangkan temperatur
paling rendah terdapat pada T8 dengan tegangan 3V yaitu 27,6 C.
Berdasarkan Gambar 3.4 juga dapat dilihat semakin tinggi tegangan panas
maka temperatur yang mengalir di dalam modul juga semakin tinggi. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan pemanas, laju
perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.
Data hasil pengukuran temperatur digunakan untuk menentukan
konduktivitas panas modul. Konduktivitas panas modul stainless stel 25mm
dengan variasi tegangan panas 3V, 4V dan 5V disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Konduktivitas panas modul stainless steel 25mm hasil percobaan dan
literatur pada berbagai variasi tegangan.
Konduktivitas (W/moC)
Tegangan Panas
3V
4V
5V
Percobaan
0,0332
0,0728
0,1069
Literatur (Geankoplis,1997)
14,53
14,60
14,615
3.2
Tabel 3.6 Data Hasil percobaan konduksi panas pada aliran radial
Temperatur (oC)
Tegangan Listrik
(Volt)
Arus Listrik
(mA)
T1
T2
T3
T4
T5
T6
3
4
5
0,05
0,19
0,29
29,3
30,6
32,3
28,9
29,9
30,3
27,8
29,1
29,7
27,2
28,8
29,5
26,9
28,6
29,1
26,3
28,4
28,6
Temperatur (oC)
T1
32,5
T2
T3
30
T4
3V
T5
T6
4V
27,5
5V
25
0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
Gambar 3.5 Hubungan temperatur dengan jarak thermocouple pada aliran radial
untuk modul brass 13mm.
Berdasarkan Gambar 3.5, untuk setiap variasi tegangan, temperatur pada
thermocouple cenderung mengalami penurunan dari T1 hingga T6. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan jarak dengan temperatur yang
mengalir di dalam modul adalah berbanding terbalik.
=
...(3.3)
Temperatur paling tinggi terdapat pada T1 dengan tegangan panas 5V yaitu 32,3
C sedangkan temperatur paling rendah terdapat pada T6 dengan tegangan 3V
yaitu 26,3 C.
Berdasarkan Gambar 3.1 juga dapat dilihat semakin tinggi tegangan panas
maka temperatur yang mengalir di dalam modul juga semakin tinggi. Kondisi ini
sesuai dengan hukum Fourier dimana hubungan tegangan pemanas, laju
perpindahan kalor dan temperatur adalah berbanding lurus.
= = =
.(3.4)
Tegangan Panas
3V
4V
5V
Percobaan
0,7525
5,185
5,882
Literatur (Geankoplis,1997)
98,94
99,046
99,094
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Semakin besar jarak thermocouple maka temperatur yang mengalir di
dalam modul (bahan logam) semakin rendah.
2. Hubungan antara temperatur dengan tegangan pemanas yaitu berbanding
lurus, dimana semakin tinggi tegangan pemanas maka temperatur yang
mengalir di dalam modul juga semakin tinggi.
3. Untuk konduksi panas pada aliran linear, modul yang memiliki
konduktivitas panas terbesar secara berurutan yaitu brass 13mm, brass 25
mm, stainless steel 25mm dan aluminium 25mm.
4. Konduktivitas panas modul brass 13mm pada aliran radial hasil percobaan
jauh lebih kecil daripada konduktivitas literatur dengan rata-rata persen
kesalahan sebesar 96,02%.
4.1 Saran
Alat yang digunakan dalam percobaan ini (HT10X Heat Transfer Service
Unit) dalam kondisi yang tidak baik, dimana pengukuran temperatur dan kuat arus
pada alat tidak bisa dilakukan sehingga digunakan digital multitester dengan readout yang tidak stabil. Oleh karena itu, praktikan harus teliti dalam melakukan
pengukuran temperatur disetiap thermocouple dengan digital multitester ini.
Kesalahan dalam pengukuran ini akan mempengaruhi nilai konduktivitas modul
yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA
Geankoplis, CJ. 1997. Transport Processes and Unit Operations. 3rd edition.
Eastern Economy Edition. Prentice-Hall of India Private Ltd. New Delhi,
India.
Gerald, C.F. 2005. Applied Numerical Analysis. Addison-Wesley Publishing
Company.
Kern, DQ. 1965. Process Heat Transfer. New York : Mc.Graw-Hill.
Kreith, F. 2005. Principles Heat Transfer. Harper & Row Publisher.
Mc.Cabe, W.L, Smith, JC, Harriot, P. 1999. Operasi teknik Kimia. Ed. 4. Jilid 1
Jakarta: Erlangga.
Yusnimar. 2007. Konsep Dasar Perpindahan Panas. Pusat Pengembangan
Pendidikan Universitas Riau. Pekanbaru.
LAMPIRAN A
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
: Perpindahan Panas
Hari/Tanggal Praktikum
Pembimbing
Asisten Laboratorium
: Heni Ismawati
Nama Kelompok II
Brass
13mm
Brass
25mm
Aluminium
25mm
Stainless
Steel 25mm
Tegangan
Listrik
(Volt)
3
4
5
3
4
5
3
4
5
3
4
5
Arus
Listrik
(mA)
0,09
0,19
0,29
0,08
0,19
0,29
0,09
0,19
0,29
0,09
0,19
0,30
Temperatur (oC)
T1
32,4
33,2
36,6
29,1
29,7
30,4
34,9
35,9
37,3
31,4
31,5
33,3
T2
T3
T4
32,1
32,9
35,8
28,3 27,9
29,1 28,3
29,6 28,9
34,6
35,1
36,1
30,3
30,7
32,6
-
T5
T6
T7
T8
28,1
28,2
28,4
26,6
27,5
27,9
28,6
28,7
28,7
27,8
28,0
28,6
27,9
28,0
28,2
26,3
27,1
27,6
28,4
28,4
28,6
27,7
27,9
28,3
27,6
27,8
28,0
26,1
26,8
27,3
28,1
28,2
28,3
27,6
27,7
28,1
Tegangan Listrik
(Volt)
Arus Listrik
(mA)
T1
T2
T3
T4
T5
T6
3
4
5
0,05
0,19
0,29
29,3
30,6
32,3
28,9
29,9
30,3
27,8
29,1
29,7
27,2
28,8
29,5
26,9
28,6
29,1
26,3
28,4
28,6
Heni Ismawati
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
B.1
= 0,03 m
Xint
= 0,015 m
Xcold
= 0,03 m
Diameter
= 0,013 m
T +T
, +
= ,
T = ,
T = ,
Temperatur rata-rata
Heat Flow
, +
Q = V. I
= (3 volt) (9x10-5 A)
= 0,00027 Watt
, +
,
=
, +
, +
= 0,000133 m2
=
=
,
,
,
,
= 0,203 W/moC
,
,
= 0,1218 W/moC
=T
=
T T
= 32,025 oC
T T
=T +
, +
= 28,2 oC
= Thotface Tcoldface
= (32,025 28,2) 0C
= 3,825 0C
= 0,0008 W/moC
= k
=
+k
+ ,
+k
= 0,1085 W/moC
+ ,
Perhitungan di atas juga digunakan untuk bahan Brass 13mm pada tegangan
4V dan 5V. Hasil perhitungan keseluruhan untuk bahan Brass 13mm dapat dilihat
pada Tabel B.1.
= 0,03 m
Xint
= 0,015 m
Xcold
= 0,03 m
Diameter
= 0,025 m
Substitusi Temperatur :
T =
T +T
, +
= ,
T = ,
Temperatur rata-rata
, +
Heat Flow
, +
, +
Q = V. I
= (3 volt) (8x10-5 A)
= 0,00024 Watt
Cross sectional area
=
= 0,0005 m2
=
=
= 0,018 W/moC
, +
, +
, +
,
,
= 0,0288 W/moC
=T
=
T T
,
o
= 28,1 C
=T +
=
T T
, +
= 26,75 oC
= T4 T5
= (27,9 27,31) 0C
= 0,59 0C
= 0,0122 W/moC
= k
+k
+ ,
+k
= 0,0197 W/moC
+ ,
Perhitungan di atas juga digunakan untuk bahan Brass 25mm pada tegangan
4V dan 5V. Hasil perhitungan keseluruhan untuk bahan Brass 25mm dapat dilihat
pada Tabel B.1.
= 0,03 m
Xint
= 0,015 m
Xcold
= 0,03 m
Diameter
= 0,025 m
T +T
, +
= ,
T = ,
T = ,
Temperatur rata-rata
, +
, +
,
=
, +
, +
Heat Flow
Q = V. I
= (3 volt) (9x10-5 A)
= 0,00027 Watt
Cross sectional area
=
= 0,0005 m2
=
=
= 0,054 W/moC
,
,
= 0,0324 W/moC
T T
=T
=
= 34,525 oC
T T
=T +
=
, +
= 28,7 oC
= Thotface Tcoldface
= (34,525 28,7) 0C
= 5,825 0C
,
,
,
,
= 0,0014 W/moC
= k
=
+k
+ ,
+k
= 0,0293 W/moC
+ ,
= 0,03 m
Xint
= 0,015 m
Xcold
= 0,03 m
Diameter
= 0,025 m
T +T
, +
= ,
T = ,
T = ,
Temperatur rata-rata
Heat Flow
, +
Q = V. I
= (3 volt) (9x10-5 A)
= 0,00027 Watt
Cross sectional area
=
= 0,0005 m2
, +
,
=
, +
, +
= 0,01473 W/moC
,
,
= 0,081 W/moC
=T
=
T T
= 30,025 oC
=T +
=
T T
, +
= 27,85 oC
= Thotface Tcoldface
= (30,025 27,85) 0C
= 2,175 0C
,
,
,
,
= 0,0037 W/moC
= k
=
+k
+k
+ ,
= 0,0332 W/moC
+ ,
Perhitungan di atas juga digunakan untuk bahan Stainless steel 25mm pada
tegangan 4V dan 5V. Hasil perhitungan keseluruhan untuk bahan Stainless steel
25mm dapat dilihat pada Tabel B.1.
B.2
Diketahui:
Diameter
= 0,013 m
Kuat Arus
A = rL =
Temperatur rata-rata
, +
, +
= ,
, +
, +
, +
m
,
Heat transferred
Q = V. I
= (3 volt) (5x10-5 A)
= 0,00015 Watt
Perbedaan temperatur:
= =
Konduktivitas rata-rata:
kaverage =
, =
,
= ,
Trata-rata
(oC)
krata-rata
(W/moC)
0,5
Q
(watt)
0,00015
27,73
0,752
1,9
0,00076
2,2
29,23
5,185
2,9
0,00145
3,7
29,92
5,882
Tegangan
(Volt)
Kuat Arus
(10-4A)
Tabel B.1 Hasil perhitungan data percobaan konduksi panas pada aliran linier.
Modul
Thot
o
khot
o
Tcold
o
kcold
o
Thotface Tcoldface
o
Tint
o
kint
krata-rata
(W/m C) (W/moC)
(Volt)
-4
(10 A)
(watt)
( C)
(W/m C)
( C)
(W/m C)
( C)
( C)
( C)
0,9
0,00027
0,3
0,203
0,5
0,1218
32,025
28,2
3,825
0,0008
0,1085
1,9
0,00076
0,3
0,5714
0,4
0,4286
32,825
28,3
4,525
0,0189
0,3396
2,9
0,00145
0,8
0,4088
0,4
0,8177
35,6
28,5
7,1
0,023
0,4165
0,8
0,00024
0,8
0,018
0,5
0,0288
28,1
26,75
0,59
0,0122
0,0197
1,9
0,00076
0,6
0,076
0,7
0,065
28,95
27,7
0,235
0,097
0,0794
2,9
0,00145
0,8
0,10875
0,6
0,145
29,4
28,05
0,36
0,1208
0,1249
Brass
13mm
Brass
25mm
Modul
Tegangan
Kuat Arus
Thot
khot
Tcold
kcold
Thotface
Tcoldface
Tint
kint
krata-rata
(Volt)
(10-4A)
(watt)
(oC)
(W/moC)
(oC)
(W/moC)
(oC)
(oC)
(oC)
(W/moC)
(W/moC)
0,9
0,00027
0,3
0,054
0,5
0,0324
34,525
28,7
5,825
0,0014
0,0293
1,9
0,00076
0,8
0,057
0,5
0,0912
34,9
28,85
6,05
0,0038
0,0507
2,9
0,00145
1,2
0,0725
0,4
0,2175
35,8
28,75
7,05
0,0062
0,0987
0,9
0,0003
1,1
0,0147
0,2
0,081
30,025
27,85
2,175
0,0037
0,0332
1,9
0,00076
0,8
0,057
0,3
0,152
30,5
28,05
2,45
0,0093
0,0728
3,0
0,0015
0,7
0,1286
0,5
0,18
32,425
28,75
3,675
0,0122
0,1069
Aluminium
25mm
Stainless
steel
25mm
Laporan Praktikum
Dosen Pembimbing
DISTILASI BATCH
Kelompok
: I (Satu)
Nama Kelompok
Tanggal Praktikum
: 6 Agustus 2016
: 13 Agustus 2016
ABSTRAK
Distilasi merupakan proses pemisahan komponen-komponen dalam larutan cair
dengan menggunakan panas sebagai separating agent. Tujuan dari praktikum ini
adalah untuk menentukan efisiensi kolom, menjelaskan perubahan komposisi
overhead dan bottom terhadap waktu pada kondisi rasio refluks konstan,
menjelaskan pengaruh perubahan rasio refluks dan power terhadap efisiensi
kolom. Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah seperangkat alat distilasi
yang dilengkapi dengan 8 tray. Bahan yang digunakan yaitu campuran etanol-air
dengan perbandingan volume 30% : 70%. Praktikum ini dilakukan dengan variasi
rasio refluks 1:2; 1:3 dan 1:4, serta power konstan sebesar 1,75 kW. Metode yang
digunakan untuk menentukan efisiensi kolom adalah dengan menggunakan
persamaan Fenske dan metode McCabe & Thiele. Hasil yang diperoleh pada
praktikum ini adalah adanya penurunan komposisi etanol pada overhead dan
bottom pada rasio refluks konstan seiring dengan bertambahnya waktu distilasi.
Semakin kecil rasio refluks maka efisiensi kolom akan semakin besar. Efisiensi
kolom terbesar didapat pada rasio refluks 1:3 yaitu 21,25%. Untuk rasio refluks
yang sama, semakin tinggi power yang digunakan maka efisiensi kolom akan
semakin berkurang. Untuk rasio refluks 1:3, pada power 1,5 kW didapat efisiensi
kolom sebesar 18,53% sedangkan pada power 1,75 kW didapat efisiensi kolom
sebesar 11,09%.
Keyword: efisiensi kolom; rasio refluks; overhead; bottom.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada gambar tersebut, terlihat larutan garam (NaCl) dimasukkan pada labu,
dimana pada bagian atas dari labu tersebut dipasang alat pengukur suhu atau
termometer. Larutan garam di dalam labu dipanasi dengan menggunakan
pembakar Bunsen. Setelah beberapa saat, larutan garam tersebut akan mendidih
dan sebagian akan menguap. Uap tersebut dilewatkan di kondensor dan akan
sehingga
dengan
pemanasan
komponen
dapat
menguap,
Salah satu model operasi distilasi adalah distilasi curah (batch distillation).
Pada operasi ini, umpan dimasukkan hanya pada awal operasi, sedangkan
produknya dikeluarkan secara kontinu. Operasi ini memiliki beberapa
keuntungan:
1. Kapasitas
operasi
terlalu
kecil
jika
dilaksanakan
secara
kontinu.
perpindahan
fasa
tercapai
apabila
kedua
fasa
mencapai
distilasi
mengekspoitasi
perbedaan
kemampuan
menguap
(K-Value)
adalah
ukuran
tendensi
suatu
komponen
untuk menguap. Jika harga-K suatu komponen tinggi, maka komponen tersebut
..(1.3)
dengan Yi adalah fraksi mol komponen i di fasa uap dan Xi adalah fraksi mol
komponen i di fasa fasa cair.
Harga K adalah fungsi dari temperatur, tekanan, dan komposisi. Dalam
kesetimbangan, jika dua di antara variable-variabel tersebut telah ditetapkan,
maka variabel ketiga akan tertentu harganya. Dengan demikian, harga K dapat
ditampilkan sebagai fungsi dari tekanan dan komposisi, temperatur dan
komposisi, atau tekanan dan temperatur
Volatillitas relative (relative volatility) antara komponen i dan j
didefinisikan sebagai-:
, =
...(1.4)
Dengan Ki adalah harga K untuk komponen I dan Ki adalah hargaK untuk komponen j. Volatillitas relatif ini adalah ukuran kemudahan terpisahkan
lewat eksploitasi perbedaan volatillitas. Menurut konsensus,volatillitas relative
ditulis sebagai perbandingan harga K dari komponen lebih mudah menguap
(MVC = more-volatile component ) terhadap harga K komponen yang lebih sulit
menguap. Dengan demikian, harga mendekati satu atau bahkan satu, maka
kedua komponen sangat sulit bahkan tidak mungkin dipisahkan lewat operasi
distilasi.
Sebagai contoh untuk sistem biner, misalkan suatu cairan yang dapat
menguap terdiri dari dua komponen, A dan B. Cairan ini dididihkan sehingga
terbentuk fasa uap dan fasa cair, maka fasa uap akan kaya dengan komponen yang
lebih mudah menguap, misalkan A, sedangkan fasa cair akan diperkaya oleh
komponen yang lebih sukar menguap, B. Berdasarkan persamaan (1.3) dan (1.4),
volatillitas relative,AB, dapat dinyatakan sebagai berikut :
........(1.5)
..(1.6)
Jika persamaan (4) tersebut dialurkan terhadap sumbu x-y, maka akan diperoleh
kurva kesetimbangan yang menampilkan hubungan fraksi mol komponen yang
menampilkan hubungan fraksi mol komponen yang mudah menguap di fasa cair
dan fasa uap yang dikenal sebagai diagram x-y. Perhatikan Gambar 1.6, garis
bersudut 45o yang dapat diartikan semakin banyaknya komponen A di fasa uap
pada saat kesetimbangan. Ini menandakan bahwa semakin besar harga AB,
semakin mudah A dan B dipisahkan lewat distilasi.
Gambar 1.6 Diagram x-y Sistem Biner A-B (Tim penyusun, 2009)
dalam campuran, pi, sama dengan fraksi mol komponen tersebut, yi, dikalikan
tekanan parsial komponen, pi, sama dengan fraksi mol komponen di fasa cair, pis.
persamaan (1.8) menampilkan pernyataan ini.
= ............(1.7)
Pi = xiPis.(1.8)
Dari persamaan (1.7) dan (1.8), harga-K untuk system ideal dapat dinyatakan
sebagai berikut :
Ki =
.....(1.9)
F1 x F1 F2 x F2 D x D
F1 F2 D
Maka diperoleh :
D F1
R
x F1 x F2
..........................................(1.10)
x D x F2
xD
................................(1.11)
dx
dan x D dD -d(F x F )
tetapi dD = - dF, maka x D dF F dx F x F dF
bila diatur dan diintegrasikan diperoleh :
ln
F1
dx F
xxFF 12
.....(1.12)
F2
xD xF
Vn 1 L n 1 Vn L n ...........................................(1.13)
Persamaan neraca massa komponen :
Yn
Ln
Xn
Aliran refluks L dan aliran distilat D mempunyai kompisisi yang sama (x D).
Dengan asumsi equimolar over flow L1 = L2 = L3 = Ln dan V1 = V2 = V3 = Vn =
Vn+1.
Persamaan neraca massa total untuk envelope bertitik-titik adalah :
Vn 1 L n D ...(1.15)
Persamaan neraca massa komponen adalah :
Yn 1 Yn 1 L n X n D X D ..(1.16)
Persamaan untuk seksi Stripping :
Persamaan neraca massa total untuk envelope (daerah bergaris titik-titik) adalah :
Vm1 L m W .............(1.17)
xA +xB =1
xA +xB =1
yA + yB =1
Pada keadaan ini maka: yA,1 > xA,1 dan yB,1< xB,1
Bila dibandingkan dengan keadaan mula: yA,1 > xA,1> xA,2 dan yB,1< xB,1 <
xB,2.
3. Uap dipisahkan dari cairannya dan dikondensasi; maka didapat dua cairan,
cairan I dan cairan II. Cairan I mengandung lebih sedikit komponen A (lebih
mudah menguap) dibandingkan cairan II
Prinsip distilasi adalah membuat kesetimbangan fasa uap san cairan serta
memisahkan uap dan cairan yang berada dalam keadaan setimbang tersebut. Cara
pemisahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 1.12.
Seperti terlihat pada Gambar 1.12, misalnya cairan Ln+1 dengan komposisi
xA,n+1 dicampur dengan uap Vn+1 berkomposisi yA,n+1. Pencampuran tersebut
berlangsung pada suatu tahap kesetimbangan n. Pada tahap kesetimbangan n, akan
terbentuk uap dan cairan baru dalam keadaan setimbang yaitu Vn dan Ln. Uap Vn
mempunyai komposisi yA,n yang mengandung lebih banyak komponen A (ya,n>
yA,n+1), sedangkan cairan Ln mengandung lebih sedikit komponen A (xA,n< xA,n-1).
Operasi kesetimbangan tersebut diulang berkali-kali, sehingga diperoleh uap yang
sangat kaya A dan cairan yang sangat miskin A.
Dalam operasi distilasi, pencampuran dilakukan berturut-turut dalam tahaptahap (stage). Pada saat operasi berlangsung, cairan di tahap terendah dipanaskan
(Qr), sedangkan uap di tahap teratas didinginkan (Qc). Hasil atas yang diambil
disebut distilat (D) dan yang dikembalikan ke kolom disebut refluks (Lo). Jumlah
refluks dibanding distilat disebut rasio refluks (R) yang sangat mempengaruhi
hasil pemisahan.
R L 0 / D ...........(1.19)
Jika R tak hingga, artinya semua hasil atas kembali ke tahap I, maka operasi
distilasi disebut refluks total. Pada operasi dengan refluks total, maka jumlah
tahap teoritis adalah minimum. Kalau relative volatility konstan (dapat dianggap
konstan), maka jumlah tahap minimum pada operasi dengan refluks total dapat
dihitung dengan persamaan Fenske.
X X
log A B
X B D X A B
..............................................(1.20)
n 1
log av
dimana :
n
xA
xB
av
...................................(1.21)
1.3
Tujuan
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1 Bahan
Bahan-bahan yang di gunakan :
1. Etanol 96%
2. Aquades
2.2 Alat
Alat-alat yang digunakan:
1. Perangkat Distilasi
2. Gelas ukur 1000 ml, 1 buah
3. Gelas ukur 100 ml, 2 buah
4. Gelas ukur 10 ml, 1 buah
5. Alkoholmeter
6. Termokopel
7. Stopwatch
2.3 Prosedur Percobaan
1. Campuran etanol-air disiapkan sebanyak 8 liter dengan perbandingan
30% : 70%
2. Sebelum percobaan dimulai, semua valve dipastikan dalam keadaan
tertutup dan reboiler dalam keadaan kosong.
3. Valve V10 pada pipa refluks dibuka.
4. Reboiler diisi dengan campuran etanol-air yang telah disiapkan.
5. Power alat pada control panel dihidupkan.
6. Temperatur diatur ke T9 (temperatur reboiler)
7. Air pendingin dialirkan ke kondensor dengan membuka valve V5.
8. Power controller diatur sebesar 1,75 kW
9. Rasio refluks diatur dengan perbandingan 1 : 2.
10. Setelah distilasi berjalan, temperatur pada T9 diamati hingga konstan.
11. Refluks total selama 30 menit dilakukan jika T9 sudah konstan.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
80
79
Komposisi (% Volume)
70
77
66
60
65
Komposisi
Overhead
50
40
30
33
Komposisi
Bottom
30
20
26
21
20
40
50
10
0
10
20
30
Waktu (menit)
Gambar 3.1 Hubungan antara Komposisi Etanol terhadap Waktu pada Rasio
Refluks 1 : 2.
Berdasarkan Gambar 3.1, untuk rasio refluks 1 : 2, komposisi etanol pada
overhead semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Komposisi etanol pada
overhead tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 80%, sedangkan yang terendah
terdapat pada menit ke 50 yaitu 65%. Gambar 3.1 juga menunjukkan adanya
penurunan komposisi etanol pada bottom seiring dengan bertambahnya waktu.
Komposisi etanol pada bottom tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 33%,
sedangkan yang terendah terdapat pada menit ke 50 yaitu 20%. Laju boil-up yang
didapat pada rasio refluks 1 : 2 yaitu sebesar 2,561 liter/jam.
Hubungan komposisi etanol pada overhead dan bottom terhadap waktu
untuk rasio refluks 1 : 3 disajikan pada Gambar 3.2.
90
80
Komposisi (% Volume)
79
79
70
78
77
76
60
50
Komposisi
Overhead
40
30
Komposisi
Bottom
29
20
25
22
20
19
30
40
50
10
0
10
20
Waktu (menit)
Gambar 3.2 Hubungan antara Komposisi Etanol terhadap Waktu pada Rasio
Refluks 1 : 3.
Berdasarkan Gambar 3.2, untuk rasio refluks 1 : 3, komposisi etanol pada
overhead semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Komposisi etanol pada
overhead tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 79%, sedangkan yang terendah
terdapat pada menit ke 50 yaitu 76%. Gambar 3.2 juga menunjukkan adanya
penurunan komposisi etanol pada bottom seiring dengan bertambahnya waktu.
Komposisi etanol pada bottom tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 29%,
sedangkan yang terendah terdapat pada menit ke 50 yaitu 19%. Laju boil-up yang
didapat pada rasio refluks 1 : 3 yaitu sebesar 2,829 liter/jam.
Hubungan komposisi etanol pada overhead dan bottom terhadap waktu
untuk rasio refluks 1 : 4 disajikan pada Gambar 3.3.
90
80
Komposisi (% Volume)
81
70
78
76
75
74
60
Komposisi
Overhead
50
40
Komposisi
Bottom
30
20
27
26
23
21
20
40
50
10
0
10
20
30
Waktu (menit)
Gambar 3.3 Hubungan antara Komposisi Etanol terhadap Waktu pada Rasio
Refluks 1 : 4.
Berdasarkan Gambar 3.3, untuk rasio refluks 1 : 4, komposisi etanol pada
overhead semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Komposisi etanol pada
overhead tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 81%, sedangkan yang terendah
terdapat pada menit ke 50 yaitu 74%. Gambar 3.3 juga menunjukkan adanya
penurunan komposisi etanol pada bottom seiring dengan bertambahnya waktu.
Komposisi etanol pada bottom tertinggi terdapat pada menit ke 10 yaitu 27%,
sedangkan yang terendah terdapat pada menit ke 50 yaitu 20%. Laju boil-up yang
didapat pada rasio refluks 1 : 4 yaitu sebesar 2,873 liter/jam.
diperoleh secara teoritis dengan tray aktual, baik menggunakan persamaan Fenske
maupun dengan metode McCabe & Thiele. Jumlah tray teoritis dan efisiensi
kolom pada berbagai variasi rasio refluks dengan power konstan 1,75 kW
disajikan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Jumlah Tray Teoritis dan Efisiensi Kolom pada Berbagai Variasi Rasio
Refluks.
Tray Teoritis
Rasio
Refluks
Laju boilup
(liter/jam)
Tray
Aktual
1:2
2,561
1:3
1:4
Persamaan
Fenske
Metode
McCabe
& Thiele
Persamaan
Fenske
Metode
McCabe
& Thiele
0,57
1,2
7,18
15
2,829
0,89
1,7
11,09
21,25
2,873
0,81
1,5
10,13
18,75
Jumlah refluks dibanding distilat disebut rasio refluks (R) yang sangat
mempengaruhi hasil pemisahan. Jika R tak hingga, artinya semua hasil atas
kembali ke kolom, maka operasi distilasi disebut refluks total. Pada operasi
dengan refluks total, maka jumlah tray adalah minimum. Pada rasio refluks yang
kecil, jumlah tray akan besar, sedangkan pada rasio refluks minimum, jumlah tray
menjadi tak berhingga.
Berdasarkan Tabel 3.1, jumlah tray teoritis yang didapat pada rasio refluks 1
: 2 (baik menggunakan persamaan Fenske maupun dengan metode McCabe &
Thiele) lebih kecil dibandingkan pada rasio refluks 1 : 3. Kemudian terjadi
penurunan jumlah tray teoritis untuk rasio refluks 1 : 4. Sebagai contoh, jumlah
tray teoritis pada rasio refluks 1 : 2 yang dihitung menggunakan metode McCabe
& Thiele yaitu sebanyak 1,2 trays, kemudian meningkat menjadi 1,7 trays pada
rasio refluks 1 : 3 dan menurun menjadi 1,5 trays pada rasio refluks 1 : 4. Jumlah
tray ini akan berpengaruh terhadap efisiensi kolom, dimana efisiensi berbanding
lurus terhadap jumlah tray teoritis.
R L0 / D
Pada rasio refluks 1 : 4, jumlah cairan yang diambil sebagai destilat semakin
banyak dan laju boil-up nya pun meningkat yaitu sebesar 2,873 liter/jam, sehingga
pada menit ke 50 tidak terlihat lagi adanya proses pemisahan di sepanjang kolom
distilasi. Kondisi ini dipertegas dengan terjadinya penurunan temperatur yang
sangat besar di T8 pada menit ke 50 (lihat Tabel B.1 untuk rasio refluks 1 : 4).
3.3
membandingkan data hasil percobaan yang didapat pada power 1,75 kW dengan
data hasil percobaan kelompok II (dua) yang menggunakan power sebesar 1,5
kW. Data hasil percobaan kelompok II (dua) disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Data hasil percobaan kelompok II dengan menggunakan power 1,5 kW.
Power
(kW)
Rasio
Refluks
Laju
boil-up
(liter/jam)
1,5
1:2
2,5124
1,5
1:3
2,4973
1,5
1:4
1,9549
Metoda
Jumlah Tray
Persamaan Fenske
Tray Aktual
Persamaan Fenske
Tray Aktual
Persamaan Fenske
Tray Aktual
1,35135
8
1,48263
8
1,46118
8
Efisiensi
Kolom (%)
16,89
18,53
18,26
BAB IV
KESIMPULAN
1. Komposisi etanol pada overhead dan bottom pada rasio refluks konstan
mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu distilasi.
2. Semakin kecil rasio refluks maka efisiensi kolom akan semakin besar.
Efisiensi kolom terbesar didapat pada rasio refluks 1 : 3 yaitu 21,25%.
3. Untuk rasio refluks yang sama, semakin tinggi power yang digunakan
maka efisiensi kolom akan semakin berkurang. Untuk rasio refluks 1 : 3,
pada power 1,5 kW didapat efisiensi kolom sebesar 18,53%
(menggunakan persamaan Fenske), sedangkan pada power 1,75 kW
didapat efisiensi kolom sebesar 11,09%.
DAFTAR PUSTAKA
Suparni
Setyowati.
2009.
Penyulingan
(Distilation).
Tersedia:
www.chem-is-try.org.
Tim Penyusun. 2009. Laboratorium Operasi Teknik Kimia UNTIRTA: Distilasi
Batch. Banten.
Tim Penyusun. 2010. Penuntun Praktikum Laboratorium Operasi Teknik Kimia
FT UNTIRTA. Banten.
Tim Penyusun. 2016. Penuntun Praktikum Laboratorium Teknik Kimia. Program
Studi S1 Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pekanbaru.
Treybal, R. E. 1981. Mass Transfer Operation, 3rd edition, Mc. Braco, Singapore.
LAMPIRAN A
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
: Distilasi Batch
Hari/Tanggal Praktikum
Pembimbing
Asisten Laboratorium
: Tiffani Qalbi
Nama Kelompok II
1:2
1:3
1:4
Volume
boil-up
(ml)
Waktu
boil-up
(detik)
50
81
50
64
50
68
50
66
50
62
50
63
50
62
50
63
50
63
Laju boilup
(liter/jam)
2,561
2,829
2,873
Komposisi
Overhead
(% Vol)
Komposisi
Bottom
(% Vol)
80
79
77
66
65
79
79
78
77
76
81
78
76
75
74
33
30
26
20
21
29
25
22
20
19
27
26
23
21
20
Temperatur
(oC)
T1
T8
89,1
91,7
94,6
96,7
98,1
91.3
93,8
94,7
97,4
98,4
92,9
95,3
97,1
98,5
94,1
84,2
88,3
91,6
94,1
96,1
83,6
84,5
88,3
90,9
93,6
84,6
90,2
93,4
95,2
78,9
Rasio Etanol-Air
: 30% : 70%
Volume Umpan
: 8 Liter
Power
: 1,75 kW
Pekanbaru, 6 Agustus 2016
Asisten Praktikum,
Tiffani Qalbi
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
=1,75 kW
Etanol (A)
= 30% (2,4 L)
Air (B)
= 70% (5,6 L)
Tabel B.1 Data Hasil Percobaan pada Berbagai Variasi Rasio Refluks
Rasio
Refluks
Laju boilWaktu
up
(menit)
(liter/jam)
1:2
2,561
1:3
2,829
1:4
2,873
Komposisi
Overhead
(% Vol)
Komposisi
Bottom
(% Vol)
80
79
77
66
65
79
79
78
77
76
81
78
76
75
74
33
30
26
20
21
29
25
22
20
19
27
26
23
21
20
10
20
30
40
50
10
20
30
40
50
10
20
30
40
50
Temperatur (oC)
T1
T8
89,1
91,7
94,6
96,7
98,1
91.3
93,8
94,7
97,4
98,4
92,9
95,3
97,1
98,5
94,1
84,2
88,3
91,6
94,1
96,1
83,6
84,5
88,3
90,9
93,6
84,6
90,2
93,4
95,2
78,9
Volume Air
Mol Etanol
=
=
etanol
Vetanol
BMetanol
0,789 g/ml)
ml
48 g/mol
= 1,3722 mol.
Mol air
air Vair
BMair
1 g/ml)
ml
18 g/mol
= 1,1111 mol.
mol etanol
mol etanol + mol air
= 0,5526
Fraksi mol air di distilat (XBD)
+ ,
= 33% x 100 ml = 33 ml
Volume Air
etanol
Vetanol
BMetanol
0,789 g/ml)
ml
48 g/mol
= 0,5660 mol.
b) Bottom (B)
Mol Etanol
Mol air =
=
air Vair
BMair
1 g/ml)
ml
18 g/mol
= 3,7222 mol.
mol etanol
mol etanol + mol air
= 0,1320
+ ,
= 0,6775
b) Bottom
kesetimbangan etanol-air. Karena nilai (XAB) tidak terdapat pada data maka
harus di interpolasi :
YAB = ,
= 0,4786
= 0,4675
XBD
= 0,5325
XAB
= 0,0988
XBB
= 0,9012
YAD
= 0,6416
YBD
= 0,3584
YAB
= 0,4302
YBB
= 0,5698
D =
B =
(YAD )/(XAD ) ,
=
(YBD )/(XBD ) ,
,
,
= ,
(YAB )/(XAB ) ,
=
(YBB )/(XBB ) ,
,
,
= ,
()av = D B = ,
x ,
= ,
= 0,4675
XAB
= 0,0988
XBD
= 0,5325
XBB
= 0,9012
()av
= 3,7465
n+ =
log [
XA
XB
XB D XA B
log
,
av
, ,
,
log [ ,
n+1=
log ,
n = 0,57467 1
x 100%
0,57467
8
x 100%
= 7,18%
Perhitungan di atas juga digunakan untuk menghitung jumlah tray teoritis
dan efisiensi kolom pada rasio refluks 1 : 3 dan 1 : 4.
Diketahui:
XF = 0,30
XAD = 0,4675
XAB = 0,0988
Menentukan garis operasi;
R =
=
=
XAD
XAD
R+
,
, +
= 0,3116
Dimana adalah perpotongan garis operasi dengan sumbu y. Data diplot ke
dalam grafik kesetimbangan etanol-air, sehingga didapat jumlah tray teoritis
dalam menara destilasi pada rasio refluks 1 : 2 yaitu sebanyak 1,2 tray.
Jumlah tray teoritis = 1,2
Efisiensi kolom
x 100%
x 100%
= 15%
Perhitungan di atas juga digunakan untuk menghitung jumlah tray teoritis
dan efisiensi kolom pada rasio refluks 1 : 3 dan 1 : 4.
LAMPIRAN C
DATA HASIL PERHITUNGAN
Waktu
(menit)
Mol
etanol
Mol air
XAD
XBD
YAD
YBD
10
1,3722
1,1111
0,5526
0,4474
0,6775
0,3225
20
1,3550
1,1667
0,5373
0,4627
0,6708
0,3292
30
1,3207
1,2778
0,5083
0,4917
0,6579
0,3421
40
1,1320
1,8889
0,3747
0,6253
0,6029
0,3971
50
1,1149
1,9444
0,3644
0,6356
0,5989
0,4011
Jumlah
2,3373
2,6627
3,2080
1,7920
Rata-rata
0,4675
0,5325
0,6416
0,3584
Tabel C.2 Data Hasil Perhitungan Fraksi Mol Fasa Cair dan Uap pada Bottom
untuk Rasio Refluks 1 : 2
Waktu
(menit)
10
Mol
etanol
0,5660
20
Run
Mol air
XAB
XBB
YAB
YBB
3,7222
0,1320
0,8680
0,4786
0,5214
0,5146
3,8889
0,1169
0,8831
0,4604
0,5396
30
0,4460
4,1111
0,0979
0,9021
0,4376
0,5624
40
0,3602
4,3889
0,0758
0,9242
0,3926
0,6074
50
0,3430
4,4444
0,0717
0,9283
0,3816
0,6184
Jumlah
0,4942
4,5058
2,1508
2,8492
Rata-rata
0,0988
0,9012
0,4302
0,5698
Waktu
(menit)
Mol
etanol
Mol Air
XAD
XBD
YAD
YBD
10
1,3550
1,1667
0,5373
0,4627
0,6708
0,3292
20
1,3550
1,1667
0,5373
0,4627
0,6708
0,3292
30
1,3379
1,2222
0,5226
0,4774
0,6642
0,3358
40
1,3207
1,2778
0,5083
0,4917
0,6579
0,3421
50
1,3036
1,3333
0,4944
0,5056
0,6517
0,3483
Jumlah
2,5999
2,4001
3,3153
1,6847
Rata-rata
0,5200
0,4800
0,6631
0,3369
Tabel C.4 Data Hasil Perhitungan Fraksi Mol Fasa Cair dan Uap pada Bottom
untuk Rasio Refluks 1 : 3
Run
Waktu
(menit)
Mol
etanol
Mol air
XAB
XBB
YAB
YBB
10
0,4974
3,9444
0,1120
0,8880
0,4546
0,5454
20
0,4288
4,1667
0,0933
0,9067
0,4322
0,5678
30
0,3773
4,3333
0,0801
0,9199
0,4037
0,5963
40
0,3430
4,4444
0,0717
0,9283
0,3816
0,6184
50
0,3259
4,5000
0,0675
0,9325
0,3708
0,6292
Jumlah
0,4246
4,5754
2,0429
2,9571
Rata-rata
0,0849
0,9151
0,4086
0,5914
Waktu
(menit)
Mol
etanol
Mol air
XAD
XBD
YAD
YBD
10
1,3893
1,0556
0,5683
0,4317
0,6845
0,3155
20
1,3379
1,2222
0,5226
0,4774
0,6642
0,3358
30
1,3036
1,3333
0,4944
0,5056
0,6517
0,3483
40
1,2864
1,3889
0,4808
0,5192
0,6457
0,3543
50
1,2693
1,4444
0,4677
0,5323
0,6403
0,3597
Jumlah
2,5338
2,4662
3,2864
1,7136
Rata-rata
0,5068
0,4932
0,6573
0,3427
Tabel C.6 Data Hasil Perhitungan Fraksi Mol Fasa Cair dan Uap pada Bottom
untuk Rasio Refluks 1 : 4
Run
Waktu
(menit)
Mol
etanol
Mol air
XAB
XBB
YAB
YBB
10
0,4631
4,0556
0,1025
0,8975
0,4432
0,5568
20
0,4460
4,1111
0,0979
0,9021
0,4376
0,5624
30
0,3945
4,2778
0,0844
0,9156
0,4151
0,5849
40
0,3602
4,3889
0,0758
0,9242
0,3926
0,6074
50
0,3430
4,4444
0,0717
0,9283
0,3816
0,6184
Jumlah
0,4323
4,5677
2,0700
2,9300
Rata-rata
0,0865
0,9135
0,4140
0,5860
Tray
Aktual
1:2
Persamaan
Fenske
Metode
McCabe &
Thiele
Persamaan
Fenske
Metode
McCabe &
Thiele
0,57
1,2
7,18
15
1:3
0,89
1,7
11,09
21,25
1:4
0,81
1,5
10,13
18,75
LAMPIRAN D
McCABE & THIELE DIAGRAM
FOR DISTILLATION OF ETHANOL-WATER
0,9
0,8
Equilibrium line
0,7
45 degrees line
Y (Fraksi Uap)
0,6
XF (umpan)
XAD (destilat)
0,5
XAB (bottom)
0,4
Operating line
q line
0,3
Feed Tray
0,2
0,1
0
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
X (Fraksi Cair)
Gambar D.1 Diagram McCabe & Thiele untuk distilasi etanol-air pada rasio
refluks 1 : 2
0,9
0,8
Equilibrium line
0,7
45 degrees line
XF (umpan)
Y (Fraksi Uap)
0,6
XAD (destilat)
0,5
XAB (bottom)
0,4
Operating line
q line
0,3
Feed Tray
0,2
0,1
0
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
X (Fraksi Cair)
Gambar D.2 Diagram McCabe & Thiele untuk distilasi etanol-air pada rasio
refluks 1 : 3
0,9
0,8
Equilibrium line
0,7
45 degrees line
Y (Fraksi Uap)
0,6
XF (umpan)
XAD (destilat)
0,5
XAB (bottom)
0,4
Operating line
q line
0,3
Feed Tray
0,2
0,1
0
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
X (Fraksi Cair)
Gambar D.3 Diagram McCabe & Thiele untuk distilasi etanol-air pada rasio
refluks 1 : 4
LAMPIRAN E
DATA KESETIMBANGAN ETANOL-AIR
Tabel E.1 Data kesetimbangan etanol-air pada 1 atm (Geankoplis App. A.3-23)
Temperatur
Temperatur
(C)
XA
YA
(C)
XA
YA
100
98.1
95.2
91.8
87.3
84.7
83.2
82
0
0.02
0.05
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0
0.192
0.377
0.527
0.656
0.713
0.746
0.771
81
80.1
79.1
78.3
78.2
78.1
78.2
78.3
0.6
0.7
0.8
0.9
0.94
0.96
0.98
1
0.794
0.822
0.858
0.912
0.942
0.96
0.978
1
Temperatur
(C)
XA
YA
(C)
XA
YA
100
98.1
95.2
91.8
87.3
84.7
83.2
82
0
0.008
0.02
0.042
0.089
0.144
0.207
0.281
0
0.085
0.191
0.304
0.427
0.493
0.533
0.568
81
80.1
79.1
78.3
78.2
78.1
78.2
78.3
0.37
0.477
0.61
0.779
0.86
0.94
0.95
1
0.601
0.644
0.703
0.802
0.864
0.902
0.946
1
LAMPIRAN F
DOKUMENTASI
Disusun Oleh :
Kelompok I (Satu)
Hendryanto Sinaga
(1507167334)
Ryan Tito
(1507165761)
(1507165728)
BAB I
DATA HASIL PENGAMATAN
Tabel 1.1 Data hasil pengamatan ekstraksi NaOH dari campuran Ca(OH)2 dan
Na2CO3 dengan waktu pengadukan 5 menit.
Gelas
Piala
Berat
Endapan
(gr)
Volume
Ekstrak
(ml)
9,97
233
9,05
252
9,43
235
9,57
240
Volume
Titrasi
(ml)
31,5
32
31
32
30,5
31,5
35
28
Rata-rata
Volume
Titrasi (ml)
31,75
31,5
30,5
31,5
Densitas
(gr/ml)
1,106
1,106
1,104
1,104
1,106
1,104
1,11
1,108
Rata-rata
Densitas
(gr/ml)
1,106
1,104
1,105
1,109
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1
Tabel 2.1 Hasil pengolahan data ekstraksi NaOH dari campuran Ca(OH)2 dan
Na2CO3 menggunakan pelarut air dengan pengadukan 5 menit.
Gelas
Piala
1
2
3
4
2.2
Me
(N)
0,63
0,64
0,62
0,64
0,61
0,63
0,70
0,56
Ratarata
Me
(N)
Ws
(gr)
5,872
5,965
6,25
0,630
6,451
5,734
0,620
5,922
6,72
0,630
5,476
0,635
Ratarata Wm
Ws (gr)
(gr)
6,05
5,83
8
6,35
5,92
Efisiensi
(%)
73,395
74,56
78,12
80,64
71,675
74,025
84
67,2
Efisiensi
tahap
(%)
Efisiensi
total
(%)
Yield
(%)
75,45
75,47
73,98
79,38
72,85
75,6
Pembahasan
Berdasarkan data hasil pengamatan pada Tabel 1.1 diketahui bahwa NaOH
(solute) telah berhasil diekstraksi dari dalam CaCO3 (padatan innert) oleh
aquadest (solvent). Reaksi yang terjadi:
Na2CO3 + Ca(OH)2 2NaOH + CaCO3
Salah satu parameter yang disajikan dalam data pengamatan adalah volume
larutan. Dari data dapat diketahui bahwa terjadi penurunan volume larutan yang
semula sebanyak 300 ml. Penurunan volume larutan tersebut sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa saat proses ekstraksi berlangsung, solvent akan berdifusi
intra-partikel ke dalam padatan untuk mengikat solute yang terdapat dalam
padatan sehingga akan terjadi penurunan volume larutan akibat proses difusi
tersebut.
Selain volume larutan, parameter lain yang dapat ditinjau untuk menentukan
keberhasilan proses ekstraksi padat-cair adalah berat endapan yang dihasilkan
pada masing-masing gelas piala. Dengan metoda ekstaraksi bertahap 4 (empat)
antara padatan dan cairan, sehingga pada saat pemisahan terdapat sebagian
padatan yang terbawa oleh ekstrak dan juga sebaliknya, sebagian ekstrak juga ada
yang tertinggal bersama endapan, sehingga secara tidak langsung akan
mempengaruhi efisiensi tahap.
Yield adalah banyaknya kandungan NaOH yang terbentuk per kg reaktan
yang dimasukkan ke reaksi tersebut. Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil
percobaan diperoleh persen yield sebesar 75,47% NaOH dari 10,6 gram Na2CO3.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
1. Volume solute yang terlarut akan berbanding terbalik dengan massa endapan
yang terbentuk. Berdasarkan hasil percobaan, pada gelas piala 2 yang
memiliki volume ekstrak paling tinggi yaitu 252 ml, massa endapannya
adalah yang paling rendah dibanding gelas piala yang lain yaitu 9,05 gram.
2. Konsentrasi NaOH ekstrak pada masing-masing piala tidak berbeda jauh,
yaitu berkisar antara 0,620 N 0,635 N.
3. Massa NaOH yang terdapat dalam ekstrak pada masing-masing piala tidak
berbeda jauh, yaitu berkisar antara 5,83 gr 6,35 gr.
4. Efisiensi tahap yang didapat pada masing-masing gelas piala yaitu sebesar
72,85% - 79,38%, atau selisih 6,53%. Selisih efisiensi yang didapat pada
hasil percobaan lebih besar dibanding selisih efisiensi yang dianjurkan.
5. Efisiensi total yang didapat sebesar 75,45% dengan nilai yield sebesar
75,47%.
3.2
Saran
Percobaan ekstraksi padat cair selanjutnya disarankan untuk memvariasikan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN A
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
Hari/Tanggal Praktikum
Pembimbing
Asisten Laboratorium
: M. Asyraf Hazzamy
Nama Kelompok I
Massa Na2CO3
: 10,6 gram
Massa Ca(OH)2
: 8 gram
Tabel A.1 Data Hasil Pengukuran Volume Ekstrak dan Hasil Titrasi
Gelas piala ke1
2
3
4
Titrasi
Volume ekstrak
Volume NaOH Volume HCl 0,1 N
(ml)
(ml)
(ml)
5
31,5
233
5
32
5
31
252
5
32
5
30,5
235
5
31,5
5
35
240
5
28
2
b
40,70
38,65
36,65
34,68
30,51
28,29
25,67
24,76
24,37
24,37
a
14,86
3
b
38,99
36,93
34,81
32,70
30,68
26,12
24,72
24,14
23,93
23,91
23,91
a
15,03
4
b
38,40
36,16
34,15
32,29
30,33
28,31
24,85
24,60
24,56
24,48
24,46
24,46
a
13,63
b
35,08
32,84
30,64
28,77
27,31
25,75
24,55
23,22
23,21
23,20
23,20
M. Asyraf Hazzamy
LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
= 31,5 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, N x ,5 ml
=
= 0,63 N
5 ml
V2
= 32 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, Nx
ml
=
= 0,64 N
5
ml
V2
Gelas piala 2.
= 31 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, Nx
ml
=
= 0,62 N
5
ml
V2
= 32 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, Nx
ml
=
= 0,64 N
5
ml
V2
Gelas piala 3.
Volume titrasi (V1)
= 30,5 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, N x ,5 ml
=
= 0,61 N
5 ml
V2
= 31,5 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, N x ,5 ml
=
= 0,63 N
5 ml
V2
Gelas piala 4.
Volume titrasi (V1)
= 35 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, N x 5 ml
=
= 0,70 N
5 ml
V2
= 28 ml
= 0,1 N
= 5 ml
Maka :
Me =
M 1 V1
, N x 8 ml
=
= 0,56 N
5 ml
V2
= 5,872 gr
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 233 ml
Maka : Ws
= 5,965 gr
Gelas piala 2
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 252 ml
Maka : Ws
= 6,25 gr
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 270 ml
Maka : Ws
= 6,451 gr
Gelas piala 3
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 235 ml
Maka : Ws
= 5,734 gr
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 235 ml
Maka : Ws
= 5,922 gr
Gelas piala 4
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 240 ml
Maka : Ws
= 6,72 gr
Mr NaOH = 40 gr/mol
Volume NaOH = 240 ml
Maka : Ws
= 5,376 gr
3. Menentukan efisiensi produk
Berat Na2CO3 mula-mula
= 10,6 gram
BM Na2CO3
= 106 gram/mol
Mol Na2CO3 =
Berat Na 2 CO 3
10,6 gram
= 0,1 mol
BM Na 2 CO 3
106 gram/mol
BM Ca(OH)2 = 74 gram/mol
Mol Ca(OH)2 =
Berat Ca(OH) 2
8 gram
0,108 mol
BM Ca(OH) 2
74 gram/mol
= 2 x mol Na2CO3 =
2
x 0,1 mol = 0,2 mol
1
R1 =
R1 =
Ws
x 100% =
Wm
Ws
x 100% =
Wm
% = 74,56 %
,
Ws
x 100% =
Wm
% = 78,12 %
R2 =
R2 =
% = 73,395 %
Ws
x 100% =
Wm
% = 80,64 %
R3 =
R3 =
Ws
x 100% =
Wm
,
Ws
x 100% =
Wm
R4 =
,
Ws
x 100% =
Wm
% = 71,675 %
% = 74,025 %
% = 84 %
R4 =
Ws
x 100% =
Wm
R1 =
+R
% = 67,2 %
= 73,98%
R2 = 79,38%
R3 = 72,85%
R4 = 75,6%
Rtotal =
= 75,45 %
4. Menghitung % yield
Yield dinyatakan sebagai kg NaOH yang terbentuk (Wm) per kg Na2CO3 yang
dimasukkan ke reaksi tersebut.
% yield =
(8 gram / 1000)
x 100 %
(10,6 gram / 1000)
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI
LAPORAN PRAKTIKUM
LABORATORIUM TEKNIK KIMIA
REAKTOR
Disusun Oleh :
Kelompok I (Satu)
Hendryanto Sinaga
(1507167334)
Ryan Tito
(1507165761)
(1507165728)
ABSTRAK
Percobaan pada reaktor tubular dilakukan dengan reaksi saponifikasi Etil
asetat dengan Natrium hidroksida hingga tercapai kondisi steady state yang
ditandai dengan konduktivitasnya konstan. Percobaan ini bertujuan untuk
menentukan konstanta kecepatan reaksi saponifikasi pada reaktor tubular.
Percobaan dilakukan dengan memvariasikan laju alir umpan (speed pompa 5, 7
dan 9) dan konsentrasi umpan Etil asetat (0,01 M dan 0,05 M). Proses yang
dilakukan yaitu kalibrasi pompa 1 dan pompa 2 untuk mengetahui laju alir
masing-masing umpan. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, semakin besar
speed pompa, maka laju alir yang diperoleh juga akan semakin besar. Semakin
besar laju alir umpan, maka waktu untuk mencapai kondisi steady state semakin
cepat. Peningkatan laju alir umpan juga meningkatkan konversi reaksi serta nilai
konstanta laju spesifik (k). Konsentrasi reaktan juga berpengaruh terhadap nilai
konstanta laju spesifik, dimana peningkatan konsentrasi reaktan akan
meningkatkan nilai konstanta laju spesifik (k). Konstanta laju spesifik (k) tertinggi
didapat sebesar 1,88 L/mol.s yaitu pada speed pompa 9 dengan konsentrasi
NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan yaitu untuk menentukan konstanta kecepatan reaksi
Dasar Teori
pembentukan arus putar pada aliran cepat. Reaktor alir pipa pada hakekatnya
hampir sama dengan pipa dan relatif cukup mudah dalam perancangannya.
Reaktor ini biasanya dilengkapi dengan selaput membran untuk menambah
yield produk pada reaktor. Produk secara selektif ditarik dari reaktor sehingga
keseimbangan dalam reaktor secara kontinu bergeser membentuk lebih banyak
produk (Yahdi, 2013).
diketahui. Model reaktor alir pipa digunakan untuk berbagi jenis fluida, seperti:
cairan, gas, dan slurry. Walaupun aliran turbulen dan difusi aksial menyebabkan
pencampuran arah axial pada berbagai reaktor namun pada reaktor alir pipa
kondisi ini memiliki efek yang kecil dan diabaikan (Yahdi, 2013).
Prosedur
Kalibrasi harus dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang telah
diakui. Kesalahan pemahaman prosedur akan membuahkan hasil yang
kurang benar dan tidak dapat dipercaya. Pengesetan sistem harus teliti
sesuai dengan aturan pemakaian alat, agar kesalahan dapat dihindari.
Kalibrator
Kalibrator harus mampu telusur
Tenaga pengkalibrasi
Tenaga pengkalibrasi harus memiliki keahlian dan keterampilan yang
memadai,
karena
hasil
kalibrasi
sangat
tergantung
kepadanya.
Periode kalibrasi
Periode kalibrasi adalah selang waktu antara satu kalibrasi suatu alat ukur
dengan kalibrasi berikutnya. Periode kalibrasi tergantung pada beberapa
faktor antara lain pada kualitas metrologis alat ukur tersebut, frekuensi
pemakaian, pemeliharaan atau penyimpanan dan tiingkat ketelitiannya.
Periode kalibrasi dapat ditetapkan berdasarkan lamanya pemakaian alat,
waktu kalender atau gabungan dari keduanya.
Lingkungan
Lingkungan dapat menyebabkan pengaruh yang sangat besar terhadap
kalibrasi terutama untuk mengkalibrasi kalibrator. Misalnya kondisi suhu,
kelembaban, getaran mekanik medan listrik, medan magnetik, medan
elektromagnetik, tingkat penerangan dan sebagainya.
mol A reaktan
mol A feed
C+D
....................... ( 1 )
Jika konsentrasi awal A (ao) sama dengan konsentrasi awal B (bo), maka
persamaan (1) tersebut dapat disederhanakan menjadi :
r = k.a2
....................... ( 2 )
....................... ( 3 )
reaksi order dua pada persamaan (2) dapat dinyatakan dengan hubungan konversi
A (Xa) dengan waktu reaksi (t) sebagai berikut :
Xa
k.a.t
1 X a
....................... ( 4 )
Xa
versus t, sehingga
1 X a
diperoleh slope k.a0. Dengan diketahui konsentrasi awal A (a0), maka nilai
konstanta kecepatan (k) dapat dihitung.
Reaksi saponifikasi Ethyl acetate dengan Sodium hydroxide merupakan
contoh reaksi orde dua dengan batasan konsentrasi 0 0.1 M dan temperature 2040 0C. Adapun reaksinya sebagai berikut:
NaOH
Sodium hydroxide
CH3COOC2H5
Ethyl asetat
CH3COONa
Sodium acetate
+ C2H5OH
Ethyl alcohol
Reaksi ini dapat dilakukan pada reaktor CSTR ataupun Tubular sampai kondisi
steady state. Kondisi steady state ini akan bervariasi tergantung pada kondisi
reagen, flow rate, volume reaktor dan temperatur reaksi (Tim Penyusun, 2016).
1.2.8 Pengukuran Konduktivitas
Konduktivitas laturan yang berekasi dalam reaktor tergantung pada tingkat
konversi dan hal ini memberikan suatu metode yang cocok untuk memonitor
perkembangan reaksi (Tim Penyusun, 2016). Konsentrasi umpan dapat dihitung
sebagai berikut:
Konsentrasi NaOH mula-mula dalam reaktor (a0) :
a0 =
F +F
................................................. ( 5 )
..................................................( 6 )
F +F
Menurut Tim Penyusun (2016), jika diberikan waktu tak hingga, reaksi akan
berlangsung kontinu sehingga salah satu atau kedua reagen tersebut terkonversi
sempurna. Sehingga, konsentrasi sodium asetat dalam reaktor pada waktu tak
hingga menjadi:
Atau
<
..................................................( 7 )
.........................................( 8 )
Dan konsentrasi sodium hydroxide dalam reaktor setelah waktu tak hingga :
Atau
<
.........................................( 9 )
.......................................( 10 )
= .
[ + .
...........................( 11 )
Dengan cara yang sama, hubungan konduktivitas sodium hydroxide pada waktu
tak hingga dengan konsentrasinya dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :
= .
[ + .
...........................( 12 )
.......................................( 13 )
[ + .
.......................................( 14 )
Konduktivitas awal larutan dapat juga dihitung dengan asumsi bahwa sodium
asetat sama dengan nol
=
.......................................( 15 )
Menurut Tim Penyusun (2013), dengan perhitungan dari persamaanpersamaan diatas maka harga konsentrasi sodium hydroxide dalam reaktor pada
waktu t (a1) dan konsentrasi sodium asetat pada waktu t (c1) serta tingkat konversi
(Xa) untuk masing-masing sampel konduktivitas yang dilakukan tiap periode
waktu selama percobaan dapat dihitung dengan persamaan-persamaan berikut :
Konsentrasi sodium hydroxide dalam reaktor pada waktu t :
=
]+
...................................................( 16 )
Dengan cara yang sama, konsentrasi sodium asetat pada waktu t adalah :
=
[ ]
...................................................( 17 )
mula-mula. Jumlah yang sama dapat didefenisikan untuk produksi sodium asetat,
sebagai jumlah yang dihasilkan yang dinyatakan sebagai persentase jumlah total
yang diharapkan setelah waktu tak hingga:
=
=
...................................................( 18 )
untuk c0 = 0....................................................( 19 )
= .
. .
...................................... ( 21 )
Untuk reaktor kontinu yang beroperasi pada keadaan steady state, laju perubahan
mol dalam reaktor adalah nol dan volume dapat diasumsikan konstan, sehingga :
Maka,
............................................... ( 22 )
.......................................( 23 )
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1.
b. Bahan:
1. Etil asetat (CH3COOC2H5)
2. NaOH
3. Aquades
4. HCl 0,1 M
5. Indikator PP
2.3
Pompa Umpan
Tipe pompa paristaltik dengan kemampuan pada range 0-95 ml per menit.
Operasi normal dilakukan dengan switch toggle (16) pada posisi manual.
Untuk pengaturan kecepatan pompa dapat diatur dengan memutar
potensiometer.
Pengukur Konduktivitas
Konduktivitas ditunjukkan pada monitor (27) dalam satuan milliSiemen.
Selama bereaksi, konduktivitas dari larutan berubah. Dari data ini dapat
digunakan untuk menentukan tingkat konversi dan kecepatan konversi.
2.4
Perhitungan/Analisis
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Percobaan
Percobaan dilakukan dengan mengalirkan air menggunakan speed pompa 4,
Waktu
(menit)
Konduktivitas
speed 5
(mS)
Konduktivitas
speed 7
(mS)
Konduktivitas
speed 9
(mS)
Konduktivitas
speed 5
(mS)
Konduktivitas
speed 7
(mS)
Konduktivitas
speed 9
(mS)
0,77
0,76
0,73
0,57
0,74
0,70
0,76
0,77
0,74
0,55
0,74
0,69
0,77
0,75
0,74
0,54
0,71
0,70
0,76
0,74
0,72
0,63
0,70
0,69
0,75
0,74
0,72
0,66
0,70
0,69
10
0,74
0,74
0,72
0,75
0,70
0,69
12
0,74
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
14
0,75
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
16
0,75
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
18
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
20
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
22
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
24
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
26
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
28
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
30
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
Tabel 3.3. Data konversi dan konstanta laju spesifik k untuk masing-masing
speed pompa percobaan I dan II
NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,01 M
Hasil Perhitungan
Speed 5
Speed 7
Speed 9
Speed 5
Speed 7
Speed 9
Konversi Xa
0,203
0,33
0,477
0,312
0,388
0,527
0,23
0,65
0,69
0,73
1,12
1,88
3.2
Pembahasan
80
70
60
50
y = 9.8286x + 5.9333
R = 0.9901
40
30
20
10
0
4
Speed Pompa
9
Pompa 1
Pompa 2
Gambar 3.1. Hubungan antara speed pompa dengan laju alir air pada
pompa 1 dan 2.
Berdasarkan Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa semakin besar speed pompa
yang digunakan, baik pada pompa 1 maupun pompa 2, maka laju alir yang
diperoleh akan semakin besar pula. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
volume air yang ditampung dalam gelas ukur setiap kenaikan speed pompa pada
selang waktu konstan selama 1 menit. Gambar 3.1 juga menunjukkan bahwa
untuk speed pompa yang sama, laju alir air pada pompa 2 lebih besar
dibandingkan laju alir air pada pompa 1. Kondisi ini dikarenakan spesifikasi
pompa yang digunakan berbeda, sehingga mempengaruhi kinerja dari pompa
tersebut.
3.2.2 Menentukan Kondisi Steady State
Penentuan
steady
kondisi
state
dilakukan
dengan
memplot
data
Konduktivitas (S)
0.76
0.74
0.72
0.7
0.68
0
10
12
14
16
18
20
22
Waktu (menit)
24
26
28 30
Speed 5
Speed 7
Speed 9
0.8
Konduktivitas (S)
0.75
0.7
0.65
0.6
0.55
0.5
0
10
12
14
16
18
20
22
24
26
Waktu (menit)
28 30
Speed 5
Speed 7
Speed 9
0.527038
0.48
Konversi (Xa)
0.388754
0.4
0.32
0.477386
0.312269
0.330639
0.24
0.16
0.202896
0.08
0
5
Speed Pompa
Konversi percobaan I (NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,01 M)
Konversi percobaan II (NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M)
Gambar 3.4 Hubungan antara konversi dengan speed pompa pada percobaan
I dan II.
Berdasarkan Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa semakin besar speed pompa
(laju alir semakin besar) maka konversi yang dihasilkan juga semakin besar.
Semakin besar speed pompa, maka semakin banyak umpan yang masuk ke reaktor
dan saling bertumbukan, sehingga konversinya semakin besar pula. Gambar 3.4
juga memperlihatkan bahwa konversi pada percobaan II lebih besar dibanding
pada percobaan I, dimana konsentrasi larutan pada percobaan II lebih besar
dibanding percobaan I. Kondisi ini terjadi karena semakin besar konsentrasi
larutan umpan, maka semakin banyak partikel zat didalamnya sehingga frekuensi
tumbukan semakin banyak. Akibatnya, semakin banyak komponen larutan yang
terkonversi. Konversi tertinggi didapat sebesar 0,527 yaitu pada speed pompa 9
dengan konsentrasi NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M.
2
1.88
1.5
1.12
1
0.73
0.69
0.65
0.5
0.23
0
5
Speed Pompa
Nilai k percobaan I (NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,01 M)
Nilai k percobaan II (NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M)
Gambar 3.5 Hubungan antara konstanta laju spesifik k dengan speed pompa pada
percobaan I dan II.
Berdasarkan Gambar 3.5 dapat dilihat bahwa semakin besar speed pompa
(laju alir) maka konstanta laju spesifik yang diperoleh juga akan semakin besar.
Kondisi ini sesuai dengan persamaan:
k=
F a0 a1
V
a12
BAB IV
KESIMPULAN
1. Semakin besar speed pompa, maka laju alir yang diperoleh semakin besar.
2. Semakin besar laju alir umpan, maka waktu untuk mencapai kondisi steady
state semakin cepat. Konsentrasi reaktan juga berpengaruh terhadap waktu
steady state, dimana peningkatan konsentrasi reaktan akan mempercepat
tercapainya kondisi steady state.
3. Semakin besar speed pompa (laju alir) maka konversi yang dihasilkan juga
semakin besar. Konversi tertinggi didapat sebesar 0,527 yaitu pada speed
pompa 9 dengan konsentrasi NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M.
4. Semakin besar speed pompa (laju alir) maka konstanta laju spesifik yang
diperoleh juga akan semakin besar. Konsentrasi reaktan juga berpengaruh
terhadap nilai konstanta laju spesifik, dimana peningkatan konsentrasi
reaktan akan meningkatkan nilai konstanta laju spesifik. Konstanta laju
spesifik k tertinggi didapat sebesar 1,88 L/mol.s yaitu pada speed pompa 9
dengan konsentrasi NaOH 0,01 M dan Etil asetat 0,05 M.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun. 2013. Penuntun Praktikum Teknik Reaksi Kimia. Program Studi
D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pekanbaru
Tim Penyusun. 2016. Penuntun Praktikum Laboratorium Teknik Kimia. Program
Studi SI Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pekanbaru
Yahdi, NS. 2013. Makalah Reaktor Alir Pipa. Pekanbaru.
LAMPIRAN D
DOKUMENTASI
LAMPIRAN A
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
: Reaktor
Hari/Tanggal Praktikum
Pembimbing
Asisten Laboratorium
: Rini Dwi A
Nama Kelompok I
Hasil Percobaan
m = n . Mr
m = 0,05 . 40
m = 2 gr
2. Pengenceran larutan umpan Etil asetat (0,01M)
Perhitungan volume Etil asetat yang dibutuhkan:
M1 . V1 = M2 . V2
0,01 . 5L = 10 . V2
V2 = 0,005L
V2 = 5 mL
A.3 Pengukuran Konduktivitas
Tabel A.2 Data Hasil Pengukuran Konduktivitas
NaOH (0,01 M) dan Etil asetat (0,01 M)
Waktu
(menit)
Konduktivitas
speed 5
(S)
Konduktivitas
speed 7
(S)
Konduktivitas
speed 9
(S)
Konduktivitas
speed 5
(S)
Konduktivitas
speed 7
(S)
Konduktivitas
speed 9
(S)
0,77
0,76
0,73
0,57
0,74
0,70
0,76
0,77
0,74
0,55
0,74
0,69
0,77
0,75
0,74
0,54
0,71
0,70
0,76
0,74
0,72
0,63
0,70
0,69
0,75
0,74
0,72
0,66
0,70
0,69
10
0,74
0,74
0,72
0,75
0,70
0,69
12
0,74
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
14
0,75
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
16
0,75
0,74
0,72
0,74
0,70
0,69
18
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
20
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
22
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
24
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
26
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
28
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
30
0,75
0,73
0,72
0,74
0,70
0,69
A.4 Titrasi
Tabel A.4 Data Hasil Titrasi
Variasi Konsentrasi
Skala
Pompa
5
7
9
5
7
9
Volume NaOH
(ml)
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Rini Dwi A
LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
= 0,01 M
= 0,01 M
Suhu (T)
= 30oC = 303 K
= 25 ml/menit
= 41 ml/menit
Skala pompa
=5
0,01 0,00379 M
Fa Fb
25 41
25 41
Fa Fb
l
ai a ao o
ao
o
0,000861 0,00077
al 0 0,00379
0,00379
0,000861 0,000324
al 0,003143mol / L
11. Konsentrasi CH3COONa pada waktu t (c1)
c1 c
o 1
o
0,000861 0,00077
c1 0,00379
0,000645 M
0,000861 0,000324
a al
X a o
ao
0,00379 0,003143
0,170317
0,00379
Xc
c1 0,000645
0,170317
0,00379
c
Fa Fb ao a1
2
V
a1
0,4 L
(0,003143mol / L) 2
k 0,23 L / mol.s
Perhitungan konstanta laju spesifik untuk skala pompa 7 dan 9 serta untuk
konsentrasi etil asetat 0,05 M dilakukan dengan langkah yang sama seperti
langkah-langkah di atas, sehingga diperoleh data hasil perhitungan seperti yang
disajikan pada Lampiran C.
= 0,01 M
= 0,01 M
Suhu (T)
= 30oC = 303 K
Contoh Perhitungan
Skala pompa
=5
Volume Reaktor
= 0,4 L
= 0,00379 M
Konsentrasi HCL
= 0,1 M
Volume Produk
= 10 ml
0,00379 0,0065
0,716
0,00379
a a
X a o l
ao
ktitrasi =
=
F Xa
Xa
, L
L/s ,
9
= -0,30 L/mol.s
seperti di atas. sehingga diperoleh data hasil perhitungan seperti yang disajikan
pada Lampiran C.
LAMPIRAN C
HASIL PERHITUNGAN
A. Konsentrasi Etil Asetat 0,01 M
1). Variabel berubah: skala pompa 5
o
Variabel tetap: suhu 30 C dan konsentrasi NaOH 0,01 M
Fa =
Fb =
Waktu
(menit)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
i
(S)
0.000770
0.000760
0.000770
0.000760
0.000750
0.000740
0.000740
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
0.000750
25 ml/menit
41 ml/menit
ao
(mol/L)
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
bo
(mol/L)
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
0.00621
=
=
0.025
0.041
L/menit
L/menit
=
=
0.0004167
0.0006833
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
c
(S)
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
ao
(S)
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
o
(S)
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(S)
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
a1
(mol/L)
0.003143
0.003072
0.003143
0.003072
0.003002
0.002931
0.002931
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003002
0.003019
(S)
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000
a1
c1
Xa
Xc
(mol/L)
(mol/L)
0.002887 0.001209 0.295124 0.2951236
0.002957 0.001138 0.277904 0.2779042
0.002816 0.001279 0.312343 0.312343
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002746 0.00135 0.329562 0.3295625
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675 0.00142 0.346782 0.3467819
0.002675
0.001
0.347
0.347
0.002741
0.330639
c1
(mol/L)
0.000645
0.000716
0.000645
0.000716
0.000786
0.000857
0.000857
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
0.000786
Xa
Xc
0.170317
0.188934
0.170317
0.188934
0.20755
0.226167
0.226167
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.20755
0.202896
0.1703171
0.1889338
0.1703171
0.1889338
0.2075505
0.2261671
0.2261671
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
0.2075505
k
(L/mol.s)
0.18
0.21
0.18
0.21
0.24
0.27
0.27
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.24
0.23
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.0065
-0.716
-0.30
k
(L/mol.s)
0.52
0.47
0.58
0.64
0.64
0.64
0.64
0.64
0.64
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.65
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.0055
-0.343023
-0.27
i
(S)
0.000760
0.000770
0.000750
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000730
0.000730
0.000730
0.000730
0.000730
0.000730
0.000730
43 ml/menit
62 ml/menit
ao
(mol/L)
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
bo
(mol/L)
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
0.0059
=
=
0.043
0.062
L/menit
L/menit
=
=
0.0007167
0.0010333
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
c
(S)
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000
ao
(S)
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.001
o
(S)
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.001
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
i
(S)
0.000730
0.000740
0.000740
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
0.000720
67 ml/menit
81 ml/menit
ao
(mol/L)
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
bo
(mol/L)
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
0.00547
=
=
0.067
0.081
L/menit
L/menit
=
=
0.0011167
0.00135
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
c
(S)
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000
ao
(S)
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.001
o
(S)
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.001
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(S)
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000
a1
(mol/L)
0.002414
0.002485
0.002485
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002344
0.002366
c1
(mol/L)
0.002113
0.002042
0.002042
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002183
0.002
(S)
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
a1
(mol/L)
0.001732
0.001591
0.001521
0.002155
0.002367
0.003002
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002931
0.002605
c1
(mol/L)
0.002055
0.002197
0.002267
0.001632
0.001421
0.000786
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
0.000857
Xa
Xc
0.466677
0.4511
0.4511
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482254
0.482
0.477386
0.4666766
0.4510996
0.4510996
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.4822537
0.482
Xa
Xc
0.542651
0.579884
0.598501
0.43095
0.3751
0.20755
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.226167
0.312269
0.5426505
0.5798838
0.5985005
0.4309505
0.3751005
0.2075505
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
0.2261671
k
(L/mol.s)
0.65
0.59
0.59
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.71
0.69
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.005
-0.104478
-0.13
k
(L/mol.s)
1.88
2.39
2.70
0.97
0.70
0.24
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.27
0.73
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.004
-0.056
-0.04
i
(S)
0.000570
0.000550
0.000540
0.000630
0.000660
0.000750
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
0.000740
25 ml/menit
41 ml/menit
ao
(mol/L)
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
0.00379
bo
(mol/L)
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
0.0311
=
=
0.025
0.041
L/menit
L/menit
=
=
0.0004167
0.0006833
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
0.0038
c
(S)
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
0.000324
ao
(S)
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
o
(S)
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
0.000861
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
i
(S)
0.000740
0.000740
0.000710
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
0.000700
43 ml/menit
62 ml/menit
ao
(mol/L)
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
bo
(mol/L)
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
0.02952
=
=
0.043
0.062
L/menit
L/menit
=
=
0.0007167
0.0010333
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
0.0041
c
(S)
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000
ao
(S)
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.001
o
(S)
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.000931
0.001
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(S)
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000351
0.000
a1
(mol/L)
0.002746
0.002746
0.002534
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002464
0.002503
c1
Xa
Xc
(mol/L)
0.00135 0.329562 0.3295625
0.00135 0.329562 0.3295625
0.001561 0.381221 0.3812208
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.001632 0.39844 0.3984402
0.002
0.398
0.398
0.388754
k
(L/mol.s)
0.78
0.78
1.06
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.18
1.12
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.005
-0.22093
-0.19
k
(L/mol.s)
1.72
1.89
1.72
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.89
1.88
a1 titrasi
Xa titrasi
k titrasi
L/mol.s
0.0055
-0.214925
-0.24
i
(S)
0.000700
0.000690
0.000700
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
0.000690
67 ml/menit
81 ml/menit
ao
(mol/L)
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
0.00453
bo
(mol/L)
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
0.02736
=
=
0.067
0.081
L/menit
L/menit
=
=
0.0011167
0.00135
L/s
L/s
c
(mol/L)
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
0.0045
c
(S)
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
ao
(S)
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.001
o
(S)
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.00103
0.001
a
(mol/L)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
a
(S)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
(S)
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000388
0.000
a1
(mol/L)
0.002203
0.002132
0.002203
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002132
0.002141
c1
(mol/L)
0.002324
0.002395
0.002324
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002395
0.002
Xa
Xc
0.513408
0.528985
0.513408
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.528985
0.529
0.527038
0.5134078
0.5289848
0.5134078
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.5289848
0.529
ALIRAN FLUIDA
Disusun Oleh :
Kelompok I (Satu)
Hendryanto Sinaga
(1507167334)
Ryan Tito
(1507165761)
(1507165728)
ABSTRAK
Head loss adalah suatu nilai untuk mengetahui seberapa besar reduksi
tekanan total (total head) yang diakibatkan oleh fluida saat melewati sistem
pengaliran. Total head seperti ini merupakan kombinasi dari elevation head
(tekanan karena ketinggian suatu fluida), velocity head (tekanan karena kecepatan
alir suatu fluida) dan pressure head (tekanan normal dari fluida itu sendiri).
Percobaan bertujuan untuk mempelajari head loss dan friction loss aliran fluida
pada pipa no.2, pipa no.4, elbow 450, elbow 900, enlargement dan contraction
pada sistem perpipaan. Percobaan ini menggunakan serangkaian alat yang disusun
secara skematik yaitu general arrangement of apparatus dan manometer
connection diagram, dengan variasi bukaan valve 25%, 50%, 75%, dan 100%
serta variasi volume 10, 15 dan 20 liter. Berdasarkan hasil percobaan, jenis aliran
yang terjadi di sepanjang pipa-pipa pada percobaan yaitu turbulen, dimana
semakin besar kecepatan fluida yang mengalir dalam pipa, maka semakin besar
besar pula head loss yang terjadi. Head loss terbesar terjadi pada aliran fluida
yang melalui pipa 2 dengan bukaan 75% yaitu 8,688 inHg. Semakin besar
bilangan Reynold maka faktor gesekan yang di hasilkan semakin kecil. Faktor
gesekan terkecil terjadi pada aliran fluida yang melalui elbow 900 yaitu sebesar
0,0211 pada bukaan valve 100%.
Kata Kunci : aliran fluida; head loss; friction loss; enlargement; contraction;
faktor gesekan; bilangan Reynold.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Untuk mengalirkan fluida dari tempat yang satu ke tempat yang lain
diperlukan suatu peralatan. Selain peralatan utama yang digunakan, ada bagianbagian yang tidak kalah penting, dimana dalam bagian ini sering terjadi peristiwaperistiwa yang dapat mengurangi efisiensi kerja yang diinginkan. Bagian dari
peralatan ini dapat berupa pipa-pipa yang dihubungkan. Dalam menggunakan pipa
yang harus diperhatikan adalah karakteristik dari fluida yang digunakan,
misalnya: sifat korosi, explosive, racun, suhu dan tekanan (Tim Penyusun, 2012).
Dalam suatu sistem aliran, tidak mungkin fluida hanya mengalir melalui sebuah
pipa. Di dalam aliran fluida ini akan terdapat bermacam jenis pipa, bervariasi
ukuran ID pipa, bahkan kemungkinan adanya perubahan ukuran ID pipa, seperti
enlargement dan contraction, dan lain-lain (Tim Penyusun, 2016).
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi di dalam
pipa. Apabila fluida dilewatkan ke dalam pipa maka akan terjadi gesekan antara
pipa dengan fluida tersebut. Besarnya gesekan yang terjadi tergantung pada
kecepatan, kekerasan pipa, diameter dan viskositas fluida yang digunakan.
Gesekan yang terjadi dapat mempengaruhi aliran fluida dalam pipa, aliran ini
dapat terjadi secara laminar atau turbulen yang nilainya dapat didekati dengan
bilangan Reynolds.
1.2. Dasar Teori
Sistem perpipaan dapat ditemukan hampir pada semua jenis industri, dari
sistem pipa tunggal yang sederhana sampai sistem pipa bercabang yang sangat
kompleks. Contoh berbagai sistem perpipaan adalah sistem distribusi air minum
pada gedung atau kota, sistem pengangkutan minyak dari sumur bor ke tandon
atau tangki penyimpan, sistem penyaluran oil, sistem distribusi udara pendingin
pada suatu gedung, sistem distribusi uap pada proses pengeringan dan lain
sebagainya. Sistem perpipaan meliputi semua komponen dari lokasi awal sampai
dengan lokasi tujuan, antara lain yaitu saringan (strainer), katup atau valve,
sambungan nosel dan sebagainya. Sambungan dapat berupa sambungan
penampang tetap, sambungan penampang berubah, belokan (elbow) atau
sambungan bentuk T (Tim Penyusun, 2012).
1.2.1 Tipe Aliran fluida
Ada tiga tipe aliran fluida didalam pipa, yaitu :
1. Aliran Laminer
Aliran ini merupakan aliran fluida dengan kecepatan rendah. Partikelpartikel fluida mengalir secara teratur dan sejajar dengan sumbu pipa. Reynold
menunjukkan bahwa untuk aliran laminer berlaku Bilangan Reynold, NRe < 2100.
Pada keadaan ini juga berlaku hubungan head loss berbanding lurus dengan
kecepatan linear fluida, atau H V. Aliran laminar mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Terjadi pada kecepatan rendah.
b. Fluida cenderung mengalir tanpa adanya pencampuran lateral.
c. Berlapis-lapis seperti kartu.
d. Tidak ada arus tegak lurus arah aliran.
e. Tidak ada pusaran (arus Eddy)
2. Aliran Turbulen
Aliran ini merupakan aliran fluida dengan kecepatan tinggi. Partikel-partikel
fluida mengalir secara tidak teratur atau acak didalam pipa. Reynold menunjukkan
bahwa untuk aliran turbulen berlaku bilangan Reynold, NRe > 4000. Pada keadaan
ini juga berlaku hubungan head loss berbanding lurus dengan kecepatan linear
berpangkat n, atau H Vn. Aliran turbulen mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Terbentuk arus Eddy
b. Terjadi lateral mixing
c. Secara keseluruhan arah aliran tetap sama
d. Distribusi kecepatan lebih uniform atau seragam.
3. Aliran Transisi
Aliran ini merupakan aliran fluida dengan kecepatan diantara kecepatan
linear dan kecepatan turbulen. Aliran berbentuk laminar atau turbulen sangat
tergantung oleh pipa dan perlengkapannya. Reynold menunjukkan bahwa untuk
aliran transisi berlaku hubungan bilangan Reynold, 2100 < NRe < 4000 (Tim
Penyusun, 2016).
1.2.2 Bilangan Reynold dan Jenis Fluida
Bilangan Reynold adalah bilangan tanpa dimensi yang nilainya bergantung
pada kekasaran dan kehalusan pipa sehingga dapat menentukan jenis aliran dalam
pipa (Tim Penyusun, 2012). Profesor Osborne Reynolds menyatakan bahwa ada
dua tipe aliran yang ada di dalam suatu pipa yaitu :
1. Aliran laminar pada kecepatan rendah dimana berlaku h v
2. Aliran Turbulen pada kecepatan tinggi dimana berlaku h vn
Dalam penelitiannya, Reynolds mempelajari kondisi dimana satu jenis
aliran berubah menjadi aliran jenis lain, dan bahwa kecepatan kritis, dimana aliran
laminar berubah menjadi aliran turbulen. Keadan ini bergantung pada empat buah
besaran yaitu: diameter tabung, viskositas, densitas dan kecepatan linear rata-rata
zat cair. Lebih jauh ia menemukan bahwa ke empat faktor itu dapat digabungkan
menjadi suatu gugus, dan bahwa perubahan jenis aliran berlangsung pada suatu
nilai tertentu gugus itu. Pengelompokan variabel menurut penemuannya itu
adalah:
=
Dimana :
.......................................................(1)
Reynold sampai beberapa ribu, yaitu dalam kondisi khusus dimana lubang masuk
pipa sangat baik kebundarannya dan zat cair di dalamnya sangat tenang. Pada
kondisi aliran biasa, aliran itu turbulen pada angka Reynolds di atas kira-kira
4.000. Terdapat suatu daerah transisi yatu pada angka Reynolds antara 2100
sampai 4000, dimana jenis aliran itu mungkin laminar dan mungkin turbulen,
bergantung pada kondisi di lubang masuk pipa dan jaraknya dari lubang masuk.
Berdasarkan pengaruh tekanan terhadap volume, fluida dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu :
1. Fluida tak termampatkan (incompressible), pada kondisi ini fluida tidak
mengalami perubahan dengan adanya perubahan tekanan, sehingga fluida
tak termampatkan.
2. Fluida termampatkan (compressible), pada keadaan ini fluida mengalami
perubahan volume dengan adanya perubahan tekanan. Contoh fluida
compressible adalah gas dan uap.
Untuk fluida incompressible berlaku persamaan umum Bernouli (Tim Penyusun,
2016), yang dapat diturunkan dari persamaan neraca energi, yaitu:
+ =
....................................................(2)
dengan:
Z : beda tinggi sistem perpipaan pada titik 1 dan titik 2, ft
g
f L.V 2
F
.
2 g c .D
.........(3)
32. L.V 2
. 2
gc
D
..(4)
V 2 p
F
2g c
Jika
................(5)
2
sangat kecil, dan bisa diabaikan terhadap harga dari
2 , maka :
2
2
= .................................................................................................(6)
manometer air raksa, dan beda tinggi air raksa dalam manometer H ft, maka :
P = H (Hg) g/gc
..............(7)
64
...................................................... (8)
80
2
...................................................... (9)
0,3164
.....................................................(10)
0,25
= 2 log( ) 0,8
.............................(11)
2 log 0
1,74
.....................................................(12)
2,51
= 2 log [
+
]
3,7
.............................(13)
1.3
Tujuan Percobaan
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
2.1
2.1.1 Alat
1. General Arrangement of Apparatus
2. Manometer Connection Diagram
3. Internal Vernier Caliper
4. Stopwatch
2.1.2 Bahan
Air
2.2
Prosedur Percobaan
1. Tangki diisi dengan air, lalu pompa dihidupkan.
2. Valve yang akan digunakan dibuka sehingga air akan mengalir melalui
pipa yang diinginkan sesuai penugasan.
3. Ketika akan menentukan head loss pada pipa 2, maka aliran selain
menuju pipa tersebut ditutup dengan menutup valvenya.
4. Valve dibuka sesuai penugasan (25%, 50%, 75%, dan 100%)
5. Untuk menentukan kecepatan volumetrik air, aliran air dibuka. Dengan
menggunakan stopwatch, dihitung waktu yang dibutuhkan untuk
mengalirkan air setiap 10, 15, dan 20 liter.
6. Selang untuk menentukan preassure drop disambungkan dengan alat
manometer dan dua titik pada pipa 2, ketika aliran air dihentikan maka
pembacaan pada manometer dilakukan.
7. Cara yang sama dilakukan untuk menentukan head loss pada pipa 4, pipa
elbow 45o, elbow 90 o, serta pada enlargement dan contraction.
2.3
Rangkaian Peralatan
Rangkaian peralatan pada percobaan aliran fluida dalam sistem perpipaan
Gambar 2.1 Rangkaian peralatan percobaan aliran fluida dalam sistem perpipaan.
Keterangan :
V1 = Sump tank drain valve
12 = In-line strainer
13 = 90 deg. Elbow
14 = 90 deg. Bend
V4 = Isolating valves
15 = 90 deg. T Junction
17 = Venturimeter
V7 = Manometer valve
1
= Sudden contraction
= Sudden enlargement
= Ball valve
= 45 deg. Elbow
= 45 deg. Y junction
10 = Gate valve
11 = Globe valve
18 = Orifice meter
19 = Test pipe sample
20 = 1 m mercury manometer
21 = 1 m Pressurised water
manometer
22 = Volumetric measuring tank
23 = Sump tank
24 = Service pump
25 = Sight tube
26 = Pump start / stop
27 = Sight gauge securing grew
28 = Measuring cylinder ( Loose )
29 = Dump valve
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
loss). Hal ini disebabkan oleh gesekan yang terjadi antara fluida dengan dinding
pipa atau karena perubahan kecepatan yang dialami oleh aliran fluida. Di samping
itu, pada suatu jalur pipa juga sering terjadi kerugian karena kelengkapan pipa
seperti belokan, siku, sambungan, katup, perbesaran pipa, pengecilan pipa dan
lain sebagainya.
Percobaan aliran fluida dalam sistem perpipaan ini dilakukan dengan
memvariasikan bukaan valve (25%, 50%, 75%, dan 100%) pada masing-masing
variasi sistem perpipaan (pipa horizontal (2 dan 4), elbow (450 dan 900),
enlargement dan contraction). Semakin besar bukaan valve, kecepatan fluida yang
mengalir semakin besar pula. Secara umum, hasil percobaan menunjukkan bahwa
untuk setiap variasi sistem perpipaan, head loss selalu berbanding lurus dengan
kecepatan fluida. Artinya, semakin besar kecepatan fluida maka head loss nya
akan semakin besar pula. Hasil ini sesuai dengan persamaan Darcy-Weisbach
yang menyatakan bahwa head loss berbanding lurus dengan kecepatan aliran
fluida di dalam pipa (Giles, 1986) :
hf = f
L V2
D 2g
Secara lengkap, hubungan antara head loss dengan kecepatan fluida untuk setiap
variasi sistem perpipaan dapat dilihat pada Gambar 3.1 sampai Gambar 3.4.
0.9390
8.695
13.85,
8.681
8.680
1.141,
0.9386
14.08,
8.668
8.665
1.143,
0.9389
1.149,
0.9379
0.9380
log H
13.89,
8.688
8.650
0.9370
12.63,
8.642
8.635
1.101,
0.9366
8.620
0.9360
12.5
13.0
13.5
14.0
14.5
1.09
Kecepatan, v (ft/s)
1.11
1.13
1.15
1.17
log V
Gambar
3.2
Hubungan
log
yaitu 0,9389 terjadi pada bukaan valve 75% dengan nilai logaritma kecepatan
volumetrik 1,143.
3.1.2 Kecepatan Volumetrik dan Head Loss Pipa No. 4
Hubungan head loss terhadap kecepatan volumetrik fluida serta hubungan
log H terhadap log v pada pipa 4 disajikan pada Gambar 3.3 dan 3.4.
1.50
0.18
5.81,
1.46
5.61,
1.34
1.30
1.20
0.749,
0.13
0.12
0.09
5.45,
1.17
0.736,
0.07
0.06
1.10
5.4
0.764,
0.16
0.753,
0.15
0.15
1.40
log H
5.66,
1.42
5.6
5.8
0.73
6.0
0.74
0.75
0.76
log V
Kecepatan, v (ft/s)
Gambar
terhadap
kecepatan
fluida
0.77
yang
3.4
Hubungan
log
Pipa
yang
digunakan
pada
percobaan
ini
dalam
keadaan
horizontal/mendatar, dimana diameter dari pipa memiliki ukuran yang sama mulai
dari awal hingga ujungnya. Diameter pipa 4 lebih besar daripada pipa 2 (lihat
Lampiran D untuk data spesifikasi pipa). Gambar 3.3 menunjukkan bahwa
semakin besar kecepatan fluida yang mengalir dalam pipa, maka semakin besar
besar pula head loss yang terjadi. Head loss terkecil yaitu 1,17 inHg terjadi pada
saat kecepatan fluida 5,45 ft/s bukaan valve 25%, sedangkan head loss terbesar
yaitu 1,46 inHg terjadi pada saat kecepatan fluida 5,81 ft/s bukaan valve 100%.
Diameter pipa 4 yang lebih besar dibanding pipa 2 menyebabkan pipa 4 lebih
mampu menahan fluida yang mengalir dengan volume yang besar sehingga terjadi
peningkatan head loss pada bukaan valve 100% pada pipa 4.
Berdasarkan Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa hubungan fungsi logaritma
head loss dengan logaritma kecepatan volumetrik pipa 4 sama dengan hubungan
head loss terhadap kecepatan volumetrik pada pipa 4 namun dengan nilai yang
berbeda. Logaritma head loss terkecil yaitu 0,07 terjadi pada bukaan valve 25%
dengan nilai logaritma kecepatan volumetrik 0,736. Logaritma head loss terbesar
yaitu 0,16 terjadi pada bukaan valve 100% dengan nilai logaritma kecepatan
volumetrik 0,764.
3.1.3 Kecepatan Volumetrik dan Head Loss Pipa Elbow 450
Hubungan head loss terhadap kecepatan volumetrik fluida serta hubungan
log H terhadap log v pada pipa elbow 450 disajikan pada Gambar 3.5 dan 3.6.
log v
9.07,
0.276
0.91
0.93
0.95
0.97
-0.50
0.26
0.957, 0.56
-0.55
0.24
9.18,
0.236
8.91,
0.223
0.22
8.35,
0.210
log H
0.28
-0.60
0.950, 0.65
-0.65
0.963, 0.63
0.20
8.00
8.50
9.00
9.50
Kecepatan, v (ft/s)
0.922, 0.68
-0.70
Gambar
terhadap
kecepatan
fluida
yang
3.6
Hubungan
log
pipa, maka semakin besar besar pula head loss yang terjadi. Penurunan head loss
terjadi pada bukaan valve 100%, dimana kecepatan volumetrik fluida tertinggi
tercapai pada bukaan valve tersebut. Head loss terkecil yaitu 0,21 inHg terjadi
pada saat kecepatan fluida 8,35 ft/s bukaan valve 25%, sedangkan head loss
terbesar yaitu 0,276 inHg terjadi pada saat kecepatan fluida 9,07 ft/s bukaan valve
75%.
Berdasarkan Gambar 3.6 dapat dilihat bahwa hubungan fungsi logaritma
head loss dengan logaritma kecepatan volumetrik pipa elbow 450 sama dengan
hubungan head loss terhadap kecepatan volumetrik pada pipa elbow 450 namun
dengan nilai yang berbeda. Logaritma head loss terkecil yaitu -0,68 terjadi pada
bukaan valve 25% dengan nilai logaritma kecepatan volumetrik 0,922. Logaritma
head loss terbesar yaitu -0,56 terjadi pada bukaan valve 75% dengan nilai
logaritma kecepatan volumetrik 0,957. Nilai logaritma head loss negatif
dikarenakan head loss yang terjadi pada pipa elbow 450 sangat kecil.
3.1.4 Kecepatan Volumetrik dan Head Loss Pipa Elbow 900
Elbow 900 yang digunakan pada percobaan ini berada pada pipa 5 (lihat
Lampiran D untuk spesifikasi pipa). Hubungan head loss terhadap kecepatan
volumetrik fluida serta hubungan log H terhadap log v pada pipa elbow 900
disajikan pada Gambar 3.7 dan 3.8. Berdasarkan Gambar 3.7, semakin besar
kecepatan fluida yang mengalir dalam pipa, maka semakin besar besar pula head
loss yang dialaminya. Penurunan head loss terjadi pada bukaan valve 100%,
dimana kecepatan volumetrik fluida tertinggi tercapai pada bukaan valve tersebut.
Penurunan head loss pada bukaan valve 100% pipa elbow 90o lebih kecil
dibanding penurunan head loss pada pipa elbow 45o dengan bukaan valve yang
sama. Head loss terkecil yaitu 0,617 inHg terjadi pada saat kecepatan fluida 7,81
ft/s bukaan valve 25%, sedangkan head loss terbesar yaitu 0,893 inHg terjadi pada
saat kecepatan fluida 9,10 ft/s bukaan valve 75%.
9.10,
0.893
log V
8.77,
0.841
0.8
0.88
9.21,
0.880
0.91
0.94
0.97
0.00
0.959, 0.05
-0.05
0.943, 0.08
-0.10
0.964, 0.06
log H
0.9
0.7
-0.15
7.81,
0.617
0.6
7.7
8.1
8.5
8.9
9.3
-0.20
0.893, 0.21
Kecepatan, v (ft/s)
-0.25
Gambar
terhadap
kecepatan
fluida
yang
3.8
Hubungan
log
0,3164
0,25
Faktor gesekan, f
0.0243
2.89, 0.02428
0.0241
0.0239
3.16, 0.02372
0.0237
3.17, 0.02370
3.22, 0.02362
0.0235
2.8
2.9
3.1
3.2
3.3
(x104)
Gambar 3.9 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa 2 dengan bukaan
25%, 50%, 75%, dan 100%
Berdasarkan Gambar 3.9, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Kondisi ini sesuai dengan persamaan yang
dikemukakan Blasius dimana harga faktor gesekan berbanding terbalik dengan
bilangan Reynold. Faktor gesekan terkecil yaitu 0,0236 didapat pada bukaan valve
100% dan bilangan Reynold sebesar 3,22 x 104, sedangkan faktor gesekan
terbesar yaitu 0,02428 didapat pada bukaan valve 25% dan bilangan Reynold
sebesar 2,89 x 104. Gambar 3.9 juga memperlihatkan bahwa semakin besar
bukaan valve maka bilangan Reynold semakin bertambah. Semakin besar bukaan
valve maka akan terjadi peningkatan kecepatan volumetrik fluida di dalam pipa.
Kondisi ini sesuai dengan persamaan penentuan bilangan Reynold, dimana
besarnya bilangan Reynold berbanding lurus terhadap kecepatan volumetrik
fluida. Bilangan Reynold yang didapat pada percobaan menunjukkan bahwa
disepanjang pipa 2 terjadi aliran turbulen.
3.2.2 Reynolds Number dan Faktor Gesekan pada Pipa No. 4
Hubungan Reynolds Number terhadap faktor gesekan (f) pada pipa 4
disajikan pada Gambar 3.10.
Faktor gesekan, f
0.0243
2.99, 0.02406
0.0240
3.07, 0.02388
3.11, 0.02383
0.0238
3.19, 0.02367
0.0235
2.95
3.05
3.1
3.15
3.2
Gambar 3.10 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa No. 4 dengan
bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%
Berdasarkan Gambar 3.10, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Kondisi ini sesuai dengan persamaan faktor gesekan
yang dikemukakan Blasius, dimana harga faktor gesekan berbanding terbalik
dengan bilangan Reynold. Faktor gesekan terkecil yaitu 0,02367 didapat pada
bukaan valve 100% dan bilangan Reynold sebesar 3,19 x 104, sedangkan faktor
gesekan terbesar yaitu 0,02406 didapat pada bukaan valve 25% dan bilangan
Reynold sebesar 2,99 x 104. Gambar 3.9 juga memperlihatkan bahwa semakin
besar bukaan valve maka bilangan Reynold semakin bertambah. Semakin besar
bukaan valve maka akan terjadi peningkatan kecepatan volumetrik fluida di dalam
pipa. Kondisi ini sesuai dengan persamaan penentuan bilangan Reynold, dimana
besarnya bilangan Reynold berbanding lurus terhadap kecepatan volumetrik
fluida. Bilangan Reynold yang didapat pada percobaan menunjukkan bahwa
disepanjang pipa 4 terjadi aliran turbulen.
3.2.3 Reynolds Number dan Faktor Gesekan pada Pipa Elbow 45o
Hubungan Reynolds Number terhadap faktor gesekan (f) pada pipa elbow
45o disajikan pada Gambar 3.11.
0.0217
4.59, 0.02162
Faktor gesekan, f
0.0216
0.0215
0.0214
0.0213
4.89, 0.02128
0.0212
4.98, 0.02118
5.04, 0.02112
0.0211
0.0210
4.5
4.6
4.7
4.8
4.9
5.1
(x104)
Gambar 3.11 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa elbow 45o dengan
bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%
Berdasarkan Gambar 3.11, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Hal ini terjadi karena pada bilangan Reynold yang
besar, kontak antara fluida yang mengalir dengan dinding pipa semakin cepat,
sehingga gesekan yang dihasilkan semakin berkurang. Faktor gesekan terkecil
yang didapat yaitu 0,02112 pada bukaan valve 100% dan bilangan Reynold
sebesar 5,04 x 104, sedangkan faktor gesekan terbesar yaitu 0,02162 didapat pada
bukaan valve 25% dan bilangan Reynold sebesar 4,59 x 104. Bilangan Reynold
yang didapat pada percobaan menunjukkan bahwa disepanjang pipa elbow 45o
terjadi aliran turbulen.
3.2.4 Reynolds Number dan Faktor Gesekan pada Pipa Elbow 90o
Hubungan Reynolds Number terhadap faktor gesekan (f) pada pipa elbow
90o disajikan pada Gambar 3.12.
Faktor gesekan, f
0.0220
4.29, 0.02199
0.0218
0.0216
0.0214
4.82, 0.02136
0.0212
5, 0.02116
5.05, 0.02110
0.0210
4.2
4.4
4.6
4.8
5.2
(x104)
Gambar 3.12 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa elbow 90o dengan
bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%
Berdasarkan Gambar 3.12, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Faktor gesekan pada pipa elbow 90o tidak jauh
berbeda dengan faktor gesekan yang terjadi pada pipa elbow 45o di setiap variasi
bukaan valve. Faktor gesekan terkecil pada pipa elbow 90o yaitu 0,0211 pada
bukaan valve 100% dan bilangan Reynold sebesar 5,05 x 104, sedangkan faktor
gesekan terbesar yaitu 0,02199 didapat pada bukaan valve 25% dan bilangan
Reynold sebesar 4,29 x 104. Bilangan Reynold yang didapat pada percobaan
menunjukkan bahwa disepanjang pipa elbow 90o terjadi aliran turbulen.
Faktor gesekan, f
0.0245
2.89, 0.0243
2.99, 0.0241
0.0240
3.17, 0.0237
0.0235
0.0230
3.69, 0.0228
0.0225
2.5
3.5
(x104)
Gambar 3.13 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa enlargement
dengan bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%
Percobaan untuk kondisi enlargement dilakukan pada pipa 2. Pipa
enlargement adalah pipa dimana diameternya berubah dari kecil ke besar, pipa
pertama dengan diameter D1 dan pipa kedua dengan diameter D2 (D1 < D2).
Perbedaan diameter dari kecil ke besar tentunya akan berpengaruh terhadap
kecepatan volumetrik fluida di dalam pipa, sehingga akan turut mempengaruhi
besarnya bilangan Reynold yang didapat. Perubahan ukuran diameter pipa juga
akan menimbulkan perbedaan gesekan di dalam pipa.
Berdasarkan Gambar 3.13, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Faktor gesekan terkecil pada pipa enlargement yaitu
0,0228 pada bukaan valve 100% dan bilangan Reynold sebesar 3,69 x 104,
sedangkan faktor gesekan terbesar yaitu 0,0243 didapat pada bukaan valve 25%
dan bilangan Reynold sebesar 2,89 x 104. Bilangan Reynold yang didapat pada
percobaan menunjukkan bahwa disepanjang pipa enlargement terjadi aliran
turbulen.
Faktor gesekan, f
0.0293
0.0291
0.0290
1.44, 0.028864
1.46, 0.028787
0.0288
0.0287
1.49, 0.028636
0.0285
1.35
1.4
1.45
1.5
(x104)
Gambar 3.14 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada pipa contraction
dengan bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%
Percobaan untuk kondisi contraction dilakukan pada pipa 2. Pipa
contraction adalah pipa dimana diameternya berubah dari besar ke kecil, pipa
pertama dengan diameter D1 dan pipa kedua dengan diameter D2 (D1 > D2).
Perbedaan diameter dari besar ke kecil tentunya akan berpengaruh terhadap
kecepatan volumetrik fluida di dalam pipa, dimana semakin besar diameter pipa
maka kecepatan volumetrik fluida yang melalui pipa semakin kecil, sehingga akan
turut mempengaruhi besarnya bilangan Reynold yang didapat. Perubahan ukuran
diameter pipa juga akan menimbulkan perbedaan gesekan di dalam pipa.
Berdasarkan Gambar 3.14, semakin besar bilangan Reynold maka faktor
gesekan akan semakin kecil. Kondisi ini sesuai dengan persamaan faktor gesekan
yang dikemukakan Blasius, dimana harga faktor gesekan berbanding terbalik
dengan bilangan Reynold. Faktor gesekan terkecil pada pipa contraction yaitu
0,028636 pada bukaan valve 100% dan bilangan Reynold sebesar 1,49 x 104,
sedangkan faktor gesekan terbesar yaitu 0,029298 didapat pada bukaan valve 25%
dan bilangan Reynold sebesar 1,36 x 104. Bilangan Reynold yang didapat pada
1.000
Faktor Gesekan, f
0.100
0.010
0.001
1.E+02
1.E+03
1.E+04
1.E+05
1.E+06
1.E+07
pipa no.4
elbow 90
elbow 45
enlargement
contraction
Gambar 3.15 Hubungan NRe terhadap faktor gesekan pada berbagai variasi
sistem perpipaan dengan bukaan 25%, 50%, 75%, dan 100%.
Berdasarkan Gambar 3.15, secara keseluruhan faktor gesekan terkecil terjadi
pada aliran fluida yang melalui elbow 900 yaitu sebesar 0,0211 pada bukaan valve
100%, sedangkan faktor gesekan terbesar terjadi pada aliran fluida yang melalui
pipa contraction yaitu sebesar 0,029298 pada bukaan valve 100%.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
1. Semakin besar kecepatan fluida yang mengalir dalam pipa, maka
semakin besar besar pula head loss yang terjadi. Head loss terkecil
terjadi pada aliran fluida yang melalui pipa 2 dengan bukaan valve 25%
yaitu 8,642 inHg, sedangkan head loss terbesar terjadi pada bukaan 75%
yaitu 8,688 inHg.
2. Semakin besar bilangan Reynold maka faktor gesekan yang di hasilkan
semakin kecil. Faktor gesekan terkecil terjadi pada aliran fluida yang
melalui elbow 900 yaitu sebesar 0,0211 pada bukaan valve 100%,
sedangkan faktor gesekan terbesar terjadi pada aliran fluida yang melalui
pipa contraction yaitu sebesar 0,029298 pada bukaan valve 100%.
3. Jenis aliran yang terjadi di sepanjang pipa-pipa pada percobaan yaitu
turbulen.
4.2
Saran
Percobaan aliran fluida selanjutnya disarankan untuk membuat kurva
friction loss untuk setiap bukaan valve pada setiap variasi sistem perpipaan,
sehingga dapat diketahui pengaruh bukaan valve serta jenis pipa terhadap friction
loss. Percobaan aliran fluida selanjutnya juga disarankan untuk menghitung faktor
gesekan dengan menggunakan diagram Moody, sehingga didapat perbandingan
faktor gesekan pada diagram Moody dengan faktor gesekan yang dihitung secara
teoritis (menggunakan persamaan Blasius).
DAFTAR PUSTAKA
Geankoplis, C.J. 1993. Transport Process and Unit Operation, 3rd edition,
Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Giles, R.V. 1986. Mekanika Fluida dan Hidraulika. Ed. 2., Jakarta: Erlangga
Diterjemahkan oleh: Ir. Herman Widodo Soemitro.
Tim Penyusun. 2012. Penuntun Praktikum Operasi Teknik Kimia I. Program Studi
D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau. Pekanbaru
Tim Penyusun. 2016. Penuntun Praktikum Laboratorium Teknik Kimia Edisi 2.
Program Studi S1 Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
Pekanbaru
LAMPIRAN A
LAPORAN SEMENTARA
Judul Praktikum
: Aliran Fluida
Hari/Tanggal Praktikum
Pembimbing
Asisten Laboratorium
: Ari Hidayat
Nama Kelompok I
Densitas
= 0,9965 g/cm3
Viskositas
= 0,0085
ID pipa
= 100 mm
Tabel A.1 Pengukuran Kecepatan Volumetrik dan Head Loss pada Pipa No. 2
Bukaan Volume Waktu
Valve
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
53
79
110
60
88
116
56
76
104
53
79
111
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
0,00018868
0,00018987
0,00018182
0,00016667
0,00017045
0,00017241
0,00017857
0,00019737
0,00019231
0,00018868
0,00018987
0,00018018
0,00018679
0,00016985
0,00018942
0,00018624
Head
Loss
Ha
574
574
573
575
575
575
575
575
575
576
575
575
Hb
356
356
356
356
355
356
355
355
355
355
355
355
Ha-Hb
(mmHg)
218
219
217
219
220
219
220
220
220
221
220
220
Densitas
= 0,9965 g/cm3
Panjang pipa = 98 cm
Viskositas
= 0,0085
ID pipa
= 200 mm
Tabel A.2 Pengukuran Kecepatan Volumetrik dan Head Loss pada Pipa No. 4
Bukaan Volume Waktu
Valve
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
15
24
32
14
22
29
14
20
29
13
20
28
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
0,00066667
0,000625
0,000625
0,00071429
0,00068182
0,00068966
0,00071429
0,00075
0,00068966
0,00076923
0,00075
0,00071429
0,00063889
0,00069525
0,00071798
0,00074451
Head
Loss
Ha
482
481
480
483
483
483
484
484
484
484
485
485
Hb
451
450
453
449
449
449
449
447
448
448
448
447
Ha-Hb
(mmHg)
31
31
27
34
34
34
35
37
36
36
37
38
= 0,9965 g/cm3
Elbow
= 45o
Viskositas
= 0,0085
ID pipa
= 200 mm
Tabel A.3 Pengukuran Kecepatan Volumetrik dan Head Loss pada elbow 45o
Bukaan Volume Waktu
Valve
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
15
23
32
14
21
31
14
22
28
13
23
28
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
0,00066667
0,00065217 0,00064795
0,000625
0,00071429
0,00071429 0,00069124
0,00064516
0,00071429
0,00068182 0,00070346
0,00071429
0,00076923
0,00065217 0,0007119
0,00071429
Head
Loss
Ha
468
469
469
469
469
469
469
469
469
468
469
469
Hb
463
464
463
463
463
464
461
462
463
463
463
462
Ha-Hb
(mmHg)
5
5
6
6
6
5
8
7
6
5
6
7
= 0,9965 g/cm3
Elbow
= 90o
Viskositas
= 0,0085
ID pipa
= 200 mm
Tabel A.4 Pengukuran Kecepatan Volumetrik dan Head Loss pada elbow 90o
Bukaan Volume Waktu
Valve
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
15
24
38
14
22
31
14
21
28
14
21
29
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
0,00066667
0,000625
0,00052632
0,00071429
0,00068182
0,00064516
0,00071429
0,00071429
0,00071429
0,00071429
0,00071429
0,00068966
0,00060599
0,00068042
0,00071429
0,00070608
Head
Loss
Ha
474
474
472
476
476
477
476
477
476
477
476
477
Hb
456
458
459
455
455
455
454
454
454
454
454
454
Ha-Hb
(mmHg)
18
16
13
21
21
22
22
23
22
23
22
23
= 0,9965 g/cm3
Viskositas
= 0,0085
= 7.850 mm2
ID pipa
= 100 mm
= 31.400 mm2
ID pipa
= 200 mm
Tabel A.5
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
64
80
120
51
54
113
51
81
112
56
89
111
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
0,00015625
0,0001875
0,00016667
0,00019608
0,00027778
0,00017699
0,00019608
0,00018519
0,00017857
0,00017857
0,00016854
0,00018018
0,00017014
0,00021695
0,00018661
0,00017576
Head
Loss
Ha
467
465
465
467
468
467
467
467
466
466
467
467
Hb
464
464
464
464
463
464
464
464
464
464
465
465
Ha-Hb
(mmHg)
3
1
1
3
5
3
3
3
2
2
2
2
Densitas
= 0,9965 g/cm3
A1
= 7.850 mm2
Viskositas
= 0,0085
ID pipa = 100 mm
= 31.400 mm2
ID pipa
= 200 mm
Tabel A.6 Pengukuran Kecepatan Volumetrik dan Head Loss pada Pipa
.Contraction
Bukaan Volume Waktu
Valve
25%
50%
75%
100%
(Liter)
10
15
20
10
15
20
10
15
20
10
15
20
(detik)
50
84
101
51
73
95
49
73
90
48
72
99
Debit
Qrata-rata
(m3/s)
(m3/s)
Head
Loss
Ha
0,0002
0,00017857 0,0001922
0,00019802
0,00019608
0,00020548 0,00020403
0,00021053
0,00020408
0,00020548 0,00021059
0,00022222
0,00020833
0,00020833 0,00287113
0,00020202
Hb
530
531
532
534
535
534
535
535
535
535
534
535
399
398
397
395
396
396
395
394
395
395
395
395
Ha-Hb
(mmHg)
131
133
135
139
139
138
140
141
140
140
139
140
Ari Hidayat
LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
Berikut merupakan contoh perhitungan pada pipa no. 2 dengan bukaan valve
sebesar 25% :
1. Menghitung debit (Q), luas permukaan pipa (A) dan kecepatan (v)
Diameter pipa no. 2 = 0,0246 ft
Penyelesaian :
Pipa no.2
Bukaan 25%
Q1 =
=
V
t
0,01
53
Q2 =
=
Q3 =
=
0,015
79
0,02
110
Qrata-rata =
=
1 3
0,028317 m3
=
=
2
d
4
3,14
4
(0,0246 ft)2
=0,000475 ft2
= 12,63 ft/s
Perhitungan debit, luas permukaan pipa dan kecepatan fluida untuk variasi sistem
perpipaan lainnya menggunakan cara yang sama.
= 28859,67
Perhitungan
bilangan
Reynold
untuk
variasi
sistem perpipaan
lainnya
32 L 2
gc D 2
lb
ft
32,174 lbm.ft/lbf.s2 (0,0246 ft)2
62,43 lb/ft3
= 6,91354 ft/lbm
Perhitungan friction loss untuk variasi sistem perpipaan lainnya menggunakan
cara yang sama, kecuali pada sistem perpipaan enlargement dan contraction.
Menghitung friction loss pada enlargement menggunakan persamaan :
12
=
2
=
(12,649 /)2
= 2,486
2 32,174
2
(0,115 )2
= 0,715
= 0,000147
2 32,2
2
Untuk nilai A2/A1 < 0,715 gunakan nilai K = 0,4
Untuk nilai A2/A1 > 0,715 gunakan nilai K = 0,715
0,3164
0,25
0,3164
= 28859,670,25 = 0,02428
Perhitungan
friction factor
untuk
variasi
menggunakan cara yang sama atau gunakan Diagram Moody (lihat Lampiran
E).
LAMPIRAN D
SPESIFIKASI PERALATAN
LAMPIRAN E
Diagram Moody :
LAMPIRAN C
HASIL PERHITUNGAN
Kecepatan, v
(ft/s)
12.627
13.847
13.887
14.082
Head Loss , H
(inHg)
8.642
8.681
8.688
8.668
log v
log H
NRe
1.1013
1.1413
1.1426
1.1487
0.9366
0.9386
0.9359
0.9379
28859.67
31646.04
31738.90
32184.94
log v
log H
NRe
0.736202
0.748841
0.753085
0.764465
0.067765
0.126975
0.151799
0.163698
29911.110
30794.438
31096.830
31922.445
0.024275
0.023722
0.023705
0.023622
Qrerata (ft3/s)
0.014926
0.015367
0.015518
0.015930
Kecepatan, v
(ft/s)
5.448
5.608
5.664
5.814
Head Loss , H
(inHg)
1.169
1.340
1.418
1.458
0.02406
0.02388
0.02383
0.02367
C.3 Perhitungan Head Loss dan Friction Loss Pipa Elbow 45o
Bukaan
Valve
Kecepatan, v
(ft/s)
Head Loss , H
(inHg)
log v
log H
NRe
25%
50%
75%
100%
0.0229
0.0244
0.0248
0.0251
8.351
8.909
9.067
9.175
0.210
0.223
0.276
0.236
0.922
0.950
0.957
0.963
-0.678
-0.651
-0.559
-0.626
45853.496
48917.550
49782.241
50379.069
0.524
0.596
0.618
0.632
0.02162
0.02128
0.02118
0.02112
Bukaan
Valve
Kecepatan, v
(ft/s)
Head Loss , H
(inHg)
log v
log H
NRe
25%
50%
75%
100%
0.021400
0.024029
0.024935
0.025225
7.810
8.770
9.100
9.206
0.617
0.841
0.893
0.880
0.89267
0.94298
0.95905
0.96407
-0.20953
-0.07545
-0.04912
-0.05555
42884.63
48151.67
49967.12
50548.14
0.02199
0.02136
0.02116
0.02110
Bukaan Valve
25%
50%
75%
100%
0.006008
0.006207
0.006590
0.007661
Kecepatan, v1
(ft/s)
12.649
13.067
13.874
16.129
Kecepatan, v2
(ft/s)
2.193
2.265
2.405
2.796
Head Loss , H
(inHg)
log v
log H
NRe
Friction Loss , F
Friction factor , f
0.066
0.079
0.105
0.144
0.34101
0.35513
0.38114
0.44656
-1.18266
-1.10347
-0.97854
-0.84023
28909.55
29865.29
31708.56
36863.42
2.486511
2.653636
2.991306
4.042956
0.0243
0.0241
0.0237
0.0228
Head Loss , H
(inHg)
log v
log H
NRe
Friction Loss , F
Friction factor , f
5.240
5.463
5.503
5.529
-0.93989
-0.91394
-0.90929
-0.90019
0.71935
0.73747
0.74059
0.74266
1.36E+04
1.44E+04
1.46E+04
1.49E+04
0.000147
0.000092
0.000094
0.000098
0.029298
0.028864
0.028787
0.028636
Bukaan Valve
25%
50%
75%
100%
0.006787
0.007205
0.007283
0.007437
Kecepatan, v1
(ft/s)
2.477
2.630
2.658
2.714
Kecepatan, v2
(ft/s)
0.115
0.122
0.123
0.126