Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

BADAN KOORDINASI PENDIDIKAN Desember 2019


RSUD ANDI MAKKASAU PAREPARE

SKAR HIPERTROFIK

DISUSUN OLEH:
Sitti Ainun Tyas, S.Ked
111 2018 1001

PEMBIMBING:
dr. Mahyuddin Rasyid, Sp.B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II LAPORAN KASUS …………………………………………………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi.......................................................................................... 11

2.2. Epidemiologi................................................................................. 9

2.3. Embriologi Payudara.................................................................... 10

2.4. Anatomi Payudara........................................................................ 10

2.5. Fisiologi Payudara........................................................................ 14

2.6. Faktor Risiko ............................................................................... 15

2.7. Patogenesis................................................................................... 18

2.8. Diagnosis ..................................................................................... 19

2.9. Stadium ........................................................................................ 25

2.10. Penatalaksanaan ........................................................................... 28

2.11. Follow Up .................................................................................... 33

2.12. Pencegahan .................................................................................. 34

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Sitti Ainun Tyas A, S.Ked

Stambuk : 111 2018 1001

Judul Referat : Skar Hipertrofik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Desember 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Mahyuddin Rasyid, Sp.B

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.Wr.Wb.

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga laporan kasus dengan judul “Keloid” dapat

diselesaikan. Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan dari dokter pembimbing

bagian ilmu bedah sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan.

Terima kasih yang sebesar – besarnya kami ucapkan kepada berbagai pihak

yang telah membantu kami dalam penyusunan referat ini sehingga dapat selesai

tepat pada waktunya. Permohonan maaf juga kami sampaikan apabila dalam referat

ini terdapat kesalahan. Semoga laporan ini dapat menjadi acuan untuk menjadi

bahan belajar berikutnya.

Tidak lupa ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya untuk kedua orang

tua tercinta, yang selalu memberikan motivasi, dukungan do’a, dan selalu sabar

dalam memberikan nasehat serta arahan kepada penyusun. Semoga apa yang telah

kita lakukan bernilai ibadah disisi Allah SWT dan kita senantiasa mendapatkan

Ridho-Nya.

Makassar , Desember 2019

PENULIS

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Luka atau vulnera adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan tubuh baik
pada kulit, membran mukosa, otot dan saraf. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik, atau
gigitan hewan. Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian
peristiwa yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis,
dermis dan subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada
epidermis dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu
terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang
rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi,
fase proliferasi dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk
menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya.1,2
Setiap luka pada kulit dapat meninggalkan jaringan parut. Pada beberapa
pasien, jaringan parut tersebut tumbuh secara abnormal berupa jaringan parut
hipertrofik ataupun keloid yang selain dapat mengganggu secara estetika, secara
fungsional juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti gatal dan nyeri.
Terdapat beberapa pilihan terapi, meliputi pembedahan, terapi radiasi, injeksi
steroid, pressure therapy, krioterapi, dan terapi laser. Saat ini terdapat
kecenderungan untuk memilih terapi yang bersifat tidak invasif namun efektif
untuk mencegah dan menatalaksana jaringan parut abnormal. Penggunaan silicone
gel sheet merupakan kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan
parut hipertrofik. Selain penggunaannya yang bersifat non-invasif dan sederhana,
silicone gel sheet juga memiliki efektivitas yang tinggi.1,3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Nn. C
Umur : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jalan jendral sudiman no.38 D
Nama RS : RSUD Andi Makassau
No.RM : 138746
Tgl. MRS : 27 November 2019
Pukul : 09.53 WITA
Perawatan : Anggrek
DPJP : dr. Mahyuddin Rasyid, Sp.B.

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada dada kiri
Anamnesis Terpimpin :
Pasien mengatakan memiliki bekas luka di bagian dada kiri saat pasien
berusia kurang lebih 7 tahun. Awalnya bekas luka berukuran kecil sebesar biji
jagung kemudian membesar dan melebar yang tumbuh perlahan-lahan sejak kurang
lebih 7 tahun yang lalu dan terkadang disertai rasa gatal dan nyeri saat pasien
melakukan aktivitas yang berat dan terasa lelah atau saat pasien stres. Dulu saat
luka ini belum kering, pasien mengaku sering menggaruk luka tersebut karena
terasa gatal keluhan ini mulai memberat saat pasien SMP. Semenjak itu bekas luka
dikatakan membesar dan melebar. Pasien selama ini belum pernah berobat ke
dokter untuk mengatasi keluhan ini. Demam tidak ada, batuk dan sesak tidak ada,

2
nyeri tulang belakang tidak ada, nafsu makan normal. BAB/BAK lancar. Pasien
riwayat terkena cacar umur 7 tahun.

Riwayat penyakit terdahulu :


Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-), TB (-), Varicella (+)

Riwayat operasi :
-
Riwayat pengobatan :
-
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa dengan pasien

Riwayat alergi :
Tidak ada alergi makanan maupun obat

2.3 PEMERIKSAAN FISIS


1. Status Generalis
 Keadaan Umum : Sakit Sedang/Gizi baik/Compos mentis
 Tanda Vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 88x/menit
- Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 37 °C
 Kepala
- Bentuk : Normocephal
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Lagophtalmus : (-/-)
- Ptosis : (-/-)

3
- Exophtalmus : (-/-)
- Pupil : isokor, Ɵ 2,5 mm / Ɵ 2,5 mm, refleks cahaya langsung
(+/+), reflex Cahaya tidak langsung (+/+)
- Bibir sianosis : (-)
 Leher
- Pembesaran KGB : supraclavicular (-), axilla (-) dextra
 Thoraks
- Paru
 Inspeksi : Bentuk normochest, pergerakan simetris, retraksi
otot dinding dada (-).
 Palpasi : Vocal fremitus normal +/+, krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler
Bunyi tambahan : Wheezing Ronkhi
- - - -
- - - -
- - - -

- Jantung
 Inspeksi : Tidak tampak Ictus Cordis
 Palpasi : Tidak teraba Ictus Cordis
 Perkusi : Batas jantung – paru dalam batas normal
 Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler., Murmur (-),
Gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Datar supel, Massa (-), Ascites (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), Hepar dan Lien tidak
teraba, Massa (-), Jejas/Bekas Trauma (-)
 Perkusi : Tympani
 Ekstremitas

4
- Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-),
sianosis (-/-)
- Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-),
sianosis (-/-)
2. Status Lokalis
Regio Mammae Sinistra
 Inspeksi : Tampak jaringan sikatrik hiperpigmentasi dengan
batas tegas, ukuran numuler, oval, soliter, konsistensi padat,
permukaan kasar pada regio thoraks sinistra.
 Palpasi : Ukuran jaringan sikatrik hiperpigmentasi 4 cm x 2
cm, nyeri (+), terfiksir, konsistensi lunak, permukaan rata, berbatas
tegas pada mammae sinistra.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi Lengkap Hasil Unit Nilai rujukan
3
Leukosit 8,4 10 /ul 4.0-10.0
Eritrosit 5,39 106/ul 4.50-6.20
Hemoglobin 14,0 g/dl 13,0-17,0
Hematokrit 43,3 % 40,1-51,0
Trombosit 408 103/ul 150-400
MCV 80 fL 79,0-92,2
MCH 26,4 Pg 25,6-32,2
MCHC 32,9 g/L 32,2-36,5
Monosit 6,8 % 2,0-11,0
Neutrofil 48,7 % 50-70
Limfosit 38,0 % 20-40
Eosinofil 0,8 % 0,0-5,0

5
Tes Kimia Darah Hasil Unit Nilai rujukan
GDS 100 mg/dl < 140
Imuno-Serologi Hasil Unit Nilai rujukan
HBsAG NON REAKTIF - NON REAKTIF
Hemostatis Hasil Unit Nilai rujukan
CT 9 Menit Menit <15’00”
BT 1 Menit Menit 1’00”-3’00”

2.5 RESUME
Pasien perempuan usia 14 tahun dengan keluhan memiliki bekas luka
(jaringan sikatrik) di bagian dada kiri saat pasien berusia kurang lebih 7 tahun.
Tampak jaringan sikatrik hiperpigmentasi berukuran 4 cm x 2 cm, nyeri (+), dengan
batas tegas, ukuran numuler, oval, soliter, konsistensi padat, permukaan kasar pada
regio thoraks sinistra Awalnya bekas luka berukuran kecil sebesar biji jagung
kemudian membesar dan melebar yang tumbuh perlahan-lahan sejak kurang lebih
7 tahun yang lalu. Selain itu bekas luka juga dikatakan menghitam dan terkadang
disertai rasa gatal dan nyeri saat pasien melakukan aktivitas yang berat dan terasa
lelah atau saat pasien stress namun tidak tentu munculnya. Dulu saat luka ini belum
kering, pasien mengaku sering menggaruk luka tersebut karena gatal. Saat ini jika
keluhan gatal dan nyeri muncul, pasien sering menggaruk dan menekan-nekan luka
tersebut dan keluhan ini mulai memberat saat pasien SMP. Semenjak itu bekas luka
dikatakan membesar dan melebar. Pasien selama ini belum pernah berobat ke
dokter untuk mengatasi keluhan ini. Demam tidak ada, batuk dan sesak tidak ada,
nyeri tulang belakang tidak ada, nafsu makan normal. BAB/BAK lancar.

2.6 DIAGNOSA
 Scar Hipertrofik

2.7 PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 16 tpm

6
- Anbacim 1 g/12 Jam/IV
- Trilac (Triamcinolone Acetonide) 10 mg/12Jam
- Rencana Wide Eksisi

2.9 LAMPIRAN GAMBAR


DOKUMENTASI PRE OP

7
DOKUMENTASI INTRA OP

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Parut Hipertrofik adalah pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak
melebihi batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai
ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil karena proses pertumbuhannya
berhenti atau matang. Keloid dan jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut
abnormal yang umum dijumpai dalam proses penyembuhan kulit yang disebabkan
oleh sintesis dan deposisi yang tidak terkontrol dari jaringan kolagen pada dermis.3,4
Luka pada kulit seperti luka bakar, insisi pembedahan, ulkus dan lain-lain
diperbaiki melalui deposisi dan komponen yang akan membentuk kulit baru.
Komponen tersebut meliputi pembuluh darah, saraf, serat elastin (memberi
elastisitas kulit), serat kolagen (memberi ketegangan kulit), dan gliko-saminoglikan
yang membentuk matriks di mana serat-serat struktural, saraf dan pembuluh darah
berada. Pada beberapa orang, jaringan parut yang terbentuk akibat proses
penyembuhan luka tumbuh secara abnormal menghasilkan jaringan parut
hipertrofik atau keloid. Jaringan parut abnormal tersebut dapat menyebabkan
gangguan psikis dan fungsional pada pasien dan penatalaksanaannya relative sulit.5

2.2 Epidemiologi
Skar hipertrofi secara umum merupakan komplikasi dari penanganan
tindakan bedah dan luka bakar. Insidennya antara 40% sampai 70% dari tindakan
bedah dan 91% akibat luka bakar. Meskipun dapat terjadi pada semua kelompok
usia, jarang ditemukan pada bayi baru lahir atau orang tua dan memiliki kejadian
tertinggi di individu yang berusia 10-20 tahun. Kelainan ini bisa diderita oleh laki-
laki maupun perempuan.4,6

9
2.3 Etiologi
Faktor risiko terjadinya skar hipertrofi, yaitu luka yang mengenai dermis
bagian dalam dan inflamasi yang berkepanjangan. Skar Hipertrofi bisa terjadi di
seluruh bagian tubuh, namun predileksinya meningkat di bagian sternum, pundak,
lengan atas, daun telinga, dan pipi. Jaringan parut di daerah tertentu pada tubuh,
meliputi sisi bawah wajah, daerah presternum, pektoralis, punggung sebelah atas,
telinga, leher, sisi luar lengan atas lebih mungkin menyebabkan terjadinya
abnormalitas. Pasien dengan jaringan parut di daerah tubuh yang berisiko tinggi ini,
atau memiliki riwayat terbentuknya keloid perlu berhati-hati kemungkinan
pembentukan jaringan parut lebih lanjut dengan memperhatikan beberapa hal
penting, seperti menghindari tindakan bedah kosmetik yang tidak perlu, menutup
seluruh luka dengan tension minimal, dan menggunakan pressure garment selama
4-6 bulan setelah terjadinya luka atau pembedahan. Kelainan ini bisa diderita oleh
laki-laki maupun perempuan.5

2.4 Patogenesis
Ada 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
remodelling.4

a) Fase Inflamasi
Fase ini dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3
hari. Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase
ini keping darah melepaskan growth factor seperti plateletderived growth
factor (PDGF) dan transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil
mencapai area luka dan memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan
memfagosit jaringan mati dan mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan
memasuki area luka. Makrofag memfagosit debris dan bakteri serta berperan
pada produksi growth factor yang dibutuhkan untuk pembuatan matriks
ekstraseluler oleh fibroblas dan pembuluh darah baru untuk penyembuhan
luka. Oleh karena itu, ketidakhadiran monosit atau makrofag akan
menghambat fase penyembuhan luka. Terakhir, sel limfosit dan sel mast

10
akan berdatangan ke area luka, tetapi peranannya masih belum diketahui
pasti.3,5
b) Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka.
Makrofag terus memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang
membuat fibroblas dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk
jaringan matriks ekstraseluler. Selain itu, juga menstimulasi sel endotel
untuk membentuk pembuluh darah baru. Kolagen tipe III juga mulai
terbentuk yang nantinya akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase
remodelling. Yang penting pada fase ini adalah saat mulai terjadi pengisian
rongga luka dengan kolagen maka fibroblas harus sudah berkurang dan
proses angiogenesis juga harus mulai melambat agar didapatkan scar
normal.3,6
c) Fase Remodelling
Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai
minggu ke-3 hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan
remodelling kolagen. Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III.
Kekuatan luka terus meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen.3

Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu penyebab


timbulnya scar hipertrofik atau keloid. Meningkatnya jumlah sel-sel imun pada
keloid meningkatkan aktivitas fibroblas dan terus terjadi pembentukan matriks
ekstraseluler. Hal ini juga yang diduga menyebabkan scar timbul melebihi
margin atau batas luka pada keloid. Pada scar hipertrofik, infiltrasi sel imun akan
menurun sehingga mungkin terjadi regresi.3,7

Teori lain menyatakan bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting


dalam terjadinya kelainan jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan
stimulan penting sintesis kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks
ekstraseluler yang tidak hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga
menghambat pemecahannya. Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih
dominan pada fase akhir penyembuhan luka memiliki fungsi sebaliknya.

11
Decorin merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan
menetralisir TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar
decorin yang rendah dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik.7,8

Akhir-akhir ini dinyatakan bahwa apoptosis juga menjadi penyebab


kelainan fibrosis. Pada fase awal terbentuknya scar hipertrofik, terjadi
hiperseluler, dan pada fase remodelling sel fibroblas berkurang dan perlahan-
lahan menjadi scar normal melalui proses apoptosis. Proses ini mulai terjadi
sejak hari ke-12 pasca-luka. Penelitian pada scar hipertrofik akibat luka bakar
derajat tinggi menemukan keterlambatan proses apoptosis, yaitu pada bulan ke-
19-30 pasca-luka.8

2.5. KELOID DAN JARINGAN PARUT HIPERTROFIK

Walaupun istilah keloid dan jaringan parut hipertrofik sering digunakan


dalam arti yang sama, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Perbedaan keloid dan
jaringan parut hipertrofik penting diketahui sebab berkaitan dengan hasil terapi
dimana jaringan parut hipertrofik perlahan-lahan dapat regresi spontan, sedangkan
keloid tetap menimbul dan tebal selama bertahun-tahun. Kedua tipe jaringan parut
tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsional serta psikologi pada pasien, dan
penatalaksanaannya juga relatif sulit.6

Gambaran klinis utama yang membedakannya adalah keloid merupakan


jaringan parut yang meluas secara progresif meliputi daerah kulit normal di
sekitarnya, mengakibatkan jaringan parut yang tampak tidak teratur dan
menggantung. Keloid lebih sering dijumpai pada kulit gelap dan sering terjadi
setelah trauma kecil seperti luka akibat lubang anting anting, gigitan serangga, dan
vaksinasi. Sebaliknya, jaringan parut hipertrofik hanya terbatas pada jaringan yang
rusak akibat trauma sebelumnya. Jaringan parut hipertrofik cenderung terjadi
setelah pembedahan dan trauma termal seperti luka bakar berat. Jaringan parut
tersebut lebih sering pada kulit berwarna. Jaringan parut hipertrofik tidak
menginvasi kulit di sekitarnya dan biasanya berhenti tumbuh setelah 6 bulan

12
mengalami regresi sejalan dengan waktu. Para klinisi umumnya mendiagnosis
keloid berdasarkan pertumbuhan jaringan parut yang meluas ke jaringan sekitarnya
dan onset yang lambat dari timbulnya jaringan parut tersebut.8,9

Tabel 1. Perbandingan epidemiologi, gambaran klinis, dan histologi antara


scar hipertrofik dan keloid.6

Scar Hipertrofik Scar Keloid


40-70% terjadi pasca operasi 6-16% terjadi pada ras
dan > 90% pasca luka bakar Afrika
Insidens
Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, insidens
tertinggi pada usia 20 hingga 30 tahun
Bahu,leher, sekitar sternum, Dada depan, pundak,
Area pergelangan kaki telinga, lengan atas dan pipi
Predileksi Area paling jarang terkena kelopak mata, kornea, telapak
tangan, genitalia, dan telapaok kaki
Beberapa tahun setelah
4-8 minggu setelah luka, terjadinya luka atau spontan
pertumbuhan cepat terjadi tanpa didahului luka di area
hingga 6 bulan kemudian dada tengah. Cenderung
Onset
mengalami regresi menetap, jarang regresi
spontan
Jarang berulang setelah eksisi Sering berulang setelah
scar awal eksisi scar awal
Gambaran Jarang meluas melebihi batas
Luas melebihi area luka
Klinis luka
Teroganisir, kolagen tipe III
Tidak teroganisir, luas,
yang paralel epidermidis,
tebal, kolagen tipe I dan III
terdapat nodul mengandung
Gambaran tanpa nodul atau
miofibroblas dan banyak
Histologi miofibroblas, vaskularisasi
mengandung asam
sangat buruk, Ekspersi AIP
mukopolisakarida. Ekspresi
tinggi
AIP rendah

2.6. Manifestasi Klinis


Skar hipertrofi sama dengan keloid, namun secara klinis tinggi skarnya
tidak tumbuh melebihi batas dari lukanya. Scar hipertrofik terbentuk mulai minggu
ke-4 hingga ke-6 setelah luka dan tumbuh cepat hingga 6 bulan. Setelah itu akan
mengalami regresi hingga terbentuk jaringan normal. Sedangkan pada keloid scar
terus bertumbuh dan cenderung menetap. Gambaran klinis utama yang

13
membedakannya adalah keloid merupakan jaringan parut yang meluas secara
progresif meliputi daerah kulit normal di sekitarnya, mengakibatkan jaringan parut
yang tampak tidak teratur dan menggantung.. Sebaliknya, jaringan parut hipertrofik
hanya terbatas pada jaringan yang rusak akibat trauma sebelumnya. Pada scar
hipertrofik, tindakan pembedahan dapat menjadi pilihan penanganan yang baik,
tetapi pada scar keloid, tindakan pembedahan sering menyebabkan scar menjadi
lebih besar akibat luka operasi.7,9

2.7. Penatalaksaan
Penatalaksanaan terhadap keloid dan parut hipertrofik masih bersifat
empiris sebab penyebabnya masih sedikit dimengerti. Terapi terhadap jaringan
parut tersebut diindikasikan jika terdapat gejala, seperti nyeri, parestesia, dan
pruritus. Selain itu juga diindikasikan untuk alasan kosmetik. Penggunaan silicone
gel sheet merupakan suatu kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan
jaringan parut hipertrofik. Silicone gel sheet tersebut berupa gel-like transparent,
flexible, inert sheet dengan ketebalan ±3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan
pencegahan keloid ataupun jaringan parut hipertrofik.9,10
Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik.
Semua terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun
demikian, pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum tindakan
pembedahan dan laser. Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan terapi
kombinasi. Keterlambatan proses epitelisasi hingga 10-14 hari meningkatkan angka
kejadian scar hipertrofik/keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman luka, usia pasien, dan
keberhasilan terapi sebelumnya merupakan pertimbangan klinisi untuk menentukan
terapi.10
a) Terapi Tekan

Efektivitasnya masih kontroversial. Mekanisme kerja yang diharapkan adalah


dengan pemberian tekanan, maka sintesis kolagen menurun karena terbatasnya
suplai darah dan oksigen, serta nutrisi ke jaringan scar dan apoptosis diharapkan
meningkat. Tekanan kontinu (15-40 mmHg) diberikan minimal 23 jam dan/atau 1
hari selama minimal 6 bulan atau selama scar masih aktif. Terapi ini terbatas karena

14
sering menyebabkan maserasi, eksema, ataupun bau tidak sedap karena
penggunaan bahan kain. Terapi tekan biasanya berhasil lebih baik pada anak-
anak.10

b) Silicone Gel Sheeting

Silicone gel sheeting bekerja dengan cara meningkatkan temperatur parut 1-2
derajat dari suhu tubuh, keadaan ini akan meningkatkan aktivitas kolagenase.
Penggunaan dianjurkan ≥12 jam dan/ atau 1 hari dimulai sejak 2 minggu
pascapenyembuhan luka. Penggunaan silicone sheet ini lebih disukai pada area
yang sering bergerak.9

c) Extractum Cepae

Extractum cepae dengan turunan spesifiknya adalah quercetin memiliki efek


anti-inflamasi, anti-bakterial, dan fibrinolitik, sehingga mampu menghambat
proliferasi fibroblas dan produksi kolagen pada keloid dan scar hipertrofik. Zat ini
banyak ditemukan di bawang, apel, anggur merah, dan teh hitam. Quercetin mampu
menghambat TGF-β1 dan TGF-β2. Penggunaan topikal diberikan pasca-tindakan
laser untuk menghilangkan tattoo dan sering digunakan sebagai terapi pencegahan
terutama pasca-tindakan bedah.9

d) Injeksi Kortikosteroid

Kortikosteroid bekerja mensupresi proses inflamasi luka. Selain itu,


kortikosteroid mampu mengurangi sintesis kolagen dan glikosaminoglikan,
menghambat pertumbuhan fibroblas, dan meningkatkan degradasi kolagen dan
fibroblas. Injeksi intralesi menggunakan triamcinolon acetonide (TAC) 10-40
mg/mL diulang setiap 3-4 minggu dapat dilakukan hingga 6 bulan memberikan
hasil yang cukup baik, pada kasus tertentu terkadang dibutuhkan tambahan sesi.10

Pada terapi tunggal, hasil maksimal hingga rata sepenuhnya didapatkan pada
scar yang masih baru. Untuk scar lama, hasil yang dicapai hanya lesi menjadi lebih
kecil dan membantu mengurangi gejala. Efek samping yang sering muncul adalah
atrofi kulit, telangiektasis, dan rasa nyeri di area penyuntikan.11

15
e) Cryotherapy

Dapat digunakan sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi dengan terapi injeksi
kortikosteroid untuk hasil lebih maksimal. Untuk kombinasi terapi, disarankan
cryotheraphy terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan injeksi triamcinolon
acetonide. Cryotherapy menyebabkan kerusakan vaskular, sehingga terjadi anoksia
dan nekrosis jaringan.11

Revisi Scar Sebelum tindakan bedah, harus dipastikan perbedaan antara scar
hipertrofi dan keloid. Pada penanganan scar hipertrofi, scar <1 tahun masih dapat
menunjukkan perbaikan tanpa manipulasi. Kemungkinan rekuren setelah tindakan
bedah lebih kecil pada scar hipertrofik. Keloid memiliki angka rekuren 45-100%
pasca-tindakan bedah. Tindakan eksisi sering menyebabkan scar yang lebih besar.
Tindakan bedah sebaiknya dikombinasi dengan injeksi triamcinolone acetonide dan
terapi tekan di area tindakan untuk hasil yang lebih baik.9,10

f) Radioterapi

Superficial x-rays, electron-beam therapy, dan brachytherapy dosis rendah


atau tinggi memberikan hasil yang cukup baik. Radioterapi menghambat
neovaskular dan proliferasi fibroblas, sehingga produksi kolagen menurun. Terapi
sebaiknya dimulai sejak 24-48 jam pasca-tindakan eksisi dengan dosis total 40 Gy
untuk mencegah efek samping seperti hipo- atau hiperpigmentasi, eritema,
telangiektasis, dan atrofi.11

Laser Terapi 585-nm pulse dye laser (PDL) memberikan hasil yang cukup
baik. Tanpa overlap, dengan fluence 6,0-7,5 J/cm2 (7 mm spot) atau 4,5-5,5 J/cm2
(10 mm spot) sangat dianjurkan untuk terapi scar hipertrofik ataupun keloid. Untuk
hasil maksimal, sebaiknya terapi diulang hingga 2-6 kali. Dengan panas yang
merusak kolagen, terapi 585 nm PDL dipercaya dapat membentuk kolagenesis
baru. Hati-hati dengan efek samping hipo- atau hiperpigmentasi serta blister. Sering
terjadi purpura pasca-terapi yang bertahan hingga 7-10 hari.12

16
Terapi 1064-nm Neodym: YAG Laser juga memberikan hasil yang cukup
baik. Mekanisme kerjanya serupa dengan PDL, tetapi yang mampu menembus
jaringan lebih dalam, sehingga sangat baik untuk terapi keloid yang tebal.
Ditemukan perbaikan pigmentasi, vaskularisasi, dan ukuran scar setelah 5-10 terapi
dengan interval 1-2 minggu menggunakan fluence rendah.10

g) Injeksi Interferon

(IFN) Merupakan terapi yang cukup potensial karena IFN mampu


mengurangi sintesis kolagen tipe I dan III. Secara spesifik INF-α2b memiliki efek
antagonis terhadap TGF-β dan histamin. INF-α2b disuntikkan intralesi (1,5x106
IU, 2 kali sehari selama 4 hari) mampu mereduksi ukuran scar hingga 50% di hari
ke 9. Efek samping yang sering muncul adalah flu like symptoms dan nyeri di area
penyuntikan.11

h) Injeksi Doxorubicin

Doxorubicin dapat menghambat sintesis kolagen melalui mekanisme


penghambatan enzim prolidase yang merupakan enzim kunci dalam proses
resintesis kolagen. Doxycycline, daunorubicin, gentamicin, netilmicin, dan
anthracycline juga memiliki kemampuan menghambat enzim prolidase.10

i) Injeksi Verapamil

Verapamil termasuk dalam golongan calcium channel blocker yang


bekerja menghambat sintesis dari matriks ekstraseluler dan meningkatkan proses
fibrinase.9

j) Bleomycin Sulfate

Bleomycin sulfate bekerja menghambat langsung sintesis kolagen melalui


mekanisme penghambatan terhadap stimulasi TGF-β1. Penyuntikan intralesi
sebanyak 3-5 kali dalam 1 bulan telah terbukti menurunkan 69,4% keloid. Efek
samping hiperpigmentasi dan atrofi dermal. Walaupun cukup menjanjikan tetapi
masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.9

17
k) 5-Fluorouracil (5-FU)

Zat kemoterapi kanker ini bekerja dengan cara meningkatkan apoptosis


fibroblas. Injeksi 5-FU intralesi (50 mg/mL) setiap minggu selama 12 minggu
berhasil mengurangi ukuran scar hingga 50% pada rata-rata pasien tanpa kegagalan
dan rekuren dalam 24 bulan kemudian. Efek samping yang mungkin muncul adalah
nyeri, ulserasi, dan sensasi terbakar. Pernah dilakukan terapi kombinasi TAC 10-
40 mg/mL dengan 5-FU 50 mg/mL.13

l) Botulinum Toxin A (BTA)

BTA mampu menghambat mobilisasi otot dan mengurangi tegangan kulit,


sehingga dapat mengurangi mikrotrauma dan inflamasi. Uji coba injeksi 15 U BTA
di sepanjang garis operasi dengan jarak setiap 2 cm pada 24 jam pasca-penutupan
luka berhasil cukup baik. Posisi anatomi harus menjadi perhatian karena risiko
asimetri terutama pada injeksi otot tertentu dengan jumlah besar hanya pada satu
sisi, misalnya risiko asimetri alis. Masih dibutuhkan penelitian lanjutan efektivitas
BTA dan pertimbangan lain termasuk biaya terapi.11

Tabel 2. Penatalaksanaan Skar Hipertrofik dan Keloid.9,13

18
2.7. Pencegahan
Pencegahan pembentukan scar hipertrofik dan keloid merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan dalam penanganan scar hipertrofik dan
keloid. Beberapa hal penting untuk mencegah keloid dan skar hipertrofik adalah :13

a) Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka


b) Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
c) Hindarkan luka dari daya mekanis langsung misalnya gesekan dan garukan
gunakan gel sheeting dan plester perekat.
d) Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika
tidur,untuk mencegah gesekan.
e) Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketat
untuk mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
f) Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih
dengan cara melakukan irrigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau
antijamur.

19
g) Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka
termasuk lubang tindik telinga dengan benda asing.

20
BAB IV
KESIMPULAN

Luka atau vulnera adalah hilangnya kontinuitas dari jaringan tubuh baik pada
kulit, membran mukosa, otot dan saraf. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma.
Setiap luka pada kulit dapat meninggalkan jaringan parut. Pada beberapa pasien,
jaringan parut tersebut tumbuh secara abnormal berupa jaringan parut hipertrofik
ataupun keloid yang selain dapat mengganggu secara estetika, secara fungsional
juga dapat menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti gatal dan nyeri.1
Parut Hipertrofik adalah pertumbuhan jaringan parut berlebihan yang tidak
melebihi batas luka aslinya. Tidak seperti keloid, parut hipertrofik dapat mencapai
ukuran tertentu dan kemudian stabil atau mengecil karena proses pertumbuhannya
berhenti atau matang. Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu
penyebab timbulnya scar hipertrofik atau keloid. Pada scar hipertrofik, infiltrasi sel
imun akan menurun sehingga mungkin terjadi regresi. Teori lain menyatakan
bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam terjadinya kelainan
jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan penting sintesis
kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks ekstraseluler yang tidak
hanya meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga menghambat pemecahannya.
Sedangkan TGF-β3 yang ditemukan lebih dominan pada fase akhir penyembuhan
luka memiliki fungsi sebaliknya. Decorin merupakan proteoglikan yang memiliki
kemampuan mengikat dan menetralisir TGF-β serta menurunkan protein matriks
ekstraseluler. Kadar decorin yang rendah dapat memicu terjadinya kelainan
fibrotik.4,6
Menghindari terjadinya luka berlebihan tetap merupakan solusi terbaik. Semua
terapi dapat dilakukan pada scar hipertrofik ataupun keloid. Walaupun demikian,
pembedaan klinis antara keduanya tetap perlu terutama sebelum tindakan
pembedahan dan laser. Adapun terapi lain pada scar hipertrofik dan keloid yakni :
Terapi Tekan, Silicone Gel Sheeting, Extractum Cepae, Injeksi Kortikosteroid.
Cryotherapy Radioterapi, Injeksi Interferon, Injeksi Doxorubicin, Injeksi

21
Verapamil, Bleomycin Sulfate, 5-Fluorouracil (5-FU), Botulinum Toxin A
(BTA).9,10

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartyng M, Hicks MJ, Levy ML. Dermal hypertrophies. In: Wolff K, et al,
editor. Fitpatrick’s dermatology in general medicine. 9 Edition. New York: Mc.
Graw Hill.2018.
2. Thompson. Lester. 2001. Skin Keloid. ENT Journal.
3. Butler.P.D.Longaker,M.T.,Yang G.P. Current progress in keloid research and
treatment . J Am Coll Surg. 2008.
4. Urioste,S.S.,Arndt, K.A.,Dover,J.S. Keloids and hypertrophic scars review and
treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery.
5. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Tumor Kulit: Tumor Jinak kulit 5th. Ed:
Djuanda A, Hamzah M, Aishah S. Falkutas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
6. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic
scarring and keloids: Pathomechanisms and current and emerging treatment
strategies. Mol Med 2011;17(1-2):113-25. Available from:
http://dupuytrens.org/DupPDFs/2011_Gauglitz.pdf
7. Maghrabi IA, Kabel AM. Management of keloid and hyperthropic scars: Role
of nutrition, drugs, cryotherapy and phototherapy. World J Nutr Health
2014;2(2):28-32. Available from: http://pubs.sciepub.com/jnh/2/2/4/
8. Sudjatmiko G. Petunjuk praktis ilmu bedah plastik rekonstruksi. 1st ed.
Indonesia: Yayasan Khasanah Kebajikan; 2007
9. Thorne CH, Chung KC, Gosain AK, editors. Grabb and Smith’s plastic
surgery. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2014. p. 14-9.
10. Atiyeh BS. Nonsurgical management of hypertrophic scars: Evidence-based
therapies, standard practices, and emerging methods. Aesthetic Plas Surgery.
2007;31(5):468-92.
11. Huang C, Murphy GF, Akaishi S, Ogawa R. Keloids and hypertrophic scar:
Update and future directions [Internet]. 2013. Available from:
https://dash.harvard.edu/ bitstream/handle/1/13347635/4173836.pdf?sequence=1.

23
12. Gauglitz GG. Management of keloid and hypertrophic scars: Current and
emerging options [Internet]. 2013. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC3639020/ 8. Jansen D. Keloid
[Internet]. 2016. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1298013-
overview#a1
13. Perdanakusuma DS, Noer MS. Penanganan parut hipertrofi dan keloid.
Surabaya: Airlangga University Press; 2006.

24

Anda mungkin juga menyukai