Anda di halaman 1dari 4

Emergency Severity Index (ESI)

Instalasi Gawat Darurat adalah salah satu pintu masuk rumah sakit. Di negara maju, IGD
adalah antar muka rumah sakit dan emergency medical service (EMS). Di Indonesia, EMS hampir
tidak bekerja sebagai sebuah sistem. Saat ini semakin terasa bahwa IGD seolah-olah adalah pintu
masuk utama ke rumah sakit. Karena jumlah admisi dari IGD tidak dapat direncanakan dengan
tepat, kerap terjadi sumber daya yang tersedia terbenam dalam kepadatan pasien yang masuk di
IGD (Christ, et al. 2010)
System ESI dikembangkan di Amerika Serikat dan Kanada oleh perhimpunan perawat
emergensi. Emergency Severity Index diadopsi secara luas di Eropa, Australia, Asia dan rumah
sakit di Indonesia. Emergency Severity Index (ESI) adalah alat untuk digunakan dalam triase
departemen darurat (ED). Triase ESI algoritma menghasilkan stratifikasi pasien yang cepat, dapat
direproduksi, dan relevan secara klinis menjadi lima kelompok, dari level 1 (paling mendesak)
(Christ et al, 2010).
Emergency Severity Index (ESI) adalah algoritma triase gawat darurat lima tingkat,
awalnya dikembangkan pada tahun 1999. Indeks ini dikelola oleh Badan Penelitian dan Kualitas
Kesehatan (AHRQ).ESI triage didasarkan pada ketajaman masalah perawatan kesehatan pasien
dan jumlah sumber daya perawatan mereka diantisipasi untuk membutuhkan. Ini berbeda dari
algoritma triase standar yang digunakan di beberapa negara lain, seperti Skala Triase Australasia,
yang berupaya membagi pasien berdasarkan waktu yang mereka tunggu dengan aman.
Konsep "sumber daya" dalam ESI berarti jenis intervensi kompleks atau alat diagnostik, di
atas dan di luar pemeriksaan fisik. Contoh sumber daya termasuk sinar-X , tes darah, jahitan , dan
obat intravena atau intramuskuler . Obat dan resep oral secara khusus tidak dianggap sumber daya
oleh algoritma ESI.
Menarik untuk membahas ESI dalam konteks IGD rumah sakit di Indonesia. Ada
sedikitnya tiga alasan mengapa ESI lebih cocok diterapkan di sebagian besar IGD di Indonesia.
Pertama, perawat triase dipandu untuk melihat kondisi dan keparahan tanpa harus menunggu
intervensi dokter. Alasan kedua, pertimbangan pemakaian sumber daya memungkinkan IGD
memperkirakan utilitasi tempat tidur. Ketiga, sistem triase ESI menggunakan skala nyeri 1-10 dan
pengukuran tanda vital yang secara umum dipakai di Indonesia.

SUMBER DAYA BUKAN SUMBER DAYA


Laboraturium (darah, urine) Pemerikasaan fisik dan riwayat penyakit
EKG, pemeriksaan x ray, CT scan, MRI, USG pemeriksaan penunjang
Pemasangan infuse untuk rehidrasi atau Pemasangan infuse untuk akses intravena
resusitasi sebelum rawat inap
Pemberian obat melalui Intra Vena, Intra Pemberian obat per oral, imunisasi tetanus,
Muskuler atau nebulizer pengulangan resep
Penanganan prosedur sederhana = 1 sumber Perawatan luka sederhana (ganti verband,
daya (repair luka, pemasangan folay catheter) control luka)
Penanganan prosedur komplek = 2 sumber Pemasangan kruk, splint, sling pada fraktur
daya ( sedasi sedang dalam, intubasi
endotracheal)
Semua pasien yang datang ke UGD harus dinilai oleh petugas triase dan mendapatkan penanganan
gawat darurat yang sesuai dengan tingkat kegawat daruratan pasien, sesuai dengan kriteria
Emergency Severity Index:
1) ESI Level 1 Resusitasi: Memerlukan intervensi segera untuk menyelamatkan nyawa atau
pasien tidak responsif-prioritas tertinggi. Kondisi yang termasuk dalam kriteria ESI Level
1, misalnya:
a. Henti jantung
b. Henti napas
c. Distress pernapasan yang berat dengan tipe pernapasan agonal atau gasping
d. SpO2 < 90
e. Trauma berat dengan penurunan kesadaran
f. Overdosis dengan jumlah pernapasan < 6 kali per menit
g. Bradikardi atau takikardi berat dengan tanda-tanda hipoperfusi
h. Hiportensi dengan tanda-tanda hipoperfusi
i. Pasien trauma yang membutuhkan resusiasi cairan kristaloid dan kolloid segera
j. Nyeri dada, pucat, berkeringat dingin, tekanan darah <70/palpasi
k. Shok anapilatik
l. Anak/ bayi kejang
m. Pasien penurunan kesadaran karena intoksikasi alkohol
n. Hipogligemi dengan perubahan status mental
o. Pendarahan dikepala dengan pupil anisokor
p. Trauma jatuh dari ketinggian yang tidak berespon terhadap rangsangan

2) ESI Level 2 Gawat Darurat:


Saat dokter atau perawat menetukan bahwa pasien bukan termasuk dalam kriteria ESI
Level 1, maka dokter/perawat mengarahkan ke ESI Level 2.
Beberapa hal bisa membantu untuk menentukan apakah pasien termasuk dalam kriteria
ESI Level 2, yaitu:
a) Apakah pasien dalam kondisi resiko tinggi?
b) Apakah ada gangguan kesadaran akut berupa kebingungan/letargi/disorientasi?
c) Apakah pasien mengeluh nyeri hebat skala ≥ 6 atau distress?

Kondisi yang termasuk dalam kategori resiko tinggi, misalnya:


a. Nyeri dada, curiga sindrom koroner akut terapi tidak memerlukan peneganan life
saving segera dengan kondisi stabil.
b. Luka tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
c. Tanda-tanda stroke namun tidak termasuk dalam kriteria ESI Level 1.
d. Tanda-tanda kehamilan ektopik dengan hemodinamik stabil.
e. Pasien kemoterapi disertai dengan immunocompromised dan demam.
f. Pasien percobaan bunuh diri yang tidak termasuk dalam kriteria ESI Level 1.
Beberapa contoh kondisi pasien yang binggung, letargi atau disorientasi adalah:
a. Kejadian baru kebingungan pada pasien lanjut usia (>65 tahun)
b. Anak/bayi yang ibunya melaporkan anaknya tidur sepanjang waktu.
c. Pasien remaja yang tiba-tiba kebingungan dan disorientasi.

Penilaian skala nyeri juga harus dilakukan oleh petugas triase untuk menetukan level ESI.
Ketika pasien melaporkan nyeri peringkat 6/10 atau lebih besar, perawat triase dapat
menentukan pasien sebagai ESI level 2. Nyeri hebat adalah salah satu alasan paling umum
untuk mengunjungi UGD. Misalnya seorang pasien dengan pergelangan kaki terkilir datang
ke UDG dengan level nyeri 8/10. Rasa nyeri pada pasien ini dapat diatasi dengan intervensi
perawat sederhana: kursi roda, elevasi dan aplikasi es. Pasien ini aman untuk menunggu dan
tidak perlu ditempatkan pada ESI level 2 berdasarkan pada rasa sakit.

Pada beberapa pasien, nyeri dapat dinilai dengan klinis pengamatan:


a. Ekspresi wajah tertekan, meringis, menangis
b. Berkeringat
c. Postur tubuh
d. Perubahan tanda-tanda vital: hipertensi, tikikardi dan peningkatan laju pernapasan
Sebagai contoh, pasien dengan nyeri perut yang mengeluarkan keringat, takikardi, dan
memiliki tekanan darah tinggi atau pasien dengan nyeri pinggang yang parah, muntah, pucat
kulit, dan riwayat kolik ginjal merupakan contoh pasien yang memenuhi kriteria ESI level
2.
3). ESI Level 3 Darurat: Memerlukan 1 sumber daya UGD sesuai dengan Emergency Severity
Index.
4). ESI Level 4 Kurang Darurat: Memerlukan 1 sumber daya UGD sesuai dengan Emergency
Severity Index.
5). ESI Level 5 Tidak Gawat Darurat: Tidak memerlukan suber daya UGD sesuai dengan
Emergency Severity Index – prioritas terendah untuk diperiksa.
DAFTAR PUSTAKA
Gilboy, N., Tanabe, P., Travers, D., Rosenau, A. M. (2012). Emergency Severity Index (ESI); A
Triage Tool for Emetgency Department Care Version 4. AHRQ Publication.
www.ahrq.gov

Christ M, Grossman F, Winter D, Bingisser R, Platz E. 2010. Modern triage in the emergency
department. Dtsch Arztebi
https://www.ahrq.gov/sites/default/files/wysiwyg/professionals/systems/hospital/esi/esihandbk.
pdf. Dikutip pada tanggal 15 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai