Anda di halaman 1dari 28

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. N

Umur : 50th

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Tgl masuk : 27 Februari 2019

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : Sesak napas

B. Keluhan Tambahan: Dada terasa nerdebar

C. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke rumah sakit karena sesak napas sejak hari ini (27 februari
2019) sekitar 2 jam yang lalu. Sesak baru dirasakan kali ini. Pasien mengaku sebelum
keluhan muncul, pasien sedang berkumpul dengan temannya sembari merokok dan
meminum kopi. Keluhan sesak diperberat dengan perasaan berdebar pada dadanya.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah menderita penyakit serupa

 Penyakit hipertensi disangkal

 Penyakit DM (+)

 Penyakit alergi disangkal

 Penyakit hati disangkal

1
E. Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami penyakit serupa

 Penyakit hipertensi disangkal

 Penyakit jantung (+) ayah pasien meninggal karena penyakit jantung

 Penyakit DM disangkal

 Penyakit alergi disangkal

 Penyakit hati disangkal

F. Riwayat Personal Sosial

 Riwayat konsumsi jamu (-)

 Riwayat konsumsi OAINS (-)

 Riwayat merokok (+)

 Riwayat konsumsi alkohol (-)

III.PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : tampak sesak

B. Kesadaran : compos mentis, E4V5M6

C. Vital sign : Tekanan darah : 103/68 mmHg

Nadi : 140 x/menit, ireguler

Suhu : 37 oc

Frekuensi pernafasan : 28 x/menit

D. Status Umum

1. Pemeriksaan Kepala

- Kepala : Mesochepal, simetris, distribusi merata, tidak mudah dicabut

2
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

- Telinga : Discharge (-), Deformitas (-)

- Hidung : Discharge (-), Perdarahan (-)

- Mulut : bibir pucat (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor
bagian tengah (-), tepi hiperemis (-), tremor (-), faring hiperemis (-), tonsil
dbn

2. Pemeriksaan leher

Deviasi trakhea (-), pembesaran limfonodi (-),pembesaran kelenjar thyroid


(-), JVP tidak meningkat.

3. Pemeriksaan thoraks

 Pulmo
- inspeksi : bentuk dada normal, kedua hemithoraks simetris, tidak
ada bekas luka, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)

- palpasi : vokal fremitus kanan kiri sama

- perkusi : sonor kedua lapangan paru

- auskultasi : suara dasar : vesikuler

suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

 Cor
- inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

- perkusi Kanan atas : SIC II LPS Sinistra

Kiri atas : SIC II LPS Dextra

Kanan bawah : SIC IV LPS Dextra

Kiri bawah : SIC V LAA Sinistra

- palpasi : Ictus cordis kuat angkat, thrill (+)

- auskultasi : S1 > S2 ireguler, bising (-)

3
4. Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : simetris sedikit protuberan, tidak ada luka/sikatrik,


tidak ada benjolan, striae (-)

- Auskultasi : bising usus (+) normal

- Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak
teraba

- Perkusi : timpani

5. Pemeriksaan Ekstremitas

- Pulsus defisit (+)

- Udem (-/-) , ekstremitas hangat (-)

- gerakan B B

B B

- kekuatan 555 555

555 555

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

HASIL
JENIS PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN
27 Februari 2019

PROFIL LEMAK

• Cholesterol 146 mg/dL <220 mg/dL

• Trigliserid 148 mg/dL (H) <150 mg/dL

• HDL Cholesterol 38 mg/dL (L) 35-55 mg/dL

• LDL Cholesterol 86 mg/dL <150 mg/dL

FUNGSI GINJAL

• Ureum 20.5 mg/dL (H) 10.0 – 50.0 mg/dL

• Kreatinin 0.39 mg/dL (H) 0.60 – 1.10 mg/dL

• Asam urat 6.5 mg/dL 3.4 – 7.0 mg/dL

FUNGSI HATI

• SGOT 19.0 <37

• SGPT 14.0 <42

5
HASIL
JENIS PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN
27 Februari 2019 28 Februari 2019

HEMATOLOGI
• Hb 14.1 g/dL 13.9 g/dL 11.0 – 16.5 g/dL
3 3
• Leukosit 5.89 x 10 /uL (H) 5.7 x 10 /uL 3.80 – 10.0 x 103 / uL
• Eritrosit 4.9 x 106/uL 4.0 x 106/uL 3.80- 5.80 x 106 / uL
• Hematokrit 41.2 % 32.2 % (L) 35 - 50%
• Angka Trombosit 250 x 103/Ul 229 x 103/uL 150 – 390 x 103 / uL
GDS 73 mg/dl 70-140 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 138 135-155 mmol/l
Kalium 4.4 3.5-5.5 mmol/l
Klorida 106 95-108 mmol/l

6
EKG

7
Interpretasi:

- gelombang P tidak ada, hanya terdapat beberapa undulasi menyerupai gelombang p


(fibrilasi)

- interval P-R tidak dapat dinilai

- kompleks QRS sempit (kurang dari 0.12 detik)

- irama ireguler

8
Rontgen Thorax PA : cor dan pulmo dbn

9
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Atrial Fibrilasi
2. Atrial Flutter
3. Atrial Takikardi
V. DIAGNOSIS KERJA
Fibrilasi Atrial Respons Ventrikel Cepat (AF RVR)
VI. TERAPI
Non-farmakologis
Bed Rest
Cek GDS/hari
Cek EKG/haro

Farmakologis
Infus Asering + Injeksi Dexketoprofen 1 ampul, 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm
Injeksi Amiodaron 150mg lanjut syringe pump 150mg/6jam selama AF (+)
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram, skin test dahulu
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Kendaron 1x1tab
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg

VII. PROGNOSIS

Baik dengan penatalaksanaan yang tepat

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan.
Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan frekuensi atrium sebesar 350-650
x/menit sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke
ventrikel dibatasi oleh periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler.

Atrial fibrilasi dapat terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara
permanen, kasus tersebut sulit untuk dikontrol. Atrial fibrilasi terjadi karena meningkatnya
kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan
kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur (fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul
di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke ventrikel. Ini ditandai dengan heart rate yang
sangat cepat sehingga gelombang P di dalam EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini terjadi,
atrium dan ventrikel tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.

Gambaran elektrokardiogram atrial fibrilasi adalah irama yang tidak teratur dengan
frekuensi laju jantung bervariasi (bisa 7 normal/lambat/cepat). Jika laju jantung kurang dari
60 kali permenit disebut atrial fibrilasi dengan respon ventrikel lambat (SVR), jika laju
jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi respon ventrikel normal (NVR)
sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit disebut atrial fibrilasi dengan respon
ventrikel cepat (RVR). Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat dengan gelombang P
tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga bentuknya
tidak dapat didefinisikan.

11
Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat adanya sistem
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada atrial fibriasi, nodus
SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya
konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, detak jantung menjadi tidak
teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan berlangsung
dalam menit ke 8 minggu bahkan dapat terjadi bertahun-tahun. Kecenderungan dari atrial
fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kronis dan menyebabkan komplikasi
lain.

1. Manifestasi Klinik
Atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala atrial
fibrilasi sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya atrial
fibrilasi, dan penyakit yang mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama saat
beraktivitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. Atrial fibrilasi dapat
mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial
yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.

Walaupun atrial fibrilasi seringkali tanpa disertai adanya gejala, tetapi terkadang atrial
fibriasi dapat menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung
kongestif. Pasien dengan AF biasanya memiliki peningkatan resiko stroke yang signifikan
(hingga >7 kali populasi umum). Pada atrial fibrilasi, resiko stroke meningkat tinggi, hal ini
dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan
kontraksi jantung khususnya pada atrium kiri jantung. Di samping itu, peningkatan resiko
stroke tergantung juga pada jumlah faktor resiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan

12
atrial fibriasi memang memiliki faktor resiko tambahan lain dan juga merupakan penyebab
utama dari stroke.

2. Klasifikasi
Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya
berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit
lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P. Beberapa
keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial fibrilasi yang telah
dikemukanakan, seperti :

1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :

 AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali
permenit

 AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari
60 kali permenit

 AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100


kali permenit.

2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat


diklasifikasikan menjadi :

 AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina atau infark


miokard akut)

 AF dengan hemodinamik stabil

3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial fibriasi (AF)


dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :

 AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah terdeteksi AF


sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.

 AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih


kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan kembali ke irama sinus secara
spontan dalam waktu 24 jam. Atrium fibrilasi yang episode pertamanya
kurang dari 48 jam juga disebut AF Paroksimal.

13
 AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan
ke irama sinus.

 AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih dari 7 hari.
Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke irama sinus
(resisten).

Selain itu, klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang
mendasari yaitu AF primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit
jantung lain atau penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit
jantung lain atau penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral
dan lain-lain. Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu
dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan
masih bisa dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis
lurus.

3. Etiologi
Pada dasarnya etiologi yang terkait dengan atrial fibrilasi terbagi menjadi beberapa
faktor-faktor, diantaranya yaitu :

a. Peningkatan tekanan atau resistensi atrium

 Peningkatan katub jantung

 Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium

 Hipertrofi jantung

 Kardiomiopati

 Hipertensi pulmo (chronic obstructive purmonary disease dan cor pulmonary


chronic)

 Tumor intracardiac

b. Proses Infiltratif dan Inflamasi

 Pericarditis atau miocarditis

14
 Amiloidosis dan sarcoidosis

 Faktor peningkatan usia

c. Proses Infeksi

 Demam dan segala macam infeksi

d. Kelainan Endokrin

 Hipertiroid, Feokromotisoma

e. Neurogenik

 Stroke, Perdarahan Subarachnoid

f. Iskemik Atrium

g. Obat-obatan

 Alkohol, Kafein

h. Keturunan atau Genetik

4. Patofisiologi
Pada dasarnya mekanisme atrial fibriasi terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi fokal
dan multiple wavelet reentry. Pada proses aktivasi fokal bisa melibatkan proses depolarisasi
tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi fokal, fokus ektopik yang dominan
adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal
elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA).

Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan
melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung 16 pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih
tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi.
Timbulnya gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh

15
depolarisasi atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat.
Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan
periode refractory dan terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang
akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta
mencetuskan terjadinya atrial fibrilasi.

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila
prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab
yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung
yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding
atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi
yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi
bagi fibrilasi atrium.

5. Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus
dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada panduan ini, rekomendasi
yang diberikan dapat disesuaikan dengan tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.

16
17
6. Penatalaksanaan
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar 1,5% pada
kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80
sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli sistemik lain adalah 5%
(berkisar 3-4%). Oleh karena itu, penting sekali mengidentifikasi pasien FA yang memiliki
risiko tinggi stroke dan tromboemboli. Akan tetapi pada praktik sehari-hari yang lebih
penting justru identifikasi pasien FA yang benar-benar risiko rendah mengalami stroke agar
risiko yang tidak perlu akibat pemberian antikoagulan dapat dihindari. Terapi antitrombotik
tidak direkomendasikan pada pasien FA yang berusia <65 tahun dan FA sorangan karena
keduanya termasuk benar-benar risiko rendah dengan tingkat kejadian stroke yang sangat
rendah.

Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA harus bersikap lebih
inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang umum sehingga akan mencakup seluruh
spektrum pasien FA. Skor CHA2 DS2 -VASc mencakup faktor-faktor risiko umum yang
sering ditemukan pada praktik klinik sehari-hari. CHA2 DS2 -VASc masing-masing hurufnya

18
merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75
years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age
between 65 to 74 years, Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan
faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf ‘C” pada skor CHA2 DS2 VASc
adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular Ejection
Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan rawat inap tanpa
memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan merupakan faktor risiko independen
stroke pada analisis multivariat. Jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara
independen, tetapi perempuan yang berusia <65 tahun dan menderita FA sorangan tidak
meningkatkan risiko stroke sehingga tidak memerlukan terapi antikoagulan.

Skor CHA2 DS2 -VASc sudah divalidasi pada berbagai studi kohor dan menunjukkan
hasil yang lebih baik untuk mengidentifikasi pasienpasien FA yang benar-benar risiko rendah
tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk identifikasi pasien FA
yang akan mengalami stroke dan tromboemboli. Skor CHA2 DS2 -VASc juga memperbaiki
penaksiran risiko pada FA risiko rendah pascaablasi.

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan risiko perdarahan


akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial yang bersifat fatal atau menimbulkan
disabilitas. Skor HAS-BLED yang merupakan kependekan dari Hypertension, Abnormal
renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan
antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor berkorelasi baik
dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan pada setiap pasien FA harus
dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka perlu perhatian khusus, pengawasan berkala
dan upaya untuk mengoreksi faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak
digunakan untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan
sistematis dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor risiko yang dapat
dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol, penggunaan aspirin atau non-steroid
anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dsb. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada
skor HAS-BLED yang sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan mayor lain
dengan pemberian aspirin atau warfarin sama saja. Penggabungan skor CHA2 DS2 -VASc
dan HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan tromboprofilaksis pada praktik sehari-
hari.

19
20
BAB III
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal 27 Februari 2019 (Perawatan hari ke-1)


S Sesak (+) berdebar (+) kadang batuk namun tidak berdahak
O Tampak sakit sedang, compos mentis
Nadi: 130 x/menit, Suhu: 36.7 oC,
TD : 97/63 SpO2: 98 dgn NK
RR : 24 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : pulsus defisit (+) akral hangat (+) edem (-)
A AF RVR
P Infus Asering + Injeksi Dexketoprofen 1 ampul, 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm
Injeksi Amiodaron 150mg lanjut syringe pump 150mg/6jam selama AF (+)
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram, skin test dahulu
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Kendaron 1x1tab
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg

21
Tanggal 28 Februari 2019 (Perawatan hari ke-2)
S Sesak (+) berdebar (+) kadang batuk namun tidak berdahak
O Tampak sakit sedang, compos mentis
Nadi: 130 x/menit, Suhu: 36.7 oC,
TD : 97/63 SpO2: 98 dgn NK
RR : 24 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : pulsus defisit (+) akral hangat (+) edem (-)
EKG : AF (+)
A AF RVR
P Infus Asering 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm
Amiodaron syringe pump 150mg/6jam
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Kendaron 1x1tab
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg

22
Tanggal 01 Maret 2019 (Perawatan hari ke-3)
S Sesak berkurang, berdebar (-) kadang batuk
O Tampak sakit sedang, compos mentis
Nadi: 90 x/menit, Suhu: 36.7 oC,
TD : 102/73 SpO2: 99 dgn NK
RR : 22 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : pulsus defisit (+) akral hangat (+) edem (-)
EKG : AF
A AF NVR
P Infus Asering 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm
Amiodaron syringe pump 150mg/6jam
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Kendaron 1x1tab
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg

23
Tanggal 02 Maret 2019 (Perawatan hari ke-4)
S Sesak berkurang, berdebar (-) kadang batuk
O Tampak sakit sedang, compos mentis
Nadi: 96 x/menit, Suhu: 36.7 oC,
TD : 98/70 SpO2: 99 dgn NK
RR : 22 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : pulsus defisit (+) akral hangat (+) edem (-)
EKG : NSR
A AF membaik
P Infus Asering 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Kendaron 1x1tab
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg
Bila Besok KU baik, pindah bangsal

24
Tanggal 03 Maret 2019 (Perawatan hari ke-5)
S Sesak (-), berdebar (-) kadang batuk
O Tampak sakit sedang, compos mentis
Nadi: 88 x/menit, Suhu: 36.5 oC,
TD : 100/70 SpO2: 98
RR : 20 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : akral hangat (+) edem (-)
A AF RVR membaik
P Infus Asering 20 tpm
O2 Nasal Kanul 3lpm  aff
Kendaron 1x1 tab
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg

25
Tanggal 04 Maret 2019 (Perawatan hari ke-6)
S Sesak (-), berdebar (-) batuk jarang-jarang
O Tampak baik, compos mentis
Nadi: 84 x/menit, Suhu: 36.5 oC,
TD : 100/70 SpO2: 98
RR : 22 x/menit, CRT <2 detik
Toraks :Bentuk dan gerak simetris, retraksi tak ada, thrill (+)
Pulmo : VBS kiri=kanan, RBK -/-, RBH -/-
Cor : S1 S2 normal
Abdomen : supel, BU (+) normal, timpani
Ekstremitas : akral hangat (+) edem (-)
A AF membaik
P Infus Asering 20 tpm
Kendaron 1x1 tab
Injeksi Pantoprazole 2x40mg
Injeksi Ondancentron 3x8mg
Injeksi Anbacim 2x1gram
Sucralfat 3x5ml
Sanmag 3x1
Clopidogrel 2x75mg
Cilostazole 2x100mg
Glimepirid 2mg 1-0-0
Metformin 3x500mg
Pioglitazon 1x15mg
BLPL

26
DAFTAR PUSTAKA

1. International Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committee. Surviving sepsis


campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock,
2012. crit care Med 2013;39: 165-228.

2. Patel GP, Balk RA. Systemic steroids in severe sepsis and septic shock. Am J Respir Crit
Care Med. 2012;9.

3. Alhazzani W, Alenezi F, Jaeschke RZ, Moayyedi P, Cook DJ, Proton pump inhibitors
versus histamine 2 receptor antagonists for stress ulcer prophylaxis in critically
illpatients: a systematic review and meta-analysis. Crit Care Med 2013;41

4. Alhazzani W, Lim W, Jaeschke RZ, Murad MH, Cade J' Cook DJ. Heparin
thromboprophylaxis in medical-surgical critically ill patients: a systematic review and
meta-analysis of randomized trials. Crit Care Med. 2013;41

5. Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical arrhythmology and
electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders; 2012.

6. European Heart Rhythm A, European Association for Cardio-Thoracic S, Camm AJ, et


al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the
Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC).
Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology : journal of the
working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular electrophysiology of
the European Society of 76 Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Cardiology
2010;12:1360-420

7. Guntur A H, Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, dkk (Editor). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007:1862-5

8. Kasper, Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson(Editors). Sepsis and Septic Shock.
Harrison’s Manual Of Medicine, 16 th Edition, Mc Graw Hill, 2005:49-53.

9. Pohan HT, Pemeriksaan Procalcitonin untuk Diagnosis Infeksi Berat, dalam. Pohan HT,
Widodo D editor, Penyakit Infeksi. Jakarta: FKUI; 2004. hal: 32-9.

10. Nasronudin, Perubahan Mediator selama Perjalanan Sepsis. Dalam : SEPSIS. Penyakit
Infeksi di Indonesia. Nasronudin, Hadi Usman, Vitanata, dkk (Editor).
Surabaya.Airlangga University Press; 2007:257- 62.

11. Anderson L, Bailey E, Bolkhovsky J, dan Soorentiono J. 2011. Automatic detection of


atrial fibrillation and atrial flutter. Worcester Polytechnic Institute : USA.

27
12. PERKI. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.

13. Camm AJ, Kirchhof P, Lip GYH, Schotten U, Savelieva I, Ernst S, et al. 2010.
Guidelines for the management of atrial fibrillation : the task force to managesment of
atrial fibrillation of the european society of cardiologu (ESC). European Heart Journal;
31: 2369-429.

28

Anda mungkin juga menyukai