SKAR HIPERTROFIK
DISUSUN OLEH:
Sitti Ainun Tyas, S.Ked
111 2018 1001
PEMBIMBING:
dr. Mahyuddin Rasyid, Sp.B
i
DAFTAR ISI
2.1. Definisi.......................................................................................... 11
2.2. Epidemiologi................................................................................. 9
2.7. Patogenesis................................................................................... 18
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu
Mengetahui,
Pembimbing
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.Wr.Wb.
Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga laporan kasus dengan judul “Keloid” dapat
Terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak
yang telah membantu kami dalam penyusunan referat ini sehingga dapat selesai
tepat pada waktunya. Permohonan maaf juga kami sampaikan apabila dalam referat
ini terdapat kesalahan. Semoga laporan ini dapat menjadi acuan untuk menjadi
Tidak lupa ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya untuk kedua orang
tua tercinta, yang selalu memberikan motivasi, dukungan do’a, dan selalu sabar
dalam memberikan nasehat serta arahan kepada penyusun. Semoga apa yang telah
kita lakukan bernilai ibadah disisi Allah SWT dan kita senantiasa mendapatkan
Ridho-Nya.
PENULIS
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Luka atau vulnera adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan tubuh baik
pada kulit, membran mukosa, otot dan saraf. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik, atau
gigitan hewan. Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian
peristiwa yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis,
dermis dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada
epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu
terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang
rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk
menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.1,2
Setiap luka pada kulit dapat meninggalkan jaringan parut. Pada beberapa
pasien, jaringan parut tersebut tumbuh secara abnormal berupa jaringan parut
hipertrofik ataupun keloid yang selain dapat mengganggu secara estetika, secara
fungsional juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti gatal dan nyeri.
Terdapat beberapa pilihan terapi, meliputi pembedahan, terapi radiasi, injeksi
steroid, pressure therapy, krioterapi, dan terapi laser. Saat ini terdapat
kecenderungan untuk memilih terapi yang bersifat tidak invasif namun efektif
untuk mencegah dan menatalaksana jaringan parut abnormal. Penggunaan silicone
gel sheet merupakan kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan
parut hipertrofik. Selain penggunaannya yang bersifat non-invasif dan sederhana,
silicone gel sheet juga memiliki efektivitas yang tinggi.1,3
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada dada kiri
Anamnesis Terpimpin :
Pasien mengatakan memiliki bekas luka di bagian dada kiri saat pasien
berusia kurang lebih 7 tahun. Awalnya bekas luka berukuran kecil sebesar biji
jagung kemudian membesar dan melebar yang tumbuh perlahan-lahan sejak kurang
lebih 7 tahun yang lalu dan terkadang disertai rasa gatal dan nyeri saat pasien
melakukan aktivitas yang berat dan terasa lelah atau saat pasien stres. Dulu saat
luka ini belum kering, pasien mengaku sering menggaruk luka tersebut karena
terasa gatal keluhan ini mulai memberat saat pasien SMP. Semenjak itu bekas luka
dikatakan membesar dan melebar. Pasien selama ini belum pernah berobat ke
dokter untuk mengatasi keluhan ini. Demam tidak ada, batuk dan sesak tidak ada,
2
nyeri tulang belakang tidak ada, nafsu makan normal. BAB/BAK lancar. Pasien
riwayat terkena cacar umur 7 tahun.
Riwayat operasi :
-
Riwayat pengobatan :
-
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa dengan pasien
Riwayat alergi :
Tidak ada alergi makanan maupun obat
3
- Exophtalmus : (-/-)
- Pupil : isokor, Ɵ 2,5 mm / Ɵ 2,5 mm, refleks cahaya langsung
(+/+), reflex Cahaya tidak langsung (+/+)
- Bibir sianosis : (-)
Leher
- Pembesaran KGB : supraclavicular (-), axilla (-) dextra
Thoraks
- Paru
Inspeksi : Bentuk normochest, pergerakan simetris, retraksi
otot dinding dada (-).
Palpasi : Vocal fremitus normal +/+, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler
Bunyi tambahan : Wheezing Ronkhi
- - - -
- - - -
- - - -
- Jantung
Inspeksi : Tidak tampak Ictus Cordis
Palpasi : Tidak teraba Ictus Cordis
Perkusi : Batas jantung – paru dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler., Murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar supel, Massa (-), Ascites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), Hepar dan Lien tidak
teraba, Massa (-), Jejas/Bekas Trauma (-)
Perkusi : Tympani
Ekstremitas
4
- Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-),
sianosis (-/-)
- Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-),
sianosis (-/-)
2. Status Lokalis
Regio Mammae Sinistra
Inspeksi : Tampak jaringan sikatrik hiperpigmentasi dengan
batas tegas, ukuran numuler, oval, soliter, konsistensi padat,
permukaan kasar pada regio thoraks sinistra.
Palpasi : Ukuran jaringan sikatrik hiperpigmentasi 4 cm x 2
cm, nyeri (+), terfiksir, konsistensi lunak, permukaan rata, berbatas
tegas pada mammae sinistra.
5
Tes Kimia Darah Hasil Unit Nilai rujukan
GDS 100 mg/dl < 140
Imuno-Serologi Hasil Unit Nilai rujukan
HBsAG NON REAKTIF - NON REAKTIF
Hemostatis Hasil Unit Nilai rujukan
CT 9 Menit Menit <15’00”
BT 1 Menit Menit 1’00”-3’00”
2.5 RESUME
Pasien perempuan usia 14 tahun dengan keluhan memiliki bekas luka
(jaringan sikatrik) di bagian dada kiri saat pasien berusia kurang lebih 7 tahun.
Tampak jaringan sikatrik hiperpigmentasi berukuran 4 cm x 2 cm, nyeri (+), dengan
batas tegas, ukuran numuler, oval, soliter, konsistensi padat, permukaan kasar pada
regio thoraks sinistra Awalnya bekas luka berukuran kecil sebesar biji jagung
kemudian membesar dan melebar yang tumbuh perlahan-lahan sejak kurang lebih
7 tahun yang lalu. Selain itu bekas luka juga dikatakan menghitam dan terkadang
disertai rasa gatal dan nyeri saat pasien melakukan aktivitas yang berat dan terasa
lelah atau saat pasien stress namun tidak tentu munculnya. Dulu saat luka ini belum
kering, pasien mengaku sering menggaruk luka tersebut karena gatal. Saat ini jika
keluhan gatal dan nyeri muncul, pasien sering menggaruk dan menekan-nekan luka
tersebut dan keluhan ini mulai memberat saat pasien SMP. Semenjak itu bekas luka
dikatakan membesar dan melebar. Pasien selama ini belum pernah berobat ke
dokter untuk mengatasi keluhan ini. Demam tidak ada, batuk dan sesak tidak ada,
nyeri tulang belakang tidak ada, nafsu makan normal. BAB/BAK lancar.
2.6 DIAGNOSA
Scar Hipertrofik
2.7 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 16 tpm
6
- Anbacim 1 g/12 Jam/IV
- Trilac (Triamcinolone Acetonide) 10 mg/12Jam
- Rencana Wide Eksisi
7
DOKUMENTASI INTRA OP
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Parut Hipertrofik adalah pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak
melebihi batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai
ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil karena proses pertumbuhannya
berhenti atau matang. Keloid dan jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut
abnormal yang umum dijumpai dalam proses penyembuhan kulit yang disebabkan
oleh sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.3,4
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain
diperbaiki melalui deposisi dan komponen yang akan membentuk kulit baru.
Komponen tersebut meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberi
elastisitas kulit), serat kolagen (memberi ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan
yang membentuk matriks di mana serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah
berada. Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses
penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut
hipertrofik atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat menyebabkan
gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan penatalaksanaannya relative sulit.5
2.2 Epidemiologi
Skar hipertrofi secara umum merupakan komplikasi dari penanganan
tindakan bedah dan luka bakar. Insidennya antara 40% sampai 70% dari tindakan
bedah dan 91% akibat luka bakar. Meskipun dapat terjadi pada semua kelompok
usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau orang tua dan memiliki kejadian
tertinggi di individu yang berusia 10-20 tahun. Kelainan ini bisa diderita oleh laki-
laki maupun perempuan.4,6
9
2.3 Etiologi
Faktor risiko terjadinya skar hipertrofi, yaitu luka yang mengenai dermis
bagian dalam dan inflamasi yang berkepanjangan. Skar Hipertrofi bisa terjadi di
seluruh bagian tubuh, namun predileksinya meningkat di bagian sternum, pundak,
lengan atas, daun telinga, dan pipi. Jaringan parut di daerah tertentu pada tubuh,
meliputi sisi bawah wajah, daerah presternum, pektoralis, punggung sebelah atas,
telinga, leher, sisi luar lengan atas lebih mungkin menyebabkan terjadinya
abnormalitas. Pasien dengan jaringan parut di daerah tubuh yang berisiko tinggi ini,
atau memiliki riwayat terbentuknya keloid perlu berhati-hati kemungkinan
pembentukan jaringan parut lebih lanjut dengan memperhatikan beberapa hal
penting, seperti menghindari tindakan bedah kosmetik yang tidak perlu, menutup
seluruh luka dengan tension minimal, dan menggunakan pressure garment selama
4-6 bulan setelah terjadinya luka atau pembedahan. Kelainan ini bisa diderita oleh
laki-laki maupun perempuan.5
2.4 Patogenesis
Ada 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
remodelling.4
a) Fase Inflamasi
Fase ini dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3
hari. Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase
ini keping darah melepaskan growth factor seperti plateletderived growth
factor (PDGF) dan transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil
mencapai area luka dan memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan
memfagosit jaringan mati dan mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan
memasuki area luka. Makrofag memfagosit debris dan bakteri serta berperan
pada produksi growth factor yang dibutuhkan untuk pembuatan matriks
ekstraseluler oleh fibroblas dan pembuluh darah baru untuk penyembuhan
luka. Oleh karena itu, ketidakhadiran monosit atau makrofag akan
menghambat fase penyembuhan luka. Terakhir, sel limfosit dan sel mast
10
akan berdatangan ke area luka, tetapi peranannya masih belum diketahui
pasti.3,5
b) Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka.
Makrofag terus memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang
membuat fibroblas dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk
jaringan matriks ekstraseluler. Selain itu, juga menstimulasi sel endotel
untuk membentuk pembuluh darah baru. Kolagen tipe III juga mulai
terbentuk yang nantinya akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase
remodelling. Yang penting pada fase ini adalah saat mulai terjadi pengisian
rongga luka dengan kolagen maka fibroblas harus sudah berkurang dan
proses angiogenesis juga harus mulai melambat agar didapatkan scar
normal.3,6
c) Fase Remodelling
Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai
minggu ke-3 hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan
remodelling kolagen. Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III.
Kekuatan luka terus meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen.3
11
Decorin merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan
menetralisir TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar
decorin yang rendah dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik.7,8
12
mengalami regresi sejalan dengan waktu. Para klinisi umumnya mendiagnosis
keloid berdasarkan pertumbuhan jaringan parut yang meluas ke jaringan sekitarnya
dan onset yang lambat dari timbulnya jaringan parut tersebut.8,9
13
membedakannya adalah keloid merupakan jaringan parut yang meluas secara
progresif meliputi daerah kulit normal di sekitarnya, mengakibatkan jaringan parut
yang tampak tidak teratur dan menggantung.. Sebaliknya, jaringan parut hipertrofik
hanya terbatas pada jaringan yang rusak akibat trauma sebelumnya. Pada scar
hipertrofik, tindakan pembedahan dapat menjadi pilihan penanganan yang baik,
tetapi pada scar keloid, tindakan pembedahan sering menyebabkan scar menjadi
lebih besar akibat luka operasi.7,9
2.7. Penatalaksaan
Penatalaksanaan terhadap keloid dan parut hipertrofik masih bersifat
empiris sebab penyebabnya masih sedikit dimengerti. Terapi terhadap jaringan
parut tersebut diindikasikan jika terdapat gejala, seperti nyeri, parestesia, dan
pruritus. Selain itu juga diindikasikan untuk alasan kosmetik. Penggunaan silicone
gel sheet merupakan suatu kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan
jaringan parut hipertrofik. Silicone gel sheet tersebut berupa gel-like transparent,
flexible, inert sheet dengan ketebalan ±3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan
pencegahan keloid ataupun jaringan parut hipertrofik.9,10
Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik.
Semua terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun
demikian, pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum tindakan
pembedahan dan laser. Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan terapi
kombinasi. Keterlambatan proses epitelisasi hingga 10-14 hari meningkatkan angka
kejadian scar hipertrofik/keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman luka, usia pasien, dan
keberhasilan terapi sebelumnya merupakan pertimbangan klinisi untuk menentukan
terapi.10
a) Terapi Tekan
14
sering menyebabkan maserasi, eksema, ataupun bau tidak sedap karena
penggunaan bahan kain. Terapi tekan biasanya berhasil lebih baik pada anak-
anak.10
Silicone gel sheeting bekerja dengan cara meningkatkan temperatur parut 1-2
derajat dari suhu tubuh, keadaan ini akan meningkatkan aktivitas kolagenase.
Penggunaan dianjurkan ≥12 jam dan/ atau 1 hari dimulai sejak 2 minggu
pascapenyembuhan luka. Penggunaan silicone sheet ini lebih disukai pada area
yang sering bergerak.9
c) Extractum Cepae
d) Injeksi Kortikosteroid
Pada terapi tunggal, hasil maksimal hingga rata sepenuhnya didapatkan pada
scar yang masih baru. Untuk scar lama, hasil yang dicapai hanya lesi menjadi lebih
kecil dan membantu mengurangi gejala. Efek samping yang sering muncul adalah
atrofi kulit, telangiektasis, dan rasa nyeri di area penyuntikan.11
15
e) Cryotherapy
Dapat digunakan sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi dengan terapi injeksi
kortikosteroid untuk hasil lebih maksimal. Untuk kombinasi terapi, disarankan
cryotheraphy terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan injeksi triamcinolon
acetonide. Cryotherapy menyebabkan kerusakan vaskular, sehingga terjadi anoksia
dan nekrosis jaringan.11
Revisi Scar Sebelum tindakan bedah, harus dipastikan perbedaan antara scar
hipertrofi dan keloid. Pada penanganan scar hipertrofi, scar <1 tahun masih dapat
menunjukkan perbaikan tanpa manipulasi. Kemungkinan rekuren setelah tindakan
bedah lebih kecil pada scar hipertrofik. Keloid memiliki angka rekuren 45-100%
pasca-tindakan bedah. Tindakan eksisi sering menyebabkan scar yang lebih besar.
Tindakan bedah sebaiknya dikombinasi dengan injeksi triamcinolone acetonide dan
terapi tekan di area tindakan untuk hasil yang lebih baik.9,10
f) Radioterapi
Laser Terapi 585-nm pulse dye laser (PDL) memberikan hasil yang cukup
baik. Tanpa overlap, dengan fluence 6,0-7,5 J/cm2 (7 mm spot) atau 4,5-5,5 J/cm2
(10 mm spot) sangat dianjurkan untuk terapi scar hipertrofik ataupun keloid. Untuk
hasil maksimal, sebaiknya terapi diulang hingga 2-6 kali. Dengan panas yang
merusak kolagen, terapi 585 nm PDL dipercaya dapat membentuk kolagenesis
baru. Hati-hati dengan efek samping hipo- atau hiperpigmentasi serta blister. Sering
terjadi purpura pasca-terapi yang bertahan hingga 7-10 hari.12
16
Terapi 1064-nm Neodym: YAG Laser juga memberikan hasil yang cukup
baik. Mekanisme kerjanya serupa dengan PDL, tetapi yang mampu menembus
jaringan lebih dalam, sehingga sangat baik untuk terapi keloid yang tebal.
Ditemukan perbaikan pigmentasi, vaskularisasi, dan ukuran scar setelah 5-10 terapi
dengan interval 1-2 minggu menggunakan fluence rendah.10
g) Injeksi Interferon
h) Injeksi Doxorubicin
i) Injeksi Verapamil
j) Bleomycin Sulfate
17
k) 5-Fluorouracil (5-FU)
18
2.7. Pencegahan
Pencegahan pembentukan scar hipertrofik dan keloid merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan dalam penanganan scar hipertrofik dan
keloid. Beberapa hal penting untuk mencegah keloid dan skar hipertrofik adalah :13
19
g) Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka
termasuk lubang tindik telinga dengan benda asing.
20
BAB IV
KESIMPULAN
Luka atau vulnera adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan tubuh baik pada
kulit, membran mukosa, otot dan saraf. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma.
Setiap luka pada kulit dapat meninggalkan jaringan parut. Pada beberapa pasien,
jaringan parut tersebut tumbuh secara abnormal berupa jaringan parut hipertrofik
ataupun keloid yang selain dapat mengganggu secara estetika, secara fungsional
juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti gatal dan nyeri.1
Parut Hipertrofik adalah pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak
melebihi batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai
ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil karena proses pertumbuhannya
berhenti atau matang. Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu
penyebab timbulnya scar hipertrofik atau keloid. Pada scar hipertrofik, infiltrasi sel
imun akan menurun sehingga mungkin terjadi regresi. Teori lain menyatakan
bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam terjadinya kelainan
jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan penting sintesis
kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks ekstraseluler yang tidak
hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga menghambat pemecahannya.
Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih dominan pada fase akhir penyembuhan
luka memiliki fungsi sebaliknya. Decorin merupakan proteoglikan yang memiliki
kemampuan mengikat dan menetralisir TGF-β serta menurunkan protein matriks
ekstraseluler. Kadar decorin yang rendah dapat memicu terjadinya kelainan
fibrotik.4,6
Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik. Semua
terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun demikian,
pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum tindakan
pembedahan dan laser. Adapun terapi lain pada scar hipertrofik dan keloid yakni :
Terapi Tekan, Silicone Gel Sheeting, Extractum Cepae, Injeksi Kortikosteroid.
Cryotherapy Radioterapi, Injeksi Interferon, Injeksi Doxorubicin, Injeksi
21
Verapamil, Bleomycin Sulfate, 5-Fluorouracil (5-FU), Botulinum Toxin A
(BTA).9,10
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al,
editor. Fitpatrick’s dermatology in general medicine. 9 Edition. New York: Mc.
Graw Hill.2018.
2. Thompson. Lester. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.
3. Butler.P.D.Longaker,M.T.,Yang G.P. Current progress in keloid research and
treatment . J Am Coll Surg. 2008.
4. Urioste,S.S.,Arndt, K.A.,Dover,J.S. Keloids and hypertrophic scars review and
treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery.
5. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Tumor Kulit: Tumor Jinak kulit 5th. Ed:
Djuanda A, Hamzah M, Aishah S. Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
6. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic
scarring and keloids: Pathomechanisms and current and emerging treatment
strategies. Mol Med 2011;17(1-2):113-25. Available from:
http://dupuytrens.org/DupPDFs/2011_Gauglitz.pdf
7. Maghrabi IA, Kabel AM. Management of keloid and hyperthropic scars: Role
of nutrition, drugs, cryotherapy and phototherapy. World J Nutr Health
2014;2(2):28-32. Available from: http://pubs.sciepub.com/jnh/2/2/4/
8. Sudjatmiko G. Petunjuk praktis ilmu bedah plastik rekonstruksi. 1st ed.
Indonesia: Yayasan Khasanah Kebajikan; 2007
9. Thorne CH, Chung KC, Gosain AK, editors. Grabb and Smith’s plastic
surgery. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2014. p. 14-9.
10. Atiyeh BS. Nonsurgical management of hypertrophic scars: Evidence-based
therapies, standard practices, and emerging methods. Aesthetic Plas Surgery.
2007;31(5):468-92.
11. Huang C, Murphy GF, Akaishi S, Ogawa R. Keloids and hypertrophic scar:
Update and future directions [Internet]. 2013. Available from:
https://dash.harvard.edu/ bitstream/handle/1/13347635/4173836.pdf?sequence=1.
23
12. Gauglitz GG. Management of keloid and hypertrophic scars: Current and
emerging options [Internet]. 2013. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC3639020/ 8. Jansen D. Keloid
[Internet]. 2016. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1298013-
overview#a1
13. Perdanakusuma DS, Noer MS. Penanganan parut hipertrofi dan keloid.
Surabaya: Airlangga University Press; 2006.
24